Tampilkan postingan dengan label Ridho Ilahi (Aku yang tahu rasaku). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ridho Ilahi (Aku yang tahu rasaku). Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Mei 2020

Ridho Ilahi (Aku yang tahu rasaku)

Kusiapkan perlengkapan sholatku, kugelar sajadah, kuletakkan mukena di atas sajadah itu, kemudian bergegas mengambil wudhu di tempat khusus berwudhu tepat di samping mushola. Mas Rasya memang sangat menjaga ibadahnya dimanapun Ia berada. Itulah sebabnya mengapa rumah ini sengaja dibuat mushola di dalamnya, dengan tempat wudhu khusus disampingnya.

Alhamdulilah, aku mendapatkan suami sholeh yang luar biasa ibadahnya. Biasanya Mas Rasya yang membangunkanku di jam-jam sholat malam seperti ini. Namun semalam, Mas Rasya tiba-tiba ambruk. Badannya panas, juga mengeluh sakit kepala. Ku kompres dengan air hangat, kusuapi Ia makan, untuk kemudian meminum obat.

Sebetulnya Ia pernah berpesan padaku. Apapun yang terjadi padanya, entah Ia sakit atau sibuk, aku tetap harus mengingatkannya untuk sholat. Bukan sholat fardhu, karna menurutnya sholat fardu itu tidaklah pantas diingatkan. Sudah semestinya semua umat manusia mengingat jamnya menghadap Allah di dunia. Yang Mas Rasya maksud adalah mengingatkannya sholat-sholat sunnah. Seperti sholat malam yang biasa kami lakukan setiap hari. Tapi rasanya hari ini aku tak tega membangunkannya dengan keadaan seperti ini. Kupegang keningnya masih sedikit panas. Biasanya dia akan sangat menyesal jika aku sholat sendiri meninggalkannya. Tapi kali ini sungguh aku tak sanggup membangunkannya. Jadi kubiarkan Ia terlelap.

Seperti biasa Ia terbangun sebelum tepat adzan subuh. "Lho Um, koq gak bangunkan Abi? Sudah mau subuh, jadi Abi ketinggalan sholat malam dong?'. Tanyanya padaku dengan wajah kecewa. Aku sebetulnya seringkali merasa tidak enak jika Mas Rasya kecewa dengan perlakuanku. Meski semenjak menikah empat tahun yang lalu aku sering membuatnya kecewa atau terluka entah dengan perkataan atau perbuatan, tapi Mas Rasya tidak pernah sekalipun marah padaku. Sungguh Imamku yang luar biasa. Allah mengkaruniakan suami yang begitu luar biasa untukku. Terima kasih ya Allah.

"Maaf Abi, Umi gak tega. Abi kan lagi kurang sehat. Tadi tepat jam dua Umi mau bangunin Abi. Tapi setelah Umi cek kening Abi, masih agak panas. Jadi Umi sholat sendiri. Maafin Umi ya Abi. Umi cuma mau Abi istirahat lebih banyak dari biasanya biar cepet sehat lagi. Lagipula, bukankah Allah juga tidak suka sesuatu yang berlebihan atau dipaksakan?".

Mas Rasya terdiam sejenak mendengar penjelasanku. Namun tetap tidak mengurangi rasa kecewanya. Terlihat jelas di wajahnya Ia menyesal meninggalkan sholat malam karna sakit. Meski Ia menyadari perkataanku benar adanya.

"Ya udah Umi, ayo kita bersiap sholat subuh". Ajaknya kemudian. Kamipun menuju Mushola. Setelah berwudhu, sambil menanti adzan subuh, kami menyempatkan membaca Al-qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang. Kami menghentikan kegiatan sejenak untuk mendengarkan dan menjawab seruanNya.

Siang hari, setelah selesai berbenah rumah, mencuci, dan sebagainya, aku merenung di teras depan rumah. Aku terbayang, bagaimana jadinya jika nanti aku dipanggil lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa? Abi hidup sendiri di rumah ini, kemudian sakit seperti semalam. Ya Allah, siapa yang akan mengurus Abi? Air mataku menetes. Tak terasa semakin mengalir ari mataku mengingat kami sampai detik ini hanya hidup berdua saja.

"Ya Allah, sampai kapan hamba terus mendampingi suami hamba seorang diri. Sudah empat tahun Ya Allah. Hamba bukannya mengeluh atas apa yang menjadi keputusanMu. Namun, hamba memohon kepadamu ya Allah berilah kami keturunan agar kami dapat melahirkan generasi-generasi yang bertaqwa kepadaMu ya Rabb".

Tak putus-putus aku berdoa siang dan malam agar diberi keturunan. Namun sepertinya Allah berkehendak lain. Pasti ada yang Indah dibalik itu semua. Begitu pikirku dalam hati. InshaAllah, apapun yang terjadi dikehidupan kami, Abi selalu berpesan agar mengikhlaskannya dan khuznudzon kepada Allah. Dia yang Maha tahu apa yang baik bagi kami.

"Lho Ka, ngapain bengong aja sendirian disini". Sapa seorang gadis yang kebetulan lewat depan rumahku sambil mampir dan menaruh dagunya di atas pintu pagar. Buru-buru kuhapus air mataku yang sempat mengalir tadi.

"Eeeh Nissa. Mau ke mana? Siang-siang panas begini keluyuran. Ntar gosong lho". Kataku kemudian sambil meledek Annisa yang masih berdiri menyandarkan dagunya di atas pintu pagar. Annisa adalah gadis yang sangat cantik. Meski berhijab, namun Annisa tetap aktif di lingkungan kami. Dia juga mengajar di madrasah RW kami tanpa dibayar. Ia memang gadis cantik sholeha yang luar biasa.

Kadang aku berfikir, bagaimana jadinya jika Annisa aku lamar untuk Mas Rasya. Tapi tetap saja aku ini perempuan biasa. Tentunya itu hanya angan-anganku saja. Mana ada perempuan yang mau di madu. Sesholeha-sholehanya seorang perempuan, mustahil Ia tidak akan sakit hati dengan poligami. Begitu pikirku sejak dulu.

"Iya nih ka, mau ke warung. Gula, kopi, teh, semuaaanya habis. Jadilah abah merengut dirumah gak bisa ngopi. Hihihi". Jawab Annisa kemudian.

"Ooh ke warung. Pakai payung atuh neng, kesian kulit putihmu nanti jadi gelap. Hihihih".

"Ah kakak bisaan aja. Putih apanya. Ini udah empat kali lipat gelapnya dari kulit asli Ka, gara-gara acara outbond tempo hari sama anak-anak madrasah kemarin. Ya udah Ka, Nissa lanjut jalan dulu. Kesian Abah mau ngopi".

"Iya gih sana, jangan sampe Abah mencari-cari anak gadisnya yang cantik hilang entah ke mana. Hihihihi". Annisapun berlalu meninggalkan wajah cantiknya yang masih membayangiku setiap kali habis melihatnya.

"Kenapa gadis secantik Annisa belum juga menikah ya. Padahal umurnya juga udah lebih dari cukup". Batinku kemudian.

Annisa memang lebih muda lima tahun dariku. Jika tahun ini usiaku menginjak 33 tahun, maka Annisa sudah 28 tahun. Tentunya bukan umur yang masih muda untuk hidup sendiri. Aku mengerti jika perempuan seperti Annisa memang tidak mungkin menjalani kehidupan pacaran seperti gadis-gadis lain. Annisa adalah perempuan Sholeha. Diapun pernah mengutarakan InshaAllah jika menikah akan melalu proses taaruf sepertiku dan Mas Rasya.

Yang mengganjal dipikiranku, mengapa gadis secantik Annisa, belum ada juga yang mengajukan Taaruf kepadanya. Ataaau hanya aku tidak tahu saja. Mungkin sebenarnya pernah ada, tapi Ia menolaknya karna banyak hal. Bisa saja.

Satu yang aku tau pasti bahwa Allah berfirman "Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula, begitu juga sebaliknya". sehingga kupikir, mungkin Allah belum mendatangkan laki-laki Sholeh untuk Annisa. Semoga Annisa cepat menemukan jodohnya.

"Assalamualaikum....".

"Waalaikumsalam Abi". Jawabku sambil cium tangan suamiku yang baru saja pulang bekerja. Aku sambut dengan segelas teh hangat seperti kebiasaannya, kuraih tas yang masih menggantung ditangannya, kemudian memintanya duduk sejenak beristirahat.

"Abi gimana keadaannya, apa tadi jadi ke dokter?". Tanyaku penasaran melihat wajah lelahnya yang sepertinya belum pulih benar dari sakitnya.

"Abi tadi jadi ke dokter. Ada obat di tas. Kata dokter Abi cuma kelelahan koq Umi. Gak perlu khawatir". Jawabnya kemudian.

"Eh Abi, ngomong-ngomong gimana omongan Umi yang kemarin?".

"Omongan apa? Yang mana?".

"Ih Abi mah becanda, Umi serius Bi, itu looh tentang Annisa. Sepertinya dia akan cocok sekali jadi guru di sekolah Abi. Orangnya sabar ngadepin anak-anak, telaten, lagipula, kasihan Annisa di madrasah RW kita kan cuma sukarelawan. Kalo dia cuma mengandalkan jahitan yang dia terima untuk menghidupi keluarganya, rasanya Umi kasihan".

"Yaah kalo Umi kasihan kan mendingan Umi kasih aja apa yang Annisa butuhkan".

"Iiih Abi, gadis cerdas seperti Annisa mana mau dikasih cuma-cuma Bi. Umi pernah tanya sama Annisa. Kenapa pendidikan sarjananya gak dipakai melamar pekerjaan yang lebih layak? Abi tau gak Annisa jawab apa?".

Mas Rasya hanya tersenyum-senyum kecil mendengarkan rengekan permintaanku untuk menerima Annisa di sekolahnya yang Ia kelola sendiri. Alhamdulilah meski tidak besar, tapi Mas Rasya sanggup mendirikan sekolah Islam di kota Jakarta yang kehidupannya keras ini. Sehingga, kami tidak perlu terlunta-lunta bekerja di perusahaan yang tidak sejalan dengan visi misi kami sebagai umat muslim yang mencari Ridho Allah.

"Iya Umi, Abi inget koq. Abi inget betul obrolan kita itu. Abi juga merasa Annisa sepertinya memang satu visi misi dengan kita. Cocok kalo jadi ustadzah di sekolah Abi. Tapi tetap aja Umi, Abi kan  harus membicarakan dulu dengan dewan guru di sekolah. Bagaimanapun, mereka harus menyetujui keputusan kita. Meski sekolah punya kita sendiri, tetap saja jangan sampai mereka berpikir kalau kita menjurus ke praktek kolusi. Coba Umi bicarakan dengan Annisa. Apa Annisa bersedia di test dulu di sekolah Abi, agar kami dewan guru juga tahu, pendidikan apa yang cocok diajarkan Annisa di sana".

"Baik Abi, nanti InshaAllah Umi akan bicarakan dengan Annisa. Tapi Abi janji ya, usahakan dewan guru setuju menerima Annisa".

"Aduuuh istri Abi nih luar biasa banget kalo mau ngebantu orang. Gak nanggung-nanggung". Ujar Mas Rasya sambil mengelus-elus kepalaku. Rasanya adeeem sekali tiap kali Mas Rasya mengelus kepalaku. Seolah, aku adalah makhluk yang paling disayangnya setelah Allah SWT. tentunya.

Esok harinya tanpa buang waktu lama, aku menghubungi Annisa agar mampir ke rumah untuk membicarakan hal itu. Tanpa di duga, ternyata Annisa senang sekali dengan tawaranku dan Mas Rasya.

"MasyaAllah Kak, Nissa seneng banget kalo bisa kerja di tempat yang dekat dengan Allah. InshaAllah, Nissa mau terus mengabdi dengan pekerjaan yang mendekatkan Nissa kepada Allah".

Begitu jawaban Annisa. Sungguh gadis luar biasa yang sholeha. Dijaman yang serba canggih dan modern ini Annisa bahkan tak tertarik dengan dunia gaul yang serba glamour. Padahal Ia cantik, percaya diri, dan pasti Ia menyadari bahwa dirinya memang menarik. Tapi hal itu tidak lantas membuat seorang Annisa menjadi gadis yang norak, alay, sok gaul, dan lain sebagainya seperti kebanyakan anak-anak muda jaman sekarang.

Singkat cerita, karna kecerdasan dan pesona yang dimiliki Annisa, tidak butuh banyak waktu untuk membuat para guru di madrasah Mas Rasya menerima Annisa sebagai guru di sana. Tanpa terasa sudah beberapa bulan Annisa mengajar di sana. Ia tetap mengajar di madrasah RW setiap sorenya. Karna panggilan jiwa. Ia tidak mungkin meninggalkan madrasah yang sudah lama menjadi bagian hidupnya demi mengejar pekerjaan yang menjanjikan gaji besar. Itulah Annisa. Gadis luar biasa.

"Abi, kenapa sih gak pulang bareng Nissa aja. Kalian kan searah?". Tanyaku pada Mas Rasya malam itu. Aku pikir Mas Rasya bisa membantu Annisa untuk lebih cepat sampai ke madrasah RW jika memberinya tumpangan.

"Demi Allah Umi, bukannya Abi tidak mau menolong. Tapi kan Umi paham agama bukan? Abi itu bukan Mahromnya Annisa. Apa kata orang kalo setiap hari pulang bareng. Abi gak mau menimbulkan fitnah Umi. Lagipula, sesekali mah pernahlah Abi menolong Annisa cepat sampai ke madrasah RW. Itu waktu ada kejadian siswi yang katanya kesurupan. Naah kalo keadaan mendesak yang genting seperti itu, Abi masih bisa menolong. Tapi jika tidak ada kebutuhan mendesak, rasanya kurang pantas Umi".

Aku tersenyum puas mendengar penjelasan Mas Rasya. Bukannya senang karna Mas Rasya jauh-jauh dari sicantik Annisa. Masa iya aku menyesal setelah membantu Annisa menjadi pengajar di sekolah Mas Rasya dan jadi cemburu karna sekarang mereka bisa bertemu setiap hari. Toh itu keinginanku.

Aku tersenyum senang karna Mas Rasya rupanya tidak tergoda dengan rupa Annisa. Meski Annisa secantik bidadari namun Mas Rasya sudah punya bidadarinya sendiri di rumah. Begitu katanya. Kalimat itu yang membuat aku tersenyum-senyum.

Suatu ketika, aku sempat berfikir. Mungkinkah Annisa dapat menolong kami memiliki keturunan. Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas dalam benakku. Jika saja bisa seperti itu, mungkin aku harus ikhlas dipoligami oleh Mas Rasya. Jika benar kami bisa memiliki keturunan dengan melamar Annisa untuk Mas Rasya, kami akan sangat tertolong. Tapi, apakah iya hatiku siap untuk ini?

Rasanya tidak mungkin. Namun begitu, aku mencoba mengutarakan perasaanku pada Mas Rasya. Aku sama sekali tidak membayangkan apa tanggapan Mas Rasya. Mungkin dia akan senang, atau mungkin sebaliknya malah akan marah.

Mengingat mas Rasya tidak pernah marah sekalipun padaku, aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku benar-benar membicarakan hal ini padanya. Maka malam itu, aku coba bicarakan dengan Mas Rasya. Hati kecilku berharap Mas Rasya menolak. Tapi hatiku yang lain tetap mengharapkan hadirnya seorang buah hati ditengah-tengah keluarga kami.

"Abi, Mmmh.... Umi mau ngomong. Tapi janji Abi jangan marah ya". Pintaku padanya sambil sibuk memainkan jari karna gugup. Sepertinya Mas Rasya paham betul kalau istrinya ini sedang gugup. Kemudian Ia mengambil tanganku, memegang dengan erat, mengelusnya,  kemudian mencium tanganku yang Ia raih sambil berkata.....

"Apakah selama pernikahan kita, Abi pernah marah? Jika iya, maka saat ini juga, Abi memohon supaya Umi mau maafin Abi. Mungkin Abi khilaf saat itu. Tapi jika menurut Umi, Abi tidak pernah marah. Maka untuk apa ragu membicarakan apa yang ada dihati Umi? Coba ngomong, Umi mau apa dari Abi?".

"Mmmh... begini Bi, Umi merasa sepi tanpa seorang anak. Umi pingin ada anak ditengah-tengah keluarga kita. Apa mungkin Abi setuju kalo kita punya anak segera, meski bukan dari rahim Umi?". Tanyaku perlahan-lahan.

Mas Rasya menghela nafas panjang. "Sebetulnya ya Umi, Abipun merasa demikian".

Waduh, aku deg-degan, semakin tegang dengan jawaban Mas Rasya. Gawat, air mataku pasti meleleh jika mendengar Abi setuju untuk menikah lagi agar punya anak. Aku yang sok tegar, aku yang sok kuat, tapi kini jadi menciut, melemah baru mendengar kalimat pertama Abi.

"Ya Allah, tolong kuatkan hamba mendengar jawaban suami hamba. Jangan biarkan air mata ini menetes".

Selama ini aku adalah perempuan yang paling yakin bahwa suami yang dicintainya ini adalah suami yang nyaris sempurna dalam memperlakukan istrinya. Sangat tidak mungkin Ia menyakiti hati istrinya. Tapi kali ini, sepertinya aku harus menanggung sikap sok ku sendiri. Sok kuat, sok tegar, sok mau dipoligami. Padahal sebetulnya aku sama sekali tidak ingin mendengar jawaban Suamiku mengiyakan.

"Aduh, kenapa aku jadi suudzon, kan Abi belum selesai bicara". Pikirku dalam hati. Akhirnya Abi melanjutkan pembicaraannya.

"Umi betul sekali. Empat tahun kita menikah. Belum juga dikaruniai anak. Mungkin Allah mentakdirkan kita memiliki anak dengan cara lain".

Mendengar itu, hatiku makin kacau. Makin merasa teriris. Tapi sekali lagi. Aku harus kuat. Toh aku yang memulainya.

"Lalu, menurut Abi gimana?". Tanyaku kemudian sambil menatap wajahnya yang masih tersenyum.

"Abi sih setuju aja kalo kita mengadopsi anak, tapi Umi harus yakin pilih tempatnya. Apakah di yayasan yatim piatu atau Umi sudah punya keluarga yang anaknya mau kita adopsi. Bagaimanapun kita tetap harus mengadopsi anak dengan cara yang syariat dan harus tau juga cara-caranya secara Islami. Umi harus belajar juga bagaimana status anak nantinya ketika sudah besar. Jika laki-laki apakah lantas menjadi mahrom Umi atau tidak, begitu juga sebaliknya. Jika mengadopsi anak perempuan, apakah statusnya jadi mahrom Abi".

Lho...Lho...koq Mas Rasya malah mikir begini. Apa aku gak salah denger. Rupanya Mas Rasya salah tanggap dengan niatanku. Meski begitu, aku tersenyum lega. Jadi tadi itu aku cuma benar-benar suudzon tanpa sengaja. Apa yang aku pikirkan dengan apa yang dipikirkan Mas Rasya jauh berbeda.

Aku betul-betul tersenyum lebar saat ini. Tapi Mas Rasya jadi bingung dengan tingkahku.

"Umi kenapa malah senyum-senyum?". Tanya Mas Rasya kemudian dengan wajah sangat penasaran.

"Ngga papa Abi, Umi cuma gak habis pikir dengan jawaban Abi. Ternyata Umi cuma salah tanggap. Kenapa Abi berpikir kalo Umi mau adopsi anak?". Tanyaku pada Mas Rasya yang masih kelihatan bingung.

"Lho, kan tadi Umi sendiri yang bilang mau segera punya anak meski bukan dari rahim Umi sendiri? Jadi apa dong maksudnya?".

"Emang Abi gak kepikiran kalo bukan dari rahim Umi, ya dari rahim istri Abi yang lain?".   Jawabku sambil tersenyum tipis.

"MasyaAllah Umi, jadi pikiran Umi begitu? Demi Allah yang Maha mengetahui segala-galanya Umi. Sama sekali Abi gak ada kepikiran ke situ. Abi betul-betul berpikir kalo Umi berniat mengadopsi anak dari panti asuhan atau dari keluarga lain. Lagi pula, Umi sadar dengan permintaan Umi? Abi gak pernah berpikir sampai ke sana karna Abi tau betul. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan yang rela dipoligami. Poligami itu bukan perkara main-main Umi. Jika nantinya malah menyakiti salah satu istri diantaranya, Abi yang berdosa. Sementara Abi gak akan pernah tau perasaan istri-istri Abi nantinya".

"Iya Abi, sebetulnya Umi juga gak mau berbagi dengan perempuan lain. Umi terlalu sayang sama Abi. Rasanya juga Umi bakalan sakit hati banget kalo Abi betul-betul menikah lagi. Ini sih baru omongan aja. Maksud Umi, apakah Abi ada pikiran ke arah sana".

"Ya ampun Umi, istri Abi sayang, bidadariku, InshaAllah Abi gak ada pikiran nyakitin hati Umi. Jadi Umi gak perlu khawatir masalah anak. Toh jika Allah berkehendak, suatu hari nanti pasti kita dikaruniai anak. Mungkin memang belum waktunya. Siapa tau cuma umur kita aja yang tua, tapi pikiran kita masih labil, sehingga Allah belum menurunkan makhluknya yang imut itu ke perut Umi. Sabar ya Umi. Jangan lagi membahas masalah yang nantinya malah Umi sendiri yang menyesal".

"Maafin Umi ya Abi". Kataku menyudahi obrolan agak ngawur malam itu. Jujur, malam ini hatiku merasa lega. Lantaran mengetahui suami terkasihku ternyata memang betul-betul tidak tertarik dengan makhluk cantik luar biasa bernama Annisa.

Namun entah kenapa, besoknya aku merasa ada yang aneh. Tiba-tiba saja keinginanku untuk melamarkan Annisa bagi Mas Rasya justru semakin kuat. Entah kenapa tiba-tiba saja aku sangat ingin Annisa menjadi saudariku di rumah ini. Namun lagi-lagi pikiranku terbelah dua. Annisa masih gadis, tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan luar biasa sholeha. Laki-laki mana yang tidak tertarik padanya. Jangankan laki-laki. Rasa-rasanya akupun sebagai seorang perempuan, sudah tertarik padanya juga. Tertarik dalam artian mengagumi sosoknya.

Aku memikirkan hal itu hingga membuatku merasa tidak enak badan, kepalaku pusing. Pikiranku kacau. Apa yang terjadi padaku. Tidak. Aku tidak mau Annisa menjadi istri Mas Rasya. Bagaimana mungkin Mas Rasya akan adil pada kami berdua. Mustahil. Cintanya pasti akan lebih besar kepada Annisa daripadaku nantinya. Tidak mau, aku tidak mau itu terjadi.

Rasanya aku jadi benar-benar sakit. Aku menghubungi Mas Rasya. Memberitaunya jika aku kurang enak badan. "Abi, rasanya Umi kurang enak badan. Kepala Umi sakit, mual juga. Kalo nanti Abi pulang, Umi lagi tidur-tiduran aja apa gapapa Bi atau mau tehnya dibuatkan sekarang? Jam berapa Abi pulang?".

"Umi sakit? Ya udah Abi segera pulang sekarang. Umi istirahat dulu sambil nunggu Abi dalam perjalanan ya. Tiduran aja jangan banyak gerak. Mungkin Umi juga kecapean".

"Eeeh Abi jangan. Kalo Abi masih ngajar ya lanjutkan aja. Umi kan cuma gak enak badan, paling juga minum obat masuk angin sembuh. Udah ya Bi, gak usah khawatirin Umi".

"Ya udah, Umi istirahat ya".

Kupikir, aku berhasil meyakinkan Mas Rasya kalau aku baik-baik saja, kupikir dia melanjutkan mengajarnya. Ternyata 30 menit kemudian, Mas Rasya sudah sampai saja di rumah.

"Assalamualaikum.....".

"Waalaikumsalam". jawabku sedikit kencang karna menjawab dari dalam kamar yang jaraknya lumayan jauh dari pintu depan.

Mas Rasya bergegas masuk kamar, meletakkan tasnya begitu saja dikursi depan. Ia seperti panik. Padahal aku hanya sakit biasa. Mungkin benar kecapean.

"Makanya, Umi jangan kebanyakan mikir yang bukan-bukan. Bukan hanya kelelahan, sepertinya Umi juga banyak pikiran. Jangan lagi mikirin masalah poligami. Umi tenang yah, Annisa akan tetap cantik sampai kapanpun dan Abi akan tetap Abi suaminya Umi yang cuma punya istri satu-satunya seperti Umi. Bidadari Abi yang gak ada tandingannya. Jangan banding-bandingkan dirimu dengan Annisa. Dan masalah keturunan biar Allah yang mengatur. Ingat itu".

Mas Rasya memapahku ke dalam mobil. Dengan sangat hati-hati, kulangkahkan kaki memasuki mobil. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit seperti ini. Betul-betul merasa tidak enak badan. Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit, Mas Rasya mendaftar ke IGD agar penanganannya lebih cepat dengan dokter umum terlebih dahulu.

kesimpulan dokter. "Ibu gak apa-apa koq Pak. Gak usah khawatir. Memang hal-hal seperti ini sudah biasa terjadi kepada Ibu-ibu yang hamil muda".

"Haaah? Hamil? Istri saya hamil dok?". Aku dan Mas Rasya saling pandang. Tidak lama kemudian kami saling berpelukan. Bahagia bukan main. Akhirnya Ya Allah, ya Rabbiku. Engkau Maha pengasih, penyayang, dan Maha segala-galanya. Doa kami terkabulkan.

"Alhamdulilah, dokter terima kasih banyak atas berita yang Alhamdulilah sangat baik ini".

"Iya Pak, selamat yah atas kehamilannya. Dijaga baik-baik istrinya. Jangan sampai kelelahan. Jangan lupa juga minum vitamin yang saya resepkan, dan datang kontrol sesuai jadwal ya Pak".

Iya Dok, InshaAllah, InshaAllah kami pasti akan menjaga dengan baik makhluk kecil ini".

Tanpa disadari, air mata kami berdua menetes saking bahagianya. Dokter terlihat bingung. Mungkin Ia penasaran.

"Apa ini anak pertama Pak?". Tanyanya pada Mas Rasya.

"Iya Dok, ini anak pertama kami, setelah menunggu hampir lima tahun lamanya, akhirnya kami dikarunai juga seorang anak. SubhanAllah Dok. Luar biasa rasanya".

Setelah itu kami pulang. Dalam perjalanan pulang, Mas Rasya terus menggenggam erat tanganku. Kami bahagia sekali. Akhirnya yang dinanti datang juga.

"Umi, gimana kalo kita cari ART untuk bantu-bantu Umi di rumah?".

"Lho, emang kenapa Abi? Umi sudah terbiasa koq merapihkan urusan rumah sendiri".

"Umi, ingatkan apa kata dokter. Rahim Umi harus dijaga betul-betul. Karna Umi sedang mengandung. Umi tidak boleh kerja terlalu berat. Lagipula, Abi pikir kalo ada orang di rumah kan bisa ngawasin Umi. Kalo nanti terjadi apa-apa sama Umi dan gak ada yang lihat gimana? Abi gak mau Umi kenapa-napa".

"Makasih Abi, tapi inshaAllah Umi bisa menjaga kandungan Umi. Jadi Abi gak perlu khawatir ya. Bukannya dulu Abi sendiri yang merasa risih karna ada si Mba di rumah yang bukan mahromnya Abi? Waktu si Mba pamit pulang karna mau menikah. Bukannya Abi yang merasa lega? Meski Abi berkali-kali meminta maaf ke Umi karna bikin Umi jadi ngerjain semuanya sendirian, tapi Umi paham koq kenapa Abi begitu. Nah kalo nanti ada ART lagi, kan repot kalo perasaan Abi masih sama seperti ada si Mba dulu. Abi tenang aja, kalo nanti ada apa-apa sama Umi, atau perasaan Umi gak enak, Umi akan telepon Ibu untuk minta tinggal bersama kita sementara. Toh Ibu sekarang tinggal sama Bang Saman dirumahnya".

"Ya sudah terserah Umi aja. Tapi janji ya, Umi gak boleh kerja berat-berat. Cucian, setrikaan gak usah dipegang. Biar Abi yang kerjakan pekerjaan itu. Yah Umi, tolong nurut sama Abi".

Aku tersenyum senang mendengar betapa suamiku sangat memperhatikan kami. Aku dan Buah hati yang ada dalam kandunganku sekarang. Kebahagiaan ini sudah didengar oleh guru-guru di sekolah, mereka tidak hentinya mengucapkan selamat. Termasuk Annisa.

Rasanya seru sekali saat Annisa datang ke rumah menjengukku. Ia heboh bukan main menyambut anak kami. Sepertinya seolah-olah, Ia yang sedang hamil. Empati Annisa membuatku makin kagum padanya. Dia mendekati telinganya ke perutku yang bahkan masih rata. Mengelus-elusnya kemudian bicara kepada si jabang bayi.

"Ya ampuuun dedeek, akhirnya kamu datang juga nak. Abi, Umi udah lama nunggu. Cepet besar yah, Sholeh sholeha, dan sehat terus. Aduuuh Bibi gak sabar nih liat kamu. Hihihih". Gumam Annisa sambil terus mengelus perutku.

Betapa menyenangkannya ada orang yang sama bahagianya dengan kita. Saat itu lagi-lagi aku berpikir, bagaimana jika benar kami satu rumah. Apakah kami masih bisa tetap seperti ini setiap hari, atau malah sebaliknya, akan lebih sering bersitegang dan berbeda pendapat.

Dulu pikiranku melamarkan Annisa untuk Mas Rasya, karna ingin sekali memiliki anak yang mungkin bisa dikandung Annisa. Tapi kini aku sedang mengandung, apa yang aku inginkan sudah tercapai. Namun mengapa pikiran poligami dalam otakku ini tidak juga mau pergi? Sebegini kagumnyakah aku pada sosok Annisa.

Waktu terus berjalan, tanpa terasa perutku sudah mulai membuncit. "Senang dan tidak sabar menanti kehadiranmu sayang". Gumamku sambil mengelus-elus perutku. Aku merasa ada dipuncak kebahagiaan kali ini. Namun ada yang mengganjal dipikiranku.

Kata orang, istilah morning sick pada Ibu hamil itu hanya terjadi di tiga bulan pertama. Tapi kenapa ya sampai detik ini, sudah empat bulan lebih, aku masih saja merasa sering mual dan tidak enak badan. Aku pikir mungkin karna memang aku sedang tak sehat, hari itu aku benar-benar membiarkan rumah sedikit berantakan, aku istirahat total di dalam kamar, tidak beranjak kecuali makan dan ke toilet. Karna aku betul-betul tak enak badan.

Mas Rasya pulang dengan kondisi rumah masih berantakan. Tapi Ia sangat memahami kondisiku yang sedang mengandung. Terlebih lagi, ini adalah moment-moment kebahagiaannya juga.

"Maaf Abi. Rasanya Umi masih aja gak enak badan sejak kemarin. Jadi tadi coba istirahatin badan". Kataku padanya yang sedang merapihkan ruang tamu, menyapu dan mengepelnya. Padahal sepulang kerja Ia belum duduk sedetikpun. Tapi Ia langsung mengerjakan pekerjaan rumah yang harusnya menjadi tanggung jawabku. Meski aku tau sebetulnya itu juga menjadi bagian dari tanggung jawab suami, tapi karna aku sudah terbiasa. Jadilah aku merasa itu bagian dari tanggung jawabku sendiri.

"Gak apa Umi, gak usah bantu. Umi tiduran aja ya. Nanti Abi buatkan bubur hangat ya biar perutnya enak. Kalo sampai besok Umi masih tidak enak badan, sebaiknya coba kontrol ke dokter ya Umi. Takutnya berkepanjangan".

"Iya Abi, inshaAllah Umi baik-baik aja". Jawabku kemudian. Hari ini Mas Rasya yang sibuk berbenah rumah dan menyiapkan makan malam. Mas Rasya memang sejak muda sudah pintar masak. Bahkan sepertinya masakannya lebih enak dari masakanku.

Sore hari Mas Rasya pulang. Aku baru saja dari Dokter. Seperti pesan Mas Rasya, jika masih saja tidak enak badan, aku sebaiknya kontrol ke dokter. Maka tadi siang aku pergi sendiri ke dokter. Karna tidak ingin Mas Rasya panik seperti yang sudah-sudah, jadi aku berpamitan pergi ke dokter ketika sudah sampai di Rumah Sakit.

"Maaf ya Abi, sekarang Umi ada di Rumah Sakit. Maaf Umi baru bilang dan gak pamit dulu sebelumnya. Soalnya Umi pikir, kalo Umi bilang masih gak enak badan dan mau kontrol ke dokter, Abi pasti pulang. Sedangkan pekerjaan di sekolah juga kan penting. Abi jangan tinggal-tinggal pekerjaan terus demi mengantar Umi kontrol. Cuma kontrol aja kan Umi bisa sendiri".

Itu kataku saat meminta izin ke Rumah Sakit pada Mas Rasya. Untungnya dia paham maksudku. Aku berbuat begitu hanya supaya dia tidak perlu memaksakan diri izin pulang dari sekolah untuk mengantarku ke Rumah Sakit.

"Jadi, apa kata dokter?". Tanya Mas Rasya begitu dia pulang dari mengajar sore itu. Aku terdiam sejenak. Tidak ingin membuatnya panik. Tapi sepertinya dia bisa membaca wajahku yang tidak biasanya ini.

"Umi, kenapa dengan kalian? Apa ada yang gawat? Umi sakit apa?". Tanyanya kembali karna melihat wajahku yang kelihatan gugup.

"Mmmh.... jadi gini Abi, sebetulnya Umi sih baik-baik aja. Cuma, kata dokternya, Umi harus benar-benar banyak istirahat dan tidak terlalu banyak gerak dulu. Karna kata dokter, kandungan Umi lemah".

Mas Rasya panik bukan main. Dia pikir ini hal gawat yang serius. Dengan wajahnya yang sangat panik, Ia meraih tanganku kemudian mendekapku sambil mengelus perutku.

"Umi sayang, mulai hari ini hentikan pekerjaan rumah sekecil apapun ya. Jangan paksakan. Abi mohon Umi nurut apa kata Abi ya. Biarin rumah berantakan, biarin cucian, setrikaan, menumpuk. InshaAllah Abi bisa nyambi ngerjain itu semua. Ya Umi ya? Pleeease".

"Iya Abi, InshaAllah Umi akan nurut sama Abi. Eh Abi, gimana kalo kita minta bantuan Annisa?". Tanyaku padanya. Berharap Ia mau mengerti.

"Maksud Umi? Masa Annisa disuruh kerja juga di rumah kita. Gak enak dong Umi". Jawabnya kemudian.

"Bukan Abi, bukan ngerjain pekerjaan rumah. Tapi, minta Annisa tinggal sama-sama kita untuk ngawasin Umi aja. Lagipula rumah Annisa kan tidak jauh dari sini. Menurut Abi gimana?".

"Umi ini ada-ada aja. Dulu bilangnya mau minta Ibu yang datang. Kenapa sekarang jadi minta Annisa? Umi ngidam ya? Jangan aneh-aneh dong sayang ngidamnya. Masa minta Annisa".

"Ah Abi, Umi kan cuma tanya. Kalo Abi gak setuju ya gak apa". Jawabku sambil merengek. Mas Rasya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku merengek.

Besoknya aku menghubungi Annisa. Bertanya sampai jam berapa Ia mengajar. Kebetulan hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, hanya saja sebagai pegawai, tetap saja dia harus berada di sekolah meski tidak ada jadwal. Setidaknya kehadiran bagian dari pekerjaan juga.

Kemudian aku memintanya datang  ke rumah siang ini jika Ia bisa meminta izin. Entah kenapa aku ingin sekali ditemani olehnya. Tidak butuh waktu lama untuknya meminta izin. Begitu Ia bilang ingin menemani istri Bpk. Rasya yang tengah mengandung, siapa lagi yang bisa menolak izin tersebut.

Annisa datang ke rumah. Kami ngobrol banyak, tertawa, bercanda, makan banyak, juga sempat tidur siang. Annisa memasakan makanan kesukaanku. Capcay seafood. Luar biasa rasanya. Gak kalah dengan masakan Mas Rasya.

"Nis, menurutmu. Mas Rasya orangnya gimana?". Tanyaku pada Annisa yang sedang menyuap makanan ke dalam mulut dengan sendoknya.

"Mmmh, Mas Rasya itu baik banget, perhatian sama anak-anak murid, gak pernah marah, kalo ada murid yang salah atau nakal, dia akan dengan tegas memberi sanksi tapi tidak dengan arogan seolah beliau itu posisinya guru. Makanya Ka, Mas Rasya itu diseganin sama murid-murid. Mereka juga sayang sama Mas Rasya. Karna Mas Rasya bisa berperan sebagai guru, orangtua, dan teman sekaligus buat mereka. Itu sih yang aku dengar dari murid-murid".

"Ooo gitu ya Niss. Kalo sebagai suami. Menurutmu dia gimana orangnya?".

"Idiiih Ka Isah koq malah nanya Nisaa. Itu kan Ka Isah yang tau. Aneh deh. Udah deeeh Ka Isah jangan mancing-mancing. Bilang aja mau nanya kapan Nissa kawin? Iya kan? Ih Ka Isah sama aja nih sama ibu di rumah. Nanyanya ituuu mulu. Padahal nanti, kalo ketemu jodohnya juga Nissa pasti kawin Ka. Itu juga yang Nissa bilang sama Ibu. Tapi tetep aja. Ibu, Bapak, Bahkan Ka Isah nanyain mulu".

"Loooh Koq kamu mikirnya gitu. Coba, mana kalimatku yang mempertanyakan itu? Memangnya dari tadi aku nanyain itu ke kamu? Yeeeh GR aja deh. Itukan urusanmu. Mau kapan nikahpun itu kamu yang jalani, jadi ya buat apa aku tanya-tanya terus. Yang aku tanyakan tadi kan bagaimana menurutmu seorang Mas Rasya jika jadi suami? Bukannya itu pertanyaanku?".

"Naaah ini nih. Pertanyaan Ka Isah itu jauh lebih aneh dari pertanyaan Ibu Bapak Nissa kapan Nissa kawin? Suami sendiri koq gak bisa menilai. Gimana toh Ka Isah ini. Apa gak aneh namanya, nanyain karakter suami sama perempuan lain?".

"Yeeeh kamu ditanya malah balik bertanya. Kalo menurut aku sih ya. Mas Rasya itu orangnya SUPER DUPER KEREN. Gak pernah marah, mau mengerjakan pekerjaan rumah, sabar, rajin ibadahnya, sholeh, cocok jadi Imam. Pokoknya beruntung banget perempuan yang jadi makmumnya".

"Ka Isah demam yah? Masih sakit?".

"Ih, apa sih kamu. Aku kan cuma ngomong apa adanya".

"Yah ngapain juga ngomongin kebaikan suami sendiri ke perempuan lain coba. Ka Isah aneh-aneh aja. Trus kalo nantinya Nissa jadi tertarik sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah cerita-cerita yang baik-baik mulu tentang Mas Rasya, siapa yang salah coba? Kalo nanti Nissa jatuh cinta sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah banga-banggain terus gimana coba? Mending kalo Mas Rasyanya nolak. Nah kalo Mas Rasyanya mau juga dideketin sama Nissa. Gimana hayoo?? Jangan sembarangan cerita tentang suami sendiri ke perempuan lain Ka. Untung Kaka ceritanya cuma ke Nissa. Nissa kan anak baik. Gak bakalan tertarik sama suami orang".

"Yaaah sayang sekali kalo kamu sampe gak tertarik sama Mas Rasya".

Anissa tersedak, batuk mendengar omonganku yang barusan. Mungkin Ia pikir aku bercanda saat ngomong itu. Tapi sejujurnya, aku serius. Aku ingin Annisa tertarik dengan Mas Rasya. Aku ingin Mas Rasya menikahi Annisa. Toh Annisa bukan istri orang.

"Ka Isah sehat gak sih. Ka Isah ngomong begitu itu kenapa? Apa maksudnya? Kaa... Nissa betul-betul minta maaf kalo selama kita bersahabat, ada kelakuan Nissa yang bikin Ka Aisyah salah paham. Tapi sungguh Ka. Nissa gak pernah punya perasaan apa-apa sama Mas Rasya. Demi Allah Ka. Demi Allah yang Maha tau segala-galanya, Yang Maha Tau dalamnya hati manusia. Nissa gak pernah sekalipun mikirin Mas Rasya".

"Nis, maafin Kaka kalo kesannya Kaka nuduh. Tapi gak gitu koq Nis. Ka Isah betul-betul berharap kamu jadi saudari kakak di rumah ini".

Annisa makin terperanjat dengan omonganku. Ia tidak habis pikir. Apakah yang aku maksud, diriku mau dimadu olehnya. Ia menghentikan suapannya. Berhenti makan meski makanan masih tersisa dipiringnya.

"Ka, tolong dong, jangan bercanda sejauh ini. Nissa takut jadi canggung atau salah sikap".

"Demi Allah yang mengetahui hati manusia, Ka Isah sungguh-sungguh ingin Mas Rasya menikahi kamu Nis".

"Dan Demi Allah Ka, Nissa masih gak paham kenapa tiba-tiba Ka Aisyah ngomong begini. Kalo karna Kaka terlalu sayang sama Nissa dan kasihan sama Nissa karna sudah umur segini Nissa masih sendiri, ya setidaknya gak mungkin kan Kaka ngorbanin perasaan Kaka sendiri? Mana ada Ka, perempuan yang mau dimadu terang-terangan. Bahkan Ka Aisyah minta Nissa tinggal disini juga. Gak masuk akal kalo gak ada alasannya Ka".

"Niss, kamu bener. Semua orang pasti punya alasan atas tindakan yang dilakukannya. Begitu juga aku. Aku juga punya alasan. Tapi sungguh, alasanku hanya ingin kamu jadi pendamping Mas Rasya, jadi saudariku, menemaniku menjaga anak-anak kita dengan Mas Rasya nanti".

Annisa jadi terlihat pucat pasi. Ia seperti tersangka pencuri yang sudah ketauan berhasil mencuri hati kami. Ia terdiam.

"Ka, sebaiknya Nissa pulang dulu ya. Nissa jadi gak enak badan denger omongan Ka Aisyah begini".

"Iya Nis. Silahkan Nissa pulang sekarang. Tapi tolong. Pikirkan lamaran Ka Aisyah untuk Mas Rasya ya. Kaka serius Nis".

Annisapun pulang dengan seribu pertanyaan dibenaknya. Ada apa denganku? Mengapa aku malah melamarkan calon istri untuk suaminya? Mengapa dia? Mengapa sekarang?

Aku sudah berhasil bicara dengan Annisa. Tugasku tinggal bicara dengan Mas Rasya. Semoga Ia mau mengabulkan permintaanku untuk menikahi Annisa.

Malamnya ketika di kamar, aku mencoba mengawali pembicaraan. Aku sengaja basa-basi dulu. Mulai dari membicarakan kehamilanku, ngidam banyak makanan, saran dokter, dan sebagainya. Dan akhirnya tibalah aku harus bicara tentang Annisa.

"Bi, menurut Abi. Annisa betah gak ya kalo tinggal di rumah ini?".

"Hmm, itu lagi yang diomongin. Kenapa sih Mi? Umi pingin banget Annisa tinggal disini. Kalo memang Umi mau dan Annisa bersedia, silahkan Umi. Ajak Annisa sahabatmu itu tinggal disini. Tapi Umi jangan lupa. Annisa bukan mahromnya Abi. Jadi dia harus bisa menjaga perilakunya jika ada Abi di rumah ini. Menjaga tingkahnya, pakaiannya, dan banyak lagi. Yang pada akhirnya nanti malah akan menyusahkan dia Umi. Kasihan kan dia kalo kesehariannya di rumah dibatasi hanya karna ada laki-laki yang bukan mahromnya tinggal serumah dengannya".

"Naah itu dia Bi, biar gak risih dan kalian gak canggung lagi. Kenapa Abi gak halalin Nissa aja sekalian".

"Apa Mi? Umi sehat? Ada apa nih tiba-tiba ngomong begini. Umi denger omongan gak bener di sekolah? Ada fitnah tentang Abi dan Annisa di sekolah yang Umi dengar? Abi gak pernah dekat-dekat dengan Annisa Umi. Demi Allah. Kalo ada omongan miring tentang kami, itu fitnah".

"Ya Allah Abi, kenapa Abi malah jadi suudzon? Demi Allah juga Abi. Umi sungguh-sungguh dengan omongan Umi yang barusan. Umi pingin Abi nikahi Annisa. Jadikan Annisa saudari Umi di rumah ini. Apa Abi gak berpikir, jika nanti putra kita lahir, Umi akan membutuhkan bantuan?".

"Ya ampun Umi. Apa sih yang ada dipikiranmu? Otakmu apa lagi kacau? Mungkin hanya kamu satu-satunya yang mau berbagi suami dengan sahabat. Umi tau gimana susahnya berbuat adil? Pengalaman orang-orangtua bilang, adil terhadap anak saja sulit, apalagi terhadap dua istri. Abi belum tentu sanggup".

"Tapi kan Abi belum jalanin Bi. Mana tau Abi sanggup atau tidak jika punya dua istri".

"Umi, istigfar kamu. Kalo kamu minta aku menikahi Annisa hanya karna kamu butuh bantuan, kamu bisa minta dicarikan ART, pengasuh, atau pembantu harian bila perlu. Kenapa harus Abi menikah lagi? Apa Umi benar-benar ngidam ingin Annisa jadi saudari Umi di rumah ini? Kalo benar seperti itu, apa jadinya ketika anak itu lahir. Mau kamu ke manakan Annisa? Artinya Umi egois dong. Cuma karna ngidam, atau karna ingin dibantu mengurus rumah tangga".

"Ya Allah Abi, Umi gak seperti itu. Kenapa sih Abi mikirnya begitu. umi hanya betul-betul ingin ada Annisa dirumah ini tapi halal bagi Abi. Agar kalian tidak canggung satu sama lain".

"Mi, udah cukup ya pembicaraan ini. Umi lagi hamil. Kita omongin lagi kapan-kapan. Abi capek, mau istirahat".

Tidak kusangka, omongan ini membuat Mas Rasya marah. Aku bingung. Sepanjang pernikahan kami, Mas Rasya tidak pernah marah sekalipun. Tapi malam ini, akhirnya emosinya meluap karna keinginanku yang tidak biasa.

Besoknya aku bangun kesiangan. Jam 10:00 aku baru bangun, Mas Rasya sudah pergi mengajar. Sepertinya Ia masih marah padaku. Kupikir akan lebih susah membujuk Mas Rasya ketimbang Annisa. Tapi, bagaimanapun, aku tetap ingin mereka menikah segera. Harus cepat. Aku tidak mau berlama-lama.

Akhirnya, usahaku sudah sampai pada puncaknya. Setelah aku bernegosiasi dengan Annisa, memberinya alasan yang betul-betul diperlukan, dan memberinya pengertian. Alhamdulilah Annisa menerima lamaranku untuk Mas Rasya. Ia sempat menangis ketika kujelaskan mengapa aku butuh dia di rumah ini.

Tapi Mas Rasya masih saja sulit dimintai pengertian. Ia tetap berfikir kalau keinginanku ini hanya karna ngidam.

"Bi, apa Abi gak kasihan. Annisa sudah setuju menikah dengan Abi. Sekarang dia menanti-nanti lamaran Abi. Kasihan kan Bi. Jangan beri Nissa harapan kosong".

"Lho, kan Umi yang memberikan Annisa harapan. Bukan Abi. Dari awal Abi sudah tegas menolak permintaan Umi yang satu itu. Umi tau apa dampaknya? Umi sendiri nantinya yang akan menyesal. Bagiamana mungkin serumah dengan dua istri yang harus saling pengertian tapi nyatanya gak seperti itu. Rasanya sulit Umi. Gak bisa Abi bayangkan untuk saat ini.

"Abi, Umi mohon dengan sangat. Kasih Umi kesempatan untuk punya saudari di rumah ini. Kasih Umi kesempatan untuk menunjukkan bahwa Abi bisa adil pada kami berdua, bahwa Umi dan Annisa bisa hidup bersama. Umi mohon Abi". Aku memohon padanya sambil menangis, air mataku betul-betul mengalir disaat itu.

Mas Rasya tidak pernah melihatku memohon padanya dengan berlinangan air mata. Ia bingung dengan keinginanku. Dia bilang, alasanku kurang kuat meminta Ia menikahi Annisa. Akupun bingung harus bicara apa lagi.

Tapi Allah sungguh Maha tau hati manusia. Akhirnya Mas Rasya setuju menikah dengan Annisa. Meski agak berat melamarnya karna kedua orangtua Annisa pasti akan sedih jika putri cantik kesayangannya menjadi istri kedua, namun mereka sadar betul akan kehidupan Annisa yang sudah dewasa. Annisa bebas memilih, Ia bukan anak kecil juga tidak remaja lagi. Ia sudah pasti tau apa yang Ia jalani.

Meski dengan berat hati, akhirnya kedua orangtua Annisa memberikan restunya pada kami. Akhirnya mereka menikah, diusia kandunganku yang ke enam, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di rumah kami.

Tidak semulus yang aku bayangkan. Ibu, Bang Saman, dan Ka Dita sempat marah pada keputusan kami. Bahkan parahnya lagi mereka menuduh Mas Rasya memojokkanku agar aku setuju dimadu. Meski dari awal aku sudah menjelaskan bahwa aku yang menginginkan ini, bahwa bahkan Mas Rasya sempat menolak dengan tegas, tapi mereka tetap tidak percaya.

Begitu pula dengan keluarga besar Mas Rasya. Mereka bingung dengan keputusan kami. Ada apa sebenarnya. Tiba-tiba saja Mas Rasya yang dikenal alim dan tidak pernah bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahromnya, ingin menikah lagi.

Siang, malam aku berdoa. "Ya Allah, bukakanlah mata hati mereka. Berilah mereka pengertian akan keputusan kami. Aku yang menjalani hidupku, aku yang tahu seperti apa perasaan ini. Aku mohon Ya Allah, lapangkan hati mereka, juga lapangkanlah hati Annisa agar tidak mereasa didinya direndahkan apalagi dipojokan".

Pernikahan sudah berlangsung. Kini kami tinggal bertiga. Mas Rasya, Aku, dan Annisa. Aku berharap hubunganku dengan Annisa justru makin dekat dan baik. Tapi di awal-awal, sepertinya Ia justru canggung. Entah apa yang dia rasa sekarang.

Malam itu, malam dimana mereka menjadi sepasang pengantin, sepasang suami istri, air mataku mengalir. Rasanya sakit, sedih sekali. Aku harus terpaksa berbagi dengan sahabat karibku. Tapi aku harus ikhlas, aku harus merelakan mereka berdua.

Usia kandunganku sudah masuk bulan ke tujuh. Aku bertanya pada Annisa. Bagaimana perasaannya sekarang. Ia hanya tersenyum sambil berkata "Semua baik-baik aja Ka Isah. Nissa baik, Mas Rasya juga sepertinya tidak ada masalah, kami baik-baik saja".

Begitu katanya. Tapi aku tau. Dari kalimatnya itu sepertinya itu semua bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya. Bagaimana tidak. Kini semua orang tau jika Annisa istri kedua Mas Rasya yang adalah atasannya di tempatnya bekerja.

Dari omongan orang-orang aku bisa tau kalau banyak yang menjelekkan Annisa. Mencapnya sebagai perebut suami orang, perusak rumah tangga orang. Seringkali aku memergoki Annisa seperti habis menangis. Tapi Ia selalu terlihat tegar.

"Nis, kamu gapapa? Ada yang mau kamu ceritakankah?". Tanyaku padanya suatu ketika.

"Gakpapa Ka, Nissa cuma agak capek aja sedikit" . Jawabnya simple.

"Nissa, jangan kamu tutupi lagi perasaanmu. Aku tau kamu sering terluka. Banyak yang memojokanmu, yang menjelekanmu karna keputusanku menikahkan kau dengan Mas Rasya. Tapi aku mohon Nissa, bertahanlah sampai harinya tiba. Bertahanlah sesanggup kau bisa. Hanya kamu harapanku Nis".

"Ka, kakak jangan bicara gitu lagi. Allah itu Maha Besar, Maha mudah bagi dia membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ka Aisyah akan baik-baik aja. Jangan kau pikirkan hal itu lagi ka. Aku juga baik-baik aja. Biarkan mereka membicarakanku dibelakang. Toh itu dosa mereka. Akupun tidak memikirkan hal itu Ka. Aku janji, kita bertiga akan menjalani kehidupan panjang dengan baik".

Kami menangis, berpelukan. Aku sangat bersyukur bertemu dengan Annisa, mengenalnya, dan sekarang lebih dekat. Meski terkadang ada rasa cemburu, tapi aku harus ikhlas. Lagipula, tanpa sengaja aku mengetahui bahwa ternyata sampai detik ini, Mas Rasya belum pernah sekalipun menyentuh Annisa.

Awalnya aku tidak tau kenapa mereka begitu. Apakah Annisa tak tega padaku, atau Mas Rasya yang masih merasa akan menyakitiku. Tapi kemudian belakangan aku tau bahwa ternyata itu permintaan Annisa.

Annisa mengatakan pada Mas Rasya bahwa Ia minta waktu sampai hatinya siap. Mas Rasya menerima karna Ia sendiri juga menikah karna permintaanku. Annisa juga yang minta agar Mas Rasya selalu tidur di kamarku.

Usia kehamilanku sudah akan jalan 9 bulan. Sebentar lagi waktunya tiba. Aku harus mempersiapkan segalanya. Aku harus siap. Ketika anak ini lahir, Annisa, Mas Rasya, Ibuku, Bang Samin, Mba Dita, Orangtua Annisa, dan keluarga besar Mas Rasya harus hadir. Aku meminta mereka menungguiku di Rumah Sakit. Mereka harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku ceritakan kepada Mas Rasya.

"Umi koq permintaannya semenjak hamil aneh-aneh sih Mi. Udah diturutin minta Abi nikah lagi, sekarang minta semua keluarga kumpul begitu Umi lahiran. Ada apa Mi. koq Umi kaya takut gak panjang umur setelah lahiran. Umi tenang aja. Umi pasti bisa. Buktinya ada berapa juta oang Ibu-ibu yang berhasil melahirkan banyak anak dengan selamat. Jadi Umi jangan mikir yang macam-macam".

"Iya Abi, Umi ngerti koq. Makasih ya Abi sayang. Udah nurutin keinginan Umi untuk Annisa tinggal bersama-sama kita".

Hari sabtu, seharusnya Mas Rasya dan Annisa libur mengajar. Tapi karna urusan mendadak di sekolah, jadilah Mas Rasya harus pergi. Kami hanya tinggal berdua. Aku mencoba mencairkan suasana. Agar Annisa tak cangguung lagi di rumah ini.

"Nis, seperti yang sudah aku bilang, nanti saat melahirkan, tolong panggil Ibu Bapak kamu ya ke Rumah Sakit. Supaya mereka tau. Bagaimana kita ke depannya nanti".

"Ka Isah, InshaAllah Nissa akan minta Ibu Bapak hadir. Tapi tolong Ka Isah gak usah berpikiran macam-macam yah, meski sudah pasti bagaimana keadaan Ka Aisyah, tapi tetap Allah yang memutuskan nanti. Bukan Kaka, jadi udah ya Ka, jangan bicara seolah-olah semuanya sudah akan pasti terjadi".

Saat sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba aku merasakan kontraksi diperutku. Rasa sakit yang bukan main. Sakitnya seperti ingin mati saja.

"Aduh Ya Allah, Niss sakit sekali perutku. Ya ampun Niss. Gimana ini. Aduh....aduh...". Aku merintih sangat kesakitan. Annisa membantuku. Ia memegang kedua lenganku. Mencoba mengangkatku naik ke kursi, karna tadi kita memang sedang duduk-duduk santai beralaskan karpet di ruang tamu.

"Ya ampun Ka, kayanya Ka Isah mau lahiran deh. Aduh Ka. Bukannya kata dokter masih tiga minggu lagi. Aduh Kaka tahan ya, kita ke Rumah sakit sekarang, nanti Nissa hubungin Mas Rasya dijalan aja. Kita harus segera Ka. Gawat ketuban Kaka, udah pecah".

Annisa panik bukan main, dia memapahku ke luar pintu. Kami berjalan perlahan menuju mobil, tetangga-tetangga yang kebetulan sedang berada di sekitaran rumah, menghampiri kami.

"Kenapa neng kenapa? Ayo ayo sini dibantu". Kata salah seorang tetangga.

"Bu, tolong Bu, bukakan pintu mobilnya aja. Tolong ya Bu".

"Iya neng iya, mari sini neng". Ibu tetangga kami membantu menahan pintu mobil agar aku dapat masuk dengan mudah. Sementara yang lain berbisik-bisik seperti biasa.

"Ada apa sih? ada apa?".

"Ituu, istri tua mau lahiran".

"Ciyeee, enaknya yang punya temen serumah ada yang bantu".

"Apa gak merasa tuh si Nissa cuma dijadiin pembantu di rumahnya. Biasa deh temen deket takut suaminya dikuasain, mending suruh kawinin aja langsung biar bisa dia jadiin pesuruh".

Begitu bisik-bisik yang kami dengar. Memang sifat alami manusia. Hal yang baik saja masih bisa mereka putar balikan menjadi buruk, apalagi hal yang tabu seperti keluarga kami ini.

"Istigfar ya Niss, gak usah dengarkan mereka. Mereka hanya tidak tau apa yang terjadi dengan kita".

"Ka, yang harusnya istigfar itu Kaka. Kenapa jadi mikirin Nissa". Kata Annisa sambil menyetir dengan terburu-buru.

Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Aku segera dimasukkan ke ruangan bersalin, Annisa menghubungi Mas Rasya dan keluarga-keluarga yang lain seperti permintaanku sebelumnya. Aku berharap, tidak ada yang tidak hadir saat ini. Karna ini hari penting bagi kelangsungan hidup keluarga kami. Aku, Annisa, Mas Rasya, dan Buah hati kami bertiga.

Dokter kandunganku yang sudah tau keadaanku datang menghampiriku, lalu menggenggam erat tanganku. "Gimana Bu Aisyah, sudah siap dengan segala resikonya? Semoga Allah meridhoi jalan yang Ibu putuskan ya Bu. Ini pilihan yang paling mulia yang pernah saya lakukan".

"Iya Dok, InshaAllah saya sudah siap. Saya sudah menyiapkan segalanya". Jawabku dengan suara terbata-bata menahan sakit yang teramat sangat di perutku.

Proses persalinan sedang berlangsung, Keluarga besar kami menunggu semua di luar pintu. Menanti kehadiran sang buah hati. Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. Mas Rasya dan Annisa dipersilahkan masuk oleh dokter kandunganku yang sudah mengenal kami dengan baik.

Aku menangis sambil menggendong bayiku, tak lama kemudian Mas Rasya mengumandangkan adzan ditelinganya. Annisa menghampiriku, kemudian sanak keluarga yang lainpun dipersilahkan masuk oleh dokterku yang tau akan kondisiku.

Annisa menangis memelukku sambil berkata "Ka Aisyah selamat ya. Selamat atas kelahiran anak kita". Ia menangis tak henti. Ia memelukku, kemudian aku memintanya mengambilkan tas besar yang kami bawa saat pergi ke Rumah Sakit sebagai persiapan melahirkan.

Akupun tak kuasa menahan tangis. Sambil terisak, kutanyakan pada dokter. "Dok, berapa lama lagi? Berapa lama lagi waktu saya Dok?".

Spontan seluruh keluarga termasuk Mas Rasya terperanjat kaget dengan pertanyaanku. Terkecuali Annisa. Annisa yang memang sudah tau kondisiku sebenarnya. Mengapa Annisa mau menikahi Mas Rasya, karna aku menceritakan kondisiku padanya saat itu. Aku mengatakan padanya usiaku hanya sampai aku melahirkan anakku. Itu sebabnya Ia menyetujui permintaan terakhirku itu.

"Ibu, sampai kapan usia manusia itu bukan saya yang tentukan. Sudahlah, sebaiknya Bu Aisyah habiskan waktu bersama putra Ibu sekarang. Jangan terlalu banyak pikiran. Lakukan saja apa yang sudah Ibu persiapkan sebelumnya. Agar kita siap kapanpun waktunya".

Mendengar dokter bicara seperti itu. Mas Rasya makin bingung. Ia melihat ke arahku, sesekali menoleh ke arah Dokter. "Kalian ini bicara apa? Saya gak mengerti. Apa maksud Umi ngomong begitu".

Kemudian kuminta Annisa membuka tas besar itu, kukeluarkan banyak sekali amplop surat yang sudah kupersiapkan. Salah satunya amplop beberapa bulan lalu saat usia kandunganku memasuki usia 4 bulan, dimana aku merasa mual dan sakit berkepanjangan. Amplop itu berisi hasil test laboratorium yang menginformasikan bahwa ada kanker di rahimku. Kanker stadium 4 yang sudah tidak mungkin disembuhkan kecuali dengan Mu'jizatNya.

"Maafkan Umi ya Bi, maafkan atas keputusan Umi yang tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Abi". Aku dan Annisa menangis sejadi-jadinya. Air mata kami tak bisa berhenti. Annisapun memohon maaf kepada Mas Rasya.

"Maafkan Nissa juga Mas, ini pesan terakhir Ka Aisyah. Kaka yang tidak mau Nissa menceritakan perihal sakitnya kepada semua. Maafin Nissa yang tidak berdaya menolong Ka Aisyah Mas".

Annisa terus menangis sambil memelukku yang sedang menggendong putra kami. Mas Rasya membaca hasil lab itu dengan serius. Ia shock, hingga tanpa sengaja menjatuhkan surat itu. Kemudian menghampiriku, menciumiku sambil juga menangis. Pada akhirnya, Mas Rasya yang tegarpun menangis juga.

"Ya Allah Umi, kenapa Umi sembunyikan dari Abi Mi. Ya Allah, tolong jangan ambil istri saya secepat ini Ya Rabbi. Kenapa cuma Umi sendiri yang mengalami ini. Kenapa tidak berbagi dengan Abi Mi? MasyaAllaaah bagaimana hidup Abi tanpamu Umi".

Dokter turut bicara. Agar permasalahan menjadi lebih clear.

"Hari itu, hari dimana saya membaca hasil test laboratorium itu, saya sudah tanyakan kepada Ibu Aisyah. Apa keputusannya. Apakah Ia mau menggugurkan kandungannya agar Ia bisa bertahan hidup, atau meneruskannya dengan resiko kematian yang tinggi setelah melahirkan. Ibu Aisyah memutuskan memilih meneruskan kandungannya. Tapi itu setelah saya menjelaskan panjang lebar resiko yang akan terjadi apabila bayi dalam rahim yang sudah berusia empat bulan itu diangkat.

Dengan jujur saya katakan bahwa, meskipun Ibu Aisyah memilih menggugurkan kandungannya, maka bukan berarti Ia sembuh total. Hal itu hanya akan memperpanjang sedikit usia hidupnya saja. Karna terus terang, kanker itu sudah sangat parah menggerogotinya. Itu juga yang menyebabkan kalian sulit dapat keturunan. Sungguh mu'jizat Ibu Aisyah pada akhirnya bisa mengandung, meski harus bertaruh nyawa. Akhirnya Ibu Aisyah memutuskan untuk meneruskan kandungannya. Saya hanya dokter, keputusan tetap ditangan pasien".

Begitulah penjelasan dokter didepan semua keluarga besar kami. Itulah mengapa aku ingin keluarga besar kami hadir. Agar mereka bisa mendengarkan pesan-pesan terakhirku.

"Itulah sebabnya Bu, Bang Saman, Ka Dita, Bapak, Ibu, semuanya. Mengapa saya bersikeras melamarkan Annisa untuk Mas Rasya. Saya ingin Annisa yang menjadi pengganti saya. Saya ingin Annisa yang menjadi Ibu dari anak saya. Saya tahu betul Annisa akan sangat menyayangi putra kami. Jadi tolong, saya mohon, kalian jangan lagi memojokkan Annisa dan Bapak Ibunya seolah mereka merusak keluarga kecil saya. Tidak Bu, Bang, justru mereka penyelamat hidup saya".

"Ya Allah Umi, kenapa kamu menderita sendiri seperti ini selama ini Mi. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka dalam hal apapun?".

Mas Rasya tak hentinya menangis sambil memeluk kepalaku yang sedang menggendong sambil menyusui putra kami. Mereka semua menangis.

"Annisa, ini ada surat-surat yang harus kamu berikan kepada anak kita setiap kali dia berulang tahun. Semuanya ada 17 surat. Aku berharap, di ulangtahunnya yang ke 18, Ia sudah tidak memerlukan surat-suratku lagi untuk mengingatku".

Aku menyodorkan ke17 amplop putih berisi surat-surat untuk putraku. Annisa menerimanya dengan air mata yang masih mengalir tak henti-hentinya. Ya, aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku menulis surat-surat itu agar kelak anakku tahu bagaimana kehidupan kami saat Ibu yang melahirkannya masih hidup.

Bukan, surat-surat itu bukan surat-surat permintaan seperti yang ditulis Tina untuk anaknya dalam film india itu. Bukan berisi surat permohonan mencarikan jodoh bagi Ayahnya. Karna tugas itu, sudah dilaksanakan oleh Ibunya sendiri. Anakku tidak perlu lahir tanpa Ibu. Karna Ia sudah memiliki Annisa Ibunya. Itulah betapa Islam agama yang sangat benar, agama yang mengatur segala kehidupan umat manusia pada jalan yang lurus. Indahnya Islam yang memperbolehkan seorang suami menikah lagi dengan alasan yang sangat kuat tentunya.

Ini adalah salah satu alasan paling kuat mengapa seorang suami diijinkan menikah lagi oleh istrinya sendiri. Maha benar Allah atas segala firmanNya.

Surat-surat yang kutulis untuk anakku berisikan perjalan hidup kami bertiga. Agar nanti jika masih ada orang-orang yang bergunjing tentang pernikahan Ayah dan Ibunya Annisa, putraku tidak bingung ataupun sedih mendengarnya. Karna Ia sudah tahu yang terjadi melalui surat-surat yang kuberikan.

Malam itu, beberapa jam setelah melahirkan. Akhirnya aku berpulang. Aku bersyukur menjadi manusia yang diberitahu kapan umurku akan berakhir di dunia. Tidak semua manusia memiliki kesempatan yang sebaik aku miliki.

Alhamdulilah impian kami memiliki anak, akhirnya terwujud juga. Aku menghembuskan nafas terakhirku disamping Mas Rasya dan Annisa. Kupersatukan tangan mereka. Aku memohon kepada mereka untuk segera tidur satu kamar selepas kepergianku.

Aku tau, jika aku tidak berpesan demikian, entah sampai kapan mereka akan tidur terpisah karna merasa sama-sama canggung dan tidak enak. Aku berpesan, mereka harus jadi keluarga yang utuh.

Itulah kisah hidupku. Allah berfirman  Laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, begitu juga sebaliknya laki-laki yang buruk hanya untuk wanita-wanita yang buruk (perilakunya) juga.

Maka aku yakin, Mas Rasya adalah sosok yang paling tepat bagi Annisa dikehidupannya.

S E L E S A I