Tampilkan postingan dengan label koleksi cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label koleksi cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

Kisah Tragis Bian

Aku menikah dengan laki-laki yang aku cintai dan yang aku yakin Iapun begitu. Aku butuh laki-laki yang selalu memberiku semangat, Aku butuh laki-laki yang selalu mendukungku di saat aku jatuh, disaat aku merasa terpuruk, disaat aku merasa putus asa, bahkan di saat aku jatuh miskin.

Bukan laki-laki yang selalu mendorongku untuk berkarir, semangat bekerja di luar bahkan bertahan dari kerasnya tekanan dari atasan.

Aku ini perempuan, Ibu, Istri, sekaligus anak. Aku memang harus tegar demi anak-anakku. Tapi apakah aku tidak boleh manja sebagai istri? Apa sudah tidak patut dilindungi sebagai anak?

Selalu dan selalu merasa begini.

Ada satu waktu dimana aku sering curhat oleh suamiku perihal pekerjaanku, Tekanan-tekanan yang terjadi dalam pekerjaan, Kenapa seringnya malas bekerja dan memilih cuti bersama anak-anak di rumah. Aku tau aku harus sabar. Aku mengerti aku harus membantu suamiku menafkahi keluarga kami. Tapi tidak bolehkah aku bermanja? Kenapa? Kenapa semakin hari kau malah justru semakin mirip Ibu? Ibuku yang selalu bawel setiap kali aku tidak berangkat bekerja, Ibuku yang selalu mengomel tiap kali aku cuti, Ibu yang selalu ketakutan jika aku tidak lagi bekerja, maka kami akan hidup susah. Wahai suamiku. Tidak yakinkah engkau bahwa Allah SWT. akan selalu membukakan pintu rejeki dari mana saja untuk keluargamu? Allah menitipkan rejeki untuk istri dan anak-anakmu melalui tanganmu yang kokoh, bukan melalui tenaga istrimu langsung. Tidak bisakah kau paham bahwa pekerjaan ini membuatku sulit bernafas?

Aku butuh ketenangan. Aku butuh tempat untuk menangis sekeras-kerasnya tanpa harus didengar anak-anak. Tapi dimana? Aku hanya bisa menangis kecil di dalam pelukanmu, dibalik punggungmu atau mungkin di bahumu. Tapi setiap kali itu aku lakukan kenapa kau hanya mengeluarkan kalimat bahwa aku harus tegar, bahwa aku harus tabah menghadapi semua pekerjaan dan tekanan-tekanan dalam pekerjaanku. Setiap kali aku membicarakan masalah resign kau seperti terlihat kecewa tanda tak setuju. Kau seperti ketakutan bahwa kita akan jatuh miskin begitu aku resign. Begitu besarkah peranku memberikan nafkah di keluarga ini? Aku yang seorang perempuan, aku yang hakikatnya berada di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Tapi kau bahkan kalian. Kau dan Ibuku seolah kalian merasa bahwa jika itu aku lakukan maka kita pasti akan sengsara.

Ya Allah, apakah harus seperti ini? Aku capek, aku lelah dengan semuanya. Ketika pagi bangun, aku harus berhadapan dengan masalah-masalah pekerjaan yang itu-ituu saja, di tekan sana sini, Begitu sore sesampainya aku di rumah, masih harus bersabar menghadapi bocah-bocah kecil kami yang nyaris tidak bisa diam yang selalu saja teriak ini itu, bertengkar memperebutkan mainan atau apapun. Berteriak minta ini itu. Tidak lama engkau pulang dari bekerja, duduk atau tiduran kemudian minta diambilkan minum, makan, dipijat, atau apapun. Menjelang tidurpun aku masih harus bekerja. Membuatkan susu untuk anak-anak, memakaikan pampers, kadang membacakan cerita, atau lainnya.

Saat aku beristirahat hanya ketika mataku benar-benar terpejam. Ah sudahlah, mungkin memang ini takdirku. Mungkin memang ini kisahku. Lihat apa yang terjadi nanti. Mungkin seiring bertumbuhnya anak-anak, aku akan semakin tegar.

********

Bian memang sudah tidak punya banyak waktu menulis semenjak menikah, mengurus anak, dan bekerja. Hobi menulisnyapun hanya Ia lakukan sesekali sambil mencuri-curi waktu bekerja. Padahal dulu Bian senang sekali menulis cerita, Membuat cerpen. Bahkan Bian bercita-cita ingin menulis sebuah novel yang ingin sekali Ia bukukan. Tapi semua sirna ketika Bian memutuskan untuk menikah di usianya yang masih muda. Padahal saat itu Bian yakin bahwa support kekasih hatinya yang kelak menjadi suaminya itulah yang akan membuat impian dan cita-cita Bian tercapai. Namun sayang, begitu melahirkan anak pertama, Bian dan suaminya merasa harus bekerja keras demi anak mereka. Demi hidup cukup. Jadi yang terjadi adalah Bian dan suami harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Terlebih lagi kemudian lahirlah anak-anak kedua dan ketiga mereka. Bertambahlah kebutuhan keluarga mereka. Bian seringkali dipusingkan dengan urusan-urusan yang kelihatan sepele namun ternyata baginya itu adalah masalah besar.

Terkadang orang terdekatpun tidak mampu mendukungnya. Bian yang merasa tertekan akhirnya merasa bahwa Ia ingin istirahat. Istirahat dari semua ini. Istirahat dari kehidupan yang membuatnya lelah dan tertekan. Bian mengakhiri hidupnya.

1 November, menjadi tanggal kelahiran Bianca Azzalea Rumana sekaligus hari kematiannya. Tertulis dalam blog bian pada posting terakhir bahwa Ia lelah.

Posting terakhir Bianca.......

"Ya Allaaah, Bian lelah, Bian Capek, Bian ingin instirahat. Kenapa tiap kali Bian memejamkan mata untuk beristirahat, ada saja hal yang membuat mata Bian terbelalak. Entah jeritan si kecil, Teriakan panggilan Ibu, bahkan kepulangan Mas Alif dari bekerja. Terus kapan Bian bisa istirahat Ya Allah?. Kali ini Bian benar-benar lelah. Bian ingin berhenti bekerja. Bian capek di tempat kerja yang membosankan itu. Dengan tekanan-tekananya dan masalah-masalah lainnya. Bian ingin berhenti tapi semua orang pasti akan menyalahkan Bian. Pasti semua orang akan menyayangkan keputusan Bian. Bahkan Mas Alifpun begitu. Mas Alif terlalu sayang dengan pekerjaan Bian yang katanya bagus. Bekerja di perusahaan besar ternama dengan gaji lebih dari cukup. Sementara Mas Alif hanya karyawan perusahaan biasa. Kenapa Mas Alif tidak meyakini diriMu ya Allah. Mengapa rejeki yang Engkau titipkan melalui Mas Alif lebih sedikit dari yang Engkau titipkan padaku? Jika saja tidak seperti itu, maka mungkin aku bisa menjadi Ibu-ibu pada umumnya. Ibu rumah tangga yang bangun pagi menyiapkan sarapan keluarga, Kemudian melihat anaknya berangkat sekolah dengan Ayahnya sampai menghilang di balik pintu, kemudian mengerjakan pekerjaan rumah. Begitu siang hari pekerjaan sudah selesai, bisa santai menonton televisi di ruang tamu sambil ngemil kripik kentang favorit atau biscuit coklat kesukaan sambil menunggu anak-anak pulang sekolah.

Begitu anak-anak pulang sekolah, Bian bisa membantu mereka mengganti pakaian, kemudian makan bersama di meja makan panjang di ruang tengah sambil mendengarkan cerita anak-anak tentang kegiatan mereka. Selesai makan, Bian membantu mereka mengerjakan PR sampai sore. Saat sore tiba, sambil menunggu kepulangan Mas Alif dari bekerja, Bian buatkan teh hangat kesukaannya.

Menjadi Ibu-ibu normal dengan kegiatan normal dengan keadaan ekonomi kami yang mencukupi yang Bian mau ya Allah. Bukan keadaan ekonomi yang mencukupi, namun kehilahangan banyak waktu untuk itu.

Ya Allah Bian menyerah. Maaf kan Bian. Sudah terlalu lama Bian merasa tidak ada lagi yang mendukung keinginan Bian itu. Bahkan Mas Alif. Selesai sudah kesabaran dan ketegaran Bian selama ini. Maafkan Bian ya Mas Alif, Ibu, Kakak, Nila, dan Ade. Bian GAGAL menjadi yang kalian harapkan. Bian terlalu lelah.

Selamat Tinggal !!!"

Bian mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap gedung tempatnya bekerja. Akhirnya Bian beristirahat seperti keinginannya selama ini. Tidak ada lagi suara jeritan atau panggilan atau langkah kaki yang dapat membangunkan Bian. Kini Bian benar-benar pulas tertidur. Bian tak lagi ada.

Semoga bagi yang masih memiliki istri, ibu, anak perempuan masih bisa mendengarkan jeritan hati mereka. Terkadang masalah sepele dimata kita, belum tentu sepele bagi orang lain. Bian yang hatinya rapuh, mudah goyah sangat membutuhkan dukungan. Dukunglah, manjakanlah istri anda tanpa mengeluh, tanpa mengeluarkan kata-kata "Sabar ya, Tegar ya, Yang kuat ya" . Kata-kata itu tidak mampu menopang beban hidupnya.

Sahabat Bayang-Bayang

Tulisan yang saya muat kali ini kiriman dari "Dinik Afrianingsih". Saya ucapkan banyak terima kasih atas kirimannya.Cerita ini fiktif dan hanya karangan semata. Mohon lebih bijak dalam me ngambil maksud dari inti cerita ini. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Sahabat Bayang-Bayang

Tak pernah ada rasa sesal yang hinggap dalam hati kecil ini. Ataupun rasa takut, tak pernah terpikir dan terasakan olehku. Gadis muda yang penuh imajinasi. Apa salahnya berteman bahkan bersahabat? Tak salahkan? Tapi, mengapa semua memandang penuh keanehan padaku? Mereka selalu bertanya ‘Kenapa harus kamu?’. Sementara aku hanya bisa menatap bingung tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Hei, Forehead! Apa yang kau pikirkan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Ah, kau mengagetkanku Ino pig.” jawabku sambil menatapnya dengan kesal. Tentu itu hanya sebuah gurauan. Tak pernah aku merasa benar-benar kesal padanya. Teman ‘Nyataku’ Yamanaka Ino.

“Jadi apa yang membuat sahabatku Haruno Sakura melamun? Sasuke kah? Atau Naruto?” tanyanya penuh selidik padaku. Ah ya namaku Haruno Sakura. Sasuke dan Naruto yang disebut-sebut oleh Ino adalah temanku juga. Lebih tepatnya Teman kecilku.

“Bukan keduanya Ino. Apa aku terlihat begitu perduli dengan mereka yang seenak jidatnya meninggalkanku sendirian di club kemarin? Jawabannya TIDAK!” jawabku sewot. Cih, jika menyangkut kedua pria brengsek itu aku mulai naik darah. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Argh mengingatnya saja sudah membuatku emosi.

“Lalu? Masalah apa lagi?”

“Hanya masalah kecil, mungkin?” jawabku ragu. Dan karena itu membuat salah satu alis temanku pig ini terangkat keatas. Pertanda dia tidak mengerti.

Akupun menghela napas maklum. “Kau masih belum ngeh ya?” dan anggukan adalah jawabannya. “Aigoo…” akupun mulai gemas. Padahal kami sudah berteman cukup lama dan sudah sering curcol bersama tapi tetap saja…

“Ah, aku ingat!!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk di depan mukaku.”Masalah itu ya? Tentang ‘SAHABATMU’ itukan? Kenapa lagi?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Inopun mulai memaksaku untuk bercerita. Namun, aku tetap diam tak mau bercerita. Dia terus mengoceh tentang persahabatan dan kebersamaan kami. Akupun mulai memandang langit dan mengingat kembali ‘SAHABAT’ ku itu. Semua berawal dari kejadian itu.

Hujan lebat turun dengan sambaran petir yang tak bersahabat membuat siapapun menjadi takut. Termasuk aku yang berada di dalam rumah sendirian. Ayah dan Ibuku pergi keluar kota untuk urusan bisnis dan sepupuku Sasori juga sedang menginap di rumah temannya. Itulah mengapa aku sendirian.

Saat itu aku berumur lima tahun dan masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian di rumah yang sangat luas. Aku hanya dapat meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk taddy bear kesayanganku. Tubuhku bergetar ketakutan saat mendengar suara petir yang menyambar dengan keras. Seolah mereka menyambar-nyambar diatas kepalaku. Apa lagi saat itu semua lampu padam, tak ada sedikitpun cahaya yang ada hanya sinar petir yang menakutkan.

Dan kesalahan itupun dimulai, Saat kusembunyikan wajahku di balik boneka kesayangan milikku, aku merasakan kehangatan dari tangan seseorang yang menjalar dari punggung tanganku. Tangan itupun mulai merambat kepunggungku dan memeluk tubuh mungilku. Kehangatannyapun mulai merasuki diriku. Hingga…

“Jangan takut aku disini…” bisikan halus tepat di telingaku dan hembusan napas yang dihembuskan ke tengkukku. Akupun diam membeku.

“Jangan takut, aku temanmu Sakura-sama”. Teman? Temanku?. Siapa? Ingin kupastikan siapa dia. Namun rasa takut lebih kental daripada rasa ingin tahuku. Sasuke? Tapi tidak mungkin jika dia. Naruto? Tidak mungkin dia ada di Amerika sekarang. Lalu siapa? Akupun tidak berani melihatnya dan semakin kutenggelamkan wajahku ke boneka itu.

“Itu hanya sebuah petir yang menyelingi hujan. Bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi kau tidak perlu sampai setakut ini” ucapnya menghiburku. Tentu saja dengan berbisik seperti sebelumnya.

“Ibu… Ayah…” gumamku.

“Aku temanmu. Neil…” Akupun tertegun sesaat saat mendengarnya. Neil. Itukah namanya? Akupun mulai memberanikan diri untuk menatap dirinya. Dan senyuman menenangkan di wajahnyalah yang pertama kulihat.

“Neil…” kuulangi namanya dan saat itu pula senyumannya semakin lebar. Neilpun memelukku kembali dan terus berkata jika kami teman dan menenangkan diriku agar tidak ketakutan lagi.

Itulah awal pertemuan kami dan awal dari bencana dalam hidupku…

***

“Sakura hari ini ayah dan ibu akan pergi untuk perjalanan bisnis selama sebulan jadi-”

“Hn aku tak apa. Jadi tenanglah ok!” potongku saat ayah mulai menjelaskan maksud dinner keluarga ini.

“Saku sayang jangan memotong ucapan orang tua ya? Itu tidak sopan” tegur ibuku halus sambil mengelus kepalaku.

Secara perlahan kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Aku tidak pernah menyukainya. Mereka seolah menyayangiku namun nyatanya mereka mengacuhkanku selalu.

“Tolong jangan seperti ini bu. Aku bukan anak kecil lagi.” jelasku sambil memotong steak di hadapanku.

Brakk…

“Haruno Sakura!” bentak ayahku padaku saat melihat perilaku putri semata wayangnya ini. Terlihat dengan jelas jika nafsu makannya hilang seketika itu juga, Wajahnya mulai memerah karena marah dan kedua alisnyapun mulai bertaut tanda tak suka.

“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar dulu. Terima kasih atas makanannya.” ujarku sambil membungkuk tanda hormat  kepada mereka sebelum  aku melenggang pergi dari ruang makan. Saat aku mulai menaiki tangga sempat kutolehkan wajahku kearah kedua orangtuaku. Kesal, sedih, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu dan terukir jelas di wajah mereka. Tapi, apa peduliku? Kutatap datar mereka dan melenggang pergi ke kamarku di lantai dua.

Kubaringkat tubuh sintalku di kasur empuk milikku. Aku mulai memandang langit – langit kamar. Lelah. Itu yang kurasakan sekarang. Kuletakkan tanganku menutupi  sinar lampu yang menyilaukan.

“Ada apa? Bertengkar lagi?” tanya seseorang di sampingku. Neil?.

“Kenapa?” tanyanya lagi tepat di telingaku. Kuturunkan tanganku dan kutolehkan kepalaku ke samping. Dapat kulihat senyumnya yang hangat dan mata penuh rasa ingin tahu.

“Seperti biasa” jawabku seadanya sambil tersemum melihatnya. Karena kurang nyaman dengan posisiku akupun mengubah posisiku berbaring menyamping menghadap Neil.

“Oh,.” Komentarnya mengerti. Diapun menatap lekat diriku. Tangannya mulai memaikan ramput bubblegumku seperti biasa. Dan itu tidak membuatku terganggu. Entah kenapa.

Kuperhatikan wajah pria dihadapanku ini dengan lekat. Rambut hitam arang yang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu. Tak ada yang bisa membuat diriku berpaling darinya, dari Neil.

“Lihatlah dirimu hime… Untuk kesekian kalinya aku tahu kau menatap diriku penuh nafsu hahaha” ucapnya sambil terkikik tidak lupa dengan jari telunjuknya yang mencolek - colek pipiku.

“Tidak! Aku tidak melihatmu penuh nafsu kok!” belaku. Aku merengut saat melihat ekspresi Neil yang tidak percaya pada ucapanku. Melihat hal itu Neil terkekeh.

“Neil?”

“Ada apa hime?”

“Kau tidak akan meninggalkanku kan?” Neil menggeleng kepalanya dan berkata.

“Tidak akan pernah aku pergi meninggalkanmu sendirian. Kitakan sahabat. Aku janji” ucapnya mantap sambil mengacungkan jari kelingkingnya tanda perjanjian dan akupun menautkan kelingkingku tanda persetujuan dariku.

Setelah itu Neil semakin sumringah dan memelukku erat. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dipeluk olehnya. Neil sahabat terbaikku.

** *

Tanpa Sakura sadari di balik pintu kamarnya Tuan dan Nyonya Haruno mendengar semua yang dia ucapkan. Ibunya menitikkan air mata tanda kesedihan dan ayahnyapun memeluk sang istri mencoba menenangkan. Karena tidak kuasa dengan apa yang terjadi merekapun kembali ke kamar tidur mereka.

***

Sebulan telah berlalu dan kini keluarga Haruno berkumpul kembali namun bukan di rumah megah mereka tapi di suatu tempat yang asing bagi Sakura.

“Dimana kita?” tanyanya pada sang ibu yang sedari tadi merangkulnya.

“Nanti kau juga tahu nak.” jawab sang ayah yang masih berjalan dibelakang mereka. Terlihat jelas diwajah Kizashi  kegusaran yang teramat dalam namun inilah jalan terakhir. Demi dia, putri tercintanya.

“Kizashi sama?” panggil seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu besar bercat hitam. Tangannya melambai pada Kizashi dan dibalas dengan anggukan.

Saat Sakura sekeluarga sampai dihadapannya. Wanita paruh baya itupun menyodorkan tangannya pada Sakura. Bigung. Pelan tapi pasti Sakura mulai menyodorkan tangannya untuk menyalami wanita dihadapannya. Namun…

‘Jangan!’ Neil?!. Mata Sakura terbelalak kaget. Dia yakin itu suara Neil sahabatnya.

Dia mulai menoleh kesana kemari mencari Neil. Namun nihil Neil tidak ada. Apa itu hanya khayalan Sakura saja?. Mungkin. Tapi, hatinya mulai gusar. Dia sangat yakin itu tadi sara Neil.

“Ada apa?” tanya wanita di hadapannya. Seolah dia tahu kegusaran Sakura.

“Tidak. Tidak apa” jawab Sakura sedari menoleh ke belakang mencari Neil.

“Kalau begitu ayo masuk” ajak wanita itu. Sakura sekeluargapun memasuki ruangan yang berada dibalik pintu besar bercat hitam. Sesaat Sakura mulai terpesona melihat interior ruangan tersebut. Sangking terkagumnya Sakura tidak sengaja menabrak guci besar di depannya. Namun dengan cepat ditanggap oleh sang Ayah.

“Hati – hati Sakura.” ujar sang Ayah. Sakura hanya mengangguk dan mengatakan, “Sumimasen”.

“Daijobu, duduklah dulu.Ah ya namaku Senju Tsunade tadi kita belum sempat berkenalan kan? Aku kawan lama ayahmu Saku-chan” ujar wanita bernama Tsunade itu.

Sen-ju Tsu-na-de sepertinya nama itu tidak asing bagi Sakura. Sakura mengernyit bingung. Dan saat itupula tanpa sengaja dia melihat sebuah foto yang cukup besar di pojok ruangan. Tapi, sayang foto itu ditutup dengan kain sehingga hanya terlihat wajah Tsunade saja.

Tsunade yang elihat rasa penasaran Sakura langsung mengikuti arah pandangnya. Diapun tersenyum lalu berkata, “Apa kau penasaran dengan foto itu?”.

Sakura yang kaget saat itu langsung menunduk dan merona.’Aish ketahuan malunya.’ Melihat itu Wanita berbaju hijau itupun tertawa lepas.

“Hahahahahahahaha… tidak apa jika kau memang penasaran sayang. Sudah biasa kok. Hahahaha” ujarnya disela-sela tawanya.

“Ah, ya jika boleh tahu kenapa aku diajak kemari?” tanya Sakura yang mulai sebal dengan sikap wanita di hadapannya ini.

Sekejap kemudian semua diruangan itu diam tak bersuara. Kizashi beserta sang istri membungkam diri, mereka takut untuk mengatakannya. Tsunade yang sedari tadi tertawapun diam dan menatap tajam kearah Sakura.

“Haruno Sakura” panggilnya. Wajahnya tampak serius menatap Sakura yang mulai tegang. ‘Ada apa ini? Kenapa suasananya berubah menjadi setegang ini?’ piker Sakura.

“Sudah lima belas tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Ini kali pertama kita bertemu kembali.”

“Ha? Lima belas-tahun?”

“Sepertinya kau tidak ingat aku. Hah, tapi wajar jika kau lupa padaku dan segelku terlepas. Seandainya aku tidak membawamu ke rumah itu kau pasti hidup normal sekarang” jelas Tsunade yang membuat Sakura semakin bingung.

“Apa maksudmu nyonya? Ibu? Ayah?” Sakura mencari kejelasan pada mereka yang ada di sekelilingnya. Namun… dapat dilihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh sesal dan sang ibu yang hamper meneteskan wajahnya.

Brakk… Sakura menggebrak meja. Dia mulai kesal dengan apa yang terjadi. Dilangkahkan kakinya kearah pintu besar itu. Tak dipedulikannya ketiga manusia itu dia ingin keluar dan pulang melupakan keanehan hidupnya hari ini.

“Tidakkah kau penasan dengan foto itu?” hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Tsunade langkah kaki Sakura berhenti seketika. Dia penasaran amat penasaran namun dia juga harus secepatnya pergi dari sini. Gagang pintu sudah ada dipegangannya lalu apa lagi yang perlu dipikirkannya.

“Neil. Tadayama Neil. Kau mengenalnya?” Deg. Secepat kilat Sakura langsung menoleh kearah wanita berambut pirang yang duduk di sofa penjang itu.

“Siapa kau? Bagaimana bisa kau…”

Tsunade menatap gadis bubblegum itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam. Bagaimana tidak? Karena dirinya seorang gadis muda harus menerima ikatan yang tidak seharusnya. Ikatan iblis yang memakan jiwanya secara perlahan dan membawanya kedunia bawah yang mengerikan.

“Aku Senju Tsunade . Aku penjaga Neil.” ujarnya penuh penekanan.

Bingung. Itulah yang dirasakan Sakura saat ini. Bagaimana tidak syok coba? Jika wanita yang mengaku kawan lama ayahmu sekarang mengaku kalau dia seorang penjaga dari sahabatmu. Dan lagi bagaimana bisa dia mengenal sahabatnya Neil dan nama panjangnya padahal dirinya saja tidak tahu nama panjang Neil. Tapi, tapi, bagaimana bisa? Argh!

“Sakura…” panggil Tsunade sendu. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di hadapan Sakura. Sementara Sakura yang masih berdiam diri di depan pintu kembali menatap Tsunade penuh tanya dan bingung.

“Aku tahu kau bingung bagaimana bisa aku mengenal Tadayama Neil.” Secara otomatis Sakura mengangguk. Tsunade menghembuskan nafas beratnya.

“Ini sudah pada batasnya dan kau harus tahu hal penting ini Sakura.” Tsunade mulai berjalan sambil menarik Sakura agar mengikutinya. “Bukankah kau penasaran dengan foto besar ini?”

Sakura diam dan menoleh kebelakang melihat ayah dan ibunya. Merekapun menatap Sakura penuh kasih dan cinta. Sang ibu mengangguk pada Sakura seolah berkata ‘ayo nak’. Dia menoleh dan menatap bingkai foto besar dihadapannya.

Kain hitam itupun ditarik oleh Tsunade dan semakin terlihat jelas foto siapa saja itu. Di dalam foto itu dapat dilihat Tsunade berdiri di tengah-tengah dua orang pria dewasa yang entah siapa itu. Lalu didepan mereka bertiga ada sosok pria muda berambut hitam arang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu.

“Itu aku dan kedua suamiku. Yang rambut hitam panjang itu bernama Orochimaru sedangkan pria berambut putih panjang dan berantakan itu bernama Jiraiya. Dan pemuda yang duduk dihadapan kami adalah…”

“Ne-il” potong Sakura yang menatap lekat foto pemuda itu. Wajahna mengeras, tangannya mengepal menahan amarah.

‘Pergi Sakura. Pergilah dari sana Sakura!’ Secepat kilat Sakura menoleh kebelakang setelah mendengar suara itu.

“Neil!” Panggilnya. Sekarang dia semakin yakin jika sahabatnya itu ada disini. Tapi kenapa dia tidak dapat melihatnya.

“Kau dimana Neil? Keluarlah!” ujar Sakura sambil mengelilingi ruangan dan sesekali menengok kesana kemari. Melihat hal itu Kizashi dan istrinya mencoba menghentikan Sakura dengan memeluknya.

“Hentikan Sakura! Dia tidak ada Sakura! Tidak ada!” yakin Kizashi pada sang putri yang memberontak di pelukannya. Sakura menoleh pada sang ayah dan menatapnya dengan rasa benci.

“Memang siapa kau berani-beraninya melarangku?! Hanya karena kau ayahku bukan berarti kau bisa bicara seperti itu!” ujar Sakura sinis pada sang ayah. Kizashi dan istrinyapun kaget mendengan ucapan putri mereka. Sementara Tsunade menatap nanar gadis yang memberontak itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus mencari Neil!”

“Apa yang dikatakan ayahmu benar Sakura. Neil dia tidak ada. Dia sudah mati” Jelas Tsunade sambil memegang kedua bahu Sakura mencoba meyakainkannya.

Deg. Syok. Sakura berhenti berontak. Dia diam seketika setelah mendengar itu. Matanya membulat kaget, mulutnya terbuka kaku seolah sulit untuk berbicara.

“Neil yang kau lihat setiap harinya. Yang ada di sampingmu selama ini hanyalah bayangan Sakura. Dia tidak nyata” Tsunade mulai menangis saat mengatakannya. Sementara ibu dan ayahnya telah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

Sakit. Itu yang Sakura rasakan sekarang. Dipegangnya dada kirinya sakit dan perih itu bercampur menjadi satu. Kecewa dan sedihpun telah meluap menjadi tetesan air mata yang mulai merembes keluar dari kelopak matanya membanjiri pipi putihnya. Sakura hanya dapat meringis menghadapi kebodohan dirinya saat ini.

***

Sementara itu dapat kita lihat terdapat sosok gelap di atas pohon maple berdiri dengan aura hitam terpancar dari seluruh tubuhnya. Wajahnya sangat datar namun terlihat jelas jika dia sangat marah. Matanya memancarkan semua emosi itu.

“Tsu-na-de” ucapnya lirih.

Awan hitam muncul entah darimana, berkumpul menutupi sang mentari yang indah. Diikuti dengan suara guntur yang menggema dan kilat yang mulai menyambar-nyambar.

“Rasakan akibatnya jika kau mencoba merebut milikku” ujarnya dengan evilsmirk yang terpahat dibibir sexynya. Melunturkan senyum ceria yang biasa menjadi kekhasan dirinya.

***

Tsunade menoleh kearah jendela. Dapat dirasakan olehnya bahaya yang akan muncul sebentar lagi. Aura khas yang hanya muncul dari seseorang yang paling dikenal olehnya. Orang yang telah tiada lima puluh tahun yang lalu. Tadayama Neil.

Prang… Pyar… Seketika itu pula semua kaca dan guci yang ada diruangan itu pecah begitu saja. Semua orang termasuk Sakura kaget dan mulai takut. Dan berlanjut dengan barang-barang yang mulai terbang sendiri tidak ada yang mengendalikannya. Namun anehnya hanya benda-benda tajam yang melayang. Ada apa ini? Ada apa lagi?

Sakura mulai pening dengan keanehan ini. Kenyataan pahit yang dialami olehnya. Dan masih menjadi misteri dalam kehidupannya. Tapi ada hal yang masih dia bingung lalu Neil itu apa?

“Tsunade san. Lalu siapa Neil?” tanya Sakura  yang masih linglung kurang memahami bahaya yang akan datang. Sementara  ibu dan ayahnya hanya dapat tepuk jidat karena kurang pekanya putri mereka. Tsunade menghela nafas maklum dan akan menjawab namun…

Angin berhembus kencang ke dalam ruangan tersebut dan dapat dilihat bayangan seseorang yang berdiri diatas pagar pembatas sambil menyender pinggiran jendela. Tak lupa dengan evilsmirknya.

“Ohayo minna…” sapa sosok itu. “Dan ohayo Sakura sama” lanjutnya sambil menatap Sakura yang terpaku padanya. Setelah membungkuk sebagai tanda hormat sosok itu kembali keposisi tegapnya dan menoleh kearah Tsunade dengan menatapnya penuh benci.

“Hmm… Lama tak berjumpa obasama. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil mendekati Tsunade yang semakin mundur saat didekatinya. Dan berhenti tepat didepan Sakura dan orangtuanya.

“Ah ya ini juga kali pertama kita bertemukan? Maaf atas ketidak sopananku” ucapnya sambil membungkuk hormat pada Kizashi dan istrinya yang menatapnya takut. Sementara Sakura menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

Kesempatan. Tsunade mengambil salah satu pedang yang melayang dan menebas sosok yang membelakanginya tersebut namun… Prang! Pedang itu jatuh dan patah menjadi dua sebelum mengenai punggung sasarannya. Semua orang kaget termasuk Sakura. Mereka melihat Tsunade yang tak berdaya ada dicengkraman sasarannya tersebut.

“Inikah caramu menyambut kawan lama? Tsu-na-de” ujar sosok itu sambil mencekik leher wanita berkuncir dua itu. Tsunade hanya mendecih tak suka dengan sebutan ‘kawan lama’ dari sosok dihadapannya ini.

“Siapa kau?” pertanyaan itu memecah ketegangan yang ada diantara Tsunade dan sosok itu. Dan pertanyaan itu berasal dari balik punggung sosok tersebut yang sekarang memegang senjata berupa katana.

Kaget. Tentu saja. Setelah lima belas tahun lamanya mereka bersama bagaimana bisa sosok gadis ini melupakannya. Bercanda dia. Dilepaskannya cengkramannya pada kawan lamanya Tsunade dan berbalik menghadap gadis miliknya itu. “Sakura…” panggilnya.

Hening. Tak ada jawaban.

“Sakura. Ini aku” ucapnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak ada respon. Dia menghela nafas dan tersenyum maklum.

“Sakura ini aku Neil. Sahabatmu hime. Lupakah dirimu padaku?” ujarnya kembali sambil berusaha mendekati Sakura yang terus berjalan mundur sambil menghunuskan pedang kearahnya dengan setianya.

“Sakura turunkan pedangmu. Ini aku Neil” perih. Rasanya perih sekali saat melihat wanita yang kita puja tidak menghiraukan kita.

“Siapa kau?” mengakhiri kebisuannya. Dengan tatapan tajam dan tetap menghunuskan pedang kearah pemuda itu. Dapat dilihat kekagetan yang terpancar dari wajah rupawan Neil. Rahnggnya mulai mengeras pertanda amarahnya sudah diujung tanduk.

Neil mendesis tak suka dengan pertanyaan itu. Dia sudah muak dengan semua ini. Kenapa disaat dia akan hidup kembali menjadi manusia dia harus menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh penjaga brengseknya, Tsunade!

“Aku Neil. Tadayama Neil. Sahabatmu.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata.

“Siapa kau?” tanya Sakura lagi.

“Neil. Sahabatmu” jawab Neil sambil menatap Sakura tajam.

“Sekali lagi aku tanya padamu. SIAPA KAU?!” bentak Sakura penuh emosi menanyakan siapa dirinya. Diam. Semua orang diam saat mendengar bentakan Sakura yang sarat akan amarah.

Cukup. Neil tidak dapat menahannya lagi. Ditatapnya gadis kesayangnnya itu penuh kasih.

“Aku Neil, sahabatmu yang selalu ada untukmu. Yang selalu menemanimu dikala senang maupun sedih. Yang selalu memelukmu setiap malam. Yang selalu menghapus air mata yang keluar dari mata indahmu. Yang…”

“Selalu menghisap jiwaku setiap malam demi kehidupanmu. Benar?” potong Sakura. Ya Sakura sadar sekarang kesalahan besar dalam hidupnya.

“Neil…” ucapnya sendu. Sementara sosok yang dipanggil hanya diam tanpa suara. Nyatanya rahasia terbesarnya terbongkar sekarang.

“Aku…” air mata mulai jatuh membasahi pipi Sakura lagi.”Membencimu…”

Deg.

Prang… Prang… Prang…

Tak bisa. Tidak akan bisa. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sakura adalah miliknya. Sakura tidak boleh membencinya. Sakura adalah jembatan kehidupan keduanya. Tak bisa…

Kalau Sakura tidak mau menjadi miliknya. Maka kematian adalah pilihannya.

“Kalau begitu matilah…” ucapnya lirih sambil menyerang Sakura. Jleb.”Aaagh…” suara rintihan kesakitan itu menggema hingga keluar. Darah mulai mengalir dengan deras membasahi tubuh dan lantai disekitarnya. Semua terpaku kaget. Bahkan Neil.”Tidaaakkkkkk.…!!!!!!!!!!!!!” Suara gutur melengkapi jeritan tangis itu. Kilat menyambar-nyambar di atas rumah itu. Hujan turun semakin deras meredam jeritan-jeritan pilu yang menyayat hati. Langit menjadi saksi pengorbanannya untuk keluarga tercintanya.

***

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu Sakura…” ujar Kizashi pada sang putri tercintanya.

“Maaf jika kami membuatmu selalu kesepian Sakura” timpal Mebuki.

“Ini adalah pengorbanan yang impas untuk membalas kesedihanmu.” Ucap mereka.

‘Seandainya saja aku lebih memahami mereka…’

‘Mungkin mereka tak akan pergi’

***

“Hoi Sakura! Hoii” suara cempreng dari seorang pemuda membangunkannya dari kenangan masa lalunya. Pemuda pirang  yang membungkuk sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sakura menatap penuh tanda tanya. Dan berucap “Kau kenapa melamun?”

“Sakura memikirkan bagaimana caranya memberi pelajaran pada kalian berdua!” sentak Ino pada dua pemuda dihadapan mereka ini. Sementara Sakura, hanya diam melihat pertengkaran Ino dan Naruto. Sementara Sasuke masih menatap Sakura lekat seolah meminta kejelasan.

“Aku hanya rindu mereka saja hehehe” jawab Sakura sambil cengengesan.

“Hn” jawab Sasuke sambil duduk di samping Sakura “Maaf soal kemarin”

“Hn. Daijobu” ucap Sakura sambil tersenyum pada Sasuke.

Inilah hidupnya sekarang. Dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu ada untuknya. Walau dia hidup sendiri sekarang tapi rasanya masih terasa hidup bersama keluarga.

‘Neil, aku merindukanmu… Sahabatku….’

24 - 30 Desember 2015

Jumat, 22 Mei 2020

Aisyah untuk Faaris

Cerita kali ini kiriman dari "Riend Humairah". Saya ucapkan banyak terima kasih atas ceritanya. Sudah saya baca dan ceritanya sangat menarik sekali. Alurnya jelas, kalimatnya sederhana, mudah dipahami dan yang paling penting dari cerita ini adalah hikmahnya. Bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak muda yang saat ini sedang mencari jodohnya.

Pokonya ceritanya baguss banget deh. dan katanya lagi, ini cerita kisah nyata. Yuk di simak.

* * * * * * * * * *

Aisyah Untuk Faaris

“Masya Allah dia tampan sekali Aisy” Shifa menyikutku tampak dibinar matanya sorot kekaguman yang luar biasa pada sosok pria yang berdiri tegak didepan lapangan  sedang memberikan kultum dipagi jumat ini. Dia Faaris Salam, murid kelas X11  Ipa 1 yangmost wanted di MA Miftahul Huda ini. Selain paras yang menawan, kak Faaris_biasa aku memanggilnya_juga seorang ketua Rohis dan hafiz Qur’an serta pemegang juara satu umum semester kemarin. Bisa disimpulkan untuk jatuh cinta pada kak Faaris bukanlah hal yang sulit.

“Jadi untuk sahabat-sahabatku yang dirindukan surga, jatuh cinta itu merupakan fitrah seorang hamba, kita sebagai remaja yang sedang berjuang untuk dirindukan surga,jangan menodai fitrah cinta tersebut . Jatuh cinta itu enggak perlu diumbar,karena tulang rusuk itu enggak akan tertukar“  Kak Faaris memberikan kesimpulan kultum nya pagi ini yang bertema“Jatuh cinta ala remaja yang sedang berjuang untuk dirindukan surga”. Aku bisa melihat sorot kekaguman dari beberapa pasang mata sahabat-sahabat ku. Tak terkecuali Shifa.

“Aaaa Aisy dia keren banget Aisy, semoga calon masa depan aku ya Aisy hihihi“ aku hanya menggeleng melihat polah Shifa yang lagi terserang virus merah jambu, salah tingkah. Melihatku yang tanpa berkomentar, Shifa lagi-lagi menyikutku “Aamiinin dong” rajuknya yang bikin aku mau tak mau menarik bibir mengadiahi Shifa dengan lengkungan kecil dibibirku..

“Aamiin”.

Kak Faaris itu kalau dibikin metafora seperti bintang sirius di rasi canis mayoris. Dia bersinar terang diantara bintang lainnya, dan semua orang mengagumi cahaya birunya, termasuk aku. Bergabung dibawah organisasi yang sama yaitu rohis,sedikit banyak nya membuat perasaan ku pada kak Faaris bertambah setiap harinya. Aku tak memungkiri bahwa aku juga merasakan apa yang Shifa rasakan bahkan mungkin semua akhwat disekolah ini. Lagipula aku sudah pernah bilangkan jatuh cinta pada kak Faaris itu bukanlah hal yang sulit?

Ini merupakan tahun terakhir kak Faaris di sekolah ini, tinggal menghitung hari lagi pengumuman kelulusan untuk kelas X11. Sementara aku masih harus menunggu setahun lagi untuk merasakan momen deg-degan menanti kelulusan karena aku masih duduk dikelas XI. Aku mendengar bahwa kak Faaris diterima di universitas Al-Azhar Mesir untuk program studi tafsir hadist. Kami memberikan ucapan selamat pada kak Faaris sore ini yang diwakilkan olehku sebagai ketua keputrian karena wakil rohis__kak Fudho tidak bisa hadir.

“Tahniah buat kak Faaris, semoga nanti nya ilmu yang didapat bisa bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Dan doakan juga ya semoga kami juga bisa menyusul langkah kak Faaris, Barakallahu” ucapku mewakili anggota rohis menyampaikan selamat. Rasanya jantungku berdetak berkali-kali lipat dari biasanya hanya karena aku menyebut namanya. Memang interaksi ku dengan kak Faaris jarang sekali. Karena aku berada dalam keputrian. Dan bisa dihitung jari aku menyebut namanya itupun mungkin ketika rapat seluruh keanggotaan rohis.

“Ya Allah yang menggenggam hatiku, jika dia jodoh hamba dekatkanlah, jika dia bukan jodoh hamba beri hamba kekuatan untuk menerima kenyataan Rabb..”

“Aisyah, jadi datang gak nih akikahan Nizam?” aku mendengar Shifa merengek-merengek diujung telepon seperti bayi. Aku tertawa. Besok Shifa akan melaksanakan akikah untuk putra pertamanya dengan Arsil. Aku merasa bersalah karena tidak hadir dimomen bahagia Shifa. Bukan enggak mau tapi waktu itu aku dikirim ke Palestina sebagai tenaga medis untuk rumah sakit Indonesia yang dibangun di distrik Beit Lahiya Gaza Utara. Ku dengar Arsil adalah pria yang baik dan soleh. Saat ini Arsil bekerja  sebagai Sistem Analis di perusahaan Google, Jakarta.

“Insya Allah”sahutku, aku mendengar Shifa berteriak senang diujung sana.

“Insya Allah apa dulu nih? Insya Allah iya apa enggak?” lagi-lagi Shifa merajuk. Ya ampun udah  nyaris kepala tiga, Shifa masih aja suka merajuk.

“Insya Allah iya sayang” ucapku geram menahan tawa.

“Ditunggu loh ya, sekalian bawa calon nya  “ Shifa menggoda diujung sana, aku hanya bisa tertawa.

" haha,udah dulu ya Aisy nelpon kamu kena roaming internasional mulu, kamu sih jauh banget, assalamualaikum sahabat cantikku” Shifa menutup telponnya.

Aku terlambat menyadari bahwa aku nyaris kepala tiga. Semua sahabat-sahabatku di MA hampir sudah menikah, termasuk Shifa. Bahkan yang lain ada yang sudah punya anak tiga,sedangkan aku ?

Jujur saat ini aku masih mengharapkan kak Faaris meskipun seperti mengharapkan matahari terbit dipucuk senja. Sejak aku mewakili untuk mengucapkan selamat pada kak Faaris dua belas tahun lalu, aku enggak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Barangkali dia sudah menikah dan dikeliling malaikat kecilnya. Lagipula wanita mana yang tidak akan naksir dengan pria seperti kak Faaris yang nyaris sempurna.

Bukannya aku menutup hati untuk pria lain, aku pernah hampir menikah lima tahun lalu, abah menjodohkan ku dengan seorang putra kiyai, tapi namanya tidak jodoh, kami memutuskan tidak jadi melangsungkan pernikahan karena dia sudah memiliki pilihan dan aku pun belum siap untuk menikah.

Sesuai janji ku pada Shifa, aku mengambil cuti beberapa hari dan mengambil penerbangan dari Mesir.

“Masya Allah Aisyah, kamu cantik sekali” puji Shifa sembari memelukku seerat mungkin, dia tidak peka kalau aku hampir kehabisan nafas karena pelukannya.

Shifajuga tidak banyak berubah, masih Shifa ku yang dulu hanya saja badannya agak gemuk,mungkin efek usai melahirkan.

“Mas ini kenalkan sahabat aku yang sering aku ceritain ke kamu” aku menegang melihat siapa yang berdiri didepan ku saat ini.

“Aisyah”ucapku gugup. Demi Allah Arsil mirip sekali dengan kak Faaris. Aku hampir tidak bisa mengontrol diri.

“Ayo masuk Aisy, Nizam lagi nunggu tante Aisyah nih” celoteh Shifa sembari mengajakku masuk kekamar Nizam. Akikahan Nizam sudah selesai dua jam lalu. Lagi-lagi aku ketinggalan momen bahagia Shifa karena pesawatdelaybeberapa jam.

“kamu pasti syok kan ngelihat mas Arsil tadi? Hihi dia emang mirip banget sama adiknya”ucap Shifa sembari mengambil Nizam dari ayunan

Aku menggendong Nizam dan mencium puncak kepala bayi berusia 40 hari tersebut.  Aku menautkan alis mendengar guyonan Shifa.

“Ingat gak Aisy, kak Faaris yang aku sukai dulu ternyata dia adik nya Mas Arsil haha, lucu ya Aisy, aku suka nya dulu sama kak Faaris eh jodoh malah sama abangnya.” Shifa tertawa. Aku diam beberapa saat. Ingin sekali aku bertanya kepada Shifa apakah kak Faaris sudah menikah, namun pertanyaan itu hanya terkulum dibibir.

“Berarti doakamu terkabul dong, ya walaupun gak sama kak Faaris tapi yang penting persis” ucapku tertawa menimang-nimang Nizam, aku sedang mencoba menetralkan perasaanku.

“iya Aisy, eh ngomong-ngomong kamu udah punya calon belum?” kan kan, Shifa lagi-lagi menggodaku. Aku hanya mengendikkan bahu. Sesuatu yang hangat mengalir di baju gamisku.

"Yah dede Nizam nakal nih sama tante, baru ketemu udah dipipisin aja " aku buru-buru mengganti popok Nizam, sekalian mengalihkan jejeran pertanyaan Shifa yang bikin hati nyesek.

“Bagus deh kalo belum, soalnya ada yang nungguin kamu dari dulu” ujar Shifa tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan maksud Shifa. Otakku keburu lemot.

“Yuk,,aku kenalin sama keluarga mas Arsil” Shifa mengajakku keluar dari kamar Nizam. Tadi aku hanya sempat berkenalan dengan mas Arsil karena Shifa langsung mengajakku kekamar Nizam.

Tiga meter dari jarak aku berdiri saat ini, aku bisa melihat kak Faaris tersenyum. Senyumnya masih sama seperti dulu, senyum pengantar pagi milik kak Faaris__menyejukkan. Rasanya kakiku mendadak jadi jelly. Kenapa aku jadi semenye-menye ini? Kecewekan sekali. Selesai menyalami ibu dan mertua Shifa yang tak lain adalah ibu kak Faaris, aku mendadak jadi kaku. Semuanya malah pergi kedapur meninggalkan aku sendiri dengan kak Faaris yang duduk didepanku. Satu detik dua detik tidak ada percakapan yang terjadi. Padahal begitu banyak pertanyaan yang tersetting dikepalaku seperti ‘Gimana kabar kakak?’ atau ‘Kakak sekarang kerja dimana?’ atau pertanyaan yang bikin hati jleb sendiri ‘Istri kakak mana, kenalin dong’. Tapi semuanya tertahan dikerongkongan.

“Dik Aisyah apa kabar?” kak Faaris memecah keheningan. Aku gugup sekali. Perasaan ku campuraduk.

“Alhamdulillahkak, baik, kakak sendiri gimana?” ucapku sekedarnya. Aku tidak berani menatap mata kak Faaris, takutjika akhirnya aku malah tenggelam dalam mata hujannya.

"Insya Allah kalau dik Aisyah baik, kakak juga baik" demi apa dengan kalimat ini sajaa sanggup membuat ku melayang diudara. senyum pengantar pagi ala kak Faaris terbit lagi, membuat ku menggigil karna begitu menyejukkan.

“Oh ya istri kak Faaris mana? Kenalin dong hehe?” akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibirku diselingi tawa yang terdengar aneh sekali.

“Istri?” bibir kak Faaris berkedut menahan senyum.

“Saya sedang menunggu seseorang pulang dari Palestina” ucapnya, aku mengerjap-ngerjapkan mataku takut jika ini mimpi. Rasanya ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap nya diatas kepalaku dan ribuan daun waru khas musim semi berguguran diantara kami berdua.

“ha?” aku masih tidak mampu mengontrol hormon dopamin ku yang sedang menguar. Kak Faaris tersenyum lagi.

“Iya, mau tidak dik Aisyah menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita kelak?” aku mengangguk tersenyum dan menangis bahagia.

“jatuh cinta itu enggak perlu diumbar ukhti, cukup hanya kita dan Allah saja yang tahu. Jika kamu benar-benar tulang rusuknya yang hilang, dia tidak akan berpaling, karena Allah akan mengantarnya untuk menjemput tulang rusuknya yaitu kamu”

Written by: Riend Humairah

Hanya Aku Yang Tahu

Artikel kali ini dikirim dari "Sayyidah Umayah". Sebenarnya ada beberapa artikel kiriman pembaca yang agak saya kurang pahami perihal nama. Ada satu email mengirimkan beberapa cerita tapi nama lengkap dan nama penulisnya berbeda. Untuk diketahui bersama bahwa pada form kirim cerita, nama lengkap seharusnya di isi dengan nama pengirim cerita ya, bedakan dengan nama penulis. Kecuali memang karangan sendiri, nama lengkap dan nama penulis mungkin akan sama.

Oke, kita lanjut aja ke cerita berikutnya ya ini kiriman dari email yang sama dengan cerita sebelumnya yaitu "Aisyah Untuk Faaris". Kali ini judulnya "Hanya Aku Yang Tahu". Semoga kisahnya inspiratif lagi ya pembaca. Yuk disimak lagi.

* * * * * * * * * *

Hanya Aku yang Tahu

Setiap accident pasti membuat perasaan menjadi tidak baik. Karena pagi itu aku harus segera hadir dalam seminar yang diadakan di salah satu Universitas di daerah ku. Aku harus buru-buru karena waktunya sudah mepet dan tempat diadakan seminar sangat jauh dari tempat tinggal ku. Hal yang membuat aku harus buru-buru adalah pembicara seminar kali itu adalah seorang penulis novel yang sangat aku suka. Beliau adalah Bang TERE LIYE. Betapa kesempatan berharga ini jangan sampai disia-siakn. Jadi, jangan sampai ketinggalan sedikitpun.

“Maaf ya dek harus menunggu kakak?” hari itu saya pergi bersama junior saya yang menemani saya ke bengkel.

“Gak apa-apa kak, acara nya masih satu setengah jam lagi”, kata nya dengan penuh perhatian.

Setelah selesai urusan saya di bengkel, kami melanjutkan perjalanan. Membutuhkan waktu satu jam untuk pergi ke tempat acara seminar diadakan. Belum dihitung dengan macet, kecepatan dan lainnya.

Tepat pukul 08.15 kami sampai di tempat acara. Alhamdulillah acara belum di mulai.

Kami melakukan registrasi kehadiran. Dan mencari tempat duduk paling depan. Tapi kami dapat tempat duduk di tengah, karena yang paling depan sudah penuh.

“Tak apalah, yang penting masih bisa melihat bang Tere Liye dengan jelas.” Bathin ku.

Kami menikmati pembukaan oleh MC dengan suara yang bergema. Sambutan dari Presma yang hanya saya ketahui dari medsos betapa semangat beliau dalam orasi, ternyata beliau memang berwibawa dan semangat. Serta sambutan dan pembukaan dari rektorat yang syahdu beliau bawakan.

Acara pembukaan selesai, 15 menit waktu kosong. Ternyata kami menunggu bang Tere Liye menuju tempat seminar.

Suasana dingin, ditambah lagi keadaan kemanusiaan ku yang tidak bisa bersahabat. Takut ketinggalan seminar, aku menahan untuk panggilan alam. Tapi karena sudah tidak tahan, akhirnya aku pun keluar dari tempat duduk. Di temani adik ku untuk pergi ke belakang.

“Aduh kakak ni nanti kita ketinggalan lo” katanya kesal.

“Sebentar saja dek” kata ku memohon. Karena malu mau pergi sendiri. Dan akhirnya dia mau juga menemani. Tak lama di belakang, terdengar suara moderator yang lantang dan bersemangat yang menandakan bahwa bang Tere Liye membuat saya gugup dan semakin takut ketinggalan seminar bang Tere Liye. Adek saya di luar sudah teriak-teriak suruh cepat.

Pertama kali saya mendengar suara moderator, selain saya penarasan dengan wajah bang Tere Liye, saya juga penasaran dengan wajah Sang Moderator. Di depan cermin saya terdiam, berpikir dan menerka.

“Dari suara yang lantang dan penuh semangat sepertinya saya tahu siapa yang jadi moderator. Ah tapi bukanlah aku kan belum pernah dengar suaranya yang asli selain dengar suaranya dari youtube” Berbicara sendiri menerka-nerka di depan cermin. Aku tersadar ketika adikku berteriak pas di dekat telingaku. Kami pun kembali ke tempat duduk.

Dengan heboh aku berteriak kecil di tempat duduk selain bisa melihat wajah bang Tere Liye, tebakan ku benar, siapa orang yang jadi moderator pada saat itu. Dia adalah orang yang aku tahu, tapi bukan aku kenal. Senang sekali. Bisa secara langsung melihat 2 orang yang membuat ku penasaran selama ini.

“Tenang kak” kata adikku yang gantian terkejut karena kehebohanku.

Bagiku, aku tidak bisa tenang karena saat inilah aku melihanya dengan jelas. Dan itu membuatku tersenyum sepanjang acara.

“Kamu tidak tahu cerita tentang nya bagiku dek” gumamku sambil tersenyum.

***

Setahun lalu, aku mulai ingin mencari kenalan sebagai tempat tanya jawab mengenai apa yang harus dilakukan di tingkat 3 nanti, referensi perusahaan mana saja yang baik untuk tempat kerja praktik, apa saja yang harus dibuat untuk menyusun Tugas Akhir di dalam konsen ku yaitu Sistem Informasi, dan masih banyak lagi. Selain kenalan dari kampus, aku juga melanglang buana mencari teman di media sosial dari kampus lain, siapa tahu ada pengalaman yang berbeda. Selain pelajaran, mungkin bisa berbagi ilmu non-akademik, ilmu agama misalnya, atau ilmu politik, atau ilmu sosial dan masih banyak yang lain.

Aku mulai mencari dari grup di mana aku ikut bergabung di dalam nya. Dari banyak grup, aku memilih grup yang selama ini benar-benar memberi manfaat buat ku. Bukan grup yang hanya berisi status main-main.

Dari grup itu ada satu nama yang kupilih secara acak, entah karena kebetulan si pemilik akun kuliah di salah satu Universitas di daerah ku. Dari keterangan singkat profilnya, si pemilik akn juga mengambil konsen yang sama denganku yaitu sistem informasi. Bedanya beliau satu tingkat di atas ku. Beliau adalah Generasi 12. Setelah dipikir-pikir aku seperti stalker, tapi sebenarnya tidak. Aku berniat untuk tidak meminta pertemanan karena aku fikir nanti orang itu mengira aku jadi stalkernya. Terlalu terbawa perasaan. Saya hanya me-screenshot pin bbm beliau. Sampai sekarang pun belum pernah aku invite, yaa karena malu tadi.

Dari semua status dan foto yang diupload beliau, bisa diambil kesimpulan beliau adalah orang yang aktif. Dari foto dan status yang diuplod ada beberapa nama yang dicantumkan. Saya coba membuka satu nama.

Setelah masuk ke halaman dindingnya, aku membaca sedikit profilya, ternyata konsentrasi yang beliau ambil adalah Ilmu Komunikasi.

“Ehmm, beda konsentrasi, tapi gak apa-apalah, mana tahu ada info lain yang menarik”, ungkapku sambil terus menaik turunkan scroll pada laptop ku.

Dilihat dari semua yang diupload beliau, beliau pun adalah orang yang sangat aktif. Aku berfikir orang ini suka membaca, karena kata-kata yang tersusun rapi dan konsisten.

Sampai pada suatu foto, yang mungkin waktu itu foto lama si pemilik, bagi ku foto itu membuatnya terlihat seperti ustadz Felix Siauw. Tapi setelah tahu aslinya beliau jauh dari ustadz Felix Siauw. Terkekeh aku mengingatnya. Entah darimana ku lihat beliau mirip ustadz Felix Siauw.

Selain foto aku juga melihat ada pin bbm beliau, lagi-lagi aku hanya me-screenshot pin bbm beliau. Dan hasil itu hanya tersimpan di memori hp.

Sebulan berlalu, UTS sudah berlalu. Setiap tahunnya pada bulan Desember akan ada libur natal dan tahun baru. Liburan kali ini adalah kesempatan ku pulang ke rumah orang tua. Sudah lama tak pulang, membuat rindu harus terbayar pada liburan kali ini. Karena betapa sibuk adan padatnya jadwal perkuliahan di kampusku. Harus banyak menguras pikiran dan tenaga.

Seperti halnya semua mahasiswa yang pulang ke rumah. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan keluarga. Berlibur dengan keluarga, melepas rindu, membantu orang tua. Di mana menurut ku liburan adalah kesempatan untuk berbakti dan mengbdikan diri lagi pada orang tua. Karena sudah berbulan-bulan kita mengabdi dan berbakti pada tugas dan kegiatan perkuliahan. Sejenak melupakan perkuliahan, namun tidak sepenuhnya karena ada juga tugas liburan yang dibawa pulang ke rumah. Itu juga harus diselesaikan.

Setiap malam, aku dan ibuku biasa bercerita tentang masa-masa perkuliahan ku, beliau yang bercerita apa saja kegiatan beliau selama aku tak ada di rumah. Bercampur perasaan di dalam hati, bahagia dan terharu.

Ketika ibuku ke dapur, aku mengecek hp. Ada pemberitahuan di salah satu media sosialku. Aku buka dan melihat ada apa di dalam pemberitahuan.

“ibuuuuukkkkkk........ Coba sini sebentar!” aku berteriak karena terkejut dengan apa yang kulihat dipembertahuan.

“Ada apa, kok teriak-teriak” kata ibuku yang datang buru-buru dari dapur.

“Coba lihat buk, orang ini nge-add Dinda buk”. Dengan semangat kutunjukkan pemberitahuan itu pada ibuku.

“Emang kenapa sampai teriak begitu, ya sudah terima saja”, jawab ibuku enteng.

Memang selama ini aku bukan lah orang yang mudah menerima permintaan perteman yang diminta kepada ku. Aku akan melihat dulu ke dalam halaman diding mereka. Jika menurutku baik ya aku terima, jika membuat ku merasa terganggu lebih lagi aku tidak kenal ya sudah saya abaikan. Mungkin terdengar kejam, tapi ini suatu usaha perlindungan dan kenyamanan. Belum tentu juga orang yang aku terima esoknya memberi kenyemanan di dalam media sosial ku.

“Tunggu ya buk, aku mau cerita. Orang yang add aku ini dulu udah pernah Dinda lihat halaman dinding fb nya, terus dinda screen shot pin bbm nya. Tapi dinda gak berani meminta pertemanan dan menginvite pin bbm nya Dinda malu, nanti dikira dia Dinda jadi stalker nya. Tapi kali ini Dinda gak nyangka, ternyata Dinda yang diadd sama dia.” Ceritaku penuh semangat paa ibuku.

Pada akhirnya aku konfirmasi permintaan pertemanan beliau. Senang dan gak nyangka aja. Sampai sekarang masih bingung, kok bisa kebetulan yaa, aku yang dulu cuma liat-liat halaman dinding beliau, ehh malah beliau yang meminta pertemanan ke aku. Terbawa perasaan. Dasar wanita.

Setelah tahu, ternyata aku dan dia banyak bergabung di grup yang sama di media sosial tersebut. Beliau adalah orang yang aktif di BEM di kampusnya, memegang peran penting juga. Aktif dalam lembaga dakwah juga dan masih banyak lain. Dari situlah aku tahu betapa beliau sangat suka membaca, koleksi novelnya sudah sampai 200-an. Ehmm, gak sebanding dengan punya ku yang baru 20-an.

Liburan telah usai. Waktunya kembali ke peradaban perkuliahan. Kembali pada tugas sebagai mahasiswa. Kembali melanjutkan perjuangan, membuktikan diri bisa berguna untuk negeri.

Aku dan teman-temanku sudah tiba di kost. Dan siap menempuh Senin pagi sebagai awal masuk dari liburan natal dan tahun baru. Harus dengan pikiran baru yang kembali fresh.

“Ibu suri, dia invite bbm Dindaaaa....”, teriakku histeris ketika melihat beranda bbm ku. Ada satu pemberitahuan kalau ada 1 yang meng-invite. Pas aku buka, ia adalah orang yang sama ketika meng-add fb ku. Ibu suri adalah panggilan teman satu kost dengan ku.

“Emang siapa dia kok heboh banget, sampai teriak-teriak begitu?” katanya penasaran dan melihatku yang aneh. Aku hanya senyum-senyum dan menceritakan hal yang sama kuceritakan pada ibuku.

“Cieeee...” ledek nya. Ibu suri malah meledek ku.

Tapi, untukku pribadi, setelah sebulan lau dia add fb ku, walaupun aku sempat bingung, tapi aku gak terlalu ambil pusing. Tapi dia malah invite pin bbm ku, ini kembali membuat ku bingung membuat banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab.

“Darimana dia tahu pin bbm ku yaa?” Atau “Aku pernah share pin bbm ke fb ya, tapi rasa-rasanya tidak pernah” kembali menerka-nerka.

Daripada bingung, akhirnya ku setujui saja invite nya. Tapi kami tak pernah melakukan chat, karena aku pun gak tahu apa yang mau ditanya, dia pun mungkin gak ada ditanyakan padaku. Hal yang membingungkan.

Tak lama setelah dia meng-invite bbm ku, aku kembali dihebohkan dengan pemberitahuan yang ada di akun instagram ku. Ternyata dia juga nge-follow akun instagram ku.

“Ya Allah, tahu darimana pula dia nama akun instagram ku.” Kebingungan ku sampai detik ini pun belum terpecahkan dan tak ada tanda-tanda yang mampu menjawabnya. Biarlah kebingungan ini bersemayam terserah dia entah mau sampai kapan. Sampai aku berharap bisa bertemu dan melihat wajahnya secara langsung.

***

Seperti biasa pada umumnya dalam seminar, pasti ada sesi tanya jawab. Karena pengalamanku, membuat aku membuat persepsi sendiri tentang tanya jawab di setiap seminar. Menurutku tanya jawab dalam seminar adalah seperti lotere keberuntungan yang jika ditunjuk oleh moderator saat itu ialah yang berhasil untuk bisa bertanya, meluapkan penasaran yang bersarang di hati dan pikiran, setelah menunggu 2 jam lamanya.

Namanya juga diibaratkan seperti lotere keberuntungan, kadang-kadang tidak langsung beruntung untuk kesempatan pertama. Sama halnya seperti yang ku rasakan. Mengangkat tangan lantas tidak ditunjuk itu merupakan suatu keberanian yang luar biasa. Hanya bisa cengengesan dalam kesal.

Baiklah, untuk ronde pertama aku terima ketidakberuntunganku. Mungkin juga karena aku kurang cepat seper second dengan orang lain. Mungkin dari pertanyaan mereka ada yang bisa ku dapat. Di ronde pertama ada 3 penanya, yang masing-masing memiliki pertanyaan yang tidak cukup satu, seakan pertanyaan itu beranak.

Santai, lugas, padat dan jelas bang Tere Liye menjawab semua pertanyaan. Pastinya Bang Tere Liye  tak pernah kehabisan cerita fiksi di setiap menjawab pertanyaan, seakan kami sedang dibacakan dongeng yang bertemakan ketekadan.

Ronde kedua dibuka, aku kembali meyakinkan hati untuk bertarung dengan beberapa ratus peserta seminar untuk mengangkat tangan lebih tinggi, padahal aku ragu-ragu untuk berdiri, karena sejujurnya aku takut gak ditunjuk lagi oleh moderator. Takut kalau aku harus kesal dengan moderator yang yang tak berdosa karena tidak menunjukku.

“Ya yang berkacamata”, kata moderator sambil melihat ke arah ku.

Waaaahh, kali ini aku beruntung sekali. Sang moderator melihat ku dan menunjukku. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam hati aku sangat berterimakasih pada nya.

Nah, untuk ronde kedua ini agak berbeda, orang-orang beruntung tadi disuruh maju ke depan karena microfon yang tidak bisa diakses sampai ke kursi peserta.

“Ini beruntung atau malah mematikan yaa?” bathin ku, krena malu dilihat orang banyak.

“Tapi ini adalah kesempatan yang mungkin jarang untuk datang kedua kalinya, jadi ini adalah keberuntungan berlipat ganda” sorak riang dalam hati ku.

Yaa, dikatakan keberuntungan ganda karena selain bisa dengan jelas melihat bang Tere Liye dan bisa bertanya langsung, ini juga adalah salah satu kesempatan mengabulkan harapan yang dulu pernah ada. Sudah ku dengar suara aslinya yang benar-benar lantang dan penuh semangat. Sehingga memberikan energi positif tersendiri bagi pendengarnya, atau mungkin bagi ku sendiri. Aku juga berdiri di dekat nya, walaupun tak pas di sampingnya.

“Hari ini aku benar-benar bertemu kamu. Mendengar dan melihat dengan jelas. Banyak pertanyaan. Kebingunganku pun tidak juga hilang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan yang salah. Dan ini hanya aku yang tahu” tersenyum.

Written by : Sayyidah Umayah

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Kamis, 21 Mei 2020

Love is Simple

Aku pikir yang namanya cinta itu indah dan begitu rumit. Ternyata sangat simple sekali.

Umurku 21 Tahun saat pertama kali merasakan debar-debar itu. Memang mungkin di tahun yang katanya milenium ini,

Umur 21 cukup telat jika baru pertama merasakan rasa itu. Tapi ya itulah yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi kekasihku saat itu.

Dia begitu mempesona diriku. Meski dia laki-laki sederhana yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tidak terlalu tampan, tapi cukup menarik bagi perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Tak disangka perasaan diapun sama denganku. Kami menjalin hubungan cukup lama. Kurang lebih 4 tahun.

Tapi tidak ada tanda-tanda juga darinya bahwa Ia akan melamarku.

Tepat diumurku yang ke 25, kami membuat janji bertemu di cafe tempat kami biasa makan.

Hatiku sangat berdebar saat itu. Kupikir dihari ulang tahunku itu aku akan mendapatkan kejutan yang mungkin tidak akan kulupakan seumur hidupku.

Tapi aku tak berani berangan-angan. Aku tak berani mengkhayalkan bahwa Ia akan melamarku di saat itu. Disaat orang-orang bilang tepat bagi umur segitu untuk menikah.

Aku menunggu. "Ras, kamu tunggu aku jam 8 malam nanti ya. Mmmm.... dan nanti aku akan ajak temanku yang mau kukenalkan ke kamu" .

Begitu kata dia saat janjian waktu itu. Sebetulnya aku setengah bingung. Sempat berpikir mungkin dia mau mengadakan pesta kecil untuk memperkenalkanku pada teman-temannya.

Tak lama kemudian dia datang. "Lho Ran, sendiri? Katanya sama teman?" . Tanyaku penasaran saat itu.

"Oh iya Ras, sebentar lagi dia datang. Mungkin agak telat" . Begitu jawabannya. Selang 20 menit datang seorang gadis cantik seumuran denganku menghampiri meja kami.

"Hai Laras" . Sapa gadis itu tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Bingung karna aku tak mengenal gadis itu dan tidak mengingatnya sama sekali kapan pernah berkenalan atau bahkan bertemu.

"Oh iya Ras, kenalin ini Rasti yang tadi aku bilang" . Kata Randi sambil bangkit berdiri menyambut gadis itu.

"Mmmh... jadi gini Laras. Sebetulnya aku ngajak kamu ke sini itu mau bicara jujur dan penting banget" .

Saat itu aku masih tidak berpikir yang macam-macam, kupikir nanti akan datang lagi temannya yang lain dan kami akan berpesta kecil di cafe itu.

Tapi bagaikan gemuruh di langit, seperti tersambar halilintar tanpa rintik hujan sedikitpun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu.

Karna akupun merasa tak tahu dengan apa yang kurasa saat itu. Ini kalimatnya saat itu.

"Laras aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku minta maaf dan terserah dengan hukuman apa yang akan kamu lakukan nanti. Tapi aku mohon kamu maklumin keadaan aku.

Sebetulnya Rasti ini calon istri aku" .

Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu keluar dari mulut Randi kesayanganku. Kekasih hatiku selama 4 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar bagiku yang aku tahu.

Selama ini aku merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Dia terlalu terlihat menyayangiku sebagai kekasihnya. Dia memanjakanku, sering menghiburku, selalu menelponku sekedar untuk menanyakan kesehatanku.

Aku selalu bahagia bersamanya. Jarang sekali kami bertengkar. Dia begitu mengerti aku. Aku yakin dia pelengkap hidupku. Aku yakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi.

Aku terdiam tanpa kata, air mataku menetes. Mereka saling berpandangan kemudian melihat ke arahku. Mungkin mereka takut aku akan histeris dan berteriak pada mereka.

Tapi tidak. Aku bukan type orang yang mudah panik. Meski perasaanku saat itu sakit seperti teriris dan jujur aku ingin sekali menampar wajah mereka berdua.

Tapi itu tidak aku lakukan. Kucoba menenangkan diri, menarik nafas dalam. Mencoba memberanikan diri mengeluarkan sepatah kata saja.

Padahal saat itu banyak sekali yang aku ingin tahu mengenai mereka berdua.

"Oke... Selamat akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari" . Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kemudian aku bangkit berdiri sambil menyodorkan tangan memberikan selamat kepada mereka berdua.

"Tunggu Ras, biar aku ngomong dulu" . Entah apa yang membuat Randi begitu yakin aku ingin mendengar semua penjelasan darinya.

Bukankah sudah percuma. Jika dengan penjelasan maka waktu dapat terulang dititik dimana saat Randi menyatakan cinta padaku bisa terjadi. Maka aku pasti akan mau mendengarnya.

Tapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Bahkan jika saat itu ada doraemon berdiri tepat dihadapankupun aku tetap yakin dia tidak akan membawaku kembali ke masa itu melalui laci meja belajar nobita.

Karna aku Laras, si gadis super cantik yang bahkan memiliki nilai tertinggi di kelas. Aku bukan nobita si malas dan si cengeng yang selalu merengek pada doraemon meminta agar kehidupan selalu menjadi mudah.

Aku hanya punya keyakinan dalam diriku. Aku punya Allah yang aku yakin bahwa ini memang takdirnya untukku.

"Udahlah Ran, gak perlu jelasin apapun, gak akan ada yang berubah hanya karna sebuah penjelasan" . Kataku sambil tetap membelakangi mereka. Rasti hanya diam memandangiku dengan wajah iba.

Yang aku heran, tidak tampak wajah kemenangan yang dia tunjukan di hadapanku. Justru wajah itulah yang membuat aku semakin sakit dan terhina. Wajahnya yang seolah ikut sedih melihat kepedihanku.

"Apa-apaan perempuan itu. Seenaknya merebut kekasih hatiku lalu kini ia mengasihaniku? Dasar sampah". Dalam benakku berteriak.

"Bukan itu Ras, akuu cuma mau kasih ini" . Randi meyodorkan sebuah kartu padaku yang ternyata adalah undangan pernikahan mereka. Ya Tuhaaaan, apa sih yang selama ini terjadi. Sebetulnya aku semakin ingin tahu.

Mengapa mereka bisa mereka benar-benar akan menikah? Sementara aku menunggu Randi melamarku bertahun-tahun. Apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Sejak kapan?

Tapi aku tidak mau tahu. Aku benci mereka. Benci sekali. Hingga rasanya ingin kubunuh mereka dengan cara yang paling sadis.

"Acaranya minggu depan, memang sedikit mendadak tapi sudah keputusan kami. Maafkan aku Ras. Sungguh aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi kacau seperti ini" .

Ku ambil undangan itu sambil melenggang pergi tanpa mempedulikan Randi yang masih berdiri berharap aku mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah. Air mataku menetes tiada henti. Menetes dan terus menetes tanpa suara. Kesedihan yang teramat sangat ini membuatku tak dapat berkata-kata bahkan untuk menangispun tak mampu mengeluarkan suara.

Randiku yang aku tau teramat mencintaiku, Randiku yang memanggilku Kasih. Ya, Randi memang tidak pernah memanggilku dengan nama Laras. Dia selalu memanggilku Kasih. "Kasih sedang apa di sana?, Kasih sudah makan?, Kasih aku kangen niiih, Kasih jangan lupa mimpiin aku yaa...".

Demi Allah, kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang khas sama sekali sulit aku lupakan. Benarkah semua ini terjadi.

Aku paksakan mataku terpejam. Berharap ketika bangun pagi nanti, semua mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap ini hanya mimpi dari tidurku yang tak bisa di atur belakangan ini.

Pantas saja saat menelponku pagi tadi. Terasa begitu janggal mendengar suaranya di sebrang telpon sana. Dia menyebut namaku. Iya, namaku Laras dan berkata ingin bertemu denganku di cafe biasa.

Aku merasa ada yang aneh namun tidak menyadarinya. Ternyata sejak pagi tadi nama Kasih sudah tak terdengar lagi dari mulutnya. Aah rupanya ini yang terjadi.

Di ulangtahunku yang ke 25. Yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk di lamar kekasih karna umur yang terlalu tepat untuk menikah.

Apa yang kuharapkan. Sudahlah. Lupakan.

Hari terus berlalu, aku masih saja sedih. Aku yang periang dan percaya diri mendadak menjadi pemurung. Sulit makan, Sulit Tidur, Mata selalu sembab dan bengkak.

Tidak ada gairah hidup. "Laras, buka pintunya nak. Sudah berhari-hari kamu tidak keluar kamar, juga tidak makan. Jangan jadi begini sayang. Yakinlah jika dia memang jodohmu, maka dengan izin Allah, dia akan kembali padamu dengan jalanNya. Jangan putus asa nak" . Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku. Kemudian aku membuka pintu dengan masih mengenakan mukena. "Tenang aja Bu, Laras bukan orang yang gak punya iman. Laras paham yang sudah Allah takdirkan untuk Laras" . Jawabku sambil berdiri di ambang pintu. "Lalu kenapa kamu gak keluar-keluar? Dara berhari-hari ke sini mau menemuimu. Tapi kamu menolak. Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika ada teman bicara?" . Dara adalah sahabat dekatku sedari SD. Kami selalu bersama, sekolah bersama, lulus sarjana bersama, hingga kami bekerja di perusahaan yang sama karna saat mencari pekerjaan juga bersama. "Gapapa Bu, Laras udah nelpon Dara tadi, minta maaf dan minta Dara ke sini. Paling juga sebentar lagi dia datang" .

Benar saja, selang beberapa menit sahabatku itu muncul dan langsung masuk tanpa permisi. "Raaas, ya ampuuun lu gapapa? Sehat? Mata aja yang bengkak? Apa hati ama lambung juga" . Pertanyaan Dara panjang tanpa jeda. "Huss... Waalaikumsalaaam" . Sindirku pada Dara yang langsung menyerbu masuk menuju kamar tidurku. "Eeeh iyaa... Assalamualaikum Tante" . Sambung Dara sambil mencium tangan Ibu. "Ya udah Ibu tinggal ya. Kalian ngobrol deh yang tenang. Nanti Ibu buatkan minum" .

Akhirnya hari itu berlalu tanpa pembicaraan tentang Randi sedikitpun. Dara menginap di rumahku. Ia memang sahabat yang paling mengerti aku. Dia sama sekali tak mempertanyakan perihal Randi dan Rasti sejak kedatangannya semalam. Dara tahu harus bersikap bagaimana menghadapiku. Dara begitu mengenalku bahkan mungkin melebihi kedua orangtuaku. Dara paham bahwa jika aku butuh bicara, maka aku akan bicara tanpa ditanya. Jadi Dara tidak perlu mempertanyakan kejadian yang terjadi pada hubunganku dengan Randi. Dari Dara aku tahu bahwa atasanku ternyata begitu peduli padaku. Dara bilang Pak Hendro titip salam dan semoga aku lekas sembuh. Pak Hendro juga bilang tidak usah terlalu dipaksakan masuk jika belum pulih benar. Ternyata Dara mengatakan pada atasanku bahwa selama ini aku sakit, sehingga mau tidak mau harus ambil cuti. Sudah seminggu semenjak kejadian aku bertemu pasangan brengsek yang membuatku murka sekaligus patah hati. Hari ini harusnya aku menghadiri undangan pernikahan mereka. Tapi bagaimana. Apakah aku sanggup.

"Aduh Ras. Kalo gue jadi elu yah gue pasti dateng hari ini. Gue harus tunjukin ke mereka bahwa gue fine-fine aja. Kalo perlu gue bawa cowo" . Dara semangat sekali memberiku ide untuk ke acara pernikahan Randi dan Rasti. "Lu sarap ya? Cowo mana jugaa yang mau gue bawa?" . Jawabku kemudian.

"Hai Daraaa......." . Terdengar teriakan memanggil dari sebelah rumah ku. Adalah Dimas seorang laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua dari kami yang tinggal di sebelah rumah. Dimas adalah tetanggaku yang sudah sejak lama tinggal di kediamannya itu. Bahkan kata Ibu, jauh sebelum kami tinggal di komplek perumahan ini, keluarga Dimas sudah tinggal di sana. Sudah 5 keturunan yang mendiami rumah itu. Rumah tua megah dengan gaya barat klasik yang selalu menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang dikomplek perumahan kami. Dimas memang berdarah Amerika. Nenek buyutnyalah yang dulunya membangun rumah itu. Karna nenek buyut Dimas memang asli orang London, maka tidak heran jika rumahnya dia bangun sengaja bergaya barat. Katanya sih, supaya nenek buyut betah tinggal di negara orang. Sekarang nenek buyut Dimas memang sudah tiada. Tapi rumah bergaya barat itu tetap dipertahankan bentuknya. Karna memang bagus.

Tampan? Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia mengartikan bahwa orang blasteran berdarah campuran itu pastilah tampan dan cantik. Tapi tidak dengan Dimas. Bukannya jelek sih. Jujur saja Dimas tidak jelek. Hanya saja, dia terlalu kutu buku dan terlalu serius. Model rambutnya yang kuno dan kacamatanya yang tebal membuat wajah blasterannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun begitu, Dimas berbeda dengan kutu buku- kutu buku lainnya yang lebih sering terlihat minder dan tidak bergaul. Dimas pandai bergaul, dia aktif baik di komplek, di kampus, bahkan di tempat kerjanya. Sebetulnya Dimas cukup percaya diri. Cuma entah kenapa dia sama sekali tidak pernah merubah fashionnya yang sangat terlihat kutu buku dan sedikit culun itu.

Pernah aku bertanya sambil bercanda. "iiih lu tuh jangan begini keq Dim. Kan bisa pake pakean normal. Celan jeans atau celana pendek dengan kaos biasa, Rambut jangan disisir rapih begitu. Bisa gak sih dandan dikit" . Eeeh Dimas malah tertawa sambil menjawab dengan candaan pula. "Hahahaha, ya ampun Laras, aku ini kan cowo blasteran. Apa jadinya kalo penampilanku normal. Apa menurutmu gak bakalan banyak cewe-cewe yang datang ke rumah sambil merengek-rengek minta aku nikahi" .

Hhhh, dasar Dimas. Sama sekali nggak lucu. Mana mungkin tampang bloon kaya gitu bakalan ada yang mau nikahin dia. Kepedean banget. Tapiii kalimatnya itu kadang bikin aku berpikir. Jangan-jangan sebetulnya Dimas memang tampan. Andai aja dia mau berubah. Aaah sudahlah gak mungkin kan itu terjadi. Kalo iya, kemungkinan besar dia sudah menikah sejak bertahun-tahun lalu. Umurnya kan udah 30. Tapi masih aja jomblo tuh. Hihihihi ada-ada aja pikiranku ini.

Akhirnya aku putuskan untuk datang menghadiri pernikahan Randi dan Rasti. Lihat saja yang terjadi nanti. Setidaknya benar kata Dara. Aku harus terlihat tegar seolah tak pernah ada kata patah hati dalam kamus kehidupanku. Karna memang ga ada pasangan yang bisa aku ajak, mau gak mau aku datang bersama Dara. Apa? Dimas? Noo Weeey.... Gak akan. Apa jadinya kalo aku putus dari Randi kemudian dia pikir aku jatuh ke pelukan si culun itu? Lagi pula, Randi tau betul siapa Dimas. Gak mungkin lah.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana. Terkesan bukan pesta. Tapi ya sudahlah. Acara sakral seperti ini tidak butuh yang terlalu mewah. Toh yang menikah tidak pantas mendapatkan kemewahan yang seharusnya. Pikirku sinis. Aku menghampiri pelaminan memberikan selamat pada mereka......................................................

Baca Lanjutannya klik disini !

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay