Tampilkan postingan dengan label menikah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menikah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Mei 2020

Menikah

Hukuman. Ini hukuman buatku. Mungkin aku memang pantas menerima ini semua. Sudah dua tahun Mas Bali suamiku terbaring koma di rumah sakit. Bahkan asuransi kesehatannyapun sudah tidak lagi mengcover semua biaya pengobatannya. Di awal tahun kemarin, dokter menyarankanku untuk melepas semua mesin penopang hidupnya.

Karna mesin-mesin itulah jantung Mas Bali masih berdenyut, Nafas Mas Bali masih tersisa. Padahal sebetulnya, jika tanpa mesin-mesin itu, Mas Bali sudah tiada. Karna asuransi sudah tidak mengcover, harta kamipun sudah habis banyak, dokter beberapa kali menyaranku menandatangani dokumen persetujuan pelepasan mesin penopang hidup Mas Bali. Ya Allah, inikah karma buatku, inikah balasan yang Engkau berikan kepadaku karna dulu aku suudzon kepadaMu? Tak adakah hukuman yang lain?

Setiap saat aku berdoa, setiap saat aku memohon kepada Allah agar segera diberikan kekuatan atas apa yang harus aku lakukan. Apakah harus menyerah saja? Bagaimana dengan Jingga? Apa yang akan Ia katakan jika besar nanti Ia tau bahwa Ibunya sudah sangat tega menyerah membiarkan dokter melepas mesin penopang hidup Ayahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk.

Bagaimana karma ini bisa berlaku padaku? Berikut kujabarkan kisahku yang sudah dengan mudahnya bersikap Suudzon kepada Sang Pencipta.

**********

Pernikahan. Adalah satu kata yang paling membingungkan. Berkali-kali aku punya pacar. Tapi kesemuanya gagal akibat kesalahanku sendiri. Kenapa laki-laki mau menikah? Untuk apa? Karna agamakah? Atau apa? Setiap kali mereka melamarku, maka saat itu pula aku menolak dengan halus. Kukatakan aku tidak ingin menikah. Mereka bertanya "mengapa? sampai kapan aku mau sendiri?". Aku hanya terdiam. Dalam hati aku menjawab "Mungkin selamanya aku tidak akan menikah".

Untuk apa menikah jika nanti rasa itu akan hilang. Debar-debar semasa kita pacaran. Tegang saat sabtu sore menanti malam minggu untuk bertemu denganmu. Apa gunanya menikah jika rasa-rasa yang menyenangkan itu akan hilang? Aku tidak mau. Karna rasanya menyenangkan bersamamu dengan penuh debaran, penuh suka cita, rasa rindu yang teramat dalam karna dipisahkan oleh waktu malam dimana kami harus pulang ke rumah masing-masing.

Jika menikah? Pasti rasa itu akan segera hilang, rindu tidak akan ada lagi karna setiap saat bertemu di rumah. Bagaimana tidak, kita akan serumah. Tiap kali mereka meninggalkanku karna aku menolak menikah, maka tiap kali itu pula air mataku deras berjatuhan mengalahkan guyuran air hujan. Karna aku begitu mencintai laki-laki yang menjadi pacarku itu. Aku senang sekali menunggunya di rumah, menanti telponnya, messege nya, rasanya debar-debar itu menyenangkan luar biasa.

Bayangkan jika kita menikah. Setiap hari bertemu. Tidak akan jenuhkah kau padaku nanti? Apa iya kau tidak akan ilfil melihat caraku tidur? caraku makan? caraku berpakaian? tanpa makeup? Bagaimana hari-hari kita selanjutnya? Apa kabar kangen? Apa kabar debar-debar?

Hingga suatu hari, aku terpaksa mengiyakan lamaran pacarku yang terakhir ini. Aku akan menikah, akhirnya aku harus menikah juga. Bukan, bukan karna umurku yang sudah 30 tahun, tapi ini demi Ibu. Ibuku ingin melihat putri bungsunya ini menikah. Padahal Ibu sendiri tidak pernah bahagia dengan pernikahannya, bahkan kakak-kakakkupun seringkali mengeluhkan perihal suami mereka. Yang selalu seenaknya sendiri, tidak pernah membantu pekerjaan rumah, bahkan salah seorang kakakku hidup kekurangan karna suaminya tidak memiliki pekerjaan yang layak. Tak jarang aku dan Ibu mengulurkan bantuan keuangan untuknya. Aku merasa kasihan pada kakakku. Tapi itu pilihannya, menikah dengan laki-laki yang sederhana dengan pekerjaan yang tidak mencukupi.

Melihat keluarga kakak-kakakku, terlebih masa lalu Ibu dengan Ayah, membuatku semakin yakin bahwa manusia tidak harus menikah. Jika hanya ingin memiliki keturunan agar di hari tua ada yang merawat kita, aku bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Toh mereka pasti senang jika ada orang yang mau mengadopsi anak asuhnya dengan kehidupan yang layak. Jadi apa hakikatnya menikah?

Tapi ini terlanjur. Acara lamaran sudah berjalan. Dua bulan lagi aku menikah. Semakin menimbang-nimbang, semakin yakin aku tidak butuh menikah. Apalagi jika hanya demi Ibu. Toh aku yang akan menjalaninya nanti. Ibuku sedang sakit, Ia terus berucap bisa mati dengan tenang jika aku sudah menikah. Ituuu terus yang dia ucapkan. "Ya Allah Buu... bisakah kau hentikan ucapanmu yang ngawur itu? Ibu kan tau aku. Ibu mengenal baik putri bungsu Ibu ini tidak akan pernah menikah".

"Lalu, untuk apa kamu punya pacar? Laki-laki tujuan akhirnya itu pasti menikah. Jika kamu tidak ingin dinikahi, lalu buat apa kamu terima mereka jadi pacar kamu? Pacaran 2 tahun putus karna menolak dilamar, yang sebelumnya 1 tahun, bahkan ada yang sampai 3 tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kalian saling mengenal. Perasaan mereka pasti sudah sangat dalam padamu Ras. Malah kamu tolak lamaran mereka tanpa alasan. Kamu pikir mereka mengerti kamu? Mengerti kenapa kamu menolak lamaran mereka. Ibu saja sampai detik ini masih tidak mengerti kenapa kamu tidak suka pernikahan".

"Sudahlah Bu, Laras akan menikah. Laras turuti maunya Ibu. Tapi Ibu jangan salahkan Laras jika rumah tangga Laras gagal seperti Ibu. Kita sama Bu. Laras sama seperti Ibu. Laras bukan type perempuan yang akan mempertahankan mati-matian rumah tangganya dengan cara mengorbankan kebahagiaan sendiri. Jika Laras tidak bahagia, maka Laras akan menyerah dan menyudahi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi. Sama seperti Ibu yang meninggalkan Ayah karna tidak bahagia".

Ibu terdiam. Sebetulnya aku sadar kalimatku itu keterlaluan. Rumah tangga Ibu memang gagal. Tapi aku dengan sok taunya menjudge bahwa Ibu meninggalkan Ayah karna tidak bahagia. Toh memang seperti itu yang terlihat. Aku dan kakak-kakak tidak pernah tau alasan Ibu sebenarnya meninggalkan Ayah. Lagi pula kupikir, alasan apa lagi Ibu meninggalkan Ayah jika bukan karna Ia tidak bahagia dengan Ayah.

Akhirnya satu bulan lagi aku menikah. Aku makin bermalas-malasan bertemu Mas Bali calon suamiku. Aku makin mantap tidak ingin menikah. Tapi sayang Mas Bali sudah keburu menyebarkan undangan. Dalam benakku berkata "Biarlah kujalani dulu. Toh Allah tidak melarang perceraian dalam hukum Islam". SubhanAllah betapa buruknya sifat suudzonku itu kepada Allah saat itu.

Harinya tiba, pagi ini aku bersiap. Saudara-saudara sudah berkumpul. Singkat cerita, ijab qabul telah terlaksana. Hari ini aku telah menjadi seorang istri. Ya, istri Mas Bali. Laki-laki yang sangat aku cintai ini. Tidak kuduga, aku malah sangat bahagia sekarang. Aku menjadi Istri Mas Bali. Aku akan melihatnya setiap hari. "Lho, perasaan apa ini. Apaa... rasa ini akan terus berlangsung? Sementara aku akan setiap waktu melihatnya. Apakah aku akan bosan nantinya. Bagaimana dengan Mas Bali. Apakah justru dia yang akan segera merasa bosan melihatku setiap waktu di rumahnya?". Pikirku dalam hati.

Tanpa terasa, hari-hari kulalui dengan Mas Bali tanpa masalah berarti. Mas Bali memang mapan. Dia sudah memiliki rumah sendiri yang cukup besar. Sudah ada Mba Minah ART di rumah Mas Bali, juga Mang Diman pekerja kebunnya. Aku tidak perlu bersusah payah melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri. Hari-hariku hanya kuisi dengan kegiatanku sebelum menikah yaitu bisnis Fashion. Aku sudah resign dari tempatku bekerja, karna Mas Bali yang minta. Sebagai gantinya, Mas Bali memberikanku kesempatan untuk memperbesar bisnis fashion yang memang telah aku jalani sejak lama, namun masih usaha kecil-kecilan.

Dengan syarat, aku hanya boleh mengurus bisnisku jika Mas Bali sedang bekerja. Artinya, jika Ia sedang libur atau sudah pulang dari bekerja, aku sudah harus ada di rumah. Entah mengapa, syarat itu dengan mudahnya kupenuhi. Tanpa merasa terbebani, aku menjadi istri yang penurut. Tanpa sadar, aku menurut pada Mas Bali, karna Ia berhak dan pantas mendapatkan itu. Karna Mas Bali sendiri adalah sosok suami yang penuh tanggung jawab, pengertian, sabar, dan sangat memperhatikanku.

Tidak jarang aku merasa kangen padanya ketika Ia sedang tidak di rumah. Rasanya aneh. Sudah serumah, tiap hari bertemu, tapi rasa kangen masih sering muncul. Kadang jika aku merasa kangen, aku menelponnya. Dari sebrang telpon dia selalu mesra padaku. Semakin membuat aku diperhatikan, semakin membuat aku merasa di sayang.

Hari ini hujan turun. Mas Bali biasanya pulang selepas Maghrib. Maka setiap jam 5 sore, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku di butik. Jika tidak selesai, kutinggalkan saja dulu untuk dilanjut esok hari. "Ratih, saya pulang dulu ya. Kita tutup jam 8 aja hari ini. Hujan, sepertinya akan jarang orang yang datang. Kamu hati-hati ya, tutup semua pintu dan jendela, cek listrik. Matikan semua yang tidak dipakai". Begitu pesanku pada kepala tokoku Ratih.

Alhamdulilah, aku sudah memiliki 14 orang pegawai di butik. Termasuk Ratih yang aku percayakan menjadi kepala toko di butik pusatku. Karna aku punya satu butik lagi sebagai cabang di salah satu Mall di Jakarta ini. Berkat support Mas Bali. Usahaku lancar. Mungkin karna Ia Ikhlas mensupportku dan aku tunduk pada aturan suamiku. Sehingga Allah memberikan kelancaran pada bisnisku.

Selain sukses di bisnis, aku juga cukup bahagia dengan kehidupan rumah tanggaku. Terlebih lagi, dua tahun kemudian lahir "Jingga" putri pertama kami. Senangnya bukan main. Terkadang, aku merasa berdosa pada kehidupan masa laluku. Allah begitu baik memberikan kesempurnaan dalam kehidupanku sekarang. Padahal sebelumnya aku selalu suudzon tentang pernikahan.

Apa yang kupikir akan terjadi setelah menikah, semuanya nol besar. Rasa rindu yang aku takutkan akan menghilang, justru semakin sering aku rasakan ketika Mas Bali tidak di rumah. Padahal setiap malam kami bertemu. Tak jarang aku merengek manja padanya minta ditemani di rumah. Merayu Mas Bali agar mau cuti dari kantornya.

Dia sungguh lucu setiap kali aku manja padanya. Aku semakin jatuh hati pada suamiku Mas Bali. "Ya Allah semoga Engkau meridhoi jalan hidup kami berkeluarga, agar terus berkah dan bahagia sepanjang waktu sampai ajal menjemput". Begitu Doaku setiap kali selesai sholat. Aku sungguh menyesal telah berfikir negatif tentang pernikahan. Semuanya di luar dugaanku.

Aku sedang bahagia-bahagianya saat ini. Aku tengah mengandung anak kedua kami. Bahagia bukan main. Hari ini untuk merayakan kebahagiaan kami dengan kehadiran anak kedua kami kelak, aku, mas Bali, dan Jingga akan pergi berlibur ke Okinawa Jepang, kebetulan di sana sedang musim salju. Dan Jingga ingin sekali melihat salju. Aku berkemas dengan riang gembira sambil menunggu Mas Bali mengurus sebentar urusan di kantornya pagi ini. Kami akan berangkat sore nanti.

Jingga juga sudah tidak sabar sampai di sana. Sampai siang itu tiba-tiba. "Buu.... Bu..... Telepon dari Rumah Sakit Buu....". Kata Mba Minah dari luar pintu kamarku.

"Rumah sakit? ada apa mba?". Tanyaku pada Mba Minah. "Bapak Bu, Bapak...". Mbo Minah sambil menitikkan air mata menyerahkan telepon kepadaku di ambang pintu kamar.

Bagai disambar halilintar mendengar pernyataan perawat rumah sakit di sebrang telpon. Mas Bali mengalami kecelakaan saat pulang menuju rumah siang tadi. Mobilnya terhimpit dua kendaraan besar hingga mengakibatkan tubuh Mas Bali ikut tergencet, dan mengakibatkan banyak tulang yang patah. Untungnya Mas Bali masih bernafas.

Aku bergegas menuju rumah sakit, kutitipkan Jingga kepada Mba Minah. Sampai di rumah sakit, aku masih belum boleh menemui Mas Bali karna banyak yang harus dilakukan, termasuk memutuskan tindakan operasi pada Mas Bali. Aku diminta menandatangani dokumen persetujuan tindakan operasi. Aku yang linglung dan bingung tentu saja langsung segera menandatanganinya. Kulakukan apapun demi membuatnya sehat kembali.

Yang membuatku semakin histeris adalah kemungkinan keberhasilan operasi hanya 30% saja. "Ya Allah, sebegitu parahnyakah keadaan Mas Bali". Dokter bilang keberhasilan operasi kemungkinan hanya 30% tapi jika tidak dilakukan, maka dalam hitungan jam, Mas Bali akan pergi selamanya. Tidak ada pilihan bagiku selain 30% itu.

"Aku bersimpuh padaMu ya Rabb, kembalikan Mas Bali padaku, beri aku kesempatan mempertemukan anak kedua kami dengannya ya Allah". Aku terus berdoa tanpa putus, meski sedang tidak dalam keadaan sholat, mulutku terus berdoa sepanjang waktu. Memohon kesembuhannya, memohon keberhasilan 30% itu.

Alhamdulilah operasi dinyatakan berhasil. Mas Bali selamat. Namun masih dalam kondisi yang kurang stabil. Kami masih harus menunggu hasilnya. Entah besok atau lusa atau kapan Ia akan membuka mata.

Sudah di minggu kedua sejak Mas Bali selesai operasi, Ia belum juga membuka mata. Bahkan dokter menyatakan Mas Bali mengalami koma. Kemungkinan akan sangat lama baginya untuk bangun, karna banyak sekali organ tubuhnya yang rusak akibat kecelakaan itu. Aku diminta bersabar.

Di minggu ketiga mas Bali dirawat, kandunganku sudah mencapai sebelas minggu. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Darah mengalir deras tanpa henti. Kurasakan aku tak kuat lagi. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit. Mba Minah yang membawaku ke rumah sakit bersama Mang Diman. Ibu dan Kakak-kakakku sudah berada mengelilingiku di ruang rawat. Ibu mendekapku, sambil berbisik "Yang sabar ya Ndo... semua kehendak Allah. Apapun yang terjadi kamu harus kuat".

Aku tidak mengerti ucapan Ibu. Ka Mira menghampiriku, sambil menggenggam tanganku Ia berujar "Ras, kamu yang sabar ya Dek' kamuu... keguguran".

"Apa Mba? Gak mungkin Mba, aku jaga betul kandunganku, aku minum vitamin, aku banyak makan, aku sehat mba" . Air mataku deras mengalir. "Ya Allah bertubi-tubi kau memberiku cobaan. Inikah hukuman? Cobaan atau karmakah ini Ya Allah, ampuni Hamba ya Allah. Aku mohooon sudahi penderitaanku".

**********

"Bu, Laras minta maaf ya Bu. Selama ini sudah berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah". Kataku sambil mendekap Ibu dengan erat dan linangan air mata. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, aku hanya bisa menangis di dekapan Ibu, mengikhlaskan kepergian anak kedua kami, dan bersabar menghadapi keadaan Mas Bali.

"Sudahlah Ras, tak perlu kamu katakanpun Ibu sudah megerti kenapa kamu berpikiran seperti itu, bukan hanya kamu, tapi kalian memang tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah".

"Ibu sama sekali tidak menceritakan apa-apa ke kami tentang Ayah sejak kecil Bu. Mira cuma ingat waktu itu saat Mira dan Tasya masih kecil, Ibu menyeret kami berdua keluar rumah. Kemudian tinggal bersama Ibu di rumah kita yang sekarang masih Ibu tempati. Mira juga ingat, Ibu selalu berwajah sedih ketika Mira atau Tasya bertanya tentang Ayah. Laras yang masih dalam kandungan Ibu waktu itu, tentu saja tidak tau apa-apa Bu, terlebih lagi, Mira menceritakan kejadian itu kepada Laras saat Laras SMP. Wajar jika Laras berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah".

Ka' Mira berusaha mengingat-ingat kejadian Ibu dan dirinya serta Ka Tasya keluar dari rumah. Tapi hanya sebatas itu yang Ka Mira ingat.

"Kamu ingat Mira? Malam sebelum kita keluar dari rumah, Ibu bertengkar hebat dengan Ayah?". Tanya Ibu kepada Ka Mira mencoba mengingatkannya. Berharap Ka Mira masih mengingat kejadian malam itu.

"Iya Bu, Mira ingat. Itu sebabnya. Yang tertanam dibenak Mira dan Tasya adalah Ibu pergi meninggalkan Ayah karna tidak bahagia karna pertengakaran itu".

"Sebetulnya hari itu Ibu sama sekali tidak berniat meninggalkan Ayah. Sebenarnya Ayah kalian sakit kanker. Ia menderita selama beberapa tahun terakhir sebelum kita pergi meninggalkannya. Ibu berusaha tetap disampingnya, menjadi Istri yang baik baginya, juga Ibu yang selalu ada buat kalian. Tapi Ayah kalian terlalu berpikiran sempit. Ibu yang saat itu masih muda, malah ingin diceraikannya. Ayah ingin menceraikan Ibu agar Ibu bisa menikah lagi dengan laki-laki mapan yang sehat dan tidak menyusahkan Ibu. Waktu itu Ibu sama sekali tidak menduga dengan ucapan Ayah kalian".

Ibu terdiam ditengah-tengah ceritanya, melamun membayangkan kisah yang dulu pernah terjadi dengan Ayah. Kemudian melanjutkan kembali ceritanya yang cukup panjang.

"Ayah marah pada Ibu, Ia membentak Ibu dan memasukkan pakaian-pakaian Ibu juga Mira dan Tasya ke dalam koper besar, kemudian mengusir kami bertiga. Saat itu Ayah belum tau jika Ibu tengah mengandung Laras".

"Jadi Bu, bukan kita yang meninggalkan Ayah, tapi justru Ayah yang mengusir kita?". Tanya Ka' Tasya dengan raut wajah terbelalak karna kagetnya.

"Iya Tas, kita diusir Ayah. Karna Ia tidak ingin kita menderita mengurusnya. Rumah yang kita tempati sekarangpun sebenarnya juga rumah Ayah. Ayah kalian ingin kita pisah rumah agar kita tidak larut dan sibuk mengurusnya hingga melupakan kepentingan kita masing-masing. Ayah bilang, kita harus tetap hidup sehat dan bahagia tanpa perlu mengurusi orang sakit yang tidak berguna". Ibu meneruskan ceritanya, kali ini air matanya sudah tidak terbendung lagi.

"Ayah menyerahkan sertifikat rumah yang sekarang kita tempati bersama kuncinya, Ia bilang pada Ibu.........."

"Sekarang juga kau keluar dari rumah ini, bawa sertifikat rumah ini, dan ini kuncinya. Untuk sementara, tinggalah kalian di rumah itu. Jika nanti kau menemukan laki-laki yang mau bertanggung jawab dan sehat, menikahlah lagi. Aku sudah menceraikanmu. Ingat satu hal. Jangan pernah kembali kemari. Jangan pernah mengurusi hidupku yang sudah tidak lama ini".

Suara tangis Ibu kini semakin terdengar. Ia terus melanjutkan ceritanya.

"Setelah itu, kami hidup terpisah. Kita berempat menempati rumah itu hingga sekarang. Tak satu kalipun Ibu berpikir untuk menikah lagi. Tanpa sengaja ibu melihat sosok ayah mengintip dari balik pohon di halaman depan rumah, rupanya Ia terus mengawasi kehidupan kita. Padahal esoknya setelah kita pindah ke rumah itu, Ibu sempat kembali ke rumah kita yang dulu bersama Ayah. Tapi rupanya Ayah sudah menduga hal itu pasti terjadi, maka Ia pergi dari rumah itu juga setelah kita keluar. Ayah menjual rumah lama kita kemudian hidup entah di mana. Ibu tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.Ibu mencarinya ke rumah nenek, orangtua ayah di Bandung, tapi nihil. Ayah tidak di sana. Nenek dan Kakek dengan kekhawatirannya ikut membantu Ibu mencarinya. Tapi tidak pernah menemukan Ayah. Sampai pada suatu hari. Ada orang datang ke rumah Ibu membawa pesan dari nenek bahwa Ibu harus segera datang. Ketika Ibu datang ke rumah nenek, pemakaman Ayah sedang berlangsung".

Saat itu juga aku, Ka Mira, Ka Tasya juga Ibu menangis bersamaan, kami berpelukan dalam duka. Tidak kusangka, Ayah yang selama ini belum pernah kutemui. Bahkan wajahnya saja tidak pernah aku tau, ternyata sudah tiada sejak lama. Terlebih Ka Mira yang saat kecil sangat dekat dengan Ayah. Ia menangis paling lama, terkadang terdiam dalam lamunan.

"Maaf Bu, maafkan Laras sudah berlaku tidak adil pada Ibu. Laras sudah berpikiran negatif tentang Ibu terhadap Ayah. Maafkan Laras Bu".

Ibu mendekapku makin erat, dengan lembut Ia katakan "Sudahlah Laras, kau sama sekali tidak tau apa-apa. Jangan menyalahkan dirimu karna ini. Berdoa dan jangan menyerah pada kondisi suamimu. Jika Allah ingin Ia pergi, pasti Ia sudah pergi sejak dua tahun lalu saat pertama masuk rumah sakit ini. Dia masih terbaring lemah karna Allah menghendakinya. Ia ingin kau menyadari kesalahanmu yang telah bersikap suudzon kepadaNya saat kau memutuskan untuk tidak butuh menikah. Sekarang kau menyadarinya. InshaAllah, Allah akan memberikan jalan keluar setelah ini. Baik itu menyadarkannya dari koma, atau mengambilnya. Yang jelas, apapun keadaannya nanti, kau sudah harus siap menghadapinya".

Kalimat Ibu makin menyadarkanku bahwa aku harus bersabar sebentar lagi. Aku tidak akan menandatangani dokumen pernyataan persetujuan itu. Aku akan tetap tegar menanti Mas Bali bangun. Benar kata Ibu, ini karna kehendak Allah. Berapapun harta yang harus aku habiskan, aku tidak peduli, akan kukeluarkan semuanya demi suamiku tercinta.

Tidak lama setelah cerita Ibu selesai di ruang tunggu Rumah Sakit, tiba-tiba suster menghampiri kami. "Bu Laras, silahkan ke ruang rawat, ini mukjizat. Pak Hambali sadar, ini hari pertama Ia membuka mata Bu, silahkan segera menemuinya".

Seketika itu juga aku menghapus air mataku, ya Allah. Hanya dalam hitungan menit saat aku menyadari kesalahanku dan memohon kepadaMu diberikan jalan, Engkau langsung mengijabah doaku dan Ibu. Ya Allah sungguh Maha Besar Engkau atas segala kehendakmu.

Akhirnya Mas Bali terbangun dari komanya. Ia bingung kenapa ada di Rumah Sakit. Ia kaget setelah kuceritakan sudah dua tahun Ia terbaring di sini. Setelah itu, Mas Bali berangsur-angsur pulih. Ia sehat seperti sedia kala. Aku menjalani hari-hariku dengan lebih banyak bersyukur dan berjanji kepada Allah bahwa tidak akan pernah lagi suudzon kepadaNya. Terimakasih ya Allah, masih melindungi Mas Bali.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay