Minggu, 17 Mei 2020

Menikah

Hukuman. Ini hukuman buatku. Mungkin aku memang pantas menerima ini semua. Sudah dua tahun Mas Bali suamiku terbaring koma di rumah sakit. Bahkan asuransi kesehatannyapun sudah tidak lagi mengcover semua biaya pengobatannya. Di awal tahun kemarin, dokter menyarankanku untuk melepas semua mesin penopang hidupnya.

Karna mesin-mesin itulah jantung Mas Bali masih berdenyut, Nafas Mas Bali masih tersisa. Padahal sebetulnya, jika tanpa mesin-mesin itu, Mas Bali sudah tiada. Karna asuransi sudah tidak mengcover, harta kamipun sudah habis banyak, dokter beberapa kali menyaranku menandatangani dokumen persetujuan pelepasan mesin penopang hidup Mas Bali. Ya Allah, inikah karma buatku, inikah balasan yang Engkau berikan kepadaku karna dulu aku suudzon kepadaMu? Tak adakah hukuman yang lain?

Setiap saat aku berdoa, setiap saat aku memohon kepada Allah agar segera diberikan kekuatan atas apa yang harus aku lakukan. Apakah harus menyerah saja? Bagaimana dengan Jingga? Apa yang akan Ia katakan jika besar nanti Ia tau bahwa Ibunya sudah sangat tega menyerah membiarkan dokter melepas mesin penopang hidup Ayahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk.

Bagaimana karma ini bisa berlaku padaku? Berikut kujabarkan kisahku yang sudah dengan mudahnya bersikap Suudzon kepada Sang Pencipta.

**********

Pernikahan. Adalah satu kata yang paling membingungkan. Berkali-kali aku punya pacar. Tapi kesemuanya gagal akibat kesalahanku sendiri. Kenapa laki-laki mau menikah? Untuk apa? Karna agamakah? Atau apa? Setiap kali mereka melamarku, maka saat itu pula aku menolak dengan halus. Kukatakan aku tidak ingin menikah. Mereka bertanya "mengapa? sampai kapan aku mau sendiri?". Aku hanya terdiam. Dalam hati aku menjawab "Mungkin selamanya aku tidak akan menikah".

Untuk apa menikah jika nanti rasa itu akan hilang. Debar-debar semasa kita pacaran. Tegang saat sabtu sore menanti malam minggu untuk bertemu denganmu. Apa gunanya menikah jika rasa-rasa yang menyenangkan itu akan hilang? Aku tidak mau. Karna rasanya menyenangkan bersamamu dengan penuh debaran, penuh suka cita, rasa rindu yang teramat dalam karna dipisahkan oleh waktu malam dimana kami harus pulang ke rumah masing-masing.

Jika menikah? Pasti rasa itu akan segera hilang, rindu tidak akan ada lagi karna setiap saat bertemu di rumah. Bagaimana tidak, kita akan serumah. Tiap kali mereka meninggalkanku karna aku menolak menikah, maka tiap kali itu pula air mataku deras berjatuhan mengalahkan guyuran air hujan. Karna aku begitu mencintai laki-laki yang menjadi pacarku itu. Aku senang sekali menunggunya di rumah, menanti telponnya, messege nya, rasanya debar-debar itu menyenangkan luar biasa.

Bayangkan jika kita menikah. Setiap hari bertemu. Tidak akan jenuhkah kau padaku nanti? Apa iya kau tidak akan ilfil melihat caraku tidur? caraku makan? caraku berpakaian? tanpa makeup? Bagaimana hari-hari kita selanjutnya? Apa kabar kangen? Apa kabar debar-debar?

Hingga suatu hari, aku terpaksa mengiyakan lamaran pacarku yang terakhir ini. Aku akan menikah, akhirnya aku harus menikah juga. Bukan, bukan karna umurku yang sudah 30 tahun, tapi ini demi Ibu. Ibuku ingin melihat putri bungsunya ini menikah. Padahal Ibu sendiri tidak pernah bahagia dengan pernikahannya, bahkan kakak-kakakkupun seringkali mengeluhkan perihal suami mereka. Yang selalu seenaknya sendiri, tidak pernah membantu pekerjaan rumah, bahkan salah seorang kakakku hidup kekurangan karna suaminya tidak memiliki pekerjaan yang layak. Tak jarang aku dan Ibu mengulurkan bantuan keuangan untuknya. Aku merasa kasihan pada kakakku. Tapi itu pilihannya, menikah dengan laki-laki yang sederhana dengan pekerjaan yang tidak mencukupi.

Melihat keluarga kakak-kakakku, terlebih masa lalu Ibu dengan Ayah, membuatku semakin yakin bahwa manusia tidak harus menikah. Jika hanya ingin memiliki keturunan agar di hari tua ada yang merawat kita, aku bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Toh mereka pasti senang jika ada orang yang mau mengadopsi anak asuhnya dengan kehidupan yang layak. Jadi apa hakikatnya menikah?

Tapi ini terlanjur. Acara lamaran sudah berjalan. Dua bulan lagi aku menikah. Semakin menimbang-nimbang, semakin yakin aku tidak butuh menikah. Apalagi jika hanya demi Ibu. Toh aku yang akan menjalaninya nanti. Ibuku sedang sakit, Ia terus berucap bisa mati dengan tenang jika aku sudah menikah. Ituuu terus yang dia ucapkan. "Ya Allah Buu... bisakah kau hentikan ucapanmu yang ngawur itu? Ibu kan tau aku. Ibu mengenal baik putri bungsu Ibu ini tidak akan pernah menikah".

"Lalu, untuk apa kamu punya pacar? Laki-laki tujuan akhirnya itu pasti menikah. Jika kamu tidak ingin dinikahi, lalu buat apa kamu terima mereka jadi pacar kamu? Pacaran 2 tahun putus karna menolak dilamar, yang sebelumnya 1 tahun, bahkan ada yang sampai 3 tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kalian saling mengenal. Perasaan mereka pasti sudah sangat dalam padamu Ras. Malah kamu tolak lamaran mereka tanpa alasan. Kamu pikir mereka mengerti kamu? Mengerti kenapa kamu menolak lamaran mereka. Ibu saja sampai detik ini masih tidak mengerti kenapa kamu tidak suka pernikahan".

"Sudahlah Bu, Laras akan menikah. Laras turuti maunya Ibu. Tapi Ibu jangan salahkan Laras jika rumah tangga Laras gagal seperti Ibu. Kita sama Bu. Laras sama seperti Ibu. Laras bukan type perempuan yang akan mempertahankan mati-matian rumah tangganya dengan cara mengorbankan kebahagiaan sendiri. Jika Laras tidak bahagia, maka Laras akan menyerah dan menyudahi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi. Sama seperti Ibu yang meninggalkan Ayah karna tidak bahagia".

Ibu terdiam. Sebetulnya aku sadar kalimatku itu keterlaluan. Rumah tangga Ibu memang gagal. Tapi aku dengan sok taunya menjudge bahwa Ibu meninggalkan Ayah karna tidak bahagia. Toh memang seperti itu yang terlihat. Aku dan kakak-kakak tidak pernah tau alasan Ibu sebenarnya meninggalkan Ayah. Lagi pula kupikir, alasan apa lagi Ibu meninggalkan Ayah jika bukan karna Ia tidak bahagia dengan Ayah.

Akhirnya satu bulan lagi aku menikah. Aku makin bermalas-malasan bertemu Mas Bali calon suamiku. Aku makin mantap tidak ingin menikah. Tapi sayang Mas Bali sudah keburu menyebarkan undangan. Dalam benakku berkata "Biarlah kujalani dulu. Toh Allah tidak melarang perceraian dalam hukum Islam". SubhanAllah betapa buruknya sifat suudzonku itu kepada Allah saat itu.

Harinya tiba, pagi ini aku bersiap. Saudara-saudara sudah berkumpul. Singkat cerita, ijab qabul telah terlaksana. Hari ini aku telah menjadi seorang istri. Ya, istri Mas Bali. Laki-laki yang sangat aku cintai ini. Tidak kuduga, aku malah sangat bahagia sekarang. Aku menjadi Istri Mas Bali. Aku akan melihatnya setiap hari. "Lho, perasaan apa ini. Apaa... rasa ini akan terus berlangsung? Sementara aku akan setiap waktu melihatnya. Apakah aku akan bosan nantinya. Bagaimana dengan Mas Bali. Apakah justru dia yang akan segera merasa bosan melihatku setiap waktu di rumahnya?". Pikirku dalam hati.

Tanpa terasa, hari-hari kulalui dengan Mas Bali tanpa masalah berarti. Mas Bali memang mapan. Dia sudah memiliki rumah sendiri yang cukup besar. Sudah ada Mba Minah ART di rumah Mas Bali, juga Mang Diman pekerja kebunnya. Aku tidak perlu bersusah payah melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri. Hari-hariku hanya kuisi dengan kegiatanku sebelum menikah yaitu bisnis Fashion. Aku sudah resign dari tempatku bekerja, karna Mas Bali yang minta. Sebagai gantinya, Mas Bali memberikanku kesempatan untuk memperbesar bisnis fashion yang memang telah aku jalani sejak lama, namun masih usaha kecil-kecilan.

Dengan syarat, aku hanya boleh mengurus bisnisku jika Mas Bali sedang bekerja. Artinya, jika Ia sedang libur atau sudah pulang dari bekerja, aku sudah harus ada di rumah. Entah mengapa, syarat itu dengan mudahnya kupenuhi. Tanpa merasa terbebani, aku menjadi istri yang penurut. Tanpa sadar, aku menurut pada Mas Bali, karna Ia berhak dan pantas mendapatkan itu. Karna Mas Bali sendiri adalah sosok suami yang penuh tanggung jawab, pengertian, sabar, dan sangat memperhatikanku.

Tidak jarang aku merasa kangen padanya ketika Ia sedang tidak di rumah. Rasanya aneh. Sudah serumah, tiap hari bertemu, tapi rasa kangen masih sering muncul. Kadang jika aku merasa kangen, aku menelponnya. Dari sebrang telpon dia selalu mesra padaku. Semakin membuat aku diperhatikan, semakin membuat aku merasa di sayang.

Hari ini hujan turun. Mas Bali biasanya pulang selepas Maghrib. Maka setiap jam 5 sore, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku di butik. Jika tidak selesai, kutinggalkan saja dulu untuk dilanjut esok hari. "Ratih, saya pulang dulu ya. Kita tutup jam 8 aja hari ini. Hujan, sepertinya akan jarang orang yang datang. Kamu hati-hati ya, tutup semua pintu dan jendela, cek listrik. Matikan semua yang tidak dipakai". Begitu pesanku pada kepala tokoku Ratih.

Alhamdulilah, aku sudah memiliki 14 orang pegawai di butik. Termasuk Ratih yang aku percayakan menjadi kepala toko di butik pusatku. Karna aku punya satu butik lagi sebagai cabang di salah satu Mall di Jakarta ini. Berkat support Mas Bali. Usahaku lancar. Mungkin karna Ia Ikhlas mensupportku dan aku tunduk pada aturan suamiku. Sehingga Allah memberikan kelancaran pada bisnisku.

Selain sukses di bisnis, aku juga cukup bahagia dengan kehidupan rumah tanggaku. Terlebih lagi, dua tahun kemudian lahir "Jingga" putri pertama kami. Senangnya bukan main. Terkadang, aku merasa berdosa pada kehidupan masa laluku. Allah begitu baik memberikan kesempurnaan dalam kehidupanku sekarang. Padahal sebelumnya aku selalu suudzon tentang pernikahan.

Apa yang kupikir akan terjadi setelah menikah, semuanya nol besar. Rasa rindu yang aku takutkan akan menghilang, justru semakin sering aku rasakan ketika Mas Bali tidak di rumah. Padahal setiap malam kami bertemu. Tak jarang aku merengek manja padanya minta ditemani di rumah. Merayu Mas Bali agar mau cuti dari kantornya.

Dia sungguh lucu setiap kali aku manja padanya. Aku semakin jatuh hati pada suamiku Mas Bali. "Ya Allah semoga Engkau meridhoi jalan hidup kami berkeluarga, agar terus berkah dan bahagia sepanjang waktu sampai ajal menjemput". Begitu Doaku setiap kali selesai sholat. Aku sungguh menyesal telah berfikir negatif tentang pernikahan. Semuanya di luar dugaanku.

Aku sedang bahagia-bahagianya saat ini. Aku tengah mengandung anak kedua kami. Bahagia bukan main. Hari ini untuk merayakan kebahagiaan kami dengan kehadiran anak kedua kami kelak, aku, mas Bali, dan Jingga akan pergi berlibur ke Okinawa Jepang, kebetulan di sana sedang musim salju. Dan Jingga ingin sekali melihat salju. Aku berkemas dengan riang gembira sambil menunggu Mas Bali mengurus sebentar urusan di kantornya pagi ini. Kami akan berangkat sore nanti.

Jingga juga sudah tidak sabar sampai di sana. Sampai siang itu tiba-tiba. "Buu.... Bu..... Telepon dari Rumah Sakit Buu....". Kata Mba Minah dari luar pintu kamarku.

"Rumah sakit? ada apa mba?". Tanyaku pada Mba Minah. "Bapak Bu, Bapak...". Mbo Minah sambil menitikkan air mata menyerahkan telepon kepadaku di ambang pintu kamar.

Bagai disambar halilintar mendengar pernyataan perawat rumah sakit di sebrang telpon. Mas Bali mengalami kecelakaan saat pulang menuju rumah siang tadi. Mobilnya terhimpit dua kendaraan besar hingga mengakibatkan tubuh Mas Bali ikut tergencet, dan mengakibatkan banyak tulang yang patah. Untungnya Mas Bali masih bernafas.

Aku bergegas menuju rumah sakit, kutitipkan Jingga kepada Mba Minah. Sampai di rumah sakit, aku masih belum boleh menemui Mas Bali karna banyak yang harus dilakukan, termasuk memutuskan tindakan operasi pada Mas Bali. Aku diminta menandatangani dokumen persetujuan tindakan operasi. Aku yang linglung dan bingung tentu saja langsung segera menandatanganinya. Kulakukan apapun demi membuatnya sehat kembali.

Yang membuatku semakin histeris adalah kemungkinan keberhasilan operasi hanya 30% saja. "Ya Allah, sebegitu parahnyakah keadaan Mas Bali". Dokter bilang keberhasilan operasi kemungkinan hanya 30% tapi jika tidak dilakukan, maka dalam hitungan jam, Mas Bali akan pergi selamanya. Tidak ada pilihan bagiku selain 30% itu.

"Aku bersimpuh padaMu ya Rabb, kembalikan Mas Bali padaku, beri aku kesempatan mempertemukan anak kedua kami dengannya ya Allah". Aku terus berdoa tanpa putus, meski sedang tidak dalam keadaan sholat, mulutku terus berdoa sepanjang waktu. Memohon kesembuhannya, memohon keberhasilan 30% itu.

Alhamdulilah operasi dinyatakan berhasil. Mas Bali selamat. Namun masih dalam kondisi yang kurang stabil. Kami masih harus menunggu hasilnya. Entah besok atau lusa atau kapan Ia akan membuka mata.

Sudah di minggu kedua sejak Mas Bali selesai operasi, Ia belum juga membuka mata. Bahkan dokter menyatakan Mas Bali mengalami koma. Kemungkinan akan sangat lama baginya untuk bangun, karna banyak sekali organ tubuhnya yang rusak akibat kecelakaan itu. Aku diminta bersabar.

Di minggu ketiga mas Bali dirawat, kandunganku sudah mencapai sebelas minggu. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Darah mengalir deras tanpa henti. Kurasakan aku tak kuat lagi. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit. Mba Minah yang membawaku ke rumah sakit bersama Mang Diman. Ibu dan Kakak-kakakku sudah berada mengelilingiku di ruang rawat. Ibu mendekapku, sambil berbisik "Yang sabar ya Ndo... semua kehendak Allah. Apapun yang terjadi kamu harus kuat".

Aku tidak mengerti ucapan Ibu. Ka Mira menghampiriku, sambil menggenggam tanganku Ia berujar "Ras, kamu yang sabar ya Dek' kamuu... keguguran".

"Apa Mba? Gak mungkin Mba, aku jaga betul kandunganku, aku minum vitamin, aku banyak makan, aku sehat mba" . Air mataku deras mengalir. "Ya Allah bertubi-tubi kau memberiku cobaan. Inikah hukuman? Cobaan atau karmakah ini Ya Allah, ampuni Hamba ya Allah. Aku mohooon sudahi penderitaanku".

**********

"Bu, Laras minta maaf ya Bu. Selama ini sudah berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah". Kataku sambil mendekap Ibu dengan erat dan linangan air mata. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, aku hanya bisa menangis di dekapan Ibu, mengikhlaskan kepergian anak kedua kami, dan bersabar menghadapi keadaan Mas Bali.

"Sudahlah Ras, tak perlu kamu katakanpun Ibu sudah megerti kenapa kamu berpikiran seperti itu, bukan hanya kamu, tapi kalian memang tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah".

"Ibu sama sekali tidak menceritakan apa-apa ke kami tentang Ayah sejak kecil Bu. Mira cuma ingat waktu itu saat Mira dan Tasya masih kecil, Ibu menyeret kami berdua keluar rumah. Kemudian tinggal bersama Ibu di rumah kita yang sekarang masih Ibu tempati. Mira juga ingat, Ibu selalu berwajah sedih ketika Mira atau Tasya bertanya tentang Ayah. Laras yang masih dalam kandungan Ibu waktu itu, tentu saja tidak tau apa-apa Bu, terlebih lagi, Mira menceritakan kejadian itu kepada Laras saat Laras SMP. Wajar jika Laras berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah".

Ka' Mira berusaha mengingat-ingat kejadian Ibu dan dirinya serta Ka Tasya keluar dari rumah. Tapi hanya sebatas itu yang Ka Mira ingat.

"Kamu ingat Mira? Malam sebelum kita keluar dari rumah, Ibu bertengkar hebat dengan Ayah?". Tanya Ibu kepada Ka Mira mencoba mengingatkannya. Berharap Ka Mira masih mengingat kejadian malam itu.

"Iya Bu, Mira ingat. Itu sebabnya. Yang tertanam dibenak Mira dan Tasya adalah Ibu pergi meninggalkan Ayah karna tidak bahagia karna pertengakaran itu".

"Sebetulnya hari itu Ibu sama sekali tidak berniat meninggalkan Ayah. Sebenarnya Ayah kalian sakit kanker. Ia menderita selama beberapa tahun terakhir sebelum kita pergi meninggalkannya. Ibu berusaha tetap disampingnya, menjadi Istri yang baik baginya, juga Ibu yang selalu ada buat kalian. Tapi Ayah kalian terlalu berpikiran sempit. Ibu yang saat itu masih muda, malah ingin diceraikannya. Ayah ingin menceraikan Ibu agar Ibu bisa menikah lagi dengan laki-laki mapan yang sehat dan tidak menyusahkan Ibu. Waktu itu Ibu sama sekali tidak menduga dengan ucapan Ayah kalian".

Ibu terdiam ditengah-tengah ceritanya, melamun membayangkan kisah yang dulu pernah terjadi dengan Ayah. Kemudian melanjutkan kembali ceritanya yang cukup panjang.

"Ayah marah pada Ibu, Ia membentak Ibu dan memasukkan pakaian-pakaian Ibu juga Mira dan Tasya ke dalam koper besar, kemudian mengusir kami bertiga. Saat itu Ayah belum tau jika Ibu tengah mengandung Laras".

"Jadi Bu, bukan kita yang meninggalkan Ayah, tapi justru Ayah yang mengusir kita?". Tanya Ka' Tasya dengan raut wajah terbelalak karna kagetnya.

"Iya Tas, kita diusir Ayah. Karna Ia tidak ingin kita menderita mengurusnya. Rumah yang kita tempati sekarangpun sebenarnya juga rumah Ayah. Ayah kalian ingin kita pisah rumah agar kita tidak larut dan sibuk mengurusnya hingga melupakan kepentingan kita masing-masing. Ayah bilang, kita harus tetap hidup sehat dan bahagia tanpa perlu mengurusi orang sakit yang tidak berguna". Ibu meneruskan ceritanya, kali ini air matanya sudah tidak terbendung lagi.

"Ayah menyerahkan sertifikat rumah yang sekarang kita tempati bersama kuncinya, Ia bilang pada Ibu.........."

"Sekarang juga kau keluar dari rumah ini, bawa sertifikat rumah ini, dan ini kuncinya. Untuk sementara, tinggalah kalian di rumah itu. Jika nanti kau menemukan laki-laki yang mau bertanggung jawab dan sehat, menikahlah lagi. Aku sudah menceraikanmu. Ingat satu hal. Jangan pernah kembali kemari. Jangan pernah mengurusi hidupku yang sudah tidak lama ini".

Suara tangis Ibu kini semakin terdengar. Ia terus melanjutkan ceritanya.

"Setelah itu, kami hidup terpisah. Kita berempat menempati rumah itu hingga sekarang. Tak satu kalipun Ibu berpikir untuk menikah lagi. Tanpa sengaja ibu melihat sosok ayah mengintip dari balik pohon di halaman depan rumah, rupanya Ia terus mengawasi kehidupan kita. Padahal esoknya setelah kita pindah ke rumah itu, Ibu sempat kembali ke rumah kita yang dulu bersama Ayah. Tapi rupanya Ayah sudah menduga hal itu pasti terjadi, maka Ia pergi dari rumah itu juga setelah kita keluar. Ayah menjual rumah lama kita kemudian hidup entah di mana. Ibu tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.Ibu mencarinya ke rumah nenek, orangtua ayah di Bandung, tapi nihil. Ayah tidak di sana. Nenek dan Kakek dengan kekhawatirannya ikut membantu Ibu mencarinya. Tapi tidak pernah menemukan Ayah. Sampai pada suatu hari. Ada orang datang ke rumah Ibu membawa pesan dari nenek bahwa Ibu harus segera datang. Ketika Ibu datang ke rumah nenek, pemakaman Ayah sedang berlangsung".

Saat itu juga aku, Ka Mira, Ka Tasya juga Ibu menangis bersamaan, kami berpelukan dalam duka. Tidak kusangka, Ayah yang selama ini belum pernah kutemui. Bahkan wajahnya saja tidak pernah aku tau, ternyata sudah tiada sejak lama. Terlebih Ka Mira yang saat kecil sangat dekat dengan Ayah. Ia menangis paling lama, terkadang terdiam dalam lamunan.

"Maaf Bu, maafkan Laras sudah berlaku tidak adil pada Ibu. Laras sudah berpikiran negatif tentang Ibu terhadap Ayah. Maafkan Laras Bu".

Ibu mendekapku makin erat, dengan lembut Ia katakan "Sudahlah Laras, kau sama sekali tidak tau apa-apa. Jangan menyalahkan dirimu karna ini. Berdoa dan jangan menyerah pada kondisi suamimu. Jika Allah ingin Ia pergi, pasti Ia sudah pergi sejak dua tahun lalu saat pertama masuk rumah sakit ini. Dia masih terbaring lemah karna Allah menghendakinya. Ia ingin kau menyadari kesalahanmu yang telah bersikap suudzon kepadaNya saat kau memutuskan untuk tidak butuh menikah. Sekarang kau menyadarinya. InshaAllah, Allah akan memberikan jalan keluar setelah ini. Baik itu menyadarkannya dari koma, atau mengambilnya. Yang jelas, apapun keadaannya nanti, kau sudah harus siap menghadapinya".

Kalimat Ibu makin menyadarkanku bahwa aku harus bersabar sebentar lagi. Aku tidak akan menandatangani dokumen pernyataan persetujuan itu. Aku akan tetap tegar menanti Mas Bali bangun. Benar kata Ibu, ini karna kehendak Allah. Berapapun harta yang harus aku habiskan, aku tidak peduli, akan kukeluarkan semuanya demi suamiku tercinta.

Tidak lama setelah cerita Ibu selesai di ruang tunggu Rumah Sakit, tiba-tiba suster menghampiri kami. "Bu Laras, silahkan ke ruang rawat, ini mukjizat. Pak Hambali sadar, ini hari pertama Ia membuka mata Bu, silahkan segera menemuinya".

Seketika itu juga aku menghapus air mataku, ya Allah. Hanya dalam hitungan menit saat aku menyadari kesalahanku dan memohon kepadaMu diberikan jalan, Engkau langsung mengijabah doaku dan Ibu. Ya Allah sungguh Maha Besar Engkau atas segala kehendakmu.

Akhirnya Mas Bali terbangun dari komanya. Ia bingung kenapa ada di Rumah Sakit. Ia kaget setelah kuceritakan sudah dua tahun Ia terbaring di sini. Setelah itu, Mas Bali berangsur-angsur pulih. Ia sehat seperti sedia kala. Aku menjalani hari-hariku dengan lebih banyak bersyukur dan berjanji kepada Allah bahwa tidak akan pernah lagi suudzon kepadaNya. Terimakasih ya Allah, masih melindungi Mas Bali.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay

Cinta Pertama Eps.4 (Ending Story)

Rima terdiam mendengar ucapan Michele. Bagaimanapun Ia memang tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Meski lama tak bertemu, namun Tama tak pernah hilang dalam pikirannya. Namun begitu, Jamie yang setiap hari datang dan selalu ada untuk mereka juga tak bisa Ia singkirkan dari perasaannya begitu saja.

Terlebih lagi selama tahun-tahun belakangan ini, Jamie selalu menunjukkan sosok seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab bagi Michele. Sejak Michele kecil, meski mereka tak pernah menikah, namun jika ada acara kunjungan orangtua atau acara kekeluargaan lainnya di sekolah Michele, Jamie pasti menyempatkan diri menemani Rima dan Michele untuk menghadiri acara-acara tersebut.

Bagaimanapun, mereka sudah sangat terlihat seperti satu keluarga yang utuh. Walau di mulut Rima selalu menolak Jamie. Namun di relung hatinya yang paling dalam, perlahan-lahan Ia mulai mengagumi sosok Jamie sebagai laki-laki dewasa yang berhasil, penuh tanggung jawab, dan berwibawa sebagai seorang Ayah.

Rima tak tau apa yang harus Ia jawab atas pertanyaan Michele. Apakah sekarang ini Tama masih ada dalam hatinya? Ataukah tempat Tama perlahan-lahan sudah berhasil digantikan Jamie. Rima sendiri masih bingung.

"Sayang, mommy gak bisa jawab pertanyaanmu yang satu itu sekarang dan disini. Tapi Mommy janji, Mommy pasti akan menjawabnya nanti".

Begitu jawaban Rima atas pertanyaan Michele. Mendengar jawaban itu Jamie seakan mendapat kesempatan. Ia pikir, jikalah Rima masih sangat mencintai Tama. Seharusnya Ia mudah menjawabnya. Tapi dia bingung. Mungkinkah Ia sudah sedikit membuka hatinya untukku?

Begitu pikir Jamie saat itu.

"Michele, Daddy pamit dulu ya. Besok Daddy datang lagi seperti biasa. Kalo kamu mau pergi ke suatu tempat, Daddy temani kamu besok. Hari ini sepertinya Mommy butuh istirahat. Jadi kita gak usah ke mana-mana dulu supaya kamu bisa temani Mommy".

"Ok Dadd, it's okay. Besok Daddy datang aja. Aku belum tau mau ke mana. Om Tama, makasih banyak selama ini masih menanti Mommy. Meskipun begitu, Mommy belum bisa jawab dan kalaupun Mommy masih mencintai Om Tama. Apakah Om Tama bersedia kembali pada Mommy?".

Tiba-tiba Michele bertanya pertanyaan yang Tama sendiri bingung menjawabnya. Belasan tahun Ia menanti. Jujur saja karna cintanya yang sangat besar dan dalamlah yang membuat Ia masih saja sendiri sampai detik ini. Namun begitu, kini Rima telah menjadi seorang Ibu. Tama juga harus memikirkan bagaimana perasaan Michele. Maka Iapun menjawab,

"Michele, terus terang rasa cinta Om ke Mommy gak pernah hilang sampai detik ini. Om masih sangat mencintai Mommy kamu. Tapi satu hal yang harus kita pikirkan adalah bagaimana perasaan Mommy kamu terhadap Om. Bagaimanapun, Ia bebas memilih. Itu haknya. Lagipula Om sudah cukup mendapatkan jawaban kenapa selama ini Mommy kamu menghilang begitu saja dari kehidupan Om. Setidaknya pertanyaan itu telah terjawab".

Akhirnya pembicaraan panjang lebar itu ditutup dengan tandatanya tentang perasaan Rima terhadap Tama dan Jamie. Namun begitu, Jamie masih belum menyerah. Ia tetap bertahan pada pendiriannya meluluhkan hati Rima.

"Tam, apa benar lo akan membebaskan Rima memilih?". Tanya Jamie penasaran.

"Kenapa lu tanya itu? Terus terang Jame, gue masih kesel banget sama lo. Belasan tahun lo renggut dia dari gue dengan paksa. Kalo gue gak punya iman, udah gue bunuh lo di sini sekarang juga. Tapi mengingat kebahagiaan Rima yang hanya dia sendiri yang bisa menentukan, maka gue mencoba berbesar hati untuk melepaskan dia jika dia lebih milih lo. Tapi.... emang lo masih aja cinta sama dia? Lu kan gampang pindah hati".

"Itu dulu Tam. Dulu sekali. Saat kita masih sama-sama sekolah, masih ABG labil yang belum memikirkan masa depan. Kalo gue berniat menyerah untuk dapetin hati Rima, udah gue lakuin sejak dulu. Tapi gue gak pernah sedetikpun ninggalin Rima dan Michele karna mereka udah jadi bagian dari hidup gue. Meski pada akhirnya dia lebih milih lo Tam, gue akan tetap ada buat dia".

Entah apakah perkataan Jamie itu betul-betul dari hatinya atau bukan, yang jelas sepertinya Tama kali ini mengerti betapa besar rasa cinta Jamie kepada Rima. Yang patut disayangkan hanyalah, kenapa dia harus menggunakan cara paksa seperti itu hingga michele hadir di kehidupan Rimayang pada akhirnya merenggut juga kebahagiaan Tama.

*****

"BRUK....." Buku dan dokumen-dokumen yang di bawa gadis itu terjatuh berserakan. Tama membantunya memunguti dari lantai. "Maaf, maaf Mba. Saya betul-betul ngga sengaja" .

"Iya, gapapa Mas, saya juga meleng jalannya". Jawab perempuan itu dengan ramah.

"Lho, Tama?". Tiba-tiba saja perempuan itu menyebut nama Tama.

Tama terdiam membatu sambil memandang wajah perempuan itu. "Siapa ya? Koq kaya familiar banget wajahnya. Tapi agak-agak lupa". Jawab Tama kemudian.

"Ya ampun Tama apa kabar? Pasti lupa ya? ini gue Tita. Temen deketnya Rima dulu".

"Astagaaah Tita. Ya ampuun pantes yah gue gak ngenail lo. Berubah banget lo. Emang yah cewe itu semakin dewasa justru semakin cantik. Sampe pangling lho gue".

"Ah bisa aja lo. Ngomong-ngomong udah berapa lama ya kita gak ketemu. Lo udah nikah? Sama Rima kah? Udah punya anak berapa?".

Pertanyaan-pertanyaan Tita yang terkesan memburu membuat Tama hanya tersenyum kecil. Akhirnya mereka menyempatkan diri mengobrol di cafe. Tita menceritakan semua kegiatannya setelah lepas SMA. Dia kuliah di kedokteran, sekarang sudah berhasil jadi dokter bedah yang hebat. Tapi sayangnya, masih jomblo.

"Eh Tam, gue inget banget lho. Waktu lo sibuk banget nyariin Rima. Pada akhirnya sampe kita lepas SMA, gue tetep aja lost contact sama dia. Apa kabar dia Tam?".

"Fyuuuh ceritanya panjang Ta. Dan asal lo tau, Rima sudah punya satu anak gadis, Gue masih jomblo, dan kita baru aja ketemuan kemarin di rumahnya".

"What? Rima punya satu anak? udah gadis? dan lo masih jomblo? Tungu...tunggu.... gagal paham nih gue. Maksudnya Rima nikah bukan sama lo Tam? Serius lo? Kalian kan pasangan paling hits di SMA. Masa sih kalian gak jadi. Dan anak gadisnya Rima itu emang udah gadis banget?".

"Yaah begitulah Ta. Umurnya hampir 17 tahun. Mungkin sebentar lagi ulangtahunnya yang ke 17". Tama berbicara dengan tatapan mata yang terlihat sangat sedih dan terluka. Tita menyadari hal itu. Namun tetap saja Ia masih penasaran.

"Oo My God Tama. Kalo putrinya itu udah hampir 17tahun, jadi kapan Rima menikah? Umur berapa Rima nikah? Jangan bilang waktu Rima menghilang itu dan gak datang-datang lagi ke sekolah adalah saat dia mengandung putrinya yang mau 17tahun itu? Dan sekarang lo masih jomblo. Aduh.. aduh Tama gue gagal paham. Gimana dong inih. Gue jadi penasaran".

"Mmmhhh... gimana kalo kita main aja sekalian ke rumah Rima. Kan lo udah lama banget gak ketemu dia. Ya kan?".

Saking penasarannya Tita dengan kisah hidup Rima dan Tama, maka Tita menyanggupi ajakan Tama. "OK, kapan kita jalan? Hari ini?".

"Wooow, buru-buru banget. Emang gak ada urusan lagi hari ini? Biasanya kan dokter super sibuk". Tanya Tama sambil sedikit meledek.

"Ah nggak laah, gue kan cuma nanganin operasi-operasi besar yang udah terjadwal aja di Rumah Sakit. Kebetulan hari ini gak ada jadwal".

"Ok, yok kita jalan". Ajak Tama kemudian. Akhirnya mereka menuju rumah Rima. Tita terlihat sekali tidak sabar bertemu dengan sahabatnya itu. Betapa rindu Ia dengan Rima. Sahabat baiknya semasa SMA.

Singkatnya akhirnya mereka bertemu. "Ya ampun Riiim, gila ya kangen banget gue sama lo. Sumpah masih cantik abiss seperti biasa Non Rima yang satu ini". Tita terus saja berbicara sambil memeluk sahabatnya itu di ambang pintu rumah Rima.

"Ya ampun Taa... gue juga gak nyangka ketemu lo lagi". Sahut Rima kemudian.

"kalo bukan karna gak sengaja si Bapak ini nabrak gue di toko buku, gak bakal yah kita ketemuan". Kata Tita lagi.

Taka lama berselang Michele muncul dari balik pintu. "Moom, ada siapa?". Tanya Michele.

"Hai, ini michele?". Tanya Tita kepada Michele yang baru muncul dari balik pintu.

"Hai tante, iya aku Michele. Lho ada Om Tama juga. Ooo pacarnya Om Tama ya?". Celetuk Michele kemudian.

Semuanya hanya tersenyum-senyum sambil menunduk. "Eh masuk yuk, masa sih kita terus-terusan ngobrol di depan pintu begini". Ajak Rima berlanjut.

Akhirnya mereka ngobrol dengan santai cukup lama. Di halaman belakang rumah Rima mereka ngobrol sambil bersantai menikmati udara cerah. Rima menceritakan semua yang terjadi selama hidupnya hingga saat ini. Tita jelas sangat-sangat terkejut. Karna tidak bisa dipungkiri dulu Tita sempat menaruh hati pada si bule tampan Jamie. Namun sosok Jamie yang terkenal sangat playboy membuat Tita mundur teratur dan membuang jauh-jauh pikirannya terhadap Jamie.

Namun tak disangka, Jamie malah betul-betul jatuh hati pada sahabatnya ini. Meskipun dengan cara yang cukup sadis, setidaknya itu sudah menjadi bagian dari masa lalu Rima yang pahit. Entah kenapa Tita sedikit menyadari perasaan Rima. Setiap kali Ia menceritakan tentang Jamie atau bahkan hanya menyebut namanya, binar-binar di matanya tidak dapat disembunyikan.

Kemungkinan besar Jamie sudah berhasil mencuri hati Rima. Tapi Ia tak sampai hati mengatakan itu kepada Tama. Karna seperti yang Rima ceritakan bahwa Tama masih sendiri dan terus mencarinya hingga kejadian seminggu yang lalu di rumahnya.

Tidak berapa lama kemudian Jamie datang. Memang hari ini jadwal Jamie mengunjungi Michele putrinya. "Daddy.....". Teriak Michele dari kejauhan.

"Hai sayang...". Jawab Jamie kemudian. "Woow.... ada apa ini. Sedang kumpul". Lanjut Jamie.

"Hai Jame, masih inget gue?". Tanya Tita sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Ya tentu dong Tita. Masa sih lu gak gue kenal. Lo itu sahabat dari perempuan yang paaaling gue perhatiin. Kalo gue mau curi hati Rima, kan gue harus dekatin temannya juga. Waktu itu gue mau ngobrol sama lu untuk cari tau tentang Rima. Tapi lo terus aja ngeles. Menghindar teruuus". Jawab Jamie kemudian.

Mereka semuapun tertawa. Tak disangka suasana hari ini sangat menyenangkan. Michele kelihatan bahagia sekali melihat Tama dan Jamie mengobrol santai berdua tanpa masalah sambil memandangi dua perempuan yang juga tengah asik mengobrol yang tak lain adalah Rima dan Tita. Michele menyandar pada batang pohon besar sambil sesekali menatap para orangtua yang sedang asik berbincang.

Dalam hati kecil Michele berharap jika Mommy and Daddy dapat bersatu. Namun tetap saja, itu semua hanya Rima yang bisa memutuskan. Akan membuka hati untuk Jamie, ataukah kembali pada Tama.

Tak terasa hari mulai gelap. Tiba-tiba saja Michele yang beberapa jam lalu baru masuk ke dalam rumah keluar lagi dengan membawa beberapa wadah dan bungkusan daging dari dalam kulkas. Dibantu mbok minah yang membawakan alat panggang.

"Mom, Dad, Om Tama, Tante Tita, udah mulai gelap dan sebentar lagi waktu makan malam. Gimana kalo kita sekalian barbekyu'an aja?". Teriak Michele sambil menunjuk semua peralatan panggang dan makanan mentah dihadapannya.

"Ide bagus sayang". Jawab Rima kemudian. Merekapun akhirnya bersama-sama mulai memanggang sambil bercengkrama. Sesekali tertawa karna candaan-candaan yang terlontar. Suasana hari itu sungguh luar biasa menyenangkan.

Jamie dan Tama berdiri di bawah pohon besar. Sambil menatap ke arah para wanita yang asik memanggang daging steak sambil tertawa bercanda mereka berdua mengobrol.

"Tam, apa lo masih bener-bener cinta sama Rima? Apa lo masih mau berusaha untuk kembali pada Rima?". Tanya Jamie tiba-tiba.

"Usaha gue udah selesai Jame, sekarang tinggal menanti keputusan Rima. Apa dia bersedia balik sama gue atau justru dia pilih lo". Jawab Tama kemudian.

Jamie merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia memperlihatkannya pada Tama sambil berkata "Sebetulnya hari ini untuk yang ke sekian kalinya gue akan coba lagi melamar Rima dengan cincin ini. Tapiii.... dengan kehadiran lu sekarang. Sepertinya itu mustahil".

Jamie tersenyum sedikit kecut. Sebetulnya sejak awal dia datang bertemu Rima. Ia sudah menyadari betul bahwa cinta Jamie sudah tumbuh di hati Rima. Tama tau betul tatapan Rima kepada Jamie. Sama seperti tatapannya dulu kepadanya ketika mereka masih bersama. Sekarang tatapan penuh cinta itu sudah tidak terpancar lagi kepadanya. Ia menyadari bahwa tatapan itu kini sudah jatuh kepada Jamie.

"Kenapa jadi putus asa?". Tanya Tama kepada Jamie yang masih memegang kotak cincin ditangannya. "Mending kita coba aja. Lo lamar dia sekarang. Spertinya ini waktu yang tepat".

"Apa? Gue lamar Rima? Emang lo gak masalah Tam? Gimana dengan perasaan lo?".

"Jame, kita sampai detik ini masih gak tau siapa yang Rima cinta. Dengan cara lu ngelamar dia sekarang, mungkin kita bisa dapat jawabannya. Ayolaah beranikan diri. Kalopun nanti dia nolak menikah sama lo. Artinya gue masih punya kesempatan untuk menarik kembali Rima ke hidup gue".

Tidak berapa lama kemudian makan malam steak yang dipanggang para wanita telah selesai dibuat. Meja-meja dan kursi santai di halaman belakang rumah Rima lebih nyaman digunakan daripada harus masuk ke meja makan di dalam rumah. Sehingga mereka memutuskan makan malam di sana.

Jamie dan Tama sudah sepakat, setelah makan selesai, Jamie akan mencoba melamar Rima dihadapan kami. Sebagai tanda ketulusannya dan keseriusannya Ia berani mengutarakannya dihadapan kami.

"Mmhh.... maaf mohon perhatiannya sebentar." Kata Jamie dengan wajah agak ragu sambil menatap ke arah Rima dan sesekali menatap Tama. Mereka semua spontan menengok ke arah Jamie. Penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Jamie.

Tiba-tiba saja Jamie mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah, membuka kotak kecil itu kemudian menyodorkan ke hadapan Rima sambil  berkata "Rima, untuk yang kesekian kalinya dan aku akan terus berusaha mempertanyakan ini. Maukah kamu menikah denganku?."

Mereka semua terkejut, terutama Michele. Michelle menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia betul-betul tak menyangka Daddy melamar Mommy dihadapannya bahkan saat masih ada Om Tama dan Tante Tita.

Rima terkejut bukan main. Ia juga tak menyangka dengan pernyataan Jamie. Terlebih lagi ada Tama dihadapannya. Sesekali Ia menatap Tama. Demi mencari tau apakah Tama akan terluka dengan jawabannya.

"Mmmhhhh..... sebelumnya aku mau minta maaf sama Tama. Aku sama sekali ngga pernah nyangka kalau belasan tahun ini kamu masih terus mencariku. Aku sama sekali ngga nyangka kalau kamu masih tetap sendiri menungguku. Terima kasih atas semua pengorbanan kamu selama ini Tama.

Aku juga mau bilang ke Jamie kalau selama ini kamu sudah menjadi Ayah yang sangat baik bagi Michelle. Kamu sangat bertanggung jawab pada kami meski aku terus menolak kehadiranmu dan sering sekali melukai perasaanmu dengan kalimat-kalimat penolakanku yang mungkin sedikit kasar. Aku hargai usaha dan jerih payahmu untuk bertanggung jawab atas kami berdua. Aku dan Michelle. Sampai kemarin aku masih ngga paham kenapa Jamie terus bertanggung jawab pada kami hingga saat ini. Tapi sekarang aku yakin kalau itu semua karna kamu memang mencintai aku dan Michelle. Untuk itu aku sangat menghargai semuanya."

Keadaan hening sejenak setelah Rima mengeluarkan kalimat panjang tersebut. Ia menarik nafas panjang. Yang lain semakin memperhatikan Rima. Penasaran dengan jawabannya.

"Tama, maafkan aku sekali lagi, karna aku menerima lamaran Jamie hari ini."

Seketika itu juga Jamie dan Michelle tersenyum lebar bahagia. Tama dan Tita ikut tersenyum. Tama mengerti dengan keputusan Rima, Bagaimanapun mereka sudah dewasa dan harus sesegera mungkin mengambil langkah untuk kehidupan lebih baik kedepannya.

Semua bahagia, akhirnya diputuskanlah tanggal pernikahan Rima dan Jamie. Mereka menikah di bulan depan saat putri mereka telah tumbuh besar. Memang aneh. Tapi inilah hidup. Tidak ada yang bisa menebak.

Saat hari pernikahan mereka, Tama dan Tita hadir bersamaan. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mereka sudah semakin dekat. Jamie dan Rima juga tidak menyangka jika mantan kekasih dan sahabatnya itu pada akhirnya memutuskan untuk menikah juga.

Ending yang sangat bahagia bagi semuanya. Jamie dengan Rima dan Tama dengan Tita. Michelle yang paling bahagia dengan semua yang terjadi. Sungguh, waktu yang berharga tidak dapat diputar kembali. Namun memperbaiki hidup, terlebih lagi memperbaiki hubungan dengan orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita, selalu bisa kita lakukan. Berlapang dada menerima kehendakNya dan berbahagialah, maka hidup akan senantiasa damai.

*Selesai*

Cinta dua lorong

Cerpen kali ini kiriman dari "Fajar Kesuma Mustaqim" berjudul "Cinta dua lorong". Kepada Fajar kami ucapkan terima kasih untuk pastisipasinya mengirimkan tulisan ke blog kami.

Kisah tentang masa sekolah yang menarik untuk dibaca. Berikut ini tulisan Fajar yang kami muat tanpa mengurangi ataupun menambahkan isi dan pesan yang terkandung dalam tulisan Fajar tersebut.

Selamat membaca !

“CINTA DUA LORONG”

Uhhhhh! Ntah apa yg buat aku jadi begini, gak biasa-biasanya aku seperti ini. Gak biasanya aku meneteskan air mata begini, aku selalu tegar, tapi kali ini aku benar benar gak bisa. Iya, aku gak bisa, karena dihari ini, hari terakhirku bertemu dengan teman-temanku dengan sekian lamanya kami berteman, 3 tahun kami menjalin persahabatan, bandel bareng, cengkal bareng. Ahhh! Banyaklah.

Sulit rasanya aku meninggalkan mereka, meninggalkan kenakalan bareng mereka. Buat guru kapok masuk kelas kami, bahkan nangis dan minta untuk tidak mengajarkan kami. Banyak lah pokoknya!

Banyak kenangan-kenanganku yg terukir di 3 tahun ku ini, termasuk kedekatanku dengan si dia. Hahah, iyaa dia ! sosok yang kukagumi selama ini, sosok yang sempurna dimataku, lebihlah pokoknya dibanding dengan wanita lain  yang ku kenal. Yayas, namanya. Setahun lebih muda dariku. Iya, adek kelasku. Aku mengaguminya sejak aku pertama bertemu dengannya, kulit putih, dengan kaca mata membuatnya terlihat lebih anggun dibanding lainnya. Kami saling mengagumi, tapi kami cuman sekedar ngagum mengagumi, tidak lebih. Ntah mengapa, mungkin Dia juga jadi salah satu alasanku, mengapa aku sulit meninggalkan kenanganku ini.

“Bangg!!”, Yayas memanggilku dari kejauhan. “Iya, ada apa?” Jawabku mendekati nya. “Foto berdua yuk?” Iya, mungkin karena kami jarang sekali tidak foto berdua, mungkin untuk pertama kali juga gapapalah “Iya udah, mau foto dimana” Jawabku dengan menatap kesekeliling ruang. “Jangan dikelas bang! Gimana kalau kita foto di farewall aja?” Mungkin karena aku melihat sekeliling ruang, Yayas mengira aku ingin berfoto didalam kelas, padahal dibenakku, aku juga gak kepingin untuk foto dikelas. Tapi itulah mungkin dikatakan sehati, belum mengakatan saja sudah tahu dahulu. “Yaudalah ayuuk!” Farewall itu dinding yang berisi tanda tangan seluruh siswa-siswi setiap kelasnya. Menarik sih untuk foto disana,

“Makasih ya bang, ini untuk abang!” Sebuah kotak persegi dengan pita diatasnya, yang aku pun gak tahu pasti apa isi dari kotak tersebut. “Untuk apa? Gak usahlah” Bukannya gengsi, sungkan rasanya aku nerima hadiah dari seorang wanita, apalagi wanita itu wanita yg ku kagumi. “Udah gapapa, terima aja! Anggap sebagai kenang-kenangan dari adek” Karena Yayas memaksa, aku pun akhirnya tidak bisa berkata-kata. “Makasih ya”,  “Iya sama-sama”.

Sebuah jam tangan bertali kain, berwana hitam dan secarik kertas yg sama sekali tak ku tahu isi dari tulisan tersebut. Oh, ternyata dia ingin meminta agar aku mengenakannya dimanapun aku berada, karena jam serupa yg ku kenakan di tanganku, juga terpasang ditangannya. Couple bahasa kerennya. Tersenyum lebar membacanya,dan ada juga sepatah kata yang membuat hatiku goyang ketika membacanya. “Jangan lupakan adek ya!”

Sederhana, tapi cukup sangat terkesan bagiku. “Iya, pasti dek” Hatiku menjawab dengan sendirinya ungkapan itu. Aku tahu kami saling mengagumi, kami saling menjaga walaupun sekarang kami tidak ketemu lagi, tidak satu sekolah lagi,  Tapi hati kami tetap satu!

Kini tiba saatnya aku untuk melanjutkan jenjang pendidikanku dan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA), Karena dari SMP aku sudah sekolah berjenjang agama, maka begitupun dengan SMA ku. Sekolah yang kupilih bersebrangan dengan sekolah SMP ku, Madrasah Aliyah Negri atau yang disingkat MAN. Bukan untuk jadi ustadz, aku cuman ingin ilmu agama ku terus bertambah hingga aku tua nanti, agar aku tidak tersesat oleh kehidupan duniaku yang penuh glamor. Dan selamat di akhirat kelak. Amiin.

Kebetulan aku masuk SMA melalui jalur Prestasi, Jalur yang masuk hanya melihat dari nilai Raport, tidak untuk testing. Iyaa Alhamdulillah aku diberi kemudahan oleh Allah. Namaku terpampang di urutan 15 dari sekumpulan siswa siswi yang lulus dari jalur Prestasi tersebut. “Dian Ahmad” itulah nama kepanjanganku. Nama keberuntungan yang telah disematkan oleh ibuku sejak aku kecil

Kini waktunya Masa Perkenalan ku, karena MOS (Masa Orientasi Siswa) dilarang oleh pemerintah, maka sekedar perkenalan dengan lingkungan sekolahku yang baru. Bukan sekolah yang asing menurutku, karena hampir setiap pulang aku selalu melihatnya

. “Nifaa..!!” Panggil kakak pembimbingku didepan kelas.

“Saya kak!” Jawab Nifa berdiri dibangkunya”  “Siapa dia? Sepertinya bukan kawan satu sekolah SMP ku dulu, cukup asing wajahnya dimataku”, gumam diriku didalam hati. Oh, ternyata dia tamatan dari SMP 9, sekolahnya satu kota sama tempat aku tinggal, tapi karena kotaku bisa dibilang kota besar, iya wajar juga aku gak mengenal dia.

“Kamu tamatan dari SMP 9 ya?” Tanyaku mendekatinya. “Iya”, jawab Nifa dengan malu-malu. Mungkin karena baru pertama kali kami berbincang, menurutku wajar sih kalau dia masih malu-malu, apalagi dia perempuan. Perempuan itu super gengsi, dan super malu menurutku. “Salam kenal ya dariku” Aku mencoba untuk lebih dekat dengannya, yaa sekedar nambah kawan juga gapapalah. “yaa”. Sedikit sebel sih, tapi yaa namanya juga perempuan, jadi maklumlah.

“Dian..!!” Panggil kakak pembinaku di depan kelas. “Iyaa kak..!” Aku gak tau apa yang akan dilakukan, tapi sebagai murid budiman, aku mendatangi kakak Pembina ku didepan kelas. Oh, karena kami hendak bermain game, aku diperintahkan untuk jadi ketua dalam game kali ini. Aku gak tau apa nama game nya, yang ku tahu satu tim terdiri dari tiga cowo, dan tiga cewe. Kali ini aku satu tim dengan si Nifa. Asyik juga game kami kali ini.

“Ternyata asyik juga ya Nifa orangnya, gak seperti yang ku kira selama ini”  Gumamku di dalam hati. yaa, dia gak seperti yang kukira waktu pertama kali kami berpapasan. Lucu, Humoris, dan asyik untuk diajak bercanda. Ahh, semakin penasaran aku dengannya. Kali ini aku pulang bareng dengannya, cukup lelah sih, karena Hari ini hari terakhir masa perkenalan kami. “Seruu ya masa perkenalannya” Nifa memulai perbincangan diantara kami. “Iyaa, seru banget lah, walaupun hanya tiga hari, tapi aku sudah banyak mengenal teman baru termasuk kamu” yaa, udah biasa bagiku bercanda dengan orang banyak.

Hari ini adalah hari pertama ku masuk sekolah, Hari pertama belajar di jenjang yang lebih tinggi yaitu masa SMA ku. Yang katanya sih Masa SMA ini adalah masa yang paling terindah. Iyaa, mau percaya mau gak, iya aku percaya-percaya aja. “Haaaiii..!!” Salam Nifa kepadaku. Ternyata dia datang lebih awal dari ku, dia sudah berada didepan pintu sekolah. Aku duduk sebangku, semeja dengan temanku dulu. Mungkin untuk ke 9 tahunnya aku sekelas dengan dia. Huhhh sungguh membosankan! Dafi namanya, kulit hitam berkilau, yang katanya manis sih, tapi menurutku tidak. Iya karena aku normal bukan Homo, pecinta sesama jenis.  Aku duduk dilorong ke empat tepatnya di samping jendela. Kebiasaanku dari SD duduk dekat jendela. Terpaut dua lorong dariku, disamping jendela luar, Nifa duduk disana, sebangku degan Nisa, si cewek manja menurutku.

“Huuuffft! Ternyata melelahkan menjadi pelajar SMA” Gumamku didalam hati. Bagaimana tidak? Aku dituntut untuk pulang setiap hari pukul tiga kurang lima belas. Iya, tapi karena aku bercita-cita tinggi, maka aku juga harus ikhlas menjalaninya. Cukup sekian lama aku tidak berbincang dengan Yayas, iya semenjak aku mulai Masa Perkenalan kemarin. “Chat Yayaslah, kangen jugak, apa kabar dia ya?” Aku bergegas mengambil handphone yang kuletakkan diatas meja belajarku.

“Haaaaa!!! Siapa dia!!!” Tampak terlihat foto seorang cowo di DP Bbm Yayas. “Maaf bang, adek sebenarnya mau hubungan kita lebih, tidak sekedar kagum mengagumi, tapi saling memiliki, iya adek tau abang masih gak mau untuk itu. Cowo itu cowo pilihan orang tuaku, Adek gak tau harus bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik bagi kita”  Pesan singkat menjelaskan filosofi foto cowo tersebut. Aku tak tau harus bilang apa, kedekatan kami terjalin cukup lama, dan semua itu rapuh hanya karena sebuah status. Sebenarnya aku sangat menyanyanginya, aku menyayanginya lebih dari sebuah status. Bukan aku menggantungkan perasaannya, tapi aku yang tak mau menjadikan status nantinya menjadikan perpisahan bagi kami. Tapi, ternyata yang kutakutkan selama ini datang menghampiriku. Seakan batu besar datang dan menghampar diriku. Air mataku tak bisa untuk ku hindari, aku menangis, bukan karena aku cengeng, tapi karena aku sangat menyayanginya. Mungkin bukan saatnya untuk aku bermain dengan hal seperti itu. Aku sangat terpukul, mungkin sekarang saatnya aku untuk mengejar CITA-CITAKU! Suatu saat pasti akan datang yang lebih indah, tinggal nunggu waktunya.

Kesedihanku ternyata tak bisa kututupi, tetap saja wajahku dalam raung kesedihan. “Kenapa kamu?” Tanya Nifa kepadaku. “Gak kok gapapa” Jawabku dengan ketus. “Beneran?” Mungkin karena aku yang masih terpuruk dengan keadaan tadi malam, berusaha untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatku untuk mengenangnya lagi. Tapi, tetap saja Nifa tak henti-hentinya menanyakan ada apa denganku. Sebenarnya sulit untuk ku cerita, tapi mungkin menurutku dia salah satu orang yang bisa ku percaya. Semua kuceritakan kejadianku padanya tadi malam.

“Oh, begitu..iyaudah, ambil saja hikmahnya. Mungkin bukan saatnya, suatu saat pasti indah kok pada waktunya” Senyumnya meneduhkan hatiku sejenak. “Makasih ya, udah berusaha menghilangkan sedikit luka dihati ini” “Iya gapapa kok, namanya juga teman harus saling menguatkan” Mungkin sejak saat itulah aku mulai sering bercerita dengannya, mungkin dia juga menjadi salah satu sahabat wanita bagiku. Kedekatan ku kali ini bukan untuk saling kagum mengagumi, tapi kedekatan ku kali ini saling kuat menguatkan. Karena menurutku CINTA sejati hanyalah cinta kepada-Nya. Kedekatan ini terjalin hingga sekarang. Karena bangku tempat duduk ku dengan tempak duduk Nifa terpaut dua lorong, maka tak sering teman-temanku mengejek ku dengan sebutan “CINTA DUA LORONG” Bahkan tak sering juga guru yang masuk mengejek kami dengan sebutan yang sama. Kami hanya bisa tertawa kecil. Iyaa, menarik sih. Tapi bagi kami, Sukses ialah yang terpenting. Cinta hanyalah pelengkap yang akan datang dengan sendirinya. Manfaatkanlah waktu belajarmu, sebelum waktu Sibukmu datang. Bahagiakan kedua orang tuamu selagi kau masih bisa membanggakannya. Gantungkan cita-cita mu setinggi langit, karena apabila kau jatuh, maka kau jatuh dengan BERIBU BINTANG. MASA MUDAMU ADALAH MASA GEMILANG MERAIH CITA-CITAMU, DAN MASA TUA MU ADALAH MASA GEMILANG MERASAKAN HASIL BUAH JERIH PAYAHMU!