Senin, 04 Mei 2020

Tragedi para musang

Musang betina tua itu telah lama membawa derita. Dia sedang di rundung lapar dan merasakan kegalauan dalam hati. Ia sibuk memikirkan hendak cari makan dimanakah malam ini?

Rengekan isyarat kelaparan anak-anaknya menambah galau dalam hatinya, sehingga putuslah asanya, lalu meringkuk dan biarkan bayinya menyerap putingnya yang tak berisi.

Musang malang itu pandangi penuh kasih bayi-bayinya. Hela nafas panjang ratapi derita dan perjuangan hidup yang mesti di arungi generasinya nanti.

Teringat kembali masa lalunya nan indah. Dulu, rimbanya adalah tempat menyenangkan, makanan melimpah ruah, hawa teduh, tenang dan damai, tak kepayahan mencari makan. Kini telah berubah menjadi perumahan dan perhotelan.

Saat perutnya tak terbendung, membuang hajat sesukanya, biji-bijian dari perutnya lantas berkecambah lalu menjadi tunas, menjelma pohon aneka ragam, jadikan rimbanya nyaman, hijau, dan rimbun.

Saat bahagia itu kini putuslah sudah, manakala makhluk bengis berkaki dua yang cerdas mulai usik Rimbanya. Mula-mula tebangi pohon besar, lalu batang kecil, sampai semua tak bersisa. Makhluk kejam itu rampas rezekinya.

Keluhan anak adalah derita ibu, lalu berkata, sabar sayang, Ibu pasti ambil sedikit rezeki dari makhluk biadab yang tinggal di seberang sungai itu.

Ibu perkasa itu keluar liang, angin kemarau bulan ini mengirim dingin merasuk hingga bulu ekornya. Dingin dan lapar tak mampu kalahkan rasa cinta. Ibu yang 'kan lakukan apa saja demi buah hatinya, ia tak hirau walau tiap perburuan adalah pertaruhan nyawa.

Tekadnya membatu, lamat-lamat tangisan bayinya menjadi tenaga. Dengan gagah menerobos perdu melintasi jalan setapak yang dibuat makhluk berkaki dua menuju rumah musuh utamanya.

Musang betina tua kini berdiri di belakang kandang ayam. Aroma lezat yang berasal dari dalam kandang, menusuk lubang hidung. Ketika aman, sang musang berjalan perlahan menuju kandang.

Mengitari kandang, mencari celah. Musang betina tua bergigi tajam patahkan bilah bambu rapuh. Longokkan kepala ke dalam, bau gurih kian mengganggu, jadilah andrenalinnya mengalir deras.

Matanya masih tajam pandangi ayam yang terkantuk di sudut kandang. Terbius kelezatan, lalu terkam leher ayam, terjadi kegaduhan.

Manakala sinar senter telanjangi dirinya, ia meloncat menuju rerimbunan pohon lengkuas dengan menyeret korban.

Musang!!! Tangkap!! Bunuh!!!" suara makhluk bengis mengejutkan musang betina tua."Musang...!!! Ini Si pencuri...!!! Bunuh..!!!" teriak makhluk kejam penuh kegeraman. Dengan emosi dan kemarahan yang meluap, mahluk itu menebas-nebas daun dan batang lengkuas. Sang musang ngacir secepat kilat, namun usahanya masih tertangkap mata musuhnya.

Besi tajam mengenai kakinya, darah pun mengucur deras, jadikan ibu pejuang itu terjatuh dan mangsa yang berada di mulutnya terlepas. Di ambil lagi. Ia tak menghiraukan rasa sakit yang menyerang. Ia kembali bangkit, kembali berlari sebelum musuhnya berhasil menangkapnya. Langkahnya kini tak secepat semula, benda yang berada di mulutnya telah memperlambat gerakannya.

Fisiknya kini telah merosot tajam. Tak ada yang ia pikirnya selain fokus agar cepat sampai di rumah dan memberi kebahagiaan kepada anak-anaknya. Lubang tempat anak-anaknya kian dekat, sang musang pun kian bersemangat. Walaupun Darahnya menetes di rerumputan. Pejuang betina itu memang sangat gagah perkasa, dihindarinya sang pemburu dengan menyusup perdu dan rerumputan dalam upaya menuju liang tempat tinggalnya.

Rasa sakit dan nyeri itu berbaur saling dengan rasa letih, lelah dan gemetar, bergabung menusuk-nusuk badan. Yang dengan hal itu telah memperburuk kebugaran dirinya.

Tertatih dan merangkak ia paksakan diri menuju lubang. Perjuangan memberi makan anak-anaknya sampailah pada saat pengakhiran. Raganya tak mampu lagi menanggung luka disekujur badan. Pejuang tua itu hanya mampu mengantarkan bangkai ayam sampai di mulut liang.

Anakku,... lihat dan rasakan, hidangan lezat yang ibu janjikan. Segeralah nak, cepat,...raih makanan ini dan seret ke dalam. Ini makanan yang cukup untuk bertahan selama seminggu. Anakku!.

Induk musang itu berkata dalam hati. Ditariknya nafas penghabisan, lalu melayanglah nyawanya dalam hening.

Aroma nikmat yang dikirim oleh semilir angin pagi, akhirnya masuk juga ke dalam liang tempat tinggalnya. Karena telah terpengaruh oleh bau anyir darah segar dari bangkai ayam yang kini kian dirasa lebih tegas keberadaannya, anak-anak musang seterusnya merangkak perlahan-lahan menuju ke sumber aroma.

Bersamaan dengan anak-anak musang mendekati bangkai ayam, dari kejauhan, terlihat sepasang mata ular sanca tajam membidik mulut lubang di bawah pohon bungur tua itu. Lidahnya yang merah menjulur-julur penuh gairah.

Selanjutnya yang terjadi adalah siapa yang akan menjadi korban pertama si ular Sanca. Bangkai ayam ataukah anak-anak musang?

Sekian....

* * * * *

Siapapun kamu selama bisa menulis dan punya pengalaman yang bisa diceritakan, kamu berhak mengirimkan karyamu untuk diterbitkan di BLog Cerpen ini. Kirimkan karyamu berupa tulisan atau artikel apa saja dan dapatkan hadiah menarik untuk kamu yang beruntung menjadi penulis terfavorit BLog Cerpen.

Penulis favorit pilihan Blog Cerpen akan kami konfirmasikan langsung melalui SMS atau Whatsapp ke nomor kamu yang tertera dalam Form kirim cerita yang kamu kirim.

Pajak dan ongkos kirim ditanggung Blog Cerpen lho. Buruan kirim tulisanmu sebelum ketinggalan moment seru ini. Dan kami ucapkan terima kasih buat kamu yang sudah ikutan berpartisipasi mengirimkan tulisanmu ke Blog Cerpen. Semoga beruntung ya.

Klik untuk kirim artikel

Kisah Pilu Arie Hanggara

Dimasa yang bahkan internet belum ada, social mediapun belum juga ada, kisah Arie bisa begitu viral dimedia-media Indonesia bahkan media asingpun meliputnya. Tidak hanya itu, kisahnya bahkan difilmkan yang diperankan oleh Dedi Mizwar sebagai Ayah Ari.

Bagaimana kisah pilu Arie Hanggara dimulai? Berikut ini rangkuman kisahnya. Seperti biasa, BC selalu menyertakan link originalnya sebagai penghargaan kepada penulis asli.

Kisah Pilu Arie Hanggara

Sebuah makam berukuran 2x1 meter di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi penanda akan kekejaman orangtua serta ibu tiri terhadap anaknya. Setelah 30 tahun, makam itu kini tak terurus. Namun, ceritanya tak pernah usang karena terus berulang.

Di makam itu bersemayam jasad bocah berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang hingga kini selalu diidentikkan dengan kekerasan orangtua terhadap anaknya. Arie lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1976 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984.

Arie Hanggara adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 memunculkan kesedihan sekaligus kegeraman publik.

Ia boleh dikatakan lahir di tengah keluarga yang timpang. Sang ayah Tino adalah seorang yang pemalas dan tukang janji kelas kakap. Bahkan, saudara dari pihak istrinya menggunjingkan Tino sebagai pejantan yang hanya mampu bikin anak.

Makam Arie Hanggara

Karena tak punya pekerjaan, sementara dia punya harga diri yang tinggi di tengah kondisi Jakarta yang menuntut terlalu banyak, Tino dan istrinya Dahlia Nasution kerap bersitegang. Sang istri akhirnya kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek.

Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan hidup bersama istri barunya bernama Santi. Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Tino dan Santi serta 3 anak Tino yaitu Anggi, Arie, dan Andi.

Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.

Sindiran Santi yang menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.

Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5.

Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. "Ayo minta maaf dan mengaku," teriak Santi.

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.

Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.

Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.

Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.

Film Arie Hanggara

Setahun kemudian, sebuah film yang disutradarai Frank Rorimpandey mengisahkan nasib tragis Arie. Dibintangi Yan Cherry Budiono sebagai Arie, Deddy Mizwar memerankan Toni dan Joice Erna sebagai ibu tiri, film berjudul Arie Hanggara ini mendapat tempat di hati penonton.

Film dengan durasi yang cukup panjang ini, 220 menit, kemudian menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak pada 1985. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekitar 382.708 orang.

Di makam Arie Hanggara terlihat tulisan: maafkan mama, maafkan papa. Konon, sang ayah kandung dan ibu tiri yang meminta tulisan tersebut. Kata maaf yang terlambat. Makam di TPU Jeruk Purut itu jadi saksi pilu kekerasan terhadap anak.

Kurang lebih 30an tahun lalu, Jakarta, bahkan Indonesia, dihebohkan dengan kasus kekerasan terhadap anak. Media-media besar menurunkan laporan berseri berhari-hari, mengikuti dari proses pemeriksaan kepolisian hingga pengadilan. Majalah Tempo bahkan, menurunkan laporan khusus untuk membahas masalah ini. Kasus kekerasan terhadap anak pada masa tersebut bukan hal baru, tapi kasus Arie Hanggara mencuat karena mengusik hati manusia: kok tega “membunuh” anak?

Arie Hanggara berumur tujuh tahun saat meninggal pada tanggal 8 November 1984. Hasil otopsi menunjukkan memar di sekujur tubuh termasuk bagian kepala dan bekas ikatan di pergelangan tangan dan kaki. Sebelum meninggal, Arie ditampar berkali-kali oleh ayahnya, kepala dibenturkan ke dinding, dipukul dengan gagang sapu, disuruh berdiri jongkok ratusan kali, dan dikurung satu malam di kamar mandi.

Tetangga mengaku pada malam itu, dan juga hari-hari sebelumnya, mendengar hardikan keras “HADAP TEMBOK!” Tapi mereka hanya diam, tak bertindak, tak menolong.

Subuh dini hari, Arie Hanggara ditemukan terkulai, tak sadarkan diri. Nyawanya tak tertolong.

Sang ayah mengatakan, kekerasan bagian dari pendisiplinan. Si ibu, menyebut tekanan ekonomi membuat ia sering lepas kontrol. Tetangga berdalih, mereka diam karena segan campur urusan rumah tangga orang lain.

Semua punya alasan. Maafkan Mama, Maafkan Papa, Maafkan Tetangga. Sayang, kata maaf yang terlambat itu, tak bisa menyelamatkan nyawa Arie.

Film:https://www.facebook.com/TheLookDW/videos/336444113789059/?app=fbl

Youtube Film Arie Hanggara:

https://youtu.be/CZV9bv7R1o8

cuplikan Film Arie Hanggara

https://youtu.be/xR8diYik8f4

sumber:m.liputan6.com

dan berbagai sumber

Rewrite from:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2475118035880188&id=386882044703808

Kirimkan karyamu dan dapatkan hadiah menarik

Siapapun kamu selama bisa menulis dan punya pengalaman yang bisa diceritakan, kamu berhak mengirimkan karyamu untuk diterbitkan di BLog Cerpen ini. Kirimkan karyamu berupa tulisan atau artikel apa saja dan dapatkan hadiah menarik untuk kamu yang beruntung menjadi penulis terfavorit BLog Cerpen.

Penulis favorit pilihan Blog Cerpen akan kami konfirmasikan langsung melalui SMS atau Whatsapp ke nomor kamu yang tertera dalam Form kirim cerita yang kamu kirim.

Pajak dan ongkos kirim ditanggung Blog Cerpen lho. Buruan kirim tulisanmu sebelum ketinggalan moment seru ini. Dan kami ucapkan terima kasih buat kamu yang sudah ikutan berpartisipasi mengirimkan tulisanmu ke Blog Cerpen. Semoga beruntung ya.

Klik untuk kirim artikel