Tampilkan postingan dengan label menulis cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menulis cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Mei 2020

Konflik Rumah Tangga

Ia menikah diumur yang cukup matang. 25 tahun usianya saat itu. Menikah dengan laki-laki mapan yang sanggup memenuhi semua kebutuhan bahkan keinginannya. Setahun menikah langsung dikaruniai seorang putri. Sungguh beruntung. Paling tidak, itu yang dianggap orang-orang di sekelilingnya. Tinggal di rumah dengan fasilitas yang cukup baik, putri kecil cantik dengan suami tampan yang mapan, nyatanya belum cukup membuatnya bahagia.

Hari-harinya sebagai seorang Ibu rumah tangga membuatnya cukup sibuk setiap harinya. Selain menguras tenaga juga sering menguras pikiran akan suaminya yang lebih sering sibuk dengan pekerjaannya.

Dari pagi hingga petang sibuk mengurus kebutuhan suami dan anaknya. Menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja, memandikan anak, bersih-bersih, mencuci piring dan pakaian, menemani anak bermain, ditambah lagi ketika anaknya bertambah umur dan sudah wajib ke sekolah. Harinyapun semakin sibuk. Mengantar dan menjemput sang anak.

Tidak jarang ketika hari mulai petang. Rasa lelah menghinggapi. Menanti kepulangan suami yang tak pasti jam berapa sampai di rumah. Terkadang saat suami sampai di rumah, keduanya sudah sangat lelah, jangankan waktu mengobrol, menengok putrinyapun tidak sering suaminya lakukan. Karna sudah lelahnya.

Akibatnya, ketika libur tiba, obrolan hanya sampai kepada keluh kesah saja. Jarang ada kegembiraan. Harta melimpah, fasilitas bagus di rumahpun serasa tak berguna. Menanggapi keluhan sang istri yang merasa selalu capek setiap harinya sehingga jarang bisa menyambutnya pulang ditanggapinya dengan biasa saja. Solusi akhir, merekrut asisten rumah tangga menjadi pilihan.

Diawal Ia merasa sangat terbantu. Dengan adanya ART, Ia bisa sedikit terbantu. Tidak lagi harus bersih-bersih rumah, mencuci, menyetrika, menyiram tanaman, dan lainnya.

Dengan uang yang Ia punya dan banyak waktu luang, harusnya Ia sudah cukup bahagia. Bisa pergi jalan-jalan atau bahkan belanja tanpa khawatir rumah berantakan. Tapi ekspektasi orang-orang tidaklah semanis kenyataannya. Setiap habis belanja dan jalan-jalan Ia tetap merasa kesepian di rumah. Anaknya yang beranjak besar, kini sudah memilih berkegiatan sendiri di dalam kamar. Entah membaca, belajar atau bahkan bermain gadget.

Alhasil Ia hanya bisa memandangi tumpukan belanjaannya saja. Saat suami pulang larut. Ia mencoba menyambutnya dengan manis. Membuatkannya makanan, minuman hangat, tak jarang memeluknya. Tapi sayang, pekerjaan di kantor cukup menguras tenaga, pikiran, bahkan emosi. Sehingga suami jarang menggubris sambutan istrinya.

Ia sedih, merasa sendirian disaat orang-orang berpikir hidupnya sangatlah nyaman. Harta melimpah, putri cantik, suami tampan dan mapan. Apalah artinya jika Ia tetap merasa kesepian. Sehingga hari-harinya hanya berisi kekesalan, emosi, sering marah-marah tanpa sebab. Karna kurangnya dukungan, perhatian dan kasih sayang suaminya.

Disuatu ketika, Ia dihadapkan pada kenyataan yang sangat pahit. Suaminya jatuh bangkrut. Perusahaannya tutup dan akhirnya, sang suami lebih sering di rumah. Awalnya semua masih baik-baik saja. Mereka masih bisa hidup dengan sisa tabungan yang mereka punya. Terpaksa ART dipulangkan karna sudah tak sanggup memberi gaji bulanan. Ia berbesar hati kembali mengerjakan seluruh pekerjaan rumah seperti sedia kala. Sibuk setiap hari. Namun kali ini ditemani sang suami yang tengah menganggur.

Suaminya melihat betapa lelah istrinya mengurus segalanya sendiri. Maka Iapun membantu. Mereka hidup dengan tenang, terlebih lagi Ia merasa diperhatikan suaminya belakangan ini. Tentu saja, mungkin karna suami tidak bekerja dan melihat kelelahan istrinya.

Namun makin lama hari-hari semakin sulit. Tabungan menipis. Mereka harus cari cara agar tetap dapat melangsungkan hidup. Lagi-lagi Ia dihadapkan pada keluhan sang istri. "Gimana ini mas? Sudah sebulan kita menunggak air, listrik dan SPP putri".

"Aku juga gak diam aja kan kamu liat sendiri setiap hari aku cari-cari pekerjaan. Tapi belum ada satupun panggilan. Trus menurutmu aku harus gimana?".

Akhirnya tak jarang pertengkaran demi pertengkaran terjadi lagi seperti dulu. Namun dengan masalah yang berbeda. Jika dulu karna waktu dan komunikasi yang jarang terjadi, kini karna masalah ekonomi.

Tari memutuskan berdagang kue-kue kecil di depan rumahnya. Mengandalkan keahliannya memasak, akhirnya sedikit demi sedikit ekonomi mereka terbantu meski tidak bisa semewah dulu. Setidaknya mereka tidak lagi kelaparan seperti selama ini.

Tapi lagi-lagi terjadi ketidak harmonisan dalam rumah tangga mereka. Bagaimana tidak, Tari harus mengurus rumah sendiri, mengurua anak dan suami, tapi Ia juga yang mencari nafkah. Lagi-lagi Ia sering emosi karna lelah. Bima bukan tidak mau membantu Tari berdagang, tapi Ia sama sekali tidak bisa memasak. Ketika waktunya menjajakan dagangan, Ia malah santai di dalam rumah. Sehingga terkesan sama sekali tidak mau membantu istrinya.

"Aku capek kalo begini terus setiap hari. Kamu tuh kaya ga ada gunanya ya dihidup aku. Semua kerjaan aku yang pegang. Kamu cuma anter jemput Putri. Itupun kalo Putri lagi gak ikut bus sekolah. Cari duit enggak, bantu rumah juga enggak. Apa gunanya ada kepala rumah tangga?".

Puncaknya, Tari memutuskan berpisah. Hingga sekarang Ia menjanda. Suaminya telah menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Ya, sudah yang ketiga kali. Setelah berpisah dari Tari, Bima pernah menikah sekali dan gagal lagi, kini Ia menikah lagi. Entah untuk berapa lama.

Sedang Tari tetap pada pemikirannya bahwa menikah hanya menambah pekerjaan mengurus rumah dan orang lain. Sehingga Ia tetap menjanda. Tidak menutup kemungkinan bila saja Tari menikah, mungkin Ia juga akan sama gagalnya dengan Bima mantan suaminya.

Apakah perpisahan mereka dikarenakan orang ketiga? Ternyata tidak sama sekali. Namun sifat tidak pernah puas dan kurang bersyukurlah yang menjadi pemicunya.

*S E K I A N*

Moral of the story.

Ketika memiliki banyak harta, tidak punya banyak waktu.

Ketika punya banyak waktu, kekurangan harta.

Mengapa tidak kamu syukuri apa yang telah kamu miliki?

Andai saja kehidupan berumah tangga bisa saling melengkapi, menghargai dan mengerti, pasti tidaklah akan terjadi perpisahan.

Meski kamu para suami sudah sangat mapan dan merasa sanggup memberikan hartamu bahkan dunia, percayalah keluargamu tidak hanya butuh itu.

Meski kamu para istri merasa lelah dengan semua pekerjaan, bersabarlah, akan tiba masanya lelahmu pasti terbayar.

Semoga kita menjadi pribadi yang dapat melengkapi satu sama lain dengan pasangan kita.