Tampilkan postingan dengan label Cinta Pertama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta Pertama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

Sahabat Bayang-Bayang

Tulisan yang saya muat kali ini kiriman dari "Dinik Afrianingsih". Saya ucapkan banyak terima kasih atas kirimannya.Cerita ini fiktif dan hanya karangan semata. Mohon lebih bijak dalam me ngambil maksud dari inti cerita ini. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Sahabat Bayang-Bayang

Tak pernah ada rasa sesal yang hinggap dalam hati kecil ini. Ataupun rasa takut, tak pernah terpikir dan terasakan olehku. Gadis muda yang penuh imajinasi. Apa salahnya berteman bahkan bersahabat? Tak salahkan? Tapi, mengapa semua memandang penuh keanehan padaku? Mereka selalu bertanya ‘Kenapa harus kamu?’. Sementara aku hanya bisa menatap bingung tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Hei, Forehead! Apa yang kau pikirkan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Ah, kau mengagetkanku Ino pig.” jawabku sambil menatapnya dengan kesal. Tentu itu hanya sebuah gurauan. Tak pernah aku merasa benar-benar kesal padanya. Teman ‘Nyataku’ Yamanaka Ino.

“Jadi apa yang membuat sahabatku Haruno Sakura melamun? Sasuke kah? Atau Naruto?” tanyanya penuh selidik padaku. Ah ya namaku Haruno Sakura. Sasuke dan Naruto yang disebut-sebut oleh Ino adalah temanku juga. Lebih tepatnya Teman kecilku.

“Bukan keduanya Ino. Apa aku terlihat begitu perduli dengan mereka yang seenak jidatnya meninggalkanku sendirian di club kemarin? Jawabannya TIDAK!” jawabku sewot. Cih, jika menyangkut kedua pria brengsek itu aku mulai naik darah. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Argh mengingatnya saja sudah membuatku emosi.

“Lalu? Masalah apa lagi?”

“Hanya masalah kecil, mungkin?” jawabku ragu. Dan karena itu membuat salah satu alis temanku pig ini terangkat keatas. Pertanda dia tidak mengerti.

Akupun menghela napas maklum. “Kau masih belum ngeh ya?” dan anggukan adalah jawabannya. “Aigoo…” akupun mulai gemas. Padahal kami sudah berteman cukup lama dan sudah sering curcol bersama tapi tetap saja…

“Ah, aku ingat!!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk di depan mukaku.”Masalah itu ya? Tentang ‘SAHABATMU’ itukan? Kenapa lagi?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Inopun mulai memaksaku untuk bercerita. Namun, aku tetap diam tak mau bercerita. Dia terus mengoceh tentang persahabatan dan kebersamaan kami. Akupun mulai memandang langit dan mengingat kembali ‘SAHABAT’ ku itu. Semua berawal dari kejadian itu.

Hujan lebat turun dengan sambaran petir yang tak bersahabat membuat siapapun menjadi takut. Termasuk aku yang berada di dalam rumah sendirian. Ayah dan Ibuku pergi keluar kota untuk urusan bisnis dan sepupuku Sasori juga sedang menginap di rumah temannya. Itulah mengapa aku sendirian.

Saat itu aku berumur lima tahun dan masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian di rumah yang sangat luas. Aku hanya dapat meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk taddy bear kesayanganku. Tubuhku bergetar ketakutan saat mendengar suara petir yang menyambar dengan keras. Seolah mereka menyambar-nyambar diatas kepalaku. Apa lagi saat itu semua lampu padam, tak ada sedikitpun cahaya yang ada hanya sinar petir yang menakutkan.

Dan kesalahan itupun dimulai, Saat kusembunyikan wajahku di balik boneka kesayangan milikku, aku merasakan kehangatan dari tangan seseorang yang menjalar dari punggung tanganku. Tangan itupun mulai merambat kepunggungku dan memeluk tubuh mungilku. Kehangatannyapun mulai merasuki diriku. Hingga…

“Jangan takut aku disini…” bisikan halus tepat di telingaku dan hembusan napas yang dihembuskan ke tengkukku. Akupun diam membeku.

“Jangan takut, aku temanmu Sakura-sama”. Teman? Temanku?. Siapa? Ingin kupastikan siapa dia. Namun rasa takut lebih kental daripada rasa ingin tahuku. Sasuke? Tapi tidak mungkin jika dia. Naruto? Tidak mungkin dia ada di Amerika sekarang. Lalu siapa? Akupun tidak berani melihatnya dan semakin kutenggelamkan wajahku ke boneka itu.

“Itu hanya sebuah petir yang menyelingi hujan. Bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi kau tidak perlu sampai setakut ini” ucapnya menghiburku. Tentu saja dengan berbisik seperti sebelumnya.

“Ibu… Ayah…” gumamku.

“Aku temanmu. Neil…” Akupun tertegun sesaat saat mendengarnya. Neil. Itukah namanya? Akupun mulai memberanikan diri untuk menatap dirinya. Dan senyuman menenangkan di wajahnyalah yang pertama kulihat.

“Neil…” kuulangi namanya dan saat itu pula senyumannya semakin lebar. Neilpun memelukku kembali dan terus berkata jika kami teman dan menenangkan diriku agar tidak ketakutan lagi.

Itulah awal pertemuan kami dan awal dari bencana dalam hidupku…

***

“Sakura hari ini ayah dan ibu akan pergi untuk perjalanan bisnis selama sebulan jadi-”

“Hn aku tak apa. Jadi tenanglah ok!” potongku saat ayah mulai menjelaskan maksud dinner keluarga ini.

“Saku sayang jangan memotong ucapan orang tua ya? Itu tidak sopan” tegur ibuku halus sambil mengelus kepalaku.

Secara perlahan kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Aku tidak pernah menyukainya. Mereka seolah menyayangiku namun nyatanya mereka mengacuhkanku selalu.

“Tolong jangan seperti ini bu. Aku bukan anak kecil lagi.” jelasku sambil memotong steak di hadapanku.

Brakk…

“Haruno Sakura!” bentak ayahku padaku saat melihat perilaku putri semata wayangnya ini. Terlihat dengan jelas jika nafsu makannya hilang seketika itu juga, Wajahnya mulai memerah karena marah dan kedua alisnyapun mulai bertaut tanda tak suka.

“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar dulu. Terima kasih atas makanannya.” ujarku sambil membungkuk tanda hormat  kepada mereka sebelum  aku melenggang pergi dari ruang makan. Saat aku mulai menaiki tangga sempat kutolehkan wajahku kearah kedua orangtuaku. Kesal, sedih, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu dan terukir jelas di wajah mereka. Tapi, apa peduliku? Kutatap datar mereka dan melenggang pergi ke kamarku di lantai dua.

Kubaringkat tubuh sintalku di kasur empuk milikku. Aku mulai memandang langit – langit kamar. Lelah. Itu yang kurasakan sekarang. Kuletakkan tanganku menutupi  sinar lampu yang menyilaukan.

“Ada apa? Bertengkar lagi?” tanya seseorang di sampingku. Neil?.

“Kenapa?” tanyanya lagi tepat di telingaku. Kuturunkan tanganku dan kutolehkan kepalaku ke samping. Dapat kulihat senyumnya yang hangat dan mata penuh rasa ingin tahu.

“Seperti biasa” jawabku seadanya sambil tersemum melihatnya. Karena kurang nyaman dengan posisiku akupun mengubah posisiku berbaring menyamping menghadap Neil.

“Oh,.” Komentarnya mengerti. Diapun menatap lekat diriku. Tangannya mulai memaikan ramput bubblegumku seperti biasa. Dan itu tidak membuatku terganggu. Entah kenapa.

Kuperhatikan wajah pria dihadapanku ini dengan lekat. Rambut hitam arang yang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu. Tak ada yang bisa membuat diriku berpaling darinya, dari Neil.

“Lihatlah dirimu hime… Untuk kesekian kalinya aku tahu kau menatap diriku penuh nafsu hahaha” ucapnya sambil terkikik tidak lupa dengan jari telunjuknya yang mencolek - colek pipiku.

“Tidak! Aku tidak melihatmu penuh nafsu kok!” belaku. Aku merengut saat melihat ekspresi Neil yang tidak percaya pada ucapanku. Melihat hal itu Neil terkekeh.

“Neil?”

“Ada apa hime?”

“Kau tidak akan meninggalkanku kan?” Neil menggeleng kepalanya dan berkata.

“Tidak akan pernah aku pergi meninggalkanmu sendirian. Kitakan sahabat. Aku janji” ucapnya mantap sambil mengacungkan jari kelingkingnya tanda perjanjian dan akupun menautkan kelingkingku tanda persetujuan dariku.

Setelah itu Neil semakin sumringah dan memelukku erat. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dipeluk olehnya. Neil sahabat terbaikku.

** *

Tanpa Sakura sadari di balik pintu kamarnya Tuan dan Nyonya Haruno mendengar semua yang dia ucapkan. Ibunya menitikkan air mata tanda kesedihan dan ayahnyapun memeluk sang istri mencoba menenangkan. Karena tidak kuasa dengan apa yang terjadi merekapun kembali ke kamar tidur mereka.

***

Sebulan telah berlalu dan kini keluarga Haruno berkumpul kembali namun bukan di rumah megah mereka tapi di suatu tempat yang asing bagi Sakura.

“Dimana kita?” tanyanya pada sang ibu yang sedari tadi merangkulnya.

“Nanti kau juga tahu nak.” jawab sang ayah yang masih berjalan dibelakang mereka. Terlihat jelas diwajah Kizashi  kegusaran yang teramat dalam namun inilah jalan terakhir. Demi dia, putri tercintanya.

“Kizashi sama?” panggil seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu besar bercat hitam. Tangannya melambai pada Kizashi dan dibalas dengan anggukan.

Saat Sakura sekeluarga sampai dihadapannya. Wanita paruh baya itupun menyodorkan tangannya pada Sakura. Bigung. Pelan tapi pasti Sakura mulai menyodorkan tangannya untuk menyalami wanita dihadapannya. Namun…

‘Jangan!’ Neil?!. Mata Sakura terbelalak kaget. Dia yakin itu suara Neil sahabatnya.

Dia mulai menoleh kesana kemari mencari Neil. Namun nihil Neil tidak ada. Apa itu hanya khayalan Sakura saja?. Mungkin. Tapi, hatinya mulai gusar. Dia sangat yakin itu tadi sara Neil.

“Ada apa?” tanya wanita di hadapannya. Seolah dia tahu kegusaran Sakura.

“Tidak. Tidak apa” jawab Sakura sedari menoleh ke belakang mencari Neil.

“Kalau begitu ayo masuk” ajak wanita itu. Sakura sekeluargapun memasuki ruangan yang berada dibalik pintu besar bercat hitam. Sesaat Sakura mulai terpesona melihat interior ruangan tersebut. Sangking terkagumnya Sakura tidak sengaja menabrak guci besar di depannya. Namun dengan cepat ditanggap oleh sang Ayah.

“Hati – hati Sakura.” ujar sang Ayah. Sakura hanya mengangguk dan mengatakan, “Sumimasen”.

“Daijobu, duduklah dulu.Ah ya namaku Senju Tsunade tadi kita belum sempat berkenalan kan? Aku kawan lama ayahmu Saku-chan” ujar wanita bernama Tsunade itu.

Sen-ju Tsu-na-de sepertinya nama itu tidak asing bagi Sakura. Sakura mengernyit bingung. Dan saat itupula tanpa sengaja dia melihat sebuah foto yang cukup besar di pojok ruangan. Tapi, sayang foto itu ditutup dengan kain sehingga hanya terlihat wajah Tsunade saja.

Tsunade yang elihat rasa penasaran Sakura langsung mengikuti arah pandangnya. Diapun tersenyum lalu berkata, “Apa kau penasaran dengan foto itu?”.

Sakura yang kaget saat itu langsung menunduk dan merona.’Aish ketahuan malunya.’ Melihat itu Wanita berbaju hijau itupun tertawa lepas.

“Hahahahahahahaha… tidak apa jika kau memang penasaran sayang. Sudah biasa kok. Hahahaha” ujarnya disela-sela tawanya.

“Ah, ya jika boleh tahu kenapa aku diajak kemari?” tanya Sakura yang mulai sebal dengan sikap wanita di hadapannya ini.

Sekejap kemudian semua diruangan itu diam tak bersuara. Kizashi beserta sang istri membungkam diri, mereka takut untuk mengatakannya. Tsunade yang sedari tadi tertawapun diam dan menatap tajam kearah Sakura.

“Haruno Sakura” panggilnya. Wajahnya tampak serius menatap Sakura yang mulai tegang. ‘Ada apa ini? Kenapa suasananya berubah menjadi setegang ini?’ piker Sakura.

“Sudah lima belas tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Ini kali pertama kita bertemu kembali.”

“Ha? Lima belas-tahun?”

“Sepertinya kau tidak ingat aku. Hah, tapi wajar jika kau lupa padaku dan segelku terlepas. Seandainya aku tidak membawamu ke rumah itu kau pasti hidup normal sekarang” jelas Tsunade yang membuat Sakura semakin bingung.

“Apa maksudmu nyonya? Ibu? Ayah?” Sakura mencari kejelasan pada mereka yang ada di sekelilingnya. Namun… dapat dilihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh sesal dan sang ibu yang hamper meneteskan wajahnya.

Brakk… Sakura menggebrak meja. Dia mulai kesal dengan apa yang terjadi. Dilangkahkan kakinya kearah pintu besar itu. Tak dipedulikannya ketiga manusia itu dia ingin keluar dan pulang melupakan keanehan hidupnya hari ini.

“Tidakkah kau penasan dengan foto itu?” hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Tsunade langkah kaki Sakura berhenti seketika. Dia penasaran amat penasaran namun dia juga harus secepatnya pergi dari sini. Gagang pintu sudah ada dipegangannya lalu apa lagi yang perlu dipikirkannya.

“Neil. Tadayama Neil. Kau mengenalnya?” Deg. Secepat kilat Sakura langsung menoleh kearah wanita berambut pirang yang duduk di sofa penjang itu.

“Siapa kau? Bagaimana bisa kau…”

Tsunade menatap gadis bubblegum itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam. Bagaimana tidak? Karena dirinya seorang gadis muda harus menerima ikatan yang tidak seharusnya. Ikatan iblis yang memakan jiwanya secara perlahan dan membawanya kedunia bawah yang mengerikan.

“Aku Senju Tsunade . Aku penjaga Neil.” ujarnya penuh penekanan.

Bingung. Itulah yang dirasakan Sakura saat ini. Bagaimana tidak syok coba? Jika wanita yang mengaku kawan lama ayahmu sekarang mengaku kalau dia seorang penjaga dari sahabatmu. Dan lagi bagaimana bisa dia mengenal sahabatnya Neil dan nama panjangnya padahal dirinya saja tidak tahu nama panjang Neil. Tapi, tapi, bagaimana bisa? Argh!

“Sakura…” panggil Tsunade sendu. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di hadapan Sakura. Sementara Sakura yang masih berdiam diri di depan pintu kembali menatap Tsunade penuh tanya dan bingung.

“Aku tahu kau bingung bagaimana bisa aku mengenal Tadayama Neil.” Secara otomatis Sakura mengangguk. Tsunade menghembuskan nafas beratnya.

“Ini sudah pada batasnya dan kau harus tahu hal penting ini Sakura.” Tsunade mulai berjalan sambil menarik Sakura agar mengikutinya. “Bukankah kau penasaran dengan foto besar ini?”

Sakura diam dan menoleh kebelakang melihat ayah dan ibunya. Merekapun menatap Sakura penuh kasih dan cinta. Sang ibu mengangguk pada Sakura seolah berkata ‘ayo nak’. Dia menoleh dan menatap bingkai foto besar dihadapannya.

Kain hitam itupun ditarik oleh Tsunade dan semakin terlihat jelas foto siapa saja itu. Di dalam foto itu dapat dilihat Tsunade berdiri di tengah-tengah dua orang pria dewasa yang entah siapa itu. Lalu didepan mereka bertiga ada sosok pria muda berambut hitam arang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu.

“Itu aku dan kedua suamiku. Yang rambut hitam panjang itu bernama Orochimaru sedangkan pria berambut putih panjang dan berantakan itu bernama Jiraiya. Dan pemuda yang duduk dihadapan kami adalah…”

“Ne-il” potong Sakura yang menatap lekat foto pemuda itu. Wajahna mengeras, tangannya mengepal menahan amarah.

‘Pergi Sakura. Pergilah dari sana Sakura!’ Secepat kilat Sakura menoleh kebelakang setelah mendengar suara itu.

“Neil!” Panggilnya. Sekarang dia semakin yakin jika sahabatnya itu ada disini. Tapi kenapa dia tidak dapat melihatnya.

“Kau dimana Neil? Keluarlah!” ujar Sakura sambil mengelilingi ruangan dan sesekali menengok kesana kemari. Melihat hal itu Kizashi dan istrinya mencoba menghentikan Sakura dengan memeluknya.

“Hentikan Sakura! Dia tidak ada Sakura! Tidak ada!” yakin Kizashi pada sang putri yang memberontak di pelukannya. Sakura menoleh pada sang ayah dan menatapnya dengan rasa benci.

“Memang siapa kau berani-beraninya melarangku?! Hanya karena kau ayahku bukan berarti kau bisa bicara seperti itu!” ujar Sakura sinis pada sang ayah. Kizashi dan istrinyapun kaget mendengan ucapan putri mereka. Sementara Tsunade menatap nanar gadis yang memberontak itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus mencari Neil!”

“Apa yang dikatakan ayahmu benar Sakura. Neil dia tidak ada. Dia sudah mati” Jelas Tsunade sambil memegang kedua bahu Sakura mencoba meyakainkannya.

Deg. Syok. Sakura berhenti berontak. Dia diam seketika setelah mendengar itu. Matanya membulat kaget, mulutnya terbuka kaku seolah sulit untuk berbicara.

“Neil yang kau lihat setiap harinya. Yang ada di sampingmu selama ini hanyalah bayangan Sakura. Dia tidak nyata” Tsunade mulai menangis saat mengatakannya. Sementara ibu dan ayahnya telah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

Sakit. Itu yang Sakura rasakan sekarang. Dipegangnya dada kirinya sakit dan perih itu bercampur menjadi satu. Kecewa dan sedihpun telah meluap menjadi tetesan air mata yang mulai merembes keluar dari kelopak matanya membanjiri pipi putihnya. Sakura hanya dapat meringis menghadapi kebodohan dirinya saat ini.

***

Sementara itu dapat kita lihat terdapat sosok gelap di atas pohon maple berdiri dengan aura hitam terpancar dari seluruh tubuhnya. Wajahnya sangat datar namun terlihat jelas jika dia sangat marah. Matanya memancarkan semua emosi itu.

“Tsu-na-de” ucapnya lirih.

Awan hitam muncul entah darimana, berkumpul menutupi sang mentari yang indah. Diikuti dengan suara guntur yang menggema dan kilat yang mulai menyambar-nyambar.

“Rasakan akibatnya jika kau mencoba merebut milikku” ujarnya dengan evilsmirk yang terpahat dibibir sexynya. Melunturkan senyum ceria yang biasa menjadi kekhasan dirinya.

***

Tsunade menoleh kearah jendela. Dapat dirasakan olehnya bahaya yang akan muncul sebentar lagi. Aura khas yang hanya muncul dari seseorang yang paling dikenal olehnya. Orang yang telah tiada lima puluh tahun yang lalu. Tadayama Neil.

Prang… Pyar… Seketika itu pula semua kaca dan guci yang ada diruangan itu pecah begitu saja. Semua orang termasuk Sakura kaget dan mulai takut. Dan berlanjut dengan barang-barang yang mulai terbang sendiri tidak ada yang mengendalikannya. Namun anehnya hanya benda-benda tajam yang melayang. Ada apa ini? Ada apa lagi?

Sakura mulai pening dengan keanehan ini. Kenyataan pahit yang dialami olehnya. Dan masih menjadi misteri dalam kehidupannya. Tapi ada hal yang masih dia bingung lalu Neil itu apa?

“Tsunade san. Lalu siapa Neil?” tanya Sakura  yang masih linglung kurang memahami bahaya yang akan datang. Sementara  ibu dan ayahnya hanya dapat tepuk jidat karena kurang pekanya putri mereka. Tsunade menghela nafas maklum dan akan menjawab namun…

Angin berhembus kencang ke dalam ruangan tersebut dan dapat dilihat bayangan seseorang yang berdiri diatas pagar pembatas sambil menyender pinggiran jendela. Tak lupa dengan evilsmirknya.

“Ohayo minna…” sapa sosok itu. “Dan ohayo Sakura sama” lanjutnya sambil menatap Sakura yang terpaku padanya. Setelah membungkuk sebagai tanda hormat sosok itu kembali keposisi tegapnya dan menoleh kearah Tsunade dengan menatapnya penuh benci.

“Hmm… Lama tak berjumpa obasama. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil mendekati Tsunade yang semakin mundur saat didekatinya. Dan berhenti tepat didepan Sakura dan orangtuanya.

“Ah ya ini juga kali pertama kita bertemukan? Maaf atas ketidak sopananku” ucapnya sambil membungkuk hormat pada Kizashi dan istrinya yang menatapnya takut. Sementara Sakura menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

Kesempatan. Tsunade mengambil salah satu pedang yang melayang dan menebas sosok yang membelakanginya tersebut namun… Prang! Pedang itu jatuh dan patah menjadi dua sebelum mengenai punggung sasarannya. Semua orang kaget termasuk Sakura. Mereka melihat Tsunade yang tak berdaya ada dicengkraman sasarannya tersebut.

“Inikah caramu menyambut kawan lama? Tsu-na-de” ujar sosok itu sambil mencekik leher wanita berkuncir dua itu. Tsunade hanya mendecih tak suka dengan sebutan ‘kawan lama’ dari sosok dihadapannya ini.

“Siapa kau?” pertanyaan itu memecah ketegangan yang ada diantara Tsunade dan sosok itu. Dan pertanyaan itu berasal dari balik punggung sosok tersebut yang sekarang memegang senjata berupa katana.

Kaget. Tentu saja. Setelah lima belas tahun lamanya mereka bersama bagaimana bisa sosok gadis ini melupakannya. Bercanda dia. Dilepaskannya cengkramannya pada kawan lamanya Tsunade dan berbalik menghadap gadis miliknya itu. “Sakura…” panggilnya.

Hening. Tak ada jawaban.

“Sakura. Ini aku” ucapnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak ada respon. Dia menghela nafas dan tersenyum maklum.

“Sakura ini aku Neil. Sahabatmu hime. Lupakah dirimu padaku?” ujarnya kembali sambil berusaha mendekati Sakura yang terus berjalan mundur sambil menghunuskan pedang kearahnya dengan setianya.

“Sakura turunkan pedangmu. Ini aku Neil” perih. Rasanya perih sekali saat melihat wanita yang kita puja tidak menghiraukan kita.

“Siapa kau?” mengakhiri kebisuannya. Dengan tatapan tajam dan tetap menghunuskan pedang kearah pemuda itu. Dapat dilihat kekagetan yang terpancar dari wajah rupawan Neil. Rahnggnya mulai mengeras pertanda amarahnya sudah diujung tanduk.

Neil mendesis tak suka dengan pertanyaan itu. Dia sudah muak dengan semua ini. Kenapa disaat dia akan hidup kembali menjadi manusia dia harus menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh penjaga brengseknya, Tsunade!

“Aku Neil. Tadayama Neil. Sahabatmu.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata.

“Siapa kau?” tanya Sakura lagi.

“Neil. Sahabatmu” jawab Neil sambil menatap Sakura tajam.

“Sekali lagi aku tanya padamu. SIAPA KAU?!” bentak Sakura penuh emosi menanyakan siapa dirinya. Diam. Semua orang diam saat mendengar bentakan Sakura yang sarat akan amarah.

Cukup. Neil tidak dapat menahannya lagi. Ditatapnya gadis kesayangnnya itu penuh kasih.

“Aku Neil, sahabatmu yang selalu ada untukmu. Yang selalu menemanimu dikala senang maupun sedih. Yang selalu memelukmu setiap malam. Yang selalu menghapus air mata yang keluar dari mata indahmu. Yang…”

“Selalu menghisap jiwaku setiap malam demi kehidupanmu. Benar?” potong Sakura. Ya Sakura sadar sekarang kesalahan besar dalam hidupnya.

“Neil…” ucapnya sendu. Sementara sosok yang dipanggil hanya diam tanpa suara. Nyatanya rahasia terbesarnya terbongkar sekarang.

“Aku…” air mata mulai jatuh membasahi pipi Sakura lagi.”Membencimu…”

Deg.

Prang… Prang… Prang…

Tak bisa. Tidak akan bisa. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sakura adalah miliknya. Sakura tidak boleh membencinya. Sakura adalah jembatan kehidupan keduanya. Tak bisa…

Kalau Sakura tidak mau menjadi miliknya. Maka kematian adalah pilihannya.

“Kalau begitu matilah…” ucapnya lirih sambil menyerang Sakura. Jleb.”Aaagh…” suara rintihan kesakitan itu menggema hingga keluar. Darah mulai mengalir dengan deras membasahi tubuh dan lantai disekitarnya. Semua terpaku kaget. Bahkan Neil.”Tidaaakkkkkk.…!!!!!!!!!!!!!” Suara gutur melengkapi jeritan tangis itu. Kilat menyambar-nyambar di atas rumah itu. Hujan turun semakin deras meredam jeritan-jeritan pilu yang menyayat hati. Langit menjadi saksi pengorbanannya untuk keluarga tercintanya.

***

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu Sakura…” ujar Kizashi pada sang putri tercintanya.

“Maaf jika kami membuatmu selalu kesepian Sakura” timpal Mebuki.

“Ini adalah pengorbanan yang impas untuk membalas kesedihanmu.” Ucap mereka.

‘Seandainya saja aku lebih memahami mereka…’

‘Mungkin mereka tak akan pergi’

***

“Hoi Sakura! Hoii” suara cempreng dari seorang pemuda membangunkannya dari kenangan masa lalunya. Pemuda pirang  yang membungkuk sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sakura menatap penuh tanda tanya. Dan berucap “Kau kenapa melamun?”

“Sakura memikirkan bagaimana caranya memberi pelajaran pada kalian berdua!” sentak Ino pada dua pemuda dihadapan mereka ini. Sementara Sakura, hanya diam melihat pertengkaran Ino dan Naruto. Sementara Sasuke masih menatap Sakura lekat seolah meminta kejelasan.

“Aku hanya rindu mereka saja hehehe” jawab Sakura sambil cengengesan.

“Hn” jawab Sasuke sambil duduk di samping Sakura “Maaf soal kemarin”

“Hn. Daijobu” ucap Sakura sambil tersenyum pada Sasuke.

Inilah hidupnya sekarang. Dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu ada untuknya. Walau dia hidup sendiri sekarang tapi rasanya masih terasa hidup bersama keluarga.

‘Neil, aku merindukanmu… Sahabatku….’

24 - 30 Desember 2015

Jumat, 22 Mei 2020

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Kamis, 21 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.3)

Cerita Sebelumnya. (Klik di Sini).

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Rima tetap tidak membukakan pintu. Tama masih saja berdiri terdiam di depan pintu kamar Rima. Tiba-tiba saja terdengar suara Mischelle dari ruang tamu "Hai Dad? Akhirnya daddy datang juga. Maaf ya Dad mischelle tetap ga berhasil bujuk mommy buka hatinya untuk daddy" .

Tama sedikit terkejut. "Wah Daddy nya mischelle datang. Siapa dia? Apa aku pulang dulu aja? rasanya tidak enak mengganggu Rima yang kedatangan suaminya. Eh tapi kata mischelle daddy dan mommy nya gak pernah nikah sejak mischelle dalam kandungan. Bagaimana bisa. Apa ini maksudnya? siapa laki-laki yang bisa berbuat begitu terhadap Rima tanpa menikahinya?".

Hati Tama berkecamuk, penasaran ingin mengetahui semuanya. Hanya saja Ia berfikir bahwa sebetulnya rumah tangga Rima dan Mischelle tidak seharusnya Ia campuri. Namun mengingat betapa lamanya Tama menunggu hari ini. Hari dimana semua pertanyaan harusnya terjawab, akhirnya Ia memberanikan diri menuju ruang tamu demi melihat siapa sosok laki-laki yang menjadi Ayah Mischelle itu. Laki-laki yang merebut kekasih hatinya belasan tahun lalu. Tama bergegas menuju ruang tamu.

Shock dan terkejut bukan main. Memang mereka sudah lebih dewasa. Wajah dan postur tubuh sudah pasti banyak perubahan. Tapi Tama ingat betul laki-laki yang saat ini berdiri di samping mischelle di hadapannya. Meski berubah, tapi tidak banyak yang berubah dari laki-laki itu.

Tama diam membatu seketika kemudian bergegas menghampiri laki-laki itu dengan amarahnya yang sangat memuncak. Sambil berlari kecil menghampirinya Tama menarik bagian kerah baju laki-laki itu dengan kepalan tinjunya yang akhirnya mendarat di wajah laki-laki itu. "BRAAAK".

Laki-laki itu jatuh terjerembab menghantam meja kaca hingga pecah, Tama menghampirinya lagi, memukulnya berulang-ulang dengan penuh emosi.

"Bangsat lu Jamie, rupanya elu yang udah berani-beraninya mengambil hati Rima hingga dia hamil dan lu tinggalin gitu aja. Sialan lu, kenapa lu gak nikahin dia? Dia bukan perempuan sembarangan seperti perempuan-perempuan yang sering lu kencanin semasa sekolah" .

Tama terus menerus berteriak sambil memukul Jamie.

Ya, Jamie si cowok bule di SMA dulu. Siswa baru yang di gilai banyak perempuan dan terkenal playboy karna sering kencan dengan banyak siswi tanpa komitmen apapun.

"Ya ampun Om, cukup Om cukup. Stooop iit, please Om Tama dont hit daddy, please" . Mischelle berteriak panik dan ketakutan sambil terus berusaha memegang lengan Tama demi melepaskan Daddy nya.

"Denger penjelasan gua dulu Tam" . Teriak Jamie sambil terus kesakitan dan berusaha melindungi bagian wajahnya yang dipukul bertubi-tubi oleh Tama. "Gua gak pernah ninggalin Rima Tam, dia yang gak pingin gue nikahin Tam. Dia bilang dia jijik sama gue, dia cuma mau elu Tam" .

Tama terdiam seketika. Mendengar ucapan Jamie barusan seolah membuat semua terkaan yang selama ini ada dalam pikirannya menjadi kembali runyam. Semuanya malah semakin tidak jelas. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksudnya Rima tidak mau dinikahi oleh laki-laki yang membuatnya meninggalkan dirinya.

"Udah cukup kalian rusak rumah ini, keluar kalian dari rumahku" . Teriakan Rima yang tiba-tiba berdiri di hadapan mereka membuat mereka terkejut. Terlebih lagi Tama. Antara senang dan bingung akhirnya Rima mau keluar. Tama sangat merindukan perempuan yang sedang berdiri di hadapannya itu. Ingin rasanya Tama menarik lengan Rima agar menghambur ke pelukannya. Tapi rasa itu terkalahkan dengan rasa penasaran yang semakin dalam dipikiran Tama.

"Tolong kalian keluar sekarang juga. Dan tolong ini terakhir kalinya kalian datang ke rumah ini, aku mohon jangan kalian ganggu lagi hidup kami. Hidupku dengan Mischelle. Biar kami tenang menjalani rumah tangga ini berdua saja. Kalian sebaiknya pergi sekarang juga" . Rima mengusir Tama dan Jamie yang sudah terlihat berantakan karna berkelahi. Namun mischelle mencegahnya.

"Nggak Mom, ini saatnya. Saatnya aku tau semua yang terjadi. Siapa Om Tama sebenarnya di hidup kalian Mom, Dad? Kenapa Mommy and Daddy gak pernah nikah, kenapa kalian ga pernah bersama. Bagaimana Mischelle bisa lahir mom? Kalian egois. Kalian orang-orang dewasa paling egois yang pernah mischelle kenal. Kalian pikir di sini hanya kalian aja yang menderita? Ada aku mom, aku yang paling merasa tidak diinginkan di sini. Apa sebenarnya hubungan kalian bertiga".

Mischelle berlinangan air mata memohon kepada Rima agar menjelaskan semuanya. Tapi Rima hanya terdiam kemudian membalikkan badan dan menuju kembali ke kamarnya. Tanda bahwa Ia masih belum ingin menceritakan apapun.

"Mischelle, biar daddy yang ceritakan semuanya. Biar Tama juga bisa dengar. Daddy yang bersalah. Mommy kamu yang menanggung semuanya" . Jamie memulai ceritanya.

Belasan tahun silam !

Cuaca terik membuat peluh dikening Rima mengalir deras. Ia menunggu di gerbang sekolah. Pak Aman belum juga muncul. Hari itu Tama sedang ada kegiatan ekstrakurikuler, sehingga Rima pulang dengan dijemput supirnya. "Mana ya Pak Aman?". Gumam Rima dalam hati.

"Hai Rima, nunggu siapa?" . Sapa Jamie dari balik jendela mobilnya. "Yuk aku antar pulang. Daripada kepanasan lama-lama di sini" . Bujuk Jamie kepada Rima yang sedang berdiri sambil mengelap keringat dikeningnya.

"Gak usah Jame, makasih banyak. Sebentar lagi juga datang" . Jawab Rima kemudian.

Rupanya Jamie tidak mau menyerah. Iapun meminggirkan mobilnya dan keluar menghampiri Rima.

"Ya udah kalo mau tetap nunggu supir, aku temanin kamu di sini" . Kata Jamie sambil memasukan kedua tangannya ke saku celananya dan berjalan ke tempat Rima berdiri.

"Kenapa mau repot-repot nemenin aku sementara kamu bisa enak pulang, adem gak panas-panasan kaya sekarang?" . Tanya Rima penasaran.

"Lho emang kenapa kalo aku mau temanin kamu? Aku ini orang baik lho, bukan penjahat. Tenang aja.

"Oya? Baik? Bagaimana aku tau kamu baik kalo setiap hari di sekolah kerjanya cuma ngegoda perempuan". Kata Rima sambil tertawa kecil. "Jangankan siswi perempuan, Bu Nia aja masih kamu godain". Lanjut Rima sambil tetap tersenyum kecil.

"Waah ngga nyangka aku. Ternyata cewe sedingin kamu merhatiin cowo macem aku juga ya". Jamie tertawa kecil.

"Idiiih GR banget kamu. Semua orang juga tau kalo kamu itu playboy tanpa harus merhatiin, semua perempuan pasti kamu pacarin. Jangan-jangaan termasuk Bu Nia. Hihihihi".

"ih iseng banget sih ngomongnya. Masa tante-tante tua kaya gitu aku gebet. Dia itu cuma cocok dijadiin nenek aku".

"Ahahahahahahahh". Keduanya tertawa lebar.

"ih kamu jahat banget sih bilang Bu Nia tante-tante lah, neneklah. Dia kan guru paling cantik yang pernah ada, masih muda juga koq. Masih cocok sama kamu. hihih". Goda Rima sambil cengengesan. Keduanya asyik ngobrol sampai akhirnya Pak Aman muncul menjemput Rima.

Singkat cerita, di suatu malam yang berhawa sejuk. Tiba-tiba ponsel Rima berdering, ditengoknya ponsel itu, "Jamie Memanggil".

"Hhhh... lagi-lagi dia. Ngapain sih ngga nyerah juga ganggu hidup orang aja" . Gerutu Rima dan mendiamkan saja ponselnya berdering tanpa henti. Setiap kali mati, maka berapa detik kemudian berdering lagi, hingga berkali-kali. Akhirnya dengan perasaan BT, Rimapun menerima panggilan tersebut. "Ada apa Jame? Aku lagi ngerjain tugas untuk besok, bisa kan ngga telpon-telpon lagi?".

"Rima, aku mohon Rim, kali iniiii aja. Tolong aku Rim. Aku....aku....". Suara nafas Jamie tersengal-sengal seperti sangat kelelahan, suaranya seperti sulit keluar. Rima kebingungan karna kurang jelas dengan yang dikatakan Jamie.

"Rim... Aakuuu ada dekat mini market depan komplekmu.... akuu... aku... gak kuat Rim. Cuma kamu yang paling dekat dari sini. Rima Pleasee help me...".

"Nuuuut.....". Tiba-tiba telpon terputus.

"Ya ampun, ada apa dengan Jamie, kenapa suaranya seperti orang yang sedang menahan sakit? Apa yang terjadi?". Gumam Rima dalam hati. Rima menengok jam dinding di atas pintu kamarnya.

Waktu menunjukan pukul 00:30 dini hari. "Udah tengah malam. Jamie bilang ada dekat mini market depan komplek. Jam segini kan udah sepi banget. Aduuuh, gimana yah, susulin gak yah. Tapi takut. Gimana dong kalo Jamie lagi kenapa-napa dan gue kelamaan mikir kemudian semuanya terlambat. Ooo My God. No ! Gue harus berbuat sesuatu".

Rima bangkit dari kursi meja belajarnya, berlari menyusuri tangga kemudian keluar. "Lho non, udah tengah malam gini mau ke mana?". Tanya Pak Domon Satpam penjaga rumah Rima.

"Aduuh pak, jelasinnya nanti aja deh. Sekarang Bapak tolong saya dulu ya. Tolong Pak Domon ke mini market depan komplek, liat apa ada laki-laki di situ? Kalo ada, coba tanyakan namanya, kalo namanya Jamie, segera hubungin saya dan kasih tau dia ngapain di sana dan mau apa. Ya Pak ya, tolong cepetan". Pinta Rima kepada Pak Domon satpam rumahnya.

Pak Domon bergegas menggunakan sepeda motor menuju mini market yang Rima maksud secepat kilat. Karna dia tidak ingin nona besarnya terlibat masalah dengan orang yang salah.

sepuluh menit, dua puluh menit, hingga lebih dari setengah jam tidak juga ada kabar dari Pak Domon. Rima makin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ingin rasanya Rima berlari menyusul pak Domon. Rima takut Pak Domon ikut-ikutan kena masalah.

Akhirnya telpon rumah berdering, Rima mengangkat telepon dengan sedikit gemetar, karna ada rasa takut yang menjalar dalam dirinya.

"Non, ini saya Domon, non sebaiknya segera ke sini. Minta Pak Aman anter ya Non, ini temen non yang namanya Jamie ada di rumah sakit. Kritis non. Cepat kemari, karna saya gak tau mau hubungin siapa. Sementara pihak Rumah Sakit minta saya urus administrasi di bagian informasi. Saya jadi bingung non".

Tanpa banyak bicara lagi, Rima bergegas menuju Rumah Sakit di antar Pak Aman.

Sesampainya di rumah sakit. "Ada apa pak? Gimana bisa dia kritis?" . Tanya Rima penasaran.

"Jadi tadi saya ikutin perintah non untuk ke mini market depan komplek, sesampainya di sana keadaan gelap dan sepi sekali non, keamanan yang tugas jaga sepertinya sedang keliling, jadi tadi di sana itu benar-benar sepi non.

Saya melihat ke sekeliling dan mata saya tertuju langsung ke depan mini market. Saya lihat ada orang tergeletak di situ. Saya mendekat dan lihat orang itu berlumuran darah non. Parah sekali. saya bingung mau apa. Lapor polisi ga kepikiran non, udah keburu panik.

Saya cek dia masih nafas, saya geledah kantong-kantongnya. Kantong celana, kantong baju, dan sweater. Saya cuma nemu dompet aja di kantong celana. Tapi karna takut terlambat bertindak, jadi saya langsung buru-buru minta bantuan orang situ untuk bawa ke rumah sakit, karna saat saya buka dompetnya dan cari KTP nya, nama di KTP nya sama dengan nama teman non yang non kasih tau saya di rumah.

Tadi setelah sampai sini. Saya langsung bergegas cari alamat yang ada di KTP nya, karna alamatnya kebetulan gak jauh juga dari sini. Tapi sayang, ternyata alamatnya cuma rumah kosong. Rumah besar dengan pagar besi yang ga ada siapa-siapa di dalamnya. Gelap juga. Kemungkinan sudah agak lama ga di tempatin. Saya jadi bingung harus hubungin siapa dan ke mana. Ya sudah saya langsung hubungin non aja begitu saya balik lagi ke sini. Karna saya diminta urus administrasi sama susternya".

Penjelasan Pak Domon membuat Rima semakin bingung. Apa yang harus dilakukannya. Setelah mengurus semuanya Rima kembali pulang. Dia masih bingung harus menghubungi keluarga Jamie dari mana. Tiba-tiba dia teringat teman-teman sekelas Jamie yang juga Ia kenal. Maka Rima menghubungi mereka. Namun sayang tidak seorangpun yang dapat dihubungi.

Malam itu Rima terpaksa menunggui Jamie di Rumah Sakit. Maka Ia kembali pergi menuju Rumah Sakit tempat Jamie dirawat. Paginya Jamie siuman. Syukurlaah pikir Rima dalam hati.

"Kenapa aku ada di sini? Ini di mana?". Tanya Jamie kepada Rima yang duduk di kursi samping tempat tidurnya.

"Lo di Rumah Sakit Jam. Lo gak inget kejadian semalem gimana? Gimana bisa lu babak belur kaya gini? Siapa yang berbuat begini Jame?". Tanya Rima penasaran demi mengetahui kejadian sesungguhnya.

"Ooh iya, semalam sebetulnya gue berniat ke rumah lo. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ada yang berentiin mobil gue. Tiga orang dengan satu motor berboncengan. Trus gue turun, mereka rampas semua milik gue uang di dalam dompet dan mobil gue. Tapi gue gak mau nyerahin semuanya begitu aja, jadi gue lawan dulu mereka. Tapi ternyata mereka bawa senjata tajam. Malah gue dikeroyok mereka bertiga. Trus gue gak sadar deh".

Cerita Jamie membuat Rima merinding ketakutan, tidak di sangka area komplek perumahannya ternyata ada rampok. Berbekal cerita Jamie, Rima melaporkan kejadian tersebut ke petugas keamanan komplek untuk kemudian kasusnya diurus.

Jamie masih harus istirahat di Rumah Sakit. Maka Rima meminta nomor telepon keluarga Jamie yang dapat dihubungi.

"Percuma Rima, gak akan ada orang yang datang. Keluarga gue sibuk semua. Palingan Mama Papa juga lagi di luar negeri urusan bisnis". Kata Jamie dengan nada sinis sambil meneguk segelas air putih.

"Masa sih Jame sampe begitunya. Gak mungkin nyokap bokap lo bakalan diem aja kalo tau anaknya lagi keadaan begini". Kata Rima kemudian.

"Lu gak kenal orangtua gue Rim. Lu juga gak tau watak mereka. Udahlah, gak usah berusaha". Tanpa merekapun gue bisa bayar biaya Rumah Sakit ini". Sambung Jamie dengan kalimat yang masih juga sinis.

Jamie menghubungi Bagas sahabatnya di sekolah. Singkatnya, semua urusan administrasi akhirnya diurus oleh Bagas. Sampai akhir, tidak satupun keluarga Jamie yang datang ke Rumah Sakit. Entah apa yang terjadi dengan keluarganya. Yang jelas, setiap kali Jamie diajak bicara masalah keluarganya, Ia akan menanggapinya dengan sinis. Itu sebabnya, tidak satupun sahabatnya yang berani mengajak bicara tentang keluarga Jamie.

Rima merenung di kamarnya. Berfikir apakah seharusnya semua yang terjadi minggu belakangan ini Ia ceritakan kepada Tama atau tidak. Rima sebetulnya takut jika ada omongan yang beredar tentang dirinya yang menolong Jamie selama di Rumah Sakit dan membuat Tama cemburu.

Tapi disamping itu, Rima pikir ini bukan hal besar yang harus diceritakan kepada Tama. Maka akhirnya Rima tidak pernah menceritakan tentang Jamie kepada Tama. Toh tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua. Rima berfikir Ia hanya berniat menolong Jamie saja waktu itu.

Waktu terus berjalan. Tidak terasa sudah sebulan sejak kejadian Jamie masuk Rumah Sakit. Sejak itu pula Jamie jadi sering menemui Rima. Sebetulnya Rima merasa tidak enak. Takut Tama mendengar hal-hal yang sebetulnya tidak benar.

Seringkali Rima menolak kedatangan Jamie. Tapi Jamie tidak pernah hilang akal untuk menemui Rima. Pernah suatu kali ketika Jamie main ke rumah Rima, Pak Domon mengusir Jamie dengan sedikit kasar. Itu permintaan Rima sendiri. Tapi rupanya Jamie tidak juga mau menyerah.

Hari itu kebetulan Rima harus ke toko buku. Maka Ia pergi dengan diantar Pak Aman seperti biasa. Tanpa diduga dan entah darimana Jamie tau. Mereka akhirnya bertemu di toko buku. Setelah didesak oleh Rima, akhirnya Jamie mengaku jika selama ini Jamie selalu mengikuti kegiatan Rima sehari-hari. Termasuk ketika pergi berdua dengan Tama.

"Kamu tau gak. Aku kesel banget kalo liat kamu lagi jalan sama Tama". Kata Jamie sambil membuka-buka buku disebelah Rima yang juga sedang melihat-lihat buku-buku di rak toko buku itu.

"Kamu?" Rima berkata sambil sedikit tersenyum dengan wajah tetap menatap ke dalam buku yang sedang Ia buka.

"Apa?". Tanya Jamie tidak mengerti dengan perkataan Rima.

"Iya, Kamu. Sejak kapan seorang Jamie jadi sopan begini. Biasanya juga elu, gue". Jawab Rima kemudian.

"Oooh, heheh. Itukan karna ternyata kamu cewek istimewa yang memang harus diperlakukan dengan sopan".

"Hmmm.... gak usah gitu juga kali. Biasa aja. Lagian, ngapain sih lu ngikutin gue mulu. Gak ada yah yang minta lu ngikutin gue sampe di waktu-waktu gue kencan sama Tama. Jadi perihal lo kesel atau apapun, itu sih urusan lo. Wajar dong gue kencan sama pacar gue sendiri. Kenapa lo yang ribet". Jawab Rima kemudian dengan sedikit sinis.

"Aduh..aduuh tuan putri ini bener-bener susah ya ditaklukin. Lo bener-bener melukai harga diri gue dengan lebih memilih Tama dibanding gue. Apa hebatnya dia? Apa karna dia smart? Nilainya selalu tinggi? anak basket?. Jangan khawatir Rima, gue juga bisa kaya gitu kalo gue mau". Tantang Jamie dengan wajah sedikit menggoda Rima.

"Apaan sih, gak usah kepedean. Mau lo lebih pinter keq, lebih jago, lebih keren, gue tetep gak bakal nengok ke lu. OK. Jadi berenti deketin gue mulai sekarang. Jangan coba-coba ganggu gue sama Tama".

Hari itupun berlalu masih tanpa hasil bagi Jamie. Entah apa yang dia rencanakan. Tapi bagaimanapun sepertinya Jamie sudah benar-benar jatuh cinta kepada Rima. Bukan hanya sekedar mengejarnya seperti Ia mengejar gadis-gadis lain selama ini.

Jamie merasakan jatuh cinta kali ini. Ia benar-benar ingin memiliki Rima seutuhnya. Ia berniat merusak hubungannya dengan Tama. Jamie yakin jika sebetulnya Rima juga sedikit menaruh hati padanya. Maka Ia terus berusaha.

Malam itu tiba-tiba suara handphone Rima berdering. Tepat jam 21:00. Rima mengangkatnya dengan segera.

"Iya Ta, Kenapa malem-malem begini?". Tanya Rima sambil mengunyah cemilan yang sedang Ia pegang. Rima memang terbiasa nonton video hingga larut malam sambil ngemil di tempat tidurnya.

Itu kegiatan yang biasa Ia lakukan jika malam minggu tidak pergi berkencan dengan Tama. Kebetulan malam itu Tama ada pertandingan basket dengan regunya di Bogor. Jadilah Rima bermalam mingguan di rumah saja.

"Ini Doni Rim, sorry-sorry ganggu malem-malem. Gue pake handphone Tita temen lu. Mendingan lu cepet ke sini deh Rim. Temen lu mabok nih". Jelas Doni dari sebrang telepon.

Jelas sekali Rima kaget dengan apa yang barusan Ia dengar. "Tita? Mabuk? Yang bener aja, sejak kapan dia jadi begitu". Tanya Rima dalam hati.

"Jangan becanda deeh. Emang kalian di mana? gimana ceritanya Tita bisa mabuk? Tanya Rima penasaran.

"Serius Rim, Tita parah nih. Cepetan ke sini ya. Di klub Green. Tau kan?" Jelas Doni kemudian.

Rima ragu dengan yang dikatakan Doni. Namun bagaimanapun, Tita adalah sahabatnya. Ia tidak mungkin diam saja. Ia tau jika Tita sahabatnya itu memang sedang dalam masalah dengan keluarganya.

Mungkin ini sebagai bentuk pelarian kecil yang Ia lakukan demi melupakan sedikit beban berat hidupnya di keluarganya yang Ia tanggung sendiri. Begitu pikir Rima. Maka Ia bergegas datang ke klub tempat Tita berada seperti yang dikatakan Doni.

"Heeiii, teman baikku cayaaang, kamu ngapaiiin disiniii? Anak baik kaya kamu jangan kesini dooong". Tita tiba-tiba berbicara melantur dengan wajah luar biasa tampak mabuk berat sambil menunjuk-nunjuk Rima yang baru saja datang.

"Ya ampun Ta, lu kenapa gini sih?". Tanya Rima sambil meraih tangan Tita dan bermaksud membuatnya berdiri agar dapat Ia bawa pulang.

"Ayo Ta, pulang. Pokonya lu harus pulang. Jangan jadi gini Tita. Gue tau lu lagi ada masalah. Tapi gak perlu kaya gini kan Ta. Ayo, kita pulang ke rumah gue". Ajak Rima kemudian. Namun tak di duga, Tita malah terjatuh sehingga membuat Rima yang sedang memapahnya ikutan ambruk.

"Addduuuuh, ampun deh ni anak. Berat banget". Gerutu Rima kemudian.

Tiba-tiba ada suara tak asing yang terdengar dari belakang Rima.

"Hai cantik, gak nyangka juga kamu bisa ke sini". Kata Jamie sambil melipat kedua tangannya menatap Rima dan tersenyum simpul. Ya, ternyata Jamie juga ada di situ.

"Heh, lu apain nih anak orang? Kalian tuh keterlaluan ya. Sengaja banget bikin Tita jadi begini. Kalo bikin acara murahan kaya gini gak usah ajak-ajak orang lain". Bentak Rima kepada Jamie yang masih berdiri tepat dihadapannya kali ini.

"Woo... Woo... tunggu dulu Rim. Harusnya kamu terima kasih sama aku. Udah nolongin teman kamu ini untuk duduk di sini dan menelpon kamu untuk jemput dia. Kamu tau kenapa? Karna tadi, dia sendirian dibangku bar itu. Minum banyak sekali, ngoceh gak karuan dan bikin kacau keadaan. Makanya aku, Doni, sama Dimas bawa dia duduk di sini, di meja kami. Karna kami gak mau sampe terjadi apa-apa sama temanmu ini". Jelas Jamie kemudian.

Rima tidak percaya begitu saja. Tapi keadaan akan makin buruk jika Ia hanya mendengar ocehan Jamie. Jadi Ia memutuskan untuk segera membawa Tita pulang.

"Cepet, bantu gue bopong dia ke mobil". Perintah Rima kepada Jamie. Tapi Jamie hanya tersenyum dan meminta Rima untuk bersabar.

"Sabar dulu Rim, duduk dulu kenapa sih. Ngapain buru-buru, ini kan malam minggu. Lagian, kalo kamu bisa kesini jemput temanmu yang lagi mabuk berat ini, artinya kamu gak ada kegiatan lain kan. Udahlaah santai dulu aja".

Sebetulnya Rima enggan menerima ajakan Jamie untuk duduk sebentar bersama mereka. Tapi Ia bingung dengan Tita. Kondisi Tita sudah benar-benar mabuk berat. Diajak berdiri saja Tita sempoyongan, apalagi disuruh jalan.

"Jame, please deh. Bantu gue bopong Tita ke parkiran. Gue gak suka tempat rame begini". Pinta Rima dengan wajah memohon kepada Jamie.

Jamie yang melihat keseriusan di wajah Rima malah semakin ingin membuat Rima menemaninya di klub pada malam itu.

"Rima, please juga deh. Sekali iniii aja kamu terima tawaran saya. Toh kamu udah ada di sini kan sekarang. Aku janji akan bantu Tita. Tapi please, kamu duduk dulu di sini. Kita ngobrol".

"Jame, gimana mau ngobrol sih. Ini tempat yang bising, dan kita harus teriak-teriak begini supaya kedengeran. Apa enaknya ngobrol ditempat begini". Jawab Rima kemudian.

Demi Tita, akhirnya Rima menerima tawaran Jamie.

"Oke, gak lama. 10 menit. Cuma 10 menit dan lo bantu gue bopong Tita ke mobil".

"Ok, Janji 10 menit". Jawab Jamie kemudian.

"Aku pesenin minum ya".

"Gak usah Jame, sorry gue gak minum alkohol". Kata Rima menolak tawaran minum dari Jamie.

"Ya ampun Rima, aku ini tau kamu itu perempuan seperti apa. Tenang aja lagi. Siapa juga yang mau nyediain alkohol buat kamu. Aku udah pesenin orange juice buatmu. Diminum ya".

Tidak berapa lama kemudian Orange Juice pesanan Jamie datang ke meja mereka. Rima tidak habis pikir kenapa Jamie jadi sebaik ini sekarang.

Rima pikir setelah minum seteguk Ia akan dibantu Jamie membawa Tita ke mobilnya. Tapi ternyata dugaan Rima salah. Entah bagaimana ceritanya. Tiba-tiba saja Rima terbangun pagi itu dalam keadaan sakit kepala dan perasaan aneh yang belum pernah Ia rasa sebelumnya. Rima bingung.

"Dimana gue ya?". Tanyanya dalam hati. Tidak lama kemudian Jamie muncul dari balik pintu. Rima terkejut bukan main.

"Tuan putri sudah bangun?". Tanya Jamie dengan senyumnya yang merekah. Kemudian Ia menghampiri Rima yang masih dengan raut wajah bingung.

"Jame, ini dimana? Gue kenapa? Koq bisa disini? Jame, please jelasin ada apa sama gue".

Jamie baru saja mau menghampiri Rima tapi...........................

"STOOOP....!! Jangan mendekat sebelum lo jelasin ke gue apa yang terjadi semalam setelah......". Rima berhenti bicara sejenak, teringat akan kejadian semalam.

"Jame, lo kasih apa ke minuman gue? Lu campur apa orange juice itu jame? Lo apain gue jaaame.....?".

Rima menangis sejadi-jadinya. Ia sedikit mengerti apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Jamie. Hancur sudah harapan Rima untuk terus bersama Tama. Dengan keadaannya yang sekarang. Rima sudah kehilangan kepercayaan dirinya di hadapan Tama.

"Tenang Rim, tenaaang. Gak ada yang tau dengan apa yang sudah terjadi pada kamu". Jamie mencoba menenangkan Rima. Tapi tidak berhasil.

"Lu brengsek Jame, lu bener-bener keterlaluan. Kenapa sih lo tega berbuat begini ke gue. Kenapa lo sejahat ini sama gue Jame, apa salah guee....". Rima masih terus menangisi nasibnya pagi itu.

Jamie sendiri terus mencoba mendekati Rima. Berusaha maksimal agar rima mau mengerti bahwa apa yang dilakukaknnya hanya agar Rima mau menerimanya. Meski dengan keadaan terpaksa.

"Rim, mulai detik ini, aku akan jadi yang terbaik buat kamu. Aku janji gak akan pernah lagi godain perempuan lain. Aku akan setia sama kamu Rim".

"Lu udah gila? Lu pikir dengan cara kaya gini, terus gue akan mau nerima lo? Jamie, gue makin jijik sama lo. Jangan pernah lagi lu deketin gue. Gue harap lo puas udah ngancurin hidup gue hari ini. Gue harap tujuan lo tercapai".

Rima berteriak kepada Jamie yang masih berdiri di hadapannya yang sedang menangis. Kemudian Rima berlari sambil menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian dengan selimut, berlari ke toilet dan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai hotel pagi itu.

Setelah berpakaian, Rima keluar toilet dan ingin bergegas pulang. Namun Jamie mencegahnya.

"Minggir...". Teriak Rima kepada Jamie yang berdiri di ambang pintu demi menahan Rima keluar.

"Rima please, forgive me. I Dont know you'll hurt so bad".

"Just let me go and dont ever meet me anymore. Gue benci elo dan jangan pernah lagi berusaha minta maaf ke gue".

Kemudian Rima mendorong Jamie dan berlari keluar. Ia berlari sambil menangis. Menyetir mobilnya dengan kacau. pikirannya kacau, dalam perjalanan pulang Ia terus menangis di dalam mobil yang dikendarainya. Nasibnya kini hancur. Ia tidak punya muka lagi bertemu Tama. Begitu pikirnya saat itu.

Rima mengurung diri di kamar. Tak habis pikir dengan kejadian yang telah menimpanya. Handphonenya terus berdering. Banyak pesan yang juga tidak Ia buka.

"Rima sayang, masih belum mau bicara? Apa kamu gak ke sekolah lagi hari ini? Udah dua hari lho mama ijin kamu sakit ke sekolah. Ayolah sayang, setidaknya cerita ke mama ada apa ". Ibunda Rima membujuk Rima. Tapi tidak berhasil.

Rima masih membalas pesan-pesan Tama seperti biasanya. Ia tidak ingin Tama khawatir. Namun ketika Tama berkunjung ke rumahnya, Ibunda Rima berkata bahwa Rima sedang tidur. Sehingga Ia tidak bertemu dengan Rima.

Saat itu Tama belum menaruh curiga. Ia pikir rima hanya sakit biasa. Setelah tiga hari tidak ke sekolah dengan alasan sakit, akhirnya Rima memutuskan untuk kembali pergi ke sekolah. Meski terlihat sedikit murung, tapi Rima berusaha tegar.

"Kamu kenapa? Masih gak enak badan?". Tanya Tama kepada Rima yang masih terlihat murung duduk dibangku kelasnya.

"Gapapa Tam, aku udah mendingan. Cuma memang masih gak enak aja. Mungkin pemulihan". Jawab Rima memberi alasan.

Jamie terhenti di ambang pintu kelas Rima. Ia ingin menghampiri Rima, namun mengurungkan niatnya ketika melihat Tama sedang disamping Rima. Tampak Tama sedang memegang tangan Rima dan menyentuh dahinya. Mengecek apakah Rima masih demam seperti yang dikatakan Ibundanya kemarin.

Akhirnya Jamie mundur dan kembali ke kelasnya. Siang itu sepulang sekolah, Jamie mencuri waktu untuk menemui Rima. Ia tau kebiasaan Rima yang pasti akan menunggu Tama selesai berlatih basket. Rima biasanya menunggu Tama di perpustakaan jika Ia sedang enggan melihat Tama berlatih di lapangan.

Namun sayangnya siang itu Rima sudah pulang, Rima merasa betul-betul tidak enak badan. Bukan lagi hanya alasan karna menutupi kemurungannya. Tapi kali ini Rima benar-benar sakit. Maka siang itu Rima pulang dengan Pak Aman tanpa menunggu Tama.

"Ya udah kamu pulang aja duluan ya, minta Pak Aman jemput". Kata Tama siang itu masih di kelas Rima. Tama sebetulnya merasa sikap Rima akhir-akhir ini agak aneh. Murung dan terlihat sedih. Tapi Tama pikir itu karna Rima sedang tidak enak badan. Jadi Ia membuang pikiran jelek jauh-jauh dari kepalanya.

Hari itu adalah hari terakhir Tama bertemu Rima. Dimana pada akhirnya Tama menyendiri hingga umurnya yang sudah kepala tiga sekarang ini.

Tapi cerita Jamie tentang bagaimana Rima menghilang dari kehidupan Tama belum selesai. Maka ceritapun berlanjut.

Malam hari di kediaman Rima. Saat makan malam, tiba-tiba saja Rima ambruk. Pingsan tak sadarkan diri setelah beberapa hari terlihat murung. Ibunda Rima berfikir jika putrinya memang sedang sakit. Maka malam itu ibu dan ayah Rima menelpon dokter keluarga mereka.

Terkejut bukan main atas analisa dokter. Rima mengandung dua minggu. Ayah Rima murka. Marah sejadi-jadinya.

"Papah akan menemui orangtua Tama. Bisa-bisanya kalian berbuat begini. Papah merestui hubungan kalian karna papa pikir Tama anak yang baik dan mampu menjaga kamu Rima. Tapi apa yang dia perbuat padamu". Saat Ayah Rima memencet tombol telepon, seketika itu juga Rima bangkit dari tempat tidurnya kemudian memegang tangan Ayahnya.

"Nggak Pah, Papah ngga tau apa-apa. Bukan Tama Pah, bukan Tama yang harus bertanggung jawab atas bayi ini".

"Apa katamu Rima?". "PLAAAAK" . Seketika itu juga telapak tangan Ayah Rima mendarat di pipi kiri putrinya. Ibunda Rima hanya bisa menangis. Menangisi nasib putrinya. Ia tidak menyangka semua bisa terjadi.

"Kamu pacaran dengan Tama, tapi kamu mengandung anak laki-laki lain maksudmu? Perempuan macam apa kamu Rima? Papah gak nyangka punya putri bejat seperti kamu. Sejak kapan kamu jadi rusak begini Rimaaa....".

"Pah, Rima kan sudah bilang. Papa dan Mama ngga tau apa-apa. Papa, Mama ngga tau apa yang udah terjadi sama Rima kan Pah. Jangankan kalian. Tama juga ngga tau tentang ini Pah. Tama gak salah, Tama gak ngerti apa-apa, dia tetap laki-laki baik seperti yang Papa Mama yakini. Tama tetap laki-laki baik, terhormat, dan tiak pernah berbuat macam-macam pada putri kalian yang kotor ini. Kalian gak tau apa yang Rima jalani belakangan ini".

Rima menangis sejadi-jadinya, kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi dimalam itu. Di malam Ia bertemu Jamie, dimalam ketika Ia hanya berniat menolong Tita sahabatnya. Tita sudah tau kejadian itu. Tita sudah memohon maaf pada Rima.

Rima juga tidak bisa menyalahkan Tita. Karna Tita sendiri juga tidak menyangka dimalam ketika Ia sedang dirundung banyak masalah pelik dalam keluarganya, kemudian lari ke klub itu, Ia bertemu Jamie dan kawan-kawannya.

Tita hanya ingat pagi itu Ia sudah bangun di dalam kamarnya sendiri. Entah siapa yang mengantarnya pulang. Tita bahkan tidak tau sama sekali bahwa Rima datang untuk membantunya pulang namun kejadian naas menimpa Rima.

"Papa akan lapor polisi. Kejadian ini gak bisa dibiarkan". Kata Ayah Rima hari itu. Namun Ibunda Rima melarang.

"Pah, kalo kita berbuat begini, yang ada anak Rima akan lahir tanpa Ayah. Kemudian Rima dan kita akan menanggung malu Pah. Sebaiknya kita temui dulu Jamie. Siapa tau dia mau bertanggung jawab".

"Apa Mama sudah ngga waras? Mama mau menikahkan putri kita dengan laki-laki bejat macam itu?".

"Pah, Mama pernah dengar cerita dari Pak Aman tentang Jamie. Sepertinya Jamie betul-betul mencintai Rima. Mungkin dia benar-benar mau bertanggung jawab Pah. Bisa jadi, perbuatannya dia lakukan demi mendapatkan Rima. Setidaknya, biarkan Rima melahirkan dengan seorang suami Pah. Meski nanti mereka kita pisahkan, setidaknya anak Rima harus punya Ayah dulu Pah. Jangan sampai dia telahir tanpa Ayah".

Ibunda Rima memohon kepada suaminya. Bagaimanapun ini aib. Rima harus segera meninggalkan Jakarta dan menikah secepatnya. Sebelum kandungannya membesar. Akhirnya malam itu juga Ayah dan Ibunda Rima bergegas meminta Pak Aman mengantar mereka ke kediaman Jamie.

Dari Pak Domon yang pernah menolong Jamie membawanya ke Rumah Sakit tempo hari, Pak Aman tau alamat rumah di KTP Jamie. Namun sayang, seperti yang pernah Pak Domon ceritakan, rumah besar itu gelap dan kosong. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ayah Rima berpikir kemungkinan Jamie melarikan diri. Tapi mereka salah. Jamie memang tidak pernah tinggal lagi di rumah besar itu semenjak Ia ditinggal kedua orangtuanya pergi bertugas ke luar negeri. Bahkan kedua orangtuanya tidak pernah mengetahui bahwa Jamie anak mereka ternyata tinggal di sebuah kos-kosan yang tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Jamie tidak mau merasa kesepian tinggal di rumah besar itu sendirian. Meski ada ART, tapi bagi Jamie itu sama sekali tidak membantu menyingkirkan rasa kesepiannya. Sehingga Ia memilih tinggal di kosan. Meski begitu, kosan Jamie adalah kosan elit yang terletak di dalam komplek perumahan mewah.

Hal itu mereka ketahui dari tetangga rumah Jamie yang kebetulan lewat ketika mereka berusaha menemui Jamie di rumah besarnya.

"Iya Pak, Bu, Nak' Jamie memang nggak suka tinggal di sini sendirian. Jadi dia tinggal di kosan di blok sebelah Pak". Begitu kata tetangganya.

Ayah dan Ibunda Rima serta Pak Aman segera bergegas mencari kosan yang dimaksud tetangga Jamie.

"Permisi Pak, apa betul di kosan ini ada yang tinggal bernama Jamie?". Tanya Pak Aman kepada satpam penjaga kosan.

"Oh iya betul Pak, ada Nak' Jamie tinggal di sini. Anda ini siapa ya? Keperluannya apa?". Bapak Satpam itupun balik bertanya kepada Pak Aman.

"Saya Aman Pak, majikan saya yang sedang di mobil itu ingin bertemu dengan Nak' Jamie. Urusan super penting Pak. Mohon bantuannya dipanggilkan. Tolong katakan saja kalau orangtua Non Rima yang mau ketemu".

"Ooh begitu. Oke, tunggulah sebentar. Saya coba panggilan Nak' Jamie".

Jamie kaget bukan main mendengar orangtua Rima mencarinya. Sepertinya Ia tau apa yang terjadi. Ia mengira bahwa Rima menceritakan perihal dirinya telah dinodai olehnya. Namun Jamie masih belum mengetahui tentang Rima yang mengandung.

Ia pikir, mungkin orangtua Rima akan membawanya ke kantor polisi. Ia akan pasrah saja. Karna Ia sadar betul atas apa yang telah diperbuatnya kepada Rima. Maka Iapun segera keluar menemui orangtua Rima dengan perasaan sedikit tegang.

"Kamu yang namanya Jamie?". Tanya Ayah Rima dengan wajah masam memperlihatkan mimik wajah marahnya.

"Iya Om, saya Jamie". Jawab Jamie kemudian dengan wajah tertunduk.

"Bangsat kamu ya. Kamu apakan anak saya". Ayah Rima murka, dengan serta merta Ia meremas kerah baju Jamie dan memukul wajahnya. Jamie tersungkur jatuh di jalan.

Satpam kosan dan Pak Aman bergegas menghampiri mereka. Satpam kosan membantu Jamie berdiri, sementara Pak Aman mencoba memegang lengan Ayah Rima sambil menenangkannya dibantu Ibunda Rima.

"Lho..Lho... ini ada apa ya? Koq Nak Jamie dipukuli seperti ini. Jangan main kasar Pak. Tolong dibicarakan dulu". Kata Satpam kosan sambil membantu Jamie berdiri.

Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik dengan wajah aneh. "Ada apa sih? Ada apa?"...... Begitu kata mereka.

"Pah, sabar Pah. Tujuan kita ke sini bukan untuk menghakimi Jamie Pah. Papah jangan bikin kacau keadaan. Ingat Rima Pah". Kata Ibunda Rima mencoba menenangkan suaminya.

"Mari Pak, kita selesaikan saja di dalam. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin dan tenang". Ujar Satpam kosan kepada Ayah Rima yang massih dipegangi oleh Pak Aman dan Ibunda Rima.

Merekapun masuk ke dalam kosan. Di ruang tamu, mereka membicarakan semua hal yang terjadi sebelumnya. Termasuk kehamilan Rima.

"Mana orangtua kamu? Saya harus bicara dengan mereka". Tanya Ayah Rima dengan nada membentak Jamie.

"Maaf Om, orangtua saya tidak perlu terlibat. Jika Om mau, saya akan menyerahkan diri ke polisi tanpa perlu melibatkan mereka. Bukan apa-apa Om. Hanya saja, mereka tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada saya". Jawab Jamie kemudian.

"Anak macam apa kamu sampai-sampai tidak dipedulikan orangtuanya. Pantas saja kelakuanmu ini bejat, tidak bermoral, tidak punya otak kamu. Kamu apakan putri saya hingga dia hamil hah? Kamu sudah hancurkan masa depan putri saya. Kamu pikir saya bisa terima begitu saja dengan kamu dihukum dalam penjara? Itu malah akan membebaskanmu dari tanggung jawab. Dasar anak brengsek".

Jamie terkejut bukan main. Rima hamil. Ia tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Namun Ia tetap menyadari kesalahannya.

"Apa Om, Rima hamil? Ya ampuuun. Om saya betul-betul minta maaf. Hukuman apapun yang akan Om berikan, saya akan terima Om. Tapi saya mohon Om. Pertemukan saya dengan Rima Om. Saya mohon".

"Dasar anak sialan, apa lagi yang mau kamu lakukan pada putri saya?". Ayah Rima semakin murka dengan permintaan Jamie. Namun Ia teringat kata istrinya. Kemungkinan Jamie ini betul-betul mencintai putri mereka. Karna kehadiran Tama di hati Rimalah yang membuat Jamie nekat berbuat demikian terhadap Rima.

Sekarang giliran Ibunda Rima yang bicara. Ia tidak ingin putrinya mengalami lebih banyak masalah setelah ini. Maka Ia segera saja membicarakan tujuan mereka datang ke tempat Jamie.

"Jamie, tujuan kami datang kemari, bukanlah untuk menghukummu. Paling tidak, bukan sekarang waktu yang tepat untuk kami menghukum kamu. Nanti bila sudah waktunya, maka kamu harus siap dengan segala hukuman yang akan diberikan".

Jamie hanya tertunduk mendengarkan omongan Ibunda Rima. Ia sadar bahwa Ia memang pantas dihukum setelah apa yang diperbuatnya pada putri mereka.

"Kami ke sini meminta kamu bertanggung jawab atas kehamilan Rima. Kamu harus segera menikahinya". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie mengangkat wajahnya. Kaget mendengar omongan itu kemudian dengan wajah sambil tersenyum Ia menjawab.

"Apa tante? Saya menikahi Rima? Betul Tante? Ya ampuuun, saya tidak menyangka akan menjadi suaminya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Rima tante. Saya berjanji. Mulai sekarang, hidup Rima dan anak yang dikandungnya adalah tanggung jawab saya tante". Jawab Jamie kemudian.

Sebetulnya ada perasaan lega di wajah orangtua Rima, Mereka bahkan tidak menyangka laki-laki brengsek yang menghamili paksa putrinya dengan wajah bahagia bersedia bertanggung jawab.

Rupanya kali ini Jamie mendapatkan karmanya. Setelah Ia bermain-main dengan banyak wanita. Bahkan Ia pernah berujar tidak akan pernah mencintai wanita manapun, kini Ia malah betul-betul tersiksa karna mencintai Rima teramat sangat.

Malam itu juga, Jamie dibawa ke rumah Rima. Ia dipertemukan dengan Rima. Namun semuanya tidak menduga dengan apa yang dikatakan Rima.

"Ngapain lu ke sini? Mau apa? Puas lo ngancurin hidup gue?". Rima berteriak ke hadapan Jamie. Ia tak menyangka Orangtuanya membawa Jamie datang.

"Rima please. Kita akan menikah. Aku mohon jangan menolak. Bagaimanapun itu anakku juga Rima".

"Dasar gila. Gimana lu bisa yakin ini anak lo hah? Gue jijik sama lo. Sekarang juga lo pergi dari sini. Gue gak mau lu dateng-dateng lagi ke sini. Pergiiii....". Rima menjerit histeris sambil mengusir Jamie.

"Rima, sayang. Maafin mama dan papah. Mama yang memutuskan menikahkan kamu dengan Jamie. Bagaimanapun kamu gak boleh melahirkan tanpa suami. Rima sayang denger mama nak' kali ini kamu harus nurut apa kata mama. Menikahlah dulu dengan Jamie. Setelah itu terserah dengan apa yang ingin kamu lakukan nak' setidaknya, anakmu harus punya Ayah".

"Nggak mah, nggaaak. Rima gak mau. Rima gak sudi. Siapa yang bilang Rima mau melahirkan? Rima gak mauuu maaah. Rima gak mau anak ini Rima benci dia mah, benciii". Rima semakin histeris, berteriak sambil memukul-mukul perutnya.

"Rima, jangan sayang. Jangan kamu lakukan itu. Dia ngga bersalah nak' jangan berbuat begitu. Dia berhak hidup". Ibunda Rima menghampirinya kemudian mencoba menenangkannya.

"Bagaimanapun Rima tidak boleh menggugurkan bayi dalam kandungannya. Kita harus berbuat sesuatu Pah". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie terdiam sejenak. Berfikir apa yang mungkin akan Ia lakukan selanjutnya. Rima telah menolak menikah dengannya. Tapi Jamie terus berusaha membujuknya. Hari ini tidak berhasil.

"Besok aku akan datang lagi Rima. Aku akan terus datang sampai kamu mau menerimaku. Bagaimanapun, bayi itu harus hidup. Dia tidak berbuat kesalahan Rima. Aku yang salah, aku yang akan menanggung semuanya".

Jamie pulang tanpa hasil. Ia tidak berhasil membujuk Rima menikah dengannya. Tapi kali ini Jamie yang sudah benar-benar jatuh cinta, pada akhirnya tetap harus mengalah, diam, dan pulang. Hanya saja dia tidak berniat menyerah. Dia akan memperjuangkan cintanya. Terlebih lagi, kini perempuan yang dicintainya tengah mengandung darah dagingnya.

Esoknya, Rima tidak datang-datang lagi ke sekolah. Iapun memutuskan untuk tidak akan pernah l;agi menemui Tama. Hancur sudah harapan hidup bersama Tama di masa depan. Siang itu sepulang sekolah Tama berniat menemui Rima karna tidak ada yang tau kabar Rima di sekolah.

Tita hanya bilang jika Rima sedang sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Kabar itu Ia dapatkan dari Ibunda Rima saat Ia menelpon untuk menanyakan apakah Rima baik-baik saja. Karna Tita merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi.

Sejak hari itulah Tama tidak pernah lagi bertemu Rima. Jamie terus menerus datang ke rumah Rima. Begitu pula Rima yang terus menerus menolak menikah dengan Jamie. Pada akhirnya, Jamie memang bertanggung jawab atas Rima dan Mischele secara materi namun mereka tetap tidak menikah.

Semua barang-barang yang dibawa atau dikirimkan Jamie selalu Rima masukan dalam gudang. Tidak satupun yang Ia gunakan. Bahkan uang bulanan yang selalu Jamie kirimkanpun tidak pernah Rima gunakan. Baik untuk dirinya sendiri ataupun anaknya.

Hari itu hari di mana Tama datang lagi ke rumah Rima yang sudah kosong tanpa penghuni, hari dimana Tama bertemu tetangga Rima dan mengatakan bahwa Jamie harus ke rumah sakit, adalah hari dimana Rima berusaha bunuh diri. Rima tidak ingin melahirkan bayinya. Ia nekat mengakhiri hidupnya.

Namun Tama tidak mengetahui hal itu. Tetangganya juga tidak mengatakan apa-apa selain Ibunda Rima yang titip pesan jika ada laki-laki bernama Jamie datang ke rumah, diminta untuk segera ke Rumah Sakit.

Saat itu Tama pikir, keluarga Rima memiliki saudara atau sanak family bernama Jamie. Tidak disangka ternyata Jamie yang dimaksud adalah Jamie si bule teman sekolahnya yang terkenal playboy. Tama betul-betul tidak menyangka.

Tama dan Mischele terus mendengarkan cerita Jamie. Singkat cerita, akhirnya mischele lahir dan Jamie lulus SMA. Jamie meneruskan kuliahnya di Jakarta. Sementara Rima pergi ke Bandung untuk melanjutkan lagi sekolah SMA nya yang tertunda karna mengandung.

Tentu saja status Rima yang telah memiliki anak dirahasiakan di sekolahnya yang baru. Setahun kemudian Rima lulus SMA, kemudian Ia pindah ke sidney membawa serta Mischele. Ia sengaja melakukan itu untuk menjauhkan Mischele dari Ayahnya.

Ya, saat itu Rima berfikir untuk tidak lagi mempertemukan Jamie dengan Miscehele putrinya. Rima tetap belum dapat menerima Jamie. Namun begitu, Jamie tetaplah Jamie yang selalu berkeinginan keras pantang putus asa. Belasan tahun Ia menanti Rima membuka hati.

Sama seperti Tama yang sudah belasan tahun pula menanti Rima kembali. Rimapun demikian, hidup tanpa laki-laki selama belasan tahun, hingga Mischele tumbuh remaja seperti hari ini. Cantik dan Cerdas.

Saat Rima dan Mischele hidup di Sidney, Jamie menyusulnya. Ia tidak pernah menyerah. Selalu datang setiap hari menjenguk Mischele. Berharap Ibunya luluh dan mau mulai membuka hatinya. Itulah sebabnya, Mischele tetap dekat dengan Ayahnya meski Ayah dan Ibunya tidak pernah menikah.

Begitulah ceritanya. Bagaimana Rima bisa menghilang dari kehidupan Tama, bagaimana Mischele hadir dikehidupan Rima, bagaimana Jamie si playboy berubah drastis setelah ditaklukan Rima.

Mischele terdiam mendengar akhir cerita Ayahnya. Tanpa Ia sadari, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Tak lama air matanya mengalir jatuh ke pipinya yang putih mulus merona pink tanpa makeup.

"Jadi, Mommy gak pernah inginkan Mischele. Mommy menderita karna Mischele. Jadi Mischele ini anak yang gak pernah diinginkan Mommy". Ujar Mischele sambil menangis.

"Nggak sayang, siapa yang bilang begitu? Mommy always love you Mischele. Gak akan pernah berubah". Tiba-tiba Rima berdiri dihadapan mereka bertiga yang tengah duduk mendengarkan cerita Jamie.

Kemudian Mischele menghambur kepelukan Ibunya sambil menangis dan berujar "Mooom, maafin Mischele Mom. Karna kehadiran Mischele Mommy jadi menderita. Harusnya Mommy hidup bahagia dengan Om Tama kan Mom". Mischele terisak dipelukan Rima.

"Sayaaang please jangan bicara begitu. Mommy hanya shock saat tau kamu ada dalam perut Mommy. Tapi begitu kamu lahir, Mommy betul-betul mencintai kamu sayang. Kamu yang paling berharga buat Mommy sekarang. Bukan laki-laki manapun. Ingat itu Mischele. Mommy sudah bahagia hidup berdua denganmu tanpa mereka". Jelas Rima kemudian sambil memeluk Mischele.

Tama dan Jamie bangkit dari duduknya. Kemudian menatap Rima dan Mischele yang sedang berpelukan. Tama tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya dari cerita Jamie. Iapun bingung akan berbuat apa.

Kini giliran Rima yang buka suara. Akhirnya setelah lama menanti selama belasan tahun. Rima mau bicara dengan Tama dan Jamie sekaligus.

"Tama, aku minta maaf karna menghilang tiba-tiba dan tak ada kabar. Tapi sekarang kamu tau apa penyebabnya. Aku sudah terlalu kotor dan hina untuk bertemu kamu waktu itu. Meski hanya sekedar mengucapkan selamat tinggal rasanya aku ngga pantas lagi ketemu kamu".

"Rima please jangan bicara begitu. Gak ada yang lebih berharga dan lebih terhormat dari kamu Rima. Harusnya kamu temui aku, kita bisa selesaikan semua sejak dulu. Tidak seperti ini. Lama menunggu dan akhirnya ini yang terjadi. Kamu gak salah. Jadi jangan pernah minta maaf".

Sebetulnya Tama masih sangat kesal pada Jamie. Ingin sekali Ia menghajarnya kembali habis-habisan. Ia memisahkan hidupnya dari Rima perempuan yang paling dicintainya sejak dulu. Tapi karna kehadiran Mischele, maka Tama mencoba tegar. Mencoba menerima kenyataan yang sudah ada di depan matanya.

"Dan kamu Jamie, please gak usah bujuk-bujuk Mischele lagi untuk membuka hati aku untukmu. Karna itu gak akan pernah terjadi. Aku membiarkanmu bertemu Mischele hanya karna Ia butuh sosok Ayah. Itu aja. Bukan karna aku menerima kamu. Sudah jelaskan? Jadi jangan pernah berusaha lagi. Hentikan usaha-usahamu mengirimiku semua barang-barang dan uang setiap hari dan setiap bulan. Aku bisa mengurus Mischele tanpa bantuanmu".

Mischel terdiam. Kemudian Ia berfikir, apakah Mommy masih sangat mencintai Om Tama dan sebaliknya? Apakah mungkin mereka kembali hidup bersama seperti ketika mereka masih remaja dulu. Apakah kehadirannya mengganggu kembalinya hubungan mereka. Aah hal yang rumit untuk dipikirkan.

"Mom, tolong jawab jujur peryanyaan Mischele ya Mom. Pleeease Mom. Mischele butuh jawaban".

"iya sayang, tanyalah apa yang mau Mischele tau. Mommy pasti jawab. Sudah gak ada lagi yang harus Mommy rahasiakan". Jawab Rima kemudian.

"Mom, jujur. Apa Mommy masih mencintai Om Tama? Atau Mommy sedikit demi sedikit sudah bisa mencintai Daddy? Jawab Mom".

Rima, Tama, dan Jamie terkejut bersamaan mendengar pertanyaan Mischele. Tidak disangka Mischele bertanya demikian dihadapan mereka semua.

"Mischele, bagi Mommy sekarang kamu yang terpenting. Bukan siapapun. Jadi kamu gak perlu menanyakan hal yang kurang penting begitu. Baik Daddy ataupun Om Tama, sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan hidup Mommy. Biarkan mereka menjalani kehidupan mereka ke depannya. Mungkin juga Om Tama sudah menikah, atau mungkin Daddy kamu sudah memiliki kekasih yang mungkin akan dinikahinya nanti. Mommy gak mau lagi ngerusak hidup siapapun termasuk hidup Mommy sendiri. Cukup kamu aja di hati mommy sayang".

"Bukan Mom, bukan itu pertanyaannya. Kenapa Mommy gak jawab aja. Siapa yang Mommy cinta sekarang? Om Tama atau Daddy? Jawabannya gak perlu sepanjang itu Mom".

"Michele, Mommy gak perlu jawab pertanyaan itu Mommy rasa Michele udah tau gimana hati Mommy selama ini kan? Kosong michele. Gak ada siapapun. Tolong jangan bahas ini lagi".

Bersambung ke Eps.4 (Ending)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay