Tampilkan postingan dengan label koleksi novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label koleksi novel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

Apakah Aku Sendiri?

Assalamualaikum, Terima kasih terucapkan kepada "Babe Kurniawan" yang sudah mengirimkan tulisannya ke Blog Cerpen.

Tulisan yang berjudul "Apakah Aku Sendiri" karya dari"Babe Kurniawan" saya rasa lebih menceritakan curahan hati seorang sarjana. Mungkin para pembaca juga pernah mengalami hal yang serupa? Siapa tau kisah ini bisa menjadi penyemangat kita semua dalam menjalani hidup ini.

Selamat membaca !

* * * * * * * * * *

Apakah Aku Sendiri

Desember 2014, perjalanan hidup ku sesungguhnya baru dimulai. Hangatnya mentari menyambut untuk memulai aktivas baru ku. Diusia muda ku, banyak impian dan harapan yang aku ingin kan, semangat ku begitu besar, kepercayaan diri ku begitu tinggi. Kesuksesan dan kemapanan tak lain dari banyaknya harapan yang aku inginkan.

Perjalananku segera ku mulai. Rapinya pakaian yang ku kenakan yang akan membuat ku lebih semangat, serta senyuman pagi ku membuat percaya diri ku bangkit, dengan membawa map berisi dokumen penting yang ku bawa. Ya, akulah seorang sarjana yang siap mengadu nasib dengan perusahaan yang akan menerima ku. Dengan semangat dan percaya diri ku aku memulai melangkah, satu persatu perusahaan aku datangi, tahapan demi tahapan aku lewati.

Bulan demi bulan telah berlalu, pertualangan ku mulai melelahkan, aku mulai tak percaya diri, semangat ku mulai memudar. Aku lihat disekitar, aku melihat kebahagian mereka yang berhasil dengan hasil pejalanan yang mereka jalanin. Seketika ku mulai merasa tersendiri di dunia yang aku jalanin, di kerasnya dunia yang ku lewati. Keputus asaan yang ada di pikiran, seolah-olah impian dan harapan yang aku ingin tak pernah terpikirkan oleh ku.

April 2015, aku tak bisa seperti ini, aku harus meneruskan hidup ku dengan sejuta harapan dan impian ku, aku mencoba apa yang pernah ku lakukan, aku memulai perjuangan kesekian ku, mulai menatap hangatnya mentari, namun ketika memulai melakangkah, tangan ku disambut dengan ucapan “kau tak sendiri, aku dan kami akan selalu menemani mu untuk menyambut hangatnya mentari”.

Januari 2016, impian dan harapan yang ku inginkan hampirlah tercapai, dengan perjuangan, kerja keras dan dukungan yang selalu memberi semangat, membuat ku lebih percaya diri, keputus asaan ku mulai memudar, harapan dan impian ku akan selalu aku kejar.

Aku mulai sadar,aku tak sendiri dan semua yang aku inginkan memang tak seperti apa yang aku harapkan, keras nya dunia mencoba ku tetap tersenyum. Aku akan terus melangkah demi orang yang aku sayangi, demi masa depan ku.Keluarga ya keluarga ku,Teman ya teman-teman ku, merekalah yang ada untuk ku. Terima kasih semuanya, kalianlah semangat dan percaya diri ku yang sesungguhnya!

Written by: Babe Kurniawan

Jumat, 22 Mei 2020

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay

Selasa, 19 Mei 2020

I'm Stalker and I'm Proud

Setiap orang pasti mau orang yang mereka cintai bisa membalas perasaan mereka.

Entah itu sebagai pacar, selingkuhan atau dalam bentuk apapun itu yang penting Si Dia mau membalas

perasaan kita. Oh iya, cerita ini gue tulis berdasarkan pengalaman hidup gue. Alias asli. Cerita kali ini kiriman dari Steven Wijaya. Ceritanya inspirasi dari kisah sendiri katanya. Dan tidak ada satu katapun yang saya edit dalam cerita Steven. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Semuanya terjadi pada pertengahan tahun 2013. Waktu itu gue masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Jika dibandingkan dengan murid-murid lain gue ini lebih mirip tipe murid eksentrik. Gue nggak terlalu tertarik pada pergaulan begitu juga dengan yang namanya medsos. Menurut gue itu semua hanya buang-buang uang. Gue memang tinggal di kota besar, tapi telponan sama tetangga sebelah aja udah lebih dari cukup daripada harus eksis di medsos.

Jadi gini, waktu itu jam pelajaran ketiga. Gue lagi sibuk-sibuknya nyari penghapus karena waktu itu kebetulan lagi ulangan harian dadakan. Biasa, guru-guru SMP emang suka bengis sama anak kelas 3.

Udah minjam sana-sini masih aja nggak ketemu. Hampir semua teman kelas yang gue pengen minjem jawabannya. “Sorry, udah gue pinjemin ke Rika.” “Yah, cuman satu.” Tapi ada juga yang cuek bebek. Gue frustasi. Waktu tinggal beberapa menit lagi.

Tiba-tiba ada tangan yang ngulurin sebuah penghapus ke gue.

“Nih, jangan lupa nanti dibalikin.” Katanya sembari tetap fokus ke kertas ulangannya.

“M-Makasih..” gue langsung balik ke tempat duduk dan lanjut ngerjain nomer 4 sama 5.

Aneh, gak biasanya dia baik sama gue. Namanya Alina. Anaknya cantik putih tinggi lagi. Anak kelas banyak yang pada ngejar dia tapi semuanya pada gagal total. Katanya sih Alina itu “Belok” tapi gue gak percaya kalau belum lihat dengan mata kepala sendiri. Kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya.

Pulang sekolah gue sempat ngelirik Alina bentar. Siapa tahu dia ngungkit dikit soal yang tadi. Tapi hasilnya nihil. Dia juga kayaknya nggak tertarik ngobrol sama gue. Yah, wajar sih. Siapa juga yang mau ngobrol sama anak gak keren gak beken gak ada gaul kayak gue? Dia itu primadona kelas, jadi normal-normal aja kalau dianya gak mau ngobrol sama gue.

Sampai rumah, gue masih kepikiran sama dia. Pas makan malam, tetap aja masih kepikiran. Gue coba mandi tengah malam, tapi sama aja gak ngaruh malahan badan gue jadi kedinginan.

Gue mau ketemuan sama dia.

Itu yang ada di pikiran gua dari tadi. Tapi gimana? Sekarang jam 2 lewat, siapa yang mau diajak keluar jam segini? Lagian kalau dia belum tidur belum tentu juga dia mau jalan sama gue. Dari satu sampai sepuluh kemungkinan gue pasti 0,08 %

Satu-satunya alternative adalah ngecek medsos-nya dia. Gue baru sadar kalau gue ini sebenarnya gak punya satu pun akun medsos. Akhirnya gue mutusin ketik aja nama dia di google. Kurang lebih gini tulisannya.

“Alina Ales*****a SMA 1 ******”

Kurang lebih begitu. Dan emang, namanya orang mujur gue langsung ketemu akun Instagramnya. Gue pelototin satu persatu foto-fotonya sampai mata gue serasa perih. Tapi gue senang bisa memuaskan rasa penasaran sekaligus kangen. Tiba-tiba gue sadar.. gue udah jatuh cinta sama Alina.

Keesokan paginya gue ketemu lagi sama dia. Gue sengaja nyari-nyari alasan buat ngobrol. Tapi naas, dianya pura-pura budeg. Gue tahu kalau orang kayak gue nggak mungkin bisa bicara sama dia. Tapi gue pengen bicara! Gue pengen tahu gimana kabarnya! Gue pengen tahu tadi malam dia makan apa! Tapi semua itu sia-sia karena kondisi gue yang sekarang. Gue nyesel karena gak jadi anak gaul.. gue nyesel dulu gak mau pake medsos..

Penyesalan selalu datang dari belakang.

Pulang dirumah gue mengulangi rutinitas tadi malam. Tapi kali ini bukan cuman Instagram. Twitter, Path, FB gue embat semua. Semakin lama gue semakin ngerasa dekat sama dia walaupun bukan dengan cara yang benar. Gue memberanikan diri bukan hanya stalking di medsos, tapi juga di dunia nyata.

Pulang sekolah, biasanya dia main ke mall sama teman-temannya. Sampai di rumah jam 4 lewat. Kalau hari libur pasti cuman dirumah. Jarang keluar. Dia punya anjing besar, namanya Franky. Bokapnya kerja di sebuah perusahaan. Nyokap ibu rumah tangga. Kakaknya udah kuliah.

Gue tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk dekat sama Alina.

Namun semua itu tidak berlangsung lama. Gue ketahuan lagi ngikutin dia pas di mall ******. Gue ketangkap basah sama teman-teman kelas. Keesokan harinya gue digebukin habis-habisan. Untung tangan gue gak patah. Berkat kejadian itu gue jadi terkenal sampai ke penjuru sekolah. STALKER dari KELAS 9-D. Itu sebutan baru gue.

Sejak hari itu Alina menatap gue dengan jijik. Gue juga dipandang semakin rendah sama anak-anak kelas.

Setelah hari terakhir ujian nasional. Gue sengaja memberanikan diri buat nembak Alina. Waktu itu dia lagi duduk di taman. Keadaan begitu hura-hura. Semuanya penuh canda dan tawa.

“Lin.. gue mau bilang sesuatu ke elo..” gue menelan ludah.

“Bilang apaan?”

“Pertama gue mau minta maaf, sebenarnya selama ini gue udah stalking lo terus. Terus,” gue menahan napas. “Gue suka sama elu. Mau gak jadi pacar gue?”

Alina memandang dengan tatapan kosong. Gue udah bisa menebak kemana arus pembicaraan ini. “Maaf. Gue gak tertarik pacaran sama orang kayak, lo.” Alina segera bangkit dan berjalan melewati gue.

Tapi tiba-tiba dia berhenti tidak jauh dan menambahkan. “Kalau aja lo lebih jujur, lebih berani dan lebih awal bilangnya. Gue mau kok pacaran sama lo. Lo nggak perlu ngelakuin itu semua. Lo itu orang baik.”

Alina segera berlalu dan berjalan menjauh. Hari yang menurut teman-teman kelas salah satu hari paling bersejarah jadi hari paling tidak mengenakkan bagi gue.

Setelah masuk SMA gue belajar bergaul gue juga punya banyak akun medsos. Gue berubah 180 derajat berkat kata-kata Alina.

Suatu hari pas lagi nongkrong di kafe gue ketemu Alina. Kami bertukar kabar. Ada yang aneh, dia jadi lebih terbuka sama gue. Oh iya, gue lupa. Gue kan sekarang anak keren. Siapa coba yang gak mau sama gue yang sekarang.

Setelah bertukar nomor telpon gue dan Alina jadi tambah dekat. Tambah dekat setiap harinya. Sampai suatu hari Alina ngajak gue ketemuan.

“Ven, lo udah berubah banget, ya. Gak kayak waktu SMP dulu.”

“Kan semua ini berkat kamu waktu itu.” gue menyeduh kopi hangat berusaha terlihat cool.

“Ngomong-ngomong, Ven…” Alina tiba-tiba memegang tangan gue. “Gue udah nunggu 2 tahun buat hari ini. Gue masih suka sama lo. Gue janji bakalan jadi pacar lo yang paling setia..”

Gue hanya diam sambil memandangi wajah Alina yang malu-malu. Gue tersenyum tipis. Hanya ada satu jawaban untuk situasi ini. “Gue juga masih suka sama lo.” Mendadak roman wajah Alina berubah. “Tapi maaf, gue tahu lo udah ada cowok. Darimana gue tahu? Gue masih sering stalker wall, lo. Gue masih suka ngikutin lo kemana-mana. Lo kira hanya gara-gara kejadian waktu itu gue mau tobat? BODO!”

Gue mungkin sudah membuang kesempatan sekali dalam seumur hidup. Tapi siapa yang peduli? Hidup hidup gue, masalah masalah gue, kenapa lo yang pusing? Heran gue.

Jujur aja, setelah gue bilang begitu pas pulang gue nyesel banget sampai mau nangis. Tapi gue sadar ini jalan hidup gue. Dan gue bangga bisa jadi Stalker.

* S E L E S A I *

SaLam BLogger !!!

Untuk semua yang tertarik mengirimkan cerita ke blog cerpen ini, dimohon agar kedepannya dapat menggunakan tata bahasa yang simple dan mudah dipahami. Saya juga berharap agar cerita-cerita selanjutnya juga jika bisa adalah cerita-cerita yang mungkin bisa menjadi pelajaran atau bermanfaat bagi orang banyak. Artinya cerita-cerita yang dimaksud adalah cerita-cerita yang walaupun fiksi (Bukan kisah nyata) tapi juga bukan cerita yang di luar logika.

Saya berharap semoga blog cerpen ini bisa menjadi blog yang mampu membuat penulis-penulis amatir dan pemula seperti kita belajar lebih banyak lagi.

Silahkan isi kolom komentar untuk perkenalan satu sama lain atau ikuti forum blog cerpen di menu FORUM. Siapa tau masing-masing dari kita dapat belajar dari satu sama lain.

Perlu diperhatikan bahwa semua tulisan yang masuk ke blog cerpen, selalu saya baca terlebih dahulu sebelum saya posting. Namun yang perlu anda ketahui adalah saya tidak akan pernah sama sekali mengubah satu hurufpun dalam tulisan-tulisan yang anda kirimkan. Meskipun sudah melalui proses editing, tetap tidak saya rubah. Karna proses editing yang di maksud di sini hanyalah membaca apakah tulisan yang dikirimkan boleh atau pantas ditayangkan dalam blog cerpen.

Apabila ada satu kalimat saja (Meski hanya satu kalimat) yang tidak sesuai dengan aturan yang saya buat, maka tulisan tidak akan saya posting.

Jadi, semua tulisan/artikel dalam blog cerpen ini yang BUKAN KARYA SAYA bukanlah menjadi tanggung jawab saya apabila ada kesamaan nama, tokoh, atau orang manapun yang tanpa sengaja ada dalam tulisan tersebut. Semua tulisan selalu saya sertakan nara sumbernya (Kecuali jika memang tidak ada).

untuk itu silahkan baca TOS atau ATURAN yang berlaku dalam Blog Cerpen ini sebelum mengirimkan tulisan anda.

Demikian untuk diketahui bersama.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih atas sumbangan cerita yang sudah dikirimkan ke blog cerpen ini.

Wassalam

Upay

Rabu, 13 Mei 2020

Siapa ???

 Hari itu hujan diluar sangat lebat. Aku dan Sarah bertemu janji disebuah coffee shop pinggir jalan dekat dari rumahnya. Ia datang lebih awal dari yang kuduga. Aku sudah bersiap menunggunya dengan secangkir kopi hangat. Dengan wajah bahagia dan tersenyum, kurogoh saku kemejaku dan mengambil kotak kecil berbentuk hati. Aku sangat mencintai gadis yang ada dihadapanku ini. Sampai aku yakin diapun demikian. Sudah lama kami bersama. Jadi kurasa cukup untuk kami saling mengenal satu sama lain. Dihari hujan, dimalam yang sangat dingin, seharusnya aku menyadari bahwa cuaca hari itu adalah pertanda bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat bagiku melamar Sarah.

Aku membuka kotak itu dihadapannya sambil berkata "Apa kamu bersedia menjadi istriku?" Tanyaku padanya dengan wajah merona merah menahan sedikit canggung dan malu karna hanya bisa melamarnya dengan cara yang sederhana seperti ini.

Wajahnya sama sekali tidak terkejut. Akupun menyadari bahwa beberapa hari ini sepertinya Ia mungkin tau bahwa dalam waktu dekat aku akan melamarnya. Tapi entah kenapa selama beberapa hari itu wajahnya datar seperti tanpa rasa. Aku merasa Ia akan menjauh. Tapi kenapa aku malah nekat melamarnya sekarang. Ini gila, tapi sudah kulakukan.

"Maafkan aku Ben, aku sama sekali tidak menyangka bahwa akan secepat ini. Walaupun kamu tau bahwa aku menyadari niatmu belakangan ini. Tapi rasanya aku sama sekali tak sanggup mengatakannya padamu sebelum ini. tapi karna kau sudah terlanjur bicara. Maka aku tak bisa mundur lagi untuk memberitahumu perasaanku yang belakangan ini telah berubah."

Bagai halilintar menyambar jiwaku yang penuh berisi dirinya dan tiba-tiba kosong.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Apa yang salah? 13 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kita berjalan bersama selama ini. Kenapa baru sekarang?" Tanyaku padanya dengan wajah terkejut luar biasa. Aku tau mungkin Sarah belum siap menjadi seorang istri. Tapi aku tak sangka bahkan Ia ingin mengakhiri hubungan kami. Kupikir Ia hanya akan menolak menikah denganku. Tapi pada akhirnya hal yang lebih menyakitkan dan yang selalu aku takutkan terjadi juga.

"Maaf Ben, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku sudah tidak merasakan hal yang sama padamu belakangan ini. Maafkan aku Ben. Aku sungguh minta maaf dan memohon pengertianmu."

"Apa katamu? Pengertianku? Apa yang bisa kumengerti dari semua ini Sarah? Katakan padaku, apa kau mencintai orang lain?" Tanyaku penuh emosi. Wajahnya sedikit terkejut. Sepertinya Ia kaget dan tak menyangka kalau aku akan menanyakan hal ini.

"Tolonglah Ben. Tolong mengerti. Kita sudah terlalu lama. Aku sudah tidak bisa lagi. Maafkan aku jika harus seperti ini."

Hanya itu yang Ia katakan. Tapi entah kenapa, aku merasa ada laki-laki lain diantara kami. Tapi disisi lain, aku masih merasa dia masih mencintaiku. Apakah keputusanku melamarnya sekarang-sekarang ini adalah  hal yang seharusnya tidak kulakukan.

"Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kamu punya hubungan dengan yang lain?" Aku kembali bertanya. Aku betul-betul tidak dapat menahan emosi. Bahkan aku yakin, seluruh pengunjung cafe mendengar teriakanku pada Sarah.

"Aku mohon Ben. Jangan buat keributan disini. Maaf, sebaiknya kita sudahi saja. Tolong kamu mengerti ya. Aku ingin kamu menerima keputusanku berpisah darimu. Sudah kukatakan aku tidak mencintaimu lagi. Tidak bisakah kau mengerti Ben? Tidak bisakah kau menerimanya dengan rasa hormat?"

"Sarah, aku sudah tidak punya lagi kehormatan dan harga diri dihadapanmu jauh sejak aku memutuskan mencintaimu dan menjalin hubungan ini. Sudah kubuang jauh-jauh harga diriku demi kau. Jadi jangan ajari aku tentang bagaimana menahan harga diri yang bahkan sudah tidak ada lagi Sarah. Kau ingin aku menerima keputusanmu begitu saja? Baik, setelah kau jawab semua pertanyaanku."

Aku sangaaat menahan emosiku ketika itu. Tapi rasanya aku sangat marah. Kenapa baru sekarang. Kenapa baru saat ini ketika aku akan melamarnya. Padahal aku yakin tidak ada pasangan yang saling mencintai seperti aku dengannya. Seyakin itu aku padanya.

"Ben, aku mohon. Jangan begini. Maaf, aku harus pergi. Dia menungguku sekarang. Aku mohon jangan temui aku lagi. Jangan menggangguku dengan masalah apapun. Anggaplah kita tak saling mengenal. Aku pergi. Permisi."

Diapun meninggalkanku begitu saja dengan puncak amarahku. Aku merasa sakit sekali. Aku tidak tau apakah aku masih sangat mencintainya atau rasa ini telah berubah menjadi benci yang teramat sangat. Siapa dia yang sedang menunggunya?

Ingin rasanya aku teriak. Tapi aku laki-laki. Benar katanya. Aku harus punya harga diri. Akhirnya dengan wajah masih penuh emosi. Aku memutuskan untuk pulang. Diluar masih hujan. Aku memandang Sarah yang berpayung merah jambu dari depan cafe. Aku berjalan dalam hujan. Tanpa sadar, aku mengikutinya. Mungkin dalam hati yang paling dalam, aku sangat ingin tau siapa laki-laki brengsek yang merebut kekasih hatiku itu.

Aku berjalan dalam hujan. Aku melihatnya tak berbelok ke arah rumahnya. Rupanya mungkin Ia bertemu janji dengan kekasih lainnya ditempat lain, tidak dirumah. Aku menyebutnya kekasih lain dan bukan kekasih baru karna aku yakin hubungannya dengan laki-laki itu mungkin sudah lama.

Tapi baru saja setengah jalan, hatiku berkata aku harus berhenti. Tidak seharusnya kulakukan ini. Biarlah dia dengan hidupnya jika itu yang Ia inginkan. Lagi pula, aku tidak yakin akan dapat menahan rasa kesal dan amarah jika melihat laki-laki itu. Aku pasti akan menghajarnya dan malah mempermalukan diriku sendiri. Sebaiknya aku pulang.

Aku kesal, marah, dan sangat emosi malam itu. Dalam perjalanan pulang, kusempatkan membeli minuman. Aku yang memang tinggal seorang diri dirumah karna keluargaku tinggal jauh di kota lain, menjadi sangat terpuruk ketika itu. Sampai dirumah, aku tak langsung mengganti pakaianku yang basah terguyur hujan. Aku duduk sambil menenggak minuman yang kubeli. Entah semabuk apa aku semalam.

Tiba-tiba saja hari sudah pagi dan kudengar ketukan dipintu depan. Sambil mengucek mata, kulihat jam dinding 06:45. Masih sangat pagi untuk orang bertamu. Siapa pagi-pagi begini. Kubuka pintu dengan wajah bangun tidur yang sangat berantakan.

"Yaa, siapa?"

Dua orang laki-laki berpakaian rapih berdiri dibalik pintu.

"Apakah anda Beni Adam? Kami dari kepolisian." Tanya salah satunya.

"Ya benar. Saya Ben."

"Apa benar semalam anda bersama Sarah Eden?"

"Betul. Semalam saya bersamanya. Apa yang terjadi dengannya?"

"Apa yang membuatmu berpikiran sesuatu terjadi padanya? Kami hanya bertanya apa anda bersamanya semalam tadi?"

"Yah, kupikir, apapun yang terjadi padanya. Mungkin itu semua salahku. Kami sedikit bertengkar karna hubungan yang terlalu serius. Apa dia tidak kembali ke rumah?"

"Sepertinya kau tau banyak atau mungkin kau terlibat. Sebaiknya anda ikut kami untuk dimintai keterangan." Kata salah seorang dari kedua polisi yang berdiri diambang pintu rumahku.

Aku bingung. Ada apa sebenarnya. Apakah Sarah benar-benar tidak pulang dan orangtuanya mencarinya. Akupun mengikuti kedua polisi itu. Demi mencari tau yang terjadi.

Saat dikantor polisi.

"Apa yang kau lakukan dengan Sarah semalam?" Tanya polisi itu sambil menyeruput kopi dihadapannya sementara aku masih bingung. Kenapa aku harus berada disini.

"Aku berbincang dengannya di Coffee Shop, lalu kami sedikit berbeda pendapat, kemudian Ia pergi ditengah hujan dengan payungnya meninggalkanku yang sedikit marah. Tak lama akupun pulang. Ada apa ini sebenarnya Pak?" Aku balik bertanya dengan rasa penasaran.

"Atau setelah pertengkaran kalian di cafe itu, kau mengikutinya? Jawab saja dengan jujur." Kata polisi yang ada dihadapanku.

"Ya, ya memang aku mengikutinya sebentar. Tapi tak lama aku memutuskan untuk pulang sebelum tau kemana tujuan Sarah."

"Benarkah? Sarah ditemukan tewas disemak pepohonan ditaman kota pagi tadi. Sekitar jam 04:30, tuna wisma yang selalu memulung ditaman setiap pagi yang menemukannya dan langsung menghubungi kami."

"APA. Sarah tewas? Apa anda tidak salah orang? Bisa saja itu bukan Sarah. Mana mungkin....."

"Mana mungkin apa? Mana mungkin Sarah tewas? Apa kau ingin mengatakan bahwa kau tidak bermaksud membunuhnya dan hanya ingin sedikit menyakitinya lalu meninggalkannya kemudian Ia tewas tanpa sepengetahuanmu begitu?"

"Apa maksudnya Pak. Anda menuduh saya membunuh Sarah? Gila. Ini gila. Saya mencintainya Pak. Saya sangat menyayanginya. Tidak mungkin......"

"Tapi semua orang di cafe menyaksikan pertengakaran kalian. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang melihatmu membuntuti Sarah malam itu."

"Iya Pak, seperti yang barusan saya katakan. Saya hanya mengikutinya sebentar. Setelah itu saya berpikir jernih untuk pulang dan tidak ingin lagi peduli padanya."

"Jadi kamu mau mengakui kalau setelah pertengkaran itu kau tidak lagi mencintainya begitu? Apa kau mau bilang bahwa saat itu kau marah dan berpikir ingin menyakitinya karna emosimu yang begitu memuncak?"

"Ya, saya memang sangat marah, kecewa dengan ucapannya. Tapi tidak mungkin sampai ingin membunuh."

"Tapi saat kami bertamu ke rumahmu tadi pagi. Kamu sempat berkata bahwa apapun yang terjadi pada Sarah karna kesalahanmu. Bukankah itu bagian dari pengakuanmu?"

"Saya hanya merasa bersalah karna berteriak padanya, memakinya dihadapan orang banyak di cafe itu. Saya hanya merasa bahwa saya mempermalukannya saat itu. Mungkin Ia marah lalu tidak ingin pulang. Atau mungkin Ia........"

Aku terdiam sejenak. Aku berpikir. Apa yang ingin kukatakan. Apakah mungkin Ia bertemu dengan kekasih lainnya? Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa Ia berbohong. Kenapa tiba-tiba saat ini, sekarang, ditempat ini, aku merasa Sarah sebetulnya masih mencintaiku dan berbohong tentang laki-laki lain. Perasaan apa ini.

Akhirnya pagi itu aku ditahan dan berstatus sebagai tersangka pembunuh Sarah. Kejadian luar biasa yang bahkan aku tak tau perasaan apa ini. Sakit hatiku ditinggal Sarah dengan laki-laki lain, tapi lebih sakit mengetahui Sarah sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sarah sudah meninggal. Ingin sekali aku melihat wajahnya untuk terakhir kali. Tapi aku bahkan dituduh sebagai pembunuhnya. Itu lebih membuatku gila daripada aku kehilangan Sarah.

Sore harinya tiba-tiba aku dikeluarkan. "Anda bebas sementara dengan jaminan Bapak Louis pengacara anda."

"Louis?"

"Ya. Kau bebas sementara ini. Sampai investigasi dilakukan." Jawab Louis kemudian. Louis adalah sahabat baikku dari kecil yang sekarang adalah pengacara hebat. Ia sukses diumur yang masih muda.

"Makasih Lou, kau sudah percaya bahwa aku bukan pembunuh Sarah dan berhasil meyakinkan polisi untuk mengeluarkanku."

"Tidak Ben. Aku belum sepenuhnya yakin kau bersih. Kau adalah orang yang terakhir kali bersama Sarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya bisa membela orang yang benar-benar tidak bersalah Ben. Terlebih lagi ini kasus pembunuhan. Bukan hal yang ringan dan bisa dilupakan begitu saja."

"Lou, bagaimana mungkin aku membunuh Sarah. Kau tau betul bagaimana cintanya aku pada Sarah."

"Bisa saja kau terlalu emosi. Saat dia menangis kau lalu membenturkannya pada batu ditaman itu."

"Bagaimana kau bisa tau kalau aku dan Sarah bertengkar. Aku bahkan tidak tau Ia menangis."

Louis tiba-tiba terlihat canggung dan gugup ketika aku bertanya tentang bagaimana Ia mengetahui semua kejadian semalam itu.

Dengan gugup Ia menjawab "Polisi sudah menceritakan semua padaku. Sudahlah, kita pulang. Kau harus istirahat."

Aku berpikir seharian. Apakah aku harus ke rumah Sarah. Bagaimana orangtuanya jika dihadapkan denganku. Louis bilang mereka sudah tau kalau aku menjadi tersangka pembunuh putri mereka dan mereka juga tau kalau orang yang terakhir bertemu Sarah adalah aku. Mungkinkah aku ke sana. Tidak, mereka pasti akan langsung mencaciku. Tapi apa aku sepengecut ini?

Akhirnya, aku memberanikan diri ke rumah Sarah. Aku tetap harus menunjukkan bahwa aku tidak bersalah.

"Apa yang kamu lakukan disini? Dasar brengsek." Hardik Ayah Sarah saat melihatku diambang pintu rumah mereka.

"Ayah, dia sudah dibebaskan. Artinya dia belum tentu bersalah." Sahut Ibunya Sarah membelaku.

"Benar Tante, Om. Saya tidak membunuh Sarah. Saya memang yang terakhir bertemu dengannya. Tapi saya tidak tau apa-apa lagi setelah Sarah berbelok ke taman itu. Seharusnya saya tetap mengikutinya. Itulah kesalahan saya satu-satunya. Seharusnya saya terus mengikutinya sampai Ia bertemu dengan laki-laki itu." Jawabku kemudian demi meyakinkan kedua orangtua Sarah.

"Laki-laki itu? Siapa yang kamu maksud?" Tanya Ibunya Sarah dengan wajah penuh rasa penasaran. Aku menjelaskannya.

"Malam itu aku melamar Sarah Tante. Tapi tak kusangka, Dia menolakku. Kau tau betapa kami saling mencintai."

"Tidak mungkin. Tante tau betul bagaimana cintanya Ia padamu Ben. Tidak mungkin Ia menolak lamaranmu."

"Tapi itu yang terjadi Tante. Sungguh. Saya tidak berbohong. Sarah hanya bilang bahwa Ia tidak mencintai saya lagi. Waktu itu perasaan saya sangat kacau hingga tidak dapat mencerna apa yang Sarah katakan. Kalau tidak salah, Sarah berkata dia sedang menunggunya. Entah dia siapa yang Sarah maksud. Saya hanya berpikir, dia adalah laki-laki yang membuat Sarah jatuh cinta dan meninggalkan saya."

Saat itu Ayah Sarah tetap pada pendiriannya bahwa aku masihlah tersangka satu-satunya. Namun Ibunya Sarah lebih berpikir jernih. Ibu Sarah memang hanya Ibu tirinya. Namun sepengetahuanku. Sarah sangat bahagia saat Ayahnya menikahi Ibu tirinya ini. Kemudian aku juga tau bagaimana baiknya Ibu Sarah padanya. Dia bukan sosok Ibu Tiri kejam seperti yang sering diceritakan orang-orang atau dalam film-film.

Ia betul-betul Ibu tiri yang sangat menyayangi Sarah. Dan menurutku, memang sangat mudah mencintai sesosok Sarah. Gadis yang teramat cantik, cerdas dan baik. Membuat semua orang menyayanginya. Hingga rasanya aku tak habis pikir ada orang yang sanggup menghabisi nyawa Sarah. Bagaimana mungkin.

Dengan sedikit rayuan Ibu Sarah, akhirnya Ayah Sarah menerimaku masuk ke rumahnya. Aku bahkan diijinkan masuk ke kamar Sarah. Siapa tau ada barang milik Sarah yang bisa kujadikan kenangan dikamarnya. Begitu kata Ibu Sarah.

Didalam kamar Sarah. Air mataku berlinang. Tak percaya bahwa kekasih hatiku yang teramat cantik sudah tak ada lagi di dunia ini. Ia bahkan sudah tidak bisa lagi menyakitiku dengan kalimatnya yang terkadang egois namun lucu. Aku merindukannya.

Aku memegang fotonya diatas meja. Ia bahkan masih memajang foto kami berdua. Tiba-tiba aku terpikir. Bagaimana mungkin dia punya kekasih lain tapi masih memajang foto kami berdua dan bahkan tidak ada satupun tanda-tanda adanya laki-laki lain dihati Sarah yang tertinggal dikamar ini. Baik foto atau benda yang mungkin aku tau.

Aku terus menelusuri tiap sudut kamar Sarah. Tiba-tiba aku menemukan sekotak benda yang ternyata isinya foto-foto dan barang peninggalan Sarah. Didalamnya penuh dengan Aku, Sarah, dan......

Dan Louis? Ada louis. Ada foto kami bertiga dan kalung rantai milik Louis. Kenapa kalung Louis ada pada Sarah?

Kubongkar semua isinya. Ada buku harian. Aku membukanya. Satu demi satu kubaca. Semuanya tentang kami. Saat kami berlibur, saat kami bertengkar, bahkan saat kami merayakan hari jadi kami. Tapi dibagian akhir ada tentang Louis....

20 Desember 2018

Aku tak menyangka, Louis menyatakan perasaannya padaku. Sambil memberiku kalung berbentuk hati. Ia katakan bahwa Ia lebih mencintaiku daripada Ben. Ia bahkan berani menikahiku sekarang juga. Daripada aku harus menanti kepastian dari Ben yang entah kapan dia akan sukses seperti katanya. Pekerjaan saja masih tidak jelas. Louis meyakinkanku bahwa aku akan lebih bahagia dengannya ketimbang dengan Ben, Louis tidak tau...........

Tulisan itu terpotong dibagian itu. Karna halaman berikutnya habis, robek, atau menghilang. Entahlah. Aku terkejut. Marah bukan main. Louis sahabatku. Louis yang selalu menolongku disaat aku sedang sulit. Louis yang bahkan sangat mendukungku melamar Sarah malam itu.

Tanpa berpikir panjang dan jernih. Aku segera bergegas keluar dari kamar Sarah dan pamit pulang. Kubawa kalung rantai milik Louis. Aku terus saja berlari ke arah rumah Louis.

"Jawab pertanyaanku Lou. Ini kalungmu kan? Bagaimana kalungmu bisa ada pada Sarah? Apa kau laki-laki yang Sarah....?" Aku tak sanggup meneruskannya.

"Maaf Ben, aku bersumpah. Aku tak bermaksud menyakitinya malam itu."

"Apa, jadi kau yang......" Spontan aku menghajarnya. Bertubi-tubi tanpa ampun. Rupanya Ialah pembunuh Sarah yang sebenarnya.

Dengan wajah dan tubuh yang babak belur, Louis tetap berusaha bangkit dan bicara.

"Ben, aku hanya merayunya saja malam itu, kupikir Ia yang sedang menangis dapat luluh hatinya dipelukanku. Kupikir dia sudah jatuh cinta padaku karna dia bilang telah memutuskan hubungannya dengamu. Tak kusangka saat aku akan menciumnya, Ia malah menolak dan bilang bukan saatnya. Tapi sungguh Ben aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku bahkan mengingatmu yang sangat mencintai Sarah. Saat itu aku hanya..........."

Belum sempat Ia meneruskan bicaranya. Langsung kuhajar lagi dia habis-habisan. Bahkan tanpa sadar. Aku membenturkan kepalanya berkali-kali pada meja kayu yang kurasa dia takkan selamat. Setelah puas dan melihat Louis tergeletak dilantai, akupun pergi meninggalkannya begitu saja.

"AAAAAARRRRRGGGHHHH............................" Aku berteriak sangat keras.Hancur rasanya. Ya Tuhaaan. Kekasihku mencintai sahabatku yang sanggup membunuhnya. Cobaan macam ini? Bagaimana mungkin mereka bisa saling jatuh cinta? Sejak kapan? Tapi kenapa Louis sampai tega membunuh Sarah hanya karna Sarah belum mau disentuh olehnya.

"Dasar bajingan kau Looouuuu......"

Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku. Pengingat perayaan anniversary yang dibuat Sarah setiap tahunnya. Ya, hari ini adalah hari jadi kami. Tapi aku sedikit terkejut dengan isi pesan pengingat Sarah. "Happy anniversary Ben. Jika kau buka pesan ini. Artinya kau harus menemukan hadiahmu ditempat pertama kali kita bertemu."

"Apa ini? Jika Sarah memang ingin berpisah dariku demi Louis. Mengapa Ia masih membuat pesan pengingat ini? Dan masih menyiapkan hadiah anniversary kami."

Aku bergegas ke taman kota. Tempat dimana pertama kali kami bertemu. Tapi nihil. Aku tak menemukan satupun petunjuk dimana hadiah yang disiapkan Sarah. Aku terus berpikir kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dilakukan Sarah jika Ia masih hidup. Kira-kira, apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba pandanganku terjurus pada satu pohon besar disusut taman. Ya, aku dan Sarah pernah menemukan secelah lubang yang cukup dalam dipohon itu. Mungkinkah?

Benar saja. Ada sekotak benda yang setelah kubuka isinya penuh dengan kenangan kami. Berbeda dengan kotak yang ada dikamarnya. Kotak ini hanya berisi kenangan kami yang bahagia saja. Kemudian ada sepucuk surat yang akhirnya menjadi jawaban terakhir dari rasa penasaranku tentang perasaannya terhadapku maupun Louis.

Dear Ben,

ketika kamu membaca surat ini. artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu sehingga aku harus memilih untuk pergi meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan. Maaf Ben, aku tau kau akan melamarku. Aku bingung bagaimana caranya menyampaikan hal yang sebenarnya padamu.

Aku sakit Ben. Kanker yang merenggut nyawa Ibuku, ternyata hinggap juga pada diriku. Mungkin ini penyakit menurun. Aku yakin, jika kuberitahukan perihal penyakitku ini. Kau mungkin malah akan lebih ingin menikahiku dari sebelumnya dan terjebak bersamaku dimana kau harus merawatku disisa umurku. Itu tidak baik Ben.

Aku sudah melihat bagaimana Ibuku berjuang melawan penyakitnya. Aku merasa tak sehebat beliau. Mungkin umurku tak sepanjang beliau Ben. Aku juga melihat bagaimana perjuangan Ayah mendampingi Ibu dan bagaimana hancurnya ketika Ia kehilangan Ibu. Aku tidak ingin apa yang menimpa Ayah, terjadi juga padamu. Sehingga bagaimanapun sakitnya hati ini. Aku harus membuatmu membenciku dan menjauhiku.

Selamat tinggal Ben, berbahagialah dengan hidupmu dan cintamu yang baru.

Oh ya, katakan pada Louis aku juga menyayanginya sebagai sahabat kita. Sahabatmu dan aku.

Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah Ia lakukan padaku. Semoga persahabatan kalian abadi selamanya.

Yang sangat mencintaimu.

Sarah

Diwaktu yang bersamaan, akhirnya aku mengetahui bahwa setelah dilakukan investigasi mendalam. Ternyata Sarah meninggal karna kecelakaan. Ia terjatuh dari atas jembatan yang ada diatas taman ini, kemudian berguling hingga kepalanya membentur batu yang ada disemak pepohonan itu. Begitulah Sarah meninggal.

Malam itu, Louis melihat Sarah berjalan dalam hujan dengan payungnya sambil menangis. Diatas jembatan itu Louis menghampiri Sarah. Sarah menceritakan semuanya. Bahwa Ia sedang sakit dan terpaksa meninggalkanku demi diriku sendiri. Louis mencoba menenangkannya dengan memeluknya. Louis yang terbawa suasana, tiba-tiba perlahan ingin mencium Sarah. Namun saat itu Sarah marah dan berteriak padanya.

"LEPAS, Tolong Lou jangan cari kesempatan. Aku memang berkata menyayangimu. Tapi tidak lebih. Aku bahkan masih mencintai Ben. Kau hanya sahabatku. Jadi jangan pernah mencoba menyentuhku." Teriak Sarah saat itu.

Louis sedikit kecewa dan membentak Sarah saat itu. Itulah saat Louis merasa Ia menyakiti Sarah. Setelah Ia marah pada Sarah, Ia lalu meninggalkan Sarah yang masih menangis dijembatan itu. Dirumah, Louis merasa sangat bersalah telah menyakiti perasaan Sarah dengan kalimatnya dijembatan itu. Sehingga Ia ingin pergi menemui Sarah pagi itu. Tapi sayangnya, Ia malah mendapat berita bahwa aku dipenjara karna membunuh Sarah.

Saat itu Louis sangat bingung. Bagaimana bisa aku yang sangat mencintai Sarah membunuhnya. Demi mencari tau kebenaran, Ia mengeluarkanku dari penjara dengan jaminannya. Tapi Ia malah mendapati kenyataan bahwa justru satu-satunya orang yang terakhir bertemu dengan Sarah adalah dirinya. Karna jelas-jelas aku tidak jadi mengikuti Sarah malam itu. Sehingga Louis menjadi lebih bingung. Siapa pembunuh Sarah sebenarnya.

Itu semua kenyataan yang Louis katakan pada polisi sesaat sebelum Ia meninggal di Rumah Sakit. Pengurus rumah tangganyalah yang menemukan Louis bersimbah darah hari itu dan melarikannya ke Rumah Sakit. Louis dinyatakan meninggal beberapa jam kemudian karna banyaknya pukulan dan benturan yang Ia terima.

Bahkan polisi menggali lebih dalam lagi tentang kematian Sarah setelah mendengar cerita Louis. Pada akhirnya mereka malah menemukan  kenyataan bahwa tewasnya Sarah murni karna terjatuh dari jembatan yang ternyata pagarnya sudah rapuh.

Akupun berakhir dipenjara karna telah membunuh sahabatku. Dua orang yang kucintai kini telah pergi selama-lamanya. Hidupkupun berantakan karna emosi yang tak dapat dikendalikan. Bodohnya.

* SEKIAN *

Oleh,

Upay

*Note: Kisah ini sedikit terinspirasi dari Film berjudul "HORN". Walau dengan alur dan ending yang sangat berbeda.

Minggu, 10 Mei 2020

Pola Rejeki

POLA REJEKI

Sumber tulisan terdapat diakhir artikel.

.

Ada seseorang yg berusaha untuk hidup ngirit. Dia sedang berusaha menabung, dan mengurangi pengeluaran termasuk menunda zakat dan sedekah !

.

Dia sering cek saldo, dan punya target angka khusus dgn saldonya, setiap pengeluarannya dipantau & hitung sebagai beban, pendeknya dia berusaha untuk KIKIR.

Duarrr... Beberapa bulan ini justru ujian finansial datang bertubi, diuji dgn cobaan finansial, Allah "merampas"nya dgn cara yg sungguh diluar dugaan.

.

Mulai dari harus betulkan rumah, yg nilai perbaikannya bagi dirinya lumayan besar, bolak balik servis kendaraan, baik mobil/motor hingga pengeluaran-pengeluaran kecil yg inensitasnya super-duper & diluar nalar.

.

Disadarinyalah bahwa ini kejadian bukan sekali tetapi berkali kali, dan polanya selalu sama: ketika berusaha untik "ngirit" termasuk menunda kebiasaan berbagi.

.

Well...harta itu unik, justru berkembang ketika dia dialirkan, semakin deras aliran keran dibawahnya maka semakin deras pula aliran diatasnya.

.

Adapun mengenai besarnya harta yg dimiliki, bukan dari seberapa besar kita disiplin dalam mengatur pengeluarannya, tetapi dari seberapa besar wadahnya, seberapa pantas kita mendapatkannya.

.

Ketika diri kita menjadi perantara atas rejeki orang lain salahsatunya, dgn memberi baik kepada karyawan ataupun kepada yg membutuhkan, karena ada hak mereka dalam harta kita, sebetulnya kita sudah memantaskan diri untuk menerima lebih.

.

Boleh percaya atau tidak, kita simpulkan ada 2 pola terkait dgn REJEKI:

.

(1) bahwa jika kita tidak mengeluarkannya, maka Allah-lah yg dgn paksa akan mengeluarkannya, hanya nilainya berbeda, yg pertama bernilai pahala.

(2) harta tidak akan menumpuk ketika kita menimbunnya, tapi harta akan semakin banyak ketika kita mengalirkannya & pantas untuk memperolehnya,

Boleh percaya atau tidak.

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2224805130912126&id=1025822714143713

Rabu, 06 Mei 2020

Pembalasan

Dulu ketika baru menikah, aku dan suami termasuk salah satu yang sulit mendapatkan keturunan. Berbagai cara kami lakukan. Tentunya dengan metode murahan. Misalnya herbal dan menghindari hal-hal yang sebetulnya mitos menurutku.

Maklumlah, kami bukan Inul Daratista yang berlimpahan harta hingga dengan mudahnya memiliki keturunan dengan metode canggih kedokteran, kamipun bukan keturunan sultan atau para Raja yang diwariskan banyak harta dari pajak rakyat yang bisa kami gunakan untuk biaya semacam program kehamilan ala kedokteran.

Bahkan sejujurnya, untuk makan sehari-hari saja kami masih terkadang kesulitan. Padahal kami baru hidup berdua. Ya, sesulit itu kehidupan pernikahanku. Namun pada akhirnya, seperti kebanyakan pasangan lainnya, kami tetap berharap memiliki anak. Selain karna memang ingin, kami juga berpikir siapa tahu anak kami membawa rejeki bagi kehidupan kami ke depannya.

Suamiku sangat mendukungku, mencintaiku, penuh perhatian dan mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi, meskipun secara ekonomi kami kekurangan, aku masih bisa menerima apa adanya suamiku karna Ia sangat mengerti aku. Walau terkadang dalam hati aku mengutuk diriku yang bisa-bisanya menerima pinangan laki-laki yang belum mapan ini sehingga membuatku kesulitan.

Bukan apa-apa, seingatku waktu itu aku menerima lamarannya tanpa pikir panjang padahal kami masih terlalu muda. Yaah mungkin terlalu dimabuk asmara saat itu. Sehingga rasa tidak ingin dipisahkan jarak dua rumah menjadi alasan yang menurutku tepat untuk segera menerimanya.

Aku mendampinginya dalam suka dan duka meski lebih banyak dukanya. Tidak jarang makian dan sindiran keluarga besar kami terdengar begitu jelas meski mereka berbisik-bisik dibelakang kami. Membicarakan kesulitan kami yang seolah menjadi beban mereka padahal sama sekali mereka selalu menolak ketika kami meminta bantuan saat kesulitan.

Aku tetap bertahan disamping Mas Seno meski hidup kami sulit. Karna Ia berjuang memberiku kehidupan meski kurang. Ia bekerja apa saja meski hasilnya selalu tidak cukup untuk hidup kami sebulan. Terakhir Ia menjadi driver ojek online. Padahal Ia sarjana. Dengan ijazah setinggi itu tetap saja sulit menemukan pekerjaan baginya.

Semua perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman. Bagaimana kami bisa memiliki pengalaman jika kami tak sekalipun diberi kesempatan untuk bekerja. Sungguh ironi.

Entah keberuntungan macam apa yang tiba-tiba berpihak pada kami. Mas Seno mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan besar dan lulus seleksi dengan mudah tanpa hambatan, karna memang Mas Seno cerdas. Bahagianya kami.

Kehidupan sedikit-sedikit mulai membaik. Dari tinggal menumpang bersama Ibuku, sampai akhirnya kami sanggup mengontrak sebuah rumah yang menurutku ukurannya lumayan cukup besar.

Bukan cuma itu, bulan-bulan berikutnya, keberuntungan seperti tertarik mengikuti ke mana langkah kami. Mas Seno mendapatkan fasilitas rumah dan mobil dari tempatnya bekerja. Bahkan tak lama setelah itu, Ia mendapatkan promosi jabatan tertinggi diperusahaan karna ketekunannya selama bekerja.

Pada akhirnya, hidup kami sempurna ketika Mas Seno mengajakku ke Dokter kandungan untuk mulai mengikuti program kehamilan. Alhamdulillahnya, 7 bulan kemudian aku berhasil hamil. Aku sangat menjaga kandunganku. MasyaAllah, bertubi-tubi rejeki yang Allah beri kepadaku. Sungguh tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan rasa syukur itu sehingga aku benar-benar lupa bersyukur. Astagfirullah.

Beberapa tahun kemudian, karir Mas Seno meroket dengan mulusnya. Kebahagiaan yang tidak diiringi dengan rasa syukur dan melalaikan kewajiban tentu saja kemungkinan terbesar adalah cobaan dan ujian lain yang akan datang.

Saat itu, putri kami menginjak usia 3 tahun. Malam dimana aku mulai mencium gelagat aneh Mas Seno adalah ketika ulang tahun Amelia Ia tak kunjung pulang hingga pagi menjelang. Walau memang Mas Seno sering lembur hingga pagi, tapi tak pernah Ia lakukan ketika aku atau Amel berulangtahun.

Sepenting apapun pekerjaannya, Ia pasti pulang untuk pesta kecil kami dirumah. Hari ini tidak. Amel menangis Papanya tidak hadir di acara potong kuenya. Akupun kesal dan marah padanya malam itu. Tapi Mas Seno malah bersikap emosi. Ia lebih marah. Ia mengataiku istri tak tahu diuntung, tidak mengerti kesibukan suami mencari nafkah demi keluarga. Bahkan Ia membentak Amel ketika putri kecil kami itu merajuk dan menangis padanya.

Mulai dari kejadian hari itu, semua berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Ia menjadi seorang yang gila kerja. Jarang pulang tepat waktu bahkan lebih sering ke luar kota untuk dinas luar. Aku tak pernah bisa mencegahnya. Karna Ia selalu marah dan mengumpat dengan kata-kata yang menyakitiku.

"Apa kamu lupa bagaimana hidup kita bisa menjadi seperti ini? Karna aku sibuk bekerja kan? Kamu mau kita susah lagi seperti dulu?"

Selalu itu yang Ia katakan tiap kali aku memohon untuk Ia tetap tinggal dirumah ketika aku dan Amel merindukannya. Ya Allah, aku sadar ini salah. Dari situlah aku mulai menyadari kesalahanku yang selalu kurang bersyukur dan lalai dengan hak orang lain. Zakat harta yang tidak pernah aku keluarkan padahal aku tahu itu wajib. Kenapa aku seteledor ini? Teguran keras bagiku.

Tapi rupanya Allah mengujiku tidak hanya sampai disitu. Perubahan sikap Mas Seno ternyata bukan karna Ia penggila kerja, tapi karna saat itu dia sedang tergila-gila pada wanita lain. Hancur hatiku berkeping-keping saat mengetahui semuanya. Aku tau tanpa sengaja dari sosial media Mama Dara yang adalah teman sekolah Amelia.

"Waaah Mama Dara exis juga ya disosmed." Kataku saat melihat Ia sedang membuka-buka akun instagramnya. Aku memang tidak aktif bersosial media meskipun punya. Sehingga membuatku sering bertanya-tanya apa sih yang mereka lihat setiap kali membuka sosial media. Tanpa sengaja mataku tertuju pada satu foto yang sedang dibuka Mamanya Dara disampingku.

"Maam, maaf sebentar aku boleh lihat foto itu?" Pintaku padanya.

"Ooh ini?" Tanyanya sambil menyodorkan arah layar HPnya ke hadapanku. Sungguh shock dan terkejutnya aku. Foto itu jelas-jelas Mas Seno yang sedang memeluk mesra seorang wanita yang tengah terlihat selfie dengan camera yang sepertinya dipegangnya sendiri. Bibir Mas Seno mendarat dipipinya, captionnya membuatku terdiam membatu.

"Honeymoon kedua dengan mamas tampanku dibali".

Begitu caption foto itu. Aku tak kuat menahan jatuhnya air mata. Tapi aku tetap bertahan menyembunyikan rasa sakit itu. Kuberanikan diri bertanya.

"Ini siapa Mama Dara? Cantik ya. Apa baru menikah?". Tanyaku penasaran.

"Ooh ini, teman sekolah dulu sih Maam, tapi gak terlalu deket. Biasa aja. Kayanya sih iya baru nikah. Denger-denger nikahnya gak diresepsiin. Padahal orangnya sombong, pamer terus. Kalo kasak kusuk teman-teman lain dibelakang sih katanya dia nikahnya sama atasannya dikantor yang masih punya istri. Alias laki orang. Gila ya, cantik-cantik pelakor. Ih serem."

Begitu jawaban Mama Dara saat itu. Tahukah kalian apa yang kurasakan saat itu. Rasanya ingin aku berteriak, mencaci, memaki semua yang ada dihadapanku. Alhamdulillah bel tanda pelajaran selesai berbunyi. Tak lama Amelia putriku keluar dari kelasnya. Kelas bimbingan preschool yang cukup presticious di kota ini.

Akupun pulang dengan langkah gontai. Andai aku tak ingat membawa Amel, sudah kubuang tubuh ini ke tengah jalan ramai kendaraan. Biar terhempas bersama truck-truck besar bahkan container yang berlalu lalang. Rasanya hidupku sudah tak kuinginkan lagi.

Jika saja Amel tak menarik tanganku meminta jajanan dipinggir jalan yang dijajakan abang-abang pedangan es cream, tentu tubuh ini telah musnah. Aku terkaget karna tarikan tangan Amel cukup kuat. Rupanya putri kecilku ini telah tumbuh besar dan lebih bertenaga. Untunglah Ia menyadarkanku. Karna bisa jadi Iapun akan menjadi korban ketololanku.

Sesampainya di rumah aku memanggil Mba Minah. "Mba, tolong jaga Amel, jangan lupa mandikan dan beri makan. Saya kurang sehat mau istirahat." Pintaku pada Mba Minah ART kami.

Aku masuk kamar, kurebahkan diriku diranjang yang sudah mulai dingin akan sosok Mas Seno. Pantas saja Ia lebih sering lembur, pantas saja Ia lebih sering tugas luar kota. Rupanya Ia telah memiliki keluarga baru ditempat lain. Hancur sehancur-hancurnya hati ini.

dua hari aku tak sanggup bangun, dua hari itupun aku tak bisa makan. Whatsapp dari Mas Seno hanya kubaca tanpa kubalas. Tentu saja itu tak masalah. Tidak seperti dulu jika aku telat membalas, maka Ia langsung buru-buru menelponku, bahkan tak jarang video call. Hanya demi mengetahui mengapa sudah dua centang biru namun tak ada balasan.

Kini hal itu sudah jarang terjadi. Saat itu aku masih berpikir Ia sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak masalah jika aku lama membalas. Rupanya dia tengah sibuk dengan istri barunya.

Mba Minah sudah beberapa kali mengetuk pintu kamarku, bahkan menyuruh Amelia masuk dan membujukku untuk makan. Tapi aku tak bergeming sedikitpun dari posisiku. Wajah lusuh, mata bengkak. Berhari-hari hanya menangis.

Kulihat wajah Amel putri cantikku. Tak ingatkah Mas Seno seberapa besar perjuangan kita mendapatkan anak ini? Tak ingatkah ketika dulu makan hanya dengan nasi sepiring dan satu telur ceplok berdua? Tak ingatkah senyum tulusku ketika kau menyodorkanku uang 30ribu rupiah sepulang mengojek dan aku tetap memelukmu hangat meski perut keroncongan menunggumu pulang membawa uang yang sedikit itu namun sangat kutunggu-tunggu?

Kini Ia telah sukses, berhasil dipuncak karirnya, Ia lupa segala kesulitan yang pernah dihadapinya bersama siapa. Aku memeluk, mencium Amel dengan mata bengkak mengaliri air mata yang tak habis-habis. Jika saja air mata ini adalah tumpahan darah segar dari dalam tubuh, maka mungkin sudah sejak kemarin aku mati.

Kutengok foto didinding kamar kami. Senyum Mas Seno merekah mendekatkan pipinya ke pipiku. Rindu aku padanya namun sakit ini sungguh sakit. Rupanya nama Amelia putri kami dia beri dari nama istri barunya. Ya, perempuan itu bernama karmelia. Apa yang diharapkan Mas Seno? Apa Ia berharap putri kami mirip simpanannya itu? Ya Allah, apakah sebegitu cintanya Ia pada perempuan itu?

Makin terluka aku mendapatkan fakta bahwa nama putriku sama dengan perempuan sundal itu. Amarahku tiba-tiba membuncah. Jika dua hari ini aku hanya bisa menangis, tak ingin hidup dan tak tahu harus apa. Kini aku bangkit. Kulihat HPku, Whatsapp Mas Seno masih belum kubalas tapi Ia tak bertanya sama sekali.

Akhirnya kubalas. "Kapan jadwal kamu pulang?" Tanyaku.

"Hari ini aku pulang. Nanti malam kita makan diluar bersama Amel ya. Kamu siap-siap. Aku akan sampai rumah sore ini".

Terkejut aku mendapatkan jawabannya. Biasanya Ia tak pernah mendadak. Entah apa yang terjadi pada istri barunya itu.

Aku berpikir keras. Apa yang mau aku lakukan untuk menghadapinya? Ia masih belum tahu jika aku sudah mengetahui perihal pernikahannya dengan sundal itu. Bisakah aku meredam emosiku ketika Ia pulang nanti?

Apakah aku akan mengamuk sejadi-jadinya ataukah aku harus beracting pura-pura tak tahu soal pernikahannya. Aku bingung ingin berbuat apa. Namun aku coba berpikir jernih. Aku harus membalas dengan cara yang cantik. Pasangan laknat itu harus tahu bahwa mereka berurusan dengan orang yang salah.

Sundal itu adalah bawahannya dikantor. Aku akan tunjukan kekuasaan Nyonya Bos. Akan kubuat Ia sadar siapa dia dan siapa aku. Jadi sudah kuputuskan aku akan berpura-pura tak mengetahui semua itu.

"Ya, aku harus bermain cantik." Kataku dalam hati.

Mas Seno pulang. Aku berusaha keras bersikap biasa. Namun sangat sulit. Wajah ketusku tak juga mau hilang. Sepanjang waktu aku cemberut. Wajah jutek ini sulit disembunyikan. Tapi Ia tak merasa. Kurasa dia berpikir aku marah hanya karna Ia terlalu sibuk bekerja.

Kami bertiga makan malam diluar. Entah apa yang mau dia tunjukan, sepanjang malam itu Ia sangat manis pada kami. Bahkan isi satu toko mainan hampir habis dibelinya. Hingga orang toko harus mengirim sebagian ke alamat rumah kami karna kami kesulitan membawanya.

Aku tak melarangnya sama sekali. Kuikuti permainannya. Jika dulu aku sering keberatan Amel dibelikan terlalu banyak mainan, maka hari itu aku hanya diam dan pura-pura tersenyum manis. Ingin bersikap manja seperti biasa padanya agar Ia tak curiga, tapi rasanya aku jijik berada didekatnya. Mengingat kehangatan pelukannya telah bekas perempuan sundal itu, aku semakin jijik saja.

Esoknya Ia bersikap mesra padaku. Aku sedikit menjaga jarak, kukatakan aku sedang datang bulan. Tak mungkin aku rela tidur dengan laki-laki yang sudah bekas perempuan sundal. Menjijikan. Bagaimana jika sundal itu berpenyakit, bagaimana jika bukan hanya dengan Mas Seno Ia berhubungan badan? Aku semakin jijik memikirkannya.

Dua minggu ini Ia lebih banyak waktu di Jakarta meski tetap sering di luar rumah. Kubiarkan tanpa bertanya. Akupun mulai sibuk dengan rencana pembalasanku. Entah bagaimana tapi rupanya nasib baik berpihak padaku yang tersakiti.

Hari itu, untuk pertama kalinya kantor tempat Mas Seno bekerja kalah tender dari perusahaan lain. Bahkan parahnya lagi, yang mengalahkannya adalah perusahaan baru. Usaha yang belum lama berdiri. Pemiliknya sungguh cerdas dan lihai mengambil hati client dengan konsep-konsep bangunan yang menarik dan classic modern.

Para investor diperusahaan itu marah bukan main. Karna itu adalah project besar. Bukan cuma ratusan juta tapi milyaran. Label perusahaan kontraktor ternama yang tak pernah gagal perlahan redup.

Mas Seno mulai depresi. Ia sangat penasaran dengan saingannya itu. Siapa arsiteknya yang begitu lihai membangun bangunan-bangunan dengan konsep yang sangat menarik perhatian setiap orang.

Ini kali ketiga Mas Seno kalah tender dari perusahaan itu. Akhirnya Ia dipanggil ke kantor pusat. Makian dari para investor dan pendiri perusahaan Ia terima. Perlahan tapi pasti, Mas Seno kekurangan pemasukan. Karna pemasukan yang Ia terima selama ini adalah komisi super besar yang diberikan setiap kali Ia memenangkan tender project. Karna belakangan ini selalu kalah dan sepi project, jadilah Ia tak menerima komisi.

Tabunganpun semakin lama semakin menipis. Ia semakin sering dirumah. Entahlah, mungkin sundal itu tak menerima kesulitan ekonomi yang dialami Mas Seno. Akupun berpura-pura menekannya dirumah, agar Ia lebih menderita.

"Mas, sudah dua bulan ini aku yang keluar semua biaya. Apa yang terjadi dengan pekerjaanmu? Ingat Mas, usaha butik yang aku jalani itu bekal untuk Amel. Aku gak mau begini terus. Kalau bulan depan kau tidak lagi mengirimi uang ke rekeningku, aku akan jual rumah ini dan pergi bersama Amel." Rengekku padanya.

"Maksudmu apa Mah? Kamu mau ninggalin aku gitu? Hanya karna aku udah ga punya penghasilan? Bukannya dulupun kita pernah menghadapi masa-masa sulit bahkan lebih parah dari ini dan kau menerimaku dengan tulus. Apa harta membuatmu begitu berubah Mah?" Tanyanya padaku dengan wajah heran dan sedih.

"Maaf Mas, aku sudah bukan istrimu yang dulu. Aku tidak mau lagi hidup susah denganmu. Sekarang dengan usaha butik yang kujalani, kau mau menumpang hidup padaku? Maaf Mas Seno tidak semudah itu."

Setelah bicara begitu aku beranjak ke kamar. Mengunci pintu dan menangis. Kenapa aku menangis? Aku bingung. Rasanya aku mulai tak tega membiarkannya menderita seperti ini. Cintaku tulus padanya sedari muda. Maka ketika Ia sakit, akupun merasakan sakit yang sama. Tapi kenapa dia tidak begitu padaku. Kenapa dia menyakitiku dengan mudahnya dan merasa baik-baik saja.

Sedih dan marah yang tak terbendung membulatkan tekadku untuk tetap maju membalas sakit ini. Aku tak bisa mundur lagi. Aku akan kejam padanya seperti Ia mengkhianatiku.

Puncaknya, perusahaan tempatnya bekerja memberi satu kesempatan lagi untuk Mas Seno mengerjakan project skala kecil. Jika yang satu inipun Ia kalah, maka dengan sangat terpaksa, Mas Seno akan dimundurkan dari jabatannya sebagai CEO. Ia akan dikeluarkan dari perusahaan besar itu.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya Pak Seno, kami sepertinya tertarik dengan konsep yang dibuat PT. APC dan kemungkinan akan menerima kerjasama dengan mereka. Mohon maaf sekali lagi, semoga beruntung dengan project lainnya dilain kesempatan." Ujar client ketika itu.

Tampak sekali raut wajah asisten cantik Pak Seno berubah masam. Ya, perempuan sundal asistennya itu selalu mendampingi ke mana Mas Seno pergi. Karna mereka memang atasan dan asisten. Gerah aku dibuat mengetahui fakta itu.

Mas Seno sangat amat sekali penasaran. Maka Ia memberanikan diri. "Maaf Pak, bukankah perusahaan APC ini masih terlampau baru? Apa tidak beresiko menyerahkan projecct ini ke perusahaan baru berdiri?"

Sambil tersenyum, client berkata "Hmm, tapi perusahaan baru ini saya dengar sudah kelima kalinya mengalahkan tender perusahaan besar anda. Bukankah itu menjadi satu alasan kenapa saya harus mempercayakan project ini pada mereka? Lagi pula ide mereka segar, seperti anak jaman sekarang. Saya suka." Jawabnya kalem.

"Tok...Tok..." Terdengar pintu diketuk. Sekretaris client itu masuk dan bertanya.

"Maaf Pak, CEO dan Cofounder PT. APC sudah datang. Apa saya suruh menunggu diruang lain?" Tanyanya.

"Oh tidak usah, saya sudah selesai dengen Pak Seno, persilahkan mereka masuk, biar sekalian saya perkenalkan Pak Seno dengan mereka. Sepertinya Pak Seno masih penasaran dengan PT. APC yang akan bekerjasama dengan kita."

Tak lama kemudian, sekretaris itu mengantar kami masuk. Mas Seno terkejut bukan main melihatku masuk dengan pakaian kantor formal bersama rekanku. Terlebih lagi perempuan sundal itu. Dia jauh lebih terkejut dari Mas Seno.

"Lho, Mah? Apa ini maksudnya> Ngapain kamu disini?" Tanya Mas Seno padaku yang masih berdiri diambang pintu.

"Lho, kalian sudah saling kenal?" Tanya Pak Rahardian client project kami. Kemudian memperkenalkanku pada Mas Seno sebagai cofounder PT. APC

"Beliau inilah pendiri PT. APC yang masih sangat baru itu Pak Seno. Kalian suami istri? Tapi bersaing? Wah...wah...sepertinya kalian harus banyak bicara. Sementara itu saya tinggal dulu untuk mempersiapkan berkas kerjasama kita Ya Bu. Silahkan duduk."

Pak Rahardian pergi bersama sekretarisnya menyiapkan berkas. Tinggallah kami berempat diruangan itu dan terjadi pembicaraan yang sangat dramatis dan tidak akan pernah kulupakan karna aku sudah sangat menanti hari ini.

"Jadi, Mama yang sudah menghancurkan karir Papa?" Tanyanya dengan mata melotot dan wajah marah.

"Maaf, jangan panggil lagi saya dengan sebutan itu. Karna mulai detik ini, saya sudah bukan istrimu. Ini surat cerai kita. Tandatangani dan jangan banyak bertanya." Ucapku dengan angkuh.

"Apa maksudmu Mah? Kenapa begini?"

"Kau tanya kenapa begini? Kau pikir aku tidak tahu kalau kalian berdua telah menikah?"

Mereka kaget mendengar ucapanku. Sundal itu lebih terkejut, memandangku dengan wajah sangat kaget.

"Kalian nikmatilah hari-hari bersama dengan damai setelah ini. Aku dan putriku tidak akan mengganggu kalian sedikitpun. Bawalah apapun yang menjadi hakmu dari rumah itu."

Mas Seno masih dengan wajah terkejut dan marah menunjuk Alan CEO'ku.

"Dan kau Alan, bagaimana bisa? Kau racuni istriku untuk memihakmu? Kau brengsek. Kau curang." Teriaknya pada Alan dan ingin menghajarnya namun kuhalangi.

"Jangan pernah sentuh karyawanku." Teriakku pada Mas Seno.

Sambil tertawa sinis, Alan berkata "Aku curang? Lalu perbuatanmu padaku itu pantasnya kau sebut apa? Bagaimana rasanya disingkirkan Seno? Mungkin lebih sakit karna yang menyingkirkanmu adalah istrimu sendiri. Hahah."

Alan adalah teman lama Mas Seno, Diperusahaannya yang dulu, sebetulnya Alanlah yang seharusnya menjadi CEO berikutnya. Namun ternyata Mas Seno mengkhianatinya. Ia mengambil Ide alan dan menyatakan pekerjaan Alan sebagai pekerjaannya. Begitulah Mas Seno berhasil mengukir karir suksesnya.

Saat itulah si sundal karmelia itu membantu Mas Seno mengkhianati Alan. Aku mengetahuinya tanpa sengaja saat berusaha mencari tahu kelemahan dua pengkianat ini demi balas dendamku. Kebetulan yang sangat menguntungkanku bertemu dengan Alan.

"Sudah cukup Mas, aku tidak mau banyak berdebat. Aku ke sini untuk bekerja dengan Pak Rahardian. Jangan lupa tandatangani surat pisah kita."

"Apa kau sudah tanya pada Amel dia ingin ikut siapa?" Tanya Mas Seno padaku. Aku tertawa dengan sinis dan tak lupa bertampang meremehkannya.

"Maas...Mas, apa kamu sepercaya diri itu? Kau hampir jarang bermain dengannya. Kau lebih suka bermain-main dengan sundal itu, kau bahkan lupa hari ulangtahunnya, Apa kau pikir dia akan sudi ikut denganmu? Dan satu hal lagi. Jangan panggil putriku dengan nama itu. Namanya Andini. Aku sudah merubah namanya. Kau pikir aku sudi memanggil putriku dengan nama sundal itu? Kutekankan sekali lagi. Namanya Andini Putri Cantika. Akan kukirim salinan akte untuk kau ketahui."

Sepanjang drama ini, sundal itu hanya terdiam menunduk. Mungkin Ia bingung karna merasa tersudut dengan semua kebenaran yang kuucapkan.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan putri kita, Ia mungkin tidak akan mengingatmu. Karna kau jarang sekali menemuinya bahkan saat kau masih menjadi kepala keluarga dirumah kami. Mulai sekarang, bahagialah dengan pilihanmu."

"Dan kau perempuan sundal rendahan...." Kataku sambil menunjuk wajahnya. "Belajarlah menerima laki-laki tak berharga ini sebagai suami sahmu nanti. Belajarlah darinya bagaimana cara makan sepiring berdua, bagaimana cara menumpang tinggal dengan orangtua kalian dan bagaimana cara menerima uang hasil mengojek. Semoga kau ingat itu Mas Seno."

Ya, akhirnya aku menang. Aku yang jadi juaranya. Pembalasan cantikku akan terukir sepanjang sejarah hidup mereka. Oh ya, perlu kalian ketahui. Aku dan Mas Seno adalah teman satu kampus dulu. Kami dijurusan yang sama di fakultas sipil. Itu sebabnya aku sangat mengerti pekerjaan Mas Seno dan dengan mudahnya membuat bisnis kecil properti yang dibarengi dengan kontraktor sekaligus.

Aku puas dengan pembalasan ini. Apa yang terjadi dengan dua pengkhianat itu setelahnya, aku tak tahu dan tak peduli. Aku hanya akan menjalani hidup suksesku bersama Andini putriku. Kuberi nama Andini yang adalah nama almarhumah Ibuku dan cantika adalah namaku. Andini Putri Cantika, putriku yang terlahir ketika pengkhianatan ayahnya tengah berlangsung.

Sekian curhatku. Semoga tidak ada cantika-cantika lain yang mengalami hal serupa.

* S E K I A N *

By: Upay