Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Bersambung. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Mei 2020

Kisah Sedih di hari Minggu (Tragedi)

"Tumben, biasanya jam segini Ibu sudah bangun dan sedang membaca Al-qur'an di sofa ruang tamu". Dalam hati aku menggumam. Kuputuskan mengetuk pintu kamar Ibu, siapa tau beliau kesiangan atau malah sedang tidak enak badan sehingga belum bangun subuh ini.

Ku ketuk satu kali tidak ada jawaban, kedua, ketiga, keempat masih juga tidak ada jawaban. Kuberanikan diri membuka pintu kamar Ibu perlahan, kemudian melongok ke arah tempat tidur.

Ternyata kamar dalam keadaan kosong dan gelap. Kunyalakan lampu kamar Ibu, terlihat seprei dan bantal masih sangat rapi dan dingin seperti belum dipakai seharian.

Aku bingung. Karna tidak biasanya seperti ini. Ibu dan Ayah pergi tanpa bilang apa-apa padaku. Apa mungkin saat mereka membangunkanku, aku tidak juga terbangun. Tapi aneh.

Tadi kan betul-betul suara Ibu dan Kakak yang menjerit. Aku kenal betul suara mereka. Ah sudahlah mungkin Ibu ke pasar ditemani Ayah. Tapi, apa iya sepagi ini? Jam lima subuh? Aku agak ragu.

Kemudian aku naik ke lantai atas, ingin kembali ke kamar. Tapi, saat melewati kamar Kakak, pintunya sedikit terbuka hingga menciptakan celah. Terlihat cahaya lampu yang masih menyala.

"Kaaa.... Ibu ke mana ya?". Tanyaku sambil membuka pintu kamar Kakak. Tapi ternyata kamar kakakpun kosong. Tempat tidurnya dalam keadaan sama dengan kamar Ibu. Rapi seperti belum digunakan. Hanya saja, lampunya menyala terang.

"Duh, ke mana sih mereka. Koq aku dibiarin tinggal sendiri dan gak di kasih tau pergi ke mana". Gerutuku dalam hati. Akhirnya aku kembali ke kamar. Melanjutnya tidurku seperti biasa. Karna aku memang jarang bangun terlalu subuh. Paling-paling jam enam kurang lima belas menit aku baru bangun untuk sholat subuh jika libur seperti hari ini. Tapi tadi aku terbangun karna jeritan. Ya sudahlah, aku ke kamar, sholat subuh, kemudian kembali tidur.

Terlelap dalam tidur, tiba-tiba aku mendengar suara jeritan yang sama. Aku terbangun kemudian turun ke kamar Ibu, membuka pintu yang diketuk tidak ada jawaban, keadaan masih sama seperti tadi kosong dan gelap, tempat tidur rapih, bergegas naik ke kamar kakak, keadaanpun masih sama, dengan celah pintu sedikit terbuka, tempat tidur rapih dan dingin.

Aku berlari ke kamar, karna aku merasa seperti dejavu. Aku merasa kejadian terulang sejak mendengar jeritan Ibu dan Kakak.

Aku tengok ke jam dinding di atas pintu kamar. Tepat jam lima subuh. Sama seperti ketika aku bangun tadi, Ya Allah, apa waktu berhenti? Tidak mungkin. Tapi aku sudah dua kali mengalami kejadian ini. Rasanya aneh. Aku sedikit bingung, karna jarum detik pada jam dinding berjalan seperti biasa. Tidak mati, tidak juga rusak.

Kuputuskan kembali naik ke tempat tidur. Rasanya aneh. Akupun kembali terlelap, sangat lelap, aku merasa tidurku nyaman sekali, sampai terdengar lagi suara jeritan Ibu dan Kakak.

"Lagi?" . Pikirku. Ini sudah yang kelima kali. Aku mencoba bangkit. Tapi kali ini, aku tidak ingin melakukan hal yang sama. Aku duduk di atas tempat tidurku. Berpikir apa yang harus aku lakukan.

Daripada begitu, aku teriak saja "Ibuuuuu........ Buuuu...... Ibu di mana?".

Tiba-tiba Ibu membuka pintu kamarku, kemudian masuk dan menaruh sarapan di meja belajarku.

"Ih Ibu tadi ke mana aja Bu? Koq sepi sekali? Bu, kayanya jam dinding aku rusak deh Bu, masa aku bangun berkali-kali dijam yang sama. Terus aku terus-terusan denger suara Ibu sama Kakak teriak. Masa sih aku mimpi yang sama berkali-kali. Aneh ya Bu".

Ibuku hanya menengok ke arah tempat tidurku, melihatku, kemudian hanya tersenyum. Aku bergegas bangun. Kemudian menggigit roti lapis kesukaanku buatan Ibu. Setelah itu mandi dan bersiap ke sekolah.

Sudah jam 06:10 aku berlari ke sekolah, karna memang jarak rumah ke sekolah sangat dekat, aku terbiasa berangkat mepet-mepet dan sering telat tentunya. Heheheheh.

Sampai di gerbang sekolah, suasana sepiii sekali. Senyap. Rasanya seperti tidak ada kehidupan. Ternyata memang sudah jamnya pelajaran di mulai. Semua orang sudah berada dalam kelas.

Aku berjalan perlahan menuju ruang kelasku, aku mengintip ke dalam kelas dari jendela kaca, terlihat anak-anak sedang mendengarkan penjelasan Pak Robert, guru pelajaran biologi. Aku menunggu kesempatan agar dapat masuk tanpa terlihat guru tampan itu.

Pak Robert terkenal dengan ketampanannya yang mempesona. Di umurnya yang sudah tidak lagi muda, dia masih saja hidup sendiri tanpa seorang istri. Entah apa yang membuatnya demikian.

Padahal banyak gadis yang mengejarnya. Termasuk aku. Hihihihihihi. Habis dia gagah sekali. Tubuhnya yang tegap, wajahnya yang bersih dan tampan membuatku sering membayangkan, bagaimana jika punya suami yang umurnya terlampau jauh dari umur kita tapi setampan ini? Hehehehehehe.

Tapi tetap, itu hanya anganku saja. Karna impianku yang sebenarnya hanyalah menjadi pengantin Arya. Anak basket yang populer dan mempesona itu. Meskipun begitu, beliau adalah guru yang di kenal sangat disiplin dalam mendidik murid-muridnya.

Jadi, kalo sampai aku ketauan terlambat, sudah pasti aku kena hukum lagi. "Kesempatan" . Pikirku dalam hati. Pak Robert sedang sibuk menulis materi menghadap papan tulis besar.

Segera saja mindik-mindik aku masuk ke dalam kelas. Berharap tidak ada teman sekelasku yang mulutnya ember dan berisik saat aku masuk diam-diam.

"Selamaaat" . Dalam hatiku sambil mengelus-elus dada sendiri. Anak-anak juga ga ada yang peduli. Sepertinya mereka benar-benar sedang sibuk memperhatikan Pak Robert menulis di depan. Apalagi anak perempuan. Gak bakalan ada yang berkedip kalo Pak Robert sedang mengajar.

Sudah seminggu ini aku merasakan hal yang ganjil. Sungguh aneh. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Mendengar suara Ibu dan Kakak yang menjerit.

Bukan hanya mimpi itu. Ibu juga setiap hari mengantarkan sarapanku ke kamar dengan makanan yang itu-itu saja. Pernah sekali waktu aku bertanya "Bu, kenapa sarapannya roti lapis melulu? Iya sih ini kesukaan aku, tapi masa iya sarapan ini terus?" . Tanyaku pada Ibu yang sedang meletakkan sarapan di meja belajarku.

Tapi Ibu hanya tersenyum dengan raut wajah yang tidak bisa aku gambarkan dengan kalimat. Entah raut wajah Ibu bisa aku sebut apa yah. Karna sejak aku terlahir, Ibu tidak pernah menampakkan raut wajah seperti itu.

Hal itu terus terjadi. Aku bingung, waktu juga seperti sangat cepat berlalu, Dari subuh aku terbangun karna mendengar jeritan Ibu dan Kakak yang seperti mimpi, Ibu yang masuk membawakanku roti lapis, Aku yang telat datang ke sekolah, dan semua yang aku lakukan rasanya hampir semuanya sama. Aku seperti mengalami dejavu berulang-ulang. Aneh.

Pulang sekolah siang ini, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Rasanya hari ini aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Aku tidak ingin mengulang kejadian-kejadian kemarin.

Aku merasa aneh dan hampa. Kenapa belakangan ini aku merasa kesepian? Seperti tidak ada teman, tidak ada keluarga, meski mereka ada di sekelilingku. Aku merasa di acuhkan. Rasanyaa... aku pernah merasakan hal yang sama seperti ini. Tapi kenapa perasaan ini terus berulang. Meski siang ini aku memutuskan melakukan hal yang berbeda.

Aku terdiam, berfikir.

"Sampe hari ini, lo masih juga dateng ke sekolah". Kalimat itu terlontar dari seorang siswa yang tiba-tiba saja berdiri di sebelahku yang sedang melamun di tepi kolam ikan di kebun belakang sekolah.

Aku kaget bukan main, betul-betul kaget karna sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki maupun tanda-tanda kehidupan dari cowo ini.

"Ampun deeeh lu ngapain sih siang-siang gini ngagetin orang aja. Permisi dulu dong. Kaget banget tau. Kalo gue sampe nyemplung ke kolam ikan gara-gara lu ngagetin gue, hhhh.... gue bales luh lebih dari itu". Kataku dengan wajah cemberut.

"Tapi ngomong-ngomong, lu ngapain siang-siang udah sepi begini di sini, bukannya pulang? Trus, emang lu tau siapa gue?". Tanyaku padanya yang sedang menatap air kolam dengan senyumnya yang menawan.

"Iya, gue kenal koq lu siapa. Lu Riana kan, anak kelas B. Gue Arya". Jawabnya kemudian. Aku tidak menyangka Arya ternyata tau namaku dan seperti sudah mengenalku sejak lama.

Aku yang type murid tidak populer dan tidak terkenal ini bisa di kenal Arya anak kelas D rasanya aneh. Dia kan terkenal tampan, anak basket, cerdas. Nilai-nilainya luar biasa. Jarang ada siswa cowo yang punya prestasi dijaman sekarang. Pikirku sih. Hehehehehe.

"Iya gue tau lu Arya. Anak Kelas D. Gak nyangka lu bisa kenal gue". Jawabku kemudian.

"Dari mana lu tau nama gue? Kita kan gak pernah kenalan, gue juga gak terkenal. Koq bisa sih cowo sepopuler elu kenal sama gue yang biasa banget ini".

Dia tersenyum sambil melempar batu kerikil kecil ke dalam kolam. "Lu gak sadar aja kalo sebenernya belakangan ini lu udah jadi orang terkenal di sekolah ini. Semua orang seisi sekolah  juga tau nama lu siapa, lu anak kelas berapa, rumahnya di mana".

Haaa? Apa iya. Sepertinya dia lagi ngeledek aku. Mana mungkin murid cewe super biasa sepertiku bisa terkenal. Hal apa pula yang bikin aku jadi terkenal. Cantik nggak, Pinter juga ngga, prestasi apa lagi, gak pernah sama sekali. Lah gimana caranya bisa dikenal seisi sekolah?.

"Becanda lo, gak usah ngeledek deh. Mentang-mentang tenar, trus jadi ngeledek gue yang biasa banget gini. Belagu banget luh".

Arya menarik nafas panjang. Kemudian wajahnya berubah menjadi sangat serius. Sambil menatapku, Ia berkata "Udah gue duga, selama ini lu gak sadar apa yang udah terjadi sama diri lu dan sekeliling lu".

Kata-kata Arya membuatku bingung.

"Maksud lu apa sih. Emang ada apa sama gue dan sekeliling gue". Tanyaku penasaran. Kemudian, Arya berkata sambil memberikan tangannya padaku.

"Pegang tangan gue, gue kasih tau apa yang terjadi dan ada apa dengan sekeliling lo".

Saat itu aku sempat ragu, kupikir Arya sedang menggodaku yang sedang kebingungan ini. Aku melihat ke wajahnya. Rasanya Arya serius. Dia tidak sedang main-main dengan yang diucapkannya. Kemudian, perlahan, aku meraih tangannya. Kami bergandengan. Saat menggandeng tangan Arya,

sesuatu terjadi. Entah apa, tapi aku seperti ditarik ke dimensi lain, kepalaku berputar, sedikit pusing, tapi bisa aku kendalikan.

Tiba-tiba aku sudah berdiri di depan rumahku sendiri. Suasana nya sepi dan tenang, sampai tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari dalam rumah.

Suara jeritan Ibu dan Kakak yang melengking seperti waktu itu, suara yang sering aku dengar berhari-hari, yang aku pikir hanyalah mimpi.

Tapi kali ini, suara jeritan itu begitu nyata, begitu nyaring, dan aku tidak dalam keadaan tidur, aku berdiri tepat di depan pintu rumahku. Takut terjadi apa-apa pada Ibu dan Kakak, aku berlari secepat kilat ke dalam rumah, mencari sumber suara Ibu dan Kakakku yang berteriak.

Saat itu, Ibu dan Kakak sudah ada di depan pintu kamarku, mereka berpelukan sambil menangis meraung-raung satu sama lain. Ayah berlari menuju depan pintu kamarku menghampiri mereka.

Kemudian Ayah ikut menjerit, namun suaranya lebih tenang dan lebih dapat dikendalikan.

"Ya Allah Rianaaa, apa yang kamu lakukan naaaak". Jerit Ayah sambil menangis dan tersungkur di depan kamarku.

Aku makin kebingungan. Kudekati mereka bertiga yang sedang tersungkur berpelukan. Penasaran dengan apa yang terjadi.

"Yah, Bu, Kak, kalian kenapa? Kenapa nangis di sini sih?". Tapi tak ada yang mendengarku, tak ada yang menjawab. Mereka terus saja menangis sambil memanggil namaku.

"Riana, kenapaa nak kenapaaa". Isak tangis Ibuku sambil menyebut namaku.

Dengan rasa penasaran yang teramat dalam, aku melihat ke arah dalam kamarku. Kaget bukan kepalang, tercekat mulut dan nafasku, mataku melotot sambil menutup mulut dengan kedua tanganku.

Aku terperanjat entah perasaan apa ini. Aku berjalan mundur perlahan sampai akhirnya Arya menyadarkanku.

"Iya Ri, itu elo. Diri lu yang ngegantung di dalam kamar itu. Lu udah gak ada Ri. Tapi lu gak sadar. Itu makanya lu merasa hari terus berulang, waktu terus berjalan dengan kejadian yang sama di hari lu bunuh diri".

Arya menjelaskan dengan raut wajah terlihat sedih. Aku tidak percaya dengan yang terjadi. Aku bingung. Ternyata aku sudah mati. Aku ini arwah. Tapi kenapa terjadi begini? dan ke mana seharusnya aku pergi? Kenapa aku masih di dunia dan merasa masih hidup?.

"Gak mungkin Arya, gue gak mungkin begitu. Gue tau tiap manusia pasti mati. Tapi gue gak mungkin mati dengan cara begitu Arya. Gak mungkiiin. Masih banyak yang pingin gue lakuin di dunia. Jadi mustahil gue bunuh diri Arya. Gak mungkiiiin".

Aku menangis terisak-isak Jatuh terduduk, terkulai lemas menyaksikan diriku sendiri tergantung di langit-langit dalam kamarku sendiri. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Semakin membingungkan.

"Ri, lu beneran gak bunuh diri?". Tanya Arya penasaran. "Kalo bener, brati ada yang bunuh lu gitu?". Pertanyaan Arya membuatku berhenti menangis, kemudian berfikir keras.

"Aduh gimana ya Ya, gue sih gak tau Ya, gue gak inget gimana gue mati. Tapi yang jelas, gue yakin seyakin yakinnya gue gak mungkin bunuh diri. Gak mungkin Ya". Jawabku penuh keyakinan.

"Terus hari itu lu ngapain aja Ri? Kenapa bisa lu ngegantung begitu?". Tanya Arya lagi.

"Gak inget Ya, gue sama sekali gak inget apa-apa. Memori gue ilang sama sekali kecuali ingatan tentang orang-orang. Gue tau kalian, gue kenal semua orang semasa gue hidup. Tapi kenapa kejadian selagi gue hidup, sama sekali ga ada bayangan ya Ya. Gue ngga inget Ya. Tapi satu hal yang pasti. Gue gak mungkin bunuh diri".

Arya terdiam seperti berfikir. "Oh iya  Ya, kalo emang gue bener-bener udah mati, gimana caranya lu bisa ngeliat gue?". Tanyaku kemudian.

"Awalnya juga gue kaget Ri. Hari itu hari senin, tepat sehari setelah kematian lu di hari minggu. Seisi sekolah udah tau kejadian lu meninggal gantung diri. Gue juga tau, hari minggu banyak teman-teman kita dan guru-guru yang datang ke pemakaman lu Ri. Itu sebabnya gue tau wajah lu dari foto yang dipajang saat acara pemakaman lu hari minggu. Makanya gue kaget bukan main waktu liat lu lagi duduk di kelas B persis di bangku tempat lu biasa duduk. Karna memang ga ada yang nempatin. Mungkin mereka takut. Tapi gue jelas-jelas liat sosok lu Ri, sama seperti sekarang ini gue liat lu. Seperti nyata. Yang membedakan cuma gaya kemausiawian lu nya aja yang ga ada. Jadi gue sadar kalo lu cuma arwah yang lagi bingung". Jelas Arya sambil mengingat-ingat pertama kali bisa melihatku.

"Gaya kemanusiawian itu gaya yang gimana maksud lu?". Tanyaku penasaran. Masa iya hantu juga punya gaya. Hihihihi.

"Ya itu, pundak dan dada lu gak keliatan naik turun seperti manusia bernafas. Artinya lu emang gak nafas, Mata lu kuyu dan keliatan pucat. Ya pokonya hal-hal semacam itu deh. Tapi setiap hari gue selalu liat elu masuk kelas B, duduk di bangku lu, keluar kelas menuju kolam ikan di kebun belakang, kemudian keluar gerbang sekolah dan menghilang. Setiap hari gue liat lu ngelakuin hal yang sama. Tadinya gue takut sih, tapiii... gue jadi penasaran, kira-kira lu itu bisa diajak komunikasi apa ngga, makanya barusan gue coba ngajak lu ngomong. Ternyata lu nyautin".

Aku tetap tidak mengingat sama sekali bagaimana bisa aku tergantung di langit-langit kamarku sendiri seperti bunuh diri. Bahkan betul-betul terlihat seperti bunuh diri. Tapi aku yakin seratus persen, aku ngga mungkin bunuh diri.

Aku masih terdiam, terus berfikir, mengingat-ingat kejadian malam aku tergantung. Tiba-tiba saja aku sudah berdiri lagi di tepi kolam bersama Arya.

"Mungkin itu sebabnya lu ga bisa ke akhirat Ri. Manusia harus mengingat bagaimana cara Ia mati supaya bisa pergi dengan tenang. Mungkin aja kan?". Kata Arya dengan wajah yakin sambil menatapku dalam-dalam.

"Yaa... mungkin aja sih Ya. Tapi kalo gue gak inget gimana caranya biar gue inget Ya?". Tanyaku sambil terduduk di tepi kolam ikan.

"Tenang Ri, gue bantu lu inget-inget deh. Terakhir, waktu malam kematian lu, kira-kira lu bisa perkirakan gak, lu biasanya lagi apa. Soalnya kalo gak salah, polisi bilang waktu kematian lu malam hari kira-kira jam 01:00 dini hari Ri. Naah biasanya kalo jam segitu lu lagi apa Ri?".

"Aduuuh Aryaaa, sumpah lu bego banget ya. Jam 1 pagi Arya. Dan lu tanya gue lagi apa? Ya lagi tidur lah pastinyaaa". Jawabku sambil mendorong sedikit bahunya yang tepat berada di sampingku.

"Yah Ri, banyak lagi orang yang jam segitu masih melek aja, siapa tau lu lagi online gitu. Update status atau apa gitu". Kata Arya kemudian.

Aku berfikir sejenak, kemudian menjawab pertanyaan Arya, masih dengan perasaan bingung. "Iya juga sih Ya, bisa jadi. Apalagi keliatannya laptop gue masih di meja belajar dalam keadaan terbuka waktu gue liat diri gue ngegantung tadi. Kira-kira, apa aja yah yang ada dalam laptop gue?".

Sudah sore, Arya sudah harus pulang. Hari ini aku kebingungan. Karna ini hari pertamaku mengetahui bahwa aku ini hantu. Arwah yang tidak bisa pergi ke akhirat karna suatu hal yang belum aku ketahui.

Aku jadi bingung ke mana aku harus pergi dan apa yang harus aku lakukan.

"Ri, gue pulang dulu. Tapi gue janji bakal terus bantuin lu untuk mengingat-ingat kejadian bagaimana lu bisa mati. Supaya lu bisa ke akhirat dengan tenang".

Arya pamit pulang. Meninggalkan aku sendiri di tepi kolam. Aku yang masih tidak tau akan berbuat apa.

Kemudian aku berfikir untuk pulang saja ke rumah. Entah bagaimana caranya dan bagaimana terjadinya. Tiba-tiba saja aku sudah berada di depan pintu rumahku.

"Oooo jadi begitu, aku cukup memikirkan saja ingin ke mana atau di mana, maka setelah memejamkan mata, aku langsung berada di tempat yang aku pikirkan. hihihihi seru juga". Pikirku dalam hati.

Aku ini bodoh atau entah apa. Bukannya sedih menangisi kematian sendiri, malah kegirangan bisa berpindah tempat hanya dengan memikirkannya saja.

"Coba aja kalo hal semcam ini bisa aku lakukan ketika hidup. Pasti seru sekali". hihihih".

Kemudian sekali lagi aku memejamkan mata dan berfikir ingin masuk ke dalam kamarku. Maka ketika mataku terbuka, aku sudah ada dalam kamarku yang kutuju. Aku melihat ke sekeliling. Kemudian menghampiri laptopku.

"Apa aku bisa menyentuh benda ya?". Kucoba duduk di kursi meja belajarku.

"Bisa, aku bisa menyentuh kursi dan duduk di sini". Kemduain aku membuka laptopku. Aku klik tombol recent tab. Mencari tau apa yang aku lakukan di hari kematianku.

Chat, aku membuka aplikasi chat. Kubuka lagi lebih jauh. Dengan siapa aku terakhir berbincang melalui chat.

"Arimbi. Jadi aku sedang ngobrol dengan Arimbi. Apa yang kami perbincangkan". Ku buka semua isi percakapanku dengan Arimbi sahabatku.

BusAr : Lagi ngapain luh? Udah jam segini masih keliatan online

Ri25 : Iya nih masih blom bisa tidur. Kapan nih kita hang out lagi?

BusAr : Gampang lah nanti kita omongin serius mau liburan ke mana. Oh ya, waktu di sekolah, lu bilang ada yang mau lu ceritain tentang Fatma. Apaan Ri?

Ri25 : Kayanya gak enak ngomong di chat. Besok aja di sekolah gue ceritain semuanya. Tapi janji ya Ar, jangan ceritain lagi ke Fatmanya. Gue gak enak. Gimanapun kan dia sahabat kita juga.

BusAr : Duuh, lu bener-bener bikin gue penasaran deh. Cerita aja deh sekarang. Apa ada hubungannya sama kejadian di sekolah tadi? Maaf ya Ri, gue malah gak ada saat lu dibikin malu satu sekolahan siang tadi. Harusnya gue di deket lo dan belain lo tadi. Gue gak ada, Fatma gak masuk. Lo sendirian deh.

Ri25 : Yang mau gue ceritain gak ada hubungannya koq sama kejadian tadi. Lagipula semua orang juga tau itu gak bener. Sebetulnya gue gak niat sih nyeritain semuanya ke lo. Takut lu kecewa, sakit hati, dan persahabatan kita bertiga berantakan.

BusAr : Tuh kan bener, ada sangkut pautnya sama gue. Buru deh cerita aja di sini. Penasaran nih.

Ri25 : Eh Ar, udah dulu ya gue kaya denger suara orang di luar jendela. Takut ah, mau tidur aja. Mending kalo orang, kalo bukan. Hiiiy....

Tapi gue janji deh, besok pasti gue ceritain. Bye Ar.

BusAr : Ah sial luh bikin gue mati penasaran ini mah.

Demikian percakapan yang terdapat dalam chat di laptopku. Apa yang sebenarnya terjadi. Tapi satu hal yang sudah pasti adalah aku tidak bunuh diri. Aku pasti di bunuh, di buat seolah bunuh diri.

Karna tidak mungkin orang yang akan melakukan bunuh diri berhutang cerita kepada orang lain. Biasanya, orang yang mau bunuh diri itu kan nulis wasiat atau peninggalan apa gitu sebagai pertanda terakhir. Tapi ini malah punya rencana bercerita di sekolah. Itu gak mungkin.

Dan.... ada kejadian apa di sekolah hari itu? Kejadian memalukan apa yang membuatku malu. Apa aku harus temuin Arimbi ya, menanyakan apa yang terjadi denganku sehari sebelum kematianku.

Tapi bagaimana caranya? Apa iya aku menampakkan diri di hadapannya. Caranya gimana? Kalaupun berhasil, apa Arimbi ngga akan lari ketakutan lihat arwahku. "Adduuuh, gimana yah. Bingung. OH IYA ! ARYA".

Tanpa pikir panjang lagi, kupejamkan mataku kemudian berfikir aku harus berada di tempat Arya berada. Dan betul saja tiba-tiba aku sudah berada dalam kamar Arya.

"Ciyeee sang juara rajin bener belajar terus". Kataku sambil melongok ke atas meja penuh buku, majalah, dan koran dihadapannya, sepertinya Arya sedang mencari-cari sesuatu di koran yang sedang dia baca.

"Ya ampun Riii, lu bisa gak sih gak nongol tiba-tiba gitu? Kaget tau. Mentang-mentang udah bisa mengendalikan diri. Ngomong-ngomong gimana caranya sampe ke sini? Naik ojek? Kan gatau alamat gue luh?". Tanya Arya sambil meledekku karna kesal dikagetkan.

"Sial luh. Gak usah ngeledek deh. Gue kan hantu. Gak perlu ngojek buat bisa sampe ke sini. Sampe ke puncak menara eiffel aja gue bisa. Bahkan cuma dalam hitungan detik". Kataku membanggakan diri yang sudah ahli mengendalikan diri.

"Hmmm, hantu koq sombong. Gimana caranya tuh bisa begitu?". Tanya Arya penasaran.

"Mmmh, gue cuma pejamin mata, kemudian memikirkan tempat yang pingin gue tuju atau orang yang pingin gue temuin. Jadi deh dalam hitungan detik gue muncul di tempat itu. Asyik kan".

"Ya Ampun Ri, please ya. Jangan lagi lu lakuin hal itu untuk sampe ke tempat gue. Please". Arya memohon sambil mengatupkan kedua telapak tangannya ke hadapanku.

"Lho, terus gimana dong kalo gue butuh bantuan lu? Kan cuma itu cara yang gue bisa". Kataku kemudian.

"Ok Ri, karna sekarang lu udah tau rumah dan kamar gue, tolong mulai sekarang kalo butuh gue, lu pikirin aja dulu rumah gue. Supaya lu sampe di depan pintu aja dulu. Kalo yang lu pikirin keberadaan gue di saat yang gak tepat, bisa gawat Ri. Gimana coba kalo gue lagi di toilet? Atau kalo gue lagi tidur? Kalo tidur gue telanjang lho Ri".

"Ih apa sih lu. Malah mikir ke arah sana. Tapi iya juga sih. Ada benernya. Ya deh, mulai sekarang gue akan kasih tanda keberadaan gue kalo mau dateng".

"Oke, back to topic. Ngomong-ngomong nih Ya, tadi sebelum ke sini, gue coba-coba cek isi laptop gue". Belum selesai aku menjelaskan masalah laptop, Arya memotong kalimatku.

"Ooh iyaa, ternyata itu. Itu yang aneh, yang sejak tadi gue pikirin dan gue cari-cari di koran. Lu tau Ri, sejak pembicaraan kita mengenai kasus lu di awal, elu pernah bilang kalo lu liat laptop di meja belajar lu masih dalam keadaan terbuka saat lu liat jasad lu yang masih menggantung waktu pertama kali gue sadarin lu kalo lu udah mati. Inget itu kan?".

Ok, Arya makin mirip detektif. Dan sekarang dia mulai penyelidikannya diawali dengan membuatku penasaran.

"Iya gue inget kalimat itu, gue bilang waktu gue liat keluarga gue saling berpelukan di depan kamar dan menghadap jasad gue yang masih menggantung, gue emang bener-bener liat dengan jelas kalo laptop gue masih terbuka di atas meja. Trus hubungannya sama koran-koran ini apa?". Tanyaku dengan rasa penasaran yang teramat dalam.

"Lu tau Ri, di hari kejadian setelah polisi datang dan menyisir kamar lu mencari petunjuk. Sama sekali tidak ditemukan laptop. Lu tau apa artinya?". Tanya Arya dengan wajah nyengirnya yang mempesona. Aku mengernyitkan alis tanda tidak tau.

"Artinya, ada orang yang sebelum polisi datang, dengan sengaja mengambil laptop lu dari kamar lu. Jadi, kalo bener lo di bunuh. Petunjuknya ada di laptop itu". Arya seperti menemukan titik terang, tapi sayang, aku tidak dapat membawa serta laptopku ke tempat dimana aku ingin beranjak.

"Duh trus gimana caranya lu nyari petunjuk di laptop gue, sementara gue gak bisa bawa laptop itu ke sini. Gue tadi udah buka-bukapun cuma liat chat terakhir gue sama Arimbi yang ngegantung". Kataku menjelaskan pada Arya.

"Tunggu tunggu, lu tau dari mana kalo polisi gak nemuin laptop itu?". Tanyaku penasaran.

Kemudian Arya menyodorkan lembaran koran padaku.

"Baca deh. di sini jelas-jelas tertulis, kalo tidak ada peninggalan apapun yang sengaja ditinggalkan korban sebelum bunuh diri, hasil olah TKP menyatakan tidak ditemukan senjata, serta tidak ada sidik jari maupun tanda-tanda kekerasan yang terjadi pada fisik korban maupun pada keadaan di dalam kamar korban yang hanya terlihat tempat tidur yang masih rapi serta smartphone korban di atas tempat tidur".

Pikir baik-baik, kalo ada laptop di atas meja, kalimatnya pasti akan jadi begini "Yang hanya ada tempat tidur yang masih rapi, smartphone di atas tempat tidur, serta laptop yang masih terbuka di atas meja belajar korban" Masuk akal gak menurut lu?".

Arya betul-betul cerdas. Persis seperti seorang detektif. Aku sungguh berharap kasus kematianku akan cepat terungkap. Karna bagaimanapun hilangnya memoriku sebelum kematianku, aku tetap yakin bahwa aku tidak akan mungkin bunuh diri. Aku sangat yakin pada pendirianku.

"Jadi, ada orang yang sengaja ambil laptop itu untuk melakukan sesuatu, kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Tapi tidak ada yang menyadari itu. Duh, apa ya Ya. Gue harus cari tau lagi. Tapi apa lagi yang harus gue buka di laptop itu. Semua udah gue cek, cuma chat sama Arimbi aja yang ngeganjel dipikiran gue. Gue harus kasih tau sesuatu tentang Fatma ke Arimbi. Tapi apa ya?".

Aku semakin penasaran. Tapi aku tidak menemukan apapun di dalam laptop itu. Semua file sudah kucoba cari dan buka. Aku ceritakan percakapanku dengan Arimbi saat chat malam itu. Maka Aryapun semakin yakin bahwa aku di bunuh.

"Oh iya Ri, jadi lu ke sini ada apa? Pasti ada perlu kan?". Tanya Arya padaku yang masih kelihatan bingung.

"Oh iya Ya, gue emang ada perlu. Selain masalah laptop, gue pingin lu ketemu Arimbi dan tanya-tanya soal gue dan Fatma. Karna waktu gue chat sama Arimbi, gue janji mau menceritakan sesuatu tentang Fatma ke Arimbi. Lu coba ngobrol sama Arimbi, cari tau sejauh mana persahabatan gue bertiga semasa gue hidup. Gue, Arimbi, dan Fatma. Siapa tau ada petunjuk dari cerita Arimbi. Oh iya Ya. Di chat itu Arimbi sempet bilang kalo ada kejadian memalukan yang gue alamin di sekolah sehari sebelum kematian gue. Lu juga harus cari tau itu Ya".

"Ooh kejadian memalukan itu. Gak perlu di cari tau. Seisi sekolah juga tau kejadian itu. Bener-bener bikin malu". Arya nyengir sambil menatapku membuatku semakin penasaran.

"Haaah? Seisi sekolah? Apaan Ya? Apa mungkin itu yang bikin gue bunuh diri?".

"Lho, jadi lu masih belum yakin kalo lu di bunuh? Sebetulnya masuk akal sih kalo gara-gara kejadian itu lo milih bunuh diri ketimbang hidup nahan malu. Nih ya gue ceritain".

"Hari itu hari sabtu, semua siswa datang ke sekolah untuk wajib ekskul pilihannya masing-masing. Karna emang sekolah kita mewajibkan setiap siswanya ikut kegiatan ekstrakulikuler kan. Jadi hari sabtu tetap ramai seperti hari biasa. Waktu jam istirahat, gue keluar kelas. Di mading, banyak orang berkumpul. Rame sekali. Ada yang merasa jijik, ada juga yang ketawa cengengesan. Setelah gue ikutan mendekat ke mading, gue liat di mading ada foto besar seukurun 10R, cukup besar dan jelas untuk liat wajah lu yang waktu itu belum terkenal. Kalo fotonya foto biasa, mungkin ga jadi soal. Masalahnya, yang di pajang, foto lu dalam keadaan bugil bersama seorang laki-laki yang wajahnya gak di kasih liat di foto itu".

Aku terkejut mendengar cerita Arya. Rasanya mustahil, aku tidak percaya diriku ternyata perempuan murahan semacam itu. Ingin teriak rasanya.

"APAAA?....... Gak mungkin Ya. Masa sih gue begitu sama laki-laki yang bukan siapa-siapa. Gak mungkin Ya, itu pasti gak bener".

"Iya gue tau itu gak bener". Jawab Arya dengan wajah teduhnya yang menggetarkan hati setiap perempuan yang melihatnya.

"Lu tau dari mana kalo itu gak bener?". Tanyaku penasaran. Bagaimana Arya yakin bahwa aku perempuan baik-baik jika aku punya foto-foto semacam itu. Tapi wajahnya memperlihatkan ekspresi serius dan jujur bahwa dia percaya padaku.

"Yah, lu liat aja sana sendiri tu foto. Kalo belum dibuang, seharusnya foto itu masih ada di laci meja Pak Robert. Karna Pak Robert yang katanya ganteng itu, wali kelas lu. Dan waktu lagi rame-ramenya semua orang mandangin mading yang ada foto elu itu, Pak Robert tiba-tiba dateng dan mencabut foto itu. Kalo aja lu inget apa yang lu obrolin di Ruang guru sama Pak Robert, mungkin itu bisa juga jadi petunjuk. Karna semua orang yakin betul kalo lu bunuh diri gara-gara foto itu".

Jadi begitu ceritanya. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera memejamkan mataku dan memikirkan laci meja Pak Robert yang dikatakan Arya. Aku harus lihat sendiri foto itu.

"Jadi Ri....". Arya mencariku melihat ke sekeliling kamarnya. "Ri, lu ke mana? Nongol tiba-tiba, pergi gak bilang-bilang. Dasar. Bener-bener ye kelakuan setan jaman sekarang. Kaga pake permisi".

"Apaan sih lu". Jawabku sambil berdiri tepat di belakangnya.

"MasyaAllaaah Ri, nongol lagi tiba-tiba. Apaan deh lu. Dari mana lu barusan?". Tanya Arya kepadaku yang sedang berjalan perlahan menuju tempat tidurnya. Aku terduduk.

"Tadi gue liat sendiri foto itu. BHAKAKAKAKAKKAKAK". Aku tertawa keras sekali. Untung saja aku ini hantu. Jadi suaraku tidak ke mana-mana.

"Ya ampun Ya, foto kaya gitu gak mungkin bikin gue bunuh diri Ya. Itu foto jelas sekali editannya. Terang banget kalo itu foto palsu. Gue rasa nih ya. Anak SD yang belom bisa baca aja pasti bisa bedain itu foto asli apa editan. Itu foto lucu banget Ya. Gak mungkin gue bunuh diri gara-gara foto yang editannya kacangan macem begitu".

"Hmmm... jadi lu makin yakin nih kalo lu ga bunuh diri? Masalahnya, waktu lu dateng ke sekolah dan menghampiri mading yang ada foto lu itu, raut muka lu keliatan ancur banget Ri. Lu bener-bener merasa malu. Semua orang liat itu. Makanya gak heran kalo mereka jadi yakin bahwa lu bunuh diri gara-gara foto itu".

"Ya, apa polisi gak cari tau siapa yang buat foto itu? Kalo memang ini kasus bunuh diri, bukannya seharusnya mereka mencari penyebabnya Ya? Kalo mereka yakin gue bunuh diri gara-gara foto itu, harusnya mereka cari pelaku pembuatnya kan Ya?". Tanyaku penasaran.

"Polisi sudah menyatakan dengan jelas dan pasti bahwa ini kasus bunuh diri. Nyokap lu gak yakin kalo lu bunuh diri. Tapi karna fakta-fakta yang dibeberkan polisi di TKP, serta penyebab lu bunuh diri yang adalah karna foto bugil, nyokap lu minta kasus ini dihentikan aja. Nyokap lu gak mau kalo jiwa lu terusik oleh orang-orang yang sibuk mencari-cari siapa yang bersalah, sementara kematian lu karna pilihan lu sendiri. Jadi yang tadinya nyokap lu yakin lu gak bunuh diri, beliau jadi percaya karna diperlihatkan fakta-fakta yang ada Ri. Yah walaupun sejauh penyelidikan kita semua fakta yang di beberkan itu gak bener, tapi menurut orang awam seperti nyokap lu, itu keliatan masuk akal Ri. Makanya beliau minta untuk tidak diteruskan kasus ini. Jangan salahin nyokap Ri, beliau cuma pingin lu gak terusik dengan yang masih ada di dunia. Makanya beliau memutuskan demikian. Lu harus paham maksud nyokap lu Ri".

Aku terdiam mendengarkan penjelasan Arya. Yang membuatku sedih adalah kenapa Ibu bisa jadi percaya kalo anaknya ini bunuh diri. Ibu yang selalu menanamkan ilmu agama yang baik dan benar, Ibu yang selalu meyakinkanku bahwa kehidupan yang Allah beri harus di syukuri, kenapa bisa percaya kalo aku bunuh diri. Hanya itu yang aku sesali.

Semuanya jadi rumit. Seandainya saja ada campur tangan polisi yang terus mencari fakta dan kebenarannya. Pasti akan terbantu sekali. Seandainya saja aku tidak perlu tau dan tidak perlu dipusingkan oleh hal-hal duniawi ini untuk dapat ke akhirat, mungkin gak akan serumit ini.

Tapi ngga. Aku ngga rela semuanya jadi begini. Aku gak bisa ikhlas membiarkan pembunuhku masih berkeliaran di luar sana. Gak akan. Aku harus terus mencari tau.

"Ya udah Ri, brati tugas gue dua. Pertama ketemu Arimbi, kedua ke rumah lu. Masalahnya, gimana caranya gue ke rumah lu dan bisa buka-buka laptop lu. Apa iya nyokap lu ngijinin? Ga mungkin nyokap lu ngebolehin gue ngacak-ngacak barang peninggalan lu kan Ri".

Aku dan Arya terdiam. Sama-sama berfikir keras. Betul kata Arya. Ibu gak mungkin ngijinin siapapun ngacak-ngacak barang-barangku. Jadi apa yang harus kami lakukan?

Terlalu beresiko kalo kita curi laptop itu meski hanya sementara. Adakah cara agar hantu dapat membawa barang peninggalannya?

"Udah lah Ya, itu kita pikirin nanti. Sekarang yang gampang aja dulu. Ngobrol sama Arimbi". Kataku kemudian.

Aku pikir dari pada membuang waktu percuma memikirkan cara agar Arya dapat masuk ke kamarku dan mengambil laptop, lebih baik Arya mencari petunjuk lain dulu.

Besoknya di sekolah.

"Duh, Riana mana ya. Kira-kira dia bisa muncul gak ya. Gue kan gak tau yang mana Arimbi. Gimana nyarinya nih. Oh iya, kolam ikan". Arya bergegas ke kebun belakang sekolah menghampiri kolam ikan tempat favorit Riana. Tapi tidak terlihat sosok Riana di situ. Arya berdiri di tepi kolam. Berfikir terus mencari Riana dengan cara apa.

"Gimana sih cara manggil hantu. Adduuuh ribet deh. Apa gue ke kelas B aja ya sekarang, trus tanya yang namanya Arimbi yang mana. Tapii... kalo caranya begitu. Nanti cewe-cewe pada heboh dikira gue ada apa sama Arimbi".

Riana tidak muncul juga di kolam ikan itu. Akhirnya Arya kembali ke kelas. Namun dalam perjalanan menuju kelas, Arya melewati ruang perpustakaan, berhenti sejenak di depannya.

Berfikir apakah harus masuk atau tidak. Kemudian Arya memutuskan masuk. Mencoba mencari-cari buku yang berhubungan dengan mistis atau arwah. Demi bisa memanggil Riana.

Sebetulnya Arya merasa jika Riana sudah pergi dan tidak muncul lagi, kemungkinan dia sudah ikhlas dan tenang. Tapi mengingat kasus kematian Riana yang tidak biasa, Arya malah semakin penasaran. Melebihi arwah penasaran Riana sendiri.

Arya masuk ke perpustakaan, mencari-cari di setiap rak buku. "Naah ini dia nih". Kemudian mengambil satu buku berjudul "Berkomunikasi dengan dunia lain". Setelah itu membawanya ke meja tengah perpustakaan.

"Ngapain lu baca buku gituan? Serem amat sih seleranya". Tiba-tiba saja Arya dikejutkan dengan kemunculan sosok Riana. Baru beberapa halaman terdepan yang Arya buka. Riana sudah muncul.

"Apaan deh. ini kan gara-gara elu. Gue dari pagi nyariin elu tau. Sampe ke kolam ikan kebun belakang. Tapi lu gak juga nongol. Kasus kita kan belum selesai Ri. Dan lu juga belum kasih tau gue yang namanya Arimbi yang mana. Kalo gue tanya anak kelas lu. Nanti jadi heboh lagi. Lu ke mana aja sih?". Tanya Arya penasaran dengan sosok Riana yang sulit dicari namun sering muncul mendadak dan tiba-tiba.

"Haduuh gimana ya Ya. Gue juga gatau gue ada di mana. Berasa hampa aja gitu. Pokonya tadi tau-tau aja gue mikirin elu Ya. Tapi seperti yang lu bilang. Takut lu lagi ada di tempat yang tidak tepat. Makanya gue ga berani beranjak. Cuma mikir doang. Trus gue pikirin aja kelas lu. Tapi di kelas lu ga keliatan, gue juga barusan ke kolam ikan, Nyerah gak nemuin lu, ya udah gue pejamin mata aja dan mikirin keberadaan lu. Gataunya nongol-nongol di sini. Untung aja gak di toilet ya Ya. Hahahah".

"Huss, jangan ketawa keras-keras, ini perpustakaan". Arya yang kelihatan bicara sendiri jadi perhatian orang-orang di sekitar. "Dih, gue kan hantu. Mana ada yang denger gue cekakakan. Lu dikira stress lho Ya. Ngomong sendiri. Hihihihi".

"Iya, gara-gara lu nih. Udah ah jangan  ngomong terus. Gue di sangka gila nih". Aku dan Arya berjalan menyusuri lorong sekolah. Menengok kanan kiri mencari Arimbi.

"Tuh dia tu Ya, Arimbi". Aku menunjuk ke arah bangku kantin ke tempat Arimbi sedang menyantap makan siangnya.

"Mumpung dia lagi sendirian. Buruan deh lu samperin. Tapi koq dia kaya lagi sedih ya? Apa lagi ada masalah?". Aku merasa ada yang sedang terjadi pada Arimbi. Tapi tidak mau menerka-nerka. Biar Arya focus saja dulu mendekati Arimbi.

"Hai, Arimbi ya?". Tanya Arya sambil duduk tepat di sebelah Arimbi.

"Iya Arya, gue Arimbi. Ngomong-ngomong ada perlu apa ya? Koq bisa lu kenal gue? Kalo gue sih jelas banget kenal lu. Secara... lu kan tenar, atlet di sekolah kita. Kalo ada perlu buruan deh, soalnya gue mau balik kelas".

"Ini tentang Riana". Kata Arya kemudian. Wajah Arimbi spontan berubah. Tertegun sambil menatap dalam pada wajah Arya. Arimbi tau betul bagaimana Arya dihati Riana. Padahal Arya sendiri tidak pernah tau tentang perasaan Riana padanya sampai detik ini, sampai detik di mana Dia dan Riana sudah sedekat sekarang ini meski dalam wujud yang berbeda.

Dalam hati Riana berkata "Ya Allaaah please tolong jangan buat Arimbi kasih tau Arya gimana perasaan aku sama dia ya Allaah. Biar perasaanku yang tak terbalas ini menjadi rahasia semasa hidupku. Lagipula, jika Arya tau bahwa selama ini diam-diam aku menyukainya teramat sangat, hingga memiliki banyak sekali foto-fotonya, pasti Arya bakalan menjauh dan gak akan mau lagi bantu kasus ini terungkap. Ya Allah aku mohon rahasiakan".

"Riana? Riana yang mana ya?". Tanya Arimbi seolah Ia tidak pernah kenal dengan yang bernama Riana. "Gue punya sih temen deket banget namanya Riana. Tapi sayangnya dia udah ga ada. Dan gue yakin bukan Riana itu kan yang lu maksud?".

"Iya betul Ar, memang Almarhumah Riana yang mau gue tanyain ke lu. Mmmh.... jadi gini Ar, lu ada inget sesuatu gak tentang obrolan atau kegiatan terakhir Riana sebelum dia .... mmm... dia....".

"Bunuh diri maksud lo?". Tanya Arimbi memotong pembicaraan Arya yang terbata-bata.

"Iya Ar, Sebelum Riana ditemukan tewas maksud gue. Ada sesuatu gak yang mengganjal pikiran lu Ar? Tentang omongan dia atau kira-kira apa yang dia lakuin malam itu?".

"Apa sih maksud lu nanyain ini? Setau gue lu gak pernah kenal sama Almarhum, dia memang kenal banget siapa lu dan malah pingin banget kenal lu. Tapi yang gue tau belum pernah dia berhasil kenalan sama lu". Riana benar-benar tegang mendengarkan apa yang diucapkan Arimbi.

"Aduuuuh please Ar, jangan ngomong itu pleeease. Jangan pernah kasih tau Arya Ar. Kenapa Arimbi malah ngomong begitu sih".

Kemudian Arya melanjutkan bicaranya tanpa peduli dengan pertanyaan Arimbi. Mungkin Arya sadar betul kalo dirinya memang mempesona banyak gadis. Sehingga tidak heran jika bahkan Riana yang dia kenal setelah menjadi arwahpun kemungkinan tertarik padanya semasa hidup.

"Gue emang gak kenal baik dengan almarhum Ar, cuma gue kenal koq. Kenal aja. Dan merasa jadi pingin tau aja tentang dia". Apa yang dikatakan Arya membuat Arimbi semakin bingung.

"Untuk apa? Untuk apa lu tau dia sekarang? Gak ada gunanyakan? Udah terlambat Arya. Buat apa lu mau kenal deket Riana sekarang? Kenapa baru sekarang Arya?". Arimbi berkata sambil terisak, menangis mengingat sosok sahabatnya yang sudah tidak lagi ada di dunia.

Arimbi tau betul seberapa besar rasa suka Riana terhadap Arya. Bukan rasa suka biasa seperti gadis-gadis yang memuja Arya pada umumnya. Tapi Riana memang betul-betul menyukai Arya terlalu dalam.

Bahkan Riana pernah berkhayal menjadi pengantin Arya. Tapi apa daya. Takdir berkehendak lain. Jangankan menjadi pengantin Arya. Baru berniat kenalan, Riana sudah tidak lagi bernyawa.

"Maaf, maaf kalo obrolan ini bikin lo jadi sedih inget dia. Tapi please Ar, gue betul-betul pingin kenal Riana. Meski terlambat. Setidaknya Riana pasti tau dari atas sana, bahwa gue tertarik sama dia. Sayang, semuanya udah terlambat".

Riana terhentak kaget mendengar pernyataan Arya tentang hatinya. Namun Ia berfikir itu hanyalah akal-akalan Arya agar Arimbi mau berdiskusi tentangnya. Maka Ia segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Toh kalaupun benar Arya ada rasa dengannya, semua sudah terlambat.

"Apa sih yang bikin lo tertarik dengan cerita kematian dia sementara apapun yang terjadi Riana udah gak akan kembali? Jangan bikin gue berfikir ini gak ada gunanya Arya. Gue gak suka buang-buang waktu untuk nyeritain sahabat gue ke orang yang cuma mau ambil keuntungan".

Arimbi tiba-tiba marah sambil berdiri, Ia ingin segera beranjak dari kantin. Tapi kemudian Arya mencegahnya dengan kalimat yang membuat Arimbi bimbang.

"Bukan gitu Ar, terserah lu mau percaya atau nggak, tapi Riana ada bersama gue sampai saat ini. Dia ada Ar". Arimbi berfikir Arya hanya sedang mengganggunya.

"Lu udah gila ya? Sarap? Orang udah mati masih lu main-mainin aja". Kata Arimbi sambil beranjak pergi meninggalkan Arya yang masih terduduk kebingungan dengan apa yang selanjutnya harus Ia lakukan agar Arimbi mau diajak diskusi.

"Aduh Ya, kenapa juga lu ngomong begitu sih? Semua orang juga bakal pikir lu gila kalo lu ngomong begitu. Jaman begini mana ada yang percaya ada arwah nyasar kebingungan ga bisa ke akhirat. Ada-ada aja luh".

Akhirnya mereka terdiam. Duduk di bangku kantin sambil berfikir apa yang selanjutnya harus di lakukan.

"Ada Ri, lu harus inget-inget semasa lu hidup. Ada gak rahasia Arimbi yang cuma lu doang yang tau. Kalo gue ngomong itu ke dia, pasti dia bisa percaya kalo lu ada di deket gue".

"Ya ampun Ya, kalo gue bisa inget kejadian-kejadian semasa gue hidup termasuk rahasia Arimbi, ya udah pasti gue ga ada di sini Arya. Pasti gue inget gimana cara gue mati, trus gue bisa pergi ke akhirat tanpa harus cari tau penyebab kematian gue. Gak usah maksa deh Ya. Cari cara lain".

Riana benar. Ia tidak mungkin mengingat apa rahasia Arimbi yang Ia simpan semasa hidupnya. Maka sekali lagi, ini menjadi jalan buntu bagi kasus ini. Lagi-lagi mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa kasus ini mungkin benar bunuh diri.

Arimbi melamun terduduk di bangku kelasnya. Ia memikirkan apa yang dikatakan Arya. Sesungguhnya Arimbi tidak benar-benar percaya pada Arya. Hanya saja, kesedihan Arimbi yang begitu dalam kehilangan sahabatnya Riana membuat Ia jadi ingin tau lebih jauh.

Apa yang sebetulnya sedang dilakukan Arya. Jika benar Riana ada bersamanya. Apa yang dilakukan Riana. Kenapa Riana bisa menampakkan diri kepada Arya. Ataukah Arya yang memiliki kemampuan indra ke enam sehingga bisa melihat Riana yang sudah tiada.

Arimbi membuang pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin ada yang namanya hantu. Arimbi tidak pernah percaya dengan hal-hal gaib semacam itu. Sehingga dia benar-benar berfikir kalau Arya hanya ingin mencari keuntungan dari kisah Riana sahabatnya.

Siapa tau saja Arya sedang menulis buku, blog, artikel atau apapun. Dan dia ingin menggunakan kisah Riana untuk tulisannya.

"Gue gak sudi bantu orang yang akan cari keuntungan dari lo Ri. Gue akan jaga apapun yang gue tau tentang lu Ri. Apapun. Gak akan pernah gue ceritain ke siapapun". Arimbi terisak, menangis sedih sambil memandang fotonya bersama Riana semasa hidup. Riana ada di situ. Riana persis duduk di tempat tidur Arimbi yang sedang bersedih memandang foto mereka.

"Andai ajaa lu bisa liat gue Ar. Mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol lagi kaya dulu. Gue kangen masa-masa itu Ar. Gue juga gak nyangka sebegitunya lu sedih kehilangan gue. Apa yang bakal lo lakuin kalo lo tau gue dibunuh Ar?". Riana meneteskan air mata. Meski Ia hanya arwah. Tapi Ia masih punya perasaan yang tertinggal di dunia.

"ASTAGFIRULLAHALADZIIM......!! Siapa lu? Sejak kapan lu di sini? Ngapain lu di sini? Ri, itu elo Ri? Please Ri, kalo gue ada salah, gue minta maaf. Tapi tolong jangan ganggu gue Ri. Harusnya lo udah tenang di sana Ri".

Arimbi kaget melihat sosok sahabatnya itu sedang duduk di ujung tempat tidurnya. Riana masih tidak menyadari bahwa sahabatnya itu pada akhirnya dapat melihatnya sampai Arimbi menyebut namanya.

"Maksud lo gue Ar? Serius lo ngomong sama gue? Lu bisa liat gue Ar? Astagaaaa Arimbiiii akhirnya kita bisa komunikasi".

Riana girang bukan main. Bersorak hingga melompat dari tempat tidur ke arah Arimbi. Namun Arimbi masih ketakutan dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Arimbi mengucek-ucek kedua matanya, siapa tau ini hanya halusinasi.

"Nggak Ar, gue gak dateng ke sini untuk ganggu lo. Gue ke sini karna memang ada perlu sama lo Ar. Cuma gue gak tau gimana caranya supaya lu bisa liat gue. Please Ar. Jangan takut".

Semakin Riana mendekat kepadanya maka Arimbi mundur semakin jauh. Ia masih merinding, merasa apa yang Ia lihat seharusnya tidak terjadi. Tapi dia mencoba memberanikan diri.

"Ri, jadi iini bener-bener lo Ri? Ya ampun Riii". Maka akhirnya mereka bersuka cita, gembira karna bisa dipertemukan kembali meski dengan wujud yang berbeda pada diri Riana.

"Lu tau lah Ar, gimana sayangnya gue sama Arya semasa gue hidup. Makanya, waktu tadi di sekolah Arya nanya tentang gue. Rasanya gue tegang banget takut-takut lo ngomong gimana perasaan gue ke dia. Kalo sampe dia sadar betul apa yang lu omongin Ar, yang ada dia ga bakalan mau nolongin gue lagi untuk ngusut tuntas kasus gue".

"Kasus lo Ri? Maksudnya? Kasus lo gantung diri itu?". Tanya Arimbi penasaran dengan mata terbelalak ke wajah Riana.

"Iya Ar. Kasus itu. Dan asal lo tau aja Ar. Gue gak bunuh diri. Gue di bunuh Ar". Jelas Riana kemudian.

"APA? DIBUNUH?". Kemudian, Riana menceritakan semuanya kepada Arimbi. Sejak awal Ia bisa terlihat oleh Arya, hingga detik dimana tadi Arya harus bertanya pada Arimbi. Semua Ia ceritakan. Bagaimana Dia dan Arya curiga dengan kematian yang terlihat bunuh diri itu.

"Ooo jadi begitu. Awalnya itu cuma perasaan lu aja Ri. Tapi kemudian, lu dan Arya sedikit-sedikit menemukan fakta yang mengantarkan kalian ke kenyataan bahwa bunuh diri lo itu buatan orang yang sengaja ngebunuh lo Ri? Ya ampun Ri, sumpah ini ga bisa di diemin Ri. Kita harus cari pelakunya. Gimanapun caranya. OK, mulai detik ini, gue akan bantu lo Ri. Gue akan ceritain semua tentang kita semasa lo hidup ke Arya yang mungkin sampe sekarang ini masih gak lu inget. Kapan gue bisa ketemu Arya Ri?".

"Sekarang juga Ar, harus sekarang. Jangan di tunda-tunda. Supaya semuanya terungkap lebih cepat". Riana semakin semangat mencari kebenaran bunuh dirinya. Terlebih lagi sekarang ada dua sosok manusia yang mau dengan ikhlas membantunya.

Dua manusia kesayangannya. Yang Ia yakin, mereka tidak akan mengecewakannya. Maka detik itu juga. Arimbi segera bergegas pergi ke rumah Arya. Ia segera keluar kamar, berlari menuruni anak tangga hingga keluar halaman rumahnya kemudian membuka gerbang besar rumahnya, menengok kanan kiri kalau-kalau ada taksi lewat.

Namun sayang, komplek perumahan Arimbi memang jarang orang berlalu lalang, sehingga terpaksa Arimbi harus menggunakan mobilnya sendiri. Maka Ia bergegas lagi masuk ke dalam rumah, menghampiri laci mejanya, segera mengambil kunci mobilnya.

"Ri, arahin gue ke rumah Arya ya. Gue kan gak tau alamatnya". Kata Arimbi sambil melaju mengendarai Honda Jazz merah kesayangannya.

"Maaf pak malam-malam ganggu. Bisa ketemu dengan Arya?". Tanya Arimbi pada satpam penjaga rumah Arya. "Ada perlu apa ya mba? Mba ini siapanya?" . Tanya kembali pak satpam.

"Saya Arimbi pak, teman sekolahnya Arya. Ada perlu penting sekali. Tolong dipanggilkan bisa pak?". Kemudian pak Satpam bergegas menuju pintu utama dan memanggil Mbo Minah ART di rumah Arya.

"Mbo, tolong sampaikan ada tamunya den Arya menunggu di luar. Namanya Arimbi". Jelas Pak Satpam kepada Mbo Minah.

Mbo Minahpun segera bergegas ke lantai atas menuju kamar Arya. "Tok...Tok...". "Deen, ada tamunya menunggu di luar". Kata Mbo Minah sambil mengetuk perlahan pintu kamar Arya.

"Tamu saya Mbo? Siapa?". Tanya Arya sambil membuka pintu perlahan-lahan.

"Anu den, katanya sih teman sekolah Aden. Namanya Arimbi apa siapa gitu Den. Si Mbo lupa tadi Pa Satpam kasih tau nya siapa ya".

"HAH? Arimbi?". Arya terkejut mendengar Mbo Minah menyebut nama itu. Masalahnya, darimana Arimbi tau rumahnya. Dan lagipula, bukannya dia bersikeras menolak membantunya menceritakan kehidupan Riana sahabatnya semasa Dia hidup. Kenapa tiba-tiba sekarang dia datang ke rumah.

"Ya udah Mbo, bilangin pa Satpam suruh Arimbi masuk. Nanti saya segera turun". Kemudian Arya masuk kembali ke kamarnya.

"Rii...Riana...Riiii, lu ada di sini gak? Rii...". Arya memanggil Riana dengan suara setengah berbisik. Namun Riana tak juga muncul. Takut Arimbi menunggu terlalu lama maka Arya segera turun menemuinya.

Arya kembali terkejut begitu di ruang tamu Ia melihat Arimbi duduk bersebelahan dengan Riana. Arya memandang Riana dengan tatapan yang seolah memberinya kode untuk Riana pergi ke kamarnya agar Ia bisa bicara sejenak dengan Riana. Sekedar bertanya bagaimana bisa Ia bersama Arimbi. Namun, Arimbi langsung menyadari hal itu.

"Ya ampun Ya, gak usah kode-kode'an segala. Gue juga bisa ngobrol sama Riana. Udah deh kita ngobrol bertiga di sini aja". Lanjut Arimbi kemudian.

"Apa? Apa maksud lo Ar. Gue gak ngerti". Arya berpura-pura tanya seolah Ia tidak pernah berkomunikasi dengan Riana. Arya tidak ingin lagi membuat keadaan seolah-olah Dia gila di hadapan Arimbi.

"Iya Ya, Arimbi udah bisa liat gue sekarang. Makanya dia dateng kemari. Supaya kita bisa ngobrol bertiga. Ya kan Ar?". Kata Riana saling menatap dengan Arimbi.

"Iya Ya. Gue minta maaf waktu itu pergi gitu aja dan gak percaya sama omongan lo. Tapi yaah kalo dipikir secara logis. Mana ada orang mau percaya sama cerita-cerita hantu macam ini jaman sekarang. Tapi gue gak nyangka kalo gue bisa ngobrol lagi sama Riana ". Jelas Arimbi sambil tertawa senang memperhatikan Riana.

"Dan gue siap ngebantu apa aja dan nyeritain apapun yang gue tau tentang Riana. Karna Riana udah ceritain semuanya ke gue. Dan gue juga bertekad untuk nemuin siapa pelakunya. Kita harus berhasil mengusut tuntas kasus Riana".

Riana senang. Akhirnya Arimbi sahabat terbaiknya dapat membantu tanpa ragu dan sungkan lagi dengan Arya.

"Jadi apa nih selanjutnya yang harus kita lakuin?". Tanya Arimbi antusias.

"Ok, karna sekarang Arimbi udah terlibat dan kebetulan banget Arimbi deket sama lu dan keluarga lu Ri, jadi sekarang tugas Arimbi yang ambil laptop itu dari kamar lu".

Betul juga, Arimbi bisa datang ke rumah dan bertemu Ibu untuk minta izin ke kamarku sekedar mengenangku. Ibu pasti ngijinin Arimbi.

"Ok, sementara Arimbi bertugas liat laptop lu, gue akan diem-diem ambil foto lu di meja Pak Robert untuk cari tau siapa pengedit dan pencetak foto itu. Siapa tau itu berhubungan dengan kasus ini. Gue merasa foto itu di buat untuk menggiring pikiran orang-orang bahwa lu memang bunuh diri. Jadi gue yakin betul kalo foto itu pasti berhubungan dengan kasus ini".

"Dan lo Ri, lu coba perhatikan sekeliling rumah dan sekolah. Siapa tau ada orang-orang mencurigakan yang bertindak demi menghapus jejak. Karna gue pikir, kalo bener foto itu berhubungan dengan kasus ini, artinya orang yang kenal lu dan ada di sekeliling lu yang ngelakuin semuanya".

Arya bak detektif terkenal dengan analisisnya yang tepat sasaran dan tugas-tugas yang Ia berikan. Maka malam itu kami semakin yakin akan menemukan titik terang di mana akan segera terungkap apa yang terjadi dengan kematianku.

"Malam ini cukup sampai di sini dulu. Sudah malam sebaiknya kita lanjut besok. Ar, perlu gue anter pulang? Udah malem lho". Tanya Arya kemudian.

"Gak usah Ya, kan ada Riana. Santai aja. Riana kan udah ga bakal dicariin nyokapnya".

"HAHAHAHAHA....". Kami tertawa bersama.

Hari ini berakhir dengan baik. Semoga besok kami dapat menemukan petunjuk yang lebih spesifik lagi untuk mengungkap kasus ini.

BAB 2

"Assalamualaikuuum.....". Teriak Arimbi dari luar pintu rumah Riana. Tidak berapa lama, Ibu Riana membukakan pintu.

"Waalaikumsalam, lho, Arimbi? Ada perlu apa nak?". Tanya Ibu Riana kemudian.

"Alhamdulilah Ibu sehat kan? Gak ada apa-apa koq Bu, Aku cuma mau nengokin Ibu aja. Pingin tau keadaan Ibu sehat atau ngga".

"Ya ampun naak, senangnya kamu masih perhatian sama Ibu meski Riana sudah tidak ada". Kata Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Ayo nak, mari masuk yuk".

Arimbi masuk dan duduk perlahan di sofa ruang tamu. Sambil memandang sekeliling rumah Riana. Sebetulnya Arimbi merasa bingung dengan alasan apa yang harus Ia gunakan agar Ia dapat masuk dan mengambil laptop Riana. Arimbi terus bercerita, mengobrol dengan Ibu Riana sambil terus berfikir.

Mengarahkan kalimat-kalimat yang mungkin bisa menggiring dirinya dipersilahkan masuk ke kamar Riana. Namun Ia masih sungkan.

"Mmhh... Bu, boleh kalo saya ke kamar Riana? Sayaa.... rasanyaa... rindu sekali pada Riana. Ingin berada di kamar itu sekali lagi. Mengenang masa di mana kami bercanda, tertawa bersama, bercerita kisah-kisah yang konyol dan seru. Boleh Bu?". Akhirnya Arimbi memberanikan diri meminta izin secara langsung.

"Tentu saja boleh nak, silahkan. Kamu bebas menggunakan kamar Riana sesukamu. Riana pasti senang sekali masih ada teman baiknya yang merindukannya dan yang perhatian terhadap Ibu. Rasanya sampai detik ini Ibu masih tidak percaya Riana tiada dengan cara seperti itu. Ya udah Arimbi, silahkan naik aja ke kamar Riana. Kamu jangan kaget ya kalo liat roti lapis kesukaan Riana di atas meja. Ibu memang sengaja setiap pagi mengantarkan itu ke kamar Riana. Entah apa yang membuat Ibu berbuat demikian. Mungkin karna belum terbiasa aja kehilangan Riana dan tidak mengantarkan sarapan kesukaannya lagi ke kamarnya. Jadii... Ibu masih belum bisa berhenti. Meski berulang kali Bapak minta Ibu menghentikan perbuatan itu. Tapi rasanya sulit Nak".

Ooo jadi itu sebabnya saat aku belum menyadari kematianku sendiri, Ibu mengantarkankan sarapanku hanya tersenyum melihat ke arah tempat tidurku dimana saat itu aku duduk.

Bukan karna Ia melihatku. Tapi karna Ia terkenang dengan aku yang biasanya masih awut-awutan bangun tidur saat Ibu mengantar sarapan. Ya ampun Bu, semoga Ibu segera ikhlas dengan kepergianku dan menghentikan semua itu. Kasihan Ibu.

Arimbi tidak membuang waktu lagi. Segera saja Ia beranjak dari sofa menuju lantai atas kamar Riana. Kemudian Arimbi memberi isyarat pada Riana agar mengikutinya.

"Duh Ri, bingung nih. Apa iya gue langsung ambil laptop lu trus pamit pulang. Kalo nyokap lo sadar ada yang ilang dari kamar lu gimana? Kan gak enak kalo sampe kepergok. Dikira maling dong gue".

"Mmmh, ya lu jangan langsung pamitlah. Santai dulu aja kenapa sih. Masih kaku aja. Tidur-tiduran dulu kan bisa. Dulu waktu gue masih hidup, lo betah banget di kamar ini, sampe-sampe sering ketiduran. Kalo nyokap gak bangunin kita, lu pasti ga bakalan pulang".

"Hahahaha....". Kami tertawa bersama. Mengenang masa itu. Masa dimana aku masih hidup dan semuanya begitu menggembirakan. Rasanya sulit menerima kenyataan bahwa aku tak lagi bisa bercanda dengan sahabatku ini. Sambil mengisi waktu untuk memberi jeda waktu agar Ibu tidak curiga, kami mengobrol. Sama seperti ketika itu. Ketika aku masih hidup.

Banyak cerita, banyak tertawa. Tapi karna kali ini wujudku berbeda. Maka kami tidak bisa lagi tertawa lepas sebebas dulu. Jika itu kami lakukan, bisa-bisa Ariimbi dikira gila ketawa sendirian. Hihihihi.

"Eh Fatma apa kabar Ar. Kenapa belakangan ini gue gak liat lu bareng-bareng lagi sama dia. Dulu kan kita sering bertiga di kamar ini, di sekolah, di kamar lo, di kamar fatma". Tanyaku pada Arimbi yang sedang tidur-tiduran di kasurku.

"O my God Ri, lo inget semua itu?".

Pertanyaan Arimbi membuyarkan pikiranku. Benar juga. Kenapa aku ingat memori itu tapi yang lain tidak. Apa perlahan inigatanku akan muncul? Semoga saja itu terjadi. Agar aku tidak perlu menyulitkan Arimbi dan Arya untuk mencari kebenaran kematianku dan memposisikan mereka dalam bahaya.

"Bener juga Ar, koq bisa ya gue inget itu, sementara yang lain ngga. Aneh". Arimbi segera memasukan laptop Riana ke dalam tasnya. Setelah itu berpamitan pulang dengan Ibu riana.

"Bu, Rimbi mau pamit pulang". Suara Arimbi terdengar terbata-bata, mungkin Ia gugup. Tapi Ia tetap bersikap setenang mungkin agar Ibu Riana tidak menyadari yang terjadi.

Kemudian Ibu Riana melongok ke dalam kamar Riana melihat-lihat kemungkinan Arimbi tertinggal barang miliknya.

"Nak Rimbi....". Panggil Ibu Riana ketika Arimbi telah mencapai pintu luar untuk segera pulang.

"Addduuh, gimana niih. Kenapa ya Ibu manggil. Jangan-jangan dia sadar laptop Riana gue ambil. Ya Allah jangan sampe pleeease". Gumam Arimbi dalam hati. Ia sangat gugup. Takut-takut jika Ibu Riana menyadari laptop anaknya yang tiba-tiba hilang dari meja belajarnya.

"i...iya Bu, ada apa?". Tanya Arimbi sambil balik badan melihat ke arah Ibu Riana.

"Ga ada apa-apa, cuma mau mastikan aja apa ada barang kamu yang ketinggalan?".

"Ooh ngga Bu, Rimbi ngga ngeluarin apa-apa koq dari tas, jadi gak mungkin ada yang ketinggalan". Jawab Arimbi dengan suara agak gugup.

"Ya sudah kalo begitu hati-hati ya nak, jangan ngebut-ngebut di jalan".

"Iya Bu, makasih banyak udah diijinin ke kamar Riana dan ditemenin ngobrol hari ini. Kapan-kapan Rimbi main lagi ke sini. Assalamualaikum Bu". Pamit Arimbi sambil mencium tangan Ibu Riana.

"Fyuuuuh lega banget. Akhirnya berhasil ngambil laptop Riana. Sekarang pulang dulu apa langsung ke rumah Arya ya. Langsung aja deh. Kasus ini harus cepat di selesaikan. Gak boleh bermalas-malasan". Arimbipun meluncur dengan honda jazz nya menuju rumah Arya.

Dirumah Arya.

"Jadi gimana? Apa yang mau kita cari di laptop Riana?". Tanya Arimbi kepada Arya yang sedang memperhatikan foto editan Riana.

"Itu nanti dulu Ar. Gue nemu nih, lu perhatiin bagian belakang lembar foto ini. Ada watermark. Semacam nama brand atau toko kan. Kalo gak salah ini toko yang di sebrang ujung jalan sekolah itu bukan?". Arya memang ingatannya paling baik di antara kami bertiga. Untungnya dia ikut mengusut kasus ini. Aku betul-betul bersukur bisa dilihat olehnya.

"Iya sih betul, brarti si pelaku cetak foto ini di toko ATK itu?". Tanya Arimbi penasaran.

"Gue rasa sih gak mungkin Ar. Kalo dia cetak di situ, terlalu beresiko. Ini foto telanjang, editan pula. Dia bisa kena masalah. Menurut gue, dia cuma beli kertas foto ini di toko itu, kemudian dia cetak sendiri entah di mana dengan menggunakan printer. Jelas ini hasil cetakan printer. Bukan cetakan mesin foto seperti yang ada di toko itu. Gue tau soalnya gue sering cetak foto di situ untuk keperluan anak-anak mading. Bantu-bantu aja meski gue bukan anak mading".

"Ok, jika benar foto ini berasal dari toko ATK itu, kita harus tanya sama toko itu siapa kira-kira orang yang pernah beli kertas foto selama seminggu terakhir ini. Tapi apa iya penjualnya ingat. Sementara yang aku sering lihat tiap pulang sekolah, toko itu sering ramai pembeli. Tapi ya kita lihat sajalah usaha Arya menanyakannya". Batin Riana bertanya-tanya.

"Ciyeee, udah akur nih sekarang". Kemunculan Riana yang tiba-tiba membuat Arya dan Arimbi yang sedang serius berdiskusi masalah foto jadi terkejut.

"Ah elu Ri, ke mana aja lu baru nongol sekarang". Gerutu Arimbi dengan wajah cemberutnya karna di ledek Riana.

"Ada koq, kalian aja gak sadar. Jadi, dapet apa kita hari ini?".

"Besok pagi-pagi, tunggu gue di gerbang sekolah. Jangan telat, kita sama-sama ke toko ATK itu". Kata Arya kemudian.

Esoknya di gerbang sekolah !

"Yuk..". Ajak Arya kepada Arimbi yang baru saja menghampirinya di gerbang sekolah. Merekapun bergegas menuju toko ATK yang dimaksud. Berharap semoga penjaga tokonya mengingat semua pembeli minggu lalu.

"Iya dek' mau beli apa?". Tanya penjaga toko.

"Gini mas, maaf sebelumnya. Kita ke sini bukan mau beli. Cuma mau tanya aja sih. Kira-kira mas bisa ingat-ingat gak ya, siapa-siapa aja atau seperti apalah orang yang minggu-minggu lalu pernah beli kertas cetak foto tanpa mencetak?". Tanya Arya kepada penjaga toko ATK tersebut.

"Waduh, mau tanya itu ya. Kebetulan banget. Beruntung kamu. Yang beli kertas cetak foto itu jarang banget. Kebanyakan di sini lebih milih langsung cetak dibanding beli kertasnya aja. Karna harganya beda tipis dengan cetak langsung. Tapi ada satu mba-mba galak yang memang minggu lalu beli kertas cetak foto. Satu-satunya orang yang pernah beli kertas cetak foto ya dia itu". Jelas penjaga toko itu kemudian.

"Sukurlah kalo ingat, seperti apa orangnya mas? Mba-mba. berarti perempuan dong. Kaya apa mas orangnya? Coba diingat-ingat". Tanya Arimbi penasaran dengan penjelasan penjaga toko tersebut.

"Orangnya cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang sebahu, tapi agak judes. Soalnya saya tawarin cetak langsung aja, dia gak mau, terus karna waktu itu saya liat wajahnya kelihatan habis nangis. Jadi saya basa basi sekedar tanya. Mba lagi sedih ya, ada masalah?. Bukannya dia jawab, malah dia marah-marah. Katanya saya jangan ikut campurlah, bukan urusan sayalah. Ya gitu deh mba pokonya. Orangnya cantik tapi galak banget".

Penjelasan penjaga toko itu membuat kami semakin bingung. Karna jujur saja siswi perempuan dengan ciri-ciri yang disebutkan mas penjaga toko itu ada banyak. Banyak siswi cantik berkulit putih berambut panjang di sekolah ini. Maklum, sekolah ini isinya kebanyakan orang-orang kaya semua. Jadi wajarlah kalo kulitnya bening-bening.

Sampai kemudian, mas penjaga toko menunjuk seorang siswi yang sedang berlalu melewati toko ke arah gerbang sekolah.

"Naah itu tuh, mba itu yang waktu itu beli kertas foto di sini. Mba galak yang suka marah-marah".

Lantas kami bertiga menengok ke arah yang dituju. "FATMA....?". Teriakku dan Arimbi berbarengan. Kami kaget bukan main. Ternyata Fatma yang membeli kertas cetak foto itu.

Arya kaget mendengar teriakan kami. Tapi dia tetap tenang. Karna dia tidak mengenal siapa Fatma. Tapi bagi kami berdua. Fatma adalah sosok yang paling dekat dengan kami di sekolah.

"Jadi, kalian kenal perempuan itu? Siapa dia? Apa hubungannya dengan foto itu ya. Apa dia yang edit-edit foto itu?". Tanya Arya penasaran.

"Gak mungkin Fatma Ya, gue tau betul dia gimana. Dia jago banget ngedit-ngedit foto, bikin gambar ilustrasi, dan lainnya. Gak mungkin dia edit foto seamatir itu. Editan paling kacau yang pernah gue liat. Jadi gak mungkin Fatma". Kataku kemudian.

Aku bingung dan terus bertanya-tanya. Apa hubungannya Fatma dengan semua ini. Terlebih lagi, menurut cerita Arimbi, mereka sudah tidak sedekat dulu. Fatma lebih sering menghindar jika berpapasan dengan Arimbi.

Terakhir kali mereka bersama-sama, minggu-minggu lalu ketika menghadiri acara pemakamanku. Justru Fatma yang paling terlihat kehilangan. Dia yang paling sedih dengan kematianku. Seperti merasa dunianya hancur. Itu yang dikatakan Arimbi padaku.

Fatma betul-betul terpukul dengan kematianku. Terlebih lagi, dia juga sahabatku. Sama seperti Arimbi. Jadi, tidak mungkin dia yang menjebakku dengan editan foto amatiran itu. Aku percaya padanya.

"Jadi, sekarang kita udah tau dia yang beli kertas cetak foto itu. Masalahnya, apa betul dia yang cetak?". Tanya Arya penasaran.

"NGGAK, Nggak mungkin Ya, gak mungkin Fatma. Gue kenal baik dia. Lu jangan asal nuduh. Bisa aja kan dia disuruh orang untuk beli kertas cetak itu". Tiba-tiba Riana sedikit marah lalu menghilang.

Arimbi dan Arya menjadi bingung dengan sikap Riana yang tidak terima mengetahui sahabatnya itu ternyata terlibat dalam kasus ini.

"Gue juga sebenernya kurang yakin. Tapi gak tau juga sih. Mungkin aja Fatma bener terlibat. Buktinya belakangan ini dia terus menghindar dari gue. Apa gue coba ajak dia ngomong ya".

"Mungkin ada baiknya lu deketin lagi Fatma, siapa tau lu bisa korek keterangan lebih jauh dari dia. Semoga dugaan kita salah". Kata Arya kemudian.

Hari ini berakhir dengan tanda tanya besar mengenai keterlibatan Fatma. Karna sudah waktunya masuk kelas. Maka Arimbi dan Arya segera bergegas menuju sekolah. Meninggalkan Riana yang tidak terlihat lagi setelah kemarahannya.

"Jadi sekarang ini tugas kita ada dua. Korek keterangan dari Fatma dan kita cek isi laptop Riana". Arya mengawali obrolan kami sore itu di rumahnya.

Kemudian Arya tampak sibuk sekali mengutak atik isi laptop Riana. Membuka semua file termasuk folder-folder foto dan gambar. Ada satu folder berjudul "AR" dan diprotect dengan password. Arya penasaran dengan isinya. Namun tidak bisa membuka karna tidak tau passwordnya.

"Mana Riana ya? Masih ngambek apa ya?". Tanya Arya kepada Arimbi yang sedang memperhatikannya membuka-buka file dalam laptop Riana.

"Iya nih, koq Riana gak muncul ya", Jawab Arimbi kemudian.

"Ri... Rianaaa...". Bisik Arimbi mencari sosok Riana.

"Semoga lu ga marah ya dengan kejadian tadi pagi. Bukan maksud Arya nuduh Fatma kan Ri. Cuma kebetulan aja yang beli kertas foto itu ternyata Fatma. Ayolah Ri, jangan jadi gini. Nanti kasus kita gak kelar-kelar".

Arimbi terus mencoba bicara dengan Riana. Namun Riana tidak juga muncul.

Sementara Arya membuka-buka semua file Riana. Mencari kalau-kalau ada yang mencurigakan.

"Semuanya aman sih, gak ada sesuatu yang mencurigakan sejauh ini. Tapi gimana ya. Satu folder ini ngeganjel banget deh dipikiran gue. Mana Riana ya. Kan cuma dia yang tau password ini".

"Iya, gue dari tadi di sini koq merhatiin kalian. Sorry banget ya tentang tadi pagi. Gue berlebihan aja". Tiba-tiba Riana muncul tepat di samping Arimbi yang sedang duduk memperhatikan laptop yang diutak atik Arya.

"Jadi apa password folder AR ini Ri?". Tanya Arya kemudian.

Pertanyaan yang paling dihindari Riana. Karna Riana ingat betul apa isi folder tersebut. Folder itu berjudul AR diambil dari nama Arya. Ya, betul, folder itu berisi semua tentang Arya. Riana takut jika Arya tau perasaannya yang begitu mendalam terhadapnya, maka Arya tidak akan mau lagi membantunya memecahkan kasus ini. Maka Riana berpura-pura tidak ingat.

"Ya ampun Ya, mana gue inget. Kalo gue inget password itu, pasti gue juga inget semua memori yang hilang sebelum kematian gue kan. Password itu kan bagian dari masa hidup gue Ya, mana juga gue inget". Jawab Riana menghindari pertanyaan Arya. Padahal Riana ingat betul apa password dan isi dari folder itu.

Tapi sepertinya Arimbi tau isi folder itu. Arimbi mengenal betul bagaimana Riana. Arimbi juga ingat kalo Riana pernah bilang tentang hobi fotografi Riana yang sering memotret apa saja. Ke sekolahpun Riana tidak pernah lupa membawa camera.

Riana juga pernah cerita padanya kalo dia punya banyak kumpulan foto Arya. Arimbi tersenyum-senyum melihat tingkah Riana yang tidak biasa itu. Dia paham betul bahwa sahabatnya yang sudah jadi arwah itu sedang gugup.

"Ri, udahlah gak usah dirahasiain lagi. Ini penting lho Ri. Demi lo juga kan. Kalo gak, kasus ini bakal terus ngegantung. Dan lu terus hidup begini. Hidup ngga, mati juga ngga. Begini aja terus. Mau?".

"Beneran Ar, gue gak inget password itu". Jawab Riana dengan suara yang masih terasa gugup.

"Hmm, apa perlu nih gue yang kasih tau Arya? Soalnya gue masih inget lho password itu. Kan dulu lo pernah ngasih tau gue waktu kita lagi asik ngobrol di kamar lo. Trus gue liat-liat deh isi folder itu. Mungkin kalo kisah itu lo bisa lupa, tapi password kan bukan kisah, bukan cerita masa sih lo lupa".

Arimbi benar-benar membuatku semakin gugup. Tapi apa boleh buat. Demi menguak kasus yang terselubung tentang kematianku, pada akhirnya aku harus pasrah membeberkan perasaanku pada Arya.

"Ini ada apa sih. Masalah password folder aja jadi ribut. Ya udah kalo ga ada yang mau kasih tau. Bisa gue crack koq passwordnya. Tenang aja. Gak sampe lima menit juga terbuka ni folder".

Dengan wajahnya yang penuh keyakinan, Arya seperti menantang aku dan Arimbi agar memberikan passwordmya. Tapi Arya memang siswa yang amat cerdas. Aku yakin jika dia benar-benar bisa membuka folder itu dengan cepat.

Daripada terbongkar dan semuanya jadi kacau, lebih baik aku bicara duluan. Semacam.... pengakuan gitu deh. Dan sepertinya Arimbi paham betul aku akan buat pengakuan kepada Arya, sehingga Ia menghindari kami. Agar aku bisa leluasa mengakui perasaanku pada Arya. Jadi Arimbi segera keluar ke halaman depan.

"Mmmh... ya udah, gue ngadem dulu ah ke depan. Lu selesain deh tu berdua". Kata Arimbi sambil berlalu pergi meninggalkanku dengan Arya.

"Ok...Ok... gue ngaku deh. Gue hafal betul password itu. Gue kasih tau. Tapi please Arya. Gue mohon abaikan aja semua yang ada di dalamnya ya. Mmmh... gue emang cuma arwah, cuma hantu gentayangan yang ga bisa lagi berbuat apa-apa. Jadi ya pasrah aja, gue mau ngaku aja deh. Mmmh, Ya, kayanya ini gak bakal gue lakuin seumur hidup gue. Tapi berhubung gue udah mati. Jadii... OK lah gue akan ngomong jujur. Susah sih. Tapi yah ga apa jugalah. Toh gue udah mati".

Riana bicara panjang lebar, namun tidak juga sampai kepada intinya. Arya yang memang sudah paham apa sebenarnya yang akan diutarakan Riana hanya tersenyum-senyum mendengarkan arwah itu bicara ke sana kemari tanpa henti.

"Jadi yah Arya, tolong setelah ini lo jangan berubah. Ya anggaplah lu bantu gue buat ngusir gue dari kehidupan lo gitu deh. Yaa pokonya kasus ini harus selesai dulu. Baru lo boleh mengacuhkan gue seperti perempuan-perempuan lain yang lo cuekin, lo acuhin, lo jauhin. Tapi jangan sekarang Arya. Gue masih butuh lo, gue masih pingin kasus ini selesai. Kan, kalo kasus ini selesai, mungkin gue bisa pergi dengan tenang. Jadii... lu gak perlu menghindari gue karna risih".

Lagi-lagi Arya hanya tersenyum. Ia sebenarnya ingin sekali tertawa melihat tingkah Riana si hantu imut ini berwajah salah tingkah. Kalau saja Ia bukan hantu, mungkin rona wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Ri, cukup ya ulasan panjang lebarnya. Kenapa juga gue harus hindarin lo? Apa sebabnya? Kalo lu pikir semua perempuan yang naksir sama gue pasti gue acuhin, mungkin lo bener. Tapi kan itu karna gue gak ada perasaan apa-apa sama mereka. Ya wajar dong kalo gue merasa risih, jadi gue cuekin mereka. Gak usah basa basi deh. Gak usah ngungkapin rasa cinta lu ke gue kalo lu malu atau gak siap. Gue paham koq, cewek gak mungkin ngungkapin perasaannya duluan. Ya udah cepet sini kasih tau passwordnya. Mau kelar gak nih kasus?".

Riana makin salah tingkah mengetahui pujaan hati yang sedang dihadapannya ini pada akhirnya mengetahui bagaimana perasaannya. Meskipun Arya selalu cuek dengan perempuan yang tertarik padanya, mungkin benar itu karna dia risih.

"Lo bilang kalo lu ngindarin perempuan-perempuan itu karna gak suka dan jadi risih. Jadi lo gak risih sama gue gitu maksudnya? Jadi lu suka gitu sama gue?".

"Pinginnya sih nanya gitu sama Arya. Abis dari kalimatnya itu seolah-olah seperti itu. Tapi daripada nanti malah bikin Arya risih mending jangan deh. Biar simpen aja sendiri. Siapa tau Arya bener suka sama aku. Hihihihi".

"Ah, gak mungkin juga sih. Aku ini kan hantu. Jadi wajar aja kalo dia merasa gak risih dan biasa aja meski gapunya perasaan apa-apa. Aduuuuh, aku mikir apa sih ini. Udah-udah buang jauuh pikiran itu. Arya hidup, aku mati, kita gak mungkin sama-sama meski saling suka. Apalagi kalo salah satunya ga suka".

"Iya, iya, passwordnya aryaputrapermana". Riana pada akhirnya memberi tau password folder itu. Sementara Arya hanya tersenyum-senyum mendengarnya.

"Naah gitu dong, tinggal kasih tau aja susah banget sih. Nama lengkap gue kan gampang nyebutnya kenapa dari tadi berbelit-belit amat". Kata Arya sambil senyum-senyum manis memandang Riana yang lagi salah tingkah.

Akhirnya Arya melihat semua isi folder itu. Ada Folder terpisah lagi di dalamnya. Folder Gambar dan Folder Diary. Arya mulai dengan membuka folder gambar.

Tidak ada yang terlalu mengganjal pada gambar-gambar yang Riana ambil di sekolah. Mulai dari Arya yang sedang main basket, Arya yang sedang membaca buku, sampai Arya yang sedang makan di kantin. Semuanya tentang Arya.

Tiba-tiba...... Arya memendang serius pada wajah Riana.

"Lu itu bukan maniak kan? Kenapa gue jadi takut, ngeliat semua gambar ini? Lu cinta apa ngefans sama gue?". Tanya Arya dengan mata teduhnya yang memikat hati semua perempuan jika memandangnya.

Riana gugup dan terbata-bata. "Hah? Mmmhh... apaan sih lu. Lu pikir gue sakit jiwa. Enak aja gue dibilang maniak. Ya pokonya begitulah. Terserah deh lu mau bilang gue apa. Ya yang jelas ya begitulah perasaan gue ke lo". Kata Riana sambil tiba-tiba menghilang.

"Lho Ri, koq ngilang sih. Riana, gausah malu gitu lah, santai aja lagi. Mungkin bukan cuma lo yang berbuat begini. Gue kaaan emang keren. Jadi yaaah gue wajarin lah kalo banyak cewek-cewek yang bertingkah kaya lu gini. Hahahha".

Arya tertawa meledek Riana yang tidak tampak sosoknya. Tiba-tiba Arimbi muncul.

"Ih amit-amit. Sok keren luh. Kepedean amat". Timpal Arimbi kemudian.

"Hahahahaha". Mereka tertawa bersama.

"Temen lu malu-malu gak jelas tuh. Malah ngilang diajak ngomong". Kata Arya kepada Arimbi yang sedang duduk melihat isi folder yang sedang dibukanya.

"Yah lagian sih, udah tau dia perempuan. Ya malu lah kalo harus terpaksa ngungkapin perasaannya. Pake di ledek segala lagi. Dasar payah luh. Cowok tuh emang gitu ya. Gak peka". Jawab Arimbi kemudian.

"Tapi Riana termasuk fotografer amatir yang keren juga. Semua foto-foto yang dia ambil gak ada yang jelek. Angle dan focusnya pas banget. Yaaah tapi tergantung modelnya juga sih".

"Amit-amit deh kepedean lu over banget yah Ya. Udah ah lanjut tar ga kelar-kelar nih". Sambung Arimbi sambil mencibir Arya.

Mereka tidak menemukan satupun file yang mencurigakan. Hanya saja yang jadi pertanyaan, kenapa dimalam kejadian, laptop ini menghilang. Satu-satunya yang masuk akal hanyalah pelakunya yang mengambil kemudian mengembalikannya lagi.

Artinya, laptop itu diambil karna suatu tujuan. Tujuan di mana si pelaku tau ada isi file yang berbahaya di dalamnya. Lagi-lagi buntu. Pelaku licik sekali. Berhasil menghilangkan jejak di laptop. Mungkin itu satu-satunya bukti penting yang kita punya.

Pada akhirnya Arya dan Arimbi menyudahi penyelidikan mereka dengan laptop Riana hari ini tanpa hasil. Namun yang masih mengganjal pikiran adalah keterlibatan Fatma dalam kasus ini.

Mereka sendiri masih bingung bagaimana cara mengorek keterangan dari Fatma sementara bukti-bukti nyata tidak ada. Hanya kenyataan pembeli kertas foto itulah satu-satunya bukti Fatma terlibat.

Tapi aku yakin, Fatma tidak mungkin membunuhku. Dia sahabatku, kami saling menyayangi, tidak mungkin dia berbuat begitu. Kecuali jika selama ini dia ternyata memendam rasa benci padaku hingga ingin membunuhku. Tapi hal apa yang aku lakukan sehingga membuat Fatma membenciku.

Tidak, Fatma bukan perempuan yang mudah membenci orang. Diantara kami bertiga, dialah yang paling bisa berfikir jernih. Dia yang paling tidak bisa dipengaruhi orang lain.

Aku percaya Fatma, dia tidak mungkin terlibat. Mungkin ada orang yang menyuruhnya membeli kertas foto itu. Dan itu yang harus kita cari tau.

Di sekolah.

Arimbi melongok kesana kemari, mencari sosok Fatma. Ia harus bisa mengorek keterangan apapun dari sahabatnya itu. Meski belakangan ini Fatma lebih sering menghindari Arimbi. Tapi kali ini Ia harus berhasil berbicara dengannya.

"Hai Fat, apa kabar? Udah lama juga ya kita gak ngobrol sejak Riana gak ada".

Fatma kaget mendengar sahabatnya itu tiba-tiba berdiri di samping kursinya. Terlihat jelas dari sikapnya bahwa Fatma sangat gugup dihampiri oleh Arimbi yang sekedar menanyakan kabarnya.

"Mmh, eh Ar apa kabar juga? Guee... baik koq, bener baik aja. heheh. Ada apa Ar? Apa ada yang mau dibicarain? Soalnya gue harus ke toilet. Sebentar ya". Fatma melenggang pergi meninggalkan Arimbi yang masih berdiri dekat kursinya.

"Lagi-lagi begini. Selalu menghindar. Ga bisa dibiarin. Ini pasti bener dugaan Arya, kalo Fatma terlibat kematian Riana". Arimbi segera berjalan menyusuri lorong sekolah menuju toilet menghampiri Fatma.

"BRAAK....". Arimbi membuka pintu toilet dengan kasar karna merasa kesal dengan Fatma yang berkali-kali selalu menghindar tiap kali bertemu dengannya.

"Fat, udah ya cukup. Lu jangan lagi menhindar. Kalo lu terus-terusan begini, gue bakal lapor polisi tentang semua keterlibatan lu". Teriak Arimbi kepada Fatma yang sedang menghadap cermin wastafel di dalam toilet sekolah.

"Lu ngomong apa sih Ar, gue gak ngerti maksud lo. Jangan aneh-aneh deh". Kilah Fatma sambil berlalu pergi meninggalkan Arimbi.

Namun belum sempat Fatma menuju pintu keluar toilet, Arimbi menarik lengannya.

"OK, sekarang gini aja. Buktiin kalo lo emang gak terlibat dengan kematian Riana. Karna gue punya bukti sangat jelas kalo lu terlibat. Bukan cuma bukti, tapi juga saksi".

Fatma gemetar, terlihat sekali dari sikapnya jika Ia gugup. Meski tidak dijelaskan maksud percakapan tersebut, tapi masing-masing dari Arimbi dan Fatma sudah paham betul ke arah mana pembicaraan ini berlangsung.

Tiba-tiba Fatma menjatuhkan diri ke lantai, tersungkur memegang kaki Arimbi. "Ihyaaa Aaar, tolongin gueee Ar, gue gak ada maksud berbuat begitu Ar. Sumpah demi Tuhan gue gak bermaksud berbuat begitu. Gue minta maaf Ar. Gue mohooon tolong gue Ar".

"Ya Tuhan Fatmaaa, jadi bener elu? Lu gila ya, lu pikir apa yang udah lu lakuin? Riana sahabat kita dari kecil Fatma. Kenapa sih lu tega banget berbuat begitu?". Tanya Arimbi kemudian.

Tanpa disadari oleh keduanya, ternyata Riana ada di sana. Ditempat Arimbi dan Fatma sedang berbincang. Namun Fatma tidak dapat melihat sosok Riana. Tersedu Fatma menangis menyesali perbuatannya. Bukan hanya dia, Rianapun ikut menangis mengetahui ternyata selama ini orang yang mereka cari adalah Fatma. Sahabatnya sejak kecil. Sahabat yang sudah dianggapnya seperti saudara.

Masih sambil menangis. Fatma menceritakan semuanya.

"Waktu itu gue gak punya pilihan Ar, ada surat yang dateng ke alamat rumah gue. Isi surat itu, gue harus edit dan cetak foto Riana seolah dia sedang tidur dengan laki-laki setengah tua. Di surat itu juga dicantumin foto gue yang juga tanpa busana Ar, surat itu bilang, kalo gue gak edit foto Riana dan pajang itu di mading, maka foto gue yang akan terpampang di mading. Gue gak punya pilihan Ar. Gue takuuut gue maluuu kalo sampe semua orang liat foto fulgar gue. Makanya gue sengaja edit foto Riana dengan editan yang asal-asalan. Biar semua orang ngeliatnya itu palsu".

Fatma menangis tiada henti sambil terus menceritakan yang terjadi sebenarnya.

"Tapi gue gak nyangka Ar, kalo perbuatan gue yang bodoh itu bikin Riana bunuh diri. Arimbi pleeease maafin gue Ar. Gue ga ada maksud bikin Riana bunuh diri. Gue gak maksud Aaar".

"Apa maksud lo Fat? Bunuh diri? Lu bener-bener udah gila ya, lu masih gak mau ngakuin kalo lu bunuh Riana?". Tanya Arimbi dengan nada marah kepadanya.

Fatma kaget mendengar perkataan Arimbi. Tercekat mulutnya, terhenti tangisnya. "Apa maksud lu Ar, gue bunuh Riana? Sumpah Ar lu udah gila nuduh gue sampe segini jauhnya. Gue emang yang ngedit dan majang foto Riana tanpa busana di mading sekolah, gue yang bikin Riana malu. Tapi lu tau sendiri kan Ar, kalo Riana gantung diri. Gantung diri karna malu dengan foto itu". Jelas Fatma kemudian.

Masih dengan nada gemetar Fatma terus berbicara. "Tapi kalo dengan perbuatan gue itu lu anggep gue bunuh Riana, gue pasrah. Mungkin lo bener. Secara gak langsung, gue yang bunuh Riana. Gue yang bikin Riana bunuh diri. Jadi mungkin ada benernya kalo lo anggep gue pembunuh Riana".

"Fatma, please ngomong yang jujur, ngomong sejelas-jelasnya tentang semua perbuatan lu. Masalahnya Fatma, Riana gak pernah bunuh diri". Jelas Arimbi kemudian.

Fatma semakin kaget mendengar perkataan Arimbi. Matanya terbelalak tajam. Kemudian mencengkram kedua lengan Arimbi.

"Apa maksud lu Ar, please Ar tolong jelasin ke gue maksud lo. Riana gak bunuh diri? Demi Tuhan Arimbi please gue gak paham maksud lo. Gak mungkin maksudnya Riana dibunuh kan Ar?".

Mereka sama-sama terdiam. Seperti menemukan sebuah jalan buntu yang baru. Kenyataan baru kini telah hadir di tengah-tengah kasus kematian Riana. Lagi-lagi ini harus digali lebih dalam.

"Ar, gue percaya Fatma. Sepertinya bukan Fatma pembunuh gue Ar". Bisik Riana kepada Arimbi yang sedang terdiam memandang Fatma.

Fatmapun demikian. Terdiam memandang Arimbi dengan wajah sembabnya setelah menangis tersedu-sedu. Mereka bertiga bingung dengan yang terjadi.

"Iya Fat, Riana dibunuh. Riana gak pernah bunuh diri. Riana juga percaya sama lo. Dia gak nyalahin lo koq Fat. Tapi lo harus janji untuk bantu gue cari pelakunya". Kata Arimbi kemudian.

"Ya Tuhaaaan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bisa begini". Kata Fatma sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.

"Ar, kalo bener Riana dibunuh, mungkin kita harus cari pelaku yang ngirimin surat dan foto gue ke alamat rumah gue Ar. Jangan-jangan si pengirim surat kaleng itu pelakunya. Karna sampe detik inipun gue gak pernah tau siapa pengirimnya. Gue terlalu takut untuk cari tau". Sambung Fatma kemudian.

Setelah itu Arimbi mengajak Fatma berdiskusi di kebun belakang sekolah, tepatnya di tepi kolam ikan tempat favorit Riana. Di sana Arya sudah menunggu mereka. Kini mereka berempat telah berkumpul. Kecuali Fatma yang tidak dapat melihat sosok Riana. Arya dan Arimbi kemudian menceritakan semua yang terjadi.

Fatma sangat terkejut. Meski Ia masih tidak dapat melihat penampakan sosok Riana. Namun Fatma berusaha berkomunikasi dengan Riana.

"Ri... gue ga bisa liat lo ada di mana. Tapi kalo lu liat gue, gue mohon banget maafin gue Ri. Mungkin perbuatan gue ga bisa dimaafin. Tapi Ri, gue janji seumur hidup gue gak akan berenti mencari pelakunya sampe ketemu Ri. Gue janji". Kata Fatma mencoba berbicara dengan sosok Riana yang tak nampak.

"Udahlah Fat, gak usah nangis lagi. Riana udah maafin lu. Riana bilang, dengan atau tanpa editan foto buatan lo, mungkin Riana memang tetap akan mati. Karna pelakunya akan tetap berbuat demikian. Jadi Riana bilang ini semua bukan salah lo. Gak usah lo sesalin lagi. Yang penting sekarang lo mau bantu ngusut kasus ini". Jelas Arimbi kepada Fatma yang masih terlihat sedih berharap dapat melihat sosok Riana seperti Arimbi dan Arya.

"Susah, sekuat apapun gue berusaha menampakan diri ke Fatma, dia tetep gak bisa liat gue Ar". Kata Riana dengan wajah sedikit menyesal.

Kemudian Fatma menceritakamn semua kejadian sebelum dia mengedit dan memajang foto Riana di mading sekolah. Semua Ia ceritakan. Cerita Fatma membuat mereka semua terkejut, terutama Riana. Karna Riana tidak menyangka dengan apa yang didengarnya dari cerita Fatma.

"Please gue mohon kalian jangan benci gue. Tapi kalaupun kalian benci sama gue silahkan aja. Yang jelas, gue tetep akan ikut ngusut tuntas kasus Riana".

BAB 3

Malam itu di sekolah hari kamis malam. Sebelum kematian Riana.

"Pak, saya hamil pak. Bapak harus tanggung jawab. Bagaimanapun ini anak Bapak". Fatma menangis sambil memohon-mohon kepada Pak Robert.

Ya, Pak Robert guru tampan yang diidolakan banyak siswi bahkan guru-guru perempuan. Ternyata Fatma menjalin hubungan dengan Pak Robert.

"Saya pasti akan bertanggung jawab. Tapi ngga sekarang Fatma, kamu masih sekolah. Gak mungkin saya nikahin kamu sekarang. Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan kamu secepatnya. Sebelum semuanya terlambat".

Tidak disangka, ternyata Pak Robert guru kesayangan banyak siswi tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan.

Semudah itu ingin menghilangkan nyawa bayinya sendiri. Entah pantas disebut apa orang seperti dia. Pak Robert berlalu pergi meninggalkan Fatma yang masih menangis di lorong sekolah malam itu. Ia bingung apa yang harus dilakukannya dengan bayi dalam kandungannya.

"Fatma, sorry gue gak sengaja denger. Jadi elo sama Pak Robert?". Tiba-tiba tangisan Fatma terhenti dengan kehadiran Riana di lorong sekolah pada malam itu.

*************

Bagaimana kisah Riana selanjutnya? Siapakah yang tega membunuh Riana? Kenyataan apa yang ada pada hubungan Fatma dan Pak Robert?

Ikuti terus kisahnya yaa...

LANJUT BACA (klik)

Rabu, 20 Mei 2020

Operasi Outlone

Hai pembaca semua. Alhamdulilah makin hari blog ini makin banyak pembacanya. Yang mengirimkan cerita juga mulai banyak. Ada satu cerita fiksi yang menarik bergendre action yang akan saya muat di halaman ini. Terima kasih atas kirimannya kepada Anhar Tasman. Ceritanya bagus, bahasnya mudah dimengerti dan gambarannya jelas. Hanya saja mohon maaf sebelumnya ada satu bait paragraf yang saya cut/edit karna agak vulgar dimana seperti yang sudah saya infokan di halaman T.O.S. bahwa kiriman cerita yang akan saya muat adalah yang tidak mengandung unsur-unsur tertentu yang sudah tertuang dalam halaman T.O.S.

Namun begitu, karna menurut saya ceritanya bagus, jadi saya tetap muat di blog ini dengan sedikit editan. Terima kasih kepada penulis. Berikut ini kisahnya.

* * * * * * * * * *

Operasi Outlone

Cinta yang membawa seseorang keluar dari zona nyaman

Anhar Tasman

Ia di sana, menatapnya penuh kasih sayang, jaket hijau dan jeans biru yang dipakainya menambah kesan tomboy, Ia begitu tinggi hingga Tasim selalu mendongak ke atas setiap kali berbicara dengannya, tapi rasa pegal di leher nya terobati oleh kekagumannya pada Shinta, dengan gemetar dia letakkan tangan di bahu kirinya yang harum, memerasnya lembut,  otot bahunya sangat kuat untuk ukuran wanita,Tasim menatapnya penuh haru hingga air mata keluar tanpa nya sadari

“kenapa sayang?” Tanya Shinta lembut serta khawatir

“aku.. aku... kak” dia tatap dalam matanya penuh ketakutan

“ya sayang.. kenapa?”

“aku takut kakak selingkuh..” kedua kelopak matanya terpejam menahan derasnya air mata yang mendobrak keluar

“sayang... dek.. kenapa bicara begitu? Aku gak akan pernah selingkuh, aku sayang banget sama kamu” Jawab Shinta sambil memeluk erat pacarnya yang sangat kekanak-kanakan itu

Bukan pertama kalinya dia menanyakan hal bodoh, tapi Shinta tidak mengeluh, ia mencintai Tasim apa adanya, baginya dia adalah pria baik yang tidak boleh dibiarkan sendiri. Bagi Tasim, Shinta adalah pacar, kakak, pelindung dan gurunya. Berbeda dengan pasangan lain yang berakhir dengan hubungan sex ketika berpelukan, Tasim hanya ingin merebahkan beban pikirannya pada Shinta sembari menangis hingga perasaannya kembali lega setiap kali berpelukan, bahkan ketika Shinta hanya mengenakan Bra dan celana jeansnya, dia tidak begitu tertarik, ia hanya ingin Shinta memandang tajam matanya dan meyakinkannya semua akan baik-baik saja, ia hanya ingin sentuhan hangat dan kuat darinya.

Tasim adalah lulusan jurusan Teknik Informatika yang hidup sendirian di sebuah apartement yang dibelinya dari proyek sistem informasi yang dia kerjakan tahun lalu. Kini ia hidup sendiri, sehari-hari ia jalani dengan bekerja sebagai freelance programmer, mengerjakan proyek-proyek yang ia dapatkan melalui internet. Sifatnya yang penutup membuatnya tidak begitu dikenal oleh para tetangga dan jarang keluar apartemen.

Berbeda dengan Tasim, Shinta adalah wanita yang super aktif, ia periang, pintar, cantik, tinggi dan lebih tua satu tahun. Ia bekerja sebagai customer service di salah satu perusahaan telekomunikasi terkenal. Ia sangat ramah kepada setiap orang. Bahkan ia mendorong Tasim untuk mengunjungi beberapa tetangga apartemennya, mereka yang tadinya berprasangka buruk terhadap Tasim berubah menjadi suka pada sifatnya yang pemalu tapi ternyata sangat ramah.

Berkat dukungan Shinta, Tasim menjadi lebih dekat dengan tetangga. Ia bahkan membawa laptop pekerjaan ketika menongkrong dengan mereka di halaman basket depan gedung apartemennya sehingga dia tetap bisa bergaul sambil bekerja. Ia sesekali juga mengajari mereka pemrograman dan cara membuat animasi. Tasim pun senang keahliannya diminati para tetangganya.

“Dek.. kok melamun? Udah siap?” Tanya Shinta dari depan pintunya, ia sudah menenteng handuk dan botol air mineral, pakaian olahraganya yang ketat memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Tasim berlari kecil lalu mengunci pintu kamarnya untuk joging dengan Shinta. Ini resolusi tahun baru yang mereka sepakati, Tasim bertekad untuk menguruskan badannya yang tambun, Shinta dengan semangat terus membantunya. Mereka joging di subuh hari di lintasan samping kanal. Mereka memilih saat subuh karena saat itu hanya ada mereka berdua. Shinta mengerti pacarnya tidak suka keramaian oleh karena itu dia rela bangun jam 4 lalu menjemput Tasim untuk joging, bagi dia itu pengorbanan yang menyenangkan, ia bahagia bisa merubah pacarnya menjadi lebih baik, dari yang tadinya penutup diri menjadi terbuka, yang tadinya tambun kini badannya mulai kurus, Shinta hanya ingin Tasim menjadi lelaki yang kuat dan sehat, ia memang bersedia menjadi tempatnya memanjakan diri seperti anak kecil, tapi ia tahu orang lain tidak akan selembut itu padanya, karena itu ia ingin Tasim siap dengan kerasnya dunia luar dimana ia tidak selalu bersamanya, ia tidak ingin mencari pria sempurna, baginya lebih baik bersama-sama orang yang ia cintai dan berubah bersama menjadi lebih baik daripada menghabiskan umurnya menunggu sosok sempurna.

“Ayo dek.. masa baru lari sudah capek begitu” Ledek Shinta pada Tasim yang tertinggal di belakang

“Iya kak.. tunggu donk! Huuft” Ia melihat rambut panjang Shinta berombak ke belakang dengan indahnya, seindah tubuhnya yang tertutup jaket biru itu, ia terpesona pada gunung payudara indah yang terlihat dari ketiak jaketnya, tanpa diketahui dia sudah melihat ke belakang dan tahu ia mengerti kemauannya sekarang, kemauan untuk melepaskan hasrat padanya, dia hanya tersenyum nakal dan meneruskan lari seperti yang sudah disepakai bersama, lari minimal 2 kilo meter setiap subuh.

“Aku tak akan menyerah, akan aku kejar kamu kak” Batin Tasim, ia tahu pengorbanannya untuk menjemputnya setiap pagi tidaklah mudah, ia sebenarnya mulai malas dan ingin menyerah dengan resolusinya tapi ia tahu itu akan mengecewakan kekasihnya, ia sadar ia hanyalah pria yang tidak sejati yang harusnya bersyukur mempunyai malaikat cantik yang selalu mendukungnya, pagi ini ia akan membuatnya bangga, walaupun lelah ingin berhenti, ia terus berlari menunjukkan bahwa ia pria yang kuat yang bisa membahagiakannya suatu hari, ia terus berlari menyusul pacarnya yang seksi itu.

“Awas kamu kak, akan aku peluk dan cium kamu sampai habis” Batin Tasim, ia melesat seperti mobil yang memakai NOS saat balapan

“Maju woy! Ah bego! WOOY!”  Teriak sopir mikrolet pada mobil sedan di depannya. Teriakan itu salah satu elemen khas pagi hari di jalan raya samping kanal, selain bunyian klakson, tukang bubur, candaan ibu-ibu, tawa ledekan anak sekolahan dan tangisan anak kecil. Tasim dan Shinta sedang berdiri santai di samping jembatan kanal, menikmati keindahan pemandangan air mengalir dari arah munculnya matahari. Mereka biasa berdiri disana setengah jam setelah lari. Tanpa pelukan, tanpa ciuman, tanpa obrolan panjang, hanya dua manusia yang saling cinta sedang menikmati momen berdua diantara elemen bising khas ibu kota. Tasim yang biasanya sensi dengan kebisingan dan semraut jalan raya, kini seperti tuli sejenak, ia terpesona keindahan alam itu dan merasa nyaman dan aman ada Shinta di sampingnya.

“Kak ayo kita sarapan..”

“Hmm kakak harus berangkat kerja, motor kakak tadi di parkir disana, kamu pulang sendiri bisa kan?”

“Aku takut.. maunya sama kakak..”

“Adeee... mau kakak cium disini sekarang?”

“Engga kak malu hehe, oke kak aku pulang dulu, kakak hati-hati di jalan yah”

“Iya sayang...”

Tasim berjalan pulang sendirian, di tengah perjalanan ia melihat sosok pria yang sepertinya ia kenal, wajah itu tidak asing lagi, dia adalah Wahyu, teman lamanya saat masih duduk di tingkat satu kuliah, ia begitu bahagia bisa bertemu dengannya, mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi, ia sudah sering mencoba menelepon nomornya tapi tidak diangkat, dan chat melalui facebook tidak dibalas dan profilnya tidak pernah diupdate sejak perpisahannya di akhir semester 2

“Wahyu..? Lu wahyu kan?” Tanya Tasim padanya yang sedang menunggu dilayani penjual kebab

“Weh.. Tasim? Apa kabar lu men?” Mereka berjabat tangan, Wahyu bercerita dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis di pulau kalimantan. Dia sekarang berbisnis pakaian batik dan sedang mencari tempat tinggal dan kebetulan memilih gedung apartemen yang sama dengan yang Tasim pilih. Tasim tidak percaya Wahyu sudah berubah, pria yang dulu introvet seperti dirinya kini tampil lebih hebat, ia ingat bagaimana dia mengeluh tentang orang-orang sebagaimana ia juga tidak menyukai keramaian, dan dia mengeluh nilai kuliahnya yang sangat jelek dan memutuskan pindah fakultas, ia mencoba menahannya untuk bersabar tapi dia tetap pindah, setelah itu ia terus mencoba menghubunginya tapi tidak mendapat balasan. Hubungan mereka tidak lama, hanya 2 semester, tapi meski begitu, Wahyu adalah teman terdekat yang dimilikinya, ia ingat bagaimana dia menjemputnya dari kontrakan dan mengantarnya ke rumah saat ia demam dan sendirian, dia adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki. Tasim tidak bisa menahan untuk mengakui betapa besar kerinduannya kepada Wahyu.

“Gimana dengan lu? Sudah menikah?” Tanya Tasim sambil menyodorkan secangkir teh di ruang tamu apartemennya.

“Haha, lu udah punya ya tas, hebat, gue belum, masih mencari dan menunggu, oh iya, mana foto pacar lu itu? Gue mau lihat”

“Dia gak mau difoto yu, gw sering minta tapi dia terus nolak”

“Dia dimana sekarang? Tinggal sama lu?”

“Oh engga, dia tinggal di gedung apartemen deket kantornya, kapan-kapan gue kenalin lu ke dia”

“Sip, oh ya gw harus balik sekarang nih, udah siang”

“Wah gak kerasa yah, oke yu, eh iya nomor handphone lu berapa?”

Setelah bertukar nomor handphone, Wahyu pergi, Tasim segera mengirimkan SMS pada Shinta untuk mengatur makan malam bersama, ia ingin mengenalkan sahabat lamanya. Setelah berjam-jam menunggu balasan, Shinta akhirnya membalas SMSnya saat malam, dia memintanya segera bersiap dan naik ke atas gedung karena ingin melatihnya ilmu bela diri seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam, Tasim tidak menolak, ia senang bisa diajarkan, ia merasa sebagai lelaki macho saat bisa melakukan gerakan-gerakan karate. Ia pun segera mengganti pakaian, membawa bekal dan berlari ke tangga, sementara itu Shinta sudah menyiapkan tempat untuk mereka latihan.

Setelah berlatih, mereka berdiri menikmati pemandangan malam disertai angin yang berhembus mengusir keringat, mata Tasim tertuju pada lintasan lari yang sekarang sudah menjadi pasar malam, orang-orang berjual beli barang-barang murah di sana, ia mendapat ide untuk membelikan hadiah untuk Shinta, dia wanita tomboy dan suka bela diri, mungkin miniatur pedang sangat cocok, bisa ditaruh di mobil atau kamar, tapi setelah ia melihat restoran yang tidak jauh dari lintasan lari itu, ia mendapat ide yang lebih baik, yaitu mengajak pacar dan sahabatnya makan malam.

“Kak... aku ingin kita makan malam di restoran”

“Restoran?”

“Ya kak, kita bertiga bersama sahabat ku Wahyu, besok malam setelah latihan?”

“Kakak gak bisa dek, aku harus segera pulang setelah latihan karena paginya harus menjemput mu lari pagi kan?”

“Kak,, hanya malam besok saja, aku ingin mengenalkan mu padanya, kalian berdua orang yang ku pedulikan, aku ingin kalian saling kenal”

“Dek.. kakak gak punya waktu, dan kakak harus menjaga stamina karena selalu sibuk di kantor kamu tahu kan.. Bahkan untuk bertemu dengan mu hanya bisa saat subuh dan malam hari kan? Kakak gak sefleksibel dulu karena jabatan kakak udah naik”

“Yah selalu beralasan kantor, kantor dan kantor... Kak aku butuh kamu!”

“Ya dan kakak sedang mengumpulkan uang untuk masa depan kita!”

“Tidak ada masa depan dimana kakak dan aku bisa selalu berdua kan?! Aku  lebih memilih kakak mencari pekerjaan lain”

“Dek... kakak gak pernah meminta kamu dewasa, kamu bebas menuntut apapun dan tidak pernah sekalipun aku menolak memberikannya, aku berikan apapun dan menjadi siapapun yang kamu butuhkan, kamu mau kurus oke kakak siap jemput dan menyeret kamu keluar dari gua itu untuk lari setiap pagi, kamu mau bisa bela diri kakak ajari setiap malam, kamu pencinta senapan, kakak latih kamu menembak setiap minggu, dek jabatan aku lebih tinggi sebelum kenal kamu, percayalah aku sudah berusaha maksimal membagi waktu.  Aku gak meminta apapun selain... aku ingin kamu pada titik ini saja mendukung pekerjaan ku karena aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah untuk kita berdua dan kakak cinta pekerjaan ini, oke dek? Aku mohon minta lah apapun selain yang menghambat rutinitas kakak, apapun dan kakak akan penuhi semampu kakak, oke? Plis? Honey?” Shinta tidak ingin menyakiti perasaan kekasihnya, ia berjanji pada dirinya untuk berusaha memberikan yang dia minta, apapun selain harus membuatnya keluar dari jadwal-jadwal pekerjaannya. Ia diam menatap Tasim, menunggu jawabannya.

Tasim terbangun keesokan paginya dengan kaos dan celana bersih, Shinta telah menghilang, ia merasa takut ada orang datang karenanya ia segera berlari menuju tangga, masuk ke lift dan menuju kamar. Wahyu sedang berdiri di depan pintu terus-menerus menekan bel sambil menggedor dan memanggil namanya, ia menenteng kotak cokelat. Tasim yang melihat dari jauh merasa tidak enak dia mungkin sudah menunggu lama sementara ia tertidur.

“Woy bro! Sorry udah lama ya? Gue lagi senam di atas, sorry nih gak bawa hape”

“Owh.. slow, eh gue perhatiin lu alit tembak ya? Kemarin gue lihat ada foto-foto lu lagi nenteng senjata, laras panjang pula”

“Bukan atlit tembak sih, tapi gue sering latihan nembak sama cewe gue. Itu kotak apaan? Martabak?”

“Haha bukan ini gue mau nunjukin koleksi pistol gue, pistol angin sih”

“Wooh lu atlit nembak? Eh lupa, ayo masuk, eh sorry banget nih nunggu lama, lu udah sarapan?”

“Udah selow, masih aja kaku. Sama kaya lu gue latihan di lapangan, bokap gue ngajarin nembak setiap minggu”

Tasim membuatkan mereka berdua sarapan mie goreng telor dan teh hangat. Mereka bercerita panjang lebar tentang senapan dan metode latihan yang mereka lalui. Tasim sudah lama tahu ayah Wahyu seorang tentara dan betapa takjubnya ia mendengar cara dia mengajarkan Wahyu berkamuflase dan survival di hutan layaknya tentara sungguhan, dan Wahyu juga tidak percaya Shinta bisa mengajarkannya menembak senapan mesin dan dia ingin segera menemuinya, Tasim masih merasa bersalah karena telah memaksa Shinta bahkan tega memintanya pindah pekerjaan, ia merasa tidak tahu diri dan ingin segera meminta maaf kepadanya nanti malam. Wahyu membaca gerakan tidak enak dari kawannya dan dia pun mengganti subjek pembicaraan. Kini mereka membiacarakan film aksi yang berisi para aktor tua yang kembali berlaga tembak-menembak.

“HAHAHA! Kakinya terlalu pendek untuk menendang raksasa besar itu, hahaha, dia seharusnya”

“DING!” Bunyi bel pintu

Ketika Tasim buka, tidak ada siapapun, di depan kakinya ada amplop putih, ia buka dan ada surat bertuliskan “Nyalakan TVnya”

“Bro? Siapa?” Tanya Wahyu sambil mengunyah biskuit di sofa

“Bro tolong nyalain TV donk” Kaki Tasim tidak bisa beranjak dari gagang pintu, dia merasakan perasaan tidak enak tiba-tiba

“eh TV? Oke tunggu, nih”

Mereka berdua ternganga menyaksikan pemandangan mengerikan, adegan penyiksaan seorang wanita di ruangan yang dipenuhi pria bersenjata, Tasim mengenali wanita itu, dia adalah Shinta, mulutnya disekap, bahunya penuh sayatan, kepalanya diperban, tangtop putihnya penuh darah, lehernya dekat dengan mata pisau yang dipegang pria kekar yang sepertinya sedang bertanya sesuatu yang tidak jelas terdengar.

“Triiiing!” HP Tasim berbunyi, dia masih syok tapi mencoba tenang saat mengangkatnya

“Halo?”

“Tasim, bagaimana latihan mu? Ku harap dia sudah mengajarkan mu cara menjadi pahlawan, datang ke alamat yang ada di amplop depan pintu mu dalam waktu satu jam, tidak ada polisi, turuti permintaan ini atau akan kami bunuh”

Tasim menoleh ke belakang,ada amplop baru, ia mendengar pintu  lift terbuka, segera ia berlari tapi sayang terlambat, tidak terlihat siapa dia, orang misterius yang baru saja menaruh amblopnya. Ia kembali ke kamarnya, di sana Wahyu membaca amplop kedua lalu menoleh ke Tasim

“Gue tahu alamat ini” Kata Wahyu

“Wahyu gue harus pergi kesana, tanpa polisi”

“Hah? Dengan tangan kosong? Itu bunuh diri”

“Gue datang dengan tangan kosong  dan mobil penuh senjata, gue gak punya waktu banyak, lu harus pulang, biar gue selesain ini sendiri”

“Tunggu bro! Tunggu!” Kata Wahyu sambil menahan Tasim yang penuh emosi

“Gue ikut lu oke”

“Itu tempat berbahaya”

“Ya Tasim terimakasih penjelasannya, gue bisa lihat sendiri dari video itu”

“Gue gak mood untuk bercanda”

“Bagus, karena gue gak menganggap ini candaan. Lu tahu apalagi yang bokap gue ajarkan selain bertempur? Dia mengajari gue tentang kesetiaan. Sekarang, sebagai teman lu gue bersikeras untuk ikut lu, gue bisa jaga diri, lu bisa jaga diri, kita akan hajar mereka”

“Lu punya..”

“Ya gue punya mobil”

“Dan lu...”

“Ya gue punya banyak amunisi dan senapan”

“Apa ada di..”

“Ya semuanya ada di bagasi mobil. Gue rencananya ingin kerumah bokap untuk latihan, tapi biarlah. Kita bisa berangkat sekarang”

Rumah itu berwarna kuning. Memiliki tingkat dua. Semua jendelanya ditutup. Dijaga oleh dua orang memegang golok di depannya. Pagarnya terbuka. Ada mobil Shinta di parkiran dalam. Wahyu memberhentikan mobil di dekat pohon. Tasim keluar membawa stun gun dan pistol. Mengendap mendekat melalui  semak-semak, disusul Wahyu yang membawa senapan tembak jarak jauh.

“Wahyu, lu cari posisi aman untuk menembak, gue akan masuk sendirian”

“Jangan sok pahlawan bro, kita bisa masuk barengan”

“Dan dibantai saat baru masuk? Jangan khawatir, gue punya rencana, lu cari aja tempatnya”

“Oke bro, hati-hati”

Satu penjaga masuk. Tasim berjalan pelan ke belakang penjaga yang masih diam berdiri. Dengan stun gun, ia arahkan ke lehernya. Dia gemetar lalu pingsan. Ia seret badannya ke semak-semak. Dengan cepat ia kembali ke balik dinding menunggu penjaga lain. Satu penjaga keluar menuju jalanan. Dia menengok kanan kiri tidak menyadari keberadaan Tasim di belakangnya. Saat dia menoleh, badannya sudah gemetar. Dia pingsan. Tasim seret ke dekat temannya. Tidak ada siapapun di jalanan. Tasim masuk ke dalam rumah.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Tasim masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di bawah kasur. Dua orang masuk ke kamar. Dari suaranya, satu pria dan satu lagi wanita. Wanita itu terdengar memberontak. Keduanya naik ke kasur sehingga Tasim tertindih tapi masih bisa bergerak. Kasur itu berguncang. Tasim bisa menebak yang terjadi. Sedang terjadi pemerkosaan. Perlahan ia keluar dan berdiri menghadap pria yang sedang menindih si wanita sambil melepaskan celananya. Ia berikan setrum di lehernya. Pria itu terjatuh dan pingsan. Wanita itu menangkap isyarat diam darinya. Dia menghapus air matanya dan turun dari kasur. Dia keluar dari rumah. Setelah diperiksa tidak ada siapapun lagi di tingkat ini, Tasim naik tangga untuk memeriksa lantai atas.

Semua pintu kamar terbuka kecuali kamar yang paling besar. Pintu itu terkunci. Ia paksa buka tapi tetap tidak bisa. Ia pastikan tidak ada siapapun yang melihat kemudian mendobrak pintu itu. Berbarengan saat itu pula kaca jendela pecah oleh peluru yang menembus kepala pria besar yang tadi memegang pisau. Tasim menghajar satu pria yang hampir memukulnya dengan kayu. Setelah ia yakin tidak ada lagi penjahat, ia dekati Shinta yang terikat di sebuah kursi. Mulutnya ditutup ikatan kain. Ada bekas pukulan di sekujur tubuh dan matanya. Tasim melambaikan tangan ke luar jendela untuk memberi tanda kepada Wahyu untuk masuk.

“Kak.. Maaf aku telat, ini sak..”

“Jangan pegang gue, siapa yang menyuruh lu kesini?!”

Tasim sangat kaget, bagaimana dia bisa menjadi kasar, apakah karena semalam? Apa karena ia telat? Tapi yang paling ia tidak mengerti apa maksudnya dengan kata menyuruh. Ia hanya terdiam menatapnya penuh kesal.

“Yuli lu gapapa?” Tanya Wahyu yang baru masuk ruangan sambil memegang pistol di tangan kanannya

“Lu gila yak?! Anak kencur lu suruh nyelamatin gue?! Pake otak lain kali!” Shinta merebut pistol dari tangan Wahyu dan segera keluar dari kamar itu

“Kak... kak.. Shinta!!” Teriak Tasim kebingungan

“Gue bukan Shinta!” Bentaknya sembari menuruni anak tangga

“Tasim, bisa tenang sebentar?” Pinta Wahyu sambil memberikan kursi kepadanya

“Lu kenal dia? Yuli namanya? Apa maksudnya? Kenapa dia bisa marah ke  gue? Apa salah gue?!”

“Maafin gue kawan, gue harus ngelakuin ini” Wahyu memukulnya hingga Tasim pingsan. Ia bawa kawannya menuju mobil. Mereka bertiga meninggalkan lokasi kejadian.

Tasim terlelap di bangku belakang. Wahyu menyetir mobil sementara Shinta membersihkan luka-lukanya. Ia masih tampak kesal atas kejadian yang baru terjadi.

“Lu gak perlu teriak seperti itu ke Tasim, dia lelaki yang baik”

“Gue disekap dan lu mengirim bocah ingusan? Bilang ke bos kalau dia mau gue mati biarin gue mati sendirian”

“Asal lu tau, gue gak menyuruh dia kesini, dia bisa aja panik gak jelas bahkan nelepon polisi saat tahu lu yang asli disekap, tapi enggak, dia nekat pergi sendiri bahkan menyuruh gue pulang dan gue harus mengemis untuk ikut dia. Lu boleh percaya atau enggak, tapi lu harus minta maaf ke dia. Dia udah merelakan nyawanya untuk lu. Dia cowok pertama yang berani ketimbang ...”

“Ketimbang cowok-cowok pengecut lain yang udah gue tidurin.. Thanks, gue ngerti”

“Gue berencana bilang ketimbang kandidat lain”

“Diam”

Wahyu berharap sahabatnya bisa mengerti semua ini dan sanggup menerima kenyataan pahitnya.  Ia merasa bersalah tidak segera memberitahunya tapi merupakan kewajiban telak baginya untuk tutup mulut hingga bosnya berkata lain. Ia juga khawatir dia lebih memilih bunuh diri ketimbang bergabung bersama satuannya. Ia kembali menatap Yuli, kali ini dengan tatapan menakutkan.

“Tasim adalah sahabat gue dan lu baru saja menyakiti hatinya, lu harus meminta maaf kepadanya atau lu gak akan hidup lama”

Yuli bukanlah gadis penakut, sebagai pasukan wanita elit ia sering mendapatkan ancaman. Tapi Wahyu tidak pernah semarah ini kepadanya. Ia hanya bisa diam tidak ingin memulai keributan atau menunjukkan tanda perlawanan. Bagaimanapun juga, Tasim benar-benar menyelamatkannya sendirian. Dia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatannya. Ia menyesal telah membentaknya. Dia pasti sangat sedih, pikirnya, ia berjanji pada dirinya akan meminta maaf setelah dia mengerti.

Tasim terbangun di sebuah ruangan, hanya ada satu meja besar dan dua kursi serta kaca dinding, ruangan itu diterangi lampu kuning, ia melihat pintu yang terbuka tapi ia tidak bisa keluar karena kakinya diborgol. Masuk seorang pria tua berkacamata, mengenakan kemeja putih berjas hitam, menenteng satu folder dan sebuah remot di tangannya. Ia mengeluarkan puntung rokok dari kotaknya dan menyerahkannya kepada Tasim, dia menolak dengan gelengan.

“Apa Anda kenal saya?” Tanya bapak itu

“Shinta” Jawabnya sambil melihat ke arah kaca di ruangan, ia tahu itu kaca dua arah dan ada orang lain dibaliknya. Ia harap itu Shinta

“Maaf?”

“Shinta”

“Namanya bukan Shinta, dia Yuli, dan saya tidak bisa mengkonfirm apakah itu nama asli, dan dia tiak ada dibalik kaca itu, nak”

“Yuli? Yah benar saya lupa, wanita seperti itu tidak mungkin bernama Shinta, dia pasti bernama Yuli, Angelina, James, Risda, Novi, nama-nama tomboy”

“Apa Anda yakin tidak kenal saya?”

“Tidak”

“Koreksi jika saya salah, Anda termasuk orang yang lebih suka menjadi pendengar ketimbang memotong pembicaraan, apa itu benar?”

“Benar”

“Maka izinkan saya memperlihatkan sesuatu” Pak tua itu menekan tombol di remot ke arah kaca, muncul sebuah cuplikan rekaman pembicaraan antara Tasim dengannya di ruangan itu juga, tanggal di rekaman menunjukan rekaman itu diambil dua tahun lalu.

------------------------

9 Januari 2014

-----------------------

“Sebutkan nama Anda untuk dicatat”

“Tasim Sudirman”

“Jelaskan alasan Anda berada disini”

“Saya seorang penakut, tidak berani berinteraksi dengan orang lain, tidak memiliki teman, menjauh dari keluarga, tidak memiliki harapan masa depan, tidak memiliki semangat berjuang. Saya ingin berguna untuk negara ini, ingin menjadi prajurit, saya siap mati untuk negara ini. Tapi rasa takut saya lebih besar dari impian itu. Saya datang kesini, siap menjadi objek percobaan dengan tujuan saya bisa digunakan untuk membela negara setelah semua rasa takut saya hilang”

“Anda paham apa yang akan Anda alami?”

“Halusinasi memiliki kekasih. Saya paham dan siap dengan segala resikonya. Saya percaya dia, dalam kurung kekasih hayalan, bisa mendorong saya untuk menggapai semua yang saya mau”

“Anda sudah punya nama untuknya?”

“Shinta”

“Anda sudah punya kriteria untuknya?”

“Cerdas, kuat, mahir bela diri, tinggi, berambut panjang hitam, memiliki tubuh yang indah, senyumnya menggoda, sehat, mempunyai pekerjaan, dan yang terpenting, selalu menyemangati saya untuk berubah, untuk pergi kemanapun, berbicara dengan siapapun dan melakukan apapun yang sebelumnya saya takuti. Itu kriteria yang saya inginkan”

“Sebutkan kisah pertemuan Anda dengannya”

“Saya memiliki komputer yang rusak, lalu menelepon jasa servis, mereka mengirim Shinta untuk memperbaiki komputer itu, tapi komputer itu selalu rusak dan selalu Shinta yang dikirim, lama kelamaan terjalin komunikasi diantara kita dan saya menyukai dia, suatu hari saya bertanya apakah dia bersedia menjadi pacar saya, dan dia mengiyakannya. Itu awal pertemuan kita”

“Sebutkan aktivitas yang Anda inginkan bersamanya”

“Setiap subuh, dia menjemput saya untuk lari pagi, saat malam dia melatih saya beladiri di atap gedung apartemen, di hari minggu dia mengajari saya menembak di sebuah lapangan, dan di hari libur kami berdua, saya ingin menghabiskan hari bersamanya di apartemen”

“Apakah Anda paham, Anda tidak bisa mengajaknya keluar dari jadwal aktivitas yang sudah Anda tentukan?”

“Paham”

“Apakah Anda paham, dia tidak bisa ditunjukan kepada keluarga atau kenalan dekat Anda”

“Paham”

“Apakah Anda paham, suatu hari kebohongan ini akan terbongkar?”

“Paham”

“Apakah Anda siap menerima rasa sakit ketika mengetahui kebohongan ini?”

“Siap”

Rekaman itu dihentikan oleh Pak Tua, dia menunggu reaksi dari anak muda yang kebingungan di hadapannya. Tasim tidak percaya apa yang sudah dilihatnya, ia tidak bisa percaya bersedia melakukan perjanjian sekejam itu, ia tidak bisa percaya bahwa kekasihnya, yang selama ini selalu bersamanya, adalah hayalan, ia mencoba mencari bukti bahwa Shinta itu benaran ada.

“Saya dan dia pernah berfoto selfi bersama, saya punya foto yang membuktikan dia benar-benar ada” Tantang Tasim

“Biar saya tebak, foto itu diambil sehari setelah Anda menyatakan cinta kepadanya?”

“Ya”

“Foto seperti ini?” Pak tua itu mengeluarkan beberapa foto dari folder cokelat

“Anda mengambilnya?”

“Kami juga memiliki sudut pandang lain, silahkan dilihat-lihat”

Tasim melihat foto-foto itu, foto itu diambil dari dalam mobil yang parkir di seberang gedung apartemennya, yang parkir di seberang lintasan lari tempat ia dan Shinta selalu lari pagi, yang parkir di seberang lapangan tempat ia dan Shinta latihan menembak, ada pula foto yang diambil dari gedung apartemen seberang, foto itu menunjukkan dirinya sedang berlatih bela diri, berpelukan, bercanda dan berhubungan badan. Ia tidak percaya selama ini hubungan mereka diintai oleh orang lain.

“Foto-foto ini...”

“Nyata? Yah tentu nyata, jika saya bisa melihatnya maka ini nyata, jika keluarga Anda bisa melihatnya maka ini nyata, jika orang lain bisa melihatnya maka ini nyata. Tapi pertanyaannya adalah, apakah wanita dalam foto ini, memberikan cinta yang nyata?

Nak saya berharap bisa mengatakan ini dalam bahasa yang lebih halus dan percayalah saya mengerti rasa sakit yang Anda alami setelah mendengar ini tapi Anda harus mengetahuinya sekarang.

Kami mencari agen yang memiliki kriteria yang sesuai dengan yang Anda sebutkan, maka diutuslah agen Yuli untuk membantu menanamkan gagasan ide halusinasi di kehidupan Anda. Pada enam bulan pertama Anda diberikan obat melalui berbagai macam media seperti kapsul, suntikan dan sebagainya. Obat itu berfungsi merekam aktivitas yang kalian berdua lakukan, sesuai dengan aktivitas yang Anda inginkan. Obat itu membantu otak mengingat gerakan Shinta, bagaimana dia marah, bagaimana dia sedih, gembira, bagaimana sifatnya, responnya, kegiatannya. Pada intinya, obat itu menduplikat ingatan kalian berdua untuk dimainkan ulang setelah Yuli berhenti berpura-pura menjadi Shinta lalu keluar dari kehidupan Anda.”

Tasim teringat dulu ia sering sakit dan dibawa ke dokter, ia sering mendapatkan suntikan, mungkin itulah saat dimana ia mendapatkan obat hayalannya. Dan ia ingat pertengkarannya dengan Shinta yang membuat dia pergi dalam waktu lama, mungkin itulah saat dimana Shinta yang asli digantikan dengan halusinasinya.

“Siapa Anda? Apa yang Anda lakukan?”

“Panggil saya Rusli, saya bisa menunjukkan rekaman kita berdua membicarakan organisasi ini tapi biar saya jelaskan ulang.

Badan Inteligen Negara membentuk program pelatihan sipil yang bernama ‘Outlone’. Program ini dijalankan oleh para dokter yang ahli dibidangnya dan diawasi oleh tentara dan polisi terpercaya, tujuan program ini dibentuk untuk menciptakan agen-agen rahasia yang tertanam di seluruh lapisan masyarakat yang suatu waktu bisa dipanggil untuk membantu mempertahankan wilayah kita dari berbagai ancaman. Para kandidatnya adalah orang sipil yang tidak memiliki anak istri, tidak memiliki teman banyak dan anti sosial yang memiliki impian untuk berubah tapi terlalu takut untuk pindah dari zona aman mereka.

Anda, Tasim, dulunya adalah kandidat, Anda berlatih ilmu beladiri, menembak, berinteraksi dengan orang lain, pada awalnya Anda melakukan itu semua bersama wanita yang asli, pada kasus ini agen Yuli atau yang Anda sebut dengan Shinta, dia kami sebut sebagai ‘installer’, tugasnya menanam keyakinan bahwa dia adalah kekasih Anda, seseorang yang selalu ada untuk Anda membantu dan melakukan apapun yang Anda inginkan, setelah proses instalasi selesai,  pikiran Anda memproyeksikan wanita yang hanya bisa dilihat oleh Anda sendiri yang kita sebut dengan konverter. Konverter ini lah yang menarik Anda dari kehidupan suram ke arah kehidupan yang lebih baik.

Tadi pagi, Anda membuktikan diri Anda sudah berubah, Anda berani melawan para penjahat itu untuk menyelamatkan dia, bahkan sendirian. Saya menerima rekomendasi dari Wahyu bahwa Anda sudah siap. Sekarang, Anda bukan lagi kandidat, Anda adalah sleeper agen yang akan kami gunakan untuk melawan kejahatan, jika Anda setuju”

“Saya bisa memilih?”

“Ya tentu. Kami menyediakan tiga jalan keluar untuk Anda” Pak Rusli mengeluarkan tiga pil

“Pil merah, jika Anda ingin bunuh diri. Kami akan membuat mayat Anda seolah-olah mati karena kecelakaan atau over dosis. Pil kuning, jika Anda ingin meneruskan kegilaan ini. Anda akan melupakan semua yang terjadi hari ini, Anda akan terbangun di apartemen dan kembali berhalusinasi memiliki pacar bernama Shinta, Anda akan menghabiskan sisa hidup bersama wanita yang tidak bisa dilihat siapapun. Pil hijau, jika Anda ingin bergabung dengan kami. Anda akan sembuh, tidak bisa lagi melihat dirinya yang palsu, Anda akan kami tempatkan di manapun penjahat berada, Anda akan menjadi berguna untuk negara seperti yang Anda impikan.”

“Saya perlu waktu untuk memikirkannya”

“Oke” Pak Rusli menembakkan jarum suntik ke dada Tasim, dia pingsan, ia menyuruh untuk membawanya kembali ke apartemennya dan mengirim Yuli untuk memantau

Setelah sadar, Tasim kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi, ia juga mengingat tiga pilihan yang diberikan, ia turun dari tempat tidur, mandi air hangat, memotong kuku, memakai pakaian rapi dan parfum, kemudian pergi ke dapur mengambil makanan, menyantapnya di ruang makan, di hadapannya ada foto Shinta sedang merangkulnya, ia makan dengan perlahan sambil memperhatikan foto itu, kadang ia tertawa, kadang menangis, ia keluarkan semua perasaannya, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah selesai makan, ia pergi ke ruang tidurnya, meraba bagian bawah kasur, mengambil kotak cokelat lalu membawanya ke ruang makan, dia ambil pistol dan peluru dari kotak itu, sambil terus memperhatikan fotonya dengan Shinta, ia bersihkan pistol dan memasukan peluru kedalamnya, ia tertawa dan menangis beberapa saat kemudian tersenyum dan mengarahkan moncong pistol ke dagunya, ketika ia siap menekan pelatuk, pintu kamar terbuka, terdengar langkah kaki berlari kepadanya.

“Tasim! Jatuhkan pistol itu” Tegas Yuli. Tasim berdiri dan mengarahkan pistol kepadanya

“Jika kau palsu, kau tidak akan mati, jika kau asli maka kau akan mati, tidak ada ruginya bagi ku” Tantang Tasim

“Jika aku asli, sniper di gedung sana akan menembak kepala mu, tidak ada untungnya bagi mu”

Tasim terdiam beberapa saat kemudian mendapatkan ide

“Sepertinya, aku tahu cara mengetahui kau asli atau palsu tanpa harus membuat mu terbunuh”

“Apapun itu, turunkan pistolnya, berikan pada ku”

Tasim menjatuhkan pistolnya kemudian menendangnya ke arah Yuli, dia mengambilnya. Ia berjalan pelan kepadanya, dia acungkan pistol ke arahnya sebagai peringatan untuk berhenti tapi ia tetap berjalan tanpa terlihat rasa takut. Sementara itu di luar sana, seorang sniper siap menarik pelatuk jika Tasim melukai Yuli.

“Berhenti!” Bentak Yuli

“Kau tahu Pak Rusli memberikan ku tiga pil?”

“Ya”

“Aku sedang membuat pil keempat”

“Apa maksudnya?”

“Tadi pagi aku merelakan nyawa ku untuk menemui wanita yang ku cintai, untuk bisa bersama dengannya lagi dan merasakan lagi pelukannya, dan sekarang aku akan melakukannya lagi. Shinta.. Kak.. Jika itu kau maka peluklah aku.. aku takut dan membutuhkan mu.. Yuli.. jika itu kau maka tembak lah aku, aku sudah siap mati. Siapapun kau... aku bergerak untuk mendapatkan pelukan yang aku inginkan dan siap mati karenanya”

“Tasim, berhenti! Ini gue Yuli”

“.....”

“Diam! Sekali lagi lu gerak akan gue ledakkan kepala lu!”

Tasim memandangnya dengan senyuman, ia geser lengan yang menodongkan pistol, Yuli tidak tega untuk menembak, ia tidak berkutik ketika dia menggeser lengannya,  jari-jarinya tidak kuat untuk menekan pelatuk, sementara itu Tasim terus maju hingga akhirnya memeluk Yuli, ia senderkan kepalanya di dadanya, ia hirup aroma parfum wanita itu dalam-dalam, ia dorong punggungnya agar pelukannya semakin erat. Ia tidak bisa membedakan yang dirabanya itu asli atau tidak, semuanya terasa nyata baginya, tapi ia tahu satu hal  yang membedakan Yuli dengan Shinta.

“Lu tahu kenapa gue terus maju? Meskipun lu mengancam ingin menembak?”

Yuli tidak bisa berkata apapun, pegangannya pada pistol di tangan kanannya makin melemah.

“Tahun lalu, gue dan Shinta bertengkar hebat, dia pergi ke dapur, memegang pisau dan mengarahkannya ke gue, seperti yang lu lakukan tadi, saat itu gue sadar sudah kelewat batas, gue berusaha mendekatinya tapi dia tetap mengancam jika gue mendekat akan dibunuh, seperti yang lu lakukan tadi, tapi gue terus mendekat dan dia terus mengancam, seperti yang lu lakukan tadi, hingga akhirnya gue berhasil memeluk dia, seperti yang gue lakukan sekarang, dan dia tidak berkata apapun, seperti yang lu lakukan sekarang. Tapi apa yang membedakan? Shinta, semarah apapun dia, dia akan membalas pelukan gue, seperti yang dia lakukan dulu, dia jatuhkan pisaunya , dia belai kepala gue, dia peluk gue dan gue meminta maaf kepadanya, kemudian esok harinya kita kembali mesra. Yuli, maafin gue sudah membuat lu tidak nyaman seperti ini, dan terimakasih telah mengizinkan gue memeluk lu, tubuh yang asli. Dan Yuli, gue tetap siap mati, gue mohon tekan pelatuk itu ke kepala gue, akhirin penderitaan ini, plis, tembak gue sekarang.

“Tasim... maafin gue” Yuli menitikkan air matanya, dia peluk pria malang itu untuk terakhir kalinya

*DUUAAAR!!*

---------------------------------

Lima tahun kemudian

------------------------------------

Pak Rusli sedang meminum segelas anggur di ruang kantornya, ia merayakan kemenangan dan kekalahannya, menang dalam pertempuran bawah tanah membawakan kekalahan berturut-turut, satu persatu agennya meninggal secara tidak wajar, ia mencurigai adanya penghianat tapi belum satupun yang ia dapatkan, siapapun dia, telah memberikan kerusakan yang sangat besar, ia kembali mengingat cabangnya di makasar tempat dulu membersihkan konflik masyarakat, cabang di bandung tempat pembersihan kelompok ekspor ilegal, cabang di bali tempat pembersihan organisasi terroris, dan begitu pula cabang-cabangnya yang lain hancur, kini ia tidak memiliki cabang lagi, kantor tempatnya berada sekarang adalah satu-satunya yang tersisa, dan semua agen yang ada di kantor itu adalah agen yang tersisa, tiga agen terhebatnya yaitu Tasim, Wahyu dan Yuli juga meninggal. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak, datang firasat sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

“Sebuah gedung di Jakarta siang tadi terbakar, puluhan orang meninggal dunia dan sampai sekarang pemadam kebakaran belum berhasil memadamkan apinya, pihak kepolisian menjelaskan penyebabnya adalah kebocoran saluran gas” Suara penyiar berita melaporkan kebakaran dari TV di sebuah bar

“Mau pesan apa?” Tanya pelayan bar

“Martini, please” Jawab seorang pria

“Buat dua Martini, saya yang bayar” Pria itu menoleh, ia mengenal wanita itu, wanita yang sudah lama tidak dilihatnya

“Mau mabuk? Ini masih pagi” Ucap wanita itu kemudian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke atas, ia pandangi lelaki itu sudah banyak berubah dari tampilan dan caranya membawa diri

“Mungkin ya, mungkin tidak, entahlah, apa yang lu lakukan disini?”

“Lu membuat banyak orang marah, termasuk gue”

“Semua orang yang marah ke gue sekarang berada di gedung itu, menunggu jasadnya dibawa keluar, kecuali lu mau ikut berada disitu, gue saranin lu pergi sekarang”

“Negara kita sudah menang Tasim, berkat lu. Kenapa? Kenapa lu membunuh mereka?” Tanya wanita itu sambil menahan tangisnya

“Agar tidak ada lagi Tasim yang lain. Gue yang terakhir, dan lu... lu Yuli yang terakhir” Jawab Tasim, ia masih melihat Yuli seperti saat melihat Shinta, ia melihatnya sebagai tempatnya untuk bermanja, untuk merebahkan kepala, untuk pasrah, untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu tapi rasa itu masih ada hingga sekarang, bahkan ia ragu apakah wanita yang dihadapannya ini halusinasi atau bukan.

“Tasim.. Lu sudah lebih dewasa sekarang.. Gue senang bisa bertemu lu tanpa ancaman apapun. Semuanya karena lu. Tidak ada lagi Pak Rusli, tidak ada lagi outlone, tidak ada lagi agen lainnya. Maafin gue selalu menjauh, tapi sebenarnya gue selalu ada, gue selalu melindungi lu” Setelah negara memenangkan perang dingin dengan kelompok asing, Tasim menjalankan misi gerilyanya memberantas satuannya sendiri, BIN sudah banyak mengirim para pembunuh bayaran untuk menghentikannya, tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuhnya karena Yuli menjaganya dari kejauhan. Ia juga mencintai Tasim, tapi ia tidak bisa mendekapnya selama outlone masih ada, yang bisa ia lakukan hanyalah menjauhkannya dari pembunuh bayaran, bom mobil, penembak jitu, maling, preman dan elemen lain yang bisa membunuhnya.

“Gue gak bisa menggantikan Shinta, gak akan pernah, dia membawa lu keluar dari area buruk hingga menjadi hebat seperti sekarang, dia yang membantu lu, melatih lu, bukan gue. Tapi beri gue kesempatan untuk mengembalikan hubungan itu, gue akan menjadi apapun yang lu mau, gue akan selalu menjaga lu seperti yang selalu gue lakukan. Kita harus pergi sekarang. Memulai hidup baru di suatu tempat”

“Semua agen, semua kandidat, semua installer, semua caller, mereka sudah gue urus. Tidak ada lagi yang perlu kita takutkan”

“Lu tahu kenapa BIN tidak memberikan Pak Rusli nama lu? Karena mereka sengaja ingin menghampuskan dia dengan cara membiarkan lu mendekatinya. Kini setelah dia meninggal, mereka membentuk operasi lain, dan, gue merasakan ada ancaman di sini sekarang”

Di luar bar, polisi sedang mengatur lalu lintas seperti biasa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan senapan mesin dari bar, kaca-kaca pecah, para pejalan kaki terluka, polisi itu berlindung, ia mencari pelaku penembakan sambil mengontak satuannya untuk mengirimkan bantuan, sementara itu tembak-menembak masih berlangsung, kemudian satu persatu orang terlempar keluar dari lantai dua ke jalanan, orang-orang yang terjatuh itu memegang senjata api dan senjata tajam, setelah bantuan datang, polisi masuk ke bar, lantai tiga meledak, melemparkan lebih banyak orang ke jalanan.

Di tempat lain, mobil hitam melaju cepat melewati mobil-mobil lain di jalan raya, si pengemudi memastikan tidak ada yang mengikutinya, si penumpang memegang pistol di tangannya bersiap menembak ban mobil yang ia curigai.

“Yuli..”

“Kristina.. nama asli gue Kristina”

“Kristina... i love you kak”

“I love you to ade ku sayang”

THE END

Keterangan

Outlone : Operasi pelatihan sipil untuk mempersiapkan masyarakat mempertahankan negara

Kandidat : Orang yang terpilih secara sadar atau tidak dalam operasi Outlone

Sleeper Agent : Kandidat yang sudah lulus uji coba yang ditempatkan di daerah-daerah yang rawan konflik

Installer : Agen yang ditugaskan menanam bibit imajinasi pada kandidat

Konverter : Halusinasi yang melatih kandidat hingga siap direkrut sebagai sleeper agent

Caller : Agen lapangan yang kapanpun bisa menggunakan kandidat atau sleeper agen untuk membantu mereka

Contohnya : Agen Wahyu mendapatkan hak sebagai Caller, ia menggunakan kandidat bernama Tasim untuk menyelamatkan installer bernama Kristina