Tampilkan postingan dengan label Who's last night?. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Who's last night?. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Mei 2020

Who's last night?

"Siapa yang meninggal Pah?" Tanyaku kemudian.

"Ini lho Mah, orang kantor. Pak Sopyan. Rasanya tidak enak kalau aku tidak datang."

"Ya harus datang dong Pah." Ujarku kemudian.

"Tapi jauh sekali Mah. Di Medan. Dimakamkan ditanah kelahirannya. Apa tidak apa-apa kalau papa ke sana?" Tanya suamiku dengan wajah sedikit sendu. Mungkin sedih mendengar berita kematian kerabat kantornya.

"Gak apa kalau ada temannya. Coba Papah tanya dulu siapa yang ikut serta ke sana? Kan bisa barengan." Jawabku kemudian.

"Ada Pak Hendro dan Mas Rizki yang ikut Mah." Katanya tidak lama setelah mengkonfirmasi teman-temannya di kantor.

"Ya sudah kalau begitu biar aku siapkan pakaianmu ya Pah."

Akupun bergegas ke kamar mempersiapkan tas, pakaian dan perlengkapan mandi suamiku untuk dibawa pergi.

Semua berjalan lancar. Suamiku telah sampai di Medan, begitu dari pesan yang kubaca di whatsapp. Keadaan tidak terlalu baik katanya. Istri mendiang berkali-kali pingsan dan berteriak-teriak tidak rela telah ditinggal mati suaminya.

Mendengar ceritanya, aku jadi terbayang bagaimana jika itu terjadi padaku. "Ya Allah, semoga kau panjangkan umur suamiku melebihi aku." Gumamku dalam hati. Rasanya aku tak sanggup. Mungkin jika itu terjadi padaku, aku akan lebih stress dari istri mendiang Pak Sopyan itu. Jika dia saja pingsan dan berteriak, apa yang mungkin terjadi padaku? Aaah rasanya merinding membayangkan itu.

Lusanya, suamiku mengabarkan via whatsapp bahwa dia dan teman-teman seperjalanannya akan segera kembali ke jakarta. Acara pemakan telah selesai dan mereka juga sudah harus kembali bekerja hari berikutnya.

Dalam perjalanan menuju bandara, suami dan aku lamaaa sekali saling berbalas whatsapp. Perjalanan menuju bandara memang agak jauh katanya. Karna ternyata Almarhum tinggal di daerah yang masih sangat pedesaan dan jauh dari kota. Perjalan ke bandara bahkan butuh waktu berjam-jam dengan mengendarai mobil. Suamiku dan rekan-rekannya menggunakan mobil sewaan dengan supirnya agar lebih cepat sampai.

Pesan Whatsapp.

"padahal masih sore, tapi gelap sekali. Sepertinya mau hujan."

"Memang sedang musim hujan kan Pah. Meskipun di Jakarta masih jarang turun hujan."

"Benar saja Mah, hujan lebat sekali. Jarak pandang jadi tidak jauh. Harus ekstra hati-hati nih."

"Apa tidak sebaiknya kalian istirahat saja dulu dipinggir jalan. Daripada bahaya."

"Yah, mungkin sebaiknya begitu."

Itu chat terakhir kami. Sudah 24 jam berlalu. Apa iya perjalanan dari Medan ke Jakarta menggunakan pesawat selama ini.

Lewat tengah malam, tiba-tiba kudengar pintu depan diketuk.

"Alhamdulillah akhirnya Papah sampai juga. Kenapa bisa selama ini Pah?" Tanyaku penasaran.

"Aduh Mah, ternyata hujannya lamaa baru berhenti. Mana sempat ada badai. Kilat menyambar-nyambar. Seram sekali pokonya. Jadi kami berhenti agak lama. Untungnya penerbangan masih lama waktu itu."

"Ya sudah Papah istirahat deh."

Sebelum ke kamar, Ia membuka pintu kamar anak-anak satu persatu. Dihampirinya sambil berbisik bahwa Ia menyayangi mereka dan harus selalu menjadi laki-laki yang patuh dan menghormati Ibunya. Kemudian kami ke kamar. Dikamar kami banyak berbincang. Bagaimana Ia menghadapi istri mendiang Pak Sopyan yang histeris ditinggal pergi suaminya dengan cara yang tragis.

Ya, ternyata Pak Sopyan meninggal akibat kesalahan orang lain yang kini telah dihukum. Saat itu Ia sedang berlibur di Medan tanah kelahirannya dan istrinya. Malam hari Ia pergi ke ATM untuk mengambil sedikit uang karna besok hari berencana pergi wisata dengan istri dan anak-anaknya.

Tak disangka kejadian nahas itu terjadi. Tiga orang pemuda tanggung berbadan kurus ternyata sudah membuntutinya sejak Ia masuk ATM. Setelah keluar dari ATM, pemuda-pemuda itu terus mengikutinya. Sialnya, Pak Sopyan ternyata harus melewati jalanan yang cukup sepi untuk bisa sampai di kediamannya.

Pemuda-pemuda itupun menghampirinya. Menghadang sepeda motor yang sedang dikendarainya lalu merampoknya. Pak Sopyan yang merasa anak-anak itu masih terlalu muda untuk melakukan kejahatan, malah menasihati mereka. Mungkin karna beliau merasa anak-anak ini berbadan kecil dan masih muda, Ia merasa bisa menaklukan mereka.

Tapi tak disangka, dua orang diantara mereka mengeluarkan senjata tajam dan menyerang Pak Sopyan dengan membabi buta tanpa ampun demi merampas semua milik Pak Sopyan termasuk nyawanya. Pak Sopyan tergeletak bersimbah darah dengan luka cukup dalam disekujur tubuhnya. Warga setempat menemukannya setelah lima jam kemudian. Karna memang jalan itu sepi dan jarang dilalui orang pada malam hari.

Mendengar cerita itu. Membuat aku semakin merinding. Rasanya terlalu kejam ditinggal dengan cara seperti itu. Namun Allah yang berkehendak. Selalu ada maksud dibalik semua kejadian yang Allah ciptakan.

"Pokonya Mah, kalau nanti aku pergi duluan. Mama harus ikhlas. Gak boleh seperti Bu Sopyan. Apa Mama gak kasihan sama Papa. Memang mungkin sulit menerimanya. Tapi hidup tetap harus berlanjut dan kamu gak boleh terpuruk terlalu lama. Apalagi akan menyulitkan mendiang jika kepergiannya tak diikhlaskan oleh orang terkasih."

"Ih Papah nih ngomongnya kejauhan. Lagian Pah, yang sering sakit-sakitan itu aku. Bukan Papa. Mungkin malah aku yang akan pergi duluan."

"Halah, kamu tuh. Sakit batuk, pilek, sakit kepala aja koq ya kaya orang komplikasi ngomongnya."

"Lah Papah yang duluin ngomong yang nggak-nggak. Sebaiknya tuh kita bersyukur masih dikasih sehat, umur panjang, rezeki lancar. Koq ya malah ngomongin kematian. Serem tau Pah. Udah ah udah malem, kita tidur."

Pagi harinya aku dan suami seperti biasa terbangun lebih dulu dari anak-anak untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah berwudhu dan menyiapkan sajadah untuk semua, barulah tugasku membangunkan anak-anak. Tidak lama terdengar pintu depan diketuk. Ternyata Ibuku datang menjenguk kami. Beliau tinggal di Bandung dan hanya beberapa bulan sekali menginap ke Jakarta di rumah kami.

"Lho koq tumben Bu gak ngabarin dulu." Tanyaku pada Ibu.

"Gak tau ya, tiba-tiba aja mendadak pingin kemari. Ya udah Ibu sama sama Bapak langsung ke sini."

"Ya udah ayo masuk. Pagi-pagi sekali. Berangkat jam berapa dari rumah?"

"Duh, Ibu gak liat jam. Pokonya semalam tiba-tiba pingin nengok kalian. Anak-anak apa gak sekolah?"

"Sekolah koq Bu, ini baru lagi siap-siap. Ayo Bu ikut sarapan."

Suamiku dan anak-anakpun sudah siap untuk berangkat. Satu persatu mereka mencium tangan Kakek dan Neneknya. Ketiga anak kami semuanya laki-laki dan sekolah di sekolah yang sama. Kebetulan kami menyekolahkannya di sekolah swasta yang terdiri dari SD, SMP, dan SMA dalam satu kawasan. Hanya berbeda gedung. Sehingga mereka selalu berangkat bersama.

"Maaf Pak, Bu. Saya harus duluan berangkat karna banyak pekerjaan menunggu." Kata suamiku sambil mencium tangan Ibu dan Bapak.

"Lho, gak sarapan dulu? Kata Ratih, kamu baru pulang dari Medan. Apa gak cape? Pucat sekali wajahmu itu lho. Mending sarapan dulu." Kata Ibu kemudian.

"Aku gak papa Bu, memang sedikit lelah. Tapi beneran baik-baik aja koq. Ada kerjaan yang harus segera diselesaikan Bu. Jadi harus segera berangkat."

Kemudian suamiku pergi. Sementara anak-anak masih di meja makan.

"Pagi sekali suamimu pergi." Kata Ibu.

"Yah memang semalam dia bilang ada pekerjaan yang tertunda dan harus diselesaikan hari ini juga. Jadi dia buru-buru deh. Maaf ya Bu, jadi gak menyambut Ibu deh."

"Bukan itu, Ibu sih gak masalah koq. Lah orang suami rajin kerja ya harus disyukuri. Tapi masalahnya, sepertinya dia masih terlihat lelah sekali. Ibu cuma khawatir dia sakit."

Kamipun melanjutkan sarapan masih sambil ngobrol-ngobrol kecil. Terdengar ketukan dipintu depan. "Rupanya ada yang bertamu juga pagi-pagi gini. Masih jam 6 pagi lho." Kata Ibu sambil menyuruhku segera bukakan pintu.

Ternyata Mas Haris. Juniornya suamiku ditempat kerja. Dia anak buahnya yang paling muda di kantor. Juga belum lama bekerja dengannya.

"Assalamualaiku Bu." Sapanya kemudian.

"Waalaikumsalam. Lho Mas Haris koq pagi-pagi malah ke sini. Gak langsung ke kantor aja? Memang Bapak minta dijemput? Bapak sudah berangkat dari jam 5 tadi lho Mas Haris." Kataku kemudian.

Dia mengernyitkan alis dan matanya sehingga keningnya sedikit berkerut tanda kebingungan. Akupun jadi ikutan bingung melihat ekspresi wajahnya.

"Maksud Ibu, Pak Seto sudah berangkat ke kantor?" Tanyanya meyakinkan aku.

"Lho iya, padahal semalam pulang lewat tengah malam, ngobrol sampai pagi. Tau-tau jam 5 mendadak langsung berangkat ngantor."

Wajah Mas Haris semakin membingung, kali ini terlihat sedikit pucat.

"Mmmh.... Saya jadi bingung Bu. Apa yang harus saya katakan sekarang ya. Aduh Bu, beneran itu Pak Seto?"

"Apa sih kamu nih. Pagi-pagi mau main tebak-tebakan sama saya ya. Masa iya saya gak ngenalin suami sendiri."

"Saya takut mengatakannya Bu. Saya ke sini bawa kabar duka Bu."

"Innalilahi, siapa lagi yang meninggal Mas Haris? Harusnya tadi telepon dulu. Jadi gak selisih jalan sama Bapak. Sebaiknya Mas Haris buru-buru nyusul Bapak dan kabari."

"Bu....." Suara Haris meninggi. Ia seperti ingin marah atau entah apa ekspresinya itu bisa disebut.

"Tolong Bu, Ibu sadar. Apa Ibu sudah berwudhu? Sudah sholat subuh pagi tadi?"

"Apa maksudmu Mas Haris? Setiap pagi ya holat subuh berjamaah sama Bapak dan anak-anak. Memang itu kebiasaan kami."

Sepertinya Haris menjadi tidak sabar dan semakin bingung. Ia pun tanpa basa basi lagi langsung mengabarkan.

"Bu, saya ke sini membawa berita bahwa Pak Seto suami Ibu meninggal dunia kemarin malam. Mobil yang ditumpanginya saat menuju bandara tertimpa pohon besar karna hujan dan badai yang terlalu kencang kemarin malam. Pak Seto belum sempat kembali ke Jakarta Bu. Saya ke sini mau menjemput Ibu untuk pergi bersama saya menjemput jenazah di Rumah Sakit Medan. Saya sudah siapkan tiketnya."

"Kalau bicara jangan sembarangan Mas Haris. Kamu gak denger tadi saya cerita apa? Bapak semalam pulang, ngobrol sama saya dikamar, bahkan sempat menghampiri anak-anaknya. Apa kamu mau main-main dengan saya." Tanpa sadar aku berteriak padanya. Pada Haris yang membawa kabar duka yang aku sama sekali tidak percaya.

"Ada apa Mah ribut-ribut?" dari dalam anak sulungku menghampiriku dan Haris dipintu depan. Kemudian Haris menceritakan semuanya. Anak sulungku menangis sejadi-jadinya. Sementara aku masih terbengong-bengong tidak percaya.

Tidak lama Ibu dan Bapak menghampiri.

"Ada apa ini. Kamu kenapa sayang?" Tanya Ibuku kepada cucu sulungnya.

"Papah Nek, Papaaah."

"Lho, kenapa Papah?" Tanya Ibu.

Haris mengulang kembali ceritanya. Cerita yang sama yang diceritakan padaku dan anak sulungku. Kemudian aku dan Ibu saling berpandangan. Bingung tak percaya. Bahkan air matapun tak menetes sedikitpun. Karna aku dan Ibu bahkan sempat berbincang dengan suamiku.

Ternyata Bapak dan anak-anak memang belum melihat Mas Seto sejak tadi. Jadi siapa yang kami lihat? Siapa yang mencium tangan Ibu berpamitan. Siapa pula yang mengobrol denganku semalam tadi?

Akhirnya Bapak yang ikut pergi bersama Haris. Aku dan Ibu terduduk lemas di sofa ruang tamu. Masih tidak percaya dengan apa yang kami dengar.

Pada akhirnya mendiang suamiku ada dihadapanku kini berbalut kain kafan. Air mata menetes deras. Kehilangan teramat sangat. Tapi aku mengingat kalimatnya malam itu. Malam dimana Ia sempat pulang bahkan paginya berpamitan kerja pada Ibu.

Ia katakan bahwa aku harus mengikhlaskan dirinya jika Ia berpulang lebih dulu. Karna aku harus kasihan padanya di alam kubur. Agar dirinya tak tersiksa, orang terkasihnya harus ikhlas. Maka akupun mencoba mengikhlaskannya. Namun dimalam-malam berikutnya, aku tak juga dapat berhenti menangis. Sedih rasanya.

Jadi. Siapa orang yang pulang malam itu? Yang bahkan berpamitan pada Ibu. Kenapa hanya aku dan Ibu yang dapat melihat sosoknya terakhir kali? Apakah beliau hanya ingin memastikan kami harus mengikhlaskan kepergiannya?

* S E K I A N *

Oleh,

Upay