Kamis, 14 Mei 2020

Pengorbanan

Ditengan-tengah obrolan yang sering mereka lakukan setiap malam. Bram suaminya bertanya padanya.

"Apa yang paling membuatmu sedih di dunia ini?". Tanya Bram pada Meri.

"Mmh....". Meri terdiam sejenak kemudian menjawab. "Jika aku tak lagi bisa hidup bersama dengan orang yang paling aku cintai". Jawabnya sambil mengecup pipi Bram. Keduanya tersenyum.

Malam itu berlalu tanpa masalah. Kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan berdua. Karna belum dikaruniai seorang anak meskipun pernikahan sudah berjalan dua tahun.

Hari itu Bram begitu berbeda. Ia tak sehangat selama ini. Tiba-tiba saja berubah menjadi sosok suami yang begitu dingin. Kamipun mulai jarang mengobrol. Ia lebih sering di depan laptop dan menelpon teman kantornya yang adalah seorang wanita. Aku tau, tak semestinya aku cemburu. Karna itu memang urusan pekerjaan. Raya nama perempuan itu. Dia tidak terlalu cantik, tapi berkulit bersih dan memiliki postur tubuh yang bagus seperti seorang model. Rambutnya panjang tapi lebih sering diikat. Itu yang aku pernah lihat dan dengar dari suamiku. Semua pembicaraan mereka tidak kumengerti. Mungkin bahasa orang kantor.

Beberapa minggu kemudian Bram ditugaskan ke Singapur oleh perusahaan tempatnya bekerja. Namun tidak seperti biasa. Ia pergi seorang diri tanpa mengajakku. Biasanya jika Ia dapat tugas luar kota atau luar negri, dia selalu membawaku ikut serta. Lagipula, perusahaan tidak keberatan selama aku tidak mengganggu pekerjaannya. Aku bahkan malah membantunya. Ketika Ia pergi bertugas, aku akan diam di hotel atau penginapan tempat kami tinggal selama masa tugasnya. Aku membantunya membuat sarapan, merapikan pakaian kerjanya, merapikan documen atau alat tulisnya ke dalam tas kerjanya, dan lainnya. Sehingga aku justru membantunya.

Namun entah kenapa kali ini Ia pergi sendiri. "Nanti siapa yang siapin sarapan kamu, pakaianmu, dan tas kerjamu disana?". Tanyaku dengan tatapan heran mengapa belakangan ini dia seperti menjaga jarak dariku.

"Aku ini bukan anak kecil Mer. Kamu tuh aneh ya. Selama tugas kan aku tinggal di hotel. Tinggal telpon pelayan antar makanan, hotel juga ada pelayanan laundry, tas kerjaku itu isinya lebih sedikit dari makeup kamu. Aku bisa aja rapihin sendiri. Selama ini kan kamu yang mau ngerjain semuanya. Aku gak minta".

Meri shock mendengar ucapan suaminya yang tumben sekali bisa bicara kasar seperti itu.

Sebetulnya Meri sudah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan dalam rumah tangganya belakangan ini. Tapi Ia selalu menepisnya. Ia hanya berdoa semoga tidak ada yang terjadi pada Bram. Akhirnya Bram pergi bertugas.

Hari itu Meri merasa sakit. Air matanya berlinangan. Tapi Ia tetap bertahan pada pendiriannya bahwa semua akan kembali baik seperti semula ketika Bram pulang nanti. Tapi hari itu, ternyata Meri tidak hanya merasakan sakit di hatinya. Kepalanya terasa berat, dadanya terasa sesak. Khawatir terjadi sesuatu. Iapun pergi ke klinik.

"Anak keberapa mba?". Tanya dokter.

"Anak?". Meri terkejut dengan pertanyaan sang dokter.

"Ooh jadi ini kehamilan pertama. Iya, jadi Mbanya merasa pusing, mual dan sesak karna sedang mengandung".

Meri bahagia bukan main. Ia merasa menjadi wanita yang paling sempurna dan bahagia ketika itu. Iapun kembali ke rumah.

Di rumah Ia berfikir akan memberi Bram kejutan ketika Ia pulang tugas nanti. Tapi entah kenapa rasanya Meri tak dapat menunggu lama untuk mengabari perihal kehamilannya pada Bram. Maka Iapun bergegas mengambil ponselnya dan menelpon Bram. Sekali, dua kali, tiga kali tak diangkat. WhatsApp tak terkirim. Ia masih positif thinking. Mungkin Bram sedang sibuk di luar dan tak ada wifi.

Malamnya Ia mencoba kembali menghubungi Bram. Tapi masih sama. Bram masih sulit dihubungi. Akhirnya dengan rasa penasaran teramat sangat, esok paginya Ia menelpon kantor Bram. Apa yang didapatnya sungguh membuatnya shock dan bingung.

"Pak Bram sudah sejak kemarin lusa tidak masuk kantor Bu. Katanya sudah ambil cuti selama seminggu. Ini dari mana ya?". Kata wanita yang mengangkat telpon Meri di kantor Bram.

"Cuti? Seminggu? Bukannya beliau sedang tugas luar ke singapur?". Tanya Meri kemudian.

"Pak Bram memang ambil cuti seminggu untuk ke singapur. Katanya mau liburan sama keluarganya karna sudah lama cutinya gak diambil. Maaf ini dari mana ya?". Tanya perempuan itu lagi.

"Maaf, kalo Mba Raya di bagian mana ya mba? Bisa saya bicara dengannya sekarang?". Tanya Meri selanjutnya.

"Raya? Siapa ya Mba. Setau saya selama saya bekerja disini, tidak ada karyawati bernama Raya disini".

Meri makin bingung. Khawatir orang kantor suaminya berpikir yang tidak-tidak, Meri segera menutup teleponnya. Ia bingung, dahinya mengerut sambil berpikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Jadi, siapa Raya yang selama ini dikatakan suaminya sebagai teman kantor?

Meri bergegas menuju ruangan kerja suaminya. Namun sayang. Pintunya terkunci. Rasanya semakin aneh. Belum pernah Bram mengunci ruangan kerjanya selama ini. Apa yang disembunyikannya? Seribu tanya muncul dalam benaknya.

Ia masuk ke dalam kamarnya. Termenung di ranjang. Tanpa sengaja matanya tertuju pada buku telepon disamping ranjang. Meri membuka-buka buku tersebut dan untung saja Ia menemukan nomor telepon Raya. Segera Ia menghubungi nomor itu.

"Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Mba Raya?".

"Maaf, Ibu sedang tidak di rumah. Beliau ada urusan ke Singapur". Jawab pengurus rumah tangga yang mengangkat telepon Meri.

Perasaan Meri bercampur aduk. Belum tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi hatinya sudah terasa hancur lebur. Kemungkinan besar suaminya pergi ke singapur bersama Raya. Keduanya sulit dihubungi.

Akhirnya tanggal kepulangan Bram hari ini. Meri tidak tau jam berapa Bram akan tiba di bandara. Karna selama kepergiannya, mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Bram benar-benar tidak bisa dihubungi. Sehingga hari itu Meri menuju bandara pagi-pagi sekali. Biarlah Ia menunggu dengan lama. Yang terpenting baginya semua harus jelas.

Dari kejauhan, tampak Bram muncul perlahan bersamaan dengan keramaian yang tampak. Benar saja dugaan Meri. Bram berjalan beriringan dengan Raya. Hanya berdua saja. Meri terdiam mematung. Entah apa yang akan Ia hadapi. Ia berdoa dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa suaminya akan menjelaskan semua persoalan yang ada. Tapi......

"Aku gak nyangka sih kamu nunggu disini. Padahal kamu gak tau aku sampai sini jam berapa. Bisa aja besok kan". Kata Bram dihadapan Meri. Hati Meri masih berguncang hebat. Sulit dikendalikan. Tapi belum lagi Meri mengucap sepatah katapun, Bram melanjutkan bicaranya.

"Sebetulnya aku mau ngomongin ini di rumah. Tapi karna kamu udah terlanjur liat. Aku akan jujur aja disini. Maaf selama ini udah bohongin kamu. Raya yang sekarang ada disamping aku sebenernya bukan teman kantorku. Aku ingin kita pisah. Kita sudahi sampai disini pernikahan kita. Aku ingin bersama Raya. Jadi mulai hari ini aku ga akan pulang ke rumah. Maaf kalau harus seperti ini". Bram bicara seperti itu sambil menggenggam tangan Raya.

Meri terdiam. Terlalu sakit sampai-sampai air mata sulit keluar. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Meri. Ia membalik badan kemudian berjalan pulang tanpa bicara apapun bahkan tanpa menoleh ke belakang ke arah dimana suaminya masih berdiri bersama perempuan itu. Sampai di rumah, Meri memandang ke segala arah bagian rumahnya. Memandangi satu persatu setiap barang-barang dalam rumahnya yang memiliki kenangan indah bersama suaminya yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Bahkan Ia belum membicarakan pasal kehamilannya. Ia tak sanggup.

Tak berapa lama Bram muncul. Kemudian Ia masuk dan mengajak Meri bicara. Namun Meri hanya diam membisu. Mendengarkan setiap kata yang Bram ucapkan. Betul-betul terdiam hingga air matapun sulit keluar.

"Tempat tinggal kita ada dua. Sekarang aku membebaskanmu memilih. Kau mau tetap tinggal disini, atau kau pindah ke apartemen?". Tanya Bram pada Meri.

Meri memilih tinggal di apartemen mereka. Karna Ia tak sanggup jika harus tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama Bram selama ini. Semuanya kenangan manis. Kecuali hari ini. Jadi Ia putuskan untuk keluar.

Tanpa terasa 2 tahun berlalu. Meri masih tetap hidup berdua saja dengan putrinya Keira. Sebetulnya Ia bermaksud ingin mengenalkan Keira pada Ayahnya. Tapi Meri belum siap bertemu Bram. Entah perasaan apa dihatinya. Masih cintakah atau malah kebencian yang mendalam. Yang jelas Ia belum siap mempertemukan Keira dengan Ayahnya.

Ketika umur Keira 3 tahun, tibalah harinya dimana akhirnya Keira mempertanyakan keberadaan Ayahnya.

"Ma, kenapa Keira gak punya Papa?". Tanyanya sambil menatap wajah Ibunya dengan mata sendu dan wajah mungilnya yang sungguh menggemaskan.

"Keira punya Papa. Besok kita ketemu Papa ya". Jawab Meri sambil mengangkat tubuh mungil Keira. Esoknya dengan perasaan tegang bercampur cemas, Meri mempersiapkan diri dan hatinya untuk bertemu dengan Bram. Ia belum tau apa yang akan Ia ucapkan nanti saat bertemu Bram. Apa yang akan Ia katakan. Dan apakah Ia akan sanggup bertemu Bram dengan keluarga barunya.

Mungkin saja Bram dan Raya telah memiliki anak. Lalu Keira? Apakah Keira tidak diinginkan Bram nantinya. Seribu tanya dan ketakutan hampir saja menyurutkan langkahnya untuk mempertemukan Bram dengan putrinya. Namun saat melihat kegembiraan dan keriangan wajah serta tingkah laku Keira yang sudah tidak sabar ingin bertemu Ayahnya, tekad Meri muncul lagi.

Merekapun bergegas menuju rumah Bram yang adalah tempat tinggal Meri juga sebelumnya. Saat sampai di rumah itu. Meri tak sanggup melangkah ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu.

"Bram masih saja ceroboh. Tidak pernah menutup pintu". Batin Meri masih sambil berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba terlihat Bram, Raya, seorang anak kecil, dan seorang lagi pria dewasa yang entah siapa dia. Benar saja dugaan Meri. Bahwa mungkin saja Bram sudah memiliki anak. Meri semakin takut. Saat ia berbalik arah sambil menggendong Keira untuk kembali pulang, tiba-tiba saja anak di dalam rumah itu bicara.

"Om Bram harus makan. Katanya Om mau ketemuin aku sama Keira anak Om. Jadi Om harus sehat". Ucap anak itu kepada Bram.

Meri lantas menghentikan langkahnya. Ia kembali ke ambang pintu, namun kali ini sedikit bergeser agar tidak terlihat dari dalam. Ia penasaran. Mengapa anak itu bicara seperti itu. Jika memang Ia bukan anak Bram. Bagaimana mereka tau tentang Keira.

"Abang harus makan kalo mau tetap sehat. Abang ingat kan apa kata Raya. Aku harus berangkat Bang. Abang nurut ya sama Raya". Kata laki-laki itu sambil mengambil tas kerjanya dan akan bergegas keluar. Terlihat raya mencium tangan laki-laki itu kemudian laki-laki itu mencium kening Raya sambil berucap "Kamu pastikan abang makan ya. Jangan lengah. Dia harus bertemu Keira untuk memotivasinya. Tapi masih saja dia enggan menemui mereka".

Saat laki-laki itu berjalan menuju pintu. Mereka berpapasan.

"Mba Meri"

"Rio"

Sama-sama terkejut. Kemudian Raya keluar karna mendengar mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?". Tanya Meri penasaran. Akhirnya Raya dan laki-laki yang ternyata adalah Rio sepupunya Bram mempersilahkan Meri dan Keira masuk.

"Maaf Mba. Selama ini kami membantu Abang demi kalian. Itu kata Bang Bram. Meskipun aku tak setuju. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang sedang dekat dengan Raya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Bang Bram ke rumah sakit tempat Raya bekerja. Kebetulan Raya ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh dokter Bang Bram sebelumnya untuk proses kemoterapi abang waktu itu. Sayangnya abang datang terlambat Mba. Kankernya sudah stadium akhir".

Terkejut bukan main Meri mendengar cerita itu. Ia tak pernah habis pikir. Bagaimana bisa disaat-saat sepenting itu, disaat seharusnya Ia lebih dubutuhkan. Tapi malah justru Bram memilih menjalaninya seorang diri. Rio melanjutkan ceritanya. Sementara Bram sedang terlelap di dalam kamar dan tak menyadari kehadiran Meri dan putrinya di ruang tamu.

"Maafkan saya Mba Meri". Lanjut Raya. Kali ini Raya yang melanjutkan penjelasan tentang kondisi Bram sejak empat tahun lalu hingga hari ini.

"Hari itu, aku bilang sama Rio yang saat itu masih berstatus pacarku Mba, bahwa abangnya mengidap kanker otak stadium akhir. Aku katakan pada Rio bahwa Ia masih bisa di kemoterapi dan mengkonsumsi obat untuk memperpanjang umurnya. Syukur-syukur siapa tau dalam perjalanan pengobatan kita bisa mematikan sel kankernya. Hari itu juga Bang Bram memintaku menghubungi Rio dan meminta kami menyembunyikannya dari Mba Meri. Kata Bang Bram dia pernah bertanya sama Mba Meri. Apa yang paling mba Meri takutkan di dunia ini. Dan jawaban Mba Meri adalah tidak bisa lagi hidup bersama dengan orang yang Mba cintai. Karna itulah Bang Bram ingin sekali Mba Meri membenci dia, agar ketika nanti Bang Bram tidak berumur panjang, Mba Meri tidak merasakan kesedihan".

Seketika itu juga tubuh Meri bergetar, mengingat betapa dulu Ia sangat mencintai suaminya itu. Bahkan mungkin hingga detik ini. Iapun berlari ke dalam rumah mencari sosok mantan suaminya itu.

"Maas...... Mas Bram. Kamu dimana". Teriaknya sambil terisak. Bram keluar dari dalam kamar. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya sangaat kurus hingga seperti tersisa tulang saja. Rambutnyapun habis. Tapi mendengar suara Meri, seketika Ia sanggup berjalan. Keduanya berpelukan sangat erat. Melepas rindu yang selama ini terpendam dan tertutup benci di hati Meri.

Bram meminta maaf karna telah membuat Meri sakit hati dengan berpura-pura menjalin hubungan dengan Raya yang ternyata saat itu adalah calon adik iparnya. Meripun meminta maaf karna tidak peka dengan apa yang terjadi pada Bram.

Raya menjelaskan sebagai seorang Dokter. Bahwa Bram masih bertahan hingga detik ini karna ia termotivasi ingin menemui Keira putrinya. Bram tau bahwa waktu itu Meri tengah hamil. Sejak perpisahan mereka, tak satu haripun Bram lewatkan untuk memantau kehidupan Meri dan putrinya dari kejauhan. Bahkan Bram menyewa orang untuk mengintai Meri dan Keira setiap hari di apartemen mereka. Takut-takut terjadi sesuatu pada mereka. itu sebabnya Bram sudah sangat mengenal Keira.

Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk lagi. Meri meyakinkan Bram bahwa Ialah yang paling pantas mengurus Bram disaat-saat seperti ini. Awalnya Bram menolak. Ia ingin Meri menemukan kebahagiaannya sendiri. Tapi Meri meyakinkan, jika selama empat tahun ini saja Bram bisa bertahan, apakah tidak mungkin Bram bertahan lebih lama jika hidup bersama putrinya. Merekapun kembali bersama.

Setahun setelah kebersamaan mereka, akhirnya Bram menghembuskan nafas terakhirnya. Dipangkuan orang yang paling dicintainya. Walaupun terlalu sedih, tapi Meri tetap bersyukur bahwa Bram bisa menghabiskan sisa hidupnya bersamanya dan Keira. Untunglah setahun lalu itu Meri memutuskan mempertemukan Keira dengan Ayahnya. Jika tidak, mungkin Ia sudah menyesal seumur hidupnya.

Pengorbanan Bram demi Meri dan Keira sangat sulit dimengerti oleh orang yang tak merasakan kehidupan sepertinya. Bagaimana bisa disaat-saat seperti itu, Ia justru lebih memilih dibenci istrinya agar disisa hidupnya tidak menyusahkan sang istri. Namun, keluarga yang baik adalah mereka yang bisa saling menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya. Bukan yang hanya ingin hidup ketika hanya sedang bahagia.

* S E K I A N *

Pesan Cinta Dari Pesantren

* * * * *

Pesan Cinta dari Pesantren

Karya : Wahyu Saputro/2018 -

MEMULAI MIMPI

Sebuah cerpen yang menceritakan tentang pemuda yang bermimpi menjadi seniman musik dan mengejar cinta sejatinya melalui penantian panjang. Aku adalah Deva Rangga Putra. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara dimana aku dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Ayahku bekerja sebagai pengrajin furnitur dari kayu yang penghasilannya tidak menentu. Kadang mendapat pesanan banyak dan kadang sedikit, bahkan pernah dalam waktu satu bulan tidak ada pesanan sama sekali. Hal tersebut membuat ayah memiliki sikap yang sedikit keras ketika mendidik anak-anaknya termasuk aku sendiri. Itu semua karena ayahku berharap setelah anak-anaknya lulus sekolah menengah atas, aku dan dua orang kakakku dapat membantu ekonomi keluarga ujarnya.

Memiliki darah seni dari ayah dan mendapat turunan darah lembut dari ibuku, membuatku memiliki kemampuan yang baik dalam bidang seni khusunya melukis ketika duduk di sekolah dasar. Beberapa prestasipun pernah dirah oleh Deva kecil: Juara satu lomba melukis tingkat RT, Lomba mewarnai tingkat Kecamatan, dan aku mendapatkan beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolah dikala itu. Beranjak remaja, jiwa senimanku meluas ke ranah seni musik.

Ketika itu band Peterpan asal Bandung menjadi grup musik favoritku. Karya-karya dari grup musik tersebut banyak menginspirasi dalam kehidupanku. Sampai menjelang lanjut ke bangku sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk sekolah di luar kota kelahiranku yaitu Bogor. Sulit dipercaya, anak yang tergolong pendiam ini berani untuk tinggal jauh dari keluarganya guna menuntut ilmu. Keputusan itu berdasar karena arahan ayahku yang ingin aku cepat bekerja seperti kakak-kakakku setelah lulus sekolah.

Selain itu, sekolah ini terkenal akan lulusan-lulusan yang berkompeten di bidangnya. Akhirnya aku bersekolah di jurusan teknik penerbangan dan aku menuntut ilmu selama tiga tahun di Kota Bogor. Ditengah-tengah perjalananku, tak disangka aku bertemu dengan seorang gadis cantik. Wajahnya yang berseri-seri serta balutan hijab nan anggun membuatku terpana ketika menatapnya. Kami bertemu di salah satu angkutan kota jurusan Parung-Bogor. Kamipun tidak langsung saling mengenal ketika itu, butuh pertmuan-pertemuan yang tak disangka oleh kami berdua setelahnya. Singkat cerita akhirnya kami berkenalan dan menjalin komunikasi dengan seadanya.

Kebetulan ketika itu handphone-ku tidak secanggih anak-anak muda lainnya sehingga tidak dapat mengakses internet. Selain itu, Komunikasi kami tidak berjalan mulus karena wanita itu adalah santri di salah satu pondok modern. Komunikasi kamipun hanya sebatas pesan singkat facebook yang tidak setiap saat bisa berbalas, terlebih aku hanya bisa mengakses facebook di warnet dekat kost-kostan ku dan itupun ketika ada sisa uang jajan dari jatah pemberian ibuku.

-TAKUT AYAH KECEWA-

Waktu ke waktu berlalu. Aku mengalami gejolak dalam diri. Keputusan megambil jurusan teknik ternyata tidak semulus yang aku bayangkan. Terlebih keputusan itu didasari tidak berlandaskan hati, hanya karena keadaan ekonomi keluarga yang memaksaku untuk mengambil langkah praktis untuk cepat bekerja. Sesal mungkin terjadi di malam itu, secangkir teh hangat menemaniku di loteng kamar kost. Disamping itu, perkenalanku dengan wanita itu makin membuatku berpikir luas dan semangat untuk meraih impian. Gadis itu tak jarang membicarakan perihal mimpi ketika berbalas pesan denganku. Hal itu membakar kembali asaku untuk menjaga mimpiku yang sempat terbengkalai sejauh ini.

Tiga tahun berlalu, dimana aku sebagai Deva yang pengecut masih membohongi diriku sendiri bahwa aku memiliki mimpibesar namun belum bisa terjaga dengan baik karena aku harus melaksanakan apa yang diharapkan oleh ayah yaitu mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan penerbangan di daerah Cengkareng, Jakarta Barat kusambangi guna melamar pekerjaan. Usahaku terjawab, aku diterima sebagai tenaga teknik di salah satu perusahaan penerbangan ternama di Indonesia. Hal tersebut membuat ayah bahagia dan bangga padaku dikala itu. Namun, dibalik itu semua, terselip kegundahan yang mendalam pada seorang Deva Rangga Putra. Beberapa bulan aku hanya menjalani rutinitas semu yang begitu meyiksa bagi seorang seniman sepertiku. Terlebih, waktu untuk merawat mimpiku sebagai seorang seniman musik hampir bahkan tidak ada sama sekali. dalam hari-hari yang kulalui hanyalah bersama tumpukan dokumen teknik yang memasung ini. Terlintas untuk keluar dari rutinitas semu dalam diriku, akan tetapi aku ingat bahwa ayah sudah bangga padaku sehingga tak mungkin bagiku untuk menyakiti hati seorang ayah dengan keputusan yang mungkin membuat ayah kecewa padaku.

-KEMBALI BERTUALANG DAN MENEMUKAN CINTA-

Tepat satu bulan kemudian aku beranikan diri untuk memutuskan resign dari perusahaan tersebut dan itu membuat ayahku kecewa. Sedih bercampur haru membasahi pipiku karena tidak mampu menjadi kebanggaan ayah lagi dikala itu. Namun, mimpi adalah mimpi. Aku harus menjemputnya kembali dalam pelukkanku. Aku kembali menuju Bogor tempatku bersekolah ketika itu, memang tak ada rencana khusus disana. Seiring waktu ku lalui, titik demi titik yang mendekati impian mulai bermunculan.

Aku memulai mimpiku menjadi penyanyi cafe dimana karya-karya dari lagu yang kuciptakan bisa ku nyanyikan pada sekumpulan oang di sana. Di samping itu semua, komunikasiku dengan wanita penyemangat itupun terlampau baik. Sesekali aku beranikan diri menengoknya di pesantren tempat ia menuntut ilmu. Tidak seperti remaja pada umumnya, situasi di pesantren memaksaku untuk berhati-hati dalam bersikap, terlebih yang namanya pacaran tidak dibenarkan disana. Oleh karena itulah aku hanya sampai di gerbang pesantren dan menitipkan sebuah surat melalui salah seorang santri lainya yang secara kebetulan sedang melintas di gerbang pesantren.

Tanpa ikrar untuk saling mencintai, rupanya kami seperti dua insan yang telah mampu berbagi rasa. Terlalu dini untuk menyebutnya dengan istilah cinta. Dia menjadi sosok yang memerhatikanku dalam perjalanan mimpi. Kata-katanya membuat langit seolah berjarak lima sentimeter dari kepalaku. Aku dibuatnya terbang kesana-kemari olehnya. Dua tahun berlalu, tepat dimana Asyifa lulus dari pesantren.

Asyifa adalah nama dari wanita indah itu, wanita yang menyihirku untuk lupa akan arti lama menunggu. Kau mungkin belum jadi yang terbaik, karena satu-satunya wanita terbaik adalah ibuku. Akan tetapi, kau telah mengarahkanku pada mimpi yang dulu terbengkalai. Kau sangat layak mendapatkan penantian panjang dari laki-laki biasa sepertiku.

Dalam sepanjang tahun itu kau makin membuatku tak kuasa bila harus kehilanganmu. Kata-kata penyemengat tersusun rapi setiap harinya untukku. Pencapaian demi pencapaian ku tempuh dalam perjalanan mimpiku. Aku mendapat tawaran manggung kesana kemari. Mulai dibayar dengan nasi bungkus, bingkisan snack, bahkan pernah tidak mendapatkan bayaran sama sekali. Hal itu tak menyurutkan semangatku untuk bisa melewati rintangan itu.

Kau membuatku kuat walau kau memang tak bersamaku setiap saat. Kau ibarat pelangi yang menampilkan tujuh warna setiap harinya. Hingga pada saat aku terduduk lelah, kau mengingatkanku pada sebuah pelangi. Akan ada pelangi setelah hujan yang menceritakan setelah air mata akan terselip kebahagiaan.

-AKHIR PENANTIAN-

Hampir sepanjang tahun aku terbasuh oleh kata-kata motivasimu. Aku tak merasakan ada lelah dalam perjalananku itu. Pada saatnya, aku merasakan hal yang berbeda dari dirimu. Kau tak secerah mentari disaat pertama aku menemuimu dulu. Terungkap rona kesedihan dari katakatamu akhir akhir ini. Ada apa ini sebenarnya? Hatiku belum siap untuk patah.

Dengan keadaan mimpi yang masih terus ditata, bagaimana mungkin aku harus menata hati lebih awal jika mengalami keretakan. Akupun tersadar memang selama ini tak pernah ada ikrar diantara kami dalam hal perasaan. Mendungpun kian murka, terdengar kabar bahwa ada laki-laki tampan dan kaya yang ingin mengajakmu menikah. Kabar tersebut ku temukan melalui temanmu. Apakah ini sebuah pertanda mentariku akan redup? Begtu juga dengan mimpimimpi yang sedang ku jaga? Entahlah.

Hingga sampai penantian sudah tak layak lagi ku lakukan, angan-angan hidup bersamanyapun sudah cukup hanya dijadikan sebuah angan, ini semua butuh kejelasan. Kurogoh kocekku untuk menemuinya di tempat yang sangat jauh yaitu bagian selatan Jawa Barat, Desa Jampangkulon, Sukabumi. Padahal dikala itu aku hanya punya uang kurang lebih 127.500 rupiah hasil manggung kemarin malam dan sudah dikurangi kebutuhan makan dan beli sabun cuci. Aku berangkat menuju cintaku yang di ujung tanduk dengan bekal perasaan seutuhnya, uangpun tak banyak, wajahpun tak tampan.

Walau aku tahu pria berlapis emas tengah membuka hatimu, setidaknya pertemuan ini menjadi pembuktianku bahwa kau telah menjadi bagian hati ini yang tak rela bila harus pergi begitu saja. Sesampainya disana, kau menyambutku dengan baik. Hampir lupa jika hati ini sedang berada di sebuah jembatan gantung jika putus talinya, maka habislah sudah. Senyummu masih seperti dulu, masih berseri dan menggetarkan hati. Suaramu menyembuhkan lelahku dari jauhnya perjalanan ini. Malam harinya, kau mengajakku menyaksikan hiburan pasar malam di desa itu. Kami bercanda, bercerita, dan menyantap hidangan seafood yang lezat. Pada pukul 10 malam, kuberanikan untuk memulai pembicaraan tentang kejelasan perasaan kami, sontak ia pun terkejut. Seolah ia tak percaya jika aku memulai pembicaraan tentang perasaan. Sialnya, hendak ku mulai kata demi kata, ia menerima telefon dari pria yang akan menikahinya.

Sedikit ku cerna dari obrolannya bahwa si pria itu tidak suka bila aku bermalam di rumah Asyifa, namun Asyifa menjelaskan alasan mengapa aku datang menemuinya. Sedikit menelan ludah pahit, ya, Asyifa menjelaskan kepada pria itu bahwa ia tak menjalin hubungan apa-apa denganku ucapnya. Perih sudah kepalang perih, namunku harus kuat melewati tahapan akhir dalam penantianku selama kurang lebih tiga tahun ini.

Memang tak ada keharusan untukku menantinya sekian lama, dan juga tak ada paksaan. Perasaan adalah perasaan. Tak selamanya harus berlabuh pada hati yang tepat. Jika memang belum saatnya, percayalah Tuhan akan melabuhkannya ke hati yang seharusnya. Usai berbicara melalui telefon dengan pria itu, kau kembali berbincang padaku tentang perasaan. “Maaf ya kak, barusan ada telefon. Gak enak kalo gak diangkat” ujar Asyifa. Aku hanya bisa tersenyum masam dan sedikit gusar.

-CINTA YANG SEHARUSNYA-

Sampai pada detik yang mematikan, kau mematahkan hatiku begitu saja. Dengan ujarmu mengenai perasaan selama ini kau bilang tak ada lebih dari seorang teman. Bahkan sesekali kau mengingatkanku bahwa tak ada ikrar diantara kami untuk saling mencinta. Kau pun mencatut si dia, pria berlapis emas yang akan mengajakmu menikah. Singkatnya, kau ucap bahwa perasaan yang seutuhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah. Tertunduk lesu, temaram mencoba menopang cahaya hati namun tak bisa. Sudahlah sudah. Ini hanya sebuah irisan hati dihadapan matamu. Irisan yang sudah seharusnya kudapat dari kesalahanku untuk menaruh hati padamu.

“Jika saja dulu.... ah sudahlah” camku dalam hati. “Kau dulu seperti mentari yang bangunkanku dari kegelapan. Kau meredup sekarang, lalu mimpiku?” “Basa-basi darimu dulu telah membuat candu dalam benak yang nyatanya tak berujung” “Rindu mendalam yang ku beri juga ternyata tak sampai ke pelabuhan hatimu” “Hingga kau pergi disaat hatiku berbunga-bunga, tanpa kau siram terlebih dahulu sebelum layu” Jadi selama ini, penantianku kosong.

Dalam hati kecilku masih belum bisa menerima seutuhnya kenyataan ini. Namun kau sudah benar dan tepat, kau sudah menjaga diri dan perasaanmu dengan cara yang diperintahkan sang pencipta (Allah). Hanya saja aku yang lalai perihal perasaan hingga tiga tahun lamanya. Tak sampai hatiku memahami tentang arti perasaan yang diajarkan oleh firman sang pencipta (Allah).

Aku paham, dengan begini aku menyadari semuanya. Ini adalah pesan bagiku untuk lebih baik lagi dan mendekatkan diriku pada firman-firman sang pencipta (Allah). Akupun tersadar, seberapa keras usaha jika sang pencipta (Allah) berkehendak lain maka takkan terjadi. Malam itu kututup dengan ucapan selamat kepadanya dan pria calon suaminya kelak. Besok aku akan pulang setelah memetik sebuah arti penantian. Kau mengajarkan arti patah hati yang berujung agar aku memahami firman illahi. Kau pula mengajarkan arti penantian bahwa tak satupun yang berhak ditunggu kecuali kehendak dari-Nya. Hingga kau menyiratkan arti cinta yang sesungguhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah.

Keesokan harinya, aku pamit dengan lantang. Kutegakan kepalaku untuk menatap hari-hari kedepan. Sedihku sudah tak berlapis air mata. Serta mimpiku yang masih di tengah jalan, aku akan pulang dan menata kembali hidupku. Untuk kau yang singgah di detik-detikku yang lalu, berbahagialah bersama detikmu yang baru. Ia adalah pemberian Illahi untukmu, bukan aku.

Lima tahun kemudian, Deva mencapai mimpi-mimpinya untuk menjadi musisi. Ia pun telah memiliki album dari karyakarya lagunya dan pernah beberapa kali manggung ada salah satu stasiun tv swasta. Memang bukan menjadi selebritis seutuhnya, pencapaiannya dalam ranah musik adalah bagian dari mimpi masa lalunya. Dan kini ia merangkap sebagai seorang penulis. Mimpinya lebih meluas yaitu mampu mengelilingi Nusantara dengan karya: karya lagu dan tulisan. Ia pun akhirnya mampu menerapkan pelajaran yang tercipta dari masa lalunya yang berpesan bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun melalui akad nikah. Deva Rangga Putra menikahi seorang wanita seolihah juga pula cantik. “Aku menikahi seorang wanita hebat dalam hidupku.” -Deva Rangga Putra

-SEKIAN -

Cerpen, BLog Cerpen, Cerita Pendek, Cerita Bersambung, Cerpen Upay, Kisah inspiratif, Cerita Fiksi.

Konflik Rumah Tangga

Ia menikah diumur yang cukup matang. 25 tahun usianya saat itu. Menikah dengan laki-laki mapan yang sanggup memenuhi semua kebutuhan bahkan keinginannya. Setahun menikah langsung dikaruniai seorang putri. Sungguh beruntung. Paling tidak, itu yang dianggap orang-orang di sekelilingnya. Tinggal di rumah dengan fasilitas yang cukup baik, putri kecil cantik dengan suami tampan yang mapan, nyatanya belum cukup membuatnya bahagia.

Hari-harinya sebagai seorang Ibu rumah tangga membuatnya cukup sibuk setiap harinya. Selain menguras tenaga juga sering menguras pikiran akan suaminya yang lebih sering sibuk dengan pekerjaannya.

Dari pagi hingga petang sibuk mengurus kebutuhan suami dan anaknya. Menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja, memandikan anak, bersih-bersih, mencuci piring dan pakaian, menemani anak bermain, ditambah lagi ketika anaknya bertambah umur dan sudah wajib ke sekolah. Harinyapun semakin sibuk. Mengantar dan menjemput sang anak.

Tidak jarang ketika hari mulai petang. Rasa lelah menghinggapi. Menanti kepulangan suami yang tak pasti jam berapa sampai di rumah. Terkadang saat suami sampai di rumah, keduanya sudah sangat lelah, jangankan waktu mengobrol, menengok putrinyapun tidak sering suaminya lakukan. Karna sudah lelahnya.

Akibatnya, ketika libur tiba, obrolan hanya sampai kepada keluh kesah saja. Jarang ada kegembiraan. Harta melimpah, fasilitas bagus di rumahpun serasa tak berguna. Menanggapi keluhan sang istri yang merasa selalu capek setiap harinya sehingga jarang bisa menyambutnya pulang ditanggapinya dengan biasa saja. Solusi akhir, merekrut asisten rumah tangga menjadi pilihan.

Diawal Ia merasa sangat terbantu. Dengan adanya ART, Ia bisa sedikit terbantu. Tidak lagi harus bersih-bersih rumah, mencuci, menyetrika, menyiram tanaman, dan lainnya.

Dengan uang yang Ia punya dan banyak waktu luang, harusnya Ia sudah cukup bahagia. Bisa pergi jalan-jalan atau bahkan belanja tanpa khawatir rumah berantakan. Tapi ekspektasi orang-orang tidaklah semanis kenyataannya. Setiap habis belanja dan jalan-jalan Ia tetap merasa kesepian di rumah. Anaknya yang beranjak besar, kini sudah memilih berkegiatan sendiri di dalam kamar. Entah membaca, belajar atau bahkan bermain gadget.

Alhasil Ia hanya bisa memandangi tumpukan belanjaannya saja. Saat suami pulang larut. Ia mencoba menyambutnya dengan manis. Membuatkannya makanan, minuman hangat, tak jarang memeluknya. Tapi sayang, pekerjaan di kantor cukup menguras tenaga, pikiran, bahkan emosi. Sehingga suami jarang menggubris sambutan istrinya.

Ia sedih, merasa sendirian disaat orang-orang berpikir hidupnya sangatlah nyaman. Harta melimpah, putri cantik, suami tampan dan mapan. Apalah artinya jika Ia tetap merasa kesepian. Sehingga hari-harinya hanya berisi kekesalan, emosi, sering marah-marah tanpa sebab. Karna kurangnya dukungan, perhatian dan kasih sayang suaminya.

Disuatu ketika, Ia dihadapkan pada kenyataan yang sangat pahit. Suaminya jatuh bangkrut. Perusahaannya tutup dan akhirnya, sang suami lebih sering di rumah. Awalnya semua masih baik-baik saja. Mereka masih bisa hidup dengan sisa tabungan yang mereka punya. Terpaksa ART dipulangkan karna sudah tak sanggup memberi gaji bulanan. Ia berbesar hati kembali mengerjakan seluruh pekerjaan rumah seperti sedia kala. Sibuk setiap hari. Namun kali ini ditemani sang suami yang tengah menganggur.

Suaminya melihat betapa lelah istrinya mengurus segalanya sendiri. Maka Iapun membantu. Mereka hidup dengan tenang, terlebih lagi Ia merasa diperhatikan suaminya belakangan ini. Tentu saja, mungkin karna suami tidak bekerja dan melihat kelelahan istrinya.

Namun makin lama hari-hari semakin sulit. Tabungan menipis. Mereka harus cari cara agar tetap dapat melangsungkan hidup. Lagi-lagi Ia dihadapkan pada keluhan sang istri. "Gimana ini mas? Sudah sebulan kita menunggak air, listrik dan SPP putri".

"Aku juga gak diam aja kan kamu liat sendiri setiap hari aku cari-cari pekerjaan. Tapi belum ada satupun panggilan. Trus menurutmu aku harus gimana?".

Akhirnya tak jarang pertengkaran demi pertengkaran terjadi lagi seperti dulu. Namun dengan masalah yang berbeda. Jika dulu karna waktu dan komunikasi yang jarang terjadi, kini karna masalah ekonomi.

Tari memutuskan berdagang kue-kue kecil di depan rumahnya. Mengandalkan keahliannya memasak, akhirnya sedikit demi sedikit ekonomi mereka terbantu meski tidak bisa semewah dulu. Setidaknya mereka tidak lagi kelaparan seperti selama ini.

Tapi lagi-lagi terjadi ketidak harmonisan dalam rumah tangga mereka. Bagaimana tidak, Tari harus mengurus rumah sendiri, mengurua anak dan suami, tapi Ia juga yang mencari nafkah. Lagi-lagi Ia sering emosi karna lelah. Bima bukan tidak mau membantu Tari berdagang, tapi Ia sama sekali tidak bisa memasak. Ketika waktunya menjajakan dagangan, Ia malah santai di dalam rumah. Sehingga terkesan sama sekali tidak mau membantu istrinya.

"Aku capek kalo begini terus setiap hari. Kamu tuh kaya ga ada gunanya ya dihidup aku. Semua kerjaan aku yang pegang. Kamu cuma anter jemput Putri. Itupun kalo Putri lagi gak ikut bus sekolah. Cari duit enggak, bantu rumah juga enggak. Apa gunanya ada kepala rumah tangga?".

Puncaknya, Tari memutuskan berpisah. Hingga sekarang Ia menjanda. Suaminya telah menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Ya, sudah yang ketiga kali. Setelah berpisah dari Tari, Bima pernah menikah sekali dan gagal lagi, kini Ia menikah lagi. Entah untuk berapa lama.

Sedang Tari tetap pada pemikirannya bahwa menikah hanya menambah pekerjaan mengurus rumah dan orang lain. Sehingga Ia tetap menjanda. Tidak menutup kemungkinan bila saja Tari menikah, mungkin Ia juga akan sama gagalnya dengan Bima mantan suaminya.

Apakah perpisahan mereka dikarenakan orang ketiga? Ternyata tidak sama sekali. Namun sifat tidak pernah puas dan kurang bersyukurlah yang menjadi pemicunya.

*S E K I A N*

Moral of the story.

Ketika memiliki banyak harta, tidak punya banyak waktu.

Ketika punya banyak waktu, kekurangan harta.

Mengapa tidak kamu syukuri apa yang telah kamu miliki?

Andai saja kehidupan berumah tangga bisa saling melengkapi, menghargai dan mengerti, pasti tidaklah akan terjadi perpisahan.

Meski kamu para suami sudah sangat mapan dan merasa sanggup memberikan hartamu bahkan dunia, percayalah keluargamu tidak hanya butuh itu.

Meski kamu para istri merasa lelah dengan semua pekerjaan, bersabarlah, akan tiba masanya lelahmu pasti terbayar.

Semoga kita menjadi pribadi yang dapat melengkapi satu sama lain dengan pasangan kita.