Tampilkan postingan dengan label cerita fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita fiksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Mei 2020

Kisah Sedih di hari Minggu (Tragedi)

"Tumben, biasanya jam segini Ibu sudah bangun dan sedang membaca Al-qur'an di sofa ruang tamu". Dalam hati aku menggumam. Kuputuskan mengetuk pintu kamar Ibu, siapa tau beliau kesiangan atau malah sedang tidak enak badan sehingga belum bangun subuh ini.

Ku ketuk satu kali tidak ada jawaban, kedua, ketiga, keempat masih juga tidak ada jawaban. Kuberanikan diri membuka pintu kamar Ibu perlahan, kemudian melongok ke arah tempat tidur.

Ternyata kamar dalam keadaan kosong dan gelap. Kunyalakan lampu kamar Ibu, terlihat seprei dan bantal masih sangat rapi dan dingin seperti belum dipakai seharian.

Aku bingung. Karna tidak biasanya seperti ini. Ibu dan Ayah pergi tanpa bilang apa-apa padaku. Apa mungkin saat mereka membangunkanku, aku tidak juga terbangun. Tapi aneh.

Tadi kan betul-betul suara Ibu dan Kakak yang menjerit. Aku kenal betul suara mereka. Ah sudahlah mungkin Ibu ke pasar ditemani Ayah. Tapi, apa iya sepagi ini? Jam lima subuh? Aku agak ragu.

Kemudian aku naik ke lantai atas, ingin kembali ke kamar. Tapi, saat melewati kamar Kakak, pintunya sedikit terbuka hingga menciptakan celah. Terlihat cahaya lampu yang masih menyala.

"Kaaa.... Ibu ke mana ya?". Tanyaku sambil membuka pintu kamar Kakak. Tapi ternyata kamar kakakpun kosong. Tempat tidurnya dalam keadaan sama dengan kamar Ibu. Rapi seperti belum digunakan. Hanya saja, lampunya menyala terang.

"Duh, ke mana sih mereka. Koq aku dibiarin tinggal sendiri dan gak di kasih tau pergi ke mana". Gerutuku dalam hati. Akhirnya aku kembali ke kamar. Melanjutnya tidurku seperti biasa. Karna aku memang jarang bangun terlalu subuh. Paling-paling jam enam kurang lima belas menit aku baru bangun untuk sholat subuh jika libur seperti hari ini. Tapi tadi aku terbangun karna jeritan. Ya sudahlah, aku ke kamar, sholat subuh, kemudian kembali tidur.

Terlelap dalam tidur, tiba-tiba aku mendengar suara jeritan yang sama. Aku terbangun kemudian turun ke kamar Ibu, membuka pintu yang diketuk tidak ada jawaban, keadaan masih sama seperti tadi kosong dan gelap, tempat tidur rapih, bergegas naik ke kamar kakak, keadaanpun masih sama, dengan celah pintu sedikit terbuka, tempat tidur rapih dan dingin.

Aku berlari ke kamar, karna aku merasa seperti dejavu. Aku merasa kejadian terulang sejak mendengar jeritan Ibu dan Kakak.

Aku tengok ke jam dinding di atas pintu kamar. Tepat jam lima subuh. Sama seperti ketika aku bangun tadi, Ya Allah, apa waktu berhenti? Tidak mungkin. Tapi aku sudah dua kali mengalami kejadian ini. Rasanya aneh. Aku sedikit bingung, karna jarum detik pada jam dinding berjalan seperti biasa. Tidak mati, tidak juga rusak.

Kuputuskan kembali naik ke tempat tidur. Rasanya aneh. Akupun kembali terlelap, sangat lelap, aku merasa tidurku nyaman sekali, sampai terdengar lagi suara jeritan Ibu dan Kakak.

"Lagi?" . Pikirku. Ini sudah yang kelima kali. Aku mencoba bangkit. Tapi kali ini, aku tidak ingin melakukan hal yang sama. Aku duduk di atas tempat tidurku. Berpikir apa yang harus aku lakukan.

Daripada begitu, aku teriak saja "Ibuuuuu........ Buuuu...... Ibu di mana?".

Tiba-tiba Ibu membuka pintu kamarku, kemudian masuk dan menaruh sarapan di meja belajarku.

"Ih Ibu tadi ke mana aja Bu? Koq sepi sekali? Bu, kayanya jam dinding aku rusak deh Bu, masa aku bangun berkali-kali dijam yang sama. Terus aku terus-terusan denger suara Ibu sama Kakak teriak. Masa sih aku mimpi yang sama berkali-kali. Aneh ya Bu".

Ibuku hanya menengok ke arah tempat tidurku, melihatku, kemudian hanya tersenyum. Aku bergegas bangun. Kemudian menggigit roti lapis kesukaanku buatan Ibu. Setelah itu mandi dan bersiap ke sekolah.

Sudah jam 06:10 aku berlari ke sekolah, karna memang jarak rumah ke sekolah sangat dekat, aku terbiasa berangkat mepet-mepet dan sering telat tentunya. Heheheheh.

Sampai di gerbang sekolah, suasana sepiii sekali. Senyap. Rasanya seperti tidak ada kehidupan. Ternyata memang sudah jamnya pelajaran di mulai. Semua orang sudah berada dalam kelas.

Aku berjalan perlahan menuju ruang kelasku, aku mengintip ke dalam kelas dari jendela kaca, terlihat anak-anak sedang mendengarkan penjelasan Pak Robert, guru pelajaran biologi. Aku menunggu kesempatan agar dapat masuk tanpa terlihat guru tampan itu.

Pak Robert terkenal dengan ketampanannya yang mempesona. Di umurnya yang sudah tidak lagi muda, dia masih saja hidup sendiri tanpa seorang istri. Entah apa yang membuatnya demikian.

Padahal banyak gadis yang mengejarnya. Termasuk aku. Hihihihihihi. Habis dia gagah sekali. Tubuhnya yang tegap, wajahnya yang bersih dan tampan membuatku sering membayangkan, bagaimana jika punya suami yang umurnya terlampau jauh dari umur kita tapi setampan ini? Hehehehehehe.

Tapi tetap, itu hanya anganku saja. Karna impianku yang sebenarnya hanyalah menjadi pengantin Arya. Anak basket yang populer dan mempesona itu. Meskipun begitu, beliau adalah guru yang di kenal sangat disiplin dalam mendidik murid-muridnya.

Jadi, kalo sampai aku ketauan terlambat, sudah pasti aku kena hukum lagi. "Kesempatan" . Pikirku dalam hati. Pak Robert sedang sibuk menulis materi menghadap papan tulis besar.

Segera saja mindik-mindik aku masuk ke dalam kelas. Berharap tidak ada teman sekelasku yang mulutnya ember dan berisik saat aku masuk diam-diam.

"Selamaaat" . Dalam hatiku sambil mengelus-elus dada sendiri. Anak-anak juga ga ada yang peduli. Sepertinya mereka benar-benar sedang sibuk memperhatikan Pak Robert menulis di depan. Apalagi anak perempuan. Gak bakalan ada yang berkedip kalo Pak Robert sedang mengajar.

Sudah seminggu ini aku merasakan hal yang ganjil. Sungguh aneh. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Mendengar suara Ibu dan Kakak yang menjerit.

Bukan hanya mimpi itu. Ibu juga setiap hari mengantarkan sarapanku ke kamar dengan makanan yang itu-itu saja. Pernah sekali waktu aku bertanya "Bu, kenapa sarapannya roti lapis melulu? Iya sih ini kesukaan aku, tapi masa iya sarapan ini terus?" . Tanyaku pada Ibu yang sedang meletakkan sarapan di meja belajarku.

Tapi Ibu hanya tersenyum dengan raut wajah yang tidak bisa aku gambarkan dengan kalimat. Entah raut wajah Ibu bisa aku sebut apa yah. Karna sejak aku terlahir, Ibu tidak pernah menampakkan raut wajah seperti itu.

Hal itu terus terjadi. Aku bingung, waktu juga seperti sangat cepat berlalu, Dari subuh aku terbangun karna mendengar jeritan Ibu dan Kakak yang seperti mimpi, Ibu yang masuk membawakanku roti lapis, Aku yang telat datang ke sekolah, dan semua yang aku lakukan rasanya hampir semuanya sama. Aku seperti mengalami dejavu berulang-ulang. Aneh.

Pulang sekolah siang ini, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Rasanya hari ini aku ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Aku tidak ingin mengulang kejadian-kejadian kemarin.

Aku merasa aneh dan hampa. Kenapa belakangan ini aku merasa kesepian? Seperti tidak ada teman, tidak ada keluarga, meski mereka ada di sekelilingku. Aku merasa di acuhkan. Rasanyaa... aku pernah merasakan hal yang sama seperti ini. Tapi kenapa perasaan ini terus berulang. Meski siang ini aku memutuskan melakukan hal yang berbeda.

Aku terdiam, berfikir.

"Sampe hari ini, lo masih juga dateng ke sekolah". Kalimat itu terlontar dari seorang siswa yang tiba-tiba saja berdiri di sebelahku yang sedang melamun di tepi kolam ikan di kebun belakang sekolah.

Aku kaget bukan main, betul-betul kaget karna sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki maupun tanda-tanda kehidupan dari cowo ini.

"Ampun deeeh lu ngapain sih siang-siang gini ngagetin orang aja. Permisi dulu dong. Kaget banget tau. Kalo gue sampe nyemplung ke kolam ikan gara-gara lu ngagetin gue, hhhh.... gue bales luh lebih dari itu". Kataku dengan wajah cemberut.

"Tapi ngomong-ngomong, lu ngapain siang-siang udah sepi begini di sini, bukannya pulang? Trus, emang lu tau siapa gue?". Tanyaku padanya yang sedang menatap air kolam dengan senyumnya yang menawan.

"Iya, gue kenal koq lu siapa. Lu Riana kan, anak kelas B. Gue Arya". Jawabnya kemudian. Aku tidak menyangka Arya ternyata tau namaku dan seperti sudah mengenalku sejak lama.

Aku yang type murid tidak populer dan tidak terkenal ini bisa di kenal Arya anak kelas D rasanya aneh. Dia kan terkenal tampan, anak basket, cerdas. Nilai-nilainya luar biasa. Jarang ada siswa cowo yang punya prestasi dijaman sekarang. Pikirku sih. Hehehehehe.

"Iya gue tau lu Arya. Anak Kelas D. Gak nyangka lu bisa kenal gue". Jawabku kemudian.

"Dari mana lu tau nama gue? Kita kan gak pernah kenalan, gue juga gak terkenal. Koq bisa sih cowo sepopuler elu kenal sama gue yang biasa banget ini".

Dia tersenyum sambil melempar batu kerikil kecil ke dalam kolam. "Lu gak sadar aja kalo sebenernya belakangan ini lu udah jadi orang terkenal di sekolah ini. Semua orang seisi sekolah  juga tau nama lu siapa, lu anak kelas berapa, rumahnya di mana".

Haaa? Apa iya. Sepertinya dia lagi ngeledek aku. Mana mungkin murid cewe super biasa sepertiku bisa terkenal. Hal apa pula yang bikin aku jadi terkenal. Cantik nggak, Pinter juga ngga, prestasi apa lagi, gak pernah sama sekali. Lah gimana caranya bisa dikenal seisi sekolah?.

"Becanda lo, gak usah ngeledek deh. Mentang-mentang tenar, trus jadi ngeledek gue yang biasa banget gini. Belagu banget luh".

Arya menarik nafas panjang. Kemudian wajahnya berubah menjadi sangat serius. Sambil menatapku, Ia berkata "Udah gue duga, selama ini lu gak sadar apa yang udah terjadi sama diri lu dan sekeliling lu".

Kata-kata Arya membuatku bingung.

"Maksud lu apa sih. Emang ada apa sama gue dan sekeliling gue". Tanyaku penasaran. Kemudian, Arya berkata sambil memberikan tangannya padaku.

"Pegang tangan gue, gue kasih tau apa yang terjadi dan ada apa dengan sekeliling lo".

Saat itu aku sempat ragu, kupikir Arya sedang menggodaku yang sedang kebingungan ini. Aku melihat ke wajahnya. Rasanya Arya serius. Dia tidak sedang main-main dengan yang diucapkannya. Kemudian, perlahan, aku meraih tangannya. Kami bergandengan. Saat menggandeng tangan Arya,

sesuatu terjadi. Entah apa, tapi aku seperti ditarik ke dimensi lain, kepalaku berputar, sedikit pusing, tapi bisa aku kendalikan.

Tiba-tiba aku sudah berdiri di depan rumahku sendiri. Suasana nya sepi dan tenang, sampai tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari dalam rumah.

Suara jeritan Ibu dan Kakak yang melengking seperti waktu itu, suara yang sering aku dengar berhari-hari, yang aku pikir hanyalah mimpi.

Tapi kali ini, suara jeritan itu begitu nyata, begitu nyaring, dan aku tidak dalam keadaan tidur, aku berdiri tepat di depan pintu rumahku. Takut terjadi apa-apa pada Ibu dan Kakak, aku berlari secepat kilat ke dalam rumah, mencari sumber suara Ibu dan Kakakku yang berteriak.

Saat itu, Ibu dan Kakak sudah ada di depan pintu kamarku, mereka berpelukan sambil menangis meraung-raung satu sama lain. Ayah berlari menuju depan pintu kamarku menghampiri mereka.

Kemudian Ayah ikut menjerit, namun suaranya lebih tenang dan lebih dapat dikendalikan.

"Ya Allah Rianaaa, apa yang kamu lakukan naaaak". Jerit Ayah sambil menangis dan tersungkur di depan kamarku.

Aku makin kebingungan. Kudekati mereka bertiga yang sedang tersungkur berpelukan. Penasaran dengan apa yang terjadi.

"Yah, Bu, Kak, kalian kenapa? Kenapa nangis di sini sih?". Tapi tak ada yang mendengarku, tak ada yang menjawab. Mereka terus saja menangis sambil memanggil namaku.

"Riana, kenapaa nak kenapaaa". Isak tangis Ibuku sambil menyebut namaku.

Dengan rasa penasaran yang teramat dalam, aku melihat ke arah dalam kamarku. Kaget bukan kepalang, tercekat mulut dan nafasku, mataku melotot sambil menutup mulut dengan kedua tanganku.

Aku terperanjat entah perasaan apa ini. Aku berjalan mundur perlahan sampai akhirnya Arya menyadarkanku.

"Iya Ri, itu elo. Diri lu yang ngegantung di dalam kamar itu. Lu udah gak ada Ri. Tapi lu gak sadar. Itu makanya lu merasa hari terus berulang, waktu terus berjalan dengan kejadian yang sama di hari lu bunuh diri".

Arya menjelaskan dengan raut wajah terlihat sedih. Aku tidak percaya dengan yang terjadi. Aku bingung. Ternyata aku sudah mati. Aku ini arwah. Tapi kenapa terjadi begini? dan ke mana seharusnya aku pergi? Kenapa aku masih di dunia dan merasa masih hidup?.

"Gak mungkin Arya, gue gak mungkin begitu. Gue tau tiap manusia pasti mati. Tapi gue gak mungkin mati dengan cara begitu Arya. Gak mungkiiin. Masih banyak yang pingin gue lakuin di dunia. Jadi mustahil gue bunuh diri Arya. Gak mungkiiiin".

Aku menangis terisak-isak Jatuh terduduk, terkulai lemas menyaksikan diriku sendiri tergantung di langit-langit dalam kamarku sendiri. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Semakin membingungkan.

"Ri, lu beneran gak bunuh diri?". Tanya Arya penasaran. "Kalo bener, brati ada yang bunuh lu gitu?". Pertanyaan Arya membuatku berhenti menangis, kemudian berfikir keras.

"Aduh gimana ya Ya, gue sih gak tau Ya, gue gak inget gimana gue mati. Tapi yang jelas, gue yakin seyakin yakinnya gue gak mungkin bunuh diri. Gak mungkin Ya". Jawabku penuh keyakinan.

"Terus hari itu lu ngapain aja Ri? Kenapa bisa lu ngegantung begitu?". Tanya Arya lagi.

"Gak inget Ya, gue sama sekali gak inget apa-apa. Memori gue ilang sama sekali kecuali ingatan tentang orang-orang. Gue tau kalian, gue kenal semua orang semasa gue hidup. Tapi kenapa kejadian selagi gue hidup, sama sekali ga ada bayangan ya Ya. Gue ngga inget Ya. Tapi satu hal yang pasti. Gue gak mungkin bunuh diri".

Arya terdiam seperti berfikir. "Oh iya  Ya, kalo emang gue bener-bener udah mati, gimana caranya lu bisa ngeliat gue?". Tanyaku kemudian.

"Awalnya juga gue kaget Ri. Hari itu hari senin, tepat sehari setelah kematian lu di hari minggu. Seisi sekolah udah tau kejadian lu meninggal gantung diri. Gue juga tau, hari minggu banyak teman-teman kita dan guru-guru yang datang ke pemakaman lu Ri. Itu sebabnya gue tau wajah lu dari foto yang dipajang saat acara pemakaman lu hari minggu. Makanya gue kaget bukan main waktu liat lu lagi duduk di kelas B persis di bangku tempat lu biasa duduk. Karna memang ga ada yang nempatin. Mungkin mereka takut. Tapi gue jelas-jelas liat sosok lu Ri, sama seperti sekarang ini gue liat lu. Seperti nyata. Yang membedakan cuma gaya kemausiawian lu nya aja yang ga ada. Jadi gue sadar kalo lu cuma arwah yang lagi bingung". Jelas Arya sambil mengingat-ingat pertama kali bisa melihatku.

"Gaya kemanusiawian itu gaya yang gimana maksud lu?". Tanyaku penasaran. Masa iya hantu juga punya gaya. Hihihihi.

"Ya itu, pundak dan dada lu gak keliatan naik turun seperti manusia bernafas. Artinya lu emang gak nafas, Mata lu kuyu dan keliatan pucat. Ya pokonya hal-hal semacam itu deh. Tapi setiap hari gue selalu liat elu masuk kelas B, duduk di bangku lu, keluar kelas menuju kolam ikan di kebun belakang, kemudian keluar gerbang sekolah dan menghilang. Setiap hari gue liat lu ngelakuin hal yang sama. Tadinya gue takut sih, tapiii... gue jadi penasaran, kira-kira lu itu bisa diajak komunikasi apa ngga, makanya barusan gue coba ngajak lu ngomong. Ternyata lu nyautin".

Aku tetap tidak mengingat sama sekali bagaimana bisa aku tergantung di langit-langit kamarku sendiri seperti bunuh diri. Bahkan betul-betul terlihat seperti bunuh diri. Tapi aku yakin seratus persen, aku ngga mungkin bunuh diri.

Aku masih terdiam, terus berfikir, mengingat-ingat kejadian malam aku tergantung. Tiba-tiba saja aku sudah berdiri lagi di tepi kolam bersama Arya.

"Mungkin itu sebabnya lu ga bisa ke akhirat Ri. Manusia harus mengingat bagaimana cara Ia mati supaya bisa pergi dengan tenang. Mungkin aja kan?". Kata Arya dengan wajah yakin sambil menatapku dalam-dalam.

"Yaa... mungkin aja sih Ya. Tapi kalo gue gak inget gimana caranya biar gue inget Ya?". Tanyaku sambil terduduk di tepi kolam ikan.

"Tenang Ri, gue bantu lu inget-inget deh. Terakhir, waktu malam kematian lu, kira-kira lu bisa perkirakan gak, lu biasanya lagi apa. Soalnya kalo gak salah, polisi bilang waktu kematian lu malam hari kira-kira jam 01:00 dini hari Ri. Naah biasanya kalo jam segitu lu lagi apa Ri?".

"Aduuuh Aryaaa, sumpah lu bego banget ya. Jam 1 pagi Arya. Dan lu tanya gue lagi apa? Ya lagi tidur lah pastinyaaa". Jawabku sambil mendorong sedikit bahunya yang tepat berada di sampingku.

"Yah Ri, banyak lagi orang yang jam segitu masih melek aja, siapa tau lu lagi online gitu. Update status atau apa gitu". Kata Arya kemudian.

Aku berfikir sejenak, kemudian menjawab pertanyaan Arya, masih dengan perasaan bingung. "Iya juga sih Ya, bisa jadi. Apalagi keliatannya laptop gue masih di meja belajar dalam keadaan terbuka waktu gue liat diri gue ngegantung tadi. Kira-kira, apa aja yah yang ada dalam laptop gue?".

Sudah sore, Arya sudah harus pulang. Hari ini aku kebingungan. Karna ini hari pertamaku mengetahui bahwa aku ini hantu. Arwah yang tidak bisa pergi ke akhirat karna suatu hal yang belum aku ketahui.

Aku jadi bingung ke mana aku harus pergi dan apa yang harus aku lakukan.

"Ri, gue pulang dulu. Tapi gue janji bakal terus bantuin lu untuk mengingat-ingat kejadian bagaimana lu bisa mati. Supaya lu bisa ke akhirat dengan tenang".

Arya pamit pulang. Meninggalkan aku sendiri di tepi kolam. Aku yang masih tidak tau akan berbuat apa.

Kemudian aku berfikir untuk pulang saja ke rumah. Entah bagaimana caranya dan bagaimana terjadinya. Tiba-tiba saja aku sudah berada di depan pintu rumahku.

"Oooo jadi begitu, aku cukup memikirkan saja ingin ke mana atau di mana, maka setelah memejamkan mata, aku langsung berada di tempat yang aku pikirkan. hihihihi seru juga". Pikirku dalam hati.

Aku ini bodoh atau entah apa. Bukannya sedih menangisi kematian sendiri, malah kegirangan bisa berpindah tempat hanya dengan memikirkannya saja.

"Coba aja kalo hal semcam ini bisa aku lakukan ketika hidup. Pasti seru sekali". hihihih".

Kemudian sekali lagi aku memejamkan mata dan berfikir ingin masuk ke dalam kamarku. Maka ketika mataku terbuka, aku sudah ada dalam kamarku yang kutuju. Aku melihat ke sekeliling. Kemudian menghampiri laptopku.

"Apa aku bisa menyentuh benda ya?". Kucoba duduk di kursi meja belajarku.

"Bisa, aku bisa menyentuh kursi dan duduk di sini". Kemduain aku membuka laptopku. Aku klik tombol recent tab. Mencari tau apa yang aku lakukan di hari kematianku.

Chat, aku membuka aplikasi chat. Kubuka lagi lebih jauh. Dengan siapa aku terakhir berbincang melalui chat.

"Arimbi. Jadi aku sedang ngobrol dengan Arimbi. Apa yang kami perbincangkan". Ku buka semua isi percakapanku dengan Arimbi sahabatku.

BusAr : Lagi ngapain luh? Udah jam segini masih keliatan online

Ri25 : Iya nih masih blom bisa tidur. Kapan nih kita hang out lagi?

BusAr : Gampang lah nanti kita omongin serius mau liburan ke mana. Oh ya, waktu di sekolah, lu bilang ada yang mau lu ceritain tentang Fatma. Apaan Ri?

Ri25 : Kayanya gak enak ngomong di chat. Besok aja di sekolah gue ceritain semuanya. Tapi janji ya Ar, jangan ceritain lagi ke Fatmanya. Gue gak enak. Gimanapun kan dia sahabat kita juga.

BusAr : Duuh, lu bener-bener bikin gue penasaran deh. Cerita aja deh sekarang. Apa ada hubungannya sama kejadian di sekolah tadi? Maaf ya Ri, gue malah gak ada saat lu dibikin malu satu sekolahan siang tadi. Harusnya gue di deket lo dan belain lo tadi. Gue gak ada, Fatma gak masuk. Lo sendirian deh.

Ri25 : Yang mau gue ceritain gak ada hubungannya koq sama kejadian tadi. Lagipula semua orang juga tau itu gak bener. Sebetulnya gue gak niat sih nyeritain semuanya ke lo. Takut lu kecewa, sakit hati, dan persahabatan kita bertiga berantakan.

BusAr : Tuh kan bener, ada sangkut pautnya sama gue. Buru deh cerita aja di sini. Penasaran nih.

Ri25 : Eh Ar, udah dulu ya gue kaya denger suara orang di luar jendela. Takut ah, mau tidur aja. Mending kalo orang, kalo bukan. Hiiiy....

Tapi gue janji deh, besok pasti gue ceritain. Bye Ar.

BusAr : Ah sial luh bikin gue mati penasaran ini mah.

Demikian percakapan yang terdapat dalam chat di laptopku. Apa yang sebenarnya terjadi. Tapi satu hal yang sudah pasti adalah aku tidak bunuh diri. Aku pasti di bunuh, di buat seolah bunuh diri.

Karna tidak mungkin orang yang akan melakukan bunuh diri berhutang cerita kepada orang lain. Biasanya, orang yang mau bunuh diri itu kan nulis wasiat atau peninggalan apa gitu sebagai pertanda terakhir. Tapi ini malah punya rencana bercerita di sekolah. Itu gak mungkin.

Dan.... ada kejadian apa di sekolah hari itu? Kejadian memalukan apa yang membuatku malu. Apa aku harus temuin Arimbi ya, menanyakan apa yang terjadi denganku sehari sebelum kematianku.

Tapi bagaimana caranya? Apa iya aku menampakkan diri di hadapannya. Caranya gimana? Kalaupun berhasil, apa Arimbi ngga akan lari ketakutan lihat arwahku. "Adduuuh, gimana yah. Bingung. OH IYA ! ARYA".

Tanpa pikir panjang lagi, kupejamkan mataku kemudian berfikir aku harus berada di tempat Arya berada. Dan betul saja tiba-tiba aku sudah berada dalam kamar Arya.

"Ciyeee sang juara rajin bener belajar terus". Kataku sambil melongok ke atas meja penuh buku, majalah, dan koran dihadapannya, sepertinya Arya sedang mencari-cari sesuatu di koran yang sedang dia baca.

"Ya ampun Riii, lu bisa gak sih gak nongol tiba-tiba gitu? Kaget tau. Mentang-mentang udah bisa mengendalikan diri. Ngomong-ngomong gimana caranya sampe ke sini? Naik ojek? Kan gatau alamat gue luh?". Tanya Arya sambil meledekku karna kesal dikagetkan.

"Sial luh. Gak usah ngeledek deh. Gue kan hantu. Gak perlu ngojek buat bisa sampe ke sini. Sampe ke puncak menara eiffel aja gue bisa. Bahkan cuma dalam hitungan detik". Kataku membanggakan diri yang sudah ahli mengendalikan diri.

"Hmmm, hantu koq sombong. Gimana caranya tuh bisa begitu?". Tanya Arya penasaran.

"Mmmh, gue cuma pejamin mata, kemudian memikirkan tempat yang pingin gue tuju atau orang yang pingin gue temuin. Jadi deh dalam hitungan detik gue muncul di tempat itu. Asyik kan".

"Ya Ampun Ri, please ya. Jangan lagi lu lakuin hal itu untuk sampe ke tempat gue. Please". Arya memohon sambil mengatupkan kedua telapak tangannya ke hadapanku.

"Lho, terus gimana dong kalo gue butuh bantuan lu? Kan cuma itu cara yang gue bisa". Kataku kemudian.

"Ok Ri, karna sekarang lu udah tau rumah dan kamar gue, tolong mulai sekarang kalo butuh gue, lu pikirin aja dulu rumah gue. Supaya lu sampe di depan pintu aja dulu. Kalo yang lu pikirin keberadaan gue di saat yang gak tepat, bisa gawat Ri. Gimana coba kalo gue lagi di toilet? Atau kalo gue lagi tidur? Kalo tidur gue telanjang lho Ri".

"Ih apa sih lu. Malah mikir ke arah sana. Tapi iya juga sih. Ada benernya. Ya deh, mulai sekarang gue akan kasih tanda keberadaan gue kalo mau dateng".

"Oke, back to topic. Ngomong-ngomong nih Ya, tadi sebelum ke sini, gue coba-coba cek isi laptop gue". Belum selesai aku menjelaskan masalah laptop, Arya memotong kalimatku.

"Ooh iyaa, ternyata itu. Itu yang aneh, yang sejak tadi gue pikirin dan gue cari-cari di koran. Lu tau Ri, sejak pembicaraan kita mengenai kasus lu di awal, elu pernah bilang kalo lu liat laptop di meja belajar lu masih dalam keadaan terbuka saat lu liat jasad lu yang masih menggantung waktu pertama kali gue sadarin lu kalo lu udah mati. Inget itu kan?".

Ok, Arya makin mirip detektif. Dan sekarang dia mulai penyelidikannya diawali dengan membuatku penasaran.

"Iya gue inget kalimat itu, gue bilang waktu gue liat keluarga gue saling berpelukan di depan kamar dan menghadap jasad gue yang masih menggantung, gue emang bener-bener liat dengan jelas kalo laptop gue masih terbuka di atas meja. Trus hubungannya sama koran-koran ini apa?". Tanyaku dengan rasa penasaran yang teramat dalam.

"Lu tau Ri, di hari kejadian setelah polisi datang dan menyisir kamar lu mencari petunjuk. Sama sekali tidak ditemukan laptop. Lu tau apa artinya?". Tanya Arya dengan wajah nyengirnya yang mempesona. Aku mengernyitkan alis tanda tidak tau.

"Artinya, ada orang yang sebelum polisi datang, dengan sengaja mengambil laptop lu dari kamar lu. Jadi, kalo bener lo di bunuh. Petunjuknya ada di laptop itu". Arya seperti menemukan titik terang, tapi sayang, aku tidak dapat membawa serta laptopku ke tempat dimana aku ingin beranjak.

"Duh trus gimana caranya lu nyari petunjuk di laptop gue, sementara gue gak bisa bawa laptop itu ke sini. Gue tadi udah buka-bukapun cuma liat chat terakhir gue sama Arimbi yang ngegantung". Kataku menjelaskan pada Arya.

"Tunggu tunggu, lu tau dari mana kalo polisi gak nemuin laptop itu?". Tanyaku penasaran.

Kemudian Arya menyodorkan lembaran koran padaku.

"Baca deh. di sini jelas-jelas tertulis, kalo tidak ada peninggalan apapun yang sengaja ditinggalkan korban sebelum bunuh diri, hasil olah TKP menyatakan tidak ditemukan senjata, serta tidak ada sidik jari maupun tanda-tanda kekerasan yang terjadi pada fisik korban maupun pada keadaan di dalam kamar korban yang hanya terlihat tempat tidur yang masih rapi serta smartphone korban di atas tempat tidur".

Pikir baik-baik, kalo ada laptop di atas meja, kalimatnya pasti akan jadi begini "Yang hanya ada tempat tidur yang masih rapi, smartphone di atas tempat tidur, serta laptop yang masih terbuka di atas meja belajar korban" Masuk akal gak menurut lu?".

Arya betul-betul cerdas. Persis seperti seorang detektif. Aku sungguh berharap kasus kematianku akan cepat terungkap. Karna bagaimanapun hilangnya memoriku sebelum kematianku, aku tetap yakin bahwa aku tidak akan mungkin bunuh diri. Aku sangat yakin pada pendirianku.

"Jadi, ada orang yang sengaja ambil laptop itu untuk melakukan sesuatu, kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Tapi tidak ada yang menyadari itu. Duh, apa ya Ya. Gue harus cari tau lagi. Tapi apa lagi yang harus gue buka di laptop itu. Semua udah gue cek, cuma chat sama Arimbi aja yang ngeganjel dipikiran gue. Gue harus kasih tau sesuatu tentang Fatma ke Arimbi. Tapi apa ya?".

Aku semakin penasaran. Tapi aku tidak menemukan apapun di dalam laptop itu. Semua file sudah kucoba cari dan buka. Aku ceritakan percakapanku dengan Arimbi saat chat malam itu. Maka Aryapun semakin yakin bahwa aku di bunuh.

"Oh iya Ri, jadi lu ke sini ada apa? Pasti ada perlu kan?". Tanya Arya padaku yang masih kelihatan bingung.

"Oh iya Ya, gue emang ada perlu. Selain masalah laptop, gue pingin lu ketemu Arimbi dan tanya-tanya soal gue dan Fatma. Karna waktu gue chat sama Arimbi, gue janji mau menceritakan sesuatu tentang Fatma ke Arimbi. Lu coba ngobrol sama Arimbi, cari tau sejauh mana persahabatan gue bertiga semasa gue hidup. Gue, Arimbi, dan Fatma. Siapa tau ada petunjuk dari cerita Arimbi. Oh iya Ya. Di chat itu Arimbi sempet bilang kalo ada kejadian memalukan yang gue alamin di sekolah sehari sebelum kematian gue. Lu juga harus cari tau itu Ya".

"Ooh kejadian memalukan itu. Gak perlu di cari tau. Seisi sekolah juga tau kejadian itu. Bener-bener bikin malu". Arya nyengir sambil menatapku membuatku semakin penasaran.

"Haaah? Seisi sekolah? Apaan Ya? Apa mungkin itu yang bikin gue bunuh diri?".

"Lho, jadi lu masih belum yakin kalo lu di bunuh? Sebetulnya masuk akal sih kalo gara-gara kejadian itu lo milih bunuh diri ketimbang hidup nahan malu. Nih ya gue ceritain".

"Hari itu hari sabtu, semua siswa datang ke sekolah untuk wajib ekskul pilihannya masing-masing. Karna emang sekolah kita mewajibkan setiap siswanya ikut kegiatan ekstrakulikuler kan. Jadi hari sabtu tetap ramai seperti hari biasa. Waktu jam istirahat, gue keluar kelas. Di mading, banyak orang berkumpul. Rame sekali. Ada yang merasa jijik, ada juga yang ketawa cengengesan. Setelah gue ikutan mendekat ke mading, gue liat di mading ada foto besar seukurun 10R, cukup besar dan jelas untuk liat wajah lu yang waktu itu belum terkenal. Kalo fotonya foto biasa, mungkin ga jadi soal. Masalahnya, yang di pajang, foto lu dalam keadaan bugil bersama seorang laki-laki yang wajahnya gak di kasih liat di foto itu".

Aku terkejut mendengar cerita Arya. Rasanya mustahil, aku tidak percaya diriku ternyata perempuan murahan semacam itu. Ingin teriak rasanya.

"APAAA?....... Gak mungkin Ya. Masa sih gue begitu sama laki-laki yang bukan siapa-siapa. Gak mungkin Ya, itu pasti gak bener".

"Iya gue tau itu gak bener". Jawab Arya dengan wajah teduhnya yang menggetarkan hati setiap perempuan yang melihatnya.

"Lu tau dari mana kalo itu gak bener?". Tanyaku penasaran. Bagaimana Arya yakin bahwa aku perempuan baik-baik jika aku punya foto-foto semacam itu. Tapi wajahnya memperlihatkan ekspresi serius dan jujur bahwa dia percaya padaku.

"Yah, lu liat aja sana sendiri tu foto. Kalo belum dibuang, seharusnya foto itu masih ada di laci meja Pak Robert. Karna Pak Robert yang katanya ganteng itu, wali kelas lu. Dan waktu lagi rame-ramenya semua orang mandangin mading yang ada foto elu itu, Pak Robert tiba-tiba dateng dan mencabut foto itu. Kalo aja lu inget apa yang lu obrolin di Ruang guru sama Pak Robert, mungkin itu bisa juga jadi petunjuk. Karna semua orang yakin betul kalo lu bunuh diri gara-gara foto itu".

Jadi begitu ceritanya. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera memejamkan mataku dan memikirkan laci meja Pak Robert yang dikatakan Arya. Aku harus lihat sendiri foto itu.

"Jadi Ri....". Arya mencariku melihat ke sekeliling kamarnya. "Ri, lu ke mana? Nongol tiba-tiba, pergi gak bilang-bilang. Dasar. Bener-bener ye kelakuan setan jaman sekarang. Kaga pake permisi".

"Apaan sih lu". Jawabku sambil berdiri tepat di belakangnya.

"MasyaAllaaah Ri, nongol lagi tiba-tiba. Apaan deh lu. Dari mana lu barusan?". Tanya Arya kepadaku yang sedang berjalan perlahan menuju tempat tidurnya. Aku terduduk.

"Tadi gue liat sendiri foto itu. BHAKAKAKAKAKKAKAK". Aku tertawa keras sekali. Untung saja aku ini hantu. Jadi suaraku tidak ke mana-mana.

"Ya ampun Ya, foto kaya gitu gak mungkin bikin gue bunuh diri Ya. Itu foto jelas sekali editannya. Terang banget kalo itu foto palsu. Gue rasa nih ya. Anak SD yang belom bisa baca aja pasti bisa bedain itu foto asli apa editan. Itu foto lucu banget Ya. Gak mungkin gue bunuh diri gara-gara foto yang editannya kacangan macem begitu".

"Hmmm... jadi lu makin yakin nih kalo lu ga bunuh diri? Masalahnya, waktu lu dateng ke sekolah dan menghampiri mading yang ada foto lu itu, raut muka lu keliatan ancur banget Ri. Lu bener-bener merasa malu. Semua orang liat itu. Makanya gak heran kalo mereka jadi yakin bahwa lu bunuh diri gara-gara foto itu".

"Ya, apa polisi gak cari tau siapa yang buat foto itu? Kalo memang ini kasus bunuh diri, bukannya seharusnya mereka mencari penyebabnya Ya? Kalo mereka yakin gue bunuh diri gara-gara foto itu, harusnya mereka cari pelaku pembuatnya kan Ya?". Tanyaku penasaran.

"Polisi sudah menyatakan dengan jelas dan pasti bahwa ini kasus bunuh diri. Nyokap lu gak yakin kalo lu bunuh diri. Tapi karna fakta-fakta yang dibeberkan polisi di TKP, serta penyebab lu bunuh diri yang adalah karna foto bugil, nyokap lu minta kasus ini dihentikan aja. Nyokap lu gak mau kalo jiwa lu terusik oleh orang-orang yang sibuk mencari-cari siapa yang bersalah, sementara kematian lu karna pilihan lu sendiri. Jadi yang tadinya nyokap lu yakin lu gak bunuh diri, beliau jadi percaya karna diperlihatkan fakta-fakta yang ada Ri. Yah walaupun sejauh penyelidikan kita semua fakta yang di beberkan itu gak bener, tapi menurut orang awam seperti nyokap lu, itu keliatan masuk akal Ri. Makanya beliau minta untuk tidak diteruskan kasus ini. Jangan salahin nyokap Ri, beliau cuma pingin lu gak terusik dengan yang masih ada di dunia. Makanya beliau memutuskan demikian. Lu harus paham maksud nyokap lu Ri".

Aku terdiam mendengarkan penjelasan Arya. Yang membuatku sedih adalah kenapa Ibu bisa jadi percaya kalo anaknya ini bunuh diri. Ibu yang selalu menanamkan ilmu agama yang baik dan benar, Ibu yang selalu meyakinkanku bahwa kehidupan yang Allah beri harus di syukuri, kenapa bisa percaya kalo aku bunuh diri. Hanya itu yang aku sesali.

Semuanya jadi rumit. Seandainya saja ada campur tangan polisi yang terus mencari fakta dan kebenarannya. Pasti akan terbantu sekali. Seandainya saja aku tidak perlu tau dan tidak perlu dipusingkan oleh hal-hal duniawi ini untuk dapat ke akhirat, mungkin gak akan serumit ini.

Tapi ngga. Aku ngga rela semuanya jadi begini. Aku gak bisa ikhlas membiarkan pembunuhku masih berkeliaran di luar sana. Gak akan. Aku harus terus mencari tau.

"Ya udah Ri, brati tugas gue dua. Pertama ketemu Arimbi, kedua ke rumah lu. Masalahnya, gimana caranya gue ke rumah lu dan bisa buka-buka laptop lu. Apa iya nyokap lu ngijinin? Ga mungkin nyokap lu ngebolehin gue ngacak-ngacak barang peninggalan lu kan Ri".

Aku dan Arya terdiam. Sama-sama berfikir keras. Betul kata Arya. Ibu gak mungkin ngijinin siapapun ngacak-ngacak barang-barangku. Jadi apa yang harus kami lakukan?

Terlalu beresiko kalo kita curi laptop itu meski hanya sementara. Adakah cara agar hantu dapat membawa barang peninggalannya?

"Udah lah Ya, itu kita pikirin nanti. Sekarang yang gampang aja dulu. Ngobrol sama Arimbi". Kataku kemudian.

Aku pikir dari pada membuang waktu percuma memikirkan cara agar Arya dapat masuk ke kamarku dan mengambil laptop, lebih baik Arya mencari petunjuk lain dulu.

Besoknya di sekolah.

"Duh, Riana mana ya. Kira-kira dia bisa muncul gak ya. Gue kan gak tau yang mana Arimbi. Gimana nyarinya nih. Oh iya, kolam ikan". Arya bergegas ke kebun belakang sekolah menghampiri kolam ikan tempat favorit Riana. Tapi tidak terlihat sosok Riana di situ. Arya berdiri di tepi kolam. Berfikir terus mencari Riana dengan cara apa.

"Gimana sih cara manggil hantu. Adduuuh ribet deh. Apa gue ke kelas B aja ya sekarang, trus tanya yang namanya Arimbi yang mana. Tapii... kalo caranya begitu. Nanti cewe-cewe pada heboh dikira gue ada apa sama Arimbi".

Riana tidak muncul juga di kolam ikan itu. Akhirnya Arya kembali ke kelas. Namun dalam perjalanan menuju kelas, Arya melewati ruang perpustakaan, berhenti sejenak di depannya.

Berfikir apakah harus masuk atau tidak. Kemudian Arya memutuskan masuk. Mencoba mencari-cari buku yang berhubungan dengan mistis atau arwah. Demi bisa memanggil Riana.

Sebetulnya Arya merasa jika Riana sudah pergi dan tidak muncul lagi, kemungkinan dia sudah ikhlas dan tenang. Tapi mengingat kasus kematian Riana yang tidak biasa, Arya malah semakin penasaran. Melebihi arwah penasaran Riana sendiri.

Arya masuk ke perpustakaan, mencari-cari di setiap rak buku. "Naah ini dia nih". Kemudian mengambil satu buku berjudul "Berkomunikasi dengan dunia lain". Setelah itu membawanya ke meja tengah perpustakaan.

"Ngapain lu baca buku gituan? Serem amat sih seleranya". Tiba-tiba saja Arya dikejutkan dengan kemunculan sosok Riana. Baru beberapa halaman terdepan yang Arya buka. Riana sudah muncul.

"Apaan deh. ini kan gara-gara elu. Gue dari pagi nyariin elu tau. Sampe ke kolam ikan kebun belakang. Tapi lu gak juga nongol. Kasus kita kan belum selesai Ri. Dan lu juga belum kasih tau gue yang namanya Arimbi yang mana. Kalo gue tanya anak kelas lu. Nanti jadi heboh lagi. Lu ke mana aja sih?". Tanya Arya penasaran dengan sosok Riana yang sulit dicari namun sering muncul mendadak dan tiba-tiba.

"Haduuh gimana ya Ya. Gue juga gatau gue ada di mana. Berasa hampa aja gitu. Pokonya tadi tau-tau aja gue mikirin elu Ya. Tapi seperti yang lu bilang. Takut lu lagi ada di tempat yang tidak tepat. Makanya gue ga berani beranjak. Cuma mikir doang. Trus gue pikirin aja kelas lu. Tapi di kelas lu ga keliatan, gue juga barusan ke kolam ikan, Nyerah gak nemuin lu, ya udah gue pejamin mata aja dan mikirin keberadaan lu. Gataunya nongol-nongol di sini. Untung aja gak di toilet ya Ya. Hahahah".

"Huss, jangan ketawa keras-keras, ini perpustakaan". Arya yang kelihatan bicara sendiri jadi perhatian orang-orang di sekitar. "Dih, gue kan hantu. Mana ada yang denger gue cekakakan. Lu dikira stress lho Ya. Ngomong sendiri. Hihihihi".

"Iya, gara-gara lu nih. Udah ah jangan  ngomong terus. Gue di sangka gila nih". Aku dan Arya berjalan menyusuri lorong sekolah. Menengok kanan kiri mencari Arimbi.

"Tuh dia tu Ya, Arimbi". Aku menunjuk ke arah bangku kantin ke tempat Arimbi sedang menyantap makan siangnya.

"Mumpung dia lagi sendirian. Buruan deh lu samperin. Tapi koq dia kaya lagi sedih ya? Apa lagi ada masalah?". Aku merasa ada yang sedang terjadi pada Arimbi. Tapi tidak mau menerka-nerka. Biar Arya focus saja dulu mendekati Arimbi.

"Hai, Arimbi ya?". Tanya Arya sambil duduk tepat di sebelah Arimbi.

"Iya Arya, gue Arimbi. Ngomong-ngomong ada perlu apa ya? Koq bisa lu kenal gue? Kalo gue sih jelas banget kenal lu. Secara... lu kan tenar, atlet di sekolah kita. Kalo ada perlu buruan deh, soalnya gue mau balik kelas".

"Ini tentang Riana". Kata Arya kemudian. Wajah Arimbi spontan berubah. Tertegun sambil menatap dalam pada wajah Arya. Arimbi tau betul bagaimana Arya dihati Riana. Padahal Arya sendiri tidak pernah tau tentang perasaan Riana padanya sampai detik ini, sampai detik di mana Dia dan Riana sudah sedekat sekarang ini meski dalam wujud yang berbeda.

Dalam hati Riana berkata "Ya Allaaah please tolong jangan buat Arimbi kasih tau Arya gimana perasaan aku sama dia ya Allaah. Biar perasaanku yang tak terbalas ini menjadi rahasia semasa hidupku. Lagipula, jika Arya tau bahwa selama ini diam-diam aku menyukainya teramat sangat, hingga memiliki banyak sekali foto-fotonya, pasti Arya bakalan menjauh dan gak akan mau lagi bantu kasus ini terungkap. Ya Allah aku mohon rahasiakan".

"Riana? Riana yang mana ya?". Tanya Arimbi seolah Ia tidak pernah kenal dengan yang bernama Riana. "Gue punya sih temen deket banget namanya Riana. Tapi sayangnya dia udah ga ada. Dan gue yakin bukan Riana itu kan yang lu maksud?".

"Iya betul Ar, memang Almarhumah Riana yang mau gue tanyain ke lu. Mmmh.... jadi gini Ar, lu ada inget sesuatu gak tentang obrolan atau kegiatan terakhir Riana sebelum dia .... mmm... dia....".

"Bunuh diri maksud lo?". Tanya Arimbi memotong pembicaraan Arya yang terbata-bata.

"Iya Ar, Sebelum Riana ditemukan tewas maksud gue. Ada sesuatu gak yang mengganjal pikiran lu Ar? Tentang omongan dia atau kira-kira apa yang dia lakuin malam itu?".

"Apa sih maksud lu nanyain ini? Setau gue lu gak pernah kenal sama Almarhum, dia memang kenal banget siapa lu dan malah pingin banget kenal lu. Tapi yang gue tau belum pernah dia berhasil kenalan sama lu". Riana benar-benar tegang mendengarkan apa yang diucapkan Arimbi.

"Aduuuuh please Ar, jangan ngomong itu pleeease. Jangan pernah kasih tau Arya Ar. Kenapa Arimbi malah ngomong begitu sih".

Kemudian Arya melanjutkan bicaranya tanpa peduli dengan pertanyaan Arimbi. Mungkin Arya sadar betul kalo dirinya memang mempesona banyak gadis. Sehingga tidak heran jika bahkan Riana yang dia kenal setelah menjadi arwahpun kemungkinan tertarik padanya semasa hidup.

"Gue emang gak kenal baik dengan almarhum Ar, cuma gue kenal koq. Kenal aja. Dan merasa jadi pingin tau aja tentang dia". Apa yang dikatakan Arya membuat Arimbi semakin bingung.

"Untuk apa? Untuk apa lu tau dia sekarang? Gak ada gunanyakan? Udah terlambat Arya. Buat apa lu mau kenal deket Riana sekarang? Kenapa baru sekarang Arya?". Arimbi berkata sambil terisak, menangis mengingat sosok sahabatnya yang sudah tidak lagi ada di dunia.

Arimbi tau betul seberapa besar rasa suka Riana terhadap Arya. Bukan rasa suka biasa seperti gadis-gadis yang memuja Arya pada umumnya. Tapi Riana memang betul-betul menyukai Arya terlalu dalam.

Bahkan Riana pernah berkhayal menjadi pengantin Arya. Tapi apa daya. Takdir berkehendak lain. Jangankan menjadi pengantin Arya. Baru berniat kenalan, Riana sudah tidak lagi bernyawa.

"Maaf, maaf kalo obrolan ini bikin lo jadi sedih inget dia. Tapi please Ar, gue betul-betul pingin kenal Riana. Meski terlambat. Setidaknya Riana pasti tau dari atas sana, bahwa gue tertarik sama dia. Sayang, semuanya udah terlambat".

Riana terhentak kaget mendengar pernyataan Arya tentang hatinya. Namun Ia berfikir itu hanyalah akal-akalan Arya agar Arimbi mau berdiskusi tentangnya. Maka Ia segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Toh kalaupun benar Arya ada rasa dengannya, semua sudah terlambat.

"Apa sih yang bikin lo tertarik dengan cerita kematian dia sementara apapun yang terjadi Riana udah gak akan kembali? Jangan bikin gue berfikir ini gak ada gunanya Arya. Gue gak suka buang-buang waktu untuk nyeritain sahabat gue ke orang yang cuma mau ambil keuntungan".

Arimbi tiba-tiba marah sambil berdiri, Ia ingin segera beranjak dari kantin. Tapi kemudian Arya mencegahnya dengan kalimat yang membuat Arimbi bimbang.

"Bukan gitu Ar, terserah lu mau percaya atau nggak, tapi Riana ada bersama gue sampai saat ini. Dia ada Ar". Arimbi berfikir Arya hanya sedang mengganggunya.

"Lu udah gila ya? Sarap? Orang udah mati masih lu main-mainin aja". Kata Arimbi sambil beranjak pergi meninggalkan Arya yang masih terduduk kebingungan dengan apa yang selanjutnya harus Ia lakukan agar Arimbi mau diajak diskusi.

"Aduh Ya, kenapa juga lu ngomong begitu sih? Semua orang juga bakal pikir lu gila kalo lu ngomong begitu. Jaman begini mana ada yang percaya ada arwah nyasar kebingungan ga bisa ke akhirat. Ada-ada aja luh".

Akhirnya mereka terdiam. Duduk di bangku kantin sambil berfikir apa yang selanjutnya harus di lakukan.

"Ada Ri, lu harus inget-inget semasa lu hidup. Ada gak rahasia Arimbi yang cuma lu doang yang tau. Kalo gue ngomong itu ke dia, pasti dia bisa percaya kalo lu ada di deket gue".

"Ya ampun Ya, kalo gue bisa inget kejadian-kejadian semasa gue hidup termasuk rahasia Arimbi, ya udah pasti gue ga ada di sini Arya. Pasti gue inget gimana cara gue mati, trus gue bisa pergi ke akhirat tanpa harus cari tau penyebab kematian gue. Gak usah maksa deh Ya. Cari cara lain".

Riana benar. Ia tidak mungkin mengingat apa rahasia Arimbi yang Ia simpan semasa hidupnya. Maka sekali lagi, ini menjadi jalan buntu bagi kasus ini. Lagi-lagi mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa kasus ini mungkin benar bunuh diri.

Arimbi melamun terduduk di bangku kelasnya. Ia memikirkan apa yang dikatakan Arya. Sesungguhnya Arimbi tidak benar-benar percaya pada Arya. Hanya saja, kesedihan Arimbi yang begitu dalam kehilangan sahabatnya Riana membuat Ia jadi ingin tau lebih jauh.

Apa yang sebetulnya sedang dilakukan Arya. Jika benar Riana ada bersamanya. Apa yang dilakukan Riana. Kenapa Riana bisa menampakkan diri kepada Arya. Ataukah Arya yang memiliki kemampuan indra ke enam sehingga bisa melihat Riana yang sudah tiada.

Arimbi membuang pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin ada yang namanya hantu. Arimbi tidak pernah percaya dengan hal-hal gaib semacam itu. Sehingga dia benar-benar berfikir kalau Arya hanya ingin mencari keuntungan dari kisah Riana sahabatnya.

Siapa tau saja Arya sedang menulis buku, blog, artikel atau apapun. Dan dia ingin menggunakan kisah Riana untuk tulisannya.

"Gue gak sudi bantu orang yang akan cari keuntungan dari lo Ri. Gue akan jaga apapun yang gue tau tentang lu Ri. Apapun. Gak akan pernah gue ceritain ke siapapun". Arimbi terisak, menangis sedih sambil memandang fotonya bersama Riana semasa hidup. Riana ada di situ. Riana persis duduk di tempat tidur Arimbi yang sedang bersedih memandang foto mereka.

"Andai ajaa lu bisa liat gue Ar. Mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol lagi kaya dulu. Gue kangen masa-masa itu Ar. Gue juga gak nyangka sebegitunya lu sedih kehilangan gue. Apa yang bakal lo lakuin kalo lo tau gue dibunuh Ar?". Riana meneteskan air mata. Meski Ia hanya arwah. Tapi Ia masih punya perasaan yang tertinggal di dunia.

"ASTAGFIRULLAHALADZIIM......!! Siapa lu? Sejak kapan lu di sini? Ngapain lu di sini? Ri, itu elo Ri? Please Ri, kalo gue ada salah, gue minta maaf. Tapi tolong jangan ganggu gue Ri. Harusnya lo udah tenang di sana Ri".

Arimbi kaget melihat sosok sahabatnya itu sedang duduk di ujung tempat tidurnya. Riana masih tidak menyadari bahwa sahabatnya itu pada akhirnya dapat melihatnya sampai Arimbi menyebut namanya.

"Maksud lo gue Ar? Serius lo ngomong sama gue? Lu bisa liat gue Ar? Astagaaaa Arimbiiii akhirnya kita bisa komunikasi".

Riana girang bukan main. Bersorak hingga melompat dari tempat tidur ke arah Arimbi. Namun Arimbi masih ketakutan dan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Arimbi mengucek-ucek kedua matanya, siapa tau ini hanya halusinasi.

"Nggak Ar, gue gak dateng ke sini untuk ganggu lo. Gue ke sini karna memang ada perlu sama lo Ar. Cuma gue gak tau gimana caranya supaya lu bisa liat gue. Please Ar. Jangan takut".

Semakin Riana mendekat kepadanya maka Arimbi mundur semakin jauh. Ia masih merinding, merasa apa yang Ia lihat seharusnya tidak terjadi. Tapi dia mencoba memberanikan diri.

"Ri, jadi iini bener-bener lo Ri? Ya ampun Riii". Maka akhirnya mereka bersuka cita, gembira karna bisa dipertemukan kembali meski dengan wujud yang berbeda pada diri Riana.

"Lu tau lah Ar, gimana sayangnya gue sama Arya semasa gue hidup. Makanya, waktu tadi di sekolah Arya nanya tentang gue. Rasanya gue tegang banget takut-takut lo ngomong gimana perasaan gue ke dia. Kalo sampe dia sadar betul apa yang lu omongin Ar, yang ada dia ga bakalan mau nolongin gue lagi untuk ngusut tuntas kasus gue".

"Kasus lo Ri? Maksudnya? Kasus lo gantung diri itu?". Tanya Arimbi penasaran dengan mata terbelalak ke wajah Riana.

"Iya Ar. Kasus itu. Dan asal lo tau aja Ar. Gue gak bunuh diri. Gue di bunuh Ar". Jelas Riana kemudian.

"APA? DIBUNUH?". Kemudian, Riana menceritakan semuanya kepada Arimbi. Sejak awal Ia bisa terlihat oleh Arya, hingga detik dimana tadi Arya harus bertanya pada Arimbi. Semua Ia ceritakan. Bagaimana Dia dan Arya curiga dengan kematian yang terlihat bunuh diri itu.

"Ooo jadi begitu. Awalnya itu cuma perasaan lu aja Ri. Tapi kemudian, lu dan Arya sedikit-sedikit menemukan fakta yang mengantarkan kalian ke kenyataan bahwa bunuh diri lo itu buatan orang yang sengaja ngebunuh lo Ri? Ya ampun Ri, sumpah ini ga bisa di diemin Ri. Kita harus cari pelakunya. Gimanapun caranya. OK, mulai detik ini, gue akan bantu lo Ri. Gue akan ceritain semua tentang kita semasa lo hidup ke Arya yang mungkin sampe sekarang ini masih gak lu inget. Kapan gue bisa ketemu Arya Ri?".

"Sekarang juga Ar, harus sekarang. Jangan di tunda-tunda. Supaya semuanya terungkap lebih cepat". Riana semakin semangat mencari kebenaran bunuh dirinya. Terlebih lagi sekarang ada dua sosok manusia yang mau dengan ikhlas membantunya.

Dua manusia kesayangannya. Yang Ia yakin, mereka tidak akan mengecewakannya. Maka detik itu juga. Arimbi segera bergegas pergi ke rumah Arya. Ia segera keluar kamar, berlari menuruni anak tangga hingga keluar halaman rumahnya kemudian membuka gerbang besar rumahnya, menengok kanan kiri kalau-kalau ada taksi lewat.

Namun sayang, komplek perumahan Arimbi memang jarang orang berlalu lalang, sehingga terpaksa Arimbi harus menggunakan mobilnya sendiri. Maka Ia bergegas lagi masuk ke dalam rumah, menghampiri laci mejanya, segera mengambil kunci mobilnya.

"Ri, arahin gue ke rumah Arya ya. Gue kan gak tau alamatnya". Kata Arimbi sambil melaju mengendarai Honda Jazz merah kesayangannya.

"Maaf pak malam-malam ganggu. Bisa ketemu dengan Arya?". Tanya Arimbi pada satpam penjaga rumah Arya. "Ada perlu apa ya mba? Mba ini siapanya?" . Tanya kembali pak satpam.

"Saya Arimbi pak, teman sekolahnya Arya. Ada perlu penting sekali. Tolong dipanggilkan bisa pak?". Kemudian pak Satpam bergegas menuju pintu utama dan memanggil Mbo Minah ART di rumah Arya.

"Mbo, tolong sampaikan ada tamunya den Arya menunggu di luar. Namanya Arimbi". Jelas Pak Satpam kepada Mbo Minah.

Mbo Minahpun segera bergegas ke lantai atas menuju kamar Arya. "Tok...Tok...". "Deen, ada tamunya menunggu di luar". Kata Mbo Minah sambil mengetuk perlahan pintu kamar Arya.

"Tamu saya Mbo? Siapa?". Tanya Arya sambil membuka pintu perlahan-lahan.

"Anu den, katanya sih teman sekolah Aden. Namanya Arimbi apa siapa gitu Den. Si Mbo lupa tadi Pa Satpam kasih tau nya siapa ya".

"HAH? Arimbi?". Arya terkejut mendengar Mbo Minah menyebut nama itu. Masalahnya, darimana Arimbi tau rumahnya. Dan lagipula, bukannya dia bersikeras menolak membantunya menceritakan kehidupan Riana sahabatnya semasa Dia hidup. Kenapa tiba-tiba sekarang dia datang ke rumah.

"Ya udah Mbo, bilangin pa Satpam suruh Arimbi masuk. Nanti saya segera turun". Kemudian Arya masuk kembali ke kamarnya.

"Rii...Riana...Riiii, lu ada di sini gak? Rii...". Arya memanggil Riana dengan suara setengah berbisik. Namun Riana tak juga muncul. Takut Arimbi menunggu terlalu lama maka Arya segera turun menemuinya.

Arya kembali terkejut begitu di ruang tamu Ia melihat Arimbi duduk bersebelahan dengan Riana. Arya memandang Riana dengan tatapan yang seolah memberinya kode untuk Riana pergi ke kamarnya agar Ia bisa bicara sejenak dengan Riana. Sekedar bertanya bagaimana bisa Ia bersama Arimbi. Namun, Arimbi langsung menyadari hal itu.

"Ya ampun Ya, gak usah kode-kode'an segala. Gue juga bisa ngobrol sama Riana. Udah deh kita ngobrol bertiga di sini aja". Lanjut Arimbi kemudian.

"Apa? Apa maksud lo Ar. Gue gak ngerti". Arya berpura-pura tanya seolah Ia tidak pernah berkomunikasi dengan Riana. Arya tidak ingin lagi membuat keadaan seolah-olah Dia gila di hadapan Arimbi.

"Iya Ya, Arimbi udah bisa liat gue sekarang. Makanya dia dateng kemari. Supaya kita bisa ngobrol bertiga. Ya kan Ar?". Kata Riana saling menatap dengan Arimbi.

"Iya Ya. Gue minta maaf waktu itu pergi gitu aja dan gak percaya sama omongan lo. Tapi yaah kalo dipikir secara logis. Mana ada orang mau percaya sama cerita-cerita hantu macam ini jaman sekarang. Tapi gue gak nyangka kalo gue bisa ngobrol lagi sama Riana ". Jelas Arimbi sambil tertawa senang memperhatikan Riana.

"Dan gue siap ngebantu apa aja dan nyeritain apapun yang gue tau tentang Riana. Karna Riana udah ceritain semuanya ke gue. Dan gue juga bertekad untuk nemuin siapa pelakunya. Kita harus berhasil mengusut tuntas kasus Riana".

Riana senang. Akhirnya Arimbi sahabat terbaiknya dapat membantu tanpa ragu dan sungkan lagi dengan Arya.

"Jadi apa nih selanjutnya yang harus kita lakuin?". Tanya Arimbi antusias.

"Ok, karna sekarang Arimbi udah terlibat dan kebetulan banget Arimbi deket sama lu dan keluarga lu Ri, jadi sekarang tugas Arimbi yang ambil laptop itu dari kamar lu".

Betul juga, Arimbi bisa datang ke rumah dan bertemu Ibu untuk minta izin ke kamarku sekedar mengenangku. Ibu pasti ngijinin Arimbi.

"Ok, sementara Arimbi bertugas liat laptop lu, gue akan diem-diem ambil foto lu di meja Pak Robert untuk cari tau siapa pengedit dan pencetak foto itu. Siapa tau itu berhubungan dengan kasus ini. Gue merasa foto itu di buat untuk menggiring pikiran orang-orang bahwa lu memang bunuh diri. Jadi gue yakin betul kalo foto itu pasti berhubungan dengan kasus ini".

"Dan lo Ri, lu coba perhatikan sekeliling rumah dan sekolah. Siapa tau ada orang-orang mencurigakan yang bertindak demi menghapus jejak. Karna gue pikir, kalo bener foto itu berhubungan dengan kasus ini, artinya orang yang kenal lu dan ada di sekeliling lu yang ngelakuin semuanya".

Arya bak detektif terkenal dengan analisisnya yang tepat sasaran dan tugas-tugas yang Ia berikan. Maka malam itu kami semakin yakin akan menemukan titik terang di mana akan segera terungkap apa yang terjadi dengan kematianku.

"Malam ini cukup sampai di sini dulu. Sudah malam sebaiknya kita lanjut besok. Ar, perlu gue anter pulang? Udah malem lho". Tanya Arya kemudian.

"Gak usah Ya, kan ada Riana. Santai aja. Riana kan udah ga bakal dicariin nyokapnya".

"HAHAHAHAHA....". Kami tertawa bersama.

Hari ini berakhir dengan baik. Semoga besok kami dapat menemukan petunjuk yang lebih spesifik lagi untuk mengungkap kasus ini.

BAB 2

"Assalamualaikuuum.....". Teriak Arimbi dari luar pintu rumah Riana. Tidak berapa lama, Ibu Riana membukakan pintu.

"Waalaikumsalam, lho, Arimbi? Ada perlu apa nak?". Tanya Ibu Riana kemudian.

"Alhamdulilah Ibu sehat kan? Gak ada apa-apa koq Bu, Aku cuma mau nengokin Ibu aja. Pingin tau keadaan Ibu sehat atau ngga".

"Ya ampun naak, senangnya kamu masih perhatian sama Ibu meski Riana sudah tidak ada". Kata Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Ayo nak, mari masuk yuk".

Arimbi masuk dan duduk perlahan di sofa ruang tamu. Sambil memandang sekeliling rumah Riana. Sebetulnya Arimbi merasa bingung dengan alasan apa yang harus Ia gunakan agar Ia dapat masuk dan mengambil laptop Riana. Arimbi terus bercerita, mengobrol dengan Ibu Riana sambil terus berfikir.

Mengarahkan kalimat-kalimat yang mungkin bisa menggiring dirinya dipersilahkan masuk ke kamar Riana. Namun Ia masih sungkan.

"Mmhh... Bu, boleh kalo saya ke kamar Riana? Sayaa.... rasanyaa... rindu sekali pada Riana. Ingin berada di kamar itu sekali lagi. Mengenang masa di mana kami bercanda, tertawa bersama, bercerita kisah-kisah yang konyol dan seru. Boleh Bu?". Akhirnya Arimbi memberanikan diri meminta izin secara langsung.

"Tentu saja boleh nak, silahkan. Kamu bebas menggunakan kamar Riana sesukamu. Riana pasti senang sekali masih ada teman baiknya yang merindukannya dan yang perhatian terhadap Ibu. Rasanya sampai detik ini Ibu masih tidak percaya Riana tiada dengan cara seperti itu. Ya udah Arimbi, silahkan naik aja ke kamar Riana. Kamu jangan kaget ya kalo liat roti lapis kesukaan Riana di atas meja. Ibu memang sengaja setiap pagi mengantarkan itu ke kamar Riana. Entah apa yang membuat Ibu berbuat demikian. Mungkin karna belum terbiasa aja kehilangan Riana dan tidak mengantarkan sarapan kesukaannya lagi ke kamarnya. Jadii... Ibu masih belum bisa berhenti. Meski berulang kali Bapak minta Ibu menghentikan perbuatan itu. Tapi rasanya sulit Nak".

Ooo jadi itu sebabnya saat aku belum menyadari kematianku sendiri, Ibu mengantarkankan sarapanku hanya tersenyum melihat ke arah tempat tidurku dimana saat itu aku duduk.

Bukan karna Ia melihatku. Tapi karna Ia terkenang dengan aku yang biasanya masih awut-awutan bangun tidur saat Ibu mengantar sarapan. Ya ampun Bu, semoga Ibu segera ikhlas dengan kepergianku dan menghentikan semua itu. Kasihan Ibu.

Arimbi tidak membuang waktu lagi. Segera saja Ia beranjak dari sofa menuju lantai atas kamar Riana. Kemudian Arimbi memberi isyarat pada Riana agar mengikutinya.

"Duh Ri, bingung nih. Apa iya gue langsung ambil laptop lu trus pamit pulang. Kalo nyokap lo sadar ada yang ilang dari kamar lu gimana? Kan gak enak kalo sampe kepergok. Dikira maling dong gue".

"Mmmh, ya lu jangan langsung pamitlah. Santai dulu aja kenapa sih. Masih kaku aja. Tidur-tiduran dulu kan bisa. Dulu waktu gue masih hidup, lo betah banget di kamar ini, sampe-sampe sering ketiduran. Kalo nyokap gak bangunin kita, lu pasti ga bakalan pulang".

"Hahahaha....". Kami tertawa bersama. Mengenang masa itu. Masa dimana aku masih hidup dan semuanya begitu menggembirakan. Rasanya sulit menerima kenyataan bahwa aku tak lagi bisa bercanda dengan sahabatku ini. Sambil mengisi waktu untuk memberi jeda waktu agar Ibu tidak curiga, kami mengobrol. Sama seperti ketika itu. Ketika aku masih hidup.

Banyak cerita, banyak tertawa. Tapi karna kali ini wujudku berbeda. Maka kami tidak bisa lagi tertawa lepas sebebas dulu. Jika itu kami lakukan, bisa-bisa Ariimbi dikira gila ketawa sendirian. Hihihihi.

"Eh Fatma apa kabar Ar. Kenapa belakangan ini gue gak liat lu bareng-bareng lagi sama dia. Dulu kan kita sering bertiga di kamar ini, di sekolah, di kamar lo, di kamar fatma". Tanyaku pada Arimbi yang sedang tidur-tiduran di kasurku.

"O my God Ri, lo inget semua itu?".

Pertanyaan Arimbi membuyarkan pikiranku. Benar juga. Kenapa aku ingat memori itu tapi yang lain tidak. Apa perlahan inigatanku akan muncul? Semoga saja itu terjadi. Agar aku tidak perlu menyulitkan Arimbi dan Arya untuk mencari kebenaran kematianku dan memposisikan mereka dalam bahaya.

"Bener juga Ar, koq bisa ya gue inget itu, sementara yang lain ngga. Aneh". Arimbi segera memasukan laptop Riana ke dalam tasnya. Setelah itu berpamitan pulang dengan Ibu riana.

"Bu, Rimbi mau pamit pulang". Suara Arimbi terdengar terbata-bata, mungkin Ia gugup. Tapi Ia tetap bersikap setenang mungkin agar Ibu Riana tidak menyadari yang terjadi.

Kemudian Ibu Riana melongok ke dalam kamar Riana melihat-lihat kemungkinan Arimbi tertinggal barang miliknya.

"Nak Rimbi....". Panggil Ibu Riana ketika Arimbi telah mencapai pintu luar untuk segera pulang.

"Addduuh, gimana niih. Kenapa ya Ibu manggil. Jangan-jangan dia sadar laptop Riana gue ambil. Ya Allah jangan sampe pleeease". Gumam Arimbi dalam hati. Ia sangat gugup. Takut-takut jika Ibu Riana menyadari laptop anaknya yang tiba-tiba hilang dari meja belajarnya.

"i...iya Bu, ada apa?". Tanya Arimbi sambil balik badan melihat ke arah Ibu Riana.

"Ga ada apa-apa, cuma mau mastikan aja apa ada barang kamu yang ketinggalan?".

"Ooh ngga Bu, Rimbi ngga ngeluarin apa-apa koq dari tas, jadi gak mungkin ada yang ketinggalan". Jawab Arimbi dengan suara agak gugup.

"Ya sudah kalo begitu hati-hati ya nak, jangan ngebut-ngebut di jalan".

"Iya Bu, makasih banyak udah diijinin ke kamar Riana dan ditemenin ngobrol hari ini. Kapan-kapan Rimbi main lagi ke sini. Assalamualaikum Bu". Pamit Arimbi sambil mencium tangan Ibu Riana.

"Fyuuuuh lega banget. Akhirnya berhasil ngambil laptop Riana. Sekarang pulang dulu apa langsung ke rumah Arya ya. Langsung aja deh. Kasus ini harus cepat di selesaikan. Gak boleh bermalas-malasan". Arimbipun meluncur dengan honda jazz nya menuju rumah Arya.

Dirumah Arya.

"Jadi gimana? Apa yang mau kita cari di laptop Riana?". Tanya Arimbi kepada Arya yang sedang memperhatikan foto editan Riana.

"Itu nanti dulu Ar. Gue nemu nih, lu perhatiin bagian belakang lembar foto ini. Ada watermark. Semacam nama brand atau toko kan. Kalo gak salah ini toko yang di sebrang ujung jalan sekolah itu bukan?". Arya memang ingatannya paling baik di antara kami bertiga. Untungnya dia ikut mengusut kasus ini. Aku betul-betul bersukur bisa dilihat olehnya.

"Iya sih betul, brarti si pelaku cetak foto ini di toko ATK itu?". Tanya Arimbi penasaran.

"Gue rasa sih gak mungkin Ar. Kalo dia cetak di situ, terlalu beresiko. Ini foto telanjang, editan pula. Dia bisa kena masalah. Menurut gue, dia cuma beli kertas foto ini di toko itu, kemudian dia cetak sendiri entah di mana dengan menggunakan printer. Jelas ini hasil cetakan printer. Bukan cetakan mesin foto seperti yang ada di toko itu. Gue tau soalnya gue sering cetak foto di situ untuk keperluan anak-anak mading. Bantu-bantu aja meski gue bukan anak mading".

"Ok, jika benar foto ini berasal dari toko ATK itu, kita harus tanya sama toko itu siapa kira-kira orang yang pernah beli kertas foto selama seminggu terakhir ini. Tapi apa iya penjualnya ingat. Sementara yang aku sering lihat tiap pulang sekolah, toko itu sering ramai pembeli. Tapi ya kita lihat sajalah usaha Arya menanyakannya". Batin Riana bertanya-tanya.

"Ciyeee, udah akur nih sekarang". Kemunculan Riana yang tiba-tiba membuat Arya dan Arimbi yang sedang serius berdiskusi masalah foto jadi terkejut.

"Ah elu Ri, ke mana aja lu baru nongol sekarang". Gerutu Arimbi dengan wajah cemberutnya karna di ledek Riana.

"Ada koq, kalian aja gak sadar. Jadi, dapet apa kita hari ini?".

"Besok pagi-pagi, tunggu gue di gerbang sekolah. Jangan telat, kita sama-sama ke toko ATK itu". Kata Arya kemudian.

Esoknya di gerbang sekolah !

"Yuk..". Ajak Arya kepada Arimbi yang baru saja menghampirinya di gerbang sekolah. Merekapun bergegas menuju toko ATK yang dimaksud. Berharap semoga penjaga tokonya mengingat semua pembeli minggu lalu.

"Iya dek' mau beli apa?". Tanya penjaga toko.

"Gini mas, maaf sebelumnya. Kita ke sini bukan mau beli. Cuma mau tanya aja sih. Kira-kira mas bisa ingat-ingat gak ya, siapa-siapa aja atau seperti apalah orang yang minggu-minggu lalu pernah beli kertas cetak foto tanpa mencetak?". Tanya Arya kepada penjaga toko ATK tersebut.

"Waduh, mau tanya itu ya. Kebetulan banget. Beruntung kamu. Yang beli kertas cetak foto itu jarang banget. Kebanyakan di sini lebih milih langsung cetak dibanding beli kertasnya aja. Karna harganya beda tipis dengan cetak langsung. Tapi ada satu mba-mba galak yang memang minggu lalu beli kertas cetak foto. Satu-satunya orang yang pernah beli kertas cetak foto ya dia itu". Jelas penjaga toko itu kemudian.

"Sukurlah kalo ingat, seperti apa orangnya mas? Mba-mba. berarti perempuan dong. Kaya apa mas orangnya? Coba diingat-ingat". Tanya Arimbi penasaran dengan penjelasan penjaga toko tersebut.

"Orangnya cantik, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang sebahu, tapi agak judes. Soalnya saya tawarin cetak langsung aja, dia gak mau, terus karna waktu itu saya liat wajahnya kelihatan habis nangis. Jadi saya basa basi sekedar tanya. Mba lagi sedih ya, ada masalah?. Bukannya dia jawab, malah dia marah-marah. Katanya saya jangan ikut campurlah, bukan urusan sayalah. Ya gitu deh mba pokonya. Orangnya cantik tapi galak banget".

Penjelasan penjaga toko itu membuat kami semakin bingung. Karna jujur saja siswi perempuan dengan ciri-ciri yang disebutkan mas penjaga toko itu ada banyak. Banyak siswi cantik berkulit putih berambut panjang di sekolah ini. Maklum, sekolah ini isinya kebanyakan orang-orang kaya semua. Jadi wajarlah kalo kulitnya bening-bening.

Sampai kemudian, mas penjaga toko menunjuk seorang siswi yang sedang berlalu melewati toko ke arah gerbang sekolah.

"Naah itu tuh, mba itu yang waktu itu beli kertas foto di sini. Mba galak yang suka marah-marah".

Lantas kami bertiga menengok ke arah yang dituju. "FATMA....?". Teriakku dan Arimbi berbarengan. Kami kaget bukan main. Ternyata Fatma yang membeli kertas cetak foto itu.

Arya kaget mendengar teriakan kami. Tapi dia tetap tenang. Karna dia tidak mengenal siapa Fatma. Tapi bagi kami berdua. Fatma adalah sosok yang paling dekat dengan kami di sekolah.

"Jadi, kalian kenal perempuan itu? Siapa dia? Apa hubungannya dengan foto itu ya. Apa dia yang edit-edit foto itu?". Tanya Arya penasaran.

"Gak mungkin Fatma Ya, gue tau betul dia gimana. Dia jago banget ngedit-ngedit foto, bikin gambar ilustrasi, dan lainnya. Gak mungkin dia edit foto seamatir itu. Editan paling kacau yang pernah gue liat. Jadi gak mungkin Fatma". Kataku kemudian.

Aku bingung dan terus bertanya-tanya. Apa hubungannya Fatma dengan semua ini. Terlebih lagi, menurut cerita Arimbi, mereka sudah tidak sedekat dulu. Fatma lebih sering menghindar jika berpapasan dengan Arimbi.

Terakhir kali mereka bersama-sama, minggu-minggu lalu ketika menghadiri acara pemakamanku. Justru Fatma yang paling terlihat kehilangan. Dia yang paling sedih dengan kematianku. Seperti merasa dunianya hancur. Itu yang dikatakan Arimbi padaku.

Fatma betul-betul terpukul dengan kematianku. Terlebih lagi, dia juga sahabatku. Sama seperti Arimbi. Jadi, tidak mungkin dia yang menjebakku dengan editan foto amatiran itu. Aku percaya padanya.

"Jadi, sekarang kita udah tau dia yang beli kertas cetak foto itu. Masalahnya, apa betul dia yang cetak?". Tanya Arya penasaran.

"NGGAK, Nggak mungkin Ya, gak mungkin Fatma. Gue kenal baik dia. Lu jangan asal nuduh. Bisa aja kan dia disuruh orang untuk beli kertas cetak itu". Tiba-tiba Riana sedikit marah lalu menghilang.

Arimbi dan Arya menjadi bingung dengan sikap Riana yang tidak terima mengetahui sahabatnya itu ternyata terlibat dalam kasus ini.

"Gue juga sebenernya kurang yakin. Tapi gak tau juga sih. Mungkin aja Fatma bener terlibat. Buktinya belakangan ini dia terus menghindar dari gue. Apa gue coba ajak dia ngomong ya".

"Mungkin ada baiknya lu deketin lagi Fatma, siapa tau lu bisa korek keterangan lebih jauh dari dia. Semoga dugaan kita salah". Kata Arya kemudian.

Hari ini berakhir dengan tanda tanya besar mengenai keterlibatan Fatma. Karna sudah waktunya masuk kelas. Maka Arimbi dan Arya segera bergegas menuju sekolah. Meninggalkan Riana yang tidak terlihat lagi setelah kemarahannya.

"Jadi sekarang ini tugas kita ada dua. Korek keterangan dari Fatma dan kita cek isi laptop Riana". Arya mengawali obrolan kami sore itu di rumahnya.

Kemudian Arya tampak sibuk sekali mengutak atik isi laptop Riana. Membuka semua file termasuk folder-folder foto dan gambar. Ada satu folder berjudul "AR" dan diprotect dengan password. Arya penasaran dengan isinya. Namun tidak bisa membuka karna tidak tau passwordnya.

"Mana Riana ya? Masih ngambek apa ya?". Tanya Arya kepada Arimbi yang sedang memperhatikannya membuka-buka file dalam laptop Riana.

"Iya nih, koq Riana gak muncul ya", Jawab Arimbi kemudian.

"Ri... Rianaaa...". Bisik Arimbi mencari sosok Riana.

"Semoga lu ga marah ya dengan kejadian tadi pagi. Bukan maksud Arya nuduh Fatma kan Ri. Cuma kebetulan aja yang beli kertas foto itu ternyata Fatma. Ayolah Ri, jangan jadi gini. Nanti kasus kita gak kelar-kelar".

Arimbi terus mencoba bicara dengan Riana. Namun Riana tidak juga muncul.

Sementara Arya membuka-buka semua file Riana. Mencari kalau-kalau ada yang mencurigakan.

"Semuanya aman sih, gak ada sesuatu yang mencurigakan sejauh ini. Tapi gimana ya. Satu folder ini ngeganjel banget deh dipikiran gue. Mana Riana ya. Kan cuma dia yang tau password ini".

"Iya, gue dari tadi di sini koq merhatiin kalian. Sorry banget ya tentang tadi pagi. Gue berlebihan aja". Tiba-tiba Riana muncul tepat di samping Arimbi yang sedang duduk memperhatikan laptop yang diutak atik Arya.

"Jadi apa password folder AR ini Ri?". Tanya Arya kemudian.

Pertanyaan yang paling dihindari Riana. Karna Riana ingat betul apa isi folder tersebut. Folder itu berjudul AR diambil dari nama Arya. Ya, betul, folder itu berisi semua tentang Arya. Riana takut jika Arya tau perasaannya yang begitu mendalam terhadapnya, maka Arya tidak akan mau lagi membantunya memecahkan kasus ini. Maka Riana berpura-pura tidak ingat.

"Ya ampun Ya, mana gue inget. Kalo gue inget password itu, pasti gue juga inget semua memori yang hilang sebelum kematian gue kan. Password itu kan bagian dari masa hidup gue Ya, mana juga gue inget". Jawab Riana menghindari pertanyaan Arya. Padahal Riana ingat betul apa password dan isi dari folder itu.

Tapi sepertinya Arimbi tau isi folder itu. Arimbi mengenal betul bagaimana Riana. Arimbi juga ingat kalo Riana pernah bilang tentang hobi fotografi Riana yang sering memotret apa saja. Ke sekolahpun Riana tidak pernah lupa membawa camera.

Riana juga pernah cerita padanya kalo dia punya banyak kumpulan foto Arya. Arimbi tersenyum-senyum melihat tingkah Riana yang tidak biasa itu. Dia paham betul bahwa sahabatnya yang sudah jadi arwah itu sedang gugup.

"Ri, udahlah gak usah dirahasiain lagi. Ini penting lho Ri. Demi lo juga kan. Kalo gak, kasus ini bakal terus ngegantung. Dan lu terus hidup begini. Hidup ngga, mati juga ngga. Begini aja terus. Mau?".

"Beneran Ar, gue gak inget password itu". Jawab Riana dengan suara yang masih terasa gugup.

"Hmm, apa perlu nih gue yang kasih tau Arya? Soalnya gue masih inget lho password itu. Kan dulu lo pernah ngasih tau gue waktu kita lagi asik ngobrol di kamar lo. Trus gue liat-liat deh isi folder itu. Mungkin kalo kisah itu lo bisa lupa, tapi password kan bukan kisah, bukan cerita masa sih lo lupa".

Arimbi benar-benar membuatku semakin gugup. Tapi apa boleh buat. Demi menguak kasus yang terselubung tentang kematianku, pada akhirnya aku harus pasrah membeberkan perasaanku pada Arya.

"Ini ada apa sih. Masalah password folder aja jadi ribut. Ya udah kalo ga ada yang mau kasih tau. Bisa gue crack koq passwordnya. Tenang aja. Gak sampe lima menit juga terbuka ni folder".

Dengan wajahnya yang penuh keyakinan, Arya seperti menantang aku dan Arimbi agar memberikan passwordmya. Tapi Arya memang siswa yang amat cerdas. Aku yakin jika dia benar-benar bisa membuka folder itu dengan cepat.

Daripada terbongkar dan semuanya jadi kacau, lebih baik aku bicara duluan. Semacam.... pengakuan gitu deh. Dan sepertinya Arimbi paham betul aku akan buat pengakuan kepada Arya, sehingga Ia menghindari kami. Agar aku bisa leluasa mengakui perasaanku pada Arya. Jadi Arimbi segera keluar ke halaman depan.

"Mmmh... ya udah, gue ngadem dulu ah ke depan. Lu selesain deh tu berdua". Kata Arimbi sambil berlalu pergi meninggalkanku dengan Arya.

"Ok...Ok... gue ngaku deh. Gue hafal betul password itu. Gue kasih tau. Tapi please Arya. Gue mohon abaikan aja semua yang ada di dalamnya ya. Mmmh... gue emang cuma arwah, cuma hantu gentayangan yang ga bisa lagi berbuat apa-apa. Jadi ya pasrah aja, gue mau ngaku aja deh. Mmmh, Ya, kayanya ini gak bakal gue lakuin seumur hidup gue. Tapi berhubung gue udah mati. Jadii... OK lah gue akan ngomong jujur. Susah sih. Tapi yah ga apa jugalah. Toh gue udah mati".

Riana bicara panjang lebar, namun tidak juga sampai kepada intinya. Arya yang memang sudah paham apa sebenarnya yang akan diutarakan Riana hanya tersenyum-senyum mendengarkan arwah itu bicara ke sana kemari tanpa henti.

"Jadi yah Arya, tolong setelah ini lo jangan berubah. Ya anggaplah lu bantu gue buat ngusir gue dari kehidupan lo gitu deh. Yaa pokonya kasus ini harus selesai dulu. Baru lo boleh mengacuhkan gue seperti perempuan-perempuan lain yang lo cuekin, lo acuhin, lo jauhin. Tapi jangan sekarang Arya. Gue masih butuh lo, gue masih pingin kasus ini selesai. Kan, kalo kasus ini selesai, mungkin gue bisa pergi dengan tenang. Jadii... lu gak perlu menghindari gue karna risih".

Lagi-lagi Arya hanya tersenyum. Ia sebenarnya ingin sekali tertawa melihat tingkah Riana si hantu imut ini berwajah salah tingkah. Kalau saja Ia bukan hantu, mungkin rona wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Ri, cukup ya ulasan panjang lebarnya. Kenapa juga gue harus hindarin lo? Apa sebabnya? Kalo lu pikir semua perempuan yang naksir sama gue pasti gue acuhin, mungkin lo bener. Tapi kan itu karna gue gak ada perasaan apa-apa sama mereka. Ya wajar dong kalo gue merasa risih, jadi gue cuekin mereka. Gak usah basa basi deh. Gak usah ngungkapin rasa cinta lu ke gue kalo lu malu atau gak siap. Gue paham koq, cewek gak mungkin ngungkapin perasaannya duluan. Ya udah cepet sini kasih tau passwordnya. Mau kelar gak nih kasus?".

Riana makin salah tingkah mengetahui pujaan hati yang sedang dihadapannya ini pada akhirnya mengetahui bagaimana perasaannya. Meskipun Arya selalu cuek dengan perempuan yang tertarik padanya, mungkin benar itu karna dia risih.

"Lo bilang kalo lu ngindarin perempuan-perempuan itu karna gak suka dan jadi risih. Jadi lo gak risih sama gue gitu maksudnya? Jadi lu suka gitu sama gue?".

"Pinginnya sih nanya gitu sama Arya. Abis dari kalimatnya itu seolah-olah seperti itu. Tapi daripada nanti malah bikin Arya risih mending jangan deh. Biar simpen aja sendiri. Siapa tau Arya bener suka sama aku. Hihihihi".

"Ah, gak mungkin juga sih. Aku ini kan hantu. Jadi wajar aja kalo dia merasa gak risih dan biasa aja meski gapunya perasaan apa-apa. Aduuuuh, aku mikir apa sih ini. Udah-udah buang jauuh pikiran itu. Arya hidup, aku mati, kita gak mungkin sama-sama meski saling suka. Apalagi kalo salah satunya ga suka".

"Iya, iya, passwordnya aryaputrapermana". Riana pada akhirnya memberi tau password folder itu. Sementara Arya hanya tersenyum-senyum mendengarnya.

"Naah gitu dong, tinggal kasih tau aja susah banget sih. Nama lengkap gue kan gampang nyebutnya kenapa dari tadi berbelit-belit amat". Kata Arya sambil senyum-senyum manis memandang Riana yang lagi salah tingkah.

Akhirnya Arya melihat semua isi folder itu. Ada Folder terpisah lagi di dalamnya. Folder Gambar dan Folder Diary. Arya mulai dengan membuka folder gambar.

Tidak ada yang terlalu mengganjal pada gambar-gambar yang Riana ambil di sekolah. Mulai dari Arya yang sedang main basket, Arya yang sedang membaca buku, sampai Arya yang sedang makan di kantin. Semuanya tentang Arya.

Tiba-tiba...... Arya memendang serius pada wajah Riana.

"Lu itu bukan maniak kan? Kenapa gue jadi takut, ngeliat semua gambar ini? Lu cinta apa ngefans sama gue?". Tanya Arya dengan mata teduhnya yang memikat hati semua perempuan jika memandangnya.

Riana gugup dan terbata-bata. "Hah? Mmmhh... apaan sih lu. Lu pikir gue sakit jiwa. Enak aja gue dibilang maniak. Ya pokonya begitulah. Terserah deh lu mau bilang gue apa. Ya yang jelas ya begitulah perasaan gue ke lo". Kata Riana sambil tiba-tiba menghilang.

"Lho Ri, koq ngilang sih. Riana, gausah malu gitu lah, santai aja lagi. Mungkin bukan cuma lo yang berbuat begini. Gue kaaan emang keren. Jadi yaaah gue wajarin lah kalo banyak cewek-cewek yang bertingkah kaya lu gini. Hahahha".

Arya tertawa meledek Riana yang tidak tampak sosoknya. Tiba-tiba Arimbi muncul.

"Ih amit-amit. Sok keren luh. Kepedean amat". Timpal Arimbi kemudian.

"Hahahahaha". Mereka tertawa bersama.

"Temen lu malu-malu gak jelas tuh. Malah ngilang diajak ngomong". Kata Arya kepada Arimbi yang sedang duduk melihat isi folder yang sedang dibukanya.

"Yah lagian sih, udah tau dia perempuan. Ya malu lah kalo harus terpaksa ngungkapin perasaannya. Pake di ledek segala lagi. Dasar payah luh. Cowok tuh emang gitu ya. Gak peka". Jawab Arimbi kemudian.

"Tapi Riana termasuk fotografer amatir yang keren juga. Semua foto-foto yang dia ambil gak ada yang jelek. Angle dan focusnya pas banget. Yaaah tapi tergantung modelnya juga sih".

"Amit-amit deh kepedean lu over banget yah Ya. Udah ah lanjut tar ga kelar-kelar nih". Sambung Arimbi sambil mencibir Arya.

Mereka tidak menemukan satupun file yang mencurigakan. Hanya saja yang jadi pertanyaan, kenapa dimalam kejadian, laptop ini menghilang. Satu-satunya yang masuk akal hanyalah pelakunya yang mengambil kemudian mengembalikannya lagi.

Artinya, laptop itu diambil karna suatu tujuan. Tujuan di mana si pelaku tau ada isi file yang berbahaya di dalamnya. Lagi-lagi buntu. Pelaku licik sekali. Berhasil menghilangkan jejak di laptop. Mungkin itu satu-satunya bukti penting yang kita punya.

Pada akhirnya Arya dan Arimbi menyudahi penyelidikan mereka dengan laptop Riana hari ini tanpa hasil. Namun yang masih mengganjal pikiran adalah keterlibatan Fatma dalam kasus ini.

Mereka sendiri masih bingung bagaimana cara mengorek keterangan dari Fatma sementara bukti-bukti nyata tidak ada. Hanya kenyataan pembeli kertas foto itulah satu-satunya bukti Fatma terlibat.

Tapi aku yakin, Fatma tidak mungkin membunuhku. Dia sahabatku, kami saling menyayangi, tidak mungkin dia berbuat begitu. Kecuali jika selama ini dia ternyata memendam rasa benci padaku hingga ingin membunuhku. Tapi hal apa yang aku lakukan sehingga membuat Fatma membenciku.

Tidak, Fatma bukan perempuan yang mudah membenci orang. Diantara kami bertiga, dialah yang paling bisa berfikir jernih. Dia yang paling tidak bisa dipengaruhi orang lain.

Aku percaya Fatma, dia tidak mungkin terlibat. Mungkin ada orang yang menyuruhnya membeli kertas foto itu. Dan itu yang harus kita cari tau.

Di sekolah.

Arimbi melongok kesana kemari, mencari sosok Fatma. Ia harus bisa mengorek keterangan apapun dari sahabatnya itu. Meski belakangan ini Fatma lebih sering menghindari Arimbi. Tapi kali ini Ia harus berhasil berbicara dengannya.

"Hai Fat, apa kabar? Udah lama juga ya kita gak ngobrol sejak Riana gak ada".

Fatma kaget mendengar sahabatnya itu tiba-tiba berdiri di samping kursinya. Terlihat jelas dari sikapnya bahwa Fatma sangat gugup dihampiri oleh Arimbi yang sekedar menanyakan kabarnya.

"Mmh, eh Ar apa kabar juga? Guee... baik koq, bener baik aja. heheh. Ada apa Ar? Apa ada yang mau dibicarain? Soalnya gue harus ke toilet. Sebentar ya". Fatma melenggang pergi meninggalkan Arimbi yang masih berdiri dekat kursinya.

"Lagi-lagi begini. Selalu menghindar. Ga bisa dibiarin. Ini pasti bener dugaan Arya, kalo Fatma terlibat kematian Riana". Arimbi segera berjalan menyusuri lorong sekolah menuju toilet menghampiri Fatma.

"BRAAK....". Arimbi membuka pintu toilet dengan kasar karna merasa kesal dengan Fatma yang berkali-kali selalu menghindar tiap kali bertemu dengannya.

"Fat, udah ya cukup. Lu jangan lagi menhindar. Kalo lu terus-terusan begini, gue bakal lapor polisi tentang semua keterlibatan lu". Teriak Arimbi kepada Fatma yang sedang menghadap cermin wastafel di dalam toilet sekolah.

"Lu ngomong apa sih Ar, gue gak ngerti maksud lo. Jangan aneh-aneh deh". Kilah Fatma sambil berlalu pergi meninggalkan Arimbi.

Namun belum sempat Fatma menuju pintu keluar toilet, Arimbi menarik lengannya.

"OK, sekarang gini aja. Buktiin kalo lo emang gak terlibat dengan kematian Riana. Karna gue punya bukti sangat jelas kalo lu terlibat. Bukan cuma bukti, tapi juga saksi".

Fatma gemetar, terlihat sekali dari sikapnya jika Ia gugup. Meski tidak dijelaskan maksud percakapan tersebut, tapi masing-masing dari Arimbi dan Fatma sudah paham betul ke arah mana pembicaraan ini berlangsung.

Tiba-tiba Fatma menjatuhkan diri ke lantai, tersungkur memegang kaki Arimbi. "Ihyaaa Aaar, tolongin gueee Ar, gue gak ada maksud berbuat begitu Ar. Sumpah demi Tuhan gue gak bermaksud berbuat begitu. Gue minta maaf Ar. Gue mohooon tolong gue Ar".

"Ya Tuhan Fatmaaa, jadi bener elu? Lu gila ya, lu pikir apa yang udah lu lakuin? Riana sahabat kita dari kecil Fatma. Kenapa sih lu tega banget berbuat begitu?". Tanya Arimbi kemudian.

Tanpa disadari oleh keduanya, ternyata Riana ada di sana. Ditempat Arimbi dan Fatma sedang berbincang. Namun Fatma tidak dapat melihat sosok Riana. Tersedu Fatma menangis menyesali perbuatannya. Bukan hanya dia, Rianapun ikut menangis mengetahui ternyata selama ini orang yang mereka cari adalah Fatma. Sahabatnya sejak kecil. Sahabat yang sudah dianggapnya seperti saudara.

Masih sambil menangis. Fatma menceritakan semuanya.

"Waktu itu gue gak punya pilihan Ar, ada surat yang dateng ke alamat rumah gue. Isi surat itu, gue harus edit dan cetak foto Riana seolah dia sedang tidur dengan laki-laki setengah tua. Di surat itu juga dicantumin foto gue yang juga tanpa busana Ar, surat itu bilang, kalo gue gak edit foto Riana dan pajang itu di mading, maka foto gue yang akan terpampang di mading. Gue gak punya pilihan Ar. Gue takuuut gue maluuu kalo sampe semua orang liat foto fulgar gue. Makanya gue sengaja edit foto Riana dengan editan yang asal-asalan. Biar semua orang ngeliatnya itu palsu".

Fatma menangis tiada henti sambil terus menceritakan yang terjadi sebenarnya.

"Tapi gue gak nyangka Ar, kalo perbuatan gue yang bodoh itu bikin Riana bunuh diri. Arimbi pleeease maafin gue Ar. Gue ga ada maksud bikin Riana bunuh diri. Gue gak maksud Aaar".

"Apa maksud lo Fat? Bunuh diri? Lu bener-bener udah gila ya, lu masih gak mau ngakuin kalo lu bunuh Riana?". Tanya Arimbi dengan nada marah kepadanya.

Fatma kaget mendengar perkataan Arimbi. Tercekat mulutnya, terhenti tangisnya. "Apa maksud lu Ar, gue bunuh Riana? Sumpah Ar lu udah gila nuduh gue sampe segini jauhnya. Gue emang yang ngedit dan majang foto Riana tanpa busana di mading sekolah, gue yang bikin Riana malu. Tapi lu tau sendiri kan Ar, kalo Riana gantung diri. Gantung diri karna malu dengan foto itu". Jelas Fatma kemudian.

Masih dengan nada gemetar Fatma terus berbicara. "Tapi kalo dengan perbuatan gue itu lu anggep gue bunuh Riana, gue pasrah. Mungkin lo bener. Secara gak langsung, gue yang bunuh Riana. Gue yang bikin Riana bunuh diri. Jadi mungkin ada benernya kalo lo anggep gue pembunuh Riana".

"Fatma, please ngomong yang jujur, ngomong sejelas-jelasnya tentang semua perbuatan lu. Masalahnya Fatma, Riana gak pernah bunuh diri". Jelas Arimbi kemudian.

Fatma semakin kaget mendengar perkataan Arimbi. Matanya terbelalak tajam. Kemudian mencengkram kedua lengan Arimbi.

"Apa maksud lu Ar, please Ar tolong jelasin ke gue maksud lo. Riana gak bunuh diri? Demi Tuhan Arimbi please gue gak paham maksud lo. Gak mungkin maksudnya Riana dibunuh kan Ar?".

Mereka sama-sama terdiam. Seperti menemukan sebuah jalan buntu yang baru. Kenyataan baru kini telah hadir di tengah-tengah kasus kematian Riana. Lagi-lagi ini harus digali lebih dalam.

"Ar, gue percaya Fatma. Sepertinya bukan Fatma pembunuh gue Ar". Bisik Riana kepada Arimbi yang sedang terdiam memandang Fatma.

Fatmapun demikian. Terdiam memandang Arimbi dengan wajah sembabnya setelah menangis tersedu-sedu. Mereka bertiga bingung dengan yang terjadi.

"Iya Fat, Riana dibunuh. Riana gak pernah bunuh diri. Riana juga percaya sama lo. Dia gak nyalahin lo koq Fat. Tapi lo harus janji untuk bantu gue cari pelakunya". Kata Arimbi kemudian.

"Ya Tuhaaaan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa bisa begini". Kata Fatma sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.

"Ar, kalo bener Riana dibunuh, mungkin kita harus cari pelaku yang ngirimin surat dan foto gue ke alamat rumah gue Ar. Jangan-jangan si pengirim surat kaleng itu pelakunya. Karna sampe detik inipun gue gak pernah tau siapa pengirimnya. Gue terlalu takut untuk cari tau". Sambung Fatma kemudian.

Setelah itu Arimbi mengajak Fatma berdiskusi di kebun belakang sekolah, tepatnya di tepi kolam ikan tempat favorit Riana. Di sana Arya sudah menunggu mereka. Kini mereka berempat telah berkumpul. Kecuali Fatma yang tidak dapat melihat sosok Riana. Arya dan Arimbi kemudian menceritakan semua yang terjadi.

Fatma sangat terkejut. Meski Ia masih tidak dapat melihat penampakan sosok Riana. Namun Fatma berusaha berkomunikasi dengan Riana.

"Ri... gue ga bisa liat lo ada di mana. Tapi kalo lu liat gue, gue mohon banget maafin gue Ri. Mungkin perbuatan gue ga bisa dimaafin. Tapi Ri, gue janji seumur hidup gue gak akan berenti mencari pelakunya sampe ketemu Ri. Gue janji". Kata Fatma mencoba berbicara dengan sosok Riana yang tak nampak.

"Udahlah Fat, gak usah nangis lagi. Riana udah maafin lu. Riana bilang, dengan atau tanpa editan foto buatan lo, mungkin Riana memang tetap akan mati. Karna pelakunya akan tetap berbuat demikian. Jadi Riana bilang ini semua bukan salah lo. Gak usah lo sesalin lagi. Yang penting sekarang lo mau bantu ngusut kasus ini". Jelas Arimbi kepada Fatma yang masih terlihat sedih berharap dapat melihat sosok Riana seperti Arimbi dan Arya.

"Susah, sekuat apapun gue berusaha menampakan diri ke Fatma, dia tetep gak bisa liat gue Ar". Kata Riana dengan wajah sedikit menyesal.

Kemudian Fatma menceritakamn semua kejadian sebelum dia mengedit dan memajang foto Riana di mading sekolah. Semua Ia ceritakan. Cerita Fatma membuat mereka semua terkejut, terutama Riana. Karna Riana tidak menyangka dengan apa yang didengarnya dari cerita Fatma.

"Please gue mohon kalian jangan benci gue. Tapi kalaupun kalian benci sama gue silahkan aja. Yang jelas, gue tetep akan ikut ngusut tuntas kasus Riana".

BAB 3

Malam itu di sekolah hari kamis malam. Sebelum kematian Riana.

"Pak, saya hamil pak. Bapak harus tanggung jawab. Bagaimanapun ini anak Bapak". Fatma menangis sambil memohon-mohon kepada Pak Robert.

Ya, Pak Robert guru tampan yang diidolakan banyak siswi bahkan guru-guru perempuan. Ternyata Fatma menjalin hubungan dengan Pak Robert.

"Saya pasti akan bertanggung jawab. Tapi ngga sekarang Fatma, kamu masih sekolah. Gak mungkin saya nikahin kamu sekarang. Sebaiknya kamu gugurkan aja kandungan kamu secepatnya. Sebelum semuanya terlambat".

Tidak disangka, ternyata Pak Robert guru kesayangan banyak siswi tidak berperasaan dan tidak berperikemanusiaan.

Semudah itu ingin menghilangkan nyawa bayinya sendiri. Entah pantas disebut apa orang seperti dia. Pak Robert berlalu pergi meninggalkan Fatma yang masih menangis di lorong sekolah malam itu. Ia bingung apa yang harus dilakukannya dengan bayi dalam kandungannya.

"Fatma, sorry gue gak sengaja denger. Jadi elo sama Pak Robert?". Tiba-tiba tangisan Fatma terhenti dengan kehadiran Riana di lorong sekolah pada malam itu.

*************

Bagaimana kisah Riana selanjutnya? Siapakah yang tega membunuh Riana? Kenyataan apa yang ada pada hubungan Fatma dan Pak Robert?

Ikuti terus kisahnya yaa...

LANJUT BACA (klik)

Sabtu, 23 Mei 2020

Kisah Tragis Bian

Aku menikah dengan laki-laki yang aku cintai dan yang aku yakin Iapun begitu. Aku butuh laki-laki yang selalu memberiku semangat, Aku butuh laki-laki yang selalu mendukungku di saat aku jatuh, disaat aku merasa terpuruk, disaat aku merasa putus asa, bahkan di saat aku jatuh miskin.

Bukan laki-laki yang selalu mendorongku untuk berkarir, semangat bekerja di luar bahkan bertahan dari kerasnya tekanan dari atasan.

Aku ini perempuan, Ibu, Istri, sekaligus anak. Aku memang harus tegar demi anak-anakku. Tapi apakah aku tidak boleh manja sebagai istri? Apa sudah tidak patut dilindungi sebagai anak?

Selalu dan selalu merasa begini.

Ada satu waktu dimana aku sering curhat oleh suamiku perihal pekerjaanku, Tekanan-tekanan yang terjadi dalam pekerjaan, Kenapa seringnya malas bekerja dan memilih cuti bersama anak-anak di rumah. Aku tau aku harus sabar. Aku mengerti aku harus membantu suamiku menafkahi keluarga kami. Tapi tidak bolehkah aku bermanja? Kenapa? Kenapa semakin hari kau malah justru semakin mirip Ibu? Ibuku yang selalu bawel setiap kali aku tidak berangkat bekerja, Ibuku yang selalu mengomel tiap kali aku cuti, Ibu yang selalu ketakutan jika aku tidak lagi bekerja, maka kami akan hidup susah. Wahai suamiku. Tidak yakinkah engkau bahwa Allah SWT. akan selalu membukakan pintu rejeki dari mana saja untuk keluargamu? Allah menitipkan rejeki untuk istri dan anak-anakmu melalui tanganmu yang kokoh, bukan melalui tenaga istrimu langsung. Tidak bisakah kau paham bahwa pekerjaan ini membuatku sulit bernafas?

Aku butuh ketenangan. Aku butuh tempat untuk menangis sekeras-kerasnya tanpa harus didengar anak-anak. Tapi dimana? Aku hanya bisa menangis kecil di dalam pelukanmu, dibalik punggungmu atau mungkin di bahumu. Tapi setiap kali itu aku lakukan kenapa kau hanya mengeluarkan kalimat bahwa aku harus tegar, bahwa aku harus tabah menghadapi semua pekerjaan dan tekanan-tekanan dalam pekerjaanku. Setiap kali aku membicarakan masalah resign kau seperti terlihat kecewa tanda tak setuju. Kau seperti ketakutan bahwa kita akan jatuh miskin begitu aku resign. Begitu besarkah peranku memberikan nafkah di keluarga ini? Aku yang seorang perempuan, aku yang hakikatnya berada di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Tapi kau bahkan kalian. Kau dan Ibuku seolah kalian merasa bahwa jika itu aku lakukan maka kita pasti akan sengsara.

Ya Allah, apakah harus seperti ini? Aku capek, aku lelah dengan semuanya. Ketika pagi bangun, aku harus berhadapan dengan masalah-masalah pekerjaan yang itu-ituu saja, di tekan sana sini, Begitu sore sesampainya aku di rumah, masih harus bersabar menghadapi bocah-bocah kecil kami yang nyaris tidak bisa diam yang selalu saja teriak ini itu, bertengkar memperebutkan mainan atau apapun. Berteriak minta ini itu. Tidak lama engkau pulang dari bekerja, duduk atau tiduran kemudian minta diambilkan minum, makan, dipijat, atau apapun. Menjelang tidurpun aku masih harus bekerja. Membuatkan susu untuk anak-anak, memakaikan pampers, kadang membacakan cerita, atau lainnya.

Saat aku beristirahat hanya ketika mataku benar-benar terpejam. Ah sudahlah, mungkin memang ini takdirku. Mungkin memang ini kisahku. Lihat apa yang terjadi nanti. Mungkin seiring bertumbuhnya anak-anak, aku akan semakin tegar.

********

Bian memang sudah tidak punya banyak waktu menulis semenjak menikah, mengurus anak, dan bekerja. Hobi menulisnyapun hanya Ia lakukan sesekali sambil mencuri-curi waktu bekerja. Padahal dulu Bian senang sekali menulis cerita, Membuat cerpen. Bahkan Bian bercita-cita ingin menulis sebuah novel yang ingin sekali Ia bukukan. Tapi semua sirna ketika Bian memutuskan untuk menikah di usianya yang masih muda. Padahal saat itu Bian yakin bahwa support kekasih hatinya yang kelak menjadi suaminya itulah yang akan membuat impian dan cita-cita Bian tercapai. Namun sayang, begitu melahirkan anak pertama, Bian dan suaminya merasa harus bekerja keras demi anak mereka. Demi hidup cukup. Jadi yang terjadi adalah Bian dan suami harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Terlebih lagi kemudian lahirlah anak-anak kedua dan ketiga mereka. Bertambahlah kebutuhan keluarga mereka. Bian seringkali dipusingkan dengan urusan-urusan yang kelihatan sepele namun ternyata baginya itu adalah masalah besar.

Terkadang orang terdekatpun tidak mampu mendukungnya. Bian yang merasa tertekan akhirnya merasa bahwa Ia ingin istirahat. Istirahat dari semua ini. Istirahat dari kehidupan yang membuatnya lelah dan tertekan. Bian mengakhiri hidupnya.

1 November, menjadi tanggal kelahiran Bianca Azzalea Rumana sekaligus hari kematiannya. Tertulis dalam blog bian pada posting terakhir bahwa Ia lelah.

Posting terakhir Bianca.......

"Ya Allaaah, Bian lelah, Bian Capek, Bian ingin instirahat. Kenapa tiap kali Bian memejamkan mata untuk beristirahat, ada saja hal yang membuat mata Bian terbelalak. Entah jeritan si kecil, Teriakan panggilan Ibu, bahkan kepulangan Mas Alif dari bekerja. Terus kapan Bian bisa istirahat Ya Allah?. Kali ini Bian benar-benar lelah. Bian ingin berhenti bekerja. Bian capek di tempat kerja yang membosankan itu. Dengan tekanan-tekananya dan masalah-masalah lainnya. Bian ingin berhenti tapi semua orang pasti akan menyalahkan Bian. Pasti semua orang akan menyayangkan keputusan Bian. Bahkan Mas Alifpun begitu. Mas Alif terlalu sayang dengan pekerjaan Bian yang katanya bagus. Bekerja di perusahaan besar ternama dengan gaji lebih dari cukup. Sementara Mas Alif hanya karyawan perusahaan biasa. Kenapa Mas Alif tidak meyakini diriMu ya Allah. Mengapa rejeki yang Engkau titipkan melalui Mas Alif lebih sedikit dari yang Engkau titipkan padaku? Jika saja tidak seperti itu, maka mungkin aku bisa menjadi Ibu-ibu pada umumnya. Ibu rumah tangga yang bangun pagi menyiapkan sarapan keluarga, Kemudian melihat anaknya berangkat sekolah dengan Ayahnya sampai menghilang di balik pintu, kemudian mengerjakan pekerjaan rumah. Begitu siang hari pekerjaan sudah selesai, bisa santai menonton televisi di ruang tamu sambil ngemil kripik kentang favorit atau biscuit coklat kesukaan sambil menunggu anak-anak pulang sekolah.

Begitu anak-anak pulang sekolah, Bian bisa membantu mereka mengganti pakaian, kemudian makan bersama di meja makan panjang di ruang tengah sambil mendengarkan cerita anak-anak tentang kegiatan mereka. Selesai makan, Bian membantu mereka mengerjakan PR sampai sore. Saat sore tiba, sambil menunggu kepulangan Mas Alif dari bekerja, Bian buatkan teh hangat kesukaannya.

Menjadi Ibu-ibu normal dengan kegiatan normal dengan keadaan ekonomi kami yang mencukupi yang Bian mau ya Allah. Bukan keadaan ekonomi yang mencukupi, namun kehilahangan banyak waktu untuk itu.

Ya Allah Bian menyerah. Maaf kan Bian. Sudah terlalu lama Bian merasa tidak ada lagi yang mendukung keinginan Bian itu. Bahkan Mas Alif. Selesai sudah kesabaran dan ketegaran Bian selama ini. Maafkan Bian ya Mas Alif, Ibu, Kakak, Nila, dan Ade. Bian GAGAL menjadi yang kalian harapkan. Bian terlalu lelah.

Selamat Tinggal !!!"

Bian mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap gedung tempatnya bekerja. Akhirnya Bian beristirahat seperti keinginannya selama ini. Tidak ada lagi suara jeritan atau panggilan atau langkah kaki yang dapat membangunkan Bian. Kini Bian benar-benar pulas tertidur. Bian tak lagi ada.

Semoga bagi yang masih memiliki istri, ibu, anak perempuan masih bisa mendengarkan jeritan hati mereka. Terkadang masalah sepele dimata kita, belum tentu sepele bagi orang lain. Bian yang hatinya rapuh, mudah goyah sangat membutuhkan dukungan. Dukunglah, manjakanlah istri anda tanpa mengeluh, tanpa mengeluarkan kata-kata "Sabar ya, Tegar ya, Yang kuat ya" . Kata-kata itu tidak mampu menopang beban hidupnya.

Sahabat Bayang-Bayang

Tulisan yang saya muat kali ini kiriman dari "Dinik Afrianingsih". Saya ucapkan banyak terima kasih atas kirimannya.Cerita ini fiktif dan hanya karangan semata. Mohon lebih bijak dalam me ngambil maksud dari inti cerita ini. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Sahabat Bayang-Bayang

Tak pernah ada rasa sesal yang hinggap dalam hati kecil ini. Ataupun rasa takut, tak pernah terpikir dan terasakan olehku. Gadis muda yang penuh imajinasi. Apa salahnya berteman bahkan bersahabat? Tak salahkan? Tapi, mengapa semua memandang penuh keanehan padaku? Mereka selalu bertanya ‘Kenapa harus kamu?’. Sementara aku hanya bisa menatap bingung tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Hei, Forehead! Apa yang kau pikirkan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Ah, kau mengagetkanku Ino pig.” jawabku sambil menatapnya dengan kesal. Tentu itu hanya sebuah gurauan. Tak pernah aku merasa benar-benar kesal padanya. Teman ‘Nyataku’ Yamanaka Ino.

“Jadi apa yang membuat sahabatku Haruno Sakura melamun? Sasuke kah? Atau Naruto?” tanyanya penuh selidik padaku. Ah ya namaku Haruno Sakura. Sasuke dan Naruto yang disebut-sebut oleh Ino adalah temanku juga. Lebih tepatnya Teman kecilku.

“Bukan keduanya Ino. Apa aku terlihat begitu perduli dengan mereka yang seenak jidatnya meninggalkanku sendirian di club kemarin? Jawabannya TIDAK!” jawabku sewot. Cih, jika menyangkut kedua pria brengsek itu aku mulai naik darah. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Argh mengingatnya saja sudah membuatku emosi.

“Lalu? Masalah apa lagi?”

“Hanya masalah kecil, mungkin?” jawabku ragu. Dan karena itu membuat salah satu alis temanku pig ini terangkat keatas. Pertanda dia tidak mengerti.

Akupun menghela napas maklum. “Kau masih belum ngeh ya?” dan anggukan adalah jawabannya. “Aigoo…” akupun mulai gemas. Padahal kami sudah berteman cukup lama dan sudah sering curcol bersama tapi tetap saja…

“Ah, aku ingat!!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk di depan mukaku.”Masalah itu ya? Tentang ‘SAHABATMU’ itukan? Kenapa lagi?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Inopun mulai memaksaku untuk bercerita. Namun, aku tetap diam tak mau bercerita. Dia terus mengoceh tentang persahabatan dan kebersamaan kami. Akupun mulai memandang langit dan mengingat kembali ‘SAHABAT’ ku itu. Semua berawal dari kejadian itu.

Hujan lebat turun dengan sambaran petir yang tak bersahabat membuat siapapun menjadi takut. Termasuk aku yang berada di dalam rumah sendirian. Ayah dan Ibuku pergi keluar kota untuk urusan bisnis dan sepupuku Sasori juga sedang menginap di rumah temannya. Itulah mengapa aku sendirian.

Saat itu aku berumur lima tahun dan masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian di rumah yang sangat luas. Aku hanya dapat meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk taddy bear kesayanganku. Tubuhku bergetar ketakutan saat mendengar suara petir yang menyambar dengan keras. Seolah mereka menyambar-nyambar diatas kepalaku. Apa lagi saat itu semua lampu padam, tak ada sedikitpun cahaya yang ada hanya sinar petir yang menakutkan.

Dan kesalahan itupun dimulai, Saat kusembunyikan wajahku di balik boneka kesayangan milikku, aku merasakan kehangatan dari tangan seseorang yang menjalar dari punggung tanganku. Tangan itupun mulai merambat kepunggungku dan memeluk tubuh mungilku. Kehangatannyapun mulai merasuki diriku. Hingga…

“Jangan takut aku disini…” bisikan halus tepat di telingaku dan hembusan napas yang dihembuskan ke tengkukku. Akupun diam membeku.

“Jangan takut, aku temanmu Sakura-sama”. Teman? Temanku?. Siapa? Ingin kupastikan siapa dia. Namun rasa takut lebih kental daripada rasa ingin tahuku. Sasuke? Tapi tidak mungkin jika dia. Naruto? Tidak mungkin dia ada di Amerika sekarang. Lalu siapa? Akupun tidak berani melihatnya dan semakin kutenggelamkan wajahku ke boneka itu.

“Itu hanya sebuah petir yang menyelingi hujan. Bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi kau tidak perlu sampai setakut ini” ucapnya menghiburku. Tentu saja dengan berbisik seperti sebelumnya.

“Ibu… Ayah…” gumamku.

“Aku temanmu. Neil…” Akupun tertegun sesaat saat mendengarnya. Neil. Itukah namanya? Akupun mulai memberanikan diri untuk menatap dirinya. Dan senyuman menenangkan di wajahnyalah yang pertama kulihat.

“Neil…” kuulangi namanya dan saat itu pula senyumannya semakin lebar. Neilpun memelukku kembali dan terus berkata jika kami teman dan menenangkan diriku agar tidak ketakutan lagi.

Itulah awal pertemuan kami dan awal dari bencana dalam hidupku…

***

“Sakura hari ini ayah dan ibu akan pergi untuk perjalanan bisnis selama sebulan jadi-”

“Hn aku tak apa. Jadi tenanglah ok!” potongku saat ayah mulai menjelaskan maksud dinner keluarga ini.

“Saku sayang jangan memotong ucapan orang tua ya? Itu tidak sopan” tegur ibuku halus sambil mengelus kepalaku.

Secara perlahan kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Aku tidak pernah menyukainya. Mereka seolah menyayangiku namun nyatanya mereka mengacuhkanku selalu.

“Tolong jangan seperti ini bu. Aku bukan anak kecil lagi.” jelasku sambil memotong steak di hadapanku.

Brakk…

“Haruno Sakura!” bentak ayahku padaku saat melihat perilaku putri semata wayangnya ini. Terlihat dengan jelas jika nafsu makannya hilang seketika itu juga, Wajahnya mulai memerah karena marah dan kedua alisnyapun mulai bertaut tanda tak suka.

“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar dulu. Terima kasih atas makanannya.” ujarku sambil membungkuk tanda hormat  kepada mereka sebelum  aku melenggang pergi dari ruang makan. Saat aku mulai menaiki tangga sempat kutolehkan wajahku kearah kedua orangtuaku. Kesal, sedih, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu dan terukir jelas di wajah mereka. Tapi, apa peduliku? Kutatap datar mereka dan melenggang pergi ke kamarku di lantai dua.

Kubaringkat tubuh sintalku di kasur empuk milikku. Aku mulai memandang langit – langit kamar. Lelah. Itu yang kurasakan sekarang. Kuletakkan tanganku menutupi  sinar lampu yang menyilaukan.

“Ada apa? Bertengkar lagi?” tanya seseorang di sampingku. Neil?.

“Kenapa?” tanyanya lagi tepat di telingaku. Kuturunkan tanganku dan kutolehkan kepalaku ke samping. Dapat kulihat senyumnya yang hangat dan mata penuh rasa ingin tahu.

“Seperti biasa” jawabku seadanya sambil tersemum melihatnya. Karena kurang nyaman dengan posisiku akupun mengubah posisiku berbaring menyamping menghadap Neil.

“Oh,.” Komentarnya mengerti. Diapun menatap lekat diriku. Tangannya mulai memaikan ramput bubblegumku seperti biasa. Dan itu tidak membuatku terganggu. Entah kenapa.

Kuperhatikan wajah pria dihadapanku ini dengan lekat. Rambut hitam arang yang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu. Tak ada yang bisa membuat diriku berpaling darinya, dari Neil.

“Lihatlah dirimu hime… Untuk kesekian kalinya aku tahu kau menatap diriku penuh nafsu hahaha” ucapnya sambil terkikik tidak lupa dengan jari telunjuknya yang mencolek - colek pipiku.

“Tidak! Aku tidak melihatmu penuh nafsu kok!” belaku. Aku merengut saat melihat ekspresi Neil yang tidak percaya pada ucapanku. Melihat hal itu Neil terkekeh.

“Neil?”

“Ada apa hime?”

“Kau tidak akan meninggalkanku kan?” Neil menggeleng kepalanya dan berkata.

“Tidak akan pernah aku pergi meninggalkanmu sendirian. Kitakan sahabat. Aku janji” ucapnya mantap sambil mengacungkan jari kelingkingnya tanda perjanjian dan akupun menautkan kelingkingku tanda persetujuan dariku.

Setelah itu Neil semakin sumringah dan memelukku erat. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dipeluk olehnya. Neil sahabat terbaikku.

** *

Tanpa Sakura sadari di balik pintu kamarnya Tuan dan Nyonya Haruno mendengar semua yang dia ucapkan. Ibunya menitikkan air mata tanda kesedihan dan ayahnyapun memeluk sang istri mencoba menenangkan. Karena tidak kuasa dengan apa yang terjadi merekapun kembali ke kamar tidur mereka.

***

Sebulan telah berlalu dan kini keluarga Haruno berkumpul kembali namun bukan di rumah megah mereka tapi di suatu tempat yang asing bagi Sakura.

“Dimana kita?” tanyanya pada sang ibu yang sedari tadi merangkulnya.

“Nanti kau juga tahu nak.” jawab sang ayah yang masih berjalan dibelakang mereka. Terlihat jelas diwajah Kizashi  kegusaran yang teramat dalam namun inilah jalan terakhir. Demi dia, putri tercintanya.

“Kizashi sama?” panggil seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu besar bercat hitam. Tangannya melambai pada Kizashi dan dibalas dengan anggukan.

Saat Sakura sekeluarga sampai dihadapannya. Wanita paruh baya itupun menyodorkan tangannya pada Sakura. Bigung. Pelan tapi pasti Sakura mulai menyodorkan tangannya untuk menyalami wanita dihadapannya. Namun…

‘Jangan!’ Neil?!. Mata Sakura terbelalak kaget. Dia yakin itu suara Neil sahabatnya.

Dia mulai menoleh kesana kemari mencari Neil. Namun nihil Neil tidak ada. Apa itu hanya khayalan Sakura saja?. Mungkin. Tapi, hatinya mulai gusar. Dia sangat yakin itu tadi sara Neil.

“Ada apa?” tanya wanita di hadapannya. Seolah dia tahu kegusaran Sakura.

“Tidak. Tidak apa” jawab Sakura sedari menoleh ke belakang mencari Neil.

“Kalau begitu ayo masuk” ajak wanita itu. Sakura sekeluargapun memasuki ruangan yang berada dibalik pintu besar bercat hitam. Sesaat Sakura mulai terpesona melihat interior ruangan tersebut. Sangking terkagumnya Sakura tidak sengaja menabrak guci besar di depannya. Namun dengan cepat ditanggap oleh sang Ayah.

“Hati – hati Sakura.” ujar sang Ayah. Sakura hanya mengangguk dan mengatakan, “Sumimasen”.

“Daijobu, duduklah dulu.Ah ya namaku Senju Tsunade tadi kita belum sempat berkenalan kan? Aku kawan lama ayahmu Saku-chan” ujar wanita bernama Tsunade itu.

Sen-ju Tsu-na-de sepertinya nama itu tidak asing bagi Sakura. Sakura mengernyit bingung. Dan saat itupula tanpa sengaja dia melihat sebuah foto yang cukup besar di pojok ruangan. Tapi, sayang foto itu ditutup dengan kain sehingga hanya terlihat wajah Tsunade saja.

Tsunade yang elihat rasa penasaran Sakura langsung mengikuti arah pandangnya. Diapun tersenyum lalu berkata, “Apa kau penasaran dengan foto itu?”.

Sakura yang kaget saat itu langsung menunduk dan merona.’Aish ketahuan malunya.’ Melihat itu Wanita berbaju hijau itupun tertawa lepas.

“Hahahahahahahaha… tidak apa jika kau memang penasaran sayang. Sudah biasa kok. Hahahaha” ujarnya disela-sela tawanya.

“Ah, ya jika boleh tahu kenapa aku diajak kemari?” tanya Sakura yang mulai sebal dengan sikap wanita di hadapannya ini.

Sekejap kemudian semua diruangan itu diam tak bersuara. Kizashi beserta sang istri membungkam diri, mereka takut untuk mengatakannya. Tsunade yang sedari tadi tertawapun diam dan menatap tajam kearah Sakura.

“Haruno Sakura” panggilnya. Wajahnya tampak serius menatap Sakura yang mulai tegang. ‘Ada apa ini? Kenapa suasananya berubah menjadi setegang ini?’ piker Sakura.

“Sudah lima belas tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Ini kali pertama kita bertemu kembali.”

“Ha? Lima belas-tahun?”

“Sepertinya kau tidak ingat aku. Hah, tapi wajar jika kau lupa padaku dan segelku terlepas. Seandainya aku tidak membawamu ke rumah itu kau pasti hidup normal sekarang” jelas Tsunade yang membuat Sakura semakin bingung.

“Apa maksudmu nyonya? Ibu? Ayah?” Sakura mencari kejelasan pada mereka yang ada di sekelilingnya. Namun… dapat dilihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh sesal dan sang ibu yang hamper meneteskan wajahnya.

Brakk… Sakura menggebrak meja. Dia mulai kesal dengan apa yang terjadi. Dilangkahkan kakinya kearah pintu besar itu. Tak dipedulikannya ketiga manusia itu dia ingin keluar dan pulang melupakan keanehan hidupnya hari ini.

“Tidakkah kau penasan dengan foto itu?” hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Tsunade langkah kaki Sakura berhenti seketika. Dia penasaran amat penasaran namun dia juga harus secepatnya pergi dari sini. Gagang pintu sudah ada dipegangannya lalu apa lagi yang perlu dipikirkannya.

“Neil. Tadayama Neil. Kau mengenalnya?” Deg. Secepat kilat Sakura langsung menoleh kearah wanita berambut pirang yang duduk di sofa penjang itu.

“Siapa kau? Bagaimana bisa kau…”

Tsunade menatap gadis bubblegum itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam. Bagaimana tidak? Karena dirinya seorang gadis muda harus menerima ikatan yang tidak seharusnya. Ikatan iblis yang memakan jiwanya secara perlahan dan membawanya kedunia bawah yang mengerikan.

“Aku Senju Tsunade . Aku penjaga Neil.” ujarnya penuh penekanan.

Bingung. Itulah yang dirasakan Sakura saat ini. Bagaimana tidak syok coba? Jika wanita yang mengaku kawan lama ayahmu sekarang mengaku kalau dia seorang penjaga dari sahabatmu. Dan lagi bagaimana bisa dia mengenal sahabatnya Neil dan nama panjangnya padahal dirinya saja tidak tahu nama panjang Neil. Tapi, tapi, bagaimana bisa? Argh!

“Sakura…” panggil Tsunade sendu. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di hadapan Sakura. Sementara Sakura yang masih berdiam diri di depan pintu kembali menatap Tsunade penuh tanya dan bingung.

“Aku tahu kau bingung bagaimana bisa aku mengenal Tadayama Neil.” Secara otomatis Sakura mengangguk. Tsunade menghembuskan nafas beratnya.

“Ini sudah pada batasnya dan kau harus tahu hal penting ini Sakura.” Tsunade mulai berjalan sambil menarik Sakura agar mengikutinya. “Bukankah kau penasaran dengan foto besar ini?”

Sakura diam dan menoleh kebelakang melihat ayah dan ibunya. Merekapun menatap Sakura penuh kasih dan cinta. Sang ibu mengangguk pada Sakura seolah berkata ‘ayo nak’. Dia menoleh dan menatap bingkai foto besar dihadapannya.

Kain hitam itupun ditarik oleh Tsunade dan semakin terlihat jelas foto siapa saja itu. Di dalam foto itu dapat dilihat Tsunade berdiri di tengah-tengah dua orang pria dewasa yang entah siapa itu. Lalu didepan mereka bertiga ada sosok pria muda berambut hitam arang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu.

“Itu aku dan kedua suamiku. Yang rambut hitam panjang itu bernama Orochimaru sedangkan pria berambut putih panjang dan berantakan itu bernama Jiraiya. Dan pemuda yang duduk dihadapan kami adalah…”

“Ne-il” potong Sakura yang menatap lekat foto pemuda itu. Wajahna mengeras, tangannya mengepal menahan amarah.

‘Pergi Sakura. Pergilah dari sana Sakura!’ Secepat kilat Sakura menoleh kebelakang setelah mendengar suara itu.

“Neil!” Panggilnya. Sekarang dia semakin yakin jika sahabatnya itu ada disini. Tapi kenapa dia tidak dapat melihatnya.

“Kau dimana Neil? Keluarlah!” ujar Sakura sambil mengelilingi ruangan dan sesekali menengok kesana kemari. Melihat hal itu Kizashi dan istrinya mencoba menghentikan Sakura dengan memeluknya.

“Hentikan Sakura! Dia tidak ada Sakura! Tidak ada!” yakin Kizashi pada sang putri yang memberontak di pelukannya. Sakura menoleh pada sang ayah dan menatapnya dengan rasa benci.

“Memang siapa kau berani-beraninya melarangku?! Hanya karena kau ayahku bukan berarti kau bisa bicara seperti itu!” ujar Sakura sinis pada sang ayah. Kizashi dan istrinyapun kaget mendengan ucapan putri mereka. Sementara Tsunade menatap nanar gadis yang memberontak itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus mencari Neil!”

“Apa yang dikatakan ayahmu benar Sakura. Neil dia tidak ada. Dia sudah mati” Jelas Tsunade sambil memegang kedua bahu Sakura mencoba meyakainkannya.

Deg. Syok. Sakura berhenti berontak. Dia diam seketika setelah mendengar itu. Matanya membulat kaget, mulutnya terbuka kaku seolah sulit untuk berbicara.

“Neil yang kau lihat setiap harinya. Yang ada di sampingmu selama ini hanyalah bayangan Sakura. Dia tidak nyata” Tsunade mulai menangis saat mengatakannya. Sementara ibu dan ayahnya telah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

Sakit. Itu yang Sakura rasakan sekarang. Dipegangnya dada kirinya sakit dan perih itu bercampur menjadi satu. Kecewa dan sedihpun telah meluap menjadi tetesan air mata yang mulai merembes keluar dari kelopak matanya membanjiri pipi putihnya. Sakura hanya dapat meringis menghadapi kebodohan dirinya saat ini.

***

Sementara itu dapat kita lihat terdapat sosok gelap di atas pohon maple berdiri dengan aura hitam terpancar dari seluruh tubuhnya. Wajahnya sangat datar namun terlihat jelas jika dia sangat marah. Matanya memancarkan semua emosi itu.

“Tsu-na-de” ucapnya lirih.

Awan hitam muncul entah darimana, berkumpul menutupi sang mentari yang indah. Diikuti dengan suara guntur yang menggema dan kilat yang mulai menyambar-nyambar.

“Rasakan akibatnya jika kau mencoba merebut milikku” ujarnya dengan evilsmirk yang terpahat dibibir sexynya. Melunturkan senyum ceria yang biasa menjadi kekhasan dirinya.

***

Tsunade menoleh kearah jendela. Dapat dirasakan olehnya bahaya yang akan muncul sebentar lagi. Aura khas yang hanya muncul dari seseorang yang paling dikenal olehnya. Orang yang telah tiada lima puluh tahun yang lalu. Tadayama Neil.

Prang… Pyar… Seketika itu pula semua kaca dan guci yang ada diruangan itu pecah begitu saja. Semua orang termasuk Sakura kaget dan mulai takut. Dan berlanjut dengan barang-barang yang mulai terbang sendiri tidak ada yang mengendalikannya. Namun anehnya hanya benda-benda tajam yang melayang. Ada apa ini? Ada apa lagi?

Sakura mulai pening dengan keanehan ini. Kenyataan pahit yang dialami olehnya. Dan masih menjadi misteri dalam kehidupannya. Tapi ada hal yang masih dia bingung lalu Neil itu apa?

“Tsunade san. Lalu siapa Neil?” tanya Sakura  yang masih linglung kurang memahami bahaya yang akan datang. Sementara  ibu dan ayahnya hanya dapat tepuk jidat karena kurang pekanya putri mereka. Tsunade menghela nafas maklum dan akan menjawab namun…

Angin berhembus kencang ke dalam ruangan tersebut dan dapat dilihat bayangan seseorang yang berdiri diatas pagar pembatas sambil menyender pinggiran jendela. Tak lupa dengan evilsmirknya.

“Ohayo minna…” sapa sosok itu. “Dan ohayo Sakura sama” lanjutnya sambil menatap Sakura yang terpaku padanya. Setelah membungkuk sebagai tanda hormat sosok itu kembali keposisi tegapnya dan menoleh kearah Tsunade dengan menatapnya penuh benci.

“Hmm… Lama tak berjumpa obasama. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil mendekati Tsunade yang semakin mundur saat didekatinya. Dan berhenti tepat didepan Sakura dan orangtuanya.

“Ah ya ini juga kali pertama kita bertemukan? Maaf atas ketidak sopananku” ucapnya sambil membungkuk hormat pada Kizashi dan istrinya yang menatapnya takut. Sementara Sakura menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

Kesempatan. Tsunade mengambil salah satu pedang yang melayang dan menebas sosok yang membelakanginya tersebut namun… Prang! Pedang itu jatuh dan patah menjadi dua sebelum mengenai punggung sasarannya. Semua orang kaget termasuk Sakura. Mereka melihat Tsunade yang tak berdaya ada dicengkraman sasarannya tersebut.

“Inikah caramu menyambut kawan lama? Tsu-na-de” ujar sosok itu sambil mencekik leher wanita berkuncir dua itu. Tsunade hanya mendecih tak suka dengan sebutan ‘kawan lama’ dari sosok dihadapannya ini.

“Siapa kau?” pertanyaan itu memecah ketegangan yang ada diantara Tsunade dan sosok itu. Dan pertanyaan itu berasal dari balik punggung sosok tersebut yang sekarang memegang senjata berupa katana.

Kaget. Tentu saja. Setelah lima belas tahun lamanya mereka bersama bagaimana bisa sosok gadis ini melupakannya. Bercanda dia. Dilepaskannya cengkramannya pada kawan lamanya Tsunade dan berbalik menghadap gadis miliknya itu. “Sakura…” panggilnya.

Hening. Tak ada jawaban.

“Sakura. Ini aku” ucapnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak ada respon. Dia menghela nafas dan tersenyum maklum.

“Sakura ini aku Neil. Sahabatmu hime. Lupakah dirimu padaku?” ujarnya kembali sambil berusaha mendekati Sakura yang terus berjalan mundur sambil menghunuskan pedang kearahnya dengan setianya.

“Sakura turunkan pedangmu. Ini aku Neil” perih. Rasanya perih sekali saat melihat wanita yang kita puja tidak menghiraukan kita.

“Siapa kau?” mengakhiri kebisuannya. Dengan tatapan tajam dan tetap menghunuskan pedang kearah pemuda itu. Dapat dilihat kekagetan yang terpancar dari wajah rupawan Neil. Rahnggnya mulai mengeras pertanda amarahnya sudah diujung tanduk.

Neil mendesis tak suka dengan pertanyaan itu. Dia sudah muak dengan semua ini. Kenapa disaat dia akan hidup kembali menjadi manusia dia harus menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh penjaga brengseknya, Tsunade!

“Aku Neil. Tadayama Neil. Sahabatmu.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata.

“Siapa kau?” tanya Sakura lagi.

“Neil. Sahabatmu” jawab Neil sambil menatap Sakura tajam.

“Sekali lagi aku tanya padamu. SIAPA KAU?!” bentak Sakura penuh emosi menanyakan siapa dirinya. Diam. Semua orang diam saat mendengar bentakan Sakura yang sarat akan amarah.

Cukup. Neil tidak dapat menahannya lagi. Ditatapnya gadis kesayangnnya itu penuh kasih.

“Aku Neil, sahabatmu yang selalu ada untukmu. Yang selalu menemanimu dikala senang maupun sedih. Yang selalu memelukmu setiap malam. Yang selalu menghapus air mata yang keluar dari mata indahmu. Yang…”

“Selalu menghisap jiwaku setiap malam demi kehidupanmu. Benar?” potong Sakura. Ya Sakura sadar sekarang kesalahan besar dalam hidupnya.

“Neil…” ucapnya sendu. Sementara sosok yang dipanggil hanya diam tanpa suara. Nyatanya rahasia terbesarnya terbongkar sekarang.

“Aku…” air mata mulai jatuh membasahi pipi Sakura lagi.”Membencimu…”

Deg.

Prang… Prang… Prang…

Tak bisa. Tidak akan bisa. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sakura adalah miliknya. Sakura tidak boleh membencinya. Sakura adalah jembatan kehidupan keduanya. Tak bisa…

Kalau Sakura tidak mau menjadi miliknya. Maka kematian adalah pilihannya.

“Kalau begitu matilah…” ucapnya lirih sambil menyerang Sakura. Jleb.”Aaagh…” suara rintihan kesakitan itu menggema hingga keluar. Darah mulai mengalir dengan deras membasahi tubuh dan lantai disekitarnya. Semua terpaku kaget. Bahkan Neil.”Tidaaakkkkkk.…!!!!!!!!!!!!!” Suara gutur melengkapi jeritan tangis itu. Kilat menyambar-nyambar di atas rumah itu. Hujan turun semakin deras meredam jeritan-jeritan pilu yang menyayat hati. Langit menjadi saksi pengorbanannya untuk keluarga tercintanya.

***

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu Sakura…” ujar Kizashi pada sang putri tercintanya.

“Maaf jika kami membuatmu selalu kesepian Sakura” timpal Mebuki.

“Ini adalah pengorbanan yang impas untuk membalas kesedihanmu.” Ucap mereka.

‘Seandainya saja aku lebih memahami mereka…’

‘Mungkin mereka tak akan pergi’

***

“Hoi Sakura! Hoii” suara cempreng dari seorang pemuda membangunkannya dari kenangan masa lalunya. Pemuda pirang  yang membungkuk sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sakura menatap penuh tanda tanya. Dan berucap “Kau kenapa melamun?”

“Sakura memikirkan bagaimana caranya memberi pelajaran pada kalian berdua!” sentak Ino pada dua pemuda dihadapan mereka ini. Sementara Sakura, hanya diam melihat pertengkaran Ino dan Naruto. Sementara Sasuke masih menatap Sakura lekat seolah meminta kejelasan.

“Aku hanya rindu mereka saja hehehe” jawab Sakura sambil cengengesan.

“Hn” jawab Sasuke sambil duduk di samping Sakura “Maaf soal kemarin”

“Hn. Daijobu” ucap Sakura sambil tersenyum pada Sasuke.

Inilah hidupnya sekarang. Dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu ada untuknya. Walau dia hidup sendiri sekarang tapi rasanya masih terasa hidup bersama keluarga.

‘Neil, aku merindukanmu… Sahabatku….’

24 - 30 Desember 2015