Tampilkan postingan dengan label Pengorbanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengorbanan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Mei 2020

Pengorbanan

Ditengan-tengah obrolan yang sering mereka lakukan setiap malam. Bram suaminya bertanya padanya.

"Apa yang paling membuatmu sedih di dunia ini?". Tanya Bram pada Meri.

"Mmh....". Meri terdiam sejenak kemudian menjawab. "Jika aku tak lagi bisa hidup bersama dengan orang yang paling aku cintai". Jawabnya sambil mengecup pipi Bram. Keduanya tersenyum.

Malam itu berlalu tanpa masalah. Kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan berdua. Karna belum dikaruniai seorang anak meskipun pernikahan sudah berjalan dua tahun.

Hari itu Bram begitu berbeda. Ia tak sehangat selama ini. Tiba-tiba saja berubah menjadi sosok suami yang begitu dingin. Kamipun mulai jarang mengobrol. Ia lebih sering di depan laptop dan menelpon teman kantornya yang adalah seorang wanita. Aku tau, tak semestinya aku cemburu. Karna itu memang urusan pekerjaan. Raya nama perempuan itu. Dia tidak terlalu cantik, tapi berkulit bersih dan memiliki postur tubuh yang bagus seperti seorang model. Rambutnya panjang tapi lebih sering diikat. Itu yang aku pernah lihat dan dengar dari suamiku. Semua pembicaraan mereka tidak kumengerti. Mungkin bahasa orang kantor.

Beberapa minggu kemudian Bram ditugaskan ke Singapur oleh perusahaan tempatnya bekerja. Namun tidak seperti biasa. Ia pergi seorang diri tanpa mengajakku. Biasanya jika Ia dapat tugas luar kota atau luar negri, dia selalu membawaku ikut serta. Lagipula, perusahaan tidak keberatan selama aku tidak mengganggu pekerjaannya. Aku bahkan malah membantunya. Ketika Ia pergi bertugas, aku akan diam di hotel atau penginapan tempat kami tinggal selama masa tugasnya. Aku membantunya membuat sarapan, merapikan pakaian kerjanya, merapikan documen atau alat tulisnya ke dalam tas kerjanya, dan lainnya. Sehingga aku justru membantunya.

Namun entah kenapa kali ini Ia pergi sendiri. "Nanti siapa yang siapin sarapan kamu, pakaianmu, dan tas kerjamu disana?". Tanyaku dengan tatapan heran mengapa belakangan ini dia seperti menjaga jarak dariku.

"Aku ini bukan anak kecil Mer. Kamu tuh aneh ya. Selama tugas kan aku tinggal di hotel. Tinggal telpon pelayan antar makanan, hotel juga ada pelayanan laundry, tas kerjaku itu isinya lebih sedikit dari makeup kamu. Aku bisa aja rapihin sendiri. Selama ini kan kamu yang mau ngerjain semuanya. Aku gak minta".

Meri shock mendengar ucapan suaminya yang tumben sekali bisa bicara kasar seperti itu.

Sebetulnya Meri sudah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan dalam rumah tangganya belakangan ini. Tapi Ia selalu menepisnya. Ia hanya berdoa semoga tidak ada yang terjadi pada Bram. Akhirnya Bram pergi bertugas.

Hari itu Meri merasa sakit. Air matanya berlinangan. Tapi Ia tetap bertahan pada pendiriannya bahwa semua akan kembali baik seperti semula ketika Bram pulang nanti. Tapi hari itu, ternyata Meri tidak hanya merasakan sakit di hatinya. Kepalanya terasa berat, dadanya terasa sesak. Khawatir terjadi sesuatu. Iapun pergi ke klinik.

"Anak keberapa mba?". Tanya dokter.

"Anak?". Meri terkejut dengan pertanyaan sang dokter.

"Ooh jadi ini kehamilan pertama. Iya, jadi Mbanya merasa pusing, mual dan sesak karna sedang mengandung".

Meri bahagia bukan main. Ia merasa menjadi wanita yang paling sempurna dan bahagia ketika itu. Iapun kembali ke rumah.

Di rumah Ia berfikir akan memberi Bram kejutan ketika Ia pulang tugas nanti. Tapi entah kenapa rasanya Meri tak dapat menunggu lama untuk mengabari perihal kehamilannya pada Bram. Maka Iapun bergegas mengambil ponselnya dan menelpon Bram. Sekali, dua kali, tiga kali tak diangkat. WhatsApp tak terkirim. Ia masih positif thinking. Mungkin Bram sedang sibuk di luar dan tak ada wifi.

Malamnya Ia mencoba kembali menghubungi Bram. Tapi masih sama. Bram masih sulit dihubungi. Akhirnya dengan rasa penasaran teramat sangat, esok paginya Ia menelpon kantor Bram. Apa yang didapatnya sungguh membuatnya shock dan bingung.

"Pak Bram sudah sejak kemarin lusa tidak masuk kantor Bu. Katanya sudah ambil cuti selama seminggu. Ini dari mana ya?". Kata wanita yang mengangkat telpon Meri di kantor Bram.

"Cuti? Seminggu? Bukannya beliau sedang tugas luar ke singapur?". Tanya Meri kemudian.

"Pak Bram memang ambil cuti seminggu untuk ke singapur. Katanya mau liburan sama keluarganya karna sudah lama cutinya gak diambil. Maaf ini dari mana ya?". Tanya perempuan itu lagi.

"Maaf, kalo Mba Raya di bagian mana ya mba? Bisa saya bicara dengannya sekarang?". Tanya Meri selanjutnya.

"Raya? Siapa ya Mba. Setau saya selama saya bekerja disini, tidak ada karyawati bernama Raya disini".

Meri makin bingung. Khawatir orang kantor suaminya berpikir yang tidak-tidak, Meri segera menutup teleponnya. Ia bingung, dahinya mengerut sambil berpikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Jadi, siapa Raya yang selama ini dikatakan suaminya sebagai teman kantor?

Meri bergegas menuju ruangan kerja suaminya. Namun sayang. Pintunya terkunci. Rasanya semakin aneh. Belum pernah Bram mengunci ruangan kerjanya selama ini. Apa yang disembunyikannya? Seribu tanya muncul dalam benaknya.

Ia masuk ke dalam kamarnya. Termenung di ranjang. Tanpa sengaja matanya tertuju pada buku telepon disamping ranjang. Meri membuka-buka buku tersebut dan untung saja Ia menemukan nomor telepon Raya. Segera Ia menghubungi nomor itu.

"Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Mba Raya?".

"Maaf, Ibu sedang tidak di rumah. Beliau ada urusan ke Singapur". Jawab pengurus rumah tangga yang mengangkat telepon Meri.

Perasaan Meri bercampur aduk. Belum tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi hatinya sudah terasa hancur lebur. Kemungkinan besar suaminya pergi ke singapur bersama Raya. Keduanya sulit dihubungi.

Akhirnya tanggal kepulangan Bram hari ini. Meri tidak tau jam berapa Bram akan tiba di bandara. Karna selama kepergiannya, mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Bram benar-benar tidak bisa dihubungi. Sehingga hari itu Meri menuju bandara pagi-pagi sekali. Biarlah Ia menunggu dengan lama. Yang terpenting baginya semua harus jelas.

Dari kejauhan, tampak Bram muncul perlahan bersamaan dengan keramaian yang tampak. Benar saja dugaan Meri. Bram berjalan beriringan dengan Raya. Hanya berdua saja. Meri terdiam mematung. Entah apa yang akan Ia hadapi. Ia berdoa dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa suaminya akan menjelaskan semua persoalan yang ada. Tapi......

"Aku gak nyangka sih kamu nunggu disini. Padahal kamu gak tau aku sampai sini jam berapa. Bisa aja besok kan". Kata Bram dihadapan Meri. Hati Meri masih berguncang hebat. Sulit dikendalikan. Tapi belum lagi Meri mengucap sepatah katapun, Bram melanjutkan bicaranya.

"Sebetulnya aku mau ngomongin ini di rumah. Tapi karna kamu udah terlanjur liat. Aku akan jujur aja disini. Maaf selama ini udah bohongin kamu. Raya yang sekarang ada disamping aku sebenernya bukan teman kantorku. Aku ingin kita pisah. Kita sudahi sampai disini pernikahan kita. Aku ingin bersama Raya. Jadi mulai hari ini aku ga akan pulang ke rumah. Maaf kalau harus seperti ini". Bram bicara seperti itu sambil menggenggam tangan Raya.

Meri terdiam. Terlalu sakit sampai-sampai air mata sulit keluar. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Meri. Ia membalik badan kemudian berjalan pulang tanpa bicara apapun bahkan tanpa menoleh ke belakang ke arah dimana suaminya masih berdiri bersama perempuan itu. Sampai di rumah, Meri memandang ke segala arah bagian rumahnya. Memandangi satu persatu setiap barang-barang dalam rumahnya yang memiliki kenangan indah bersama suaminya yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Bahkan Ia belum membicarakan pasal kehamilannya. Ia tak sanggup.

Tak berapa lama Bram muncul. Kemudian Ia masuk dan mengajak Meri bicara. Namun Meri hanya diam membisu. Mendengarkan setiap kata yang Bram ucapkan. Betul-betul terdiam hingga air matapun sulit keluar.

"Tempat tinggal kita ada dua. Sekarang aku membebaskanmu memilih. Kau mau tetap tinggal disini, atau kau pindah ke apartemen?". Tanya Bram pada Meri.

Meri memilih tinggal di apartemen mereka. Karna Ia tak sanggup jika harus tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama Bram selama ini. Semuanya kenangan manis. Kecuali hari ini. Jadi Ia putuskan untuk keluar.

Tanpa terasa 2 tahun berlalu. Meri masih tetap hidup berdua saja dengan putrinya Keira. Sebetulnya Ia bermaksud ingin mengenalkan Keira pada Ayahnya. Tapi Meri belum siap bertemu Bram. Entah perasaan apa dihatinya. Masih cintakah atau malah kebencian yang mendalam. Yang jelas Ia belum siap mempertemukan Keira dengan Ayahnya.

Ketika umur Keira 3 tahun, tibalah harinya dimana akhirnya Keira mempertanyakan keberadaan Ayahnya.

"Ma, kenapa Keira gak punya Papa?". Tanyanya sambil menatap wajah Ibunya dengan mata sendu dan wajah mungilnya yang sungguh menggemaskan.

"Keira punya Papa. Besok kita ketemu Papa ya". Jawab Meri sambil mengangkat tubuh mungil Keira. Esoknya dengan perasaan tegang bercampur cemas, Meri mempersiapkan diri dan hatinya untuk bertemu dengan Bram. Ia belum tau apa yang akan Ia ucapkan nanti saat bertemu Bram. Apa yang akan Ia katakan. Dan apakah Ia akan sanggup bertemu Bram dengan keluarga barunya.

Mungkin saja Bram dan Raya telah memiliki anak. Lalu Keira? Apakah Keira tidak diinginkan Bram nantinya. Seribu tanya dan ketakutan hampir saja menyurutkan langkahnya untuk mempertemukan Bram dengan putrinya. Namun saat melihat kegembiraan dan keriangan wajah serta tingkah laku Keira yang sudah tidak sabar ingin bertemu Ayahnya, tekad Meri muncul lagi.

Merekapun bergegas menuju rumah Bram yang adalah tempat tinggal Meri juga sebelumnya. Saat sampai di rumah itu. Meri tak sanggup melangkah ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu.

"Bram masih saja ceroboh. Tidak pernah menutup pintu". Batin Meri masih sambil berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba terlihat Bram, Raya, seorang anak kecil, dan seorang lagi pria dewasa yang entah siapa dia. Benar saja dugaan Meri. Bahwa mungkin saja Bram sudah memiliki anak. Meri semakin takut. Saat ia berbalik arah sambil menggendong Keira untuk kembali pulang, tiba-tiba saja anak di dalam rumah itu bicara.

"Om Bram harus makan. Katanya Om mau ketemuin aku sama Keira anak Om. Jadi Om harus sehat". Ucap anak itu kepada Bram.

Meri lantas menghentikan langkahnya. Ia kembali ke ambang pintu, namun kali ini sedikit bergeser agar tidak terlihat dari dalam. Ia penasaran. Mengapa anak itu bicara seperti itu. Jika memang Ia bukan anak Bram. Bagaimana mereka tau tentang Keira.

"Abang harus makan kalo mau tetap sehat. Abang ingat kan apa kata Raya. Aku harus berangkat Bang. Abang nurut ya sama Raya". Kata laki-laki itu sambil mengambil tas kerjanya dan akan bergegas keluar. Terlihat raya mencium tangan laki-laki itu kemudian laki-laki itu mencium kening Raya sambil berucap "Kamu pastikan abang makan ya. Jangan lengah. Dia harus bertemu Keira untuk memotivasinya. Tapi masih saja dia enggan menemui mereka".

Saat laki-laki itu berjalan menuju pintu. Mereka berpapasan.

"Mba Meri"

"Rio"

Sama-sama terkejut. Kemudian Raya keluar karna mendengar mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?". Tanya Meri penasaran. Akhirnya Raya dan laki-laki yang ternyata adalah Rio sepupunya Bram mempersilahkan Meri dan Keira masuk.

"Maaf Mba. Selama ini kami membantu Abang demi kalian. Itu kata Bang Bram. Meskipun aku tak setuju. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang sedang dekat dengan Raya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Bang Bram ke rumah sakit tempat Raya bekerja. Kebetulan Raya ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh dokter Bang Bram sebelumnya untuk proses kemoterapi abang waktu itu. Sayangnya abang datang terlambat Mba. Kankernya sudah stadium akhir".

Terkejut bukan main Meri mendengar cerita itu. Ia tak pernah habis pikir. Bagaimana bisa disaat-saat sepenting itu, disaat seharusnya Ia lebih dubutuhkan. Tapi malah justru Bram memilih menjalaninya seorang diri. Rio melanjutkan ceritanya. Sementara Bram sedang terlelap di dalam kamar dan tak menyadari kehadiran Meri dan putrinya di ruang tamu.

"Maafkan saya Mba Meri". Lanjut Raya. Kali ini Raya yang melanjutkan penjelasan tentang kondisi Bram sejak empat tahun lalu hingga hari ini.

"Hari itu, aku bilang sama Rio yang saat itu masih berstatus pacarku Mba, bahwa abangnya mengidap kanker otak stadium akhir. Aku katakan pada Rio bahwa Ia masih bisa di kemoterapi dan mengkonsumsi obat untuk memperpanjang umurnya. Syukur-syukur siapa tau dalam perjalanan pengobatan kita bisa mematikan sel kankernya. Hari itu juga Bang Bram memintaku menghubungi Rio dan meminta kami menyembunyikannya dari Mba Meri. Kata Bang Bram dia pernah bertanya sama Mba Meri. Apa yang paling mba Meri takutkan di dunia ini. Dan jawaban Mba Meri adalah tidak bisa lagi hidup bersama dengan orang yang Mba cintai. Karna itulah Bang Bram ingin sekali Mba Meri membenci dia, agar ketika nanti Bang Bram tidak berumur panjang, Mba Meri tidak merasakan kesedihan".

Seketika itu juga tubuh Meri bergetar, mengingat betapa dulu Ia sangat mencintai suaminya itu. Bahkan mungkin hingga detik ini. Iapun berlari ke dalam rumah mencari sosok mantan suaminya itu.

"Maas...... Mas Bram. Kamu dimana". Teriaknya sambil terisak. Bram keluar dari dalam kamar. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya sangaat kurus hingga seperti tersisa tulang saja. Rambutnyapun habis. Tapi mendengar suara Meri, seketika Ia sanggup berjalan. Keduanya berpelukan sangat erat. Melepas rindu yang selama ini terpendam dan tertutup benci di hati Meri.

Bram meminta maaf karna telah membuat Meri sakit hati dengan berpura-pura menjalin hubungan dengan Raya yang ternyata saat itu adalah calon adik iparnya. Meripun meminta maaf karna tidak peka dengan apa yang terjadi pada Bram.

Raya menjelaskan sebagai seorang Dokter. Bahwa Bram masih bertahan hingga detik ini karna ia termotivasi ingin menemui Keira putrinya. Bram tau bahwa waktu itu Meri tengah hamil. Sejak perpisahan mereka, tak satu haripun Bram lewatkan untuk memantau kehidupan Meri dan putrinya dari kejauhan. Bahkan Bram menyewa orang untuk mengintai Meri dan Keira setiap hari di apartemen mereka. Takut-takut terjadi sesuatu pada mereka. itu sebabnya Bram sudah sangat mengenal Keira.

Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk lagi. Meri meyakinkan Bram bahwa Ialah yang paling pantas mengurus Bram disaat-saat seperti ini. Awalnya Bram menolak. Ia ingin Meri menemukan kebahagiaannya sendiri. Tapi Meri meyakinkan, jika selama empat tahun ini saja Bram bisa bertahan, apakah tidak mungkin Bram bertahan lebih lama jika hidup bersama putrinya. Merekapun kembali bersama.

Setahun setelah kebersamaan mereka, akhirnya Bram menghembuskan nafas terakhirnya. Dipangkuan orang yang paling dicintainya. Walaupun terlalu sedih, tapi Meri tetap bersyukur bahwa Bram bisa menghabiskan sisa hidupnya bersamanya dan Keira. Untunglah setahun lalu itu Meri memutuskan mempertemukan Keira dengan Ayahnya. Jika tidak, mungkin Ia sudah menyesal seumur hidupnya.

Pengorbanan Bram demi Meri dan Keira sangat sulit dimengerti oleh orang yang tak merasakan kehidupan sepertinya. Bagaimana bisa disaat-saat seperti itu, Ia justru lebih memilih dibenci istrinya agar disisa hidupnya tidak menyusahkan sang istri. Namun, keluarga yang baik adalah mereka yang bisa saling menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya. Bukan yang hanya ingin hidup ketika hanya sedang bahagia.

* S E K I A N *