Tampilkan postingan dengan label cerpen kisah nyata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen kisah nyata. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Mei 2020

Hafidzah Pemberani

HAFIDZAH YG MENGALAHKAN PEMERKOSA

ini kisah nyata. Tokoh dalam kisah ini merupakan  mudiroh mafaza. Jadi seluruh santri mafaza dan para wali santri serta ribuan alumni super manzil InsyaAlloh mengenal gadis tangguh yg ramah ini. Sebab beliau pernah menjabat sebagai pimpinan mafaza 1, mafaza 3 dan mafaza program dhobit bandung. Beliau adalah ustadzah Juni. Salah satu Musyrifah yg paling saya sayangi.

kisah yg sangat menegangkan ini terjadi di batam pada akhir Desember 2013. Setahun sebelum beliau diangkat jadi pimpinan mafaza bogor. Kisahnya pernah di angkat banyak media islam. Saya mengangkatnya kembali utk seluruh santri mafaza dan seluruh muslimah indonesia

Ustzh juni merupakan aktifis sejati. Diluar jam kerjanya beliau sibuk mengisi mentoring kpd siswi2 sekolah menengah di batam.

Sore itu sepulang mengisi ta’lim didaerah Tiban, beliau merasa waktunya agak luang karena tdk ada agenda lain. Maka dicobalah jalur lain. Ia melaju dan terus melaju bersama motornya. Hingga tanpa sadar ia hampir tiba di pelabuhan sekupang. Beliau mencoba cari jalan pulang, namun jalan semakin sepi dan asing.

Sebelum hari benar2 gelap, ustzh juni bertemu  dg dua orang pria dipinggir jalan. Yg satu bapak2 berambut panjang dan satu lagi pemuda yg tengah menstarter motornya. Da'iyah muda ini memberanikan diri menyapa dan bertanya: “bang, ini jalan buntu ya? Kalau mau batu aji ke arah mana ya?”

“iya ini jln buntu, batu ajinya dimana?” pria bermotor balik bertanya.

“ ditembesi” jawab ustzh yg ramah ini.

“ya udahlah bareng. Saya pun didaerah itu” kata pria itu.

Maka melajulah mereka. Ustzh Juni mengikuti motor si pria itu dari belakang. Sepanjang perjalanan, pria itu rajin bertanya, sehingga Aktivis lulusan fak psikologi ini tak memiliki kecurigaan buruk padanya. Namun lama kelamaan ustzh juni merasa ada yg ganjil. Sebab jalanan sdh lama mereka susuri namun tak kunjung sampai.

Pria jahat ini telah membawanya ke Tanjung Riau. Dan ustzh Juni tak tahu sama sekali tentang daerah itu. “Bang, kok belum nyampe-nyampe juga? Saya pernah dulu nyasar ke Sekupang, ada ini ada ini, ada kuburan Kristen, koq sampe sekarang belum jumpa juga, lama kali, kan udah jauh kan, udah sunyi lagi?”

Si Abang menjawab, “Oh, mau gak motong?”

“Motong? Dari mana?”

Pria tersebut menunjukan jalan menuju seperti hutan. Ustzh Juni mulai curiga. Ketika memasuki daerah itu, setelah agak jauh, beliau bertanya, “Bang, kok sunyi?”

Si abang menghentikan motornya, dan menahan laju motor ustzh Juni. Pria itu mengeluarkan sebuah gunting. “ Turun!!! Mau mati atau mau hidup?”

Juni terkesiap. “Kenapa Abang ini? Bicara baik-baiklah Bang, kalau mau motorku ambil, mau handphoneku, ambil…”

Pria itu tak menjawab. Malah dengan satu sentakan yang keras, ia menarik jaket ustzh Juni. Ustzh berontak. Ia diseret lelaki itu. Selintas beliau berpikir, pria ini hendak memerkosanya.

Pria itu terus menyeret Juni, dan berusaha untuk membuka helnya. Merasa gelagat sudah tidak beres, Juni berusaha bangkit, dan sebisa mungkin memukul orang tersebut. Ia berusaha meraih kayu untuk memukul si lelaki yang sudah beritikad tidak baik tersebut. Tapi sia-sia. Tenaga lelaki itu terlampau besar untuknya.

Lelaki itu berhasil mempreteli jaket yang dikenakan ustzh Juni. Tapi tidak baju gamisnya. Ia menyekap ustzh juni. Ustzh sholehah ini terus berontak dan menjerit-jerit. Kesal, si lelaki itu memukul sang ustzh sekuat tenaga. Gadis ramah ini menggelosor ke tanah, dan pura-pura pingsan. Si lelaki menyangka ustzh Juni  pingsan betulan. Ia menjadi agak lengah, sementara Juni berdoa dalam hatinya, “Ya Allah, ini makhlukMu,… janganlah matikan aku di tempat seperti ini dengan cara yang seperti ini.” Juni terus berdoa tiada henti. Juni mengumpulkan tenaga dan dengan sebat, sambil berterak keras “Allahu Akbar!”, Juni menendang si lelaki. Juni tidak tahu bagian mana yang ia tendang.

Si lelaki beringas kembali. Ia kembali menodongkan gunting ke arah ustzh Juni. “Kamu mau mati ya?”

ustzh Juni menukas dg garang, “Lebih baik aku mati!”

Si lelaki merangsek dan menusukkan gunting itu beberapa kali ke perut ustzh.  Tapi ajaib, ketika itu, ustzh Juni tidak merasa sakit, dan tak ada darah yang keluar dari perutnya. Melihat itu, si lelaki tambah beringas. Diarahkannya gunting itu ke leher sang ustzh. Digesek-gesekkannya sepenuh tenaga. Ustzh Juni berusaha melindungi dengan tangannya sambil bertanya-tanya dalam hati,  “Ya Allah, udah putus belum ya urat leherku ini…”

ustzh Juni bisa bangkit. Si lelaki kalap. Mungkin karena Juni ternyata masih belum mati juga. Juni sendiri tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ada di kepalanya hanya satu, ia berdoa agar ia selamat dan tetap terjaga.

Si lelaki yang geram kemudian menerkam Juni dengan sambil tetap menusukkan guntingnya ke seluruh tubuh Juni. Juni terjerambab. Ia meronta-ronta. Sekarang, ia merasakan mulutnya berdarah. Ia terus meronta-ronta.

ustzh juni terjengkang kembali. Menggelosor di tanah. Tak bergerak. Si laki-laki tampaknya menyangka sang ustzh sudah mati, dikarenakan tusukan dan pukulan sudah bertubi-tubi mencabik tubuh Juni.

Entah dapat pikiran dari mana, ustzh Juni perlahan bangkit, berdiri dan menghampiri si lelaki itu. “Aku hidup kembali…” geram Juni pada lelaki itu.

Tanpa dinyana, si lelaki itu terlihat jelas ketakutan. Ustzh Juni sendiri berpikir ketika itu ia sudah mati. Ia dengan jelas bisa merasakan bahwa muka dan tubuhnya dipenuhi darah. Giginya sudah tanggal di beberapa bagian, dan akibatnya penglihatannya juga kabur, sama-samar.

Si lelaki berlari. Juni mengejar. Seluruh tubuh Juni sudah dipenuhi dengan darah. Tangan, rambut, muka, dan kaki Juni dibaluti warna merah.

Ketika si lelaki sudah kabur, ustzh Juni duduk menggelosor, lemas dan lemah. Ia mencoba meraih tasnya, namun susah karena tangannya berlumuran darah. Pun begitu ketika akan meraih telepon selulernya. Dengan sekuat tenaga, ia meraih, dan berhasil.

Biasanya, sinyal ponsel di daerah itu selalu jelek, namun saat itu, mungkin dengan izin Allah, tidak ada gangguan. Juni langsung mencoba menghubungi kawannya yang terdekat.  Tapi tidak bisa karena tangannya penuh darah.

ustzh Juni diam. Ia tidak bisa melihat. Dan sejenak, samar-samar dan jauh, Juni terbayang, siapa yang akan menemukannya di hutan yg gelap? Sepuluh menit berlalu, dan pikiran ustzh Juni juga tidak bisa mengenyahkan bayangan jika lelaki jahat itu datang kembali.

ustzh Juni berusaha bangkit. Ia berusaha mencari jilbabnya. Alhamdulillah, ia menemukannya. Namun ia tidak berhasil menemukan jaketnya. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, yang ada dalam pikirannyai adalah, ia akan segera keluar dari hutan, dan mungkin bertemu dengan orang banyak, sehingga ia harus mengenakan penutup auratnya.

Keluar dari hutan, ustzh Juni terus berjalan, namun hanya beberapa langkah, tenaganya habis. Ia terduduk.

Ketika itu, lewatlah seorang anak laki-laki tanggung. Tentu anak laki-laki itu kaget. Namun Juni berusaha meminta tolong untuk menelepon orang-orang penting lewat ponsel miliknya.

Beberapa saat kemudian, berdatangan orang-orang. RT setempat berusaha mengamankan motor Juni dan ia dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Ustzh di rawat di RS selama sepekan, para aktivis PKS batam setiap hari datang menjenguk. Sebagian dr mereka Gantian menemaninya selama di rawat.

InsyaAlloh saat sanlat Ramadhan nanti. Ustzh juni akan kembali membimbing anak2 anda dg kelembutannya yg khas.

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2615086098566109&id=100001942342007

Selasa, 05 Mei 2020

Panahan Indoor

Terima kasih kami ucapkan atas partisipasinya mengirimkan tulisan ini kepada team CerpenUpay.

Langsung saja ke kisahnya.

pagi-pagi sekali aku terbangun, sadar sudah pagi aku segera melihat jam. Ternyata angka sudah menunjukkan jam enam pagi tak sia-sia lagi, aku harus cepat bersiap. Keluargaku pun begitu, kenapa harus bersiap-siap, apalagi di hari libur ini? Itu karena aku, dan adikku akan mengikuti sebuah lomba yang menurutku seru, yaitu panahan. Dan beda lagi, ini lebih spesial tempatnya. Yap di Indoor. Tempatnya di Universitas Tidar, Magelang.

Sesampainya di tempat, aku segera turun dari mobil bersama adikku,

" Dek, ayo turun. sepertinya kita sudah ditunggu pelatih," kataku mengajaknya dan langsung mengambil tas busurnya di bagasi mobil.

" Oke, kak,"

" Ya sudah, kalian kesana dulu. Nanti Ibu sama Ayah nyusul," kata Ibu menimpali.

Akupun kesana, disana sudah banyak sekali teman-temanku satu klub panahan datang lengkap. Sepertinya hanya kita berdua yang terlambat, itupun dari rumah sendiri, yang lain mah sudah kemarin kesini, terus pakai menginap di hotel.

" Hai, Han. Sini!" panggil teman-temanku, mereka juga teman sekolah. Kenapa begitu? Ceritamya panjang deh. Kita berempat ikut panahan jadi kayak kompak gitu.

" Eh kalian, waahh pada nginep yee?" godaku, pada mereka bertiga.

" Iyalah, kamu sih gak mau," jawab Farah yang gayanya gaspoooolll banget.

" Elah kan udah aku bilangin nduk, kan tergantung orangtuaku. Enak gak sekamar tiga orang?" tantangku sedikit iri.

" Enak doong, adeemm..," kali ini yang jawab Rani, seorang anak yang sangat sehat

"Enak mbahmu! Kita yang mendengarkan kamu merdu sekali dalam mengorok!" ejek Hira orang yang sangat cuek, dan galak.

" Oke-oke, dah ah aku daritadi ni lohh, gak masang-masang busurnya," timpalku.

Segera saja aku pasang busurnya dengan kedua sayapnya, kanan dan kiri, lalu fisirnya untuk melihat targetnya, stabilizer, arm guard, cash guard, button nya, finger tab, quiver, anak panah. Setelah semua lengkap, lalu kakak-kakak pelatihku menyuruh kita semua untuk melakukan pemanasan terleih dahulu dan melakukan berdoa bersama.

" Anak-anak sebelum kita kesana dan tanding, kita akan ber-tos bersama dan teriak untuk yel-yel nya!" seru pelatih kami yang memimpin.

" Baaiiikkk KAK!" kompak kami berseru.

" SELABORA PANAHAN FIK UNY!"

" Jaya-Jaya Juara!!" jawab kami dengan keras.

Lalu kami semuapun memasuki indoornya, dan segera memasangkan pelengkapannya, menyiapkan anak panah, lalu dipasang anak panah itu, dan lepaskan.

Itulah perjuanagan kami di indoor lebih berat daripada di luar outdoor. Karena tak menyangka perlombaan akan berakhir sampai tengah malam, apalagi yang masih terus bagus nilainya, itu bisa lebih pagi. Ahh.., yang penting semangatnya dalam berjuang mendapatkan kemenangan dari banyaknya lawan yang mengikutisertai ini. SUKSES SELALU!!

SELESAI

Senin, 04 Mei 2020

Kisah Pilu Arie Hanggara

Dimasa yang bahkan internet belum ada, social mediapun belum juga ada, kisah Arie bisa begitu viral dimedia-media Indonesia bahkan media asingpun meliputnya. Tidak hanya itu, kisahnya bahkan difilmkan yang diperankan oleh Dedi Mizwar sebagai Ayah Ari.

Bagaimana kisah pilu Arie Hanggara dimulai? Berikut ini rangkuman kisahnya. Seperti biasa, BC selalu menyertakan link originalnya sebagai penghargaan kepada penulis asli.

Kisah Pilu Arie Hanggara

Sebuah makam berukuran 2x1 meter di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi penanda akan kekejaman orangtua serta ibu tiri terhadap anaknya. Setelah 30 tahun, makam itu kini tak terurus. Namun, ceritanya tak pernah usang karena terus berulang.

Di makam itu bersemayam jasad bocah berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang hingga kini selalu diidentikkan dengan kekerasan orangtua terhadap anaknya. Arie lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1976 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984.

Arie Hanggara adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 memunculkan kesedihan sekaligus kegeraman publik.

Ia boleh dikatakan lahir di tengah keluarga yang timpang. Sang ayah Tino adalah seorang yang pemalas dan tukang janji kelas kakap. Bahkan, saudara dari pihak istrinya menggunjingkan Tino sebagai pejantan yang hanya mampu bikin anak.

Makam Arie Hanggara

Karena tak punya pekerjaan, sementara dia punya harga diri yang tinggi di tengah kondisi Jakarta yang menuntut terlalu banyak, Tino dan istrinya Dahlia Nasution kerap bersitegang. Sang istri akhirnya kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek.

Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan hidup bersama istri barunya bernama Santi. Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Tino dan Santi serta 3 anak Tino yaitu Anggi, Arie, dan Andi.

Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.

Sindiran Santi yang menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.

Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5.

Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. "Ayo minta maaf dan mengaku," teriak Santi.

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.

Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.

Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.

Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.

Film Arie Hanggara

Setahun kemudian, sebuah film yang disutradarai Frank Rorimpandey mengisahkan nasib tragis Arie. Dibintangi Yan Cherry Budiono sebagai Arie, Deddy Mizwar memerankan Toni dan Joice Erna sebagai ibu tiri, film berjudul Arie Hanggara ini mendapat tempat di hati penonton.

Film dengan durasi yang cukup panjang ini, 220 menit, kemudian menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak pada 1985. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekitar 382.708 orang.

Di makam Arie Hanggara terlihat tulisan: maafkan mama, maafkan papa. Konon, sang ayah kandung dan ibu tiri yang meminta tulisan tersebut. Kata maaf yang terlambat. Makam di TPU Jeruk Purut itu jadi saksi pilu kekerasan terhadap anak.

Kurang lebih 30an tahun lalu, Jakarta, bahkan Indonesia, dihebohkan dengan kasus kekerasan terhadap anak. Media-media besar menurunkan laporan berseri berhari-hari, mengikuti dari proses pemeriksaan kepolisian hingga pengadilan. Majalah Tempo bahkan, menurunkan laporan khusus untuk membahas masalah ini. Kasus kekerasan terhadap anak pada masa tersebut bukan hal baru, tapi kasus Arie Hanggara mencuat karena mengusik hati manusia: kok tega “membunuh” anak?

Arie Hanggara berumur tujuh tahun saat meninggal pada tanggal 8 November 1984. Hasil otopsi menunjukkan memar di sekujur tubuh termasuk bagian kepala dan bekas ikatan di pergelangan tangan dan kaki. Sebelum meninggal, Arie ditampar berkali-kali oleh ayahnya, kepala dibenturkan ke dinding, dipukul dengan gagang sapu, disuruh berdiri jongkok ratusan kali, dan dikurung satu malam di kamar mandi.

Tetangga mengaku pada malam itu, dan juga hari-hari sebelumnya, mendengar hardikan keras “HADAP TEMBOK!” Tapi mereka hanya diam, tak bertindak, tak menolong.

Subuh dini hari, Arie Hanggara ditemukan terkulai, tak sadarkan diri. Nyawanya tak tertolong.

Sang ayah mengatakan, kekerasan bagian dari pendisiplinan. Si ibu, menyebut tekanan ekonomi membuat ia sering lepas kontrol. Tetangga berdalih, mereka diam karena segan campur urusan rumah tangga orang lain.

Semua punya alasan. Maafkan Mama, Maafkan Papa, Maafkan Tetangga. Sayang, kata maaf yang terlambat itu, tak bisa menyelamatkan nyawa Arie.

Film:https://www.facebook.com/TheLookDW/videos/336444113789059/?app=fbl

Youtube Film Arie Hanggara:

https://youtu.be/CZV9bv7R1o8

cuplikan Film Arie Hanggara

https://youtu.be/xR8diYik8f4

sumber:m.liputan6.com

dan berbagai sumber

Rewrite from:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2475118035880188&id=386882044703808