Tampilkan postingan dengan label cerita motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita motivasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Mei 2020

Kau anggap apa istrimu?

Cerita ini bukan yang sebenarnya. Tapi diambil dari banyaknya kisah nyata yang terjadi. Simak dan ambil hikmahnya, buang buruknya.

Brak.....

Suara gagang telepon tak sengaja kubanting karna kaget dan terburu-buru. aku berdiri dan segera mengambil jaket serta kunci motor. Teman kantor seruanganku bertanya.

"Ada apa bro? Koq panik banget?" Tanyanya penasaran.

"Istri gue pingsan di pasar. Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit." Jawabku sambil berlalu.

Di Rumah Sakit.

"Istri saya kenapa dok?" Tanyaku pada dokter jaga saat itu.

"Bapak, selama ini apa tidak ada omongan apa-apa dari Ibu? Masa sih Ibu sakit Bpk bisa gak tau. Beliau nih dehidrasi lho. Ada kurang gizi juga. Segitu parahnya dan Ibu gak bilang kalau dia lemah?"

Tiba-tiba aku teringat seminggu yang lalu. Beberapa kali Ia memang mengeluhkan badannya yang berasa tidak enak. Kalau tak salah ingat dia berkata mengapa masuk anginnya gak sembuh-sembuh ya. Memang waktu chat di whatsapp sempat bilang sudah beberapa hari dia merasa mual dan diare. Tapi dia masih berpikir itu cuma masuk angin biasa.

Dan aku? Apa yang kulakukan? Tak ada. Aku tak berbuat apa-apa sama sekali. Bahkan sekedar membelikannya obat di warungpun tidak kulakukan. Anehnya koq bisa aku sesantai itu menghadapi keluhannya. Aku ini bodoh atau tuli.

Dokterpun kembali bicara. Membuyarkan lamunanku.

"Pak, Istri itu juga manusia. Mereka memang super power. Makanya ada julukan super mom untuk semua istri dan ibu didunia. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa sakit. Psikis yang lemahpun bisa mengakibatkan sakit fisik pada akhirnya. Seringkali saya menangani kasus ibu-ibu yang terlambat dibawa ke rumah sakit. Adaaa saja masalahnya. Ada yang istrinya pernah mengeluhkan sakit kepala berkali-kali sama suaminya. Tapi suaminya pikir hanya sakit kepala atau masuk angin biasa. Cuma diberi obat dan disuruh makan dan istirahat sama suaminya. Besoknya udah, si suami merasa sudah melakukan tugasnya istrinyapun tak lagi dikontrol, tak lagi ditanyakan keadaannya. Ketika sudah terlambat baru dia bawa ke rumah sakit. Ternyata tumor otak. Andai lebih cepat dibawa, mungkin tumornya masih bisa diangkat. Sayang terlambat. Ada lagi yang istrinya sering mengeluhkan sakit perut. Masih juga dipikir masuk angin biasa. Suaminya juga terlalu santai. Begitu dibawa ke sini semua sudah terlambat. Kanker perut sudah menggerogoti lambungnya. Yah sama dengan kasus anda ini. Sudah seperti ini, sampai pingsan di pasar. Baru ke rumah sakit. Saya jadi tidak mengerti. Ada apa dengan bapak-bapak jaman sekarang ya. Sebegitu bisanya meremehkan keluhan istri. Sebetulnya istri itu dianggap apa sih? Heran saya". Katanya panjang lebar dengan raut wajah sedikit emosi.

Dokter sepertinya sedikit kesal. Mungkin dia sendiri pernah diperlakukan seperti itu oleh suaminya atau sudah terlalu banyaknya kasus semacam itu yang dia tangani. Sementara aku hanya bisa tertunduk. Menyesali telingaku yang terlalu tuli mendengar keluhan istriku yang bahkan Ia tak pernah meminta apapun sama sekali.

Bodohnya aku. Ternyata saat Ia mengeluh masuk angin, saat itu sudah mulai parah, gizinya yang terabaikan karna terlalu sibuk mengurus rumah, aku, dan anak-anak membuatnya semakin parah, ditambah lagi ternyata saat itu dia sudah sampai batas kelelahan yang teramat sangat hingga typuspun ikut menyerang. Ya ampun penyakitnya datang bergerombol. Akhirnya di rumah sakit Ia mengalami komplikasi dan tidak dapat bertahan.

Akupun kini sendirian. Merenungi kebodohan dan keegoisanku selama ini. Bekerja dari pagi ke pagi lagi atas nama keluarga. Namun aku menghancurkan arti dari sebuah perjuangan demi keluarga. Sekarang aku hanya bisa menyesali semua yang sudah terjadi.

Akupun harus berpikir keras bagaimana caranya menjalani hari-hari kami kedepannya. Bagaimana caranya aku mengurus rumah sambil tetap bekerja dan mengurus ketiga anak kami?

Menyiapkan makannya, seragam sekolah, antar jemput, PR sekolah, dan banyak lagi. Andai semuanya bisa diselesaikan dengan mencari pembantu rumah tangga, mungkin akan ringan. Tapi faktanya tidak seringan itu.

Ketiga anak kami masih saja menangisi ibunya yang sudah pergi seminggu lalu, PR sekolahnya terbengkalai, tak ada lagi belaian setiap malam sebelum tidur untuk anak-anakku. Banyak hal yang tidak dapat digantikan oleh siapapun.

Apakah anda salah satu suami seperti saya? Berubahlah saat ini juga. Detik ini juga. Telepon istrimu. Tanyakan kesehatannya, Tanyakan makannya, Dengarkan juga setiap keluhannya. Ketika mengeluh sakit, silahkan hanya belikan obat tanpa membawanya ke rumah sakit. Tapi percayalah. Itu tak cukup satu hari. Pemulihan terkadang butuh waktu lebih lama dari yang kita harapkan. Pantau terus keadaannya setiap waktu sampai Ia bilang "Aku sudah sehat sayang". Barulah kau boleh merasa lega.

Lakukan. Lakukan sebelum terlambat.

* S E L E S A I *

Oleh,

Upay

Jumat, 08 Mei 2020

Setiap orang Memiliki Kisah Hidup

Seorang lelaki berusia 24 tahun sedang berada di kereta api bersama dengan ayahnya. Ia melihat keluar melalui jendela kereta api dan berteriak,

“Ayah, lihat pohon-pohon itu berjalan!”

Ayahnya tersenyum, namun pasangan muda yang duduk di dekatnya, memandang perilaku kekanak-kanakan lelaki yang berusia 24 tahun dengan kasihan. Tiba-tiba lelaki tersebut kembali berseru …

“Ayah, awan itu terlihat berlari mengejar kita!”

Pasangan ini tidak bisa menahan rasa risih mereka dan berkata kepada orang tua lelaki tersebut,

“Mengapa anda tidak membawa anak anda ke dokter ahli jiwa?”

Orang tua itu tersenyum dan berkata…

“Saya sudah membawanya ke dokter, dan kami baru saja pulang dari Rumah Sakit. Anak saya buta sejak lahir, dia baru bisa mendapatkan donor mata dan baru bisa melihat hari ini”.

Setiap orang di dunia ini memiliki sebuah cerita tersendiri. Jangan menilai orang lain sebelum anda benar-benar mengenal mereka. Karena kenyataannya yang terjadi mungkin dapat mengejutkan anda.

kisah motivasi.

Sumber: www.successbefore30.co.id

Rabu, 06 Mei 2020

Sendu

Dia tidak memakai sari, melainkan gaun pendek kuning cerah. Malam itu dia menyajikan makanan untuk kita. Di meja bulat di dapur kini tersaji berjenis-jenis masakan yang tidak pernah hadir sebelumnya. Dia sibuk mengurai bumbu-bumbu apa saja yang terkandung dalam kari itu, misalnya, dan menyatakan telah menghabiskan waktu sehari penuh untuk menyiapkan makan malam hari ini.

Dia benar-benar mengharap pujian, sedang aku tidak ingin berbasa-basi. Karinya terasa hambar di lidahku, tapi aku tidak dapat menjelaskan bumbu apa yang kurang atau berlebih. Aku tidak pandai memasak, sehingga tidak begitu paham tabiat bumbu-bumbu itu. Aku hanya bisa membedakan rasa: pedas, manis, asin, pahit, asam. Seperti perpaduan rasa kehidupan kita. Hanya sekali aku memasak untukmu, nasi goreng udang itu, dan aku sendiri yang menghabiskannya. Selebihnya kamu selalu memasak untukku, setiap hari. Sarapan, makan siang, makan malam. Panekuk kentang, spaghetti, semur, salmon steak, tumis brokoli.

Tak berapa lama dia bercerita di mana kalian bertemu pertama kali. Suatu sore di pantai, seorang lelaki paruh baya membentang sehelai kain di atas pasir, lalu melambai padanya untuk duduk bersama-sama melihat laut. Dia mendekat, karena baru saja bertengkar dengan lelaki yang mengajaknya melancong ke pantai itu. Karena kamu begitu baik dan langsung menawarinya menginap di hotel yang nyaman dan juga membayari tiket pulangnya, dia tidak berpikir lama untuk melarikan diri dari teman kencannya, anak muda yang cepat naik pitam dan menyediakan tempat tidur reyot di pondok kayu yang nyaris terjungkal dari tebing curam. Aku tersenyum mendengar ceritanya, sedang kamu tampak gugup dan tiap sebentar meneguk air dari gelas, hingga tandas.

Terakhir kali kita bersama ke pantai akhir tahun lalu. Kamu menyongsong ombak dengan papan selancarmu, sedang aku berdiri di pantai sambil menilik-nilik ke arah laut yang seakan siap tumpah ke sini. Lidah ombak menjulat, lalu terkulai. Di atasnya kamu terayun, lalu terhempas. Setelah itu di atas pasir hangat, kubentang handuk besar, lalu terlentang seperti hiu mati.

Sekali waktu kamu mengajakku mengintip ikan-ikan dan karang dekat pantai itu. Aku tidak perlu menyelam, melainkan merunduk ke dalam air dengan pipa oksigen mencuat ke udara terbuka. Namun, aku lebih suka terbungkuk-bungkuk di pantai mencari kulit kerang atau bintang laut.

Setelah makan malam, dia menumpuk semua piring kotor di bak cucian. Sisa makanan di piring tidak dibuangnya ke tempat sampah. Kita selalu membuang seluruh sisa makanan ke tong sampah, lalu mencuci semua peralatan dapur setelah makan. Kita tidak ingin semut, kecoak, atau tikus berkerumun di dapur ini bagai tamu-tamu sebuah pesta.

Dia menarik lenganmu, mengajakmu buru-buru masuk kamar. Kamu terseret-seret macam anak kecil merajuk. Tidak kudengar suara air kran mengucur di wastafel, yang menandakan kamu menyikat gigi sebelum tidur seperti kebiasaan kita di rumah ini. Dia juga tidak menyikat giginya, tidur dengan kerak kari, serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi.

Di pagi hari kamu tidak lagi menyiapkan sarapan. Dia memasak kue dadar manis untuk kita, menyusun irisan pisang dan menabur keju parut di atasnya. Dia masih mengenakan gaun pendek kuning itu, tidak menggantinya dengan pakaian rumah. Tapi aku merindukan sarapan kita sebelum ini: roti gandum, telur dadar atau mata sapi, dan daging sapi atau kalkun asin.

Kita pun duduk mengeliling meja bulat itu. Wajahmu tampak cemas. Dia terus mengoceh tentang apa saja, termasuk ingin cepat-cepat menikah denganmu dan mempunyai satu saja anak yang lucu. Namun, kamu langsung menyela ucapannya. Kamu tidak ingin menikah apalagi punya anak. Dia memberengut sebentar, lalu meraih tanganmu dan berkata bahwa dia akan sabar menunggu saat yang tepat. Wajahmu memucat. Aku tersedak.

Kita menonton siaran berita pagi di televisi, duduk berdampingan di sofa itu. Dia pergi ke kamar mandi. Kamu berbisik-bisik menanyakan apakah aku tidak apa-apa. Tentu saja aku baik-baik saja. Aku tidak sedih seperti yang kamu bayangkan. Kamu mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa sejak tahun lalu kita memang sudah sendiri-sendiri. Kita tidak lagi tidur bersama. Aku membaca dan menulis sepanjang hari, sedang kamu pergi ke kantor, memasak, dan menghabiskan waktu senggang sendiri. Hubungan menahun membuat jemu, tapi tidak semua orang berani berpisah hanya dengan alasan itu. Anehnya, kita juga merasa ada ikatan yang lebih dalam dari apa yang tampak. Kita akan selalu seperti ini, bersama-sama, katamu. Selamanya? Ya, selamanya. Kamu menatapku, berkaca-kaca.

Dia bersenandung riang di dapur. Menyiapkan bahan-bahan masakan untuk makan siang nanti. Kamu tidak suka perempuan menghabiskan waktu mereka di dapur. Kamu tidak menginginkan perempuan yang mengurus rumah sepanjang hari. Katamu, perempuan semacam itu sama sekali tidak seksi. Karena itu, kamu memasak untuk kita, agar aku selalu seksi, kataku. Kamu tertawa keras. Dia berseru dari dapur. "Ada yang lucu?" Kita serempak menjawab: tidak ada. Kamu lalu memintanya bergabung menonton berita dengan kita. Kamu juga tidak senang dia menghabiskan waktu di dapur. Dia sama sekali bukan koki atau jongos. Namun, dia menyahut tidak suka politik dan urusan negara. Teroris dan polisi juga menakutkannya.

Dalam dua bulan, dia sudah empat kali menginap di rumah kita dan selalu memasak. Suatu kali, saat kamu masih di kantor dan aku pulang ke rumah lebih awal, dia mengeluarkan sehelai potret dari dompetnya. Potretnya dengan seorang pria. Mereka mengenakan pakaian pengantin, berdampingan di muka gereja yang lebih mirip kuil Hindu dengan patung Isa yang lebih menyerupai tokoh-tokoh Mahabharata, Rama atau Krishna. Dia bercerita tentang suaminya yang meninggalkannya berbulan-bulan, tidak memberi uang belanja, dan bahkan menangis tersedu-sedu di subuh hari teringat salah seorang pacarnya, perempuan gemuk dengan pipi-pipi tembam kemerahan. "Saya sangat mencintainya, meski dia gemuk," tutur suami kurang ajar itu, seraya sesegukan dan memeluk bantal mungil pemberian sang pacar. Dia lantas harus menghibur lelaki tersebut dan menyembuhkan luka patah hatinya yang parah dengan menahan luka hati sendiri. Dia ingin mengakhiri pernikahan mereka, tapi pastor bersikeras menyatukan pasangan ini kembali. Kusarankan dia melarikan diri. Suaminya koki di kapal pesiar. Namun aku tidak percaya. Lelaki itu berambut panjang sepinggang dengan tato di sekujur badan. Suamimu lebih pantas berdagang obat bius, kataku. Dia terpingkal-pingkal.

Dia merasa beruntung bertemu denganmu. Dulu dia harus berpacaran dengan lelaki-lelaki tua untuk sekadar uang jajan. Kamu juga tua, tapi tampan dan menghargai perempuan, katanya. Aku terbahak-bahak. Dia harus menanggung hidup ibu dan empat keponakan. Bekerja sebagai pelayan kafe, tidak mendatangkan cukup uang untuk mengenyangkan perut enam orang dan membiayai sekolah anak-anak itu.

Ketika kamu membuka pintu depan, dia segera melesat dari kursinya untuk menyambutmu dengan ciuman. Kamu malah menghampiriku, merangkulku dan bertanya apa saja yang sudah dilakukan dua perempuan dalam rumah. Dia kembali sibuk menata piring-piring di meja bulat itu, menyiapkan makan malam kita.

Aku kembali ke kamarku, membiarkan kalian bercengkrama. Hatiku senang saat mendengar gelaktawa. Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu!

Segalanya tampak berjalan lancar. Kita tetap tinggal bersama dan kamu kini memiliki seseorang. Namun, perubahan yang menyesakkan itu terjadi juga.

Di hari Minggu itu aku bangun pagi-pagi dan mulai mencuci semua piring kotor yang bertumpuk di bak cucian. Dua ekor kecoak merayap-rayap malas dalam panci dan gelas. Mereka kekenyangan.

Kucuran air kran terdengar nyaring dalam rumah yang hening, sehingga kamu tiba-tiba membuka pintu kamarmu dengan mata setengah terpejam dan bertanya dengan nada kesal, "Apa sih yang kamu kerjakan sepagi ini?"

Aku tiba-tiba sedih. Kutinggalkan piring-piring kotor di bak cucian, lalu bergegas ke kamarku dan mengunci diri. Kamu mengetuk pintu kamarku berkali-kali. Karena tidak ingin membangunkan tidurnya, kubuka pintu kamar dan kita langsung berpelukan. Kamu meminta maaf dan berkata bahwa aku boleh melakukan apa saja dalam rumahku sendiri, rumah kita.

Di dapur terdengar seseorang mencuci piring-piring. Air kran kembali mengucur, deras. Kita tetap berpelukan dan tidak pernah merasa sesedih ini. (*)

Selasa, 05 Mei 2020

Jadilah matre sesuai aturan

Tapi dibilang semua hanya kebetulan, gue juga punya dua orang teman yang nasibnya sama dengan gue. Hanya beda alur cerita. OK, gue ceritain kisah gue dulu sambil pelan-pelan beralih ke kisah temen gue. Sorry kalo kalimatnya gak terlalu formal seperti cerpen-cerpen fiksi yang plotnya mengalir sempurna dengan bahasa yang baik dan benar. Karna ini hanya unek-unek gue yang gue curahkan ke dalam tulisan.

Berawal dari gue yang dilahirkan dikeluarga sederhana. Ingat ya, keluarga sederhana itu tidak sama dengan miskin atau susah. Entah sejak kapan, kalau kita mendengar kalimat "dari keluarga sederhana", orang akan berpikiran itu artinya hidup susah. Padahal gak gitu lho.

Bokap gue sanggup nyekolahin gue sampai ke jenjang universitas. Tapi untuk hang out ke mall, nongkrong di cafe sama temen-temen, belanja barang branded, itu bukanlah kehidupan keluarga sederhana. So, that's the point. Keluarga sederhana is keluarga yang masih dalam kategori bisa hidup layak hanya saja untuk memenuhi keinginan diluar kebutuhan itu butuh mikir ratusan kali.

Back to my past. Gue kenal ni laki dari jaman kita SMA, dia bahkan temen sekolah gue dulu. Kita namakan saja dia Reno. Sorry ya saat nulis ini bayangan gue ke reno barack yang abis nikahin syahrini tanpa pacaran. Mungkin gue harus seperti syahrini untuk mendapatkan seorang reno barack. Tapi apalah gue. Hanya remahan rempeyek ditengah-tengah rengginang utuh yang belum dipecah-pecah.

Ok, balik ke Reno. Reno adalah laki-laki super duper biasa. Mukanya biasa, hidupnya biasa, nilainya biasa. Semuanya biasa. Tapi itu sesuatu yang membuat gue jadi biasa melihat dia hidup biasa. Halaaah apaan sih ni tulisan. Mulai ngaco.

Kita pacaran saat dibangku kelas 3 SMA. Singkat cerita kita lulus dong. Meski dia juga orang biasa dari keluarga sederhana seperti gue, tapi keinginan keluarganya besar banget untuk nguliahin dia di universitas ternama. Jadilah dia berada di sana. Sedangkan gue melanjutkan hidup gue dengan bekerja siang dan malam membanting tulang demi membeli beras. Halal lebay. Gak gitu ding.

Jadi gue kuliah sambil kerja. Karna meski keluarga sederhana gue ini sanggup nguliahin gue, tetep aja gue harus tau diri buat bisa menghasilkan pundi-pundi demi membantu keberlangsungan hidup gue sendiri. Gue jelasin dulu. Gue kerja bukan karna tuntutan keluarga gue yang butuh biaya lebih. Penghasilan gue murni untuk diri gue sendiri, meski sesekali gue ngasih orangtua sih beberapa. Walaupun sebetulnya orangtua gue masih sanggup hidup diatas garis kemiskinan. Nah lho, ini gimana ceritanya yah. Maksud gue seperti yang diawal tadi gue bilang. Keluarga sederhana itu bukan berarti miskin.

Jadi orangtua gue masih sanggup nguliahin gue tapi gue pingin bisa gaul kaya temen-temen gue. Ke mall, nonton, ke caffe, belanja, sedangkan uang untuk pergaulan gue itu rasanya sangat tidak tau diri kalo gue minta sama bokap. Itulah mengapa gue kuliah sambil kerja.

Gue dan Reno sama-sama kuliah dipagi hari, sorenya gue jaga mini market. Seperti mahasiswa sederhana pada umumnya. Reno tidak selalu punya uang untuk kehidupannya. Untuk minta ke orangtuanya sih gak masalah, pasti dikasih kalo untuk kebutuhan kuliah dong.

Tapi sebagai pacar yang peka, gue sering banget bantu dia bayar ini itu. Seperti beli buku, foto copy jurnal, dan lain-lain deh. Meski ga semua kebutuhannya gue yang kasih sih, terlalu lebay kalo gue bilang gue ngidupin dia. Ya gak sampe segitunyalah. Intinya kita berbagi kadang dia juga bantu gue bayar kosan saat gue belum gajian atau orangtua gue belum ngirim. Jadi kita sama-sama dari susah banget kaya gini.

Gak terasa waktu terus berjalan dan sudah mulai masuk semester akhir. Kita sama-sama sibuk ngurus skripsi, sidang, dan segala jenisnya. Gue sih mikir positif. Kalo perubahan sikap Reno belakangan ini, hanya karna kita berdua lagi sama-sama tertekan dengan skripsi yang masih harus diselesaikan. Gue masih santai meski dia sering banget marah bahkan ngebentak gue.

Udah gak sungkan lagi nolak permintaan gue untuk jemput gue kerja atau dikampus atau untuk ketemuan dengan alasan dia lagi jalan sama temen-temennya. Awalnya gue shock sih. Tumben-tumbennya dia lebih milih temen-temennya dibanding gue. Tapi lama-lama karna dia udah biasa begitu, ya udah jadi biasa aja.

Gue sempet curiga dan pernah coba buntutin dia. Tapi ternyata apa yang dia bilang ya bener. Dia emang jalan sama temen-temennya aja. Yaah pokonya dia makin aneh. Sampai pada akhirnya dia lulus dan kemudian dapet kerja diperusahaan besar dengan gaji yang orang-orang pasti iri. Disinilah akhirnya gue mulai paham kenapa akhir-akhir ini dia mulai berubah.

Akhirnya dia minta putus. Ooh OK, gue mencoba berbesar hati. Karna gue bukan type cewe cengeng yang bakalan nangis kejer diputusin cowok. Ya sudahlah mungkin kita emang gak cocok. Waktu itu alasan dia mutusin gue karna katanya dia udah lumayan sibuk banget sama urusan kerjanya yang hampir selalu pulang malem. Daripada kita jarang ketemu dan lama-lama makin ga nyambung ya udah kita udahin aja. Begitu katanya hari itu.

Tapi, dua hari kemudian gue denger dari temen gue yang satu kampus sama dia dulu. Ternyata dia udah jadian sama perempuan lain yang adalah temen SMA kita dulu. Kita namakan saja dia mawar. Jadi si mawar ini adalah anak konglomerat dari jaman dia lahir. Saat kita SMA, mana ada laki-laki yang gak jatuh hati sama dirinya. Dia kaya, cantik kebangetan, modis bagai model, meski otak cuma setengah. Tapi penampilan bisa menutupi kekosongan otak lo.

Yang gue gak sangka, ternyata laki gue ini. Sorry, mantan gue ini dulu juga salah satu dari semua laki-laki yang demen banget sama ni makhluk perempuan konglomerat. Gue gak nyangka karna dulu jaman sekolah tuh dia gak ada sama sekali tanda-tanda tertarik sama ni perempuan. Rupanya, dia cuma pinter nyembunyiin perasaan. Pada dasarnya dia sama aja sama laki-laki lainnya. Demen juga sama yang model begitu.

Tapi apa boleh buat. Kasta yang membuat dia mengurungkan niatnya jatuh cinta sama perempuan sekelas mawar. Tapi sekarang. Dia udah berani show up dong secara dia udah sukses gitu kan. Gimana mungkin dia bisa menahan untuk gak menunjukkan dirinya didepan perempuan konglomerat itu dengan segala yang udah dia raih.

Jabatan, gaji besar, kendaraan roda empat, dan barang branded yang nempel dibadannya. Jadi selama ini gue cuma temen susahnya aja. Dikala dia sukses dia langsung mengejar cintanya yang dulu terpendam karna beda kasta. Jadi bisa dipastikan. Dia berjuang hidup sukses demi mengejar perempuan itu. Bukan demi masa depan yang pernah dia janjikan dulu waktu kita masih pacaran dan hidup susah dari nol.

Temen gue beda cerita lagi. Dia udah nikah. Waktu itu sih dia sama pasangannya hidup lebih susah dari keluarga sederhana gue. Tapi temen gue ini setia ngedampingin lakinya. Ngelayanin lakinya sepenuh hati dan jiwa raga yang dia punya. Dia harus hidup irit demi bisa anak dan lakinya makan enak. Disaat temen-temen lain pakai perhiasan, dia bahkan sehari-hari cuma bisa pake daster.

Tapi dia tetap tegar. Tetap mensupport lakinya untuk berjuang demi keluarga mereka. Bahkan dia terkadang harus menanggung malu meminjam uang ke orangtuanya demi keluarga kecilnya. Sampai suatu hari tiba-tiba lakinya dapet kerjaan enak dong. Gaji lebih tinggi dari sebelumnya, perlahan tapi pasti kehidupannya mulai membaik.

Prahara rumah tangga dimulai ketika si laki udah sanggup ngebeli mobil dan pindah dari rumah kontrakan ke rumah yang dia beli. Luar biasa kan. Kalo orang waras akan berpikir itu adalah hasil dari mereka berdua. Perjuangan seimbang antara ikhtiar suami dan doa istri.

Tapi rupa-rupanya, si laki gak tau diri. Saat sedang merintis karir dia udah mulai main mata sama lawan jenis di luar rumah. Awalnya sembunyi-sembunyi, begitu harta berlimpah dia udah ga peduli lagi hati istrinya.

Tanpa perasaan dia berujar "Kalo kamu gak suka sama dia, gapapa kamu tinggalin saya aja. Kalo kamu mau kita cerai karna ga bisa terima dia. Saya gak akan memaksa mempertahankan rumah tangga kita." ANJ*** gak tuh laki.

Gue gak tau nasib temen gue itu sekarang. Apakah dia jadi pisah sama lakinya, atau dia tetap bertahan dimadu karna setau gue dia ga punya penghasilan untuk hidupin dirinya dan anaknya. Nanti gue update ceritanya begitu udah dapet kabar dari temen gue yang idupnya tragis banget ini. Lebih tragis karna dia udah nikah sedangkan gue belum. Artinya gue lebih beruntung.

Tolong gak usah komen yang gak enak tentang kisah hidup gue. Gue tau koq pacaran itu dosa, tapi itu kan masa lalu gue. Sekarang sih pinginnya taarufan aja. Tapi tetep harus yang udah mapan. Karna gue udah gak mau lagi dampingin laki dari nol. Sorry ya bagi gue sekarang jadilah matre pada waktu yang tepat.

Saran gue buat semua perempuan sebagai perempuan yang udah ngerasain pengalaman pahit duluan, ada beberapa nih:

Satu, Jangan maulah nemenin laki dari nol. Cari aja yang udah mapan. Kalo dikatain matre, hadapi aja dengan tegar dan penuh keyakinan. Katakan bahwa matre dengan setia itu akan beriringan jalannya.

Dua, buat yang udah nikah, jangan mau idup terlalu ngalah dikala susah. Sesekali harus manjain diri juga. Misal, saat laki lu gajian, meski lu harus ngirit, minimal ada beberapa uang yang harus lu beliin perawatan diri atau makeup. Jangan sampe pas laki lu kaya. Muka sama badan lu gak stabil. Alias mirip babu dirumah majikan. Alhasil laki lu akan cari yang terlihat seperti nyonya di rumah.

Tiga, buat lu perempuan-perempuan syar'i yang inginnya dipinang dengan Bissmillah, tetep tanyakan sama calon lu, apa pekerjaan mereka. Kalo masih susah, mending mikir-mikir lagi.

Sorry sorry to say ya. Ini sih pendapat gue. Seperti yang gue bilang tadi, mungkin gak semua laki seperti laki-laki yang gue temuin ini. Mungkin juga nasib gue sama temen gue aja yang sial. Bisa jadi lu gak sesial kita. So, silahkan yang mau tetep berjuang dari nol sama-sama.

Sekian dulu cerita gue. Intinya, ini kisah gue. Kalo mau komen yang menjudge atau nyakitin ati, jangan dimari. Karna gue cuma mau curhat bukan mau dicurhatin. Semoga cerita gue bisa lu petik hikmah baiknya dan buang hal-hal buruknya. Sekian.

TAMAT

Oleh, Upay

Dari curhatan sahabat

Semoga bisa dipetik hikmahnya. Aamiin.

Sabtu, 02 Mei 2020

Randi

Randi namanya (bukan nama sebenarnya). Umurnya tahun ini genap 8 tahun. Dengan segala keterbatasannya, Ia hidup dengan menanggung beban lahir dan batin. Ya, dia menjadi yatim piatu setelah kurang lebih satu bulan lalu Ibundanya berpulang. Semasa hidup, Ibunya bahkan kurang memperhatikannya. Itu sepenglihatanku. Banyak orang bilang jika Almarhumah memiliki gangguan kejiwaan semenjak ditinggal pergi suaminya entah ke mana. Itu kudengar dari obrolan para tetangga. Aku yang kurang bersosialisasi alias kurang nongkrong di lingkungan sekitar, tentu saja tak tahu pasti kebenarannya.

Terlebih saat itu Almarhumah masih tinggal di gang sebelah. Belum bertetangga dekat dengan rumahku. Namun setelah Almarhumah dan Randi pindah ke rumah di depan rumahku, aku merasakan bahwa dia sosok yang sulit diajak bicara. Bukan tidak waras, hanya saja kurang nyambung dengan maksud yang kita sampaikan.

Bahkan tak semua kalimatnya mampu kumengerti dengan baik. Dari situ aku mulai paham yang digunjingkan orang-orang. Sebetulnya dia bukan mengalami gangguan seperti gosip yang beredar. Menurutku, itu adalah refleksi dirinya ketika mengalami tekanan yang teramat dahsyatnya saat Ia mengandung Randi dahulu. Beban hidup menanggung kehamilan yang tidak diinginkan, dimana ternyata kekasihnya saat itu tak mau bertanggung jawab, ditambah lagi cacian dan gunjingan orang-orang yang dia terima, spontan membuat mentalnya seketika jatuh ke dasar jurang yang bahkan kita tidak tahu seberapa dalam jurang itu.

Lagi-lagi kudengar dari tetangga, katanya dahulu kekasih yang membuatnya mengandung Randi adalah laki-laki berstatus suami orang. Parahnya, Ia tak rela meninggalkan keluarganya demi mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Almarhumah. Ia lebih memilih lari meninggalkannya dengan anak yang sedang dikandung Almarhumah yang jelas darah dagingnya. Aku sangat paham ini sulit baginya.

Dan aku sama sekali tidak ingin menghakimi kesalahan Almarhumah atas apa yang diperbuatnya sehingga membuat dirinya menanggung beban hamil tanpa suami. Karna bisa saja itu terjadi padaku. Tapi Allah Maha mengetahui siapa saja manusia yang sanggup menerima cobaannya. Mungkin aku tak akan sanggup diberi cobaan demikian. Hingga Allah ingin aku belajar dari kisah hidup orang lain sehingga Dia mengirimkan Almarhumah dan anaknya ke depan rumahku. Dihadapkan langsung dengan kisah hidupnya, mana mungkin aku masih tak mensyukuri segala yang sudah Allah anugrahkan kepadaku.

Randi oh Randi, betapa malangnya dirimu nak. Kini kau hidup tanpa Ayah dan Ibu. Meski ada kakek serta tante dan om. Pasti rasanya akan jauh berbeda jika bersama dengan kedua orangtua kandung. Aku tak habis pikir bagaimana kau menjalani hidupmu yang demikian.

saat ini, diumurnya yang sudh 8 tahun, Randi masih sulit bicara. Bukan tidak bisa bicara, melainkan kurang lancar pelafalan kata perkata atau kalimat yang Randi ucapkan. Membuat kami yang mendengar kurang paham apa maksud ucapannya. Bahkan Ia tidak sekolah. Kudengar, dulu Ia sempat disekolahkan oleh kakeknya. Tapi tak berapa lama, pihak sekolah memutuskan mengembalikan Randi pada walinya dengan alasan Randi tak mampu jika harus mengejar ketrtinggalan di sekolah biasa.

Selanjutnya yang terjadi adalah Randi tidak sekolah lagi. Sampai detik aku menulis ini, aku masih sering memperhatikan keseharian Randi yang sering sekali di luar rumah. Bermain sendirian karna anak-anak lain termasuk anakku enggan bermain dengannya. Bukan karna kekurangannya. Tapi menurut anak-anak di lingkunganku, Randi itu nakal. Sering memukul, melempar sampah ke teman-temannya atau bahkan meludahi mereka.

Pernah aku menegur anak bungsuku agar mau bermain dengannya. Tapi setelah itu, yang terjadi adalah anakku yang masih berumur 6 tahun, pulang dengan raut wajah kesal. Kemudian seperti ingin menangis. Kutanya ada apa. Dia hanya cemberut.

Setelah kubujuk, akhirnya mau juga Ia menceritakan yang terjadi. Rupanya saat bermain dengan Randi, Ia meludahi wajahnya. Ingin membalas namun Ia ingat wejanganku. Kukatakan padanya untuk pergi saja jika dia mencari masalah. karna Ia anak yang berbeda denganmu.

Jadilah Ia hanya menyimpan kesal dan amarahnya sampai di rumah. Sejak itu, anakku tak mau lagi bermain dengannya. Akupun tak bisa marah pada Randi, hanya bisa mencoba menegurnya dengan pelan. Namun aku tahu Randi tak mengerti satupun ucapanku.

Sampai detik ini, Randi masih dengan kondisi yang sama. Hidup tanpa Ayah dan Ibu juga tanpa pendidikan. Om tante yang mengurusnya sudah cukup sibuk dengan keseharian merek mengurus anak-anaknya sendiri. Jika ditambah dengan kehadiran Randi yang begitu banyak menguras waktu dan tenaga karna kondisinya, tentu saja terkadang mereka tak sanggup.

Akupun tak bisa menyalahkan keadaan meraka.Yaah semoga saja Randi kecil bisa tumbuh kian membaik seiring berjalannya waktu. kuharap, Ia menjadi pribadi yang lebih baik ditangan om dan tantenya ketimbang dengan Almarhum Ibundanya dahulu.

Karna kalau kuperhatikan, Randi lebih bisa terbuka dan lebih bisa mendengarkan orang lain setelah kepergian Ibunya. Ia berada di lingkungan yang menurutku lebih baik dari saat bersama Ibunya. Mungkin karna kondisi Ibunya yang juga sama dengannya waktu itu.

Cerita yang kutuliskan ini memang tidak akan ada endingnya. Karna Randi masih terus tumbuh seiring waktu berjalan. Kita doakan saja, anak yatim piatu ini bisa menjadi jalan amalan terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya termasuk aku. Aamiin......