Sabtu, 16 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Tari)

Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menghidupiku dan Mama. Sementara Papa dipenjara, aku akan terus berusaha membahagiakan Mama.

Aku benci sekali pada Oma, dia keterlaluan. Setiap hari mencaci Mama. Menyalahkan Mama atas kebangkrutan dan dipenjaranya Papa. Andai Orangtua Mama masih ada, mungkin kami akan tinggal dengan mereka. Sayang saat ini kami hanya bisa mengandalkan Oma yang Ibunya Papa. Alhasil setiap hari Mama jadi bulan-bulanan Oma.

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk membawa Mama pergi dari rumah terkutuk ini. Sungguh menyebalkan. Bukannya aku yang cucunya ini tidak berbakti pada nenekku. Tapi aku tidak tahan melihat perlakuan Oma kepada Mama. Seringkali kami menangis berdua. Tiap kali saudara-saudara Papa datang, mereka hanya mencibir keluargaku tanpa menolong sama sekali. Aku benci sekali. Jika bukan karna Mama, mungkin aku sudah mati saja.

Ke mana Dimas. Dia menghilang bagai ditelan black hole yang entah berujung di galaxy mana. Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, Ia hanya memintaku bersabar atas apa yang terjadi pada keluargaku. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya bahwa dia akan meninggalkanku begitu saja. Suatu kali aku pernah pergi ke rumahnya. Keluarganya seperti menutup-nutupi keberadaan Dimas.

Mereka yang awalnya sangat baik padaku, sangat ramah dan selalu menerima kehadiranku sebagai pacar Dimas. Tapi kali itu terasa sangat jauh berbeda. Aku mengerti, ternyata memang benar, harta bukanlah segalanya tapi segalanya butuh harta, bahkan untuk menjalin hubungan sekalipun. Ironis. Inilah hidupku saat ini.

"Ma, kita pergi aja yuk. Tari udah gak tahan lihat perlakuan Oma ke mama. Pokonya kita keluar dari rumah ini sekarang juga." Pintaku pada Mama.

Meski aku masih tidak tau harus ke mana. Tapi aku harus menyelamatkan Mama dari kelukaan yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah cukup bagiku melihat itu. Akhirnya Mama setuju. Mungkin Iapun lelah diperlakukan kasar seperti itu. Kami keluar dengan hanya membawa tas besar berisi pakaian secukupnya. Uang di dompet hanya cukup untuk hidup satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Mama tidur di hotel malam ini. Setidaknya kami bisa nyenyak untuk satu malam saja.

Tapi kemudian aku teringat Adiba. Apa mungkin aku lagi-lagi meminta pertolongannya? Rasanya kali ini akan lebih sulit. Karna seakarang Adiba sudah menikah. Dia sudah punya keluarga kecil yang harus lebih diperhatikan. Apa yang harus kulakukan. Aku dan Mama terdiam, hanya terduduk di bangku taman tanpa tau harus apa.

"Tari, apa sebaiknya kita kembali saja?" Tanya Mama dengan pandangan mata yang sedih dan bingung. Akupun tidak tau harus bagaimana. Tapi untuk kembali pulang ke rumah Oma rasanya lebih berat daripada harus tidur di kolong jembatan.

"Sabar ya Ma. Tari janji malam ini juga kita akan dapat tempat." Jawabku kemudian.

Aku mencoba mengirim WhatsApp ke Adiba. Siapa tau Ia sedang tidak sibuk dan berkenan membantuku lagi.

"Hai Dib, sibuk ya? Gue lagi sama nyokap nih di bangku taman komplek. Lagi duduk-duduk aja."

"Hai, ngga sibuk koq. Kebetulan abis bikinin Ka Ibra kopi, terus kita lagi duduk-duduk santai aja nih di ruang TV. Ngomong-ngomong ngapain lu sama nyokap di taman?"

"Akhirnya gue sama nyokap keluar dari rumah Oma. Gue gak tahan Dib. Dan sekarang gue gak tau harus ke mana."

"Astagfirullah Tari. Kasian nyokap lu dong. Lu gimana sih. Gak punya rencana apa-apa nekat keluar bawa-bawa nyokap. Udah deh mending lu ke rumah gue sekarang. Segera ya. Cepetan cari taksi."

"MasyaAllah Dib, gue gak nyangka jawaban lu. Bener-bener cuma lu yang tersisa di hidup gue saat gue susah kaya sekarang ini."

"Gak usah banyak ngomong aneh-aneh, kasian nyokap. Cepetan ke sini."

Kami sampai di rumah Adiba yang cukup besar, megah, dan indah. Alhamdulilah, Adiba akhirnya sudah kembali kepada kehidupannya semula yang bergelimangan harta. Allah memang Maha mendengar doa-doa setiap hambaNya. Syukurlah Adiba dipertemukan kembali dengan Ka Ibra yang status sosialnya bahkan ternyata lebih tinggi daripada kami dulu yang hanya anak seorang pejabat negara.

Ka Ibrahim ternyata sudah mendengar semua cerita tentang keluargaku. Alhamdulilah Ia menerima kami dengan sangat terbuka. Mereka ramah sekali. Aku tak habis pikir, mereka yang tidak ada hubungan darah sama sekali masih bisa bersikap baik pada kami. Jauh dengan sikap Oma yang masih saja arogan padahal selama ini hanya Papah yang menopang hidup Oma.

"Dib, makasih banyak ya. Lu masih mau aja gue susahin." aku terisak menangis dalam pelukan sahabatku Adiba. Rasanya nyaman. Aku merasa lebih butuh sahabat seperti Adiba daripada pacar macam Dimas yang begitu saja menghilang entah ke mana.

"Ya udah lu santai aja dulu di sini yah. Kita pikirin caranya sama-sama nanti. Yang penting sekarang lu sama nyokap istirahat aja dulu. Gue anter ke kamar yuk."

Mama tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepada Adiba. Tentu saja, itu pasti karna Mama merasa diperlakukan sangat jauh berbeda dari tinggal di rumah Oma.

Singkat cerita akhirnya aku dan mama tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan Adiba dan Ka Ibrahim karna mereka merasa lebih baik kami tinggal di rumah mereka, tapi pada akhirnya mereka mengalah dan menghormati keputusan kami dengan membiarkan kami tinggal di kontrakan tempat Adiba dan keluarganya dulu tinggal.

Aku sangat bersyukur memiliki Adiba sebagai sahabatku satu-satunya yang masih peduli terhadapku. Aku memulai hidupku yang sederhana di rumah kontrakan ini. Seperti biasa, seminggu sekali kami mengunjungi Papah.

"Assalamualaikum Pah." sapaku pada Papah sambil mencium tangan Papah.

"Waalaikumsalam Nak' Alhamdulilah kalian masih mau datang rutin seperti ini."

Mata Papah berkaca-kaca, aku tahu kepedihan hatinya ditingal banyak orang kepercayaannya bahkan saudara-saudaranya. Rasanya pasti lebih parah dari apa yang kurasakan ketika teman-teman, sahabat, bahkan pacarku pergi menghilang meninggalkanku begitu saja. Aku menceritakan keadaan kami yang sekarang tinggal di rumah kontrakan. Aku berkata bahwa kami tidak ingin menyusahkan Oma, itu sebabnya kami pindah.

Aku tak sampai hati menceritakan kelakuan buruk Ibunya terhadap Istrinya ini. Bagaimanapun, beban Papah sudah cukup berat. Walaupun pada akhirnya aku tahu jika ternyata Oma sudah lebih dulu menghubungi Papah dan menceritakan bahwa kami minggat dari rumahnya. Pastinya dengan cerita yang sangat amat sekali berbeda dan terlalu dilebih-lebihkan.

Tapi sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi dengan kami di rumah Oma. Sehingga Ia memilih diam dan menerima keputusan kami untuk tetap tinggal di rumah kontrakan itu tanpa meminta ataupun memaksa kami kembali ke rumah Oma.

* * * * * *

Siang ini udara sangat terik. Aku yang masih saja ke sana kemari mencari pekerjaan seorang diri sangat sering merasa putus asa. Tapi demi Mama, aku harus terus berjuang. Aku duduk di depan sebuah coffee shop yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku. Sampai di detik ke sekian aku melihat pemandangan yang tidak asing bagiku.

"Bukannya itu Dimas?" gumamku dalam hati. Tapi sepertinya aku memang harus tidak terkejut. Karna aku yakin Dimas memang tidak ke mana-mana. Omongan Mamanya yang berkata Dimas kuliah di luar negri, sudah pasti hanya akal-akalan keluarga mereka untuk menjauhkanku darinya.

Aku sangat kangen padanya. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke pelukannya. Tapi aku takut. Sangat takut jika ternyata Dimas memang benar-benar ingin menjauh dariku. Tapi aku masih butuh kepastian darinya. Apa yang harus kulakukan. Mendatanginya atau biarkan saja.

Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, sepertinya Dimas masih sangat peduli padaku. Jadi, apa yang harus kulakukan. Aku berdiri di ambang pintu coffee shop. Antara mau masuk atau tidak. Sampai tiba-tiba sesosok tubuh tegap dengan wajah manis berdiri tegak dihadapanku.

"Permisi mba," katanya padaku. Tak lama kami berpandangan, Ia terkejut. "Tari." teriaknya sambil meraih tanganku, menarikku keluar ke sudut jalan kemudian Ia memelukku.

"Tari kamu ke mana aja? Aku cari ke rumahmu yang dulu ternyata sudah di sita KPK, aku ke tempat Omamu tapi beliau bilang kau dan Mamamu minggat tanpa pamit. Sepertinya Ia marah sekali. Ada apa sebenarnya. Bukannya di rumah Oma hidupmu lebih baik?"

Pertanyaan Dimas bertubi-tubi hingga tak terasa air mataku menetes.

Akhirnya kami masuk ke Coffe Shop itu. Duduk berdua, berhadapan dengan Dimas membuat hatiku berdegup sangat kencang. Tak bisa kupungkiri aku masih sangat mengharapkannya bersamaku. Tapi hidupku yang sekarang berantakan ini, apakah bisa diterima Dimas. Aku masih diam sampai akhirnya

"Kenapa kamu nangis? Ceritain ke aku ke mana aja kamu selama ini. Bagaimana hidupmu sekarang? Sebelumnya aku minta maaf karna aku gak bisa menghubungi kamu. Handphone lamaku disita Mama dengan nomornya. kemudian aku dibelikan handphone baru dengan nomor baru. Mungkin agar aku tidak bisa menghubungimu. Aku bingung mencarimu ke mana."

"Dimas, kalau apa yang kamu bilang itu benar, kalau kata-katamu barusan itu benar, bahwa kamu mencariku. Aku betul-betul berterima kasih atas itu. Tapi sumpah, aku sangat mengerti jika saja kamu harus dengan terpaksa tidak menemuiku lagi karna mamamu. Aku tidak masalah." Kataku sambil tertunduk tanpa berani menatap Dimas.

"Tar, untuk saat ini maaf, aku masih harus nurutin kata mamaku. Bagaimanapun aku memang laki-laki yang belum bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Kamu tau kan. Selesai kuliahpun aku dipekerjakan mama diperusahaannya. Aku belum diijinkan membuka usaha sendiri. Tapi aku janji, kasih aku waktu dan kita akan hidup sama-sama nanti. Aku akan buktikan ke mama bahwa aku bisa mandiri. Aku akan kumpulkan uang sendiri, kemudian membangun usahaku sendiri dan setelah itu aku akan dengan berani membawamu ke hadapan mama. Tapi semua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku minta kamu bersabar untuk itu. Kalau kamu mengijinkan, sementara ini kita hanya bisa bertemu diam-diam. Agar mama tidak bisa pisahkan kita lagi."

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Dia memintaku menunggunya. Apakah selama ini dia benar-benar mencariku, benar-benar masih berharap bersamaku. Aku yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini. Air mataku menetes lagi. Kali ini Ia menghapusnya dari pipiku. Kemudian aku memegang tangannya.

"Kamu gak salah? Kamu masih mau hubungan kita berlanjut? Denganku yang seperti ini?" Kataku sambil tetap menatapnya tidak percaya.

"Tari, bukankah sudah kodratnya laki-laki menafkahi dan wanita patuh terhadapnya setelah pernikahan? Jika itu benar, maka apalah artinya hartamu bagiku? Aku yang berkewajiban menafkahimu nanti. Jadi, apapun yang kamu punya sekarang, Seberapapun harta yang kamu miliki bahkan tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

Lagi-lagi aku tidak menyangka dengan yang diucapkan Dimas. Kenapa Dimas berpikir terlalu jauh. Apa dia yakin nantinya kami akan menikah. Saat ini aku hanya bisa berharap semua yang Dimas katakan akan terwujud meskipun entah kapan.

Akhirnya sore itu aku pulang tanpa hasil. Masih saja tidak ada satupun perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi kali ini meskipun pulang tanpa hasil, hatiku sangat senang. Lain dari biasanya. Aku sempat bertukar email dengan Dimas. Sengaja kami tidak bertukar nomor Handphone, karna khawatir mamanya Dimas akan menemukan kontakku di handphnenya Dimas. Jadi kami hanya chat melalui email saja. Bagiku itu sudah cukup untuk saat ini.

Mama bingung melihat perubahan sikapku hari ini. Tapi aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian hari ini bertemu Dimas kepada Mama. Karna aku takut mama malah melarangku berhubungan dengan Dimas karna malu.

"Kelihatannya senang sekali. Apa hari ini berhasil dapat pekerjaan?" Tanya mama penasaran.

"Sayangnya ngga begitu ma, masih sama seperti kemarin-kemarin. Tanpa hasil." jawabku kemudian.

* * * * *

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan. Bagaimanapun, aku harus membayar hutang-hutangku pada Adiba. Meski Adiba sudah mengikhlaskan. Tapi aku sudah berjanji padanya akan mengembalikan uang yang Ia pinjamkan untuk membayar sewa rumah yang kami tempati ini.

Singkatnya, aku makin sering bertemu Dimas diam-diam. Sudah dua bulan ini hubungan kami berjalan seperti ini. Seperti tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing. Aku dan Dimas selalu mencari tempat yang berbeda untuk bertemu. Khawatir mama Dimas mengikuti kegiatan Dimas seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kue. Meskipun gajiku jauh dari kata cukup, setidaknya aku masih punya penghasilan untukku dan mama hidup sehari-hari. Meski kadang kami sampai tidak makan seharian karna uang gaji yang selalu saja habis sebelum waktunya.

Sebetulnya Dimas tau hal itu, Ia seringkali memberiku uang untuk hidupku dan mama. Tapi tak pernah sekalipun kuterima. Karna aku tidak mau bergantung padanya.

"Tari, aku bener-bener gak tahan lihat hidupmu dan mamamu terus kekurangan seperti ini dan kamu sama sekali gak mau menerima bantuanku sedikitpun. Apa kamu sama sekali gak bisa menganggapku berarti?"

"Maaf Dimas, tapi kita sudah pernah membahas masalah ini. Dan saat itu kamu sudah mengertikan kenapa aku seperti ini?"

Alhamdulilah Dimas mau mengerti. Ia tidak memaksakan kehendaknya untuk menghidupiku dan Mama. Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan Dimas. Saat bulan ketiga aku bekerja di toko kue, tiba-tiba aku dapat ide untuk menjual kue-kue yang ada di toko tempatku bekerja di halaman depan rumah kontrakan kami. Alhamdulilah bosku pemilik toko kue mengijinkanku untuk membawa dulu beberapa kue setiap hari untuk dijual Mama di rumah, besoknya barulah kue-kue yang telah laku dibayar dan yang tidak laku dikembalikan ke toko.

Bosku ini memang baiknya luar biasa. Aku sempat terlupa kalo sebetulnya Mama pandai sekali membuat kue. Saat dagangan kami laris, uangnya ternyata dibelikan bahan-bahan kue oleh Mama dan Mama membuatnya sendiri untuk kemudian dijual juga. Dari situ hidup kami mulai berubah.

Keadaan kami sudah tidak sesulit dulu. Perlahan, dengan modal yang kami kumpulkan akhirnya kami bisa membuka coffee shop kecil yang menjual aneka kue, roti dan donat buatan Mama. Tanpa diduga usaha kami lancar. Alhamdulilah kami tidak kekurangan lagi. Bahkan sekarang kami bisa mengirim uang dan semua kebutuhan Oma seperti dulu. Seperti sediakala saat Papa masih sukses dan kaya raya. Ini bukti bahwa Oma selama ini salah menilai kami. Bukti bahwa kamipun sanggup bertahan meski tidak ada Papah.

Saat kami mengirim uang dan keperluan Oma, dia masih saja menghina Mama. Bahkan dia memfitnah Mama menjualku anak gadisnya kepada om-om kaya agar dinafkahi sampai seperti sekarang ini. Ya Allah kenapa sih ada orangtua macam Oma? Kenapa aku harus punya nenek seperti dia. Maafkan aku ya Allah jika aku tidak berbakti padanya. Dia yang membuatku seperti itu. Demi Allah aku benci sekali padanya.

Mama hanya bisa tertunduk malu saat Oma memfitnahnya di hadapan saudara-saudara Papa yang lainnya. Kalimatnya sungguh keterlaluan dan akhirnya akupun hilang kesabaran.

"Wah...wah...sudah bisa menghasilkan segini banyak ya setelah keluar dari rumah ini? Padahal Anakku masih dalam penjara. Tapi kalian sepertinya sudah hidup senang. Om-om mana yang kau sodorkan anak gadismu itu sampai-sampai mau mengeluarkan banyak biaya seperti ini? Rumah, kendaraan, Cafe. Luar biasa pesona anakmu".

"Astagaa.... Oma cukup ya. Kalau saja Oma bukan nenekku. Kalau saja Oma bukan Ibu dari Papah, sudah sejak lama Tari memukul mulut Oma. Keterlaluan sekali ucapan Oma. Apa Oma sadar selama ini yang menghidupi Oma hanya kami. Kalaupun benar Tari jual diri. Apa peduli Oma. Yang Oma mau kan hanya hidup enak bergelimangan harta tanpa peduli harta dari mana.

Bahkan Oma tau sejak dulu jika Papah korupsi. Tapi tak sekalipun Oma melarang. Sebagai Ibu, seharusnya Oma menasihati Papa. Tapi Oma malah membiarkan itu terus berlangsung hingga Papa dipenjara. Jadi, apa bedanya Oma yang membiarkan anaknya korupsi dengan Mama yang menjual Tari? Tidak ada bedanya kan? Bedanya saat ini hanyalah apa yang dilakukan Mama tidak seperti yang dipikirkan Oma". Aku berteriak dengan lantang karna habis kesabaranku.

"Beraninya kamu bicara begitu. Begitu ya Ibumu mendidikmu hingga berani bicara kasar terhadap Oma". Jawab Oma kemudian.

"Dengar ya Oma, yang kasar itu Oma. Sejak dulu seperti orang tidak berpendidikan. Ngakunya sekolah tinggi. Tapi bisa-bisanya mendidik anak sebagai koruptor".

"PLAAAAK.............". Tamparann Oma mendarat dipipiku. Aku tidak kaget. Karna aku sudah bisa menduganya. Oma hanya bisa berbuat seperti itu setelah menyadari bahwa dirinya yang salah mendidik anak. Bukan Mamaku. Aku tersenyum kecut ke arah wajahnya. Mama langsung menarikku dari hadapan Oma.

"Cukup Bu, saya tidak pernah memukul Tari sejak dia lahir. Bagaimanapun dia berbuat kesalahan. Tapi dia tidak pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan saya hingga saya harus memukulnya. Kesabaran saya sudah habis Bu. Ini kali terakhir kami datang ke sini. Kami janji kami tidak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini".

Setelah Mama berkata begitu, kamipun pergi dari hadapan Oma. Aku sempat melihat wajah Oma yang terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dia menyadari kesalahannya. Atau malah menjadi-jadi.

Saat kami mengunjungi Papah, rasanya mulut ini tidak tahan untuk menceritakan semuanya. Kalau saja tiap berkunjung tidak selalu bersama Mama, mungkin sudah kuceritakan semua yang terjadi pada hidup kami di rumah Oma. Tapi Mama selalu mencegahnya. Mama seperti malaikat bagiku. Beliau terlalu baik. Ia tidak ingin Papah mendurhakai Ibunya demi membela istri dan anaknya. Mamaku luar biasa. Aku ingin menjadi wanita sepertimu Ma. Semoga aku bisa sekuat dirimu.

Hidupku dan Mama akhirnya kembali bahagia. Aku kembali meneruskan kuliahku yang sempat terhenti karna cuti. Semua seolah berjalan dengan sangat mulus tanpa hambatan. Sampai suatu ketika aku melihat pemandangan yang luar biasa menyakitkan. Membuatku ingin muntah. Pahit rasanya.

* * * * *

Siang itu aku memutuskan untuk ke cafe sebrang kampus setelah jam kuliah usai. Aku lelah dan rasanya ingin minum minuman segar. Maka aku mampir ke cafe itu. Sebetulnya sejak dulu, sejak pertama kali aku masuk kuliah di kampus ini, belum pernah sekalipun aku masuk ke cafe itu. Karna dulu ada seorang laki-laki menakutkan yang bekerja di cafe itu. Sebetulnya bukan menakutkan bagaimana. Hanya saja dia selalu menatapku dalam-dalam tak berkedip jika berpapasan di depan cafe itu. Jadilah aku tidak pernah jadi masuk cafe itu sekalipun.

Tapi satu bulan lalu. Aku pernah mengalami kejadian tak terduga. Saat di jalan, ada anak-anak yang sedang bersepeda tanpa sengaja menabrakku hingga aku terjatuh dan barang-barang yang kubawa berantakan tercecer dijalan. Aku sedikit terluka waktu itu. Untungnya ada cowo baik hati yang lewat dan membantuku membereskan semua barang bawaanku yang tercecer dijalan.

"Adduduuuh". Keluhku saat itu. Lenganku terluka. Darah menetes. Untungnya tidak parah.

"Udah-udah, kamu duduk aja di situ". Kata laki-laki yang sedang membantuku merapikan barang bawaanku itu. Sambil memapahku ke bangku taman, Ia membawakan semua barang-barangku.

"Aduh kamu luka". Katanya dengan wajah khawatir namun tenang. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kemudian membukanya dan menyiram lukaku dengan air itu.

"Ini harus dibersihkan dulu biar gak infeksi". Katanya kemudian.

Saat tanpa sengaja kami bertatapan aku sangat terkejut melihatnya, kemudian spontan berteriak........

"Aaaah, eloe..... eloe kan cowo yang kerja di cafe itu kan. Yang selalu natap gue dengan muka serem. Mau ngapain lu? Aduh plis jangan macem-macem". Teriaku saat itu dengan panik.

"Aduh Mbaa, jangan salah sangka dong. Iya iya, gue emang cowo yang kerja di cafe itu. Emang bener gue selalu liatin lu tiap lu jalan di area cafe. Tapi sumpah gue bukan orang jahat. Maaf banget kalo tatapan gue mengganggu. Gue cuma merasa lu mirip sesorang yang udah lama ngilang. Maaf ya". Katanya menjelaskan.

Dari situ kami akhirnya ngobrol. Sambil dia mengantarku pulang kami banyak ngobrol. Ternyata selama  ini dia pernah kehilangan saudara perempuannya yang mirip banget denganku. Itu sebabnya dia selalu memperhatikanku. Wajah seram dengan tubuh tegapnya itu sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ternyata sangatlah ramah dan sopan.

Sejak saat itu kami berteman. Beberapa kali aku ke cafe itu dan dia membiarkan aku minum cappuccino kesukaanku tanpa membayar.

"Ssst.... jangan bilang-bilang ya. Nanti bos marah". Begitu katanya setiap kali dia memberiku gratisan Cappuccino. Lucu sekali dia.

Sampai akhirnya belakangan aku tau, bahwa ternyata justru dialah pemilik cafe itu. Tidak banyak orang yang tau kalau dia pelayan yang ternyata juga pemilik cafe. Rasanya aneh, ada manager yang tunduk sama pelayan. Hihihi..... dia itu emang cowo unik.

Entah sejak kapan aku mulai sering berkunjung ke Dance Cafe. Iya cafe itu diberi nama Dance oleh Bima pemiliknya. Ya, cowo unik itu namanya Bima. Aku mulai sedikit dekat dengannya. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, karna lebih sering bercanda dan bikin aku tertawa.

Disuatu siang yang sangat terik, aku memutuskan untuk ke cafenya Bima. Saat aku masuk dan masih berdiri di ambang pintu cafe. Aku melihat pemandangan yang membuatku muak dan ingin muntah. Aku terdiam, melihat sosok Dimas yang sedang bermesraan dengan seorang gadis. Mereka tampak sangat dekat, bermesraan bahkan hampir berciuman. Aku jijik melihat kelakuan mereka di depan umum seperti ini.

Saat itu aku berdiri tegak sambil tetap memandangi pemandangan memuakkan itu sambil meneteskan air mata. Dua makhluk brengsek itu tidak melihatku. Tapi rupanya Bima menyadari kehadiranku diambang pintu cafe. Ia yang melihatku tengah terdiam sambil menangisi pemandangan itu kemudian menghampiriku sambil menyebut namaku keras.

"Tari....." . Kontan saja dua makhluk menjijikan itu juga menengok ke arah Bima yang memanggilku.

Mereka berdua terkejut bukan main. Spontan Dimas bangkit dan ingin segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiriku. Namun saat itu gadis yang juga sama menjijikkannya itu mencegahnya. Ia menarik lengan Dimas. tidak membolehkan Dimas menghampiriku.

Segera aku berjalan keluar cafe dengan berderai air mata. Aku tak menyangka. Ternyata selama ini hubungan sembunyi-sembunyi kami bukan hanya untuk menghindari Orangtuanya. Tapi juga untuk menutupi hubungannya dengan Utami dariku. Ya, Utami. Dialah Utami sahabatku dan Adiba. Dulu saat SMA kami berlima adalah sekelompok siswi populer bergelimangan harta orangtua kami.

Aku, Adiba, Nadya, Nadiva, dan dia Utami. Kami berlima bagai satu bagian tubuh yang tak terpisahkan. Namun akhirnya harta dan kedudukan mengalahkan segalanya. Utami menghilang ketika Adiba dan aku jatuh bangkrut. Ketika kami berdua terpuruk. Utami tidak ada. Meski Nadya dan Nadivapun  seperti menghindar, tapi mereka masih menunjukan kehadirannya pada kami. Berbeda dengan Utami yang benar-benar menghilang namun kami tau Ia hanya menghindar.

Tiba-tiba muncul dihadapanku sedang memeluk mesra kekasihku Dimas. Bergandengan bahkan hampir berciuman di muka umum. Aku shock bukan main. Aku terisak di sudut jalan, Dengan posisi jongkok dan menelungkupkan wajahku dalam tunduk, aku menangis sejadi-jadinya.

Belaian lembut mendarat dikepalaku. Aku mengangkat wajahku. Kutatap wajah Bima kemudian kulanjutkan tangisku.

"Tari, udahlah. Gak pantes air matamu buat laki-laki macam dia". Bima berkata demikian seolah Ia sudah tau dan mengerti tentang hubungan kami bertiga. Aku, Dimas, dan Utami. Saat itu aku masih tidak menyadarinya. Aku tidak juga menghentikan tangisku. Aku masih shock.

"Iya Bim, tapi rasanya sakit. Gue tau orang seperti Dimas gak pantes ditangisin. Tapi Bim, lu liat kan tadi. Itu tadi Tami Bim. Utami sahabat gue. Koq bisa sih. Pantes selama ini dia menghilang. Rupanya dia gak mau ketemu gue karna udah berhasil ngerebut Dimas. Gue gak nyangka Bim, ternyata selama ini Dimas cuma ngebohongin gue. Perhatiannya, semuanya ternyata cuma bohong. Bahkan dia sempat mau menghidupi gue sama nyokap waktu itu. Untuk apa Bim. Cuma untuk ngerjain gue doang mungkin. Untungnya gue gak main terima gitu aja bantuan dia. Gue benci mereka berdua Bim. Benciii........".

Terus saja aku menangis. Tak terasa sudah mulai gelap. Aku dan Bima masih terduduk di bangku taman. Untungnya Bima bukan karyawan biasa di Dance Cafe. Jadi saat sekarng dia menemaniku tidak menjadi masalah baginya.

Sampai akhirnya aku merasa tenang, akhirnya aku pamit pulang pada Bima. Dia sedikit memaksa ingin mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolaknya. Akhirnya aku pulang dengan diantar Bima.

Sesampainya di depan pintu rumahku, Bima ikut turun dari mobilnya. Memastikan aku masuk ke dalam rumah. Tapi begitu kami sampai di depan gerbang rumahku. Tiba-tiba sesosok laki-laki muncul dan memegang agak keras lengan kiriku. Ya, ternyata Dimas sudah sejak tadi menungguku pulang.

"Tari, tunggu Tar. Biar aku jelasin semuanya". Kata Dimas sambil menarik keras lenganku demi mencegah aku masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Dim. Aku paham koq. Gak papa, aku baik-baik aja. Kamu bebas memilih berhubungan dengan perempuan manapun termasuk Utami. Bahkan mungkin kedua orangtuamu akan lebih senang kalo kamu sama dia. Aku fine aja koq. Udah ya, aku harus masuk".

Dengan sok tegar dan wajah tenang aku berkata demikian. Tapi sungguh, saat ini perasaan sakitku lebih kepada Utami. Aku masih tidak menyangka Utami bisa setega itu. Tapi pada Dimas, rasanya aku lebih tegar setelah tau dia brengsek dan tidak pantas dipertahankan. Benar kata Bima, laki-laki seperti Dimas akan mudah kucampakkan. Karna dia memang pantas diperlakukan seperti itu.

"Gak bisa Tar. Aku ga ada perasaan apa-apa sama Tami. Aku cuma cinta sama kamu". Katanya dengan wajah tegang sambil masih memegang lenganku.

Bima yang sedari tadi masih diam melihat perbincangan kami, tiba-tiba ikut emosi melihat wajahku yang tidak nyaman karna lenganku masih dipegang Dimas dengan sedikit keras. Mungkin Bima takut Dimas menyakitiku.

"Heh, lu gak denger. Tari udah gak mau dengerin penjelasan apa-apa. Gak usah lu paksa-paksa. Punya malu dikit dong". Kata Bima sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas dari lenganku.

"Eh, lu gak usah ikut campur ya. Lu itu cuma masa lalunya. Lu cuma temen kecilnya yang bahkan gak penting lagi buat hidupnya sekarang. Mending lu jauh-jauh dari Tari".

Apa? Teman masa kecil? Disini aku tidak mengerti ucapan Dimas. Apa maksudnya Ia berkata bahwa Bima adalah teman masa kecilku. Akupun spontan menatap Bima dengan wajah bingung. Kemudian kulepaskan cengkraman tangan Dimas.

"Tunggu. Apa maksudnya? Bima teman masa kecil aku? Apa ini Bim? Aku gak ngerti. Kapan kita pernah berteman sebelum ini?". Tanyaku sambil menatap Bima dengan wajah seribu tanya.

"Ooh jadi kamu bener-bener gak inget dia? Hmm, emang pantes cowo kaya lu itu dilupain. Orang gak penting dan bukan siapa-siapa macem lu, gak penting buat diinget-inget. Biar aku yang jelasin ya Tar. Ni cowo udah kenal kita dari jaman kita masih SMA. Dia sering mandangin kamu dari luar gerbang sekolah. Untungnya dia gak sampe berani nyamperin kamu. Kalo sampe berani, mungkin udah aku hajar dulu itu. Setelah aku selidiki, ternyata dia temen masa kecil kamu dulu waktu kalian tinggal di bandung yang cuma sebentar. Kamu pernah kan tinggal di bandung selama 6 bulan saat umurmu 7 tahun? Nah, dia ini yang dulu pernah jadi temen main kamu di sana. Rupanya cowo bego ini udah bener-bener jatuh cinta sama kamu Tari. Sampe-sampe dia ngejar kamu sampe ke jakarta. Waktu tau kamu masuk SMA Harapan, dia sering dateng ke sekolah kita. Tapi mungkin dia terlalu pengecut buat ngadepin kamu dulu karna kamu putri penjabat dan pengusaha terkenal kaya raya. Cowo kampung kaya dia mana mungkin cocok sama kamu".

Aku kaget bukan main. Bayanganku flash back ke beberapa tahun lalu saat aku masih kecil dan sempat tinggal di Bandung waktu itu. Dengan susah payah akhirnya aku mengingat semuanya. Pantas saja aku lupa wajah Bima. Karna dulu waktu kami kecil, sosok Bima sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bima kecil adalah anak cowo super gendut dengan pipi super tembem yang paling perhatian sama aku dibanding teman-teman lainnya. Saat tidak ada yang mau main denganku karna katanya aku lambat kalo diajak main lari-larian, hanya Bima yang mau menemaniku bermain boneka dan masak-masakan.

"Ya ampun Bimaaa, aku ingat sekarang siapa kamu. Anak Tante Lani. Kamu beda banget. Gimana bisa badan kamu jadi atletis kaya sekarang ini. Mana mungkin aku ngenalin kamu. Kenapa kamu ga cerita sih dari dulu. Ayo Bim mampir masuk dulu. Mama pasti inget deh sama kamu anaknya Tante Lani. Dulu kan kalian deket". Aku menarik lengan Bima sambil membuka gerbang rumah.

"Tunggu dulu Tar, gimana urusan kita. Aku bener-bener ga ada hubungan apa-apa sama Tami". Dimas masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku tidak peduli.

"Maaf Dim, kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Semuanya selesai di sini. Kamu silahkan teruskan hubunganmu dengan Tami. Dan jangan sekalipun nyakitin dia. Karna bagaimanapun, Utami masih tetap sahabat baikku".

Setelah itu aku berlalu dari hadapan Dimas dan masuk ke dalam rumah bersama Bima.

Singkat cerita akhirnya Bima menceritakan semuanya. Saat dia pindah ke Jakarta, dia mencariku. Setelah menemukanku, dia segan untuk menghampiriku begitu dia tau latar belakangku yang ternyata putri seorang pejabat dan pengusaha sukses di Jakarta. Memang dulu waktu aku tinggal di Bandung, kehidupan keluargaku belum sebaik di Jakarta.

Namun keinginan kuatnya untuk menemuiku membuat Ia berjuang hidup sendiri di kota besar yang penuh tantangan ini. Berbekal dari keahliannya membuat kopi dan kue, Ia membuka toko kecil. Sampai akhirnya kemudian berhasil mengumpulkan uang untuk modalnya membuka cafe yang jauh lebih baik dari sekedar toko kuenya yang dulu.

Bahkan aku tak menyangka. Tenyata nama cafenya diambil dari namaku. Dance yang artinya Tari sama dengan menari. Aku sangat tersanjung mendengarnya.

Tak berapa lama kemudian, Bima memberanikan diri melamarku. Aku tidak terkejut. Karna sudah tau bahwa dia memang menyayangiku sejak dulu. Senang bukan main ternyata ada laki-laki hebat yang memperjuangkan hidupnya demi aku. Setelah bicara pada Mama mengenai pinangannya, kami bertiga. Aku, Mama, dan Bima pergi menemui Papah di tahanan. Bima melamarku. Papah menitikkan air matanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah sedewasa ini dan memang sudah waktunya untuk menempuh hidup bersama orang yang tepat.

Kamipun menikah. Bahagianya karna Papah diijinkan keluar sel demi menikahkan kami berdua. Dengan restu Papah dan Mama, kamipun menikah dengan bahagia.

Ditahun berikutnya, Papah mendapatkan remisi. Karna Ia berkelakuan baik selama di sel. Ia mengajarkan banyak ilmu pada sesama tahanan di sel bahkan kepada para sipir tahanan. Papah memang orang yang sangat cerdas, ilmu bisnisnya banyak. Maka dengan ilmunya, Ia berhasil menelurkan para wirausahawan kecil setelah mereka masing-masing keluar dari tahanan. Itu prestasi yang membanggakan, maka papah keluar lebih cepat.

Ia kembali ke rumah kami. Sekarang kami hidup bahagia berempat, dan sedang menanti seorang anggota keluarga baru di kandunganku.

Allah memang Maha Tau yang baik bagi umatnya. Termasuk dalam hal jodoh. Bagaimanapun, kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tepat pada waktunya. Tidak akan terlalu cepat, ataupun terlalu terlambat. Semua ditanganNya selalu tepat pada waktu.

 S E L E S A I

By; Upay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar