Tampilkan postingan dengan label Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Tangga. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Mei 2020

Rumah Tangga

Pic from google
Aku ini laki-laki biasa awalnya. Lulus sekolah dengan nilai cukup. Tidak kurang juga tidak lebih. Sempat kuliah namun gagal. Tapi tidak menyurutkan langkahku untuk tetap hidup damai. Kemudian aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta yang cukup besar. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana mulanya, aku bertemu dengan perempuan ini. Perempuan yang sangat-sangat biasa. Wajah biasa-biasa saja penampilanpun sederhana.

Dia juga bekerja di perusahaan swasta besar di kota ini. Entah sejak kapan kamipun dekat. Karna perhatiannya yang luar biasa membuatku nyaman, akupun jatuh hati padanya. Walaupun aku tau dia biasa saja. Ya, karna dia tidak cantik. Sedangkan aku yang digilai banyak perempuan, mungkin seharusnya mendapatkan gadis yang super cantik agar serasi denganku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menyayanginya. Karna Ia membuatku nyaman dengan perhatiannya. Singkat cerita kamipun menikah. Sebetulnya ada kendala saat kami memutuskan untuk menikah. Ya, kendala itu adalah soal pekerjaanku yang sebetulnya saat itu statusku masih kontrak. Tapi calon bidadari surgaku ini rupanya tidak ambil pusing. Ia katakan bahwa harta bisa dicari bersama setelah menikah. Aku makin meleleh padanya. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Yang mencari laki-laki mapan untuk dinikahi. Padahal dia sendiri cukup berhasil dalam karirnya. Harusnya dia punya gengsi untuk memilih laki-laki mapan. Mungkin Ia hanya terpesona pada tampangku. Begitu kupikir saat itu.

Ok, cerita kusingkat-singkat aja ya. Akhirnya kami menikah, setahun kemudian kami memiliki seorang putri. Dan benar saja, ditahun ini kontrak kerjaku habis. Jadilah aku pengangguran. Bapak rumah tangga. tapi tidak full, Karna tetap saja yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah istriku. Namun begitu, aku membantunya menjaga putri kami. terlebih lagi, saat putri pertama kami lahir, istriku gelagapan, bingung mengurus baby. Tentu saja, karna sejak kecil Ia di manja oleh Ayah Ibunya. Sebetulnya aku yakin Iapun tidak terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Terbukti Ia lebih sering bermalasan. Jika sudah kepepet, barulah Ia kerjakan. Seperti mencuci piring misalnya. Kalau piring sudah habis, terpaksa Ia mencuci piring, lantai sudah berdebu, barulah Ia menyapu. Itulah istriku.

Tapi tidak mengapa. Karna Ia sangat sayang padaku. Aku tau itu. Aku ini sangat berarti baginya. Meski aku pengangguran, Ia tetap melayaniku dengan sabar. Kau tau, aku yang membersihkan baby kami jika Ia pup, memandikannyapun terkadang Ia malas. Alasannya masih ngeri karna masih terlalu kecil. Pokonya Ia betul-betul Ibu pemula yang buruk. Tapi tak apa. Nanti Ia pasti akan terbiasa. Aku terus menganggur selama setahun. Istriku tak mempermasalahkan itu, walaupun sesekali Ia sering bertanya dalam senyum dan wajah sedihnya. Kapan yah kamu dapat kerja lagi?.

Aku hanya terdiam. Karna dari sekian banyak lamaran yang kumasukan secara online di beberapa perusahaan, belum ada satupun panggilan yang kuterima. Aku tau, Ia bertanya seperti itu karna walau kami memiliki gaji dari pekerjaannya, tapi itu tidak mencukupi. Meski Ia yang bekerja mencari nafkah, Ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah, lambat laun Ia mulai lihai merawat baby kami. Pada akhirnya aku sedikit menyadari. Semua Ia lakukan untuk ruah tangga kami. Mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah, juga merawat baby. Lalu aku apa? Ngapain? Yah, inilah aku. Suami yang kurang peka. Hanya suka tidur, menonton TV dan bermain game.

Tapi Alhamdulilah. Tak berapa lama akupun mendapatkan pekerjaan. Gajinya tidak besar, tapi lumayan untuk kehidupan kami ke depannya. Istriku bahagia. Itupun karna ternyata Ia hamil lagi. Putri kami akan segera memiliki adik. Kupikir akhirnya kehidupan kami kembali normal. Karna aku kini telah bekerja lagi. Tapi memang yang namanya manusia, selalu saja tak pernah merasa cukup. Pada akhirnya bukan mensyukuri pekerjaan yang telah susah payah kudapatkan, aku malah mengeluhkan gajiku yang justru lebih rendah dari gaji istriku. Seringkali aku ungkapkan rasa maluku padanya karna memiliki gaji yang tidak seberapa dibanding gajinya.

Aku merasa gagal lagi sebagai seorang suami. Namun begitu, istriku tetaplah istriku yang sederhana, tidak cantik, namun sangat-sangat mencintaiku. Tentu saja aku tau dia sangat mencintaiku. Jika tidak, mungkin telah lama Ia pergi meninggalkanku karna kegagalanku. Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Aku bekerja dengan sangat giat dan rajin. Pergi pagi pulang terlalu larut. Namun tetap saja, tak ada yang berubah. Sampai-sampai kami jadi sering bertengkar kecil karna masalah waktu.

Ya, waktu kerjaku yang sangat tidak sebanding dengan gajiku. Gaji minim namun waktu bekerja tidak wajar. Aku terus berusaha meyakinkan istriku untuk bersabar, meski terkadang Ia berteriak padaku karna kesal setiap hari pulang terlalu larut. Aku hanya bisa menerima keadaan itu. Karna sesungguhnya Ia benar. Gajiku tidak mencukupi kebutuhan kami, tapi aku sama sekali sudah tak punya waktu luang untuk sekedar jalan-jalan seperti yang sering kami lakukan dulu. Itu semua karna jam kerjaku.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kesempatan. Alhamdulilah, aku berkesempatan pindah ke perusahaan yang lebih baik. Meski gaji hanya sedikit saja naiknya, tapi aku yakin dengan kemampuan, pengalaman, dan tekadku, aku pasti akan berhasil diperusahaan baru ini. Jam kerjaku tidak banyak berubah, masih sering pulang malam. Kadang aku pulang, istri dan anak-anakku sudah terlelap, pagi saat aku berangkat, istriku sudah lebih dulu berangkat ngantor, sementara anak-anak kami titipkan pada mertuaku.

Perlahan tapi pasti, aku semakin berhasil. Gajiku perlahan naik. Alhamdulilah lama-lama mendekati gaji istriku. Akupun terus mengejar karir. Demi bisa mencukupi kehidupan keluarga kami. Semakin lama aku semakin lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Memang karna pekerjaanku yang menyita banyak waktu kerjaku. Aku minta pengertian istriku untuk bersabar. Ia mengerti, walau terkadang suka ngambek. Aku maklumi itu.

Gaji kami yang perlahan mulai mencukupi, rupanya belum dapat mengurangi beban istriku. Ia mengerjakan semuanya. Bekerja juga, pekerjaan rumah, mengurusku, megurus anak-anak. Entah bagaimana Ia melakukan itu semua dengan kesabarannya. Seharusnya aku lebih sering memujinya. Tapi aku bukanlah laki-laki type romantis yang suka memuji istri. Entahlah, aku merasa itu hal yang kurang penting. Meski banyak artikel yang sering kubaca mengatakan bahwa pujian-pujian kecial suami terhadap istri sangatlah bermakna bagi kehidupan rumah tangga, terlebih lagi bagi si istri. Namun tetap saja aku kurang pandai memuji.

Parahnya lagi, semakin hari aku semakin malas membantunya mengerjakan pekerjaan ruman. Disaat Ia sedang berbenah lantai yang berdebu, penuh sampah berserakan, bahkan mainan anak-anak, aku hanya asyik memainkan game di gadgetku. Tak membantunya sama sekali. Padahal setelah selesai mengerjakan itu, masih banyak tumpukan pakaian yang mesti dicuci dan disetrikanya. Kami bukan tidak ingin memiliki ART, hanya saja jaman sekarang sulit sekali mendapatkan ART yang cocok. Jadilah sampai sekarang semua pekerjaan di handle istriku. Tak satu kalimat pujianpun bisa keluar dari mulutku. Bahkan sekedar bilang bahwa Ia pahlawan kami, wonderwoman yang di utus Allah mengurus rumah ini. Kalimat itu hanya ada dalam kepalaku saja tanpa pernah kukatakan padanya.

Bahkan tak jarang aku malah mencapnya pemalas ketika sesekali Ia hanya terlihat merebahkan diri di kasur tanpa berbuat apa-apa. Piciknya aku. Jika Ia pemalas, lalu aku apa?

Sekarang kehirupan kami terasa sudah jauh lebih baik. Meski kami delapan tahun kemudian telah dikaruniai tiga orang anak, tapi kami hidup cukup. Masih dari gajiku dan istriku. Istriku belum berani memutuskan untuk resign. Akupun demikian. Belum yakin jika Istriku tidak membantuku mencari nafkah. Lambat laun gajiku sudah jauh melebihi gaji istriku. Yah beginilah naluri lelaki. Gaji besar sedikit, merasa mencukupi, kemudian jadi betul-betul pemalas membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak ada satupun pekerjaan rumah yang aku bantu. Semua hal benar-benar istriku yang mengerjakan. Sedangkan aku bahkan hanya bisa cuek menanggapi keluhannya ketika Ia sedang mengeluh capek. Yah inilah aku. Sampai pada suatu ketika, aku dihadapkan pada cobaan berat yang aku tidak menyangka sama sekali akan terjadi.

Istriku yang selama ini kuanggap sabar, melayaniku sepenuh hati, merawat anak-anak kami, yang aku yakin Ia sangat mencintaiku lebih dari dirinya, kehilangan kesabaran. Aku melihatnya memegang kertas itu. Lembaran kertas yang membuat jantungku serasa ingin berhenti.

Ia tidak pernah membahas apapun tentang pernikahan kami selama ini. Keluhan-keluhannyapun tidak pernah membahas tentang perceraian. Aku shock melihat Ia memegang kertas bertuliskan "Pengadilan Agama. Pengajuan Cerai". Tak sanggup berkata-kata rasanya.

Yang membuatku bingung, kenapa Ia membawa-bawa kertas itu dengan wajah santai seperti tidak ada perasaan apa-apa. Dan kenapa Ia belum juga membicarakannya denganku. Ya Allah, apa ini akibat dari kemalasanku? Akibat dari sikap cuekku yang berlebihan? Tak pernah sekalipun memujinya, bersikap seolah yang Ia lakukan untuk keluarga ini hal yang biasa-biasa saja. Apakah pada akhirnya kesabarannya telah habis?

Habis dimakan semua pekerjaan kantor, rumah, mengurusku, dan juga anak-anakku? Ya Allah kenapa dia diam saja sampai detik ini. Ia memasukan lembaran kertas itu ke laci documen dalam lemari pakaian. Tanpa berkata apa-apa. Hatiku tegang, jantungku dag dig dug. Menebak-nebak apa yang akan Ia katakan padaku?

"Pah, kita cerai saja ya?"

"Pah, aku sudah gak tahan dengan sikap cuekmu".

"Pah, kita sudahi saja".

"Pah, aku lelah. Kita selesai saja ya".

Aku menduga-duga sambil mengucurkan keringat dingin. Tapi anehnya, sampai malam hari waktunya kami tidur, Ia tidak juga membicarakannya. Bahkan saat makan malam. Sikapnya masih seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.

Ya Allah, andai ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini semua. Akhirnya malam semakin larut. Ia tertidur. Tertidur tanpa membicarakan perceraian yang sedang Ia siapkan. Rasanya aku ingin sekali melihat lembaran kertas itu. Tapi rasa takut dan kecewa lebih besar dari rasa penasaranku akan kertas itu. Karna jelas-jelas judul kertas itu Surat Pengajuan Cerai.

Pagipun tiba, aku yang jadi sulit tidur nyenyak, bangun dengan wajah kusut. Istriku seperti biasa panik. "Lho pah, koq nukanya pucet, kantung mata papah hitam sekali. Kenapa? Papah sakit?". Tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng kemudian kembali menarik selimut. Hari itu istriku sedang cuti. Itu sebabnya Ia masih dirumah. Biasanya Ia berangkat lebih pagi dariku.

Kuputuskan untuk berangkat lebih siang. Karna merasa tidak enak badan. Aku yang workaholic ini memang tidak mungkin mengajukan cuti, meski sakit sekalipun. Paling-paling aku hanya ijin datang siang sampai badanku terasa enakan.

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah kami berbunyi "Ting Tong". Istriku beranjak ke lemari pakaian, mengambil kertas itu. Kertas yang membuatku tak dapat tidur semalaman.

"Lho mah, kertas itu?". Tanyaku sepotong-sepotong.

"Ooh ini, iya nih kemaren pengacaranya Mba Nida datang ke rumahnya, tapi Mba Nidanya lagi gak ada. Jadi dititipin ke aku. Akhirnya Mba Nida memutuskan pisah dari Mas Seno lho Pah. Sebentar ya Pah, aku ke depan dulu kasihkan surat ini ke Mba Nida".

Iapun pergi berlalu membawa kertas itu bersamanya unutuk diserahkan kepada yang punya.

Aku terdiam, bengong tanpa kata. Kemudian tertawa kencang hingga mengagetkan istriku yang masih di depan menutup pintu karna Mba Nida langsung pulang begitu menerima surat itu.

"Pah, apa yang lucu? Koq tertawa sampai terdengar ke ruang tamu?". Tanyanya padaku yang masih menyeringai lebar mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku bingung mau jawab apa. Mau bohong tapi gak kepikiran bohong apa. Jadilah aku ceritakan semuanya. Dari awal aku melihat dia membawa-bawa kertas itu sampai pagi tadi surat itu diserahkan. Aku ceritakan bagaimana aku menduga-duga yang akan Ia katakan padaku tentang perceraian.

"Hahahahahah........". Iapun ikut tertawa. Ia tertawa sangat lepas, sangat bahagia. Baru kali ini aku lihat tawanya yang begitu mekar. Maka akupun bertanya. "Ih Mama koq ketawanya gitu amat? Seneng banget ya ngetawain Papah yang bodoh ini?".

Tapi jawabannya membuatku terkejut. Rupanya rasa panik yang menjalar padaku sejak semalam itu Ia artikan bahwa aku takut kehilangannya. Mungkin benar. Hanya saja tak satu kalipun aku pernah mengungkapkan dengan kata-kata atau hal romantis tentang rasa takut kehilangannya itu.

"Mama bukan senang karna Papah udah suudzon dan bersikap bodoh seperti itu. Mama hanya gak nyangka aja. Ternyata Papah takut juga ya kehilangan Mama? Papah gak mau ya dicerai sama Mama?". Katanya sambil terus tertawa dengan wajah seperti meledek aku yang terlihat bodoh.

Ya, benar juga. Sejak semalam aku ketakutan. Aku takut kecewa, takut shock menerima kenyataan bahwa kami akan berpisah. Baru kusadari sudah bertahun-tahun lamanya sejak pernikahan kami, aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan rasa sayangku padanya, pada istriku ini. Jarang memujinya, bahkan tak pernah mengungkapkan dengan gamblang bahwa aku tak bisa kehilangannya. Karna akupun baru menyadari sejak semalam.

Kemudian Iapun bicara. Kalimat yang mambuatku lega dan merasa makin dicintai olehnya.

"Papah nih aneh. Koq bisa-bisanya mikir begitu. Kita ini udah hidup tenang. Alhamdulilah semua kebutuhan sudah terpenuhi, anak-anak sehat, tidak ada masalah di rumah ini. Kenapa Papah bisa berpikiran Mama bakalan minta cerai? Kalo emang Mama gak peduli Papah, sudah sejak dulu Mama minta cerai. Sejak Mama harus berjuang sendirian.

Bukannya mengungkit-ungkit nih ya Pah. Kalo Mama cuma mau hidup enak dan nerima Papah yang bisa nyukupin aja, buat apa Mama bertahan dengan kondisi kita yang dulu itu. Makan kurang, kebutuhan kurang, Papah bahkan gak kerja, kalaupun kerja gajinya kecil. Buat apa pah. Mending dari dulu aja minta cerainya. Sekarang Papah udah mapan, udah nyukupin, gaji sudah besar. Masa iya Mama malah minta cerai sekarang dari Papa. Papah nih aneh".

"Yaah, Papa pikir Mama gak hanya butuh dicukupin secara finansial aja. Mama kan tau sendiri Papa males bantu-bantu kerjaan rumah, gak pernah muji Mama, jarang bilang sayang, hal-hal semacam itulah pokonya".

"Gini ya Pah, sebetulnya Mama tuh ga terlalu pingin banget koq di puji-puji Papah. Apalagi digombalin. Gak perlu pah. Walaupun kadang suka kesel dengan Papa yang sama sekali gak bantu kerjaan rumah, Mama masih gak masalah koq. Masih bisa sabar ngerjain itu semua. Cuma satu hal yang Mama pingin dari Papah. Jujur apa adanya. Gimana di rumah, ya begitu di luar".

"Maksud Mama gimana?". Tanyaku penasaran. Karna rasa-rasanya sikapku di rumah dan di luar gak ada bedanya. Sama-sama cuek, gak pernah bermasalah.

"Mba Nida pernah nemu BBM'an Mas Seno sama teman kerja wanitanya. Mba Nida bilang sih awal-awal itu isiya cuma kaya becandaan biasa aja. Berawal dari "Eh ke mana lo? Koq gak masuk?". Kemudian dibalas sama Mas Seno. "Ada koq lagi di HRD, kenapa nyariin gue? Kangen ya? Hahaha". Mba Nida pikir cuma becandaan teman biasa aja di kantor. Eeeh mana tau akhirnya mereka malah pisah gara-gara Mas Seno kedapatan serius sama perempuan itu. Naah yang Mama mau, sikap Papah ya jujur. Di rumah cuek, di luar ya harus gitu juga dong. Jangan sama istri cuek, sama teman kantor becanda-becanda kangen-kangenan gitu. Istri mana tau Pah suaminya seperti apa di kantor. Cuek atau malah ganjen. Itu yang Mama gak mau".

Aku tersenyum sambil mengangguk kemudian mencium kening istriku. "InshaAllah, Papah gak akan ganjen-ganjen di luar rumah. Heheheheh". Kamipun tertawa. Rasanya lega dan akhirnya aku semangat lagi berangkat ngantor yang kesiangan hari ini.

Aku hanya berharap dan berdoa. Semoga Allah tidak mengujiku melalui perempuan-perempuan mulus di luaran sana. Jangan sampai aku tergoda apalagi terpikat dengan lawan jenis di luar rumah. Ya Allah, lindungi hambamu. Tidak ingin perjuanganku bersama istriku sedari kami menikah sampai semapan ini jadi sia-sia hanya gara-gara aku terlena dengan kemolekan perempuan di luaran sana. Semoga Papah selalu ingat perjuangan Mama mendampingi Papa dari kita hidup sulit ya Mah.

Jangan pernah lupakan, siapa yang berjuang bersama kita sedari kita masih susah. Jika banyak perempuan-perempuan molek di luaran sana yang menggoda imanmu. Maka ingatlah, azab Allah sangat pedih, dan karma dari istri yang tersakiti pasti terbalas. Senang hanya sesaat jika harus ditukar dengan kehilangan keluarga yang selama ini mensupport kita, maka kamu pasti akan merugi.

Setialah bersama istri. Arungi hidup seperti kapal dan nakhodanya. Meski klise, kalimat itu memang benar maknanya.

#SELESAI#

By: Nanda

#CurhatSuami