Tampilkan postingan dengan label cara agar cerpen dibaca banyak orang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cara agar cerpen dibaca banyak orang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Mei 2020

Cinta dua lorong

Cerpen kali ini kiriman dari "Fajar Kesuma Mustaqim" berjudul "Cinta dua lorong". Kepada Fajar kami ucapkan terima kasih untuk pastisipasinya mengirimkan tulisan ke blog kami.

Kisah tentang masa sekolah yang menarik untuk dibaca. Berikut ini tulisan Fajar yang kami muat tanpa mengurangi ataupun menambahkan isi dan pesan yang terkandung dalam tulisan Fajar tersebut.

Selamat membaca !

“CINTA DUA LORONG”

Uhhhhh! Ntah apa yg buat aku jadi begini, gak biasa-biasanya aku seperti ini. Gak biasanya aku meneteskan air mata begini, aku selalu tegar, tapi kali ini aku benar benar gak bisa. Iya, aku gak bisa, karena dihari ini, hari terakhirku bertemu dengan teman-temanku dengan sekian lamanya kami berteman, 3 tahun kami menjalin persahabatan, bandel bareng, cengkal bareng. Ahhh! Banyaklah.

Sulit rasanya aku meninggalkan mereka, meninggalkan kenakalan bareng mereka. Buat guru kapok masuk kelas kami, bahkan nangis dan minta untuk tidak mengajarkan kami. Banyak lah pokoknya!

Banyak kenangan-kenanganku yg terukir di 3 tahun ku ini, termasuk kedekatanku dengan si dia. Hahah, iyaa dia ! sosok yang kukagumi selama ini, sosok yang sempurna dimataku, lebihlah pokoknya dibanding dengan wanita lain  yang ku kenal. Yayas, namanya. Setahun lebih muda dariku. Iya, adek kelasku. Aku mengaguminya sejak aku pertama bertemu dengannya, kulit putih, dengan kaca mata membuatnya terlihat lebih anggun dibanding lainnya. Kami saling mengagumi, tapi kami cuman sekedar ngagum mengagumi, tidak lebih. Ntah mengapa, mungkin Dia juga jadi salah satu alasanku, mengapa aku sulit meninggalkan kenanganku ini.

“Bangg!!”, Yayas memanggilku dari kejauhan. “Iya, ada apa?” Jawabku mendekati nya. “Foto berdua yuk?” Iya, mungkin karena kami jarang sekali tidak foto berdua, mungkin untuk pertama kali juga gapapalah “Iya udah, mau foto dimana” Jawabku dengan menatap kesekeliling ruang. “Jangan dikelas bang! Gimana kalau kita foto di farewall aja?” Mungkin karena aku melihat sekeliling ruang, Yayas mengira aku ingin berfoto didalam kelas, padahal dibenakku, aku juga gak kepingin untuk foto dikelas. Tapi itulah mungkin dikatakan sehati, belum mengakatan saja sudah tahu dahulu. “Yaudalah ayuuk!” Farewall itu dinding yang berisi tanda tangan seluruh siswa-siswi setiap kelasnya. Menarik sih untuk foto disana,

“Makasih ya bang, ini untuk abang!” Sebuah kotak persegi dengan pita diatasnya, yang aku pun gak tahu pasti apa isi dari kotak tersebut. “Untuk apa? Gak usahlah” Bukannya gengsi, sungkan rasanya aku nerima hadiah dari seorang wanita, apalagi wanita itu wanita yg ku kagumi. “Udah gapapa, terima aja! Anggap sebagai kenang-kenangan dari adek” Karena Yayas memaksa, aku pun akhirnya tidak bisa berkata-kata. “Makasih ya”,  “Iya sama-sama”.

Sebuah jam tangan bertali kain, berwana hitam dan secarik kertas yg sama sekali tak ku tahu isi dari tulisan tersebut. Oh, ternyata dia ingin meminta agar aku mengenakannya dimanapun aku berada, karena jam serupa yg ku kenakan di tanganku, juga terpasang ditangannya. Couple bahasa kerennya. Tersenyum lebar membacanya,dan ada juga sepatah kata yang membuat hatiku goyang ketika membacanya. “Jangan lupakan adek ya!”

Sederhana, tapi cukup sangat terkesan bagiku. “Iya, pasti dek” Hatiku menjawab dengan sendirinya ungkapan itu. Aku tahu kami saling mengagumi, kami saling menjaga walaupun sekarang kami tidak ketemu lagi, tidak satu sekolah lagi,  Tapi hati kami tetap satu!

Kini tiba saatnya aku untuk melanjutkan jenjang pendidikanku dan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA), Karena dari SMP aku sudah sekolah berjenjang agama, maka begitupun dengan SMA ku. Sekolah yang kupilih bersebrangan dengan sekolah SMP ku, Madrasah Aliyah Negri atau yang disingkat MAN. Bukan untuk jadi ustadz, aku cuman ingin ilmu agama ku terus bertambah hingga aku tua nanti, agar aku tidak tersesat oleh kehidupan duniaku yang penuh glamor. Dan selamat di akhirat kelak. Amiin.

Kebetulan aku masuk SMA melalui jalur Prestasi, Jalur yang masuk hanya melihat dari nilai Raport, tidak untuk testing. Iyaa Alhamdulillah aku diberi kemudahan oleh Allah. Namaku terpampang di urutan 15 dari sekumpulan siswa siswi yang lulus dari jalur Prestasi tersebut. “Dian Ahmad” itulah nama kepanjanganku. Nama keberuntungan yang telah disematkan oleh ibuku sejak aku kecil

Kini waktunya Masa Perkenalan ku, karena MOS (Masa Orientasi Siswa) dilarang oleh pemerintah, maka sekedar perkenalan dengan lingkungan sekolahku yang baru. Bukan sekolah yang asing menurutku, karena hampir setiap pulang aku selalu melihatnya

. “Nifaa..!!” Panggil kakak pembimbingku didepan kelas.

“Saya kak!” Jawab Nifa berdiri dibangkunya”  “Siapa dia? Sepertinya bukan kawan satu sekolah SMP ku dulu, cukup asing wajahnya dimataku”, gumam diriku didalam hati. Oh, ternyata dia tamatan dari SMP 9, sekolahnya satu kota sama tempat aku tinggal, tapi karena kotaku bisa dibilang kota besar, iya wajar juga aku gak mengenal dia.

“Kamu tamatan dari SMP 9 ya?” Tanyaku mendekatinya. “Iya”, jawab Nifa dengan malu-malu. Mungkin karena baru pertama kali kami berbincang, menurutku wajar sih kalau dia masih malu-malu, apalagi dia perempuan. Perempuan itu super gengsi, dan super malu menurutku. “Salam kenal ya dariku” Aku mencoba untuk lebih dekat dengannya, yaa sekedar nambah kawan juga gapapalah. “yaa”. Sedikit sebel sih, tapi yaa namanya juga perempuan, jadi maklumlah.

“Dian..!!” Panggil kakak pembinaku di depan kelas. “Iyaa kak..!” Aku gak tau apa yang akan dilakukan, tapi sebagai murid budiman, aku mendatangi kakak Pembina ku didepan kelas. Oh, karena kami hendak bermain game, aku diperintahkan untuk jadi ketua dalam game kali ini. Aku gak tau apa nama game nya, yang ku tahu satu tim terdiri dari tiga cowo, dan tiga cewe. Kali ini aku satu tim dengan si Nifa. Asyik juga game kami kali ini.

“Ternyata asyik juga ya Nifa orangnya, gak seperti yang ku kira selama ini”  Gumamku di dalam hati. yaa, dia gak seperti yang kukira waktu pertama kali kami berpapasan. Lucu, Humoris, dan asyik untuk diajak bercanda. Ahh, semakin penasaran aku dengannya. Kali ini aku pulang bareng dengannya, cukup lelah sih, karena Hari ini hari terakhir masa perkenalan kami. “Seruu ya masa perkenalannya” Nifa memulai perbincangan diantara kami. “Iyaa, seru banget lah, walaupun hanya tiga hari, tapi aku sudah banyak mengenal teman baru termasuk kamu” yaa, udah biasa bagiku bercanda dengan orang banyak.

Hari ini adalah hari pertama ku masuk sekolah, Hari pertama belajar di jenjang yang lebih tinggi yaitu masa SMA ku. Yang katanya sih Masa SMA ini adalah masa yang paling terindah. Iyaa, mau percaya mau gak, iya aku percaya-percaya aja. “Haaaiii..!!” Salam Nifa kepadaku. Ternyata dia datang lebih awal dari ku, dia sudah berada didepan pintu sekolah. Aku duduk sebangku, semeja dengan temanku dulu. Mungkin untuk ke 9 tahunnya aku sekelas dengan dia. Huhhh sungguh membosankan! Dafi namanya, kulit hitam berkilau, yang katanya manis sih, tapi menurutku tidak. Iya karena aku normal bukan Homo, pecinta sesama jenis.  Aku duduk dilorong ke empat tepatnya di samping jendela. Kebiasaanku dari SD duduk dekat jendela. Terpaut dua lorong dariku, disamping jendela luar, Nifa duduk disana, sebangku degan Nisa, si cewek manja menurutku.

“Huuuffft! Ternyata melelahkan menjadi pelajar SMA” Gumamku didalam hati. Bagaimana tidak? Aku dituntut untuk pulang setiap hari pukul tiga kurang lima belas. Iya, tapi karena aku bercita-cita tinggi, maka aku juga harus ikhlas menjalaninya. Cukup sekian lama aku tidak berbincang dengan Yayas, iya semenjak aku mulai Masa Perkenalan kemarin. “Chat Yayaslah, kangen jugak, apa kabar dia ya?” Aku bergegas mengambil handphone yang kuletakkan diatas meja belajarku.

“Haaaaa!!! Siapa dia!!!” Tampak terlihat foto seorang cowo di DP Bbm Yayas. “Maaf bang, adek sebenarnya mau hubungan kita lebih, tidak sekedar kagum mengagumi, tapi saling memiliki, iya adek tau abang masih gak mau untuk itu. Cowo itu cowo pilihan orang tuaku, Adek gak tau harus bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik bagi kita”  Pesan singkat menjelaskan filosofi foto cowo tersebut. Aku tak tau harus bilang apa, kedekatan kami terjalin cukup lama, dan semua itu rapuh hanya karena sebuah status. Sebenarnya aku sangat menyanyanginya, aku menyayanginya lebih dari sebuah status. Bukan aku menggantungkan perasaannya, tapi aku yang tak mau menjadikan status nantinya menjadikan perpisahan bagi kami. Tapi, ternyata yang kutakutkan selama ini datang menghampiriku. Seakan batu besar datang dan menghampar diriku. Air mataku tak bisa untuk ku hindari, aku menangis, bukan karena aku cengeng, tapi karena aku sangat menyayanginya. Mungkin bukan saatnya untuk aku bermain dengan hal seperti itu. Aku sangat terpukul, mungkin sekarang saatnya aku untuk mengejar CITA-CITAKU! Suatu saat pasti akan datang yang lebih indah, tinggal nunggu waktunya.

Kesedihanku ternyata tak bisa kututupi, tetap saja wajahku dalam raung kesedihan. “Kenapa kamu?” Tanya Nifa kepadaku. “Gak kok gapapa” Jawabku dengan ketus. “Beneran?” Mungkin karena aku yang masih terpuruk dengan keadaan tadi malam, berusaha untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatku untuk mengenangnya lagi. Tapi, tetap saja Nifa tak henti-hentinya menanyakan ada apa denganku. Sebenarnya sulit untuk ku cerita, tapi mungkin menurutku dia salah satu orang yang bisa ku percaya. Semua kuceritakan kejadianku padanya tadi malam.

“Oh, begitu..iyaudah, ambil saja hikmahnya. Mungkin bukan saatnya, suatu saat pasti indah kok pada waktunya” Senyumnya meneduhkan hatiku sejenak. “Makasih ya, udah berusaha menghilangkan sedikit luka dihati ini” “Iya gapapa kok, namanya juga teman harus saling menguatkan” Mungkin sejak saat itulah aku mulai sering bercerita dengannya, mungkin dia juga menjadi salah satu sahabat wanita bagiku. Kedekatan ku kali ini bukan untuk saling kagum mengagumi, tapi kedekatan ku kali ini saling kuat menguatkan. Karena menurutku CINTA sejati hanyalah cinta kepada-Nya. Kedekatan ini terjalin hingga sekarang. Karena bangku tempat duduk ku dengan tempak duduk Nifa terpaut dua lorong, maka tak sering teman-temanku mengejek ku dengan sebutan “CINTA DUA LORONG” Bahkan tak sering juga guru yang masuk mengejek kami dengan sebutan yang sama. Kami hanya bisa tertawa kecil. Iyaa, menarik sih. Tapi bagi kami, Sukses ialah yang terpenting. Cinta hanyalah pelengkap yang akan datang dengan sendirinya. Manfaatkanlah waktu belajarmu, sebelum waktu Sibukmu datang. Bahagiakan kedua orang tuamu selagi kau masih bisa membanggakannya. Gantungkan cita-cita mu setinggi langit, karena apabila kau jatuh, maka kau jatuh dengan BERIBU BINTANG. MASA MUDAMU ADALAH MASA GEMILANG MERAIH CITA-CITAMU, DAN MASA TUA MU ADALAH MASA GEMILANG MERASAKAN HASIL BUAH JERIH PAYAHMU!

Sabtu, 16 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Tari)

Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menghidupiku dan Mama. Sementara Papa dipenjara, aku akan terus berusaha membahagiakan Mama.

Aku benci sekali pada Oma, dia keterlaluan. Setiap hari mencaci Mama. Menyalahkan Mama atas kebangkrutan dan dipenjaranya Papa. Andai Orangtua Mama masih ada, mungkin kami akan tinggal dengan mereka. Sayang saat ini kami hanya bisa mengandalkan Oma yang Ibunya Papa. Alhasil setiap hari Mama jadi bulan-bulanan Oma.

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk membawa Mama pergi dari rumah terkutuk ini. Sungguh menyebalkan. Bukannya aku yang cucunya ini tidak berbakti pada nenekku. Tapi aku tidak tahan melihat perlakuan Oma kepada Mama. Seringkali kami menangis berdua. Tiap kali saudara-saudara Papa datang, mereka hanya mencibir keluargaku tanpa menolong sama sekali. Aku benci sekali. Jika bukan karna Mama, mungkin aku sudah mati saja.

Ke mana Dimas. Dia menghilang bagai ditelan black hole yang entah berujung di galaxy mana. Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, Ia hanya memintaku bersabar atas apa yang terjadi pada keluargaku. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya bahwa dia akan meninggalkanku begitu saja. Suatu kali aku pernah pergi ke rumahnya. Keluarganya seperti menutup-nutupi keberadaan Dimas.

Mereka yang awalnya sangat baik padaku, sangat ramah dan selalu menerima kehadiranku sebagai pacar Dimas. Tapi kali itu terasa sangat jauh berbeda. Aku mengerti, ternyata memang benar, harta bukanlah segalanya tapi segalanya butuh harta, bahkan untuk menjalin hubungan sekalipun. Ironis. Inilah hidupku saat ini.

"Ma, kita pergi aja yuk. Tari udah gak tahan lihat perlakuan Oma ke mama. Pokonya kita keluar dari rumah ini sekarang juga." Pintaku pada Mama.

Meski aku masih tidak tau harus ke mana. Tapi aku harus menyelamatkan Mama dari kelukaan yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah cukup bagiku melihat itu. Akhirnya Mama setuju. Mungkin Iapun lelah diperlakukan kasar seperti itu. Kami keluar dengan hanya membawa tas besar berisi pakaian secukupnya. Uang di dompet hanya cukup untuk hidup satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Mama tidur di hotel malam ini. Setidaknya kami bisa nyenyak untuk satu malam saja.

Tapi kemudian aku teringat Adiba. Apa mungkin aku lagi-lagi meminta pertolongannya? Rasanya kali ini akan lebih sulit. Karna seakarang Adiba sudah menikah. Dia sudah punya keluarga kecil yang harus lebih diperhatikan. Apa yang harus kulakukan. Aku dan Mama terdiam, hanya terduduk di bangku taman tanpa tau harus apa.

"Tari, apa sebaiknya kita kembali saja?" Tanya Mama dengan pandangan mata yang sedih dan bingung. Akupun tidak tau harus bagaimana. Tapi untuk kembali pulang ke rumah Oma rasanya lebih berat daripada harus tidur di kolong jembatan.

"Sabar ya Ma. Tari janji malam ini juga kita akan dapat tempat." Jawabku kemudian.

Aku mencoba mengirim WhatsApp ke Adiba. Siapa tau Ia sedang tidak sibuk dan berkenan membantuku lagi.

"Hai Dib, sibuk ya? Gue lagi sama nyokap nih di bangku taman komplek. Lagi duduk-duduk aja."

"Hai, ngga sibuk koq. Kebetulan abis bikinin Ka Ibra kopi, terus kita lagi duduk-duduk santai aja nih di ruang TV. Ngomong-ngomong ngapain lu sama nyokap di taman?"

"Akhirnya gue sama nyokap keluar dari rumah Oma. Gue gak tahan Dib. Dan sekarang gue gak tau harus ke mana."

"Astagfirullah Tari. Kasian nyokap lu dong. Lu gimana sih. Gak punya rencana apa-apa nekat keluar bawa-bawa nyokap. Udah deh mending lu ke rumah gue sekarang. Segera ya. Cepetan cari taksi."

"MasyaAllah Dib, gue gak nyangka jawaban lu. Bener-bener cuma lu yang tersisa di hidup gue saat gue susah kaya sekarang ini."

"Gak usah banyak ngomong aneh-aneh, kasian nyokap. Cepetan ke sini."

Kami sampai di rumah Adiba yang cukup besar, megah, dan indah. Alhamdulilah, Adiba akhirnya sudah kembali kepada kehidupannya semula yang bergelimangan harta. Allah memang Maha mendengar doa-doa setiap hambaNya. Syukurlah Adiba dipertemukan kembali dengan Ka Ibra yang status sosialnya bahkan ternyata lebih tinggi daripada kami dulu yang hanya anak seorang pejabat negara.

Ka Ibrahim ternyata sudah mendengar semua cerita tentang keluargaku. Alhamdulilah Ia menerima kami dengan sangat terbuka. Mereka ramah sekali. Aku tak habis pikir, mereka yang tidak ada hubungan darah sama sekali masih bisa bersikap baik pada kami. Jauh dengan sikap Oma yang masih saja arogan padahal selama ini hanya Papah yang menopang hidup Oma.

"Dib, makasih banyak ya. Lu masih mau aja gue susahin." aku terisak menangis dalam pelukan sahabatku Adiba. Rasanya nyaman. Aku merasa lebih butuh sahabat seperti Adiba daripada pacar macam Dimas yang begitu saja menghilang entah ke mana.

"Ya udah lu santai aja dulu di sini yah. Kita pikirin caranya sama-sama nanti. Yang penting sekarang lu sama nyokap istirahat aja dulu. Gue anter ke kamar yuk."

Mama tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepada Adiba. Tentu saja, itu pasti karna Mama merasa diperlakukan sangat jauh berbeda dari tinggal di rumah Oma.

Singkat cerita akhirnya aku dan mama tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan Adiba dan Ka Ibrahim karna mereka merasa lebih baik kami tinggal di rumah mereka, tapi pada akhirnya mereka mengalah dan menghormati keputusan kami dengan membiarkan kami tinggal di kontrakan tempat Adiba dan keluarganya dulu tinggal.

Aku sangat bersyukur memiliki Adiba sebagai sahabatku satu-satunya yang masih peduli terhadapku. Aku memulai hidupku yang sederhana di rumah kontrakan ini. Seperti biasa, seminggu sekali kami mengunjungi Papah.

"Assalamualaikum Pah." sapaku pada Papah sambil mencium tangan Papah.

"Waalaikumsalam Nak' Alhamdulilah kalian masih mau datang rutin seperti ini."

Mata Papah berkaca-kaca, aku tahu kepedihan hatinya ditingal banyak orang kepercayaannya bahkan saudara-saudaranya. Rasanya pasti lebih parah dari apa yang kurasakan ketika teman-teman, sahabat, bahkan pacarku pergi menghilang meninggalkanku begitu saja. Aku menceritakan keadaan kami yang sekarang tinggal di rumah kontrakan. Aku berkata bahwa kami tidak ingin menyusahkan Oma, itu sebabnya kami pindah.

Aku tak sampai hati menceritakan kelakuan buruk Ibunya terhadap Istrinya ini. Bagaimanapun, beban Papah sudah cukup berat. Walaupun pada akhirnya aku tahu jika ternyata Oma sudah lebih dulu menghubungi Papah dan menceritakan bahwa kami minggat dari rumahnya. Pastinya dengan cerita yang sangat amat sekali berbeda dan terlalu dilebih-lebihkan.

Tapi sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi dengan kami di rumah Oma. Sehingga Ia memilih diam dan menerima keputusan kami untuk tetap tinggal di rumah kontrakan itu tanpa meminta ataupun memaksa kami kembali ke rumah Oma.

* * * * * *

Siang ini udara sangat terik. Aku yang masih saja ke sana kemari mencari pekerjaan seorang diri sangat sering merasa putus asa. Tapi demi Mama, aku harus terus berjuang. Aku duduk di depan sebuah coffee shop yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku. Sampai di detik ke sekian aku melihat pemandangan yang tidak asing bagiku.

"Bukannya itu Dimas?" gumamku dalam hati. Tapi sepertinya aku memang harus tidak terkejut. Karna aku yakin Dimas memang tidak ke mana-mana. Omongan Mamanya yang berkata Dimas kuliah di luar negri, sudah pasti hanya akal-akalan keluarga mereka untuk menjauhkanku darinya.

Aku sangat kangen padanya. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke pelukannya. Tapi aku takut. Sangat takut jika ternyata Dimas memang benar-benar ingin menjauh dariku. Tapi aku masih butuh kepastian darinya. Apa yang harus kulakukan. Mendatanginya atau biarkan saja.

Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, sepertinya Dimas masih sangat peduli padaku. Jadi, apa yang harus kulakukan. Aku berdiri di ambang pintu coffee shop. Antara mau masuk atau tidak. Sampai tiba-tiba sesosok tubuh tegap dengan wajah manis berdiri tegak dihadapanku.

"Permisi mba," katanya padaku. Tak lama kami berpandangan, Ia terkejut. "Tari." teriaknya sambil meraih tanganku, menarikku keluar ke sudut jalan kemudian Ia memelukku.

"Tari kamu ke mana aja? Aku cari ke rumahmu yang dulu ternyata sudah di sita KPK, aku ke tempat Omamu tapi beliau bilang kau dan Mamamu minggat tanpa pamit. Sepertinya Ia marah sekali. Ada apa sebenarnya. Bukannya di rumah Oma hidupmu lebih baik?"

Pertanyaan Dimas bertubi-tubi hingga tak terasa air mataku menetes.

Akhirnya kami masuk ke Coffe Shop itu. Duduk berdua, berhadapan dengan Dimas membuat hatiku berdegup sangat kencang. Tak bisa kupungkiri aku masih sangat mengharapkannya bersamaku. Tapi hidupku yang sekarang berantakan ini, apakah bisa diterima Dimas. Aku masih diam sampai akhirnya

"Kenapa kamu nangis? Ceritain ke aku ke mana aja kamu selama ini. Bagaimana hidupmu sekarang? Sebelumnya aku minta maaf karna aku gak bisa menghubungi kamu. Handphone lamaku disita Mama dengan nomornya. kemudian aku dibelikan handphone baru dengan nomor baru. Mungkin agar aku tidak bisa menghubungimu. Aku bingung mencarimu ke mana."

"Dimas, kalau apa yang kamu bilang itu benar, kalau kata-katamu barusan itu benar, bahwa kamu mencariku. Aku betul-betul berterima kasih atas itu. Tapi sumpah, aku sangat mengerti jika saja kamu harus dengan terpaksa tidak menemuiku lagi karna mamamu. Aku tidak masalah." Kataku sambil tertunduk tanpa berani menatap Dimas.

"Tar, untuk saat ini maaf, aku masih harus nurutin kata mamaku. Bagaimanapun aku memang laki-laki yang belum bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Kamu tau kan. Selesai kuliahpun aku dipekerjakan mama diperusahaannya. Aku belum diijinkan membuka usaha sendiri. Tapi aku janji, kasih aku waktu dan kita akan hidup sama-sama nanti. Aku akan buktikan ke mama bahwa aku bisa mandiri. Aku akan kumpulkan uang sendiri, kemudian membangun usahaku sendiri dan setelah itu aku akan dengan berani membawamu ke hadapan mama. Tapi semua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku minta kamu bersabar untuk itu. Kalau kamu mengijinkan, sementara ini kita hanya bisa bertemu diam-diam. Agar mama tidak bisa pisahkan kita lagi."

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Dia memintaku menunggunya. Apakah selama ini dia benar-benar mencariku, benar-benar masih berharap bersamaku. Aku yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini. Air mataku menetes lagi. Kali ini Ia menghapusnya dari pipiku. Kemudian aku memegang tangannya.

"Kamu gak salah? Kamu masih mau hubungan kita berlanjut? Denganku yang seperti ini?" Kataku sambil tetap menatapnya tidak percaya.

"Tari, bukankah sudah kodratnya laki-laki menafkahi dan wanita patuh terhadapnya setelah pernikahan? Jika itu benar, maka apalah artinya hartamu bagiku? Aku yang berkewajiban menafkahimu nanti. Jadi, apapun yang kamu punya sekarang, Seberapapun harta yang kamu miliki bahkan tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

Lagi-lagi aku tidak menyangka dengan yang diucapkan Dimas. Kenapa Dimas berpikir terlalu jauh. Apa dia yakin nantinya kami akan menikah. Saat ini aku hanya bisa berharap semua yang Dimas katakan akan terwujud meskipun entah kapan.

Akhirnya sore itu aku pulang tanpa hasil. Masih saja tidak ada satupun perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi kali ini meskipun pulang tanpa hasil, hatiku sangat senang. Lain dari biasanya. Aku sempat bertukar email dengan Dimas. Sengaja kami tidak bertukar nomor Handphone, karna khawatir mamanya Dimas akan menemukan kontakku di handphnenya Dimas. Jadi kami hanya chat melalui email saja. Bagiku itu sudah cukup untuk saat ini.

Mama bingung melihat perubahan sikapku hari ini. Tapi aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian hari ini bertemu Dimas kepada Mama. Karna aku takut mama malah melarangku berhubungan dengan Dimas karna malu.

"Kelihatannya senang sekali. Apa hari ini berhasil dapat pekerjaan?" Tanya mama penasaran.

"Sayangnya ngga begitu ma, masih sama seperti kemarin-kemarin. Tanpa hasil." jawabku kemudian.

* * * * *

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan. Bagaimanapun, aku harus membayar hutang-hutangku pada Adiba. Meski Adiba sudah mengikhlaskan. Tapi aku sudah berjanji padanya akan mengembalikan uang yang Ia pinjamkan untuk membayar sewa rumah yang kami tempati ini.

Singkatnya, aku makin sering bertemu Dimas diam-diam. Sudah dua bulan ini hubungan kami berjalan seperti ini. Seperti tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing. Aku dan Dimas selalu mencari tempat yang berbeda untuk bertemu. Khawatir mama Dimas mengikuti kegiatan Dimas seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kue. Meskipun gajiku jauh dari kata cukup, setidaknya aku masih punya penghasilan untukku dan mama hidup sehari-hari. Meski kadang kami sampai tidak makan seharian karna uang gaji yang selalu saja habis sebelum waktunya.

Sebetulnya Dimas tau hal itu, Ia seringkali memberiku uang untuk hidupku dan mama. Tapi tak pernah sekalipun kuterima. Karna aku tidak mau bergantung padanya.

"Tari, aku bener-bener gak tahan lihat hidupmu dan mamamu terus kekurangan seperti ini dan kamu sama sekali gak mau menerima bantuanku sedikitpun. Apa kamu sama sekali gak bisa menganggapku berarti?"

"Maaf Dimas, tapi kita sudah pernah membahas masalah ini. Dan saat itu kamu sudah mengertikan kenapa aku seperti ini?"

Alhamdulilah Dimas mau mengerti. Ia tidak memaksakan kehendaknya untuk menghidupiku dan Mama. Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan Dimas. Saat bulan ketiga aku bekerja di toko kue, tiba-tiba aku dapat ide untuk menjual kue-kue yang ada di toko tempatku bekerja di halaman depan rumah kontrakan kami. Alhamdulilah bosku pemilik toko kue mengijinkanku untuk membawa dulu beberapa kue setiap hari untuk dijual Mama di rumah, besoknya barulah kue-kue yang telah laku dibayar dan yang tidak laku dikembalikan ke toko.

Bosku ini memang baiknya luar biasa. Aku sempat terlupa kalo sebetulnya Mama pandai sekali membuat kue. Saat dagangan kami laris, uangnya ternyata dibelikan bahan-bahan kue oleh Mama dan Mama membuatnya sendiri untuk kemudian dijual juga. Dari situ hidup kami mulai berubah.

Keadaan kami sudah tidak sesulit dulu. Perlahan, dengan modal yang kami kumpulkan akhirnya kami bisa membuka coffee shop kecil yang menjual aneka kue, roti dan donat buatan Mama. Tanpa diduga usaha kami lancar. Alhamdulilah kami tidak kekurangan lagi. Bahkan sekarang kami bisa mengirim uang dan semua kebutuhan Oma seperti dulu. Seperti sediakala saat Papa masih sukses dan kaya raya. Ini bukti bahwa Oma selama ini salah menilai kami. Bukti bahwa kamipun sanggup bertahan meski tidak ada Papah.

Saat kami mengirim uang dan keperluan Oma, dia masih saja menghina Mama. Bahkan dia memfitnah Mama menjualku anak gadisnya kepada om-om kaya agar dinafkahi sampai seperti sekarang ini. Ya Allah kenapa sih ada orangtua macam Oma? Kenapa aku harus punya nenek seperti dia. Maafkan aku ya Allah jika aku tidak berbakti padanya. Dia yang membuatku seperti itu. Demi Allah aku benci sekali padanya.

Mama hanya bisa tertunduk malu saat Oma memfitnahnya di hadapan saudara-saudara Papa yang lainnya. Kalimatnya sungguh keterlaluan dan akhirnya akupun hilang kesabaran.

"Wah...wah...sudah bisa menghasilkan segini banyak ya setelah keluar dari rumah ini? Padahal Anakku masih dalam penjara. Tapi kalian sepertinya sudah hidup senang. Om-om mana yang kau sodorkan anak gadismu itu sampai-sampai mau mengeluarkan banyak biaya seperti ini? Rumah, kendaraan, Cafe. Luar biasa pesona anakmu".

"Astagaa.... Oma cukup ya. Kalau saja Oma bukan nenekku. Kalau saja Oma bukan Ibu dari Papah, sudah sejak lama Tari memukul mulut Oma. Keterlaluan sekali ucapan Oma. Apa Oma sadar selama ini yang menghidupi Oma hanya kami. Kalaupun benar Tari jual diri. Apa peduli Oma. Yang Oma mau kan hanya hidup enak bergelimangan harta tanpa peduli harta dari mana.

Bahkan Oma tau sejak dulu jika Papah korupsi. Tapi tak sekalipun Oma melarang. Sebagai Ibu, seharusnya Oma menasihati Papa. Tapi Oma malah membiarkan itu terus berlangsung hingga Papa dipenjara. Jadi, apa bedanya Oma yang membiarkan anaknya korupsi dengan Mama yang menjual Tari? Tidak ada bedanya kan? Bedanya saat ini hanyalah apa yang dilakukan Mama tidak seperti yang dipikirkan Oma". Aku berteriak dengan lantang karna habis kesabaranku.

"Beraninya kamu bicara begitu. Begitu ya Ibumu mendidikmu hingga berani bicara kasar terhadap Oma". Jawab Oma kemudian.

"Dengar ya Oma, yang kasar itu Oma. Sejak dulu seperti orang tidak berpendidikan. Ngakunya sekolah tinggi. Tapi bisa-bisanya mendidik anak sebagai koruptor".

"PLAAAAK.............". Tamparann Oma mendarat dipipiku. Aku tidak kaget. Karna aku sudah bisa menduganya. Oma hanya bisa berbuat seperti itu setelah menyadari bahwa dirinya yang salah mendidik anak. Bukan Mamaku. Aku tersenyum kecut ke arah wajahnya. Mama langsung menarikku dari hadapan Oma.

"Cukup Bu, saya tidak pernah memukul Tari sejak dia lahir. Bagaimanapun dia berbuat kesalahan. Tapi dia tidak pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan saya hingga saya harus memukulnya. Kesabaran saya sudah habis Bu. Ini kali terakhir kami datang ke sini. Kami janji kami tidak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini".

Setelah Mama berkata begitu, kamipun pergi dari hadapan Oma. Aku sempat melihat wajah Oma yang terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dia menyadari kesalahannya. Atau malah menjadi-jadi.

Saat kami mengunjungi Papah, rasanya mulut ini tidak tahan untuk menceritakan semuanya. Kalau saja tiap berkunjung tidak selalu bersama Mama, mungkin sudah kuceritakan semua yang terjadi pada hidup kami di rumah Oma. Tapi Mama selalu mencegahnya. Mama seperti malaikat bagiku. Beliau terlalu baik. Ia tidak ingin Papah mendurhakai Ibunya demi membela istri dan anaknya. Mamaku luar biasa. Aku ingin menjadi wanita sepertimu Ma. Semoga aku bisa sekuat dirimu.

Hidupku dan Mama akhirnya kembali bahagia. Aku kembali meneruskan kuliahku yang sempat terhenti karna cuti. Semua seolah berjalan dengan sangat mulus tanpa hambatan. Sampai suatu ketika aku melihat pemandangan yang luar biasa menyakitkan. Membuatku ingin muntah. Pahit rasanya.

* * * * *

Siang itu aku memutuskan untuk ke cafe sebrang kampus setelah jam kuliah usai. Aku lelah dan rasanya ingin minum minuman segar. Maka aku mampir ke cafe itu. Sebetulnya sejak dulu, sejak pertama kali aku masuk kuliah di kampus ini, belum pernah sekalipun aku masuk ke cafe itu. Karna dulu ada seorang laki-laki menakutkan yang bekerja di cafe itu. Sebetulnya bukan menakutkan bagaimana. Hanya saja dia selalu menatapku dalam-dalam tak berkedip jika berpapasan di depan cafe itu. Jadilah aku tidak pernah jadi masuk cafe itu sekalipun.

Tapi satu bulan lalu. Aku pernah mengalami kejadian tak terduga. Saat di jalan, ada anak-anak yang sedang bersepeda tanpa sengaja menabrakku hingga aku terjatuh dan barang-barang yang kubawa berantakan tercecer dijalan. Aku sedikit terluka waktu itu. Untungnya ada cowo baik hati yang lewat dan membantuku membereskan semua barang bawaanku yang tercecer dijalan.

"Adduduuuh". Keluhku saat itu. Lenganku terluka. Darah menetes. Untungnya tidak parah.

"Udah-udah, kamu duduk aja di situ". Kata laki-laki yang sedang membantuku merapikan barang bawaanku itu. Sambil memapahku ke bangku taman, Ia membawakan semua barang-barangku.

"Aduh kamu luka". Katanya dengan wajah khawatir namun tenang. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kemudian membukanya dan menyiram lukaku dengan air itu.

"Ini harus dibersihkan dulu biar gak infeksi". Katanya kemudian.

Saat tanpa sengaja kami bertatapan aku sangat terkejut melihatnya, kemudian spontan berteriak........

"Aaaah, eloe..... eloe kan cowo yang kerja di cafe itu kan. Yang selalu natap gue dengan muka serem. Mau ngapain lu? Aduh plis jangan macem-macem". Teriaku saat itu dengan panik.

"Aduh Mbaa, jangan salah sangka dong. Iya iya, gue emang cowo yang kerja di cafe itu. Emang bener gue selalu liatin lu tiap lu jalan di area cafe. Tapi sumpah gue bukan orang jahat. Maaf banget kalo tatapan gue mengganggu. Gue cuma merasa lu mirip sesorang yang udah lama ngilang. Maaf ya". Katanya menjelaskan.

Dari situ kami akhirnya ngobrol. Sambil dia mengantarku pulang kami banyak ngobrol. Ternyata selama  ini dia pernah kehilangan saudara perempuannya yang mirip banget denganku. Itu sebabnya dia selalu memperhatikanku. Wajah seram dengan tubuh tegapnya itu sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ternyata sangatlah ramah dan sopan.

Sejak saat itu kami berteman. Beberapa kali aku ke cafe itu dan dia membiarkan aku minum cappuccino kesukaanku tanpa membayar.

"Ssst.... jangan bilang-bilang ya. Nanti bos marah". Begitu katanya setiap kali dia memberiku gratisan Cappuccino. Lucu sekali dia.

Sampai akhirnya belakangan aku tau, bahwa ternyata justru dialah pemilik cafe itu. Tidak banyak orang yang tau kalau dia pelayan yang ternyata juga pemilik cafe. Rasanya aneh, ada manager yang tunduk sama pelayan. Hihihi..... dia itu emang cowo unik.

Entah sejak kapan aku mulai sering berkunjung ke Dance Cafe. Iya cafe itu diberi nama Dance oleh Bima pemiliknya. Ya, cowo unik itu namanya Bima. Aku mulai sedikit dekat dengannya. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, karna lebih sering bercanda dan bikin aku tertawa.

Disuatu siang yang sangat terik, aku memutuskan untuk ke cafenya Bima. Saat aku masuk dan masih berdiri di ambang pintu cafe. Aku melihat pemandangan yang membuatku muak dan ingin muntah. Aku terdiam, melihat sosok Dimas yang sedang bermesraan dengan seorang gadis. Mereka tampak sangat dekat, bermesraan bahkan hampir berciuman. Aku jijik melihat kelakuan mereka di depan umum seperti ini.

Saat itu aku berdiri tegak sambil tetap memandangi pemandangan memuakkan itu sambil meneteskan air mata. Dua makhluk brengsek itu tidak melihatku. Tapi rupanya Bima menyadari kehadiranku diambang pintu cafe. Ia yang melihatku tengah terdiam sambil menangisi pemandangan itu kemudian menghampiriku sambil menyebut namaku keras.

"Tari....." . Kontan saja dua makhluk menjijikan itu juga menengok ke arah Bima yang memanggilku.

Mereka berdua terkejut bukan main. Spontan Dimas bangkit dan ingin segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiriku. Namun saat itu gadis yang juga sama menjijikkannya itu mencegahnya. Ia menarik lengan Dimas. tidak membolehkan Dimas menghampiriku.

Segera aku berjalan keluar cafe dengan berderai air mata. Aku tak menyangka. Ternyata selama ini hubungan sembunyi-sembunyi kami bukan hanya untuk menghindari Orangtuanya. Tapi juga untuk menutupi hubungannya dengan Utami dariku. Ya, Utami. Dialah Utami sahabatku dan Adiba. Dulu saat SMA kami berlima adalah sekelompok siswi populer bergelimangan harta orangtua kami.

Aku, Adiba, Nadya, Nadiva, dan dia Utami. Kami berlima bagai satu bagian tubuh yang tak terpisahkan. Namun akhirnya harta dan kedudukan mengalahkan segalanya. Utami menghilang ketika Adiba dan aku jatuh bangkrut. Ketika kami berdua terpuruk. Utami tidak ada. Meski Nadya dan Nadivapun  seperti menghindar, tapi mereka masih menunjukan kehadirannya pada kami. Berbeda dengan Utami yang benar-benar menghilang namun kami tau Ia hanya menghindar.

Tiba-tiba muncul dihadapanku sedang memeluk mesra kekasihku Dimas. Bergandengan bahkan hampir berciuman di muka umum. Aku shock bukan main. Aku terisak di sudut jalan, Dengan posisi jongkok dan menelungkupkan wajahku dalam tunduk, aku menangis sejadi-jadinya.

Belaian lembut mendarat dikepalaku. Aku mengangkat wajahku. Kutatap wajah Bima kemudian kulanjutkan tangisku.

"Tari, udahlah. Gak pantes air matamu buat laki-laki macam dia". Bima berkata demikian seolah Ia sudah tau dan mengerti tentang hubungan kami bertiga. Aku, Dimas, dan Utami. Saat itu aku masih tidak menyadarinya. Aku tidak juga menghentikan tangisku. Aku masih shock.

"Iya Bim, tapi rasanya sakit. Gue tau orang seperti Dimas gak pantes ditangisin. Tapi Bim, lu liat kan tadi. Itu tadi Tami Bim. Utami sahabat gue. Koq bisa sih. Pantes selama ini dia menghilang. Rupanya dia gak mau ketemu gue karna udah berhasil ngerebut Dimas. Gue gak nyangka Bim, ternyata selama ini Dimas cuma ngebohongin gue. Perhatiannya, semuanya ternyata cuma bohong. Bahkan dia sempat mau menghidupi gue sama nyokap waktu itu. Untuk apa Bim. Cuma untuk ngerjain gue doang mungkin. Untungnya gue gak main terima gitu aja bantuan dia. Gue benci mereka berdua Bim. Benciii........".

Terus saja aku menangis. Tak terasa sudah mulai gelap. Aku dan Bima masih terduduk di bangku taman. Untungnya Bima bukan karyawan biasa di Dance Cafe. Jadi saat sekarng dia menemaniku tidak menjadi masalah baginya.

Sampai akhirnya aku merasa tenang, akhirnya aku pamit pulang pada Bima. Dia sedikit memaksa ingin mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolaknya. Akhirnya aku pulang dengan diantar Bima.

Sesampainya di depan pintu rumahku, Bima ikut turun dari mobilnya. Memastikan aku masuk ke dalam rumah. Tapi begitu kami sampai di depan gerbang rumahku. Tiba-tiba sesosok laki-laki muncul dan memegang agak keras lengan kiriku. Ya, ternyata Dimas sudah sejak tadi menungguku pulang.

"Tari, tunggu Tar. Biar aku jelasin semuanya". Kata Dimas sambil menarik keras lenganku demi mencegah aku masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Dim. Aku paham koq. Gak papa, aku baik-baik aja. Kamu bebas memilih berhubungan dengan perempuan manapun termasuk Utami. Bahkan mungkin kedua orangtuamu akan lebih senang kalo kamu sama dia. Aku fine aja koq. Udah ya, aku harus masuk".

Dengan sok tegar dan wajah tenang aku berkata demikian. Tapi sungguh, saat ini perasaan sakitku lebih kepada Utami. Aku masih tidak menyangka Utami bisa setega itu. Tapi pada Dimas, rasanya aku lebih tegar setelah tau dia brengsek dan tidak pantas dipertahankan. Benar kata Bima, laki-laki seperti Dimas akan mudah kucampakkan. Karna dia memang pantas diperlakukan seperti itu.

"Gak bisa Tar. Aku ga ada perasaan apa-apa sama Tami. Aku cuma cinta sama kamu". Katanya dengan wajah tegang sambil masih memegang lenganku.

Bima yang sedari tadi masih diam melihat perbincangan kami, tiba-tiba ikut emosi melihat wajahku yang tidak nyaman karna lenganku masih dipegang Dimas dengan sedikit keras. Mungkin Bima takut Dimas menyakitiku.

"Heh, lu gak denger. Tari udah gak mau dengerin penjelasan apa-apa. Gak usah lu paksa-paksa. Punya malu dikit dong". Kata Bima sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas dari lenganku.

"Eh, lu gak usah ikut campur ya. Lu itu cuma masa lalunya. Lu cuma temen kecilnya yang bahkan gak penting lagi buat hidupnya sekarang. Mending lu jauh-jauh dari Tari".

Apa? Teman masa kecil? Disini aku tidak mengerti ucapan Dimas. Apa maksudnya Ia berkata bahwa Bima adalah teman masa kecilku. Akupun spontan menatap Bima dengan wajah bingung. Kemudian kulepaskan cengkraman tangan Dimas.

"Tunggu. Apa maksudnya? Bima teman masa kecil aku? Apa ini Bim? Aku gak ngerti. Kapan kita pernah berteman sebelum ini?". Tanyaku sambil menatap Bima dengan wajah seribu tanya.

"Ooh jadi kamu bener-bener gak inget dia? Hmm, emang pantes cowo kaya lu itu dilupain. Orang gak penting dan bukan siapa-siapa macem lu, gak penting buat diinget-inget. Biar aku yang jelasin ya Tar. Ni cowo udah kenal kita dari jaman kita masih SMA. Dia sering mandangin kamu dari luar gerbang sekolah. Untungnya dia gak sampe berani nyamperin kamu. Kalo sampe berani, mungkin udah aku hajar dulu itu. Setelah aku selidiki, ternyata dia temen masa kecil kamu dulu waktu kalian tinggal di bandung yang cuma sebentar. Kamu pernah kan tinggal di bandung selama 6 bulan saat umurmu 7 tahun? Nah, dia ini yang dulu pernah jadi temen main kamu di sana. Rupanya cowo bego ini udah bener-bener jatuh cinta sama kamu Tari. Sampe-sampe dia ngejar kamu sampe ke jakarta. Waktu tau kamu masuk SMA Harapan, dia sering dateng ke sekolah kita. Tapi mungkin dia terlalu pengecut buat ngadepin kamu dulu karna kamu putri penjabat dan pengusaha terkenal kaya raya. Cowo kampung kaya dia mana mungkin cocok sama kamu".

Aku kaget bukan main. Bayanganku flash back ke beberapa tahun lalu saat aku masih kecil dan sempat tinggal di Bandung waktu itu. Dengan susah payah akhirnya aku mengingat semuanya. Pantas saja aku lupa wajah Bima. Karna dulu waktu kami kecil, sosok Bima sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bima kecil adalah anak cowo super gendut dengan pipi super tembem yang paling perhatian sama aku dibanding teman-teman lainnya. Saat tidak ada yang mau main denganku karna katanya aku lambat kalo diajak main lari-larian, hanya Bima yang mau menemaniku bermain boneka dan masak-masakan.

"Ya ampun Bimaaa, aku ingat sekarang siapa kamu. Anak Tante Lani. Kamu beda banget. Gimana bisa badan kamu jadi atletis kaya sekarang ini. Mana mungkin aku ngenalin kamu. Kenapa kamu ga cerita sih dari dulu. Ayo Bim mampir masuk dulu. Mama pasti inget deh sama kamu anaknya Tante Lani. Dulu kan kalian deket". Aku menarik lengan Bima sambil membuka gerbang rumah.

"Tunggu dulu Tar, gimana urusan kita. Aku bener-bener ga ada hubungan apa-apa sama Tami". Dimas masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku tidak peduli.

"Maaf Dim, kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Semuanya selesai di sini. Kamu silahkan teruskan hubunganmu dengan Tami. Dan jangan sekalipun nyakitin dia. Karna bagaimanapun, Utami masih tetap sahabat baikku".

Setelah itu aku berlalu dari hadapan Dimas dan masuk ke dalam rumah bersama Bima.

Singkat cerita akhirnya Bima menceritakan semuanya. Saat dia pindah ke Jakarta, dia mencariku. Setelah menemukanku, dia segan untuk menghampiriku begitu dia tau latar belakangku yang ternyata putri seorang pejabat dan pengusaha sukses di Jakarta. Memang dulu waktu aku tinggal di Bandung, kehidupan keluargaku belum sebaik di Jakarta.

Namun keinginan kuatnya untuk menemuiku membuat Ia berjuang hidup sendiri di kota besar yang penuh tantangan ini. Berbekal dari keahliannya membuat kopi dan kue, Ia membuka toko kecil. Sampai akhirnya kemudian berhasil mengumpulkan uang untuk modalnya membuka cafe yang jauh lebih baik dari sekedar toko kuenya yang dulu.

Bahkan aku tak menyangka. Tenyata nama cafenya diambil dari namaku. Dance yang artinya Tari sama dengan menari. Aku sangat tersanjung mendengarnya.

Tak berapa lama kemudian, Bima memberanikan diri melamarku. Aku tidak terkejut. Karna sudah tau bahwa dia memang menyayangiku sejak dulu. Senang bukan main ternyata ada laki-laki hebat yang memperjuangkan hidupnya demi aku. Setelah bicara pada Mama mengenai pinangannya, kami bertiga. Aku, Mama, dan Bima pergi menemui Papah di tahanan. Bima melamarku. Papah menitikkan air matanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah sedewasa ini dan memang sudah waktunya untuk menempuh hidup bersama orang yang tepat.

Kamipun menikah. Bahagianya karna Papah diijinkan keluar sel demi menikahkan kami berdua. Dengan restu Papah dan Mama, kamipun menikah dengan bahagia.

Ditahun berikutnya, Papah mendapatkan remisi. Karna Ia berkelakuan baik selama di sel. Ia mengajarkan banyak ilmu pada sesama tahanan di sel bahkan kepada para sipir tahanan. Papah memang orang yang sangat cerdas, ilmu bisnisnya banyak. Maka dengan ilmunya, Ia berhasil menelurkan para wirausahawan kecil setelah mereka masing-masing keluar dari tahanan. Itu prestasi yang membanggakan, maka papah keluar lebih cepat.

Ia kembali ke rumah kami. Sekarang kami hidup bahagia berempat, dan sedang menanti seorang anggota keluarga baru di kandunganku.

Allah memang Maha Tau yang baik bagi umatnya. Termasuk dalam hal jodoh. Bagaimanapun, kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tepat pada waktunya. Tidak akan terlalu cepat, ataupun terlalu terlambat. Semua ditanganNya selalu tepat pada waktu.

 S E L E S A I

By; Upay

Rumah Tangga

Pic from google
Aku ini laki-laki biasa awalnya. Lulus sekolah dengan nilai cukup. Tidak kurang juga tidak lebih. Sempat kuliah namun gagal. Tapi tidak menyurutkan langkahku untuk tetap hidup damai. Kemudian aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta yang cukup besar. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana mulanya, aku bertemu dengan perempuan ini. Perempuan yang sangat-sangat biasa. Wajah biasa-biasa saja penampilanpun sederhana.

Dia juga bekerja di perusahaan swasta besar di kota ini. Entah sejak kapan kamipun dekat. Karna perhatiannya yang luar biasa membuatku nyaman, akupun jatuh hati padanya. Walaupun aku tau dia biasa saja. Ya, karna dia tidak cantik. Sedangkan aku yang digilai banyak perempuan, mungkin seharusnya mendapatkan gadis yang super cantik agar serasi denganku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menyayanginya. Karna Ia membuatku nyaman dengan perhatiannya. Singkat cerita kamipun menikah. Sebetulnya ada kendala saat kami memutuskan untuk menikah. Ya, kendala itu adalah soal pekerjaanku yang sebetulnya saat itu statusku masih kontrak. Tapi calon bidadari surgaku ini rupanya tidak ambil pusing. Ia katakan bahwa harta bisa dicari bersama setelah menikah. Aku makin meleleh padanya. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Yang mencari laki-laki mapan untuk dinikahi. Padahal dia sendiri cukup berhasil dalam karirnya. Harusnya dia punya gengsi untuk memilih laki-laki mapan. Mungkin Ia hanya terpesona pada tampangku. Begitu kupikir saat itu.

Ok, cerita kusingkat-singkat aja ya. Akhirnya kami menikah, setahun kemudian kami memiliki seorang putri. Dan benar saja, ditahun ini kontrak kerjaku habis. Jadilah aku pengangguran. Bapak rumah tangga. tapi tidak full, Karna tetap saja yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah istriku. Namun begitu, aku membantunya menjaga putri kami. terlebih lagi, saat putri pertama kami lahir, istriku gelagapan, bingung mengurus baby. Tentu saja, karna sejak kecil Ia di manja oleh Ayah Ibunya. Sebetulnya aku yakin Iapun tidak terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Terbukti Ia lebih sering bermalasan. Jika sudah kepepet, barulah Ia kerjakan. Seperti mencuci piring misalnya. Kalau piring sudah habis, terpaksa Ia mencuci piring, lantai sudah berdebu, barulah Ia menyapu. Itulah istriku.

Tapi tidak mengapa. Karna Ia sangat sayang padaku. Aku tau itu. Aku ini sangat berarti baginya. Meski aku pengangguran, Ia tetap melayaniku dengan sabar. Kau tau, aku yang membersihkan baby kami jika Ia pup, memandikannyapun terkadang Ia malas. Alasannya masih ngeri karna masih terlalu kecil. Pokonya Ia betul-betul Ibu pemula yang buruk. Tapi tak apa. Nanti Ia pasti akan terbiasa. Aku terus menganggur selama setahun. Istriku tak mempermasalahkan itu, walaupun sesekali Ia sering bertanya dalam senyum dan wajah sedihnya. Kapan yah kamu dapat kerja lagi?.

Aku hanya terdiam. Karna dari sekian banyak lamaran yang kumasukan secara online di beberapa perusahaan, belum ada satupun panggilan yang kuterima. Aku tau, Ia bertanya seperti itu karna walau kami memiliki gaji dari pekerjaannya, tapi itu tidak mencukupi. Meski Ia yang bekerja mencari nafkah, Ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah, lambat laun Ia mulai lihai merawat baby kami. Pada akhirnya aku sedikit menyadari. Semua Ia lakukan untuk ruah tangga kami. Mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah, juga merawat baby. Lalu aku apa? Ngapain? Yah, inilah aku. Suami yang kurang peka. Hanya suka tidur, menonton TV dan bermain game.

Tapi Alhamdulilah. Tak berapa lama akupun mendapatkan pekerjaan. Gajinya tidak besar, tapi lumayan untuk kehidupan kami ke depannya. Istriku bahagia. Itupun karna ternyata Ia hamil lagi. Putri kami akan segera memiliki adik. Kupikir akhirnya kehidupan kami kembali normal. Karna aku kini telah bekerja lagi. Tapi memang yang namanya manusia, selalu saja tak pernah merasa cukup. Pada akhirnya bukan mensyukuri pekerjaan yang telah susah payah kudapatkan, aku malah mengeluhkan gajiku yang justru lebih rendah dari gaji istriku. Seringkali aku ungkapkan rasa maluku padanya karna memiliki gaji yang tidak seberapa dibanding gajinya.

Aku merasa gagal lagi sebagai seorang suami. Namun begitu, istriku tetaplah istriku yang sederhana, tidak cantik, namun sangat-sangat mencintaiku. Tentu saja aku tau dia sangat mencintaiku. Jika tidak, mungkin telah lama Ia pergi meninggalkanku karna kegagalanku. Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Aku bekerja dengan sangat giat dan rajin. Pergi pagi pulang terlalu larut. Namun tetap saja, tak ada yang berubah. Sampai-sampai kami jadi sering bertengkar kecil karna masalah waktu.

Ya, waktu kerjaku yang sangat tidak sebanding dengan gajiku. Gaji minim namun waktu bekerja tidak wajar. Aku terus berusaha meyakinkan istriku untuk bersabar, meski terkadang Ia berteriak padaku karna kesal setiap hari pulang terlalu larut. Aku hanya bisa menerima keadaan itu. Karna sesungguhnya Ia benar. Gajiku tidak mencukupi kebutuhan kami, tapi aku sama sekali sudah tak punya waktu luang untuk sekedar jalan-jalan seperti yang sering kami lakukan dulu. Itu semua karna jam kerjaku.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kesempatan. Alhamdulilah, aku berkesempatan pindah ke perusahaan yang lebih baik. Meski gaji hanya sedikit saja naiknya, tapi aku yakin dengan kemampuan, pengalaman, dan tekadku, aku pasti akan berhasil diperusahaan baru ini. Jam kerjaku tidak banyak berubah, masih sering pulang malam. Kadang aku pulang, istri dan anak-anakku sudah terlelap, pagi saat aku berangkat, istriku sudah lebih dulu berangkat ngantor, sementara anak-anak kami titipkan pada mertuaku.

Perlahan tapi pasti, aku semakin berhasil. Gajiku perlahan naik. Alhamdulilah lama-lama mendekati gaji istriku. Akupun terus mengejar karir. Demi bisa mencukupi kehidupan keluarga kami. Semakin lama aku semakin lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Memang karna pekerjaanku yang menyita banyak waktu kerjaku. Aku minta pengertian istriku untuk bersabar. Ia mengerti, walau terkadang suka ngambek. Aku maklumi itu.

Gaji kami yang perlahan mulai mencukupi, rupanya belum dapat mengurangi beban istriku. Ia mengerjakan semuanya. Bekerja juga, pekerjaan rumah, mengurusku, megurus anak-anak. Entah bagaimana Ia melakukan itu semua dengan kesabarannya. Seharusnya aku lebih sering memujinya. Tapi aku bukanlah laki-laki type romantis yang suka memuji istri. Entahlah, aku merasa itu hal yang kurang penting. Meski banyak artikel yang sering kubaca mengatakan bahwa pujian-pujian kecial suami terhadap istri sangatlah bermakna bagi kehidupan rumah tangga, terlebih lagi bagi si istri. Namun tetap saja aku kurang pandai memuji.

Parahnya lagi, semakin hari aku semakin malas membantunya mengerjakan pekerjaan ruman. Disaat Ia sedang berbenah lantai yang berdebu, penuh sampah berserakan, bahkan mainan anak-anak, aku hanya asyik memainkan game di gadgetku. Tak membantunya sama sekali. Padahal setelah selesai mengerjakan itu, masih banyak tumpukan pakaian yang mesti dicuci dan disetrikanya. Kami bukan tidak ingin memiliki ART, hanya saja jaman sekarang sulit sekali mendapatkan ART yang cocok. Jadilah sampai sekarang semua pekerjaan di handle istriku. Tak satu kalimat pujianpun bisa keluar dari mulutku. Bahkan sekedar bilang bahwa Ia pahlawan kami, wonderwoman yang di utus Allah mengurus rumah ini. Kalimat itu hanya ada dalam kepalaku saja tanpa pernah kukatakan padanya.

Bahkan tak jarang aku malah mencapnya pemalas ketika sesekali Ia hanya terlihat merebahkan diri di kasur tanpa berbuat apa-apa. Piciknya aku. Jika Ia pemalas, lalu aku apa?

Sekarang kehirupan kami terasa sudah jauh lebih baik. Meski kami delapan tahun kemudian telah dikaruniai tiga orang anak, tapi kami hidup cukup. Masih dari gajiku dan istriku. Istriku belum berani memutuskan untuk resign. Akupun demikian. Belum yakin jika Istriku tidak membantuku mencari nafkah. Lambat laun gajiku sudah jauh melebihi gaji istriku. Yah beginilah naluri lelaki. Gaji besar sedikit, merasa mencukupi, kemudian jadi betul-betul pemalas membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak ada satupun pekerjaan rumah yang aku bantu. Semua hal benar-benar istriku yang mengerjakan. Sedangkan aku bahkan hanya bisa cuek menanggapi keluhannya ketika Ia sedang mengeluh capek. Yah inilah aku. Sampai pada suatu ketika, aku dihadapkan pada cobaan berat yang aku tidak menyangka sama sekali akan terjadi.

Istriku yang selama ini kuanggap sabar, melayaniku sepenuh hati, merawat anak-anak kami, yang aku yakin Ia sangat mencintaiku lebih dari dirinya, kehilangan kesabaran. Aku melihatnya memegang kertas itu. Lembaran kertas yang membuat jantungku serasa ingin berhenti.

Ia tidak pernah membahas apapun tentang pernikahan kami selama ini. Keluhan-keluhannyapun tidak pernah membahas tentang perceraian. Aku shock melihat Ia memegang kertas bertuliskan "Pengadilan Agama. Pengajuan Cerai". Tak sanggup berkata-kata rasanya.

Yang membuatku bingung, kenapa Ia membawa-bawa kertas itu dengan wajah santai seperti tidak ada perasaan apa-apa. Dan kenapa Ia belum juga membicarakannya denganku. Ya Allah, apa ini akibat dari kemalasanku? Akibat dari sikap cuekku yang berlebihan? Tak pernah sekalipun memujinya, bersikap seolah yang Ia lakukan untuk keluarga ini hal yang biasa-biasa saja. Apakah pada akhirnya kesabarannya telah habis?

Habis dimakan semua pekerjaan kantor, rumah, mengurusku, dan juga anak-anakku? Ya Allah kenapa dia diam saja sampai detik ini. Ia memasukan lembaran kertas itu ke laci documen dalam lemari pakaian. Tanpa berkata apa-apa. Hatiku tegang, jantungku dag dig dug. Menebak-nebak apa yang akan Ia katakan padaku?

"Pah, kita cerai saja ya?"

"Pah, aku sudah gak tahan dengan sikap cuekmu".

"Pah, kita sudahi saja".

"Pah, aku lelah. Kita selesai saja ya".

Aku menduga-duga sambil mengucurkan keringat dingin. Tapi anehnya, sampai malam hari waktunya kami tidur, Ia tidak juga membicarakannya. Bahkan saat makan malam. Sikapnya masih seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.

Ya Allah, andai ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini semua. Akhirnya malam semakin larut. Ia tertidur. Tertidur tanpa membicarakan perceraian yang sedang Ia siapkan. Rasanya aku ingin sekali melihat lembaran kertas itu. Tapi rasa takut dan kecewa lebih besar dari rasa penasaranku akan kertas itu. Karna jelas-jelas judul kertas itu Surat Pengajuan Cerai.

Pagipun tiba, aku yang jadi sulit tidur nyenyak, bangun dengan wajah kusut. Istriku seperti biasa panik. "Lho pah, koq nukanya pucet, kantung mata papah hitam sekali. Kenapa? Papah sakit?". Tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng kemudian kembali menarik selimut. Hari itu istriku sedang cuti. Itu sebabnya Ia masih dirumah. Biasanya Ia berangkat lebih pagi dariku.

Kuputuskan untuk berangkat lebih siang. Karna merasa tidak enak badan. Aku yang workaholic ini memang tidak mungkin mengajukan cuti, meski sakit sekalipun. Paling-paling aku hanya ijin datang siang sampai badanku terasa enakan.

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah kami berbunyi "Ting Tong". Istriku beranjak ke lemari pakaian, mengambil kertas itu. Kertas yang membuatku tak dapat tidur semalaman.

"Lho mah, kertas itu?". Tanyaku sepotong-sepotong.

"Ooh ini, iya nih kemaren pengacaranya Mba Nida datang ke rumahnya, tapi Mba Nidanya lagi gak ada. Jadi dititipin ke aku. Akhirnya Mba Nida memutuskan pisah dari Mas Seno lho Pah. Sebentar ya Pah, aku ke depan dulu kasihkan surat ini ke Mba Nida".

Iapun pergi berlalu membawa kertas itu bersamanya unutuk diserahkan kepada yang punya.

Aku terdiam, bengong tanpa kata. Kemudian tertawa kencang hingga mengagetkan istriku yang masih di depan menutup pintu karna Mba Nida langsung pulang begitu menerima surat itu.

"Pah, apa yang lucu? Koq tertawa sampai terdengar ke ruang tamu?". Tanyanya padaku yang masih menyeringai lebar mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku bingung mau jawab apa. Mau bohong tapi gak kepikiran bohong apa. Jadilah aku ceritakan semuanya. Dari awal aku melihat dia membawa-bawa kertas itu sampai pagi tadi surat itu diserahkan. Aku ceritakan bagaimana aku menduga-duga yang akan Ia katakan padaku tentang perceraian.

"Hahahahahah........". Iapun ikut tertawa. Ia tertawa sangat lepas, sangat bahagia. Baru kali ini aku lihat tawanya yang begitu mekar. Maka akupun bertanya. "Ih Mama koq ketawanya gitu amat? Seneng banget ya ngetawain Papah yang bodoh ini?".

Tapi jawabannya membuatku terkejut. Rupanya rasa panik yang menjalar padaku sejak semalam itu Ia artikan bahwa aku takut kehilangannya. Mungkin benar. Hanya saja tak satu kalipun aku pernah mengungkapkan dengan kata-kata atau hal romantis tentang rasa takut kehilangannya itu.

"Mama bukan senang karna Papah udah suudzon dan bersikap bodoh seperti itu. Mama hanya gak nyangka aja. Ternyata Papah takut juga ya kehilangan Mama? Papah gak mau ya dicerai sama Mama?". Katanya sambil terus tertawa dengan wajah seperti meledek aku yang terlihat bodoh.

Ya, benar juga. Sejak semalam aku ketakutan. Aku takut kecewa, takut shock menerima kenyataan bahwa kami akan berpisah. Baru kusadari sudah bertahun-tahun lamanya sejak pernikahan kami, aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan rasa sayangku padanya, pada istriku ini. Jarang memujinya, bahkan tak pernah mengungkapkan dengan gamblang bahwa aku tak bisa kehilangannya. Karna akupun baru menyadari sejak semalam.

Kemudian Iapun bicara. Kalimat yang mambuatku lega dan merasa makin dicintai olehnya.

"Papah nih aneh. Koq bisa-bisanya mikir begitu. Kita ini udah hidup tenang. Alhamdulilah semua kebutuhan sudah terpenuhi, anak-anak sehat, tidak ada masalah di rumah ini. Kenapa Papah bisa berpikiran Mama bakalan minta cerai? Kalo emang Mama gak peduli Papah, sudah sejak dulu Mama minta cerai. Sejak Mama harus berjuang sendirian.

Bukannya mengungkit-ungkit nih ya Pah. Kalo Mama cuma mau hidup enak dan nerima Papah yang bisa nyukupin aja, buat apa Mama bertahan dengan kondisi kita yang dulu itu. Makan kurang, kebutuhan kurang, Papah bahkan gak kerja, kalaupun kerja gajinya kecil. Buat apa pah. Mending dari dulu aja minta cerainya. Sekarang Papah udah mapan, udah nyukupin, gaji sudah besar. Masa iya Mama malah minta cerai sekarang dari Papa. Papah nih aneh".

"Yaah, Papa pikir Mama gak hanya butuh dicukupin secara finansial aja. Mama kan tau sendiri Papa males bantu-bantu kerjaan rumah, gak pernah muji Mama, jarang bilang sayang, hal-hal semacam itulah pokonya".

"Gini ya Pah, sebetulnya Mama tuh ga terlalu pingin banget koq di puji-puji Papah. Apalagi digombalin. Gak perlu pah. Walaupun kadang suka kesel dengan Papa yang sama sekali gak bantu kerjaan rumah, Mama masih gak masalah koq. Masih bisa sabar ngerjain itu semua. Cuma satu hal yang Mama pingin dari Papah. Jujur apa adanya. Gimana di rumah, ya begitu di luar".

"Maksud Mama gimana?". Tanyaku penasaran. Karna rasa-rasanya sikapku di rumah dan di luar gak ada bedanya. Sama-sama cuek, gak pernah bermasalah.

"Mba Nida pernah nemu BBM'an Mas Seno sama teman kerja wanitanya. Mba Nida bilang sih awal-awal itu isiya cuma kaya becandaan biasa aja. Berawal dari "Eh ke mana lo? Koq gak masuk?". Kemudian dibalas sama Mas Seno. "Ada koq lagi di HRD, kenapa nyariin gue? Kangen ya? Hahaha". Mba Nida pikir cuma becandaan teman biasa aja di kantor. Eeeh mana tau akhirnya mereka malah pisah gara-gara Mas Seno kedapatan serius sama perempuan itu. Naah yang Mama mau, sikap Papah ya jujur. Di rumah cuek, di luar ya harus gitu juga dong. Jangan sama istri cuek, sama teman kantor becanda-becanda kangen-kangenan gitu. Istri mana tau Pah suaminya seperti apa di kantor. Cuek atau malah ganjen. Itu yang Mama gak mau".

Aku tersenyum sambil mengangguk kemudian mencium kening istriku. "InshaAllah, Papah gak akan ganjen-ganjen di luar rumah. Heheheheh". Kamipun tertawa. Rasanya lega dan akhirnya aku semangat lagi berangkat ngantor yang kesiangan hari ini.

Aku hanya berharap dan berdoa. Semoga Allah tidak mengujiku melalui perempuan-perempuan mulus di luaran sana. Jangan sampai aku tergoda apalagi terpikat dengan lawan jenis di luar rumah. Ya Allah, lindungi hambamu. Tidak ingin perjuanganku bersama istriku sedari kami menikah sampai semapan ini jadi sia-sia hanya gara-gara aku terlena dengan kemolekan perempuan di luaran sana. Semoga Papah selalu ingat perjuangan Mama mendampingi Papa dari kita hidup sulit ya Mah.

Jangan pernah lupakan, siapa yang berjuang bersama kita sedari kita masih susah. Jika banyak perempuan-perempuan molek di luaran sana yang menggoda imanmu. Maka ingatlah, azab Allah sangat pedih, dan karma dari istri yang tersakiti pasti terbalas. Senang hanya sesaat jika harus ditukar dengan kehilangan keluarga yang selama ini mensupport kita, maka kamu pasti akan merugi.

Setialah bersama istri. Arungi hidup seperti kapal dan nakhodanya. Meski klise, kalimat itu memang benar maknanya.

#SELESAI#

By: Nanda

#CurhatSuami

Jumat, 15 Mei 2020

Monyet yang rakus

Alhamdulilaah akhirnya ada juga pembaca BLog Cerpen yang mengirimkan cerita anak-anak.

Ini yang kita tunggu-tunggu ya guys. Ceritanya menarik kiriman dari Muhammad Zainul Firdaus.

Kami ucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya mengirimkan cerita ini. Berikut kisahnya !

Monyet Yang Rakus

Apakah ini sudah cukup??” kata kelinci.”Iya mungkin ini sudah cukup untuk makan selama 1 minggu”kata kura-kura,”Baiklah,kita istirahat sekarang!!”kata siput.Kelinci kura-kura dan siput sudah bersahabat sejak lama,Iapun berundingan untuk mencari makan bersama-sama,lalu makanan tersebut disembunyikan dirumput bawah pepohonan.”semoga saja tidak ada yang tahu tentang persembunyian ini,ya...??”ucap si kelinci,”Iya..semoga saja”Kata kura-kura dan sisiput.Dan merekapun berbincang bincang sambil makan makanannya.

Disisi lain,monyet pergi bergelantungan untuk mencari makanan dipohon-pohon,secara tidak sengaja,monyet melihat kelinci dan teman temannya menyimpan makanan disuatu tempat.monyetpun berpikir jahat.”jika kuambil semua makanan itu maka aku akan makan besar minggu ini..hahaha!!”ucap monyet dalam hati.Setelah kelinci dan teman temannya pulang,simonyetpun melakukan aksinya untuk mencuri makanan tersebut.

Keesokan harinya kelinci dan kura-kura marah-marah,sebab makanannya habis tidak ada satupun tersisa “kemana semua makanan kita ini??”ucap kelinci dengan mata agak memerah,sisiputpun terdiam dan memikirkan sesuatu “Hmm...Bagaimana kalau kita cari dirumah rumah sekitar sini..”.Sisput mengajukan saran,”baiklah,mungkin kita bisa..”Setelah kelinci dan teman temannya berkeliling satu kampung,

Hanya tinggal rumah monyet yang belum didatangi”Mari kita tanyakan ke monyet”Kata siput.

Ketika kelinci hampir mengetok pintu,secara tidak sengaja ia mendengar si monyet bicara sendiri di jendela luar”Huh...Seandainya saja aku makan banyak seperti ini tiap hari..pasti aku selalu kenyang nihh..”Kata monyet sambiil berharap.

Kelincipun mengintip dari jendela luar,dan melihat sampah buah buahan bertumpuk dirumah simonyet,seketika kelinci membuat siasat untuk mencelakakan si monyet.

“Dasar,simonyet sangat keterlaluan.”kata sikelinci.”Benar,dia mencuri makanan kita..!!”kata kura-kura.Kelinci dan teman-temannya pun berunding untuk mencelakakan simonyet.Beberapa saat kemudian kelinci membuat lubang yang agak dalam,kura-kura menutupi lubang tersebut dengan kayu kayu yang ditutupi beberapa daun,dan sisiput menaruh makanan diatas

dedaunan tersebut.Merekapun bersembunyi disemak semak dan melihat simonyet datang.Simonyetpun bergegas karena melihat makanan yang banyak didepannya.Monyetpun terjatuh kedalam lubang dan merengek minta tolong,sikelinci dan teman temannya mendatangi dia dan memarahi simonyet tersebut.Monyetpun menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.Akhirnya kelincipun menolongnya.

Tamat...

Karya:Muhammad Zainul Firdaus

Kapan Kau Menikah Nak?

* * * * * * * * * * *

Kapan Kau Menikah Nak?

By: Muhamad Agus Syafii

Setelah hati terluka disakiti, diusianya tiga puluh tahun cinta itu menghunjam hatinya. Rasa itu muncul ketika penasaran dengan sosok yang mampu membuatnya tertawa ditengah penat pekerjaan. Pertemuan pertama dengannya adalah salam dipagi dengan senyum manis, "Assalamu'alaikum ukhti.." Kalo teringat pertamuan itu bagaikan mimpi, pertemuan yang ditakdirkan oleh Allah. Sampai kemudian bertemu kembali dibeberapa project yang dikerjaan bersama. Cintanya tumbuh begitu indah, bersahaja, penuh warna. Dia banyak mengalah dan mengerti perasaannya. Diam-diam ikhwan itu membaca pikirannya. "Biarkan Allah yang menyatukan cinta kita." ucap ikhwan itu padanya. Ia terdiam, hatinya campur aduk, gembira, bahagia juga sedih dan perih bayangan luka dimasa lalu.

Setelah itu semua berlalu begitu saja. Entah tiada kabar lagi, tiada pertemuan dan tegur sapa. Bagai tertiup angin. Tenggelam dalam kesibukan. Ditengah galau kehadirannya di Rumah Amalia turut menjadi hidupnya dihiasi dengan keindahan dan kebahagiaan, bershodaqoh untuk Rumah Amalia dengan mengharapkan keridhaan Allah menguatkan setiap langkah hidupnya yang begitu terasa berat dijalaninya. Terkadang hati terasa perih teringat ibundanya bertanya, kapan kamu menikah? Adikmu saja sudah sebentar lagi anaknya dua? Kapan ibu melihat kamu menikah? Ucapan itu begitu perih menyayat hati. Air matanya mengalir disetiap sholat tahajud, memohon kepada Allah agar bertemu dengan jodohnya.

Allah Maha Mendengar setiap doa hambaNya. Doa itu dijawabnya, sungguh tidak pernah diduganya. Ikhwan datang bersama keluarganya untuk melamar. Dirinya terkejut, ibundanya menangis, rasa haru dan bersyukur menyatu dalam panjatan kehadirat Ilahi Robbi. "Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau dengarkan doa kami," tutur ibunda penuh isak tangis menerima lamaran itu dan tidak lama kemudian menentukan akad nikahnya. Kebahagiaan keluarga besar mempersiapkan pernikahan seolah waktu berjalan begitu lama, keberserahan diri kepada Allah mempersatukan cinta mereka telah mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Subhanallah..

Wassalam,

Muhamad Agus Syafii

----

Sahabatku, aminkan doa ini agar Segera menikah dan mendapatkan jodoh yg terbaik dari sisi Allah.'Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii fiddini waddunya wal akhirah' Artinya. "Ya Tuhan kami, berikanlah kami pasangan yg terbaik dari sisiMu, pasangan yg juga menjadi sahabat kami dlm urusan agama, dunia & akhirat." YUK, JADI ORANG YG PERTAMA DAN PEDULI UNTUK ANAK YATIM & ANAK DHUAFA DI RUMAH AMALIA. Rumah Amalia, Jl. Subagyo IV blok ii, No. 24 Komplek Peruri, Ciledug, Tangerang 15151. Bila berkenan berpartisipasi dlm bentuk Sembako, Peralatan sekolah, Perlengkapan Sholat, baju layak pakai, DVD Islami, buku bacaan. Kirimkan ke Rumah Amalia Jl. Subagyo IV blok ii, No. 24 Komplek Peruri, Ciledug, Tangerang 15151. DUKUNGAN & PARTISIPASI ANDA SANGAT BERARTI BAGI KAMI, Info: silahkan SMS/WA/LINE ke 087-8777-12431 ~http://instagram.com/dahsyatnya.doa ~https://line.me/R/ti/p/%40dahsyatnyadoa

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10156072918708296&id=246320798295

Kamis, 14 Mei 2020

Pengorbanan

Ditengan-tengah obrolan yang sering mereka lakukan setiap malam. Bram suaminya bertanya padanya.

"Apa yang paling membuatmu sedih di dunia ini?". Tanya Bram pada Meri.

"Mmh....". Meri terdiam sejenak kemudian menjawab. "Jika aku tak lagi bisa hidup bersama dengan orang yang paling aku cintai". Jawabnya sambil mengecup pipi Bram. Keduanya tersenyum.

Malam itu berlalu tanpa masalah. Kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan berdua. Karna belum dikaruniai seorang anak meskipun pernikahan sudah berjalan dua tahun.

Hari itu Bram begitu berbeda. Ia tak sehangat selama ini. Tiba-tiba saja berubah menjadi sosok suami yang begitu dingin. Kamipun mulai jarang mengobrol. Ia lebih sering di depan laptop dan menelpon teman kantornya yang adalah seorang wanita. Aku tau, tak semestinya aku cemburu. Karna itu memang urusan pekerjaan. Raya nama perempuan itu. Dia tidak terlalu cantik, tapi berkulit bersih dan memiliki postur tubuh yang bagus seperti seorang model. Rambutnya panjang tapi lebih sering diikat. Itu yang aku pernah lihat dan dengar dari suamiku. Semua pembicaraan mereka tidak kumengerti. Mungkin bahasa orang kantor.

Beberapa minggu kemudian Bram ditugaskan ke Singapur oleh perusahaan tempatnya bekerja. Namun tidak seperti biasa. Ia pergi seorang diri tanpa mengajakku. Biasanya jika Ia dapat tugas luar kota atau luar negri, dia selalu membawaku ikut serta. Lagipula, perusahaan tidak keberatan selama aku tidak mengganggu pekerjaannya. Aku bahkan malah membantunya. Ketika Ia pergi bertugas, aku akan diam di hotel atau penginapan tempat kami tinggal selama masa tugasnya. Aku membantunya membuat sarapan, merapikan pakaian kerjanya, merapikan documen atau alat tulisnya ke dalam tas kerjanya, dan lainnya. Sehingga aku justru membantunya.

Namun entah kenapa kali ini Ia pergi sendiri. "Nanti siapa yang siapin sarapan kamu, pakaianmu, dan tas kerjamu disana?". Tanyaku dengan tatapan heran mengapa belakangan ini dia seperti menjaga jarak dariku.

"Aku ini bukan anak kecil Mer. Kamu tuh aneh ya. Selama tugas kan aku tinggal di hotel. Tinggal telpon pelayan antar makanan, hotel juga ada pelayanan laundry, tas kerjaku itu isinya lebih sedikit dari makeup kamu. Aku bisa aja rapihin sendiri. Selama ini kan kamu yang mau ngerjain semuanya. Aku gak minta".

Meri shock mendengar ucapan suaminya yang tumben sekali bisa bicara kasar seperti itu.

Sebetulnya Meri sudah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan dalam rumah tangganya belakangan ini. Tapi Ia selalu menepisnya. Ia hanya berdoa semoga tidak ada yang terjadi pada Bram. Akhirnya Bram pergi bertugas.

Hari itu Meri merasa sakit. Air matanya berlinangan. Tapi Ia tetap bertahan pada pendiriannya bahwa semua akan kembali baik seperti semula ketika Bram pulang nanti. Tapi hari itu, ternyata Meri tidak hanya merasakan sakit di hatinya. Kepalanya terasa berat, dadanya terasa sesak. Khawatir terjadi sesuatu. Iapun pergi ke klinik.

"Anak keberapa mba?". Tanya dokter.

"Anak?". Meri terkejut dengan pertanyaan sang dokter.

"Ooh jadi ini kehamilan pertama. Iya, jadi Mbanya merasa pusing, mual dan sesak karna sedang mengandung".

Meri bahagia bukan main. Ia merasa menjadi wanita yang paling sempurna dan bahagia ketika itu. Iapun kembali ke rumah.

Di rumah Ia berfikir akan memberi Bram kejutan ketika Ia pulang tugas nanti. Tapi entah kenapa rasanya Meri tak dapat menunggu lama untuk mengabari perihal kehamilannya pada Bram. Maka Iapun bergegas mengambil ponselnya dan menelpon Bram. Sekali, dua kali, tiga kali tak diangkat. WhatsApp tak terkirim. Ia masih positif thinking. Mungkin Bram sedang sibuk di luar dan tak ada wifi.

Malamnya Ia mencoba kembali menghubungi Bram. Tapi masih sama. Bram masih sulit dihubungi. Akhirnya dengan rasa penasaran teramat sangat, esok paginya Ia menelpon kantor Bram. Apa yang didapatnya sungguh membuatnya shock dan bingung.

"Pak Bram sudah sejak kemarin lusa tidak masuk kantor Bu. Katanya sudah ambil cuti selama seminggu. Ini dari mana ya?". Kata wanita yang mengangkat telpon Meri di kantor Bram.

"Cuti? Seminggu? Bukannya beliau sedang tugas luar ke singapur?". Tanya Meri kemudian.

"Pak Bram memang ambil cuti seminggu untuk ke singapur. Katanya mau liburan sama keluarganya karna sudah lama cutinya gak diambil. Maaf ini dari mana ya?". Tanya perempuan itu lagi.

"Maaf, kalo Mba Raya di bagian mana ya mba? Bisa saya bicara dengannya sekarang?". Tanya Meri selanjutnya.

"Raya? Siapa ya Mba. Setau saya selama saya bekerja disini, tidak ada karyawati bernama Raya disini".

Meri makin bingung. Khawatir orang kantor suaminya berpikir yang tidak-tidak, Meri segera menutup teleponnya. Ia bingung, dahinya mengerut sambil berpikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Jadi, siapa Raya yang selama ini dikatakan suaminya sebagai teman kantor?

Meri bergegas menuju ruangan kerja suaminya. Namun sayang. Pintunya terkunci. Rasanya semakin aneh. Belum pernah Bram mengunci ruangan kerjanya selama ini. Apa yang disembunyikannya? Seribu tanya muncul dalam benaknya.

Ia masuk ke dalam kamarnya. Termenung di ranjang. Tanpa sengaja matanya tertuju pada buku telepon disamping ranjang. Meri membuka-buka buku tersebut dan untung saja Ia menemukan nomor telepon Raya. Segera Ia menghubungi nomor itu.

"Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Mba Raya?".

"Maaf, Ibu sedang tidak di rumah. Beliau ada urusan ke Singapur". Jawab pengurus rumah tangga yang mengangkat telepon Meri.

Perasaan Meri bercampur aduk. Belum tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi hatinya sudah terasa hancur lebur. Kemungkinan besar suaminya pergi ke singapur bersama Raya. Keduanya sulit dihubungi.

Akhirnya tanggal kepulangan Bram hari ini. Meri tidak tau jam berapa Bram akan tiba di bandara. Karna selama kepergiannya, mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Bram benar-benar tidak bisa dihubungi. Sehingga hari itu Meri menuju bandara pagi-pagi sekali. Biarlah Ia menunggu dengan lama. Yang terpenting baginya semua harus jelas.

Dari kejauhan, tampak Bram muncul perlahan bersamaan dengan keramaian yang tampak. Benar saja dugaan Meri. Bram berjalan beriringan dengan Raya. Hanya berdua saja. Meri terdiam mematung. Entah apa yang akan Ia hadapi. Ia berdoa dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa suaminya akan menjelaskan semua persoalan yang ada. Tapi......

"Aku gak nyangka sih kamu nunggu disini. Padahal kamu gak tau aku sampai sini jam berapa. Bisa aja besok kan". Kata Bram dihadapan Meri. Hati Meri masih berguncang hebat. Sulit dikendalikan. Tapi belum lagi Meri mengucap sepatah katapun, Bram melanjutkan bicaranya.

"Sebetulnya aku mau ngomongin ini di rumah. Tapi karna kamu udah terlanjur liat. Aku akan jujur aja disini. Maaf selama ini udah bohongin kamu. Raya yang sekarang ada disamping aku sebenernya bukan teman kantorku. Aku ingin kita pisah. Kita sudahi sampai disini pernikahan kita. Aku ingin bersama Raya. Jadi mulai hari ini aku ga akan pulang ke rumah. Maaf kalau harus seperti ini". Bram bicara seperti itu sambil menggenggam tangan Raya.

Meri terdiam. Terlalu sakit sampai-sampai air mata sulit keluar. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Meri. Ia membalik badan kemudian berjalan pulang tanpa bicara apapun bahkan tanpa menoleh ke belakang ke arah dimana suaminya masih berdiri bersama perempuan itu. Sampai di rumah, Meri memandang ke segala arah bagian rumahnya. Memandangi satu persatu setiap barang-barang dalam rumahnya yang memiliki kenangan indah bersama suaminya yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Bahkan Ia belum membicarakan pasal kehamilannya. Ia tak sanggup.

Tak berapa lama Bram muncul. Kemudian Ia masuk dan mengajak Meri bicara. Namun Meri hanya diam membisu. Mendengarkan setiap kata yang Bram ucapkan. Betul-betul terdiam hingga air matapun sulit keluar.

"Tempat tinggal kita ada dua. Sekarang aku membebaskanmu memilih. Kau mau tetap tinggal disini, atau kau pindah ke apartemen?". Tanya Bram pada Meri.

Meri memilih tinggal di apartemen mereka. Karna Ia tak sanggup jika harus tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama Bram selama ini. Semuanya kenangan manis. Kecuali hari ini. Jadi Ia putuskan untuk keluar.

Tanpa terasa 2 tahun berlalu. Meri masih tetap hidup berdua saja dengan putrinya Keira. Sebetulnya Ia bermaksud ingin mengenalkan Keira pada Ayahnya. Tapi Meri belum siap bertemu Bram. Entah perasaan apa dihatinya. Masih cintakah atau malah kebencian yang mendalam. Yang jelas Ia belum siap mempertemukan Keira dengan Ayahnya.

Ketika umur Keira 3 tahun, tibalah harinya dimana akhirnya Keira mempertanyakan keberadaan Ayahnya.

"Ma, kenapa Keira gak punya Papa?". Tanyanya sambil menatap wajah Ibunya dengan mata sendu dan wajah mungilnya yang sungguh menggemaskan.

"Keira punya Papa. Besok kita ketemu Papa ya". Jawab Meri sambil mengangkat tubuh mungil Keira. Esoknya dengan perasaan tegang bercampur cemas, Meri mempersiapkan diri dan hatinya untuk bertemu dengan Bram. Ia belum tau apa yang akan Ia ucapkan nanti saat bertemu Bram. Apa yang akan Ia katakan. Dan apakah Ia akan sanggup bertemu Bram dengan keluarga barunya.

Mungkin saja Bram dan Raya telah memiliki anak. Lalu Keira? Apakah Keira tidak diinginkan Bram nantinya. Seribu tanya dan ketakutan hampir saja menyurutkan langkahnya untuk mempertemukan Bram dengan putrinya. Namun saat melihat kegembiraan dan keriangan wajah serta tingkah laku Keira yang sudah tidak sabar ingin bertemu Ayahnya, tekad Meri muncul lagi.

Merekapun bergegas menuju rumah Bram yang adalah tempat tinggal Meri juga sebelumnya. Saat sampai di rumah itu. Meri tak sanggup melangkah ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu.

"Bram masih saja ceroboh. Tidak pernah menutup pintu". Batin Meri masih sambil berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba terlihat Bram, Raya, seorang anak kecil, dan seorang lagi pria dewasa yang entah siapa dia. Benar saja dugaan Meri. Bahwa mungkin saja Bram sudah memiliki anak. Meri semakin takut. Saat ia berbalik arah sambil menggendong Keira untuk kembali pulang, tiba-tiba saja anak di dalam rumah itu bicara.

"Om Bram harus makan. Katanya Om mau ketemuin aku sama Keira anak Om. Jadi Om harus sehat". Ucap anak itu kepada Bram.

Meri lantas menghentikan langkahnya. Ia kembali ke ambang pintu, namun kali ini sedikit bergeser agar tidak terlihat dari dalam. Ia penasaran. Mengapa anak itu bicara seperti itu. Jika memang Ia bukan anak Bram. Bagaimana mereka tau tentang Keira.

"Abang harus makan kalo mau tetap sehat. Abang ingat kan apa kata Raya. Aku harus berangkat Bang. Abang nurut ya sama Raya". Kata laki-laki itu sambil mengambil tas kerjanya dan akan bergegas keluar. Terlihat raya mencium tangan laki-laki itu kemudian laki-laki itu mencium kening Raya sambil berucap "Kamu pastikan abang makan ya. Jangan lengah. Dia harus bertemu Keira untuk memotivasinya. Tapi masih saja dia enggan menemui mereka".

Saat laki-laki itu berjalan menuju pintu. Mereka berpapasan.

"Mba Meri"

"Rio"

Sama-sama terkejut. Kemudian Raya keluar karna mendengar mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?". Tanya Meri penasaran. Akhirnya Raya dan laki-laki yang ternyata adalah Rio sepupunya Bram mempersilahkan Meri dan Keira masuk.

"Maaf Mba. Selama ini kami membantu Abang demi kalian. Itu kata Bang Bram. Meskipun aku tak setuju. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang sedang dekat dengan Raya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Bang Bram ke rumah sakit tempat Raya bekerja. Kebetulan Raya ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh dokter Bang Bram sebelumnya untuk proses kemoterapi abang waktu itu. Sayangnya abang datang terlambat Mba. Kankernya sudah stadium akhir".

Terkejut bukan main Meri mendengar cerita itu. Ia tak pernah habis pikir. Bagaimana bisa disaat-saat sepenting itu, disaat seharusnya Ia lebih dubutuhkan. Tapi malah justru Bram memilih menjalaninya seorang diri. Rio melanjutkan ceritanya. Sementara Bram sedang terlelap di dalam kamar dan tak menyadari kehadiran Meri dan putrinya di ruang tamu.

"Maafkan saya Mba Meri". Lanjut Raya. Kali ini Raya yang melanjutkan penjelasan tentang kondisi Bram sejak empat tahun lalu hingga hari ini.

"Hari itu, aku bilang sama Rio yang saat itu masih berstatus pacarku Mba, bahwa abangnya mengidap kanker otak stadium akhir. Aku katakan pada Rio bahwa Ia masih bisa di kemoterapi dan mengkonsumsi obat untuk memperpanjang umurnya. Syukur-syukur siapa tau dalam perjalanan pengobatan kita bisa mematikan sel kankernya. Hari itu juga Bang Bram memintaku menghubungi Rio dan meminta kami menyembunyikannya dari Mba Meri. Kata Bang Bram dia pernah bertanya sama Mba Meri. Apa yang paling mba Meri takutkan di dunia ini. Dan jawaban Mba Meri adalah tidak bisa lagi hidup bersama dengan orang yang Mba cintai. Karna itulah Bang Bram ingin sekali Mba Meri membenci dia, agar ketika nanti Bang Bram tidak berumur panjang, Mba Meri tidak merasakan kesedihan".

Seketika itu juga tubuh Meri bergetar, mengingat betapa dulu Ia sangat mencintai suaminya itu. Bahkan mungkin hingga detik ini. Iapun berlari ke dalam rumah mencari sosok mantan suaminya itu.

"Maas...... Mas Bram. Kamu dimana". Teriaknya sambil terisak. Bram keluar dari dalam kamar. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya sangaat kurus hingga seperti tersisa tulang saja. Rambutnyapun habis. Tapi mendengar suara Meri, seketika Ia sanggup berjalan. Keduanya berpelukan sangat erat. Melepas rindu yang selama ini terpendam dan tertutup benci di hati Meri.

Bram meminta maaf karna telah membuat Meri sakit hati dengan berpura-pura menjalin hubungan dengan Raya yang ternyata saat itu adalah calon adik iparnya. Meripun meminta maaf karna tidak peka dengan apa yang terjadi pada Bram.

Raya menjelaskan sebagai seorang Dokter. Bahwa Bram masih bertahan hingga detik ini karna ia termotivasi ingin menemui Keira putrinya. Bram tau bahwa waktu itu Meri tengah hamil. Sejak perpisahan mereka, tak satu haripun Bram lewatkan untuk memantau kehidupan Meri dan putrinya dari kejauhan. Bahkan Bram menyewa orang untuk mengintai Meri dan Keira setiap hari di apartemen mereka. Takut-takut terjadi sesuatu pada mereka. itu sebabnya Bram sudah sangat mengenal Keira.

Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk lagi. Meri meyakinkan Bram bahwa Ialah yang paling pantas mengurus Bram disaat-saat seperti ini. Awalnya Bram menolak. Ia ingin Meri menemukan kebahagiaannya sendiri. Tapi Meri meyakinkan, jika selama empat tahun ini saja Bram bisa bertahan, apakah tidak mungkin Bram bertahan lebih lama jika hidup bersama putrinya. Merekapun kembali bersama.

Setahun setelah kebersamaan mereka, akhirnya Bram menghembuskan nafas terakhirnya. Dipangkuan orang yang paling dicintainya. Walaupun terlalu sedih, tapi Meri tetap bersyukur bahwa Bram bisa menghabiskan sisa hidupnya bersamanya dan Keira. Untunglah setahun lalu itu Meri memutuskan mempertemukan Keira dengan Ayahnya. Jika tidak, mungkin Ia sudah menyesal seumur hidupnya.

Pengorbanan Bram demi Meri dan Keira sangat sulit dimengerti oleh orang yang tak merasakan kehidupan sepertinya. Bagaimana bisa disaat-saat seperti itu, Ia justru lebih memilih dibenci istrinya agar disisa hidupnya tidak menyusahkan sang istri. Namun, keluarga yang baik adalah mereka yang bisa saling menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya. Bukan yang hanya ingin hidup ketika hanya sedang bahagia.

* S E K I A N *

Pesan Cinta Dari Pesantren

* * * * *

Pesan Cinta dari Pesantren

Karya : Wahyu Saputro/2018 -

MEMULAI MIMPI

Sebuah cerpen yang menceritakan tentang pemuda yang bermimpi menjadi seniman musik dan mengejar cinta sejatinya melalui penantian panjang. Aku adalah Deva Rangga Putra. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara dimana aku dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Ayahku bekerja sebagai pengrajin furnitur dari kayu yang penghasilannya tidak menentu. Kadang mendapat pesanan banyak dan kadang sedikit, bahkan pernah dalam waktu satu bulan tidak ada pesanan sama sekali. Hal tersebut membuat ayah memiliki sikap yang sedikit keras ketika mendidik anak-anaknya termasuk aku sendiri. Itu semua karena ayahku berharap setelah anak-anaknya lulus sekolah menengah atas, aku dan dua orang kakakku dapat membantu ekonomi keluarga ujarnya.

Memiliki darah seni dari ayah dan mendapat turunan darah lembut dari ibuku, membuatku memiliki kemampuan yang baik dalam bidang seni khusunya melukis ketika duduk di sekolah dasar. Beberapa prestasipun pernah dirah oleh Deva kecil: Juara satu lomba melukis tingkat RT, Lomba mewarnai tingkat Kecamatan, dan aku mendapatkan beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolah dikala itu. Beranjak remaja, jiwa senimanku meluas ke ranah seni musik.

Ketika itu band Peterpan asal Bandung menjadi grup musik favoritku. Karya-karya dari grup musik tersebut banyak menginspirasi dalam kehidupanku. Sampai menjelang lanjut ke bangku sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk sekolah di luar kota kelahiranku yaitu Bogor. Sulit dipercaya, anak yang tergolong pendiam ini berani untuk tinggal jauh dari keluarganya guna menuntut ilmu. Keputusan itu berdasar karena arahan ayahku yang ingin aku cepat bekerja seperti kakak-kakakku setelah lulus sekolah.

Selain itu, sekolah ini terkenal akan lulusan-lulusan yang berkompeten di bidangnya. Akhirnya aku bersekolah di jurusan teknik penerbangan dan aku menuntut ilmu selama tiga tahun di Kota Bogor. Ditengah-tengah perjalananku, tak disangka aku bertemu dengan seorang gadis cantik. Wajahnya yang berseri-seri serta balutan hijab nan anggun membuatku terpana ketika menatapnya. Kami bertemu di salah satu angkutan kota jurusan Parung-Bogor. Kamipun tidak langsung saling mengenal ketika itu, butuh pertmuan-pertemuan yang tak disangka oleh kami berdua setelahnya. Singkat cerita akhirnya kami berkenalan dan menjalin komunikasi dengan seadanya.

Kebetulan ketika itu handphone-ku tidak secanggih anak-anak muda lainnya sehingga tidak dapat mengakses internet. Selain itu, Komunikasi kami tidak berjalan mulus karena wanita itu adalah santri di salah satu pondok modern. Komunikasi kamipun hanya sebatas pesan singkat facebook yang tidak setiap saat bisa berbalas, terlebih aku hanya bisa mengakses facebook di warnet dekat kost-kostan ku dan itupun ketika ada sisa uang jajan dari jatah pemberian ibuku.

-TAKUT AYAH KECEWA-

Waktu ke waktu berlalu. Aku mengalami gejolak dalam diri. Keputusan megambil jurusan teknik ternyata tidak semulus yang aku bayangkan. Terlebih keputusan itu didasari tidak berlandaskan hati, hanya karena keadaan ekonomi keluarga yang memaksaku untuk mengambil langkah praktis untuk cepat bekerja. Sesal mungkin terjadi di malam itu, secangkir teh hangat menemaniku di loteng kamar kost. Disamping itu, perkenalanku dengan wanita itu makin membuatku berpikir luas dan semangat untuk meraih impian. Gadis itu tak jarang membicarakan perihal mimpi ketika berbalas pesan denganku. Hal itu membakar kembali asaku untuk menjaga mimpiku yang sempat terbengkalai sejauh ini.

Tiga tahun berlalu, dimana aku sebagai Deva yang pengecut masih membohongi diriku sendiri bahwa aku memiliki mimpibesar namun belum bisa terjaga dengan baik karena aku harus melaksanakan apa yang diharapkan oleh ayah yaitu mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan penerbangan di daerah Cengkareng, Jakarta Barat kusambangi guna melamar pekerjaan. Usahaku terjawab, aku diterima sebagai tenaga teknik di salah satu perusahaan penerbangan ternama di Indonesia. Hal tersebut membuat ayah bahagia dan bangga padaku dikala itu. Namun, dibalik itu semua, terselip kegundahan yang mendalam pada seorang Deva Rangga Putra. Beberapa bulan aku hanya menjalani rutinitas semu yang begitu meyiksa bagi seorang seniman sepertiku. Terlebih, waktu untuk merawat mimpiku sebagai seorang seniman musik hampir bahkan tidak ada sama sekali. dalam hari-hari yang kulalui hanyalah bersama tumpukan dokumen teknik yang memasung ini. Terlintas untuk keluar dari rutinitas semu dalam diriku, akan tetapi aku ingat bahwa ayah sudah bangga padaku sehingga tak mungkin bagiku untuk menyakiti hati seorang ayah dengan keputusan yang mungkin membuat ayah kecewa padaku.

-KEMBALI BERTUALANG DAN MENEMUKAN CINTA-

Tepat satu bulan kemudian aku beranikan diri untuk memutuskan resign dari perusahaan tersebut dan itu membuat ayahku kecewa. Sedih bercampur haru membasahi pipiku karena tidak mampu menjadi kebanggaan ayah lagi dikala itu. Namun, mimpi adalah mimpi. Aku harus menjemputnya kembali dalam pelukkanku. Aku kembali menuju Bogor tempatku bersekolah ketika itu, memang tak ada rencana khusus disana. Seiring waktu ku lalui, titik demi titik yang mendekati impian mulai bermunculan.

Aku memulai mimpiku menjadi penyanyi cafe dimana karya-karya dari lagu yang kuciptakan bisa ku nyanyikan pada sekumpulan oang di sana. Di samping itu semua, komunikasiku dengan wanita penyemangat itupun terlampau baik. Sesekali aku beranikan diri menengoknya di pesantren tempat ia menuntut ilmu. Tidak seperti remaja pada umumnya, situasi di pesantren memaksaku untuk berhati-hati dalam bersikap, terlebih yang namanya pacaran tidak dibenarkan disana. Oleh karena itulah aku hanya sampai di gerbang pesantren dan menitipkan sebuah surat melalui salah seorang santri lainya yang secara kebetulan sedang melintas di gerbang pesantren.

Tanpa ikrar untuk saling mencintai, rupanya kami seperti dua insan yang telah mampu berbagi rasa. Terlalu dini untuk menyebutnya dengan istilah cinta. Dia menjadi sosok yang memerhatikanku dalam perjalanan mimpi. Kata-katanya membuat langit seolah berjarak lima sentimeter dari kepalaku. Aku dibuatnya terbang kesana-kemari olehnya. Dua tahun berlalu, tepat dimana Asyifa lulus dari pesantren.

Asyifa adalah nama dari wanita indah itu, wanita yang menyihirku untuk lupa akan arti lama menunggu. Kau mungkin belum jadi yang terbaik, karena satu-satunya wanita terbaik adalah ibuku. Akan tetapi, kau telah mengarahkanku pada mimpi yang dulu terbengkalai. Kau sangat layak mendapatkan penantian panjang dari laki-laki biasa sepertiku.

Dalam sepanjang tahun itu kau makin membuatku tak kuasa bila harus kehilanganmu. Kata-kata penyemengat tersusun rapi setiap harinya untukku. Pencapaian demi pencapaian ku tempuh dalam perjalanan mimpiku. Aku mendapat tawaran manggung kesana kemari. Mulai dibayar dengan nasi bungkus, bingkisan snack, bahkan pernah tidak mendapatkan bayaran sama sekali. Hal itu tak menyurutkan semangatku untuk bisa melewati rintangan itu.

Kau membuatku kuat walau kau memang tak bersamaku setiap saat. Kau ibarat pelangi yang menampilkan tujuh warna setiap harinya. Hingga pada saat aku terduduk lelah, kau mengingatkanku pada sebuah pelangi. Akan ada pelangi setelah hujan yang menceritakan setelah air mata akan terselip kebahagiaan.

-AKHIR PENANTIAN-

Hampir sepanjang tahun aku terbasuh oleh kata-kata motivasimu. Aku tak merasakan ada lelah dalam perjalananku itu. Pada saatnya, aku merasakan hal yang berbeda dari dirimu. Kau tak secerah mentari disaat pertama aku menemuimu dulu. Terungkap rona kesedihan dari katakatamu akhir akhir ini. Ada apa ini sebenarnya? Hatiku belum siap untuk patah.

Dengan keadaan mimpi yang masih terus ditata, bagaimana mungkin aku harus menata hati lebih awal jika mengalami keretakan. Akupun tersadar memang selama ini tak pernah ada ikrar diantara kami dalam hal perasaan. Mendungpun kian murka, terdengar kabar bahwa ada laki-laki tampan dan kaya yang ingin mengajakmu menikah. Kabar tersebut ku temukan melalui temanmu. Apakah ini sebuah pertanda mentariku akan redup? Begtu juga dengan mimpimimpi yang sedang ku jaga? Entahlah.

Hingga sampai penantian sudah tak layak lagi ku lakukan, angan-angan hidup bersamanyapun sudah cukup hanya dijadikan sebuah angan, ini semua butuh kejelasan. Kurogoh kocekku untuk menemuinya di tempat yang sangat jauh yaitu bagian selatan Jawa Barat, Desa Jampangkulon, Sukabumi. Padahal dikala itu aku hanya punya uang kurang lebih 127.500 rupiah hasil manggung kemarin malam dan sudah dikurangi kebutuhan makan dan beli sabun cuci. Aku berangkat menuju cintaku yang di ujung tanduk dengan bekal perasaan seutuhnya, uangpun tak banyak, wajahpun tak tampan.

Walau aku tahu pria berlapis emas tengah membuka hatimu, setidaknya pertemuan ini menjadi pembuktianku bahwa kau telah menjadi bagian hati ini yang tak rela bila harus pergi begitu saja. Sesampainya disana, kau menyambutku dengan baik. Hampir lupa jika hati ini sedang berada di sebuah jembatan gantung jika putus talinya, maka habislah sudah. Senyummu masih seperti dulu, masih berseri dan menggetarkan hati. Suaramu menyembuhkan lelahku dari jauhnya perjalanan ini. Malam harinya, kau mengajakku menyaksikan hiburan pasar malam di desa itu. Kami bercanda, bercerita, dan menyantap hidangan seafood yang lezat. Pada pukul 10 malam, kuberanikan untuk memulai pembicaraan tentang kejelasan perasaan kami, sontak ia pun terkejut. Seolah ia tak percaya jika aku memulai pembicaraan tentang perasaan. Sialnya, hendak ku mulai kata demi kata, ia menerima telefon dari pria yang akan menikahinya.

Sedikit ku cerna dari obrolannya bahwa si pria itu tidak suka bila aku bermalam di rumah Asyifa, namun Asyifa menjelaskan alasan mengapa aku datang menemuinya. Sedikit menelan ludah pahit, ya, Asyifa menjelaskan kepada pria itu bahwa ia tak menjalin hubungan apa-apa denganku ucapnya. Perih sudah kepalang perih, namunku harus kuat melewati tahapan akhir dalam penantianku selama kurang lebih tiga tahun ini.

Memang tak ada keharusan untukku menantinya sekian lama, dan juga tak ada paksaan. Perasaan adalah perasaan. Tak selamanya harus berlabuh pada hati yang tepat. Jika memang belum saatnya, percayalah Tuhan akan melabuhkannya ke hati yang seharusnya. Usai berbicara melalui telefon dengan pria itu, kau kembali berbincang padaku tentang perasaan. “Maaf ya kak, barusan ada telefon. Gak enak kalo gak diangkat” ujar Asyifa. Aku hanya bisa tersenyum masam dan sedikit gusar.

-CINTA YANG SEHARUSNYA-

Sampai pada detik yang mematikan, kau mematahkan hatiku begitu saja. Dengan ujarmu mengenai perasaan selama ini kau bilang tak ada lebih dari seorang teman. Bahkan sesekali kau mengingatkanku bahwa tak ada ikrar diantara kami untuk saling mencinta. Kau pun mencatut si dia, pria berlapis emas yang akan mengajakmu menikah. Singkatnya, kau ucap bahwa perasaan yang seutuhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah. Tertunduk lesu, temaram mencoba menopang cahaya hati namun tak bisa. Sudahlah sudah. Ini hanya sebuah irisan hati dihadapan matamu. Irisan yang sudah seharusnya kudapat dari kesalahanku untuk menaruh hati padamu.

“Jika saja dulu.... ah sudahlah” camku dalam hati. “Kau dulu seperti mentari yang bangunkanku dari kegelapan. Kau meredup sekarang, lalu mimpiku?” “Basa-basi darimu dulu telah membuat candu dalam benak yang nyatanya tak berujung” “Rindu mendalam yang ku beri juga ternyata tak sampai ke pelabuhan hatimu” “Hingga kau pergi disaat hatiku berbunga-bunga, tanpa kau siram terlebih dahulu sebelum layu” Jadi selama ini, penantianku kosong.

Dalam hati kecilku masih belum bisa menerima seutuhnya kenyataan ini. Namun kau sudah benar dan tepat, kau sudah menjaga diri dan perasaanmu dengan cara yang diperintahkan sang pencipta (Allah). Hanya saja aku yang lalai perihal perasaan hingga tiga tahun lamanya. Tak sampai hatiku memahami tentang arti perasaan yang diajarkan oleh firman sang pencipta (Allah).

Aku paham, dengan begini aku menyadari semuanya. Ini adalah pesan bagiku untuk lebih baik lagi dan mendekatkan diriku pada firman-firman sang pencipta (Allah). Akupun tersadar, seberapa keras usaha jika sang pencipta (Allah) berkehendak lain maka takkan terjadi. Malam itu kututup dengan ucapan selamat kepadanya dan pria calon suaminya kelak. Besok aku akan pulang setelah memetik sebuah arti penantian. Kau mengajarkan arti patah hati yang berujung agar aku memahami firman illahi. Kau pula mengajarkan arti penantian bahwa tak satupun yang berhak ditunggu kecuali kehendak dari-Nya. Hingga kau menyiratkan arti cinta yang sesungguhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah.

Keesokan harinya, aku pamit dengan lantang. Kutegakan kepalaku untuk menatap hari-hari kedepan. Sedihku sudah tak berlapis air mata. Serta mimpiku yang masih di tengah jalan, aku akan pulang dan menata kembali hidupku. Untuk kau yang singgah di detik-detikku yang lalu, berbahagialah bersama detikmu yang baru. Ia adalah pemberian Illahi untukmu, bukan aku.

Lima tahun kemudian, Deva mencapai mimpi-mimpinya untuk menjadi musisi. Ia pun telah memiliki album dari karyakarya lagunya dan pernah beberapa kali manggung ada salah satu stasiun tv swasta. Memang bukan menjadi selebritis seutuhnya, pencapaiannya dalam ranah musik adalah bagian dari mimpi masa lalunya. Dan kini ia merangkap sebagai seorang penulis. Mimpinya lebih meluas yaitu mampu mengelilingi Nusantara dengan karya: karya lagu dan tulisan. Ia pun akhirnya mampu menerapkan pelajaran yang tercipta dari masa lalunya yang berpesan bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun melalui akad nikah. Deva Rangga Putra menikahi seorang wanita seolihah juga pula cantik. “Aku menikahi seorang wanita hebat dalam hidupku.” -Deva Rangga Putra

-SEKIAN -

Cerpen, BLog Cerpen, Cerita Pendek, Cerita Bersambung, Cerpen Upay, Kisah inspiratif, Cerita Fiksi.