Tampilkan postingan dengan label kisah nyata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kisah nyata. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

Sahabat Bayang-Bayang

Tulisan yang saya muat kali ini kiriman dari "Dinik Afrianingsih". Saya ucapkan banyak terima kasih atas kirimannya.Cerita ini fiktif dan hanya karangan semata. Mohon lebih bijak dalam me ngambil maksud dari inti cerita ini. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Sahabat Bayang-Bayang

Tak pernah ada rasa sesal yang hinggap dalam hati kecil ini. Ataupun rasa takut, tak pernah terpikir dan terasakan olehku. Gadis muda yang penuh imajinasi. Apa salahnya berteman bahkan bersahabat? Tak salahkan? Tapi, mengapa semua memandang penuh keanehan padaku? Mereka selalu bertanya ‘Kenapa harus kamu?’. Sementara aku hanya bisa menatap bingung tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Hei, Forehead! Apa yang kau pikirkan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Ah, kau mengagetkanku Ino pig.” jawabku sambil menatapnya dengan kesal. Tentu itu hanya sebuah gurauan. Tak pernah aku merasa benar-benar kesal padanya. Teman ‘Nyataku’ Yamanaka Ino.

“Jadi apa yang membuat sahabatku Haruno Sakura melamun? Sasuke kah? Atau Naruto?” tanyanya penuh selidik padaku. Ah ya namaku Haruno Sakura. Sasuke dan Naruto yang disebut-sebut oleh Ino adalah temanku juga. Lebih tepatnya Teman kecilku.

“Bukan keduanya Ino. Apa aku terlihat begitu perduli dengan mereka yang seenak jidatnya meninggalkanku sendirian di club kemarin? Jawabannya TIDAK!” jawabku sewot. Cih, jika menyangkut kedua pria brengsek itu aku mulai naik darah. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Argh mengingatnya saja sudah membuatku emosi.

“Lalu? Masalah apa lagi?”

“Hanya masalah kecil, mungkin?” jawabku ragu. Dan karena itu membuat salah satu alis temanku pig ini terangkat keatas. Pertanda dia tidak mengerti.

Akupun menghela napas maklum. “Kau masih belum ngeh ya?” dan anggukan adalah jawabannya. “Aigoo…” akupun mulai gemas. Padahal kami sudah berteman cukup lama dan sudah sering curcol bersama tapi tetap saja…

“Ah, aku ingat!!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk di depan mukaku.”Masalah itu ya? Tentang ‘SAHABATMU’ itukan? Kenapa lagi?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Inopun mulai memaksaku untuk bercerita. Namun, aku tetap diam tak mau bercerita. Dia terus mengoceh tentang persahabatan dan kebersamaan kami. Akupun mulai memandang langit dan mengingat kembali ‘SAHABAT’ ku itu. Semua berawal dari kejadian itu.

Hujan lebat turun dengan sambaran petir yang tak bersahabat membuat siapapun menjadi takut. Termasuk aku yang berada di dalam rumah sendirian. Ayah dan Ibuku pergi keluar kota untuk urusan bisnis dan sepupuku Sasori juga sedang menginap di rumah temannya. Itulah mengapa aku sendirian.

Saat itu aku berumur lima tahun dan masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian di rumah yang sangat luas. Aku hanya dapat meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk taddy bear kesayanganku. Tubuhku bergetar ketakutan saat mendengar suara petir yang menyambar dengan keras. Seolah mereka menyambar-nyambar diatas kepalaku. Apa lagi saat itu semua lampu padam, tak ada sedikitpun cahaya yang ada hanya sinar petir yang menakutkan.

Dan kesalahan itupun dimulai, Saat kusembunyikan wajahku di balik boneka kesayangan milikku, aku merasakan kehangatan dari tangan seseorang yang menjalar dari punggung tanganku. Tangan itupun mulai merambat kepunggungku dan memeluk tubuh mungilku. Kehangatannyapun mulai merasuki diriku. Hingga…

“Jangan takut aku disini…” bisikan halus tepat di telingaku dan hembusan napas yang dihembuskan ke tengkukku. Akupun diam membeku.

“Jangan takut, aku temanmu Sakura-sama”. Teman? Temanku?. Siapa? Ingin kupastikan siapa dia. Namun rasa takut lebih kental daripada rasa ingin tahuku. Sasuke? Tapi tidak mungkin jika dia. Naruto? Tidak mungkin dia ada di Amerika sekarang. Lalu siapa? Akupun tidak berani melihatnya dan semakin kutenggelamkan wajahku ke boneka itu.

“Itu hanya sebuah petir yang menyelingi hujan. Bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi kau tidak perlu sampai setakut ini” ucapnya menghiburku. Tentu saja dengan berbisik seperti sebelumnya.

“Ibu… Ayah…” gumamku.

“Aku temanmu. Neil…” Akupun tertegun sesaat saat mendengarnya. Neil. Itukah namanya? Akupun mulai memberanikan diri untuk menatap dirinya. Dan senyuman menenangkan di wajahnyalah yang pertama kulihat.

“Neil…” kuulangi namanya dan saat itu pula senyumannya semakin lebar. Neilpun memelukku kembali dan terus berkata jika kami teman dan menenangkan diriku agar tidak ketakutan lagi.

Itulah awal pertemuan kami dan awal dari bencana dalam hidupku…

***

“Sakura hari ini ayah dan ibu akan pergi untuk perjalanan bisnis selama sebulan jadi-”

“Hn aku tak apa. Jadi tenanglah ok!” potongku saat ayah mulai menjelaskan maksud dinner keluarga ini.

“Saku sayang jangan memotong ucapan orang tua ya? Itu tidak sopan” tegur ibuku halus sambil mengelus kepalaku.

Secara perlahan kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Aku tidak pernah menyukainya. Mereka seolah menyayangiku namun nyatanya mereka mengacuhkanku selalu.

“Tolong jangan seperti ini bu. Aku bukan anak kecil lagi.” jelasku sambil memotong steak di hadapanku.

Brakk…

“Haruno Sakura!” bentak ayahku padaku saat melihat perilaku putri semata wayangnya ini. Terlihat dengan jelas jika nafsu makannya hilang seketika itu juga, Wajahnya mulai memerah karena marah dan kedua alisnyapun mulai bertaut tanda tak suka.

“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar dulu. Terima kasih atas makanannya.” ujarku sambil membungkuk tanda hormat  kepada mereka sebelum  aku melenggang pergi dari ruang makan. Saat aku mulai menaiki tangga sempat kutolehkan wajahku kearah kedua orangtuaku. Kesal, sedih, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu dan terukir jelas di wajah mereka. Tapi, apa peduliku? Kutatap datar mereka dan melenggang pergi ke kamarku di lantai dua.

Kubaringkat tubuh sintalku di kasur empuk milikku. Aku mulai memandang langit – langit kamar. Lelah. Itu yang kurasakan sekarang. Kuletakkan tanganku menutupi  sinar lampu yang menyilaukan.

“Ada apa? Bertengkar lagi?” tanya seseorang di sampingku. Neil?.

“Kenapa?” tanyanya lagi tepat di telingaku. Kuturunkan tanganku dan kutolehkan kepalaku ke samping. Dapat kulihat senyumnya yang hangat dan mata penuh rasa ingin tahu.

“Seperti biasa” jawabku seadanya sambil tersemum melihatnya. Karena kurang nyaman dengan posisiku akupun mengubah posisiku berbaring menyamping menghadap Neil.

“Oh,.” Komentarnya mengerti. Diapun menatap lekat diriku. Tangannya mulai memaikan ramput bubblegumku seperti biasa. Dan itu tidak membuatku terganggu. Entah kenapa.

Kuperhatikan wajah pria dihadapanku ini dengan lekat. Rambut hitam arang yang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu. Tak ada yang bisa membuat diriku berpaling darinya, dari Neil.

“Lihatlah dirimu hime… Untuk kesekian kalinya aku tahu kau menatap diriku penuh nafsu hahaha” ucapnya sambil terkikik tidak lupa dengan jari telunjuknya yang mencolek - colek pipiku.

“Tidak! Aku tidak melihatmu penuh nafsu kok!” belaku. Aku merengut saat melihat ekspresi Neil yang tidak percaya pada ucapanku. Melihat hal itu Neil terkekeh.

“Neil?”

“Ada apa hime?”

“Kau tidak akan meninggalkanku kan?” Neil menggeleng kepalanya dan berkata.

“Tidak akan pernah aku pergi meninggalkanmu sendirian. Kitakan sahabat. Aku janji” ucapnya mantap sambil mengacungkan jari kelingkingnya tanda perjanjian dan akupun menautkan kelingkingku tanda persetujuan dariku.

Setelah itu Neil semakin sumringah dan memelukku erat. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dipeluk olehnya. Neil sahabat terbaikku.

** *

Tanpa Sakura sadari di balik pintu kamarnya Tuan dan Nyonya Haruno mendengar semua yang dia ucapkan. Ibunya menitikkan air mata tanda kesedihan dan ayahnyapun memeluk sang istri mencoba menenangkan. Karena tidak kuasa dengan apa yang terjadi merekapun kembali ke kamar tidur mereka.

***

Sebulan telah berlalu dan kini keluarga Haruno berkumpul kembali namun bukan di rumah megah mereka tapi di suatu tempat yang asing bagi Sakura.

“Dimana kita?” tanyanya pada sang ibu yang sedari tadi merangkulnya.

“Nanti kau juga tahu nak.” jawab sang ayah yang masih berjalan dibelakang mereka. Terlihat jelas diwajah Kizashi  kegusaran yang teramat dalam namun inilah jalan terakhir. Demi dia, putri tercintanya.

“Kizashi sama?” panggil seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu besar bercat hitam. Tangannya melambai pada Kizashi dan dibalas dengan anggukan.

Saat Sakura sekeluarga sampai dihadapannya. Wanita paruh baya itupun menyodorkan tangannya pada Sakura. Bigung. Pelan tapi pasti Sakura mulai menyodorkan tangannya untuk menyalami wanita dihadapannya. Namun…

‘Jangan!’ Neil?!. Mata Sakura terbelalak kaget. Dia yakin itu suara Neil sahabatnya.

Dia mulai menoleh kesana kemari mencari Neil. Namun nihil Neil tidak ada. Apa itu hanya khayalan Sakura saja?. Mungkin. Tapi, hatinya mulai gusar. Dia sangat yakin itu tadi sara Neil.

“Ada apa?” tanya wanita di hadapannya. Seolah dia tahu kegusaran Sakura.

“Tidak. Tidak apa” jawab Sakura sedari menoleh ke belakang mencari Neil.

“Kalau begitu ayo masuk” ajak wanita itu. Sakura sekeluargapun memasuki ruangan yang berada dibalik pintu besar bercat hitam. Sesaat Sakura mulai terpesona melihat interior ruangan tersebut. Sangking terkagumnya Sakura tidak sengaja menabrak guci besar di depannya. Namun dengan cepat ditanggap oleh sang Ayah.

“Hati – hati Sakura.” ujar sang Ayah. Sakura hanya mengangguk dan mengatakan, “Sumimasen”.

“Daijobu, duduklah dulu.Ah ya namaku Senju Tsunade tadi kita belum sempat berkenalan kan? Aku kawan lama ayahmu Saku-chan” ujar wanita bernama Tsunade itu.

Sen-ju Tsu-na-de sepertinya nama itu tidak asing bagi Sakura. Sakura mengernyit bingung. Dan saat itupula tanpa sengaja dia melihat sebuah foto yang cukup besar di pojok ruangan. Tapi, sayang foto itu ditutup dengan kain sehingga hanya terlihat wajah Tsunade saja.

Tsunade yang elihat rasa penasaran Sakura langsung mengikuti arah pandangnya. Diapun tersenyum lalu berkata, “Apa kau penasaran dengan foto itu?”.

Sakura yang kaget saat itu langsung menunduk dan merona.’Aish ketahuan malunya.’ Melihat itu Wanita berbaju hijau itupun tertawa lepas.

“Hahahahahahahaha… tidak apa jika kau memang penasaran sayang. Sudah biasa kok. Hahahaha” ujarnya disela-sela tawanya.

“Ah, ya jika boleh tahu kenapa aku diajak kemari?” tanya Sakura yang mulai sebal dengan sikap wanita di hadapannya ini.

Sekejap kemudian semua diruangan itu diam tak bersuara. Kizashi beserta sang istri membungkam diri, mereka takut untuk mengatakannya. Tsunade yang sedari tadi tertawapun diam dan menatap tajam kearah Sakura.

“Haruno Sakura” panggilnya. Wajahnya tampak serius menatap Sakura yang mulai tegang. ‘Ada apa ini? Kenapa suasananya berubah menjadi setegang ini?’ piker Sakura.

“Sudah lima belas tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Ini kali pertama kita bertemu kembali.”

“Ha? Lima belas-tahun?”

“Sepertinya kau tidak ingat aku. Hah, tapi wajar jika kau lupa padaku dan segelku terlepas. Seandainya aku tidak membawamu ke rumah itu kau pasti hidup normal sekarang” jelas Tsunade yang membuat Sakura semakin bingung.

“Apa maksudmu nyonya? Ibu? Ayah?” Sakura mencari kejelasan pada mereka yang ada di sekelilingnya. Namun… dapat dilihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh sesal dan sang ibu yang hamper meneteskan wajahnya.

Brakk… Sakura menggebrak meja. Dia mulai kesal dengan apa yang terjadi. Dilangkahkan kakinya kearah pintu besar itu. Tak dipedulikannya ketiga manusia itu dia ingin keluar dan pulang melupakan keanehan hidupnya hari ini.

“Tidakkah kau penasan dengan foto itu?” hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Tsunade langkah kaki Sakura berhenti seketika. Dia penasaran amat penasaran namun dia juga harus secepatnya pergi dari sini. Gagang pintu sudah ada dipegangannya lalu apa lagi yang perlu dipikirkannya.

“Neil. Tadayama Neil. Kau mengenalnya?” Deg. Secepat kilat Sakura langsung menoleh kearah wanita berambut pirang yang duduk di sofa penjang itu.

“Siapa kau? Bagaimana bisa kau…”

Tsunade menatap gadis bubblegum itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam. Bagaimana tidak? Karena dirinya seorang gadis muda harus menerima ikatan yang tidak seharusnya. Ikatan iblis yang memakan jiwanya secara perlahan dan membawanya kedunia bawah yang mengerikan.

“Aku Senju Tsunade . Aku penjaga Neil.” ujarnya penuh penekanan.

Bingung. Itulah yang dirasakan Sakura saat ini. Bagaimana tidak syok coba? Jika wanita yang mengaku kawan lama ayahmu sekarang mengaku kalau dia seorang penjaga dari sahabatmu. Dan lagi bagaimana bisa dia mengenal sahabatnya Neil dan nama panjangnya padahal dirinya saja tidak tahu nama panjang Neil. Tapi, tapi, bagaimana bisa? Argh!

“Sakura…” panggil Tsunade sendu. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di hadapan Sakura. Sementara Sakura yang masih berdiam diri di depan pintu kembali menatap Tsunade penuh tanya dan bingung.

“Aku tahu kau bingung bagaimana bisa aku mengenal Tadayama Neil.” Secara otomatis Sakura mengangguk. Tsunade menghembuskan nafas beratnya.

“Ini sudah pada batasnya dan kau harus tahu hal penting ini Sakura.” Tsunade mulai berjalan sambil menarik Sakura agar mengikutinya. “Bukankah kau penasaran dengan foto besar ini?”

Sakura diam dan menoleh kebelakang melihat ayah dan ibunya. Merekapun menatap Sakura penuh kasih dan cinta. Sang ibu mengangguk pada Sakura seolah berkata ‘ayo nak’. Dia menoleh dan menatap bingkai foto besar dihadapannya.

Kain hitam itupun ditarik oleh Tsunade dan semakin terlihat jelas foto siapa saja itu. Di dalam foto itu dapat dilihat Tsunade berdiri di tengah-tengah dua orang pria dewasa yang entah siapa itu. Lalu didepan mereka bertiga ada sosok pria muda berambut hitam arang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu.

“Itu aku dan kedua suamiku. Yang rambut hitam panjang itu bernama Orochimaru sedangkan pria berambut putih panjang dan berantakan itu bernama Jiraiya. Dan pemuda yang duduk dihadapan kami adalah…”

“Ne-il” potong Sakura yang menatap lekat foto pemuda itu. Wajahna mengeras, tangannya mengepal menahan amarah.

‘Pergi Sakura. Pergilah dari sana Sakura!’ Secepat kilat Sakura menoleh kebelakang setelah mendengar suara itu.

“Neil!” Panggilnya. Sekarang dia semakin yakin jika sahabatnya itu ada disini. Tapi kenapa dia tidak dapat melihatnya.

“Kau dimana Neil? Keluarlah!” ujar Sakura sambil mengelilingi ruangan dan sesekali menengok kesana kemari. Melihat hal itu Kizashi dan istrinya mencoba menghentikan Sakura dengan memeluknya.

“Hentikan Sakura! Dia tidak ada Sakura! Tidak ada!” yakin Kizashi pada sang putri yang memberontak di pelukannya. Sakura menoleh pada sang ayah dan menatapnya dengan rasa benci.

“Memang siapa kau berani-beraninya melarangku?! Hanya karena kau ayahku bukan berarti kau bisa bicara seperti itu!” ujar Sakura sinis pada sang ayah. Kizashi dan istrinyapun kaget mendengan ucapan putri mereka. Sementara Tsunade menatap nanar gadis yang memberontak itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus mencari Neil!”

“Apa yang dikatakan ayahmu benar Sakura. Neil dia tidak ada. Dia sudah mati” Jelas Tsunade sambil memegang kedua bahu Sakura mencoba meyakainkannya.

Deg. Syok. Sakura berhenti berontak. Dia diam seketika setelah mendengar itu. Matanya membulat kaget, mulutnya terbuka kaku seolah sulit untuk berbicara.

“Neil yang kau lihat setiap harinya. Yang ada di sampingmu selama ini hanyalah bayangan Sakura. Dia tidak nyata” Tsunade mulai menangis saat mengatakannya. Sementara ibu dan ayahnya telah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

Sakit. Itu yang Sakura rasakan sekarang. Dipegangnya dada kirinya sakit dan perih itu bercampur menjadi satu. Kecewa dan sedihpun telah meluap menjadi tetesan air mata yang mulai merembes keluar dari kelopak matanya membanjiri pipi putihnya. Sakura hanya dapat meringis menghadapi kebodohan dirinya saat ini.

***

Sementara itu dapat kita lihat terdapat sosok gelap di atas pohon maple berdiri dengan aura hitam terpancar dari seluruh tubuhnya. Wajahnya sangat datar namun terlihat jelas jika dia sangat marah. Matanya memancarkan semua emosi itu.

“Tsu-na-de” ucapnya lirih.

Awan hitam muncul entah darimana, berkumpul menutupi sang mentari yang indah. Diikuti dengan suara guntur yang menggema dan kilat yang mulai menyambar-nyambar.

“Rasakan akibatnya jika kau mencoba merebut milikku” ujarnya dengan evilsmirk yang terpahat dibibir sexynya. Melunturkan senyum ceria yang biasa menjadi kekhasan dirinya.

***

Tsunade menoleh kearah jendela. Dapat dirasakan olehnya bahaya yang akan muncul sebentar lagi. Aura khas yang hanya muncul dari seseorang yang paling dikenal olehnya. Orang yang telah tiada lima puluh tahun yang lalu. Tadayama Neil.

Prang… Pyar… Seketika itu pula semua kaca dan guci yang ada diruangan itu pecah begitu saja. Semua orang termasuk Sakura kaget dan mulai takut. Dan berlanjut dengan barang-barang yang mulai terbang sendiri tidak ada yang mengendalikannya. Namun anehnya hanya benda-benda tajam yang melayang. Ada apa ini? Ada apa lagi?

Sakura mulai pening dengan keanehan ini. Kenyataan pahit yang dialami olehnya. Dan masih menjadi misteri dalam kehidupannya. Tapi ada hal yang masih dia bingung lalu Neil itu apa?

“Tsunade san. Lalu siapa Neil?” tanya Sakura  yang masih linglung kurang memahami bahaya yang akan datang. Sementara  ibu dan ayahnya hanya dapat tepuk jidat karena kurang pekanya putri mereka. Tsunade menghela nafas maklum dan akan menjawab namun…

Angin berhembus kencang ke dalam ruangan tersebut dan dapat dilihat bayangan seseorang yang berdiri diatas pagar pembatas sambil menyender pinggiran jendela. Tak lupa dengan evilsmirknya.

“Ohayo minna…” sapa sosok itu. “Dan ohayo Sakura sama” lanjutnya sambil menatap Sakura yang terpaku padanya. Setelah membungkuk sebagai tanda hormat sosok itu kembali keposisi tegapnya dan menoleh kearah Tsunade dengan menatapnya penuh benci.

“Hmm… Lama tak berjumpa obasama. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil mendekati Tsunade yang semakin mundur saat didekatinya. Dan berhenti tepat didepan Sakura dan orangtuanya.

“Ah ya ini juga kali pertama kita bertemukan? Maaf atas ketidak sopananku” ucapnya sambil membungkuk hormat pada Kizashi dan istrinya yang menatapnya takut. Sementara Sakura menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

Kesempatan. Tsunade mengambil salah satu pedang yang melayang dan menebas sosok yang membelakanginya tersebut namun… Prang! Pedang itu jatuh dan patah menjadi dua sebelum mengenai punggung sasarannya. Semua orang kaget termasuk Sakura. Mereka melihat Tsunade yang tak berdaya ada dicengkraman sasarannya tersebut.

“Inikah caramu menyambut kawan lama? Tsu-na-de” ujar sosok itu sambil mencekik leher wanita berkuncir dua itu. Tsunade hanya mendecih tak suka dengan sebutan ‘kawan lama’ dari sosok dihadapannya ini.

“Siapa kau?” pertanyaan itu memecah ketegangan yang ada diantara Tsunade dan sosok itu. Dan pertanyaan itu berasal dari balik punggung sosok tersebut yang sekarang memegang senjata berupa katana.

Kaget. Tentu saja. Setelah lima belas tahun lamanya mereka bersama bagaimana bisa sosok gadis ini melupakannya. Bercanda dia. Dilepaskannya cengkramannya pada kawan lamanya Tsunade dan berbalik menghadap gadis miliknya itu. “Sakura…” panggilnya.

Hening. Tak ada jawaban.

“Sakura. Ini aku” ucapnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak ada respon. Dia menghela nafas dan tersenyum maklum.

“Sakura ini aku Neil. Sahabatmu hime. Lupakah dirimu padaku?” ujarnya kembali sambil berusaha mendekati Sakura yang terus berjalan mundur sambil menghunuskan pedang kearahnya dengan setianya.

“Sakura turunkan pedangmu. Ini aku Neil” perih. Rasanya perih sekali saat melihat wanita yang kita puja tidak menghiraukan kita.

“Siapa kau?” mengakhiri kebisuannya. Dengan tatapan tajam dan tetap menghunuskan pedang kearah pemuda itu. Dapat dilihat kekagetan yang terpancar dari wajah rupawan Neil. Rahnggnya mulai mengeras pertanda amarahnya sudah diujung tanduk.

Neil mendesis tak suka dengan pertanyaan itu. Dia sudah muak dengan semua ini. Kenapa disaat dia akan hidup kembali menjadi manusia dia harus menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh penjaga brengseknya, Tsunade!

“Aku Neil. Tadayama Neil. Sahabatmu.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata.

“Siapa kau?” tanya Sakura lagi.

“Neil. Sahabatmu” jawab Neil sambil menatap Sakura tajam.

“Sekali lagi aku tanya padamu. SIAPA KAU?!” bentak Sakura penuh emosi menanyakan siapa dirinya. Diam. Semua orang diam saat mendengar bentakan Sakura yang sarat akan amarah.

Cukup. Neil tidak dapat menahannya lagi. Ditatapnya gadis kesayangnnya itu penuh kasih.

“Aku Neil, sahabatmu yang selalu ada untukmu. Yang selalu menemanimu dikala senang maupun sedih. Yang selalu memelukmu setiap malam. Yang selalu menghapus air mata yang keluar dari mata indahmu. Yang…”

“Selalu menghisap jiwaku setiap malam demi kehidupanmu. Benar?” potong Sakura. Ya Sakura sadar sekarang kesalahan besar dalam hidupnya.

“Neil…” ucapnya sendu. Sementara sosok yang dipanggil hanya diam tanpa suara. Nyatanya rahasia terbesarnya terbongkar sekarang.

“Aku…” air mata mulai jatuh membasahi pipi Sakura lagi.”Membencimu…”

Deg.

Prang… Prang… Prang…

Tak bisa. Tidak akan bisa. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sakura adalah miliknya. Sakura tidak boleh membencinya. Sakura adalah jembatan kehidupan keduanya. Tak bisa…

Kalau Sakura tidak mau menjadi miliknya. Maka kematian adalah pilihannya.

“Kalau begitu matilah…” ucapnya lirih sambil menyerang Sakura. Jleb.”Aaagh…” suara rintihan kesakitan itu menggema hingga keluar. Darah mulai mengalir dengan deras membasahi tubuh dan lantai disekitarnya. Semua terpaku kaget. Bahkan Neil.”Tidaaakkkkkk.…!!!!!!!!!!!!!” Suara gutur melengkapi jeritan tangis itu. Kilat menyambar-nyambar di atas rumah itu. Hujan turun semakin deras meredam jeritan-jeritan pilu yang menyayat hati. Langit menjadi saksi pengorbanannya untuk keluarga tercintanya.

***

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu Sakura…” ujar Kizashi pada sang putri tercintanya.

“Maaf jika kami membuatmu selalu kesepian Sakura” timpal Mebuki.

“Ini adalah pengorbanan yang impas untuk membalas kesedihanmu.” Ucap mereka.

‘Seandainya saja aku lebih memahami mereka…’

‘Mungkin mereka tak akan pergi’

***

“Hoi Sakura! Hoii” suara cempreng dari seorang pemuda membangunkannya dari kenangan masa lalunya. Pemuda pirang  yang membungkuk sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sakura menatap penuh tanda tanya. Dan berucap “Kau kenapa melamun?”

“Sakura memikirkan bagaimana caranya memberi pelajaran pada kalian berdua!” sentak Ino pada dua pemuda dihadapan mereka ini. Sementara Sakura, hanya diam melihat pertengkaran Ino dan Naruto. Sementara Sasuke masih menatap Sakura lekat seolah meminta kejelasan.

“Aku hanya rindu mereka saja hehehe” jawab Sakura sambil cengengesan.

“Hn” jawab Sasuke sambil duduk di samping Sakura “Maaf soal kemarin”

“Hn. Daijobu” ucap Sakura sambil tersenyum pada Sasuke.

Inilah hidupnya sekarang. Dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu ada untuknya. Walau dia hidup sendiri sekarang tapi rasanya masih terasa hidup bersama keluarga.

‘Neil, aku merindukanmu… Sahabatku….’

24 - 30 Desember 2015

Selasa, 19 Mei 2020

Dunia Tanpa Iblis dan Setan

Namun apa yang terjadi ketika Allah mengabulkan apa yang dimohonkan nabi Sulaiman?

Mari simak kisahnya !

Iblis merupakan makhluk laknatullah yang akan menggoda manusia agar memilih jalan menuju neraka. Sejak baru lahir hingga manusia menuju ajal, tidak akan pernah lepas dari godaannya. Golongan ini tidak akan membiarkan Bani Adam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Banyak manusia berpikir, jika demikian jahat iblis tersebut, mengapa Allah tidak membinasakannya saja. Tapi Allah tentu tidak menciptakan makhluk ini tanpa fungsi. Pernah suatu ketika, Nabi Sulaiman AS memohon kepada Allah untuk menangkap iblis dan memenjarakannya.

Nabi berharap ketiadaan iblis akan membuat manusia hidup lebih tentram dan damai tanpa dosa. Namun, apa yang terjadi  setelahnya membuat Nabi Sulaiman kembali melepaskan makhluk tersebut. Sebenarnya kondisi apa yang dialami dunia tanpa iblis dan setan? Berikut ulasannya.

Kisah ini dipetik dari buku Kisah-kisah Allah karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh. Dalam sebuah riwayat diceritakan bagaimana Nabi Sulaiman AS memiliki kekuatan penuh menundukan kalangan manusia, jin dan hewan.

Bahkan setan-setan kala itu menjadi pekerjanya untuk membawa dan mengimpor batu batuan, pasir serta bahan bangunan lain untuk membangun bangunan bangunan megah. Namun meski dengan kekayaan dan kekuasaan tersebut, ternyata Nabi Sulaiman mencari makan dari rezeki yang diperolehnya dengan berjualan tas di pasar. Padahal, didapur sang raja setiap hari selalu dimasak 4.000 unta, 5.000 sapi, dan 6.000 kambing.

Di dalam buku tersebut dituliskan sebuah riwayat saat Nabi Sulaiman AS memohon kepada Allah agar diperbolehkan memenjarakan Iblis.

“Ya Allah, Engkau telah menundukkan padaku manusia, jin, binatang buas, burung-burung, dan para malaikat. Ya Allah aku ingin menangkap dan memenjarakan iblis, merantai serta mengikatnya, sehingga manusia tidak berbuat dosa dan maksiat lagi.”

Namun, permintaan ini tidak serta merta dikabulkan oleh Sang Pencipta. Allah Ta'alaa kemudian mewahyukan kepada Nabi Sulaiman, bahwa tidak ada baiknya jika iblis ditangkap atau dibinasakan "Wahai Sulaiman, tidak ada baiknya jika iblis ditangkap".

Tapi Nabi Sulaiman tetap memohon, "Ya Allah, keberadaan mahluk terkutuk ini tidak ada kebaikan didalamnya".

Allah berfirman, "Jika iblis ditangkap maka banyak pekerjaan manusia yang akan ditinggalkan. Nabi Sualiman berkata, "Yaa Allah. aku ingin menangkap mahluk terkutuk ini selama beberapa hari saja. Kemudian Allah mengizinkan Nabi Sulaiman untuk menangkap iblis dan memenjarakannya.

Keesokan harinya, Nabi Sulaiman mengutus pekerjanya untuk berjualan tas ke pasar. Namun sesampainya di pasar, ada hal yang tidak biasanya terjadi. Pasar tersebut kosong tanpa penghuni. Semua pedagang menutup dagangan mereka. Pekerjanya lalu memberitahukan hal itu kepada Nabi Sulaiman alaihissalam.

Nabi Sulaiman as,  bertanya :" Apa yang telah terjadi ?"

Pekerjanya menjawab, " Kami  tidak tahu ".

Pada malam itu, Nabi Sulaiman tidak makan dan hanya minum air saja.  Pada hari berikutnya, anak buah Nabi kembali ke pasar untuk berjualan tas. Namun hal yang sama kembali terjadi. Pasar kosong dan tidak berpenghuni.

Ternyata setelah dicari tahu, manusia lebih banyak memilih menutup pasar. Mereka pergi ke masjid, dan menuju kuburan untuk mengingat  kematian, menangis dan meratap. Mereka sibuk mempersiapkan bekal menuju ke akherat tanpa memperdulikan lagi keindahan duniawi.

Hal ini tentu membuat sang Nabi keheranan. “Apa yang sedang terjadi” pikirnya. Nabi Sulaiman lalu bertanya kepada Allah perihal ini. Kenapa orang orang tidak bekerja mencari nafkah ?

Lalu, Allah mewahyukan kepada Nabi Sulaiman, "Wahai Sulaiman, engkau telah menangkap iblis itu, sehingga akibatnya manusia tidak bergairah bekerja mencari nafkah. Bukankan sebelumnya telah Ku-katakan kepadamu bahwa menangkap iblis tidak mendatangkan kebaikan.

Mendengar jawaban Allah, Nabi Sulaiman kemudian melepaskan Iblis dan bala tentaranya. Dan benar saja, keesokan harinya pasar kembali ramai. Manusia kembali bersemangat bekerja mencari harta dunia untuk makan dan memenuhi kebutuhannya. Jadi jangan berprasangka buruk terhadap ciptaan Allah meksi dia kita anggap tidak berguna sekalipun. Karena Allah lah yang maha tahu apa yang Dia ciptakan.

Sumber asli artikel klik di sini !

Selasa, 12 Mei 2020

Kisah Nyata perjalanan menemukan hidayah Chica Koeswoyo

Kisah nyata Chicha Koeswoyo.

Kisah ini sengaja kami publish di Blog Cerpen karna ceritanya menginspirasi dan semoga bermanfaat untuk para pembaca. Cerita ini diadaptasi dari akun Facebok Zula Zulaikha Afandi. Selamat membaca.

*********

MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #1

Namaku Chicha. Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama. Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Jawa Timur.

Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak Mama yang menjadi pendeta. Walaupun berbeda agama, Papa dan Mama tidak pernah mempunyai masalah. Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.

Sejak kecil aku dididik secara Kristen. Seperti anak-anak Kristen lainnya, aku diikutsertakan di sekolah Minggu. Setiap kali pergi untuk melaksanakan kebaktian, Papaku sering mengantarkan kami ke gereja. Intinya, kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal ataupun Hari Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari besar tersebut.

Usiaku sudah menginjak 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1, SMA Tarakanita. Rumah tempat tinggal kami sangat berdekatan dengan masjid. Terus terang, aku sangat terganggu dengan suara azan, apalagi di saat magrib. Suara azan dari Toa masjid begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Belum lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan magrib berkumandang, aku matikan televisi karena di semua chanel, semua stasiun menayangkan azan yang sama.

Di suatu magrib terjadilah sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka. Ketika itu azan magrib muncul di layar TV. Seperti biasa aku mencari remote control untuk mematikan televisi. Namun hari itu aku tidak bisa menemukannya. Dengan hati kesal kutelusuri sela-sela sofa, kuangkat semua bantal, kuperiksa kolong meja tapi alat pengontrol jarak jauh itu tidak juga terlihat. Karena putus asa, aku terduduk di sofa lalu duduk menatap layar TV yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya. Lalu apa yang terjadi?

Sekonyong-konyong hatiku menjadi teduh. Baris demi baris terjemahan azan tersebut terus kubaca dan entah karena apa, hati ini semakin sejuk. Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini sekan-akan ada suara yang berkata padaku, “Sampai kapan kau mau mendengar panggilanKu, Chicha. Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dariKu?”

Lalu aku menangis. Entah karena sedih, marah, bingung, galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu ada dan berbaur menjadi satu. Aku terus menangis tanpa tau harus melakukan apa.

Esok harinya, aku curhat pada adikku. Kami berdua memang sangat dekat satu sama lain. Adikku ini ternyata sangat berempati atas apa yang menimpaku. Dia tidak mengeluarkan satupun kata yang menyalahkan kakaknya bahkan dia berkata, “Aku akan support apapun kalau itu memang membahagiakan Kakak.”

“Terima kasih, Dik. Sekarang ikut, Kakak, yuk?”

“Ikut ke mana?” tanyanya.

Dengan diam-diam kami berdua pergi ke sebuah toko muslim yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sana kami membeli mukena, Kitab Suci Al’Quran dengan tafsir dan terjemahannya. Tidak lupa sebuah buku yang berjudul ‘Tuntunan Sholat’.

Sesampainya di rumah, kami berdua mempelajari cara berwudhu, melakukan sholat dan menghafal bacaannya. Setelah dirasa mampu, kami  berdua mencoba mendirikan sholat bersama-sama. Perbuatan kami tentu saja di luar pengetahuan kedua orangtua. Pernah suatu kali Mama mengetuk pintu dan sangat marah karena kami mengunci kamar dari dalam. Begitu mendengar teriakan Mama, secepat kilat kami membuka mukena dan menyembunyikannya di laci paling atas.

“Dengar, ya, Nduk! Kalian nggak boleh mengunci pintu kamar. Selama kamu tinggal di rumah Mama, kalian ikut peraturan Mama,” bentak ibuku dengan galak.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara perlahan karena tak ingin ribut dengan Mama apalagi kami sangat perlu menjaga kerahasiaan ini.

Waktu terus berlalu. Bulan Ramadhan pun datang. Tentu saja di bulan suci seperti ini, kami juga ingin melakukan puasa seperti muslim lainnya. Berpuasa dari waktu subuh sampai magrib sebetulnya sama sekali tidak sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali Mama mengajak makan bersama. Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak.

“Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,” kataku dengan suara bergetar.

Mama menatap saya dengan tajam. Sepertinya dia telah mencium ada yang tak beres dengan kami berdua. Ketegangan pun terjadi. Buatku itu adalah saat yang sangat menegangkan sampai akhirnya Mama menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah kalau begitu.”

Bulan penuh rahmat berlalu. Suara takbir yang begitu merdu di telinga berkumandang. Idul Fitri adalah hari kemenangan dan kami tidak mau kehilangan momen untuk sholat bersama Jemaah yang lain. Aku dan Adikku berdiskusi menyusun strategi bagaimana cara pergi ke masjid tanpa sepengetahuan orang rumah.

Esok harinya, sekitar jam 6.30 pagi, kami mengendap-endap membuka membuka pintu depan. Setelah itu membuka pagar sampai terbuka lebar. Kami berdua mendorong mobil dalam keadaan mesin mati supaya tidak terdengar oleh orangtua kami yang masih tenggelam dalam nyenyak. Pada satpam yang menjaga rumah, aku berpesan, “Kalau ada yang tanya, bilang kami mau latihan basket, ya, Pak?”

“Siap, Non!” kata Sang Satpam entah curiga atau tidak.

Setelah mobil dirasa cukup jauh, aku menghidupkan mobil dan meluncur langsung ke masjid terdekat. Sesampainya di sana, banyak tetangga-tetangga menatap kami dengan paras keheranan. Mereka tentu saja bingung karena semua orang tau bahwa aku beragama Kristen. Bahkan barisan ibu-ibu yang duduk tepat di depan kami langsung mendekatkan kepalanya dan berbisik kepada kami.

“Cha, ngapain kamu di sini? Sholat Idul Fitri itu buat kaum muslim. Kamu kan Kristen?”

Aku cuma tersenyum dan tidak berusaha menjawab. Sementara ibu-ibu lain terus berkasak-kusuk sambil menengok bahkan ada yang menunjuk-nunjuk ke arah kami.  Kami bergeming dan tidak mempedulikan sikap orang yang merasa aneh dengan kehadiran kami. Dan akhirnya sholat Idul Fitri dapat kami ikuti dengan sukses. Dengan hati berbunga-bunga kami kembali pulang. Alhamdulillah.

Baru saja sampai di depan pagar, di depan rumah telah berdiri Papa dan Mama. Mereka membantu membuka pagar, membuka pintu mobil lalu Mama langsung menlontarkan pertanyaan tanpa basi-basi.

“Dari mana kalian?” tanya Mama dengan suara keras.

“Abis latihan basket, Ma,” sahutku. Kami berdua memang telah berganti pakaian dan semua mukena dan sajadah sudah dimasukkan ke dalam tas dengan rapih.

“Kalian jangan berbohong, ya? Mama menangkap ada yang aneh dengan kalian berdua,” kata Mama lagi.

Aku menatap Mama yang nampak sangat kesal. Sementara Papa cuma cengar-cengir bahkan mengedipkan sebelah matanya pada kami.

“Kami latihan basket, Ma. Masa Mama gak percaya sama anak sendiri?” kata adikku.

Rupanya omongan Adik membuat hati Mama tersentuh juga. Seperti sebelumnya, dia menatap kami bergantian dengan tajam, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara halus, “Hmm…baiklah kalau begitu.”

“Yuk, kita ke atas, Ma,” kata Papa sambil menggamit tangan Mama untuk mengajaknya pergi dari situ. Sebelum masuk ke dalam rumah. Papa sempat-sempatnya menengok ke arah kami dan mengedipkan sebelah matanya sekali lagi sambil tersenyum dengan paras jail...

Aku masih termangu-mangu di depan rumah. Kecurigaan Mama mulai menghantui perasaanku. ‘Sampai berapa lama aku bisa mempertahankan rahasia ini?’ tanyaku dalam hati. ‘Daripada Mama yang menemukan rahasia ini, bukankah beliau lebih baik mengetahui semuanya langsung dari anaknya sendiri?’

“Mama!” Aku memanggil dan mengejar Mama yag sudah berada di dalam rumah.

Mama dan Papa membalikkan badan dan menunggu apa yang akan disampaikan anaknya. Kembali kediaman berulang. Sesaat aku gentar hendak menyampaikan berita ini.

“Ya, Cha?” Kamu mau ngomong apa?” tanya Papa.

Keheningan kembali mendominasi. Bibirku bergetar. Semua kata dalam tenggorokan telah berkumpul dan berdesak-desakan untuk keluar dari bibir. Aku masih diselimuti kebimbangan. Ngomong, jangan, ngomong, jangan, ngomong, jangan….

“Chicha masuk Islam, Ma. Chica masuk Islam, Papa. Chicha minta maaf tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu.” Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja.

‘Alhamdulillah!” Di luar dugaan Papa berteriak kegirangan mendengar berita tersebut. Tidak cukup melampiaskan kegembiraannya dengan cara itu, beliau langsung berlutut di lantai dan melakukan sujud syukur atas hidayah yang didapat anaknya. Melihat sikap Papa, aku tentu saja menjadi lebih tabah. Dengan penuh harap, aku memandang Mama, berharap mendapat dukungan yang sama.

Mama menatapku dengan pandangan tidak percaya. Matanya melotot, dadanya kembang kempis dan bibirnya bergetar hebat.

“Hueeeeek…!!!!” Tanpa diduga tiba-tiba Mama muntah darah dan tubuhnya sempoyongan, untungnya Papa dengan sigap menangkap tubuh Mama dan mendudukkannya di sofa.

“Mamaaaaaa….!!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak sedih? Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan kecuali mengetahui bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita sendiri.

Bersambung

MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #2

Papa mengurus Mama dengan telaten. Perlahan-lahan kesehatan Mama berangsur-angsur membaik. Tapi sejak peristiwa itu, Mama tidak mau lagi berbicara denganku. Selama ini, Mama dan aku hubungannya sangat dekat. Melihat Mama bersikap seperti itu, aku sedih sekali. Berkali-kali aku mengajak Mama berbicara tapi beliau tidak menyahut sehingga aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkannya sendiri. Itu adalah salah satu periode hidup yang paling menyiksa buatku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan menunggu perubahan sikap Mama.

Bulan demi bulan berlalu. kami masih belum berkomunikasi satu sama lain. Mama sering meninggalkan rumah. Entah kemana. Aku nggak berani bertanya, takut malahan membuatnya lebih marah. Sudah 3 bulan aku tidak berbicara dengan Mama. Hari-hari yang kuhadapi sering aku isi dengan mengurung diri di kamar sambil membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah yang membuatku semakin mantap menjadi seorang muslim.

BRAK! Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan suara keras. Aku menengok dan terlihat Mama masuk dengan membawa sebuah kotak yang cukup besar. Parasnya dingin dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.

“Nduk, Mama mau tanya. Kamu harus menjawab dengan tegas!” katanya.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar. Dalam hati aku bersorak karena akhirnya Mama mau berbicara lagi.

“Kamu sudah mantap mau masuk islam?” tanyanya lagi tanpa basa-basi.

“Mantap, Ma. Chicha rasa ini benar-benar panggilan Allah,” jawabku pelan tapi tegas.

“Okay, kalau begitu,” kata Mama lalu dia mengangsurkan kotak yang dibawanya ke tanganku.

Dengan terheran-heran, aku menerima kotak tersebut, “Apa ini, Ma?”

“Nggak usah banyak tanya. Kamu buka aja kotak itu sekarang juga.”

Dengan gerak perlahan, aku membuka kotak tersebut. Masya Allah! Ternyata isinya adalah Kitab Suci Al Quran, mukena, kerudung, buku-buku agama Islam yang lumayan tebalnya. Aku menatap Mama dengan pandangan bertanya.

Mama membalas menatapku dengan tajam, “Kalau kamu ingin menjadi Islam, be a good one!”

Mendengar perkatannya, aku menangis dan menghambur ke pelukan Mama. Mama memeluk aku seerat yang dia bisa. Tangisku makin menjadi-jadi dan membasahi baju Mama di bagian dada.

Setelah tangis mereda, Mama bertanya lagi, “Kamu sudah resmi masuk islam?”

“Chicha udah ngucapin dua kalimat syahadat, Ma.”

“Disaksikan oleh ustad atau Kyai?”

“Nggak sih, Ma. Chicha ngucapin sendiri aja.”

“Berarti kamu belum resmi masuk Islam. Besok Mama akan antar kamu ke Mesjid Al Azhar di Jalan Sisingamangaraja. Mama udah bikin janji dengan Kyai di sana untuk mengislamkan kamu.”

“Huhuhuhuhuhu…” Aku nggak sanggup untuk mengatakan apa-apa kecuali memeluk Mama lagi sambari menangis menggerung-gerung. Setelah perlakuan Mama yang mendiamkan aku selama tiga bulan, siapa sangka Mama akan bersikap begini akhirnya. Mamaku memang luar biasa.

Esok harinya, di Mesjid Al Azhar, aku resmi memeluk agama Islam di usia 16 tahun. Ah, bahagianya sulit dilukiskan. Setelah ritual mengucapkan dua kalimat syahadat berakhir, aku menarik Mama untuk menuju ke mobil dan kembali pulang ke rumah.

“Eh, tunggu dulu, Nduk. Sekarang kamu harus ikut Mama ke belakang.”

“Ke belakang mana, Ma?” tanyaku keheranan.

Ke SMA Al Azhar. Kamu harus pindah sekolah ke sana.”

“Loh? Kenapa harus pindah? Chicha udah betah sekolah di Tarakanita. Semua teman-teman Chicha ada di sana. Chicha nggak mau pindah.”

“Nduk! Denger kata Mama. Kalau kamu serius pindah ke Islam, kamu nggak boleh setengah-setengah.”

“Maksudnya gimana, Ma?”

“Tarakanita itu sekolah Kristen. Kalau kamu pindah Islam maka kamu harus bersekolah di sekolah Islam. Sekali lagi Mama bilang, kamu nggak boleh setengah-setengah. Ini peristiwa besar dan pilihan hidup kamu. Mama mau kamu total dalam menyikapi pilihan kamu sendiri.”

Lagi-lagi sikap Mama membuatku kagum bukan main. Sepertinya dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana.

“Mama kok bisa-bisanya punya pemikiran seperti ini?” tanyaku penasaran.

Mama menghela napas panjang lagi lau berucap, “Sejak kamu mengatakan mau masuk Islam, Mama sering berkonsultasi dengan teman Mama yang muslim. Mama minta pendapat dia dan dia banyak menasihati Mama soal ini.”

“Oh, pantes Mama sering pergi belakangan ini. Biasanya kan Mama selalu di rumah.”

“Iya, Cha. Mama butuh support dan teman Mama itu sangat membantu sehingga membuat Mama jauh lebih tenang.”

“Kalau boleh tau, teman Mama siapa namanya?” tanyaku lagi.

“Namanya Doktor Zakiah Darajat.”

“Itu temen Mama? Wah dia orang hebat di kalangan Islam, Ma.”

“Betul. Nama belakangnya mirip dengan Sunan Drajat, leluhur Papa kamu. Jadi setelah kamu resmi masuk Islam, rasanya kamu juga perlu berziarah ke makam beliau.”

Sekali lagi aku memeluk Mamaku. Jadi selama tiga bulan ini, dia mendiamkan anaknya bukan karena hendak mengacuhkan tapi beliau tidak tau harus bersikap bagaimana. Beliau hendak mencari penerangan pada apa yang terjadi pada anaknya. Sudah pastilah Mama kebingungan tapi akhirnya setelah mendapat pencerahan dari Doktor Zakiah Darajat, Mama sekarang malah mendukung pilihan anaknya. Pilihan anak yang berbeda dengan keyakinannya. Ah Mamaku memang luar biasa.

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku hendak mengajak Mama untuk turut memeluk agama Islam. Tapi aku mengurungkan niat itu. Apa yang terjadi padaku pastilah sudah berat buat Mama. Bagaimana mungkin aku mampu mempengaruhinya sementara saudara-saudaranya banyak yang menjadi pendeta. Beban Mama sudah sangat berat. Semua butuh waktu. Kalau memang Allah SWT mengizinkan, apa yang untuk manusia pikir tidak mungkin pastinya akan terjadi jika Allah berkehendak.

Waktu berjalan tanpa pernah berhenti. Dengan hati tenteram, aku menjalani hidup sebagai perempuan muslim. Tahun 2002, Mama meninggal dunia. Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi mualaf dan memeluk agama Islam. Alhamdulillah! Terima kasih, ya, Allah. Ah Mamaku memang luar biasa.

Sumber asli tulisan:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211363531083871&id=1829107566

30 Orang yang pertama, dalam islam

Tulisan ini diadaptasi dari akun Syekh Ali Jeber

Karna tulisan ini sangat informatif, maka kami share di blog cerpen ini. Semoga bermanfaat.

**********

30 ORANG YANG PERTAMA DALAM ISLAM

1. Orang yang pertama menulis Bismillah : Nabi Sulaiman AS.

2. Orang yang pertama minum air zamzam : Nabi Ismail AS.

3. Orang yang pertama berkhatan : Nabi Ibrahim AS.

4. Orang yang pertama diberikan pakaian pada hari qiamat : Nabi Ibrahim AS.

5. Orang yang pertama dipanggil oleh Allah pada hari qiamat : Nabi Adam AS.

6. Orang yang pertama mengerjakan saie antara Safa dan Marwah : Sayyidatina Hajar (Ibu Nabi Ismail AS).

7. Orang yang pertama dibangkitkan pada hari qiamat : Nabi Muhammad SAW.

8. Orang yang pertama menjadi khalifah Islam : Abu Bakar As Siddiq RA.

9. Orang yang pertama menggunakan tarikh hijrah : Umar bin Al-Khattab RA.

10. Orang yang pertama meletakkah jawatan khalifah dalam Islam : Al-Hasan bin Ali RA.

11. Orang yang pertama menyusukan Nabi SAW : Thuwaibah RA.

12. Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan lelaki : Al-Harith bin Abi Halah RA.

13. Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan wanita : Sumayyah binti Khabbat RA.

14. Orang yang pertama menulis hadis di dalam kitab / lembaran : Abdullah bin Amru bin Al-Ash RA.

15. Orang yang pertama memanah dalam perjuangan fisabilillah : Saad bin Abi Waqqas RA.

16. Orang yang pertama menjadi muazzin dan melaungkan adzan: Bilal bin Rabah RA.

17. Orang yang pertama bersembahyang dengan Rasulullah SAW : Ali bin Abi Tholib RA.

18. Orang yang pertama membuat minbar masjid Nabi SAW : Tamim Ad-dary RA.

19. Orang yang pertama menghunuskan pedang dalam perjuangan fisabilillah : Az-Zubair bin Al-Awwam RA.

20. Orang yang pertama menulis sirah Nabi SAW : Ibban bin Othman bin Affan RA.

21. Orang yang pertama beriman dengan Nabi SAW : Khadijah binti Khuwailid RA.

22. Orang yang pertama mengasaskan usul fiqh : Imam Syafei RH.

23. Orang yang pertama membina penjara dalam Islam: Ali bin Abi Tholib RA.

24. Orang yang pertama menjadi raja dalam Islam : Muawiyah bin Abi Sufyan RA.

25. Orang yang pertama membuat perpustakaan awam : Harun Ar-Rasyid RH.

26. Orang yang pertama mengadakan baitul mal : Umar Al-Khattab RA.

27. Orang yang pertama menghafal Al-Qur'an selepas Rasulullah SAW : Ali bn Abi Tholib RA.

28. Orang yang pertama membina menara di Masjidil Haram Mekah : Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur RH.

29. Orang yang pertama digelar Al-Muqry : Mus'ab bin Umair RA.

30. Orang yang pertama masuk ke dalam syurga : Nabi Muhammad SAW.

✔ Rugilah kalau tak SHARE sebab hanya 1 peluang dakwah yang MUDAH. . . share !!! Sebarkan...

Wallahualam

Semoga bermanfaat dan sekaligus pengingat untuk kita semua ...

Aamiin....

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=560168017777286&id=444721249321964

Sabtu, 09 Mei 2020

Kentang, Telur, dan Biji Kopi

Kentang, Telur, dan Biji Kopi

Pada suatu hari, ada seorang anak perempuan yang mengeluh kepada ayahnya bahwa hidupnya sengsara dan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia akan berhasil. Dia lelah berjuang dan berjuang sepanjang waktu.Tampaknya hanya salah satu dari masalahnya yang dapat ia selesaikan, kemudian masalah yang lainnya segera menyusul untuk dapat diselesaikan.

Ayahnya yang juga seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air dan menaruhnya di atas api yang besar. Setelah tiga panci tersebut mulai mendidih, ia memasukkan beberapa kentang ke dalam sebuah panci, beberapa telur di panci kedua, dan beberapa biji kopi di panci ketiga.

Kemudian ia duduk dan membiarkan ketiga panci tersebut di atas kompor agar mendidih, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun kepada putrinya. Putrinya mengeluh dan tidak sabar menunggu, bertanya-tanya apa yang telah ayahnya lakukan.

Setelah dua puluh menit, ia mematikan kompor tersebut. Ia mengambil kentang dari panci dan menempatkannya ke dalam mangkuk. Ia mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk.

Kemudian ia menyendok kopi dan meletakkannya ke dalam cangkir. Lalu ia beralih menatap putrinya dan bertanya, “Nak, apa yang kamu lihat?”

“Kentang, telur, dan kopi,” putrinya buru-buru menjawabnya.

“Lihatlah lebih dekat, dan sentuh kentang ini”, kata sang ayah. Putrinya melakukan apa yang diminta oleh ayahnya dan mencatat di dalam otaknya bahwa kentang itu lembut. Kemudian sang ayah memintanya untuk mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapatkan sebuah telur rebus. Akhirnya, sang ayah memintanya untuk mencicipi kopi. Aroma kopi yang kaya membuatnya tersenyum.

“Ayah, apa artinya semua ini?” Tanyanya.

Kemudian sang ayah menjelaskan bahwa kentang, telur dan biji kopi masing-masing telah menghadapi kesulitan yang sama, yaitu air mendidih.

Namun, masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Kentang itu kuat dan keras. Namun ketika dimasukkan ke dalam air mendidih, ketang tersebut menjadi lunak dan lemah.

Telur yang rapuh, dengan kulit luar tipis melindungi bagian dalam telur yang cair sampai dimasukkan ke dalam air mendidih. Sampai akhirnya bagian dalam telur menjadi keras.

Namun, biji kopi tanah yang paling unik. Setelah biji kopi terkena air mendidih, biji kopi mengubah air dan menciptakan sesuatu yang baru.

“Kamu termasuk yang mana, nak?” tanya sang ayah kepada putrinya.

“Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana caramu dalam menghadapinya? Apakah kamu adalah sebuah kentang, telur, atau biji kopi?”

Pesan Moral : Dalam hidup ini, Banyak sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Banyak hal-hal yang terjadi pada kita. Tetapi satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah apa yang terjadi di dalam diri kita.

Jadi, manakah diri anda? Apakah anda adalah sebuah kentang, telur, atau biji kopi?

Sumber: www.successbefore30.co.id

Selasa, 05 Mei 2020

Panahan Indoor

Terima kasih kami ucapkan atas partisipasinya mengirimkan tulisan ini kepada team CerpenUpay.

Langsung saja ke kisahnya.

pagi-pagi sekali aku terbangun, sadar sudah pagi aku segera melihat jam. Ternyata angka sudah menunjukkan jam enam pagi tak sia-sia lagi, aku harus cepat bersiap. Keluargaku pun begitu, kenapa harus bersiap-siap, apalagi di hari libur ini? Itu karena aku, dan adikku akan mengikuti sebuah lomba yang menurutku seru, yaitu panahan. Dan beda lagi, ini lebih spesial tempatnya. Yap di Indoor. Tempatnya di Universitas Tidar, Magelang.

Sesampainya di tempat, aku segera turun dari mobil bersama adikku,

" Dek, ayo turun. sepertinya kita sudah ditunggu pelatih," kataku mengajaknya dan langsung mengambil tas busurnya di bagasi mobil.

" Oke, kak,"

" Ya sudah, kalian kesana dulu. Nanti Ibu sama Ayah nyusul," kata Ibu menimpali.

Akupun kesana, disana sudah banyak sekali teman-temanku satu klub panahan datang lengkap. Sepertinya hanya kita berdua yang terlambat, itupun dari rumah sendiri, yang lain mah sudah kemarin kesini, terus pakai menginap di hotel.

" Hai, Han. Sini!" panggil teman-temanku, mereka juga teman sekolah. Kenapa begitu? Ceritamya panjang deh. Kita berempat ikut panahan jadi kayak kompak gitu.

" Eh kalian, waahh pada nginep yee?" godaku, pada mereka bertiga.

" Iyalah, kamu sih gak mau," jawab Farah yang gayanya gaspoooolll banget.

" Elah kan udah aku bilangin nduk, kan tergantung orangtuaku. Enak gak sekamar tiga orang?" tantangku sedikit iri.

" Enak doong, adeemm..," kali ini yang jawab Rani, seorang anak yang sangat sehat

"Enak mbahmu! Kita yang mendengarkan kamu merdu sekali dalam mengorok!" ejek Hira orang yang sangat cuek, dan galak.

" Oke-oke, dah ah aku daritadi ni lohh, gak masang-masang busurnya," timpalku.

Segera saja aku pasang busurnya dengan kedua sayapnya, kanan dan kiri, lalu fisirnya untuk melihat targetnya, stabilizer, arm guard, cash guard, button nya, finger tab, quiver, anak panah. Setelah semua lengkap, lalu kakak-kakak pelatihku menyuruh kita semua untuk melakukan pemanasan terleih dahulu dan melakukan berdoa bersama.

" Anak-anak sebelum kita kesana dan tanding, kita akan ber-tos bersama dan teriak untuk yel-yel nya!" seru pelatih kami yang memimpin.

" Baaiiikkk KAK!" kompak kami berseru.

" SELABORA PANAHAN FIK UNY!"

" Jaya-Jaya Juara!!" jawab kami dengan keras.

Lalu kami semuapun memasuki indoornya, dan segera memasangkan pelengkapannya, menyiapkan anak panah, lalu dipasang anak panah itu, dan lepaskan.

Itulah perjuanagan kami di indoor lebih berat daripada di luar outdoor. Karena tak menyangka perlombaan akan berakhir sampai tengah malam, apalagi yang masih terus bagus nilainya, itu bisa lebih pagi. Ahh.., yang penting semangatnya dalam berjuang mendapatkan kemenangan dari banyaknya lawan yang mengikutisertai ini. SUKSES SELALU!!

SELESAI

Senin, 04 Mei 2020

Kisah Pilu Arie Hanggara

Dimasa yang bahkan internet belum ada, social mediapun belum juga ada, kisah Arie bisa begitu viral dimedia-media Indonesia bahkan media asingpun meliputnya. Tidak hanya itu, kisahnya bahkan difilmkan yang diperankan oleh Dedi Mizwar sebagai Ayah Ari.

Bagaimana kisah pilu Arie Hanggara dimulai? Berikut ini rangkuman kisahnya. Seperti biasa, BC selalu menyertakan link originalnya sebagai penghargaan kepada penulis asli.

Kisah Pilu Arie Hanggara

Sebuah makam berukuran 2x1 meter di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi penanda akan kekejaman orangtua serta ibu tiri terhadap anaknya. Setelah 30 tahun, makam itu kini tak terurus. Namun, ceritanya tak pernah usang karena terus berulang.

Di makam itu bersemayam jasad bocah berusia 8 tahun bernama Arie Hanggara yang hingga kini selalu diidentikkan dengan kekerasan orangtua terhadap anaknya. Arie lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1976 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984.

Arie Hanggara adalah kisah pilu tentang anak yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 memunculkan kesedihan sekaligus kegeraman publik.

Ia boleh dikatakan lahir di tengah keluarga yang timpang. Sang ayah Tino adalah seorang yang pemalas dan tukang janji kelas kakap. Bahkan, saudara dari pihak istrinya menggunjingkan Tino sebagai pejantan yang hanya mampu bikin anak.

Makam Arie Hanggara

Karena tak punya pekerjaan, sementara dia punya harga diri yang tinggi di tengah kondisi Jakarta yang menuntut terlalu banyak, Tino dan istrinya Dahlia Nasution kerap bersitegang. Sang istri akhirnya kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek.

Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil anak-anaknya dan hidup bersama istri barunya bernama Santi. Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Tino dan Santi serta 3 anak Tino yaitu Anggi, Arie, dan Andi.

Sadar kalau dirinya pengangguran, sehabis mengantar istri ke kantor, Tino melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.

Sindiran Santi yang menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.

Oleh teman-teman sekelasnya, Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5.

Namun, bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas. Penyiksaan terhadap anak yang periang ini terjadi mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Pukulan itu menimpa muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya. Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. "Ayo minta maaf dan mengaku," teriak Santi.

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya. Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.

Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.

Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkan "ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Bukannya merasa iba, Toni malah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.

Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.

Keesokan harinya masyarakat gempar ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orangtua.

Film Arie Hanggara

Setahun kemudian, sebuah film yang disutradarai Frank Rorimpandey mengisahkan nasib tragis Arie. Dibintangi Yan Cherry Budiono sebagai Arie, Deddy Mizwar memerankan Toni dan Joice Erna sebagai ibu tiri, film berjudul Arie Hanggara ini mendapat tempat di hati penonton.

Film dengan durasi yang cukup panjang ini, 220 menit, kemudian menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak pada 1985. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekitar 382.708 orang.

Di makam Arie Hanggara terlihat tulisan: maafkan mama, maafkan papa. Konon, sang ayah kandung dan ibu tiri yang meminta tulisan tersebut. Kata maaf yang terlambat. Makam di TPU Jeruk Purut itu jadi saksi pilu kekerasan terhadap anak.

Kurang lebih 30an tahun lalu, Jakarta, bahkan Indonesia, dihebohkan dengan kasus kekerasan terhadap anak. Media-media besar menurunkan laporan berseri berhari-hari, mengikuti dari proses pemeriksaan kepolisian hingga pengadilan. Majalah Tempo bahkan, menurunkan laporan khusus untuk membahas masalah ini. Kasus kekerasan terhadap anak pada masa tersebut bukan hal baru, tapi kasus Arie Hanggara mencuat karena mengusik hati manusia: kok tega “membunuh” anak?

Arie Hanggara berumur tujuh tahun saat meninggal pada tanggal 8 November 1984. Hasil otopsi menunjukkan memar di sekujur tubuh termasuk bagian kepala dan bekas ikatan di pergelangan tangan dan kaki. Sebelum meninggal, Arie ditampar berkali-kali oleh ayahnya, kepala dibenturkan ke dinding, dipukul dengan gagang sapu, disuruh berdiri jongkok ratusan kali, dan dikurung satu malam di kamar mandi.

Tetangga mengaku pada malam itu, dan juga hari-hari sebelumnya, mendengar hardikan keras “HADAP TEMBOK!” Tapi mereka hanya diam, tak bertindak, tak menolong.

Subuh dini hari, Arie Hanggara ditemukan terkulai, tak sadarkan diri. Nyawanya tak tertolong.

Sang ayah mengatakan, kekerasan bagian dari pendisiplinan. Si ibu, menyebut tekanan ekonomi membuat ia sering lepas kontrol. Tetangga berdalih, mereka diam karena segan campur urusan rumah tangga orang lain.

Semua punya alasan. Maafkan Mama, Maafkan Papa, Maafkan Tetangga. Sayang, kata maaf yang terlambat itu, tak bisa menyelamatkan nyawa Arie.

Film:https://www.facebook.com/TheLookDW/videos/336444113789059/?app=fbl

Youtube Film Arie Hanggara:

https://youtu.be/CZV9bv7R1o8

cuplikan Film Arie Hanggara

https://youtu.be/xR8diYik8f4

sumber:m.liputan6.com

dan berbagai sumber

Rewrite from:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2475118035880188&id=386882044703808