Tampilkan postingan dengan label Cerpen Upay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Upay. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Mei 2020

Love is Simple

Aku pikir yang namanya cinta itu indah dan begitu rumit. Ternyata sangat simple sekali.

Umurku 21 Tahun saat pertama kali merasakan debar-debar itu. Memang mungkin di tahun yang katanya milenium ini,

Umur 21 cukup telat jika baru pertama merasakan rasa itu. Tapi ya itulah yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi kekasihku saat itu.

Dia begitu mempesona diriku. Meski dia laki-laki sederhana yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tidak terlalu tampan, tapi cukup menarik bagi perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Tak disangka perasaan diapun sama denganku. Kami menjalin hubungan cukup lama. Kurang lebih 4 tahun.

Tapi tidak ada tanda-tanda juga darinya bahwa Ia akan melamarku.

Tepat diumurku yang ke 25, kami membuat janji bertemu di cafe tempat kami biasa makan.

Hatiku sangat berdebar saat itu. Kupikir dihari ulang tahunku itu aku akan mendapatkan kejutan yang mungkin tidak akan kulupakan seumur hidupku.

Tapi aku tak berani berangan-angan. Aku tak berani mengkhayalkan bahwa Ia akan melamarku di saat itu. Disaat orang-orang bilang tepat bagi umur segitu untuk menikah.

Aku menunggu. "Ras, kamu tunggu aku jam 8 malam nanti ya. Mmmm.... dan nanti aku akan ajak temanku yang mau kukenalkan ke kamu" .

Begitu kata dia saat janjian waktu itu. Sebetulnya aku setengah bingung. Sempat berpikir mungkin dia mau mengadakan pesta kecil untuk memperkenalkanku pada teman-temannya.

Tak lama kemudian dia datang. "Lho Ran, sendiri? Katanya sama teman?" . Tanyaku penasaran saat itu.

"Oh iya Ras, sebentar lagi dia datang. Mungkin agak telat" . Begitu jawabannya. Selang 20 menit datang seorang gadis cantik seumuran denganku menghampiri meja kami.

"Hai Laras" . Sapa gadis itu tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Bingung karna aku tak mengenal gadis itu dan tidak mengingatnya sama sekali kapan pernah berkenalan atau bahkan bertemu.

"Oh iya Ras, kenalin ini Rasti yang tadi aku bilang" . Kata Randi sambil bangkit berdiri menyambut gadis itu.

"Mmmh... jadi gini Laras. Sebetulnya aku ngajak kamu ke sini itu mau bicara jujur dan penting banget" .

Saat itu aku masih tidak berpikir yang macam-macam, kupikir nanti akan datang lagi temannya yang lain dan kami akan berpesta kecil di cafe itu.

Tapi bagaikan gemuruh di langit, seperti tersambar halilintar tanpa rintik hujan sedikitpun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu.

Karna akupun merasa tak tahu dengan apa yang kurasa saat itu. Ini kalimatnya saat itu.

"Laras aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku minta maaf dan terserah dengan hukuman apa yang akan kamu lakukan nanti. Tapi aku mohon kamu maklumin keadaan aku.

Sebetulnya Rasti ini calon istri aku" .

Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu keluar dari mulut Randi kesayanganku. Kekasih hatiku selama 4 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar bagiku yang aku tahu.

Selama ini aku merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Dia terlalu terlihat menyayangiku sebagai kekasihnya. Dia memanjakanku, sering menghiburku, selalu menelponku sekedar untuk menanyakan kesehatanku.

Aku selalu bahagia bersamanya. Jarang sekali kami bertengkar. Dia begitu mengerti aku. Aku yakin dia pelengkap hidupku. Aku yakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi.

Aku terdiam tanpa kata, air mataku menetes. Mereka saling berpandangan kemudian melihat ke arahku. Mungkin mereka takut aku akan histeris dan berteriak pada mereka.

Tapi tidak. Aku bukan type orang yang mudah panik. Meski perasaanku saat itu sakit seperti teriris dan jujur aku ingin sekali menampar wajah mereka berdua.

Tapi itu tidak aku lakukan. Kucoba menenangkan diri, menarik nafas dalam. Mencoba memberanikan diri mengeluarkan sepatah kata saja.

Padahal saat itu banyak sekali yang aku ingin tahu mengenai mereka berdua.

"Oke... Selamat akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari" . Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kemudian aku bangkit berdiri sambil menyodorkan tangan memberikan selamat kepada mereka berdua.

"Tunggu Ras, biar aku ngomong dulu" . Entah apa yang membuat Randi begitu yakin aku ingin mendengar semua penjelasan darinya.

Bukankah sudah percuma. Jika dengan penjelasan maka waktu dapat terulang dititik dimana saat Randi menyatakan cinta padaku bisa terjadi. Maka aku pasti akan mau mendengarnya.

Tapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Bahkan jika saat itu ada doraemon berdiri tepat dihadapankupun aku tetap yakin dia tidak akan membawaku kembali ke masa itu melalui laci meja belajar nobita.

Karna aku Laras, si gadis super cantik yang bahkan memiliki nilai tertinggi di kelas. Aku bukan nobita si malas dan si cengeng yang selalu merengek pada doraemon meminta agar kehidupan selalu menjadi mudah.

Aku hanya punya keyakinan dalam diriku. Aku punya Allah yang aku yakin bahwa ini memang takdirnya untukku.

"Udahlah Ran, gak perlu jelasin apapun, gak akan ada yang berubah hanya karna sebuah penjelasan" . Kataku sambil tetap membelakangi mereka. Rasti hanya diam memandangiku dengan wajah iba.

Yang aku heran, tidak tampak wajah kemenangan yang dia tunjukan di hadapanku. Justru wajah itulah yang membuat aku semakin sakit dan terhina. Wajahnya yang seolah ikut sedih melihat kepedihanku.

"Apa-apaan perempuan itu. Seenaknya merebut kekasih hatiku lalu kini ia mengasihaniku? Dasar sampah". Dalam benakku berteriak.

"Bukan itu Ras, akuu cuma mau kasih ini" . Randi meyodorkan sebuah kartu padaku yang ternyata adalah undangan pernikahan mereka. Ya Tuhaaaan, apa sih yang selama ini terjadi. Sebetulnya aku semakin ingin tahu.

Mengapa mereka bisa mereka benar-benar akan menikah? Sementara aku menunggu Randi melamarku bertahun-tahun. Apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Sejak kapan?

Tapi aku tidak mau tahu. Aku benci mereka. Benci sekali. Hingga rasanya ingin kubunuh mereka dengan cara yang paling sadis.

"Acaranya minggu depan, memang sedikit mendadak tapi sudah keputusan kami. Maafkan aku Ras. Sungguh aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi kacau seperti ini" .

Ku ambil undangan itu sambil melenggang pergi tanpa mempedulikan Randi yang masih berdiri berharap aku mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah. Air mataku menetes tiada henti. Menetes dan terus menetes tanpa suara. Kesedihan yang teramat sangat ini membuatku tak dapat berkata-kata bahkan untuk menangispun tak mampu mengeluarkan suara.

Randiku yang aku tau teramat mencintaiku, Randiku yang memanggilku Kasih. Ya, Randi memang tidak pernah memanggilku dengan nama Laras. Dia selalu memanggilku Kasih. "Kasih sedang apa di sana?, Kasih sudah makan?, Kasih aku kangen niiih, Kasih jangan lupa mimpiin aku yaa...".

Demi Allah, kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang khas sama sekali sulit aku lupakan. Benarkah semua ini terjadi.

Aku paksakan mataku terpejam. Berharap ketika bangun pagi nanti, semua mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap ini hanya mimpi dari tidurku yang tak bisa di atur belakangan ini.

Pantas saja saat menelponku pagi tadi. Terasa begitu janggal mendengar suaranya di sebrang telpon sana. Dia menyebut namaku. Iya, namaku Laras dan berkata ingin bertemu denganku di cafe biasa.

Aku merasa ada yang aneh namun tidak menyadarinya. Ternyata sejak pagi tadi nama Kasih sudah tak terdengar lagi dari mulutnya. Aah rupanya ini yang terjadi.

Di ulangtahunku yang ke 25. Yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk di lamar kekasih karna umur yang terlalu tepat untuk menikah.

Apa yang kuharapkan. Sudahlah. Lupakan.

Hari terus berlalu, aku masih saja sedih. Aku yang periang dan percaya diri mendadak menjadi pemurung. Sulit makan, Sulit Tidur, Mata selalu sembab dan bengkak.

Tidak ada gairah hidup. "Laras, buka pintunya nak. Sudah berhari-hari kamu tidak keluar kamar, juga tidak makan. Jangan jadi begini sayang. Yakinlah jika dia memang jodohmu, maka dengan izin Allah, dia akan kembali padamu dengan jalanNya. Jangan putus asa nak" . Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku. Kemudian aku membuka pintu dengan masih mengenakan mukena. "Tenang aja Bu, Laras bukan orang yang gak punya iman. Laras paham yang sudah Allah takdirkan untuk Laras" . Jawabku sambil berdiri di ambang pintu. "Lalu kenapa kamu gak keluar-keluar? Dara berhari-hari ke sini mau menemuimu. Tapi kamu menolak. Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika ada teman bicara?" . Dara adalah sahabat dekatku sedari SD. Kami selalu bersama, sekolah bersama, lulus sarjana bersama, hingga kami bekerja di perusahaan yang sama karna saat mencari pekerjaan juga bersama. "Gapapa Bu, Laras udah nelpon Dara tadi, minta maaf dan minta Dara ke sini. Paling juga sebentar lagi dia datang" .

Benar saja, selang beberapa menit sahabatku itu muncul dan langsung masuk tanpa permisi. "Raaas, ya ampuuun lu gapapa? Sehat? Mata aja yang bengkak? Apa hati ama lambung juga" . Pertanyaan Dara panjang tanpa jeda. "Huss... Waalaikumsalaaam" . Sindirku pada Dara yang langsung menyerbu masuk menuju kamar tidurku. "Eeeh iyaa... Assalamualaikum Tante" . Sambung Dara sambil mencium tangan Ibu. "Ya udah Ibu tinggal ya. Kalian ngobrol deh yang tenang. Nanti Ibu buatkan minum" .

Akhirnya hari itu berlalu tanpa pembicaraan tentang Randi sedikitpun. Dara menginap di rumahku. Ia memang sahabat yang paling mengerti aku. Dia sama sekali tak mempertanyakan perihal Randi dan Rasti sejak kedatangannya semalam. Dara tahu harus bersikap bagaimana menghadapiku. Dara begitu mengenalku bahkan mungkin melebihi kedua orangtuaku. Dara paham bahwa jika aku butuh bicara, maka aku akan bicara tanpa ditanya. Jadi Dara tidak perlu mempertanyakan kejadian yang terjadi pada hubunganku dengan Randi. Dari Dara aku tahu bahwa atasanku ternyata begitu peduli padaku. Dara bilang Pak Hendro titip salam dan semoga aku lekas sembuh. Pak Hendro juga bilang tidak usah terlalu dipaksakan masuk jika belum pulih benar. Ternyata Dara mengatakan pada atasanku bahwa selama ini aku sakit, sehingga mau tidak mau harus ambil cuti. Sudah seminggu semenjak kejadian aku bertemu pasangan brengsek yang membuatku murka sekaligus patah hati. Hari ini harusnya aku menghadiri undangan pernikahan mereka. Tapi bagaimana. Apakah aku sanggup.

"Aduh Ras. Kalo gue jadi elu yah gue pasti dateng hari ini. Gue harus tunjukin ke mereka bahwa gue fine-fine aja. Kalo perlu gue bawa cowo" . Dara semangat sekali memberiku ide untuk ke acara pernikahan Randi dan Rasti. "Lu sarap ya? Cowo mana jugaa yang mau gue bawa?" . Jawabku kemudian.

"Hai Daraaa......." . Terdengar teriakan memanggil dari sebelah rumah ku. Adalah Dimas seorang laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua dari kami yang tinggal di sebelah rumah. Dimas adalah tetanggaku yang sudah sejak lama tinggal di kediamannya itu. Bahkan kata Ibu, jauh sebelum kami tinggal di komplek perumahan ini, keluarga Dimas sudah tinggal di sana. Sudah 5 keturunan yang mendiami rumah itu. Rumah tua megah dengan gaya barat klasik yang selalu menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang dikomplek perumahan kami. Dimas memang berdarah Amerika. Nenek buyutnyalah yang dulunya membangun rumah itu. Karna nenek buyut Dimas memang asli orang London, maka tidak heran jika rumahnya dia bangun sengaja bergaya barat. Katanya sih, supaya nenek buyut betah tinggal di negara orang. Sekarang nenek buyut Dimas memang sudah tiada. Tapi rumah bergaya barat itu tetap dipertahankan bentuknya. Karna memang bagus.

Tampan? Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia mengartikan bahwa orang blasteran berdarah campuran itu pastilah tampan dan cantik. Tapi tidak dengan Dimas. Bukannya jelek sih. Jujur saja Dimas tidak jelek. Hanya saja, dia terlalu kutu buku dan terlalu serius. Model rambutnya yang kuno dan kacamatanya yang tebal membuat wajah blasterannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun begitu, Dimas berbeda dengan kutu buku- kutu buku lainnya yang lebih sering terlihat minder dan tidak bergaul. Dimas pandai bergaul, dia aktif baik di komplek, di kampus, bahkan di tempat kerjanya. Sebetulnya Dimas cukup percaya diri. Cuma entah kenapa dia sama sekali tidak pernah merubah fashionnya yang sangat terlihat kutu buku dan sedikit culun itu.

Pernah aku bertanya sambil bercanda. "iiih lu tuh jangan begini keq Dim. Kan bisa pake pakean normal. Celan jeans atau celana pendek dengan kaos biasa, Rambut jangan disisir rapih begitu. Bisa gak sih dandan dikit" . Eeeh Dimas malah tertawa sambil menjawab dengan candaan pula. "Hahahaha, ya ampun Laras, aku ini kan cowo blasteran. Apa jadinya kalo penampilanku normal. Apa menurutmu gak bakalan banyak cewe-cewe yang datang ke rumah sambil merengek-rengek minta aku nikahi" .

Hhhh, dasar Dimas. Sama sekali nggak lucu. Mana mungkin tampang bloon kaya gitu bakalan ada yang mau nikahin dia. Kepedean banget. Tapiii kalimatnya itu kadang bikin aku berpikir. Jangan-jangan sebetulnya Dimas memang tampan. Andai aja dia mau berubah. Aaah sudahlah gak mungkin kan itu terjadi. Kalo iya, kemungkinan besar dia sudah menikah sejak bertahun-tahun lalu. Umurnya kan udah 30. Tapi masih aja jomblo tuh. Hihihihi ada-ada aja pikiranku ini.

Akhirnya aku putuskan untuk datang menghadiri pernikahan Randi dan Rasti. Lihat saja yang terjadi nanti. Setidaknya benar kata Dara. Aku harus terlihat tegar seolah tak pernah ada kata patah hati dalam kamus kehidupanku. Karna memang ga ada pasangan yang bisa aku ajak, mau gak mau aku datang bersama Dara. Apa? Dimas? Noo Weeey.... Gak akan. Apa jadinya kalo aku putus dari Randi kemudian dia pikir aku jatuh ke pelukan si culun itu? Lagi pula, Randi tau betul siapa Dimas. Gak mungkin lah.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana. Terkesan bukan pesta. Tapi ya sudahlah. Acara sakral seperti ini tidak butuh yang terlalu mewah. Toh yang menikah tidak pantas mendapatkan kemewahan yang seharusnya. Pikirku sinis. Aku menghampiri pelaminan memberikan selamat pada mereka......................................................

Baca Lanjutannya klik disini !

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay

Senin, 18 Mei 2020

Laura

School and boring memang kobinasi yang menarik. Argh! Im too clever to stuck in this entah apa-apa school. Aku menongkat dagu sambil memandang ke luar.

“Is that something more important outside there?” tegur Puan Ain, guru Sejarah.

“Mind your own business” aku berkata sinis sebelum berlalu ke luar.

“How rude!!” marahnya.

Aku berjalan-jalan di koridor sekolah tanpa arah tujuan. Urgh!! Kalau bukan sebab papa ugut, aku dah ponteng sekolah dah sekarang ni. Mesti time macam ni aku tengah syok lepak-lepak main arcade. Dimwit! Ni cikgu counselor punya pasallah! Adakah patut dia call papa hari tu lepas tu report yang aku selalu ponteng sekolah. School and me are not suitable and we cannot be friend. I hate school and school hate me. It good if papa can understand it that school and me can’t be together.

“Laura! We need to talk!” tegur Shahrul, Tingkatan 6.

“Fuck off! Apa lagi kau nak!” marahku.

“Aku suka kau! Aku betul-betul suka kau. Kau cakap aja kau nak aku buat apa, aku akan buat asalkan kau terima aku,” rayu Shahrul.

“Menyalak macam anjing tiga kali then jilat kaki aku,” aku tersenyum sinis sambil melihat dia terkedu.

Aku terus berpaling dan melangkah meninggalkan Shahrul yang terpinga-pinga. Aku berjalan-jalan di kawasan kolam ikan. Makanan ikan aku tabur di dalam kolam. Ikan-ikan koi berebut-rebut menyambar makanan yang berada di permukaan air. I’m too good!

“I’m too good for everything,” aku berteleku di tepi kolam.

“Bizz! Bizz!” kocek baju kurungku bergetar kerana telefon yang aku bawa secara terlarang, aku set ke mod meeting.

Whatsapp notification. Messages from Jelita.

“Fuck up! Babe, u need to help me. This guy making shit with me.

[Imej]

He ask me to sleep with him but he don’t want to pay! Make his life worst!”

Aku hanya memberi bluetick.

“Urgh! You fuck up too! Tidur dengan ramai jantan. Patutnya kau kerja dekat kandang pelacur sana!” aku mengetap gigi.

Mahu atau tidak, aku kena juga ikut cakap Jelita or die. Shit! My life is worst even though people look me as a perfect one. Yeah! I’m perfect. Aku memiliki tubuh yang matang dari usia. Orang selalu menganggap yang aku ni 20 and above, the true is aku 18 tahun. Aku kaya. Aku ada segalanya but aku tak ada satu benda. Kasih sayang…

Kasih sayang bagi papa ialah duit. Duit mampu memenuhi keinginanku. Aku hidup dengan duit dan aku hidup untuk duit. Maruah? Huh! Dunia sekarang. Kau miskin, kau hina. Kau kaya, kau disanjung. Maruah adalah duit dan untuk dapatkan duit, manusia bertindak liar.

Mama.. Kasihnya banyak dicurahkan pada kerjaya. Fashioner terbaik negara. Niat ingin kalahkan Jimmy Choo berjaya tapi gagal dalam mendidikku. Mama kejar kejaya kerana aku. Mama cari popularity supaya aku dikenali dunia. Mama ingin aku diketahui satu Malaysia. Mama know nothing about me. Even mama popular dan dikenali sehingga ke luar negara, tapi dunia tak tahu yang beliau mempunyai anak bernama Laura Merdyna. I choose to be no one. I choose to be the one who being neglected.

“Tengok siapa yang ada dekat sini? Puteri Gunung Ledang sesat. Hahaha!” kata Amar.

“Mar, tak habis-habis kau nak nyakat Laura. Dah-dahlah tu,” kata kawannya.

Aku berdiri dan berhadapan dengan mereka berdua.

“Huh! Patutlah busuk! Ada najis rupanya,” aku berkata sinis.

Mereka terkedu. They don’t know the true me. Even whole school doesn’t know the true me. Once they know, they will regret it!

“Laura, agaklah ayat kau,” tegur Amar bengang.

“Aku dah warning kau, jangan sesekali kacau hidup aku. Kau tu sampah! Stop playing around me. It sticky!” sinisku.

“Biadap kau perempuan!” Amar cuba untuk melempangku.

Aku lebih pantas. Aku mengelak dan hadiahkan dia penumbuk di perut. Dia terbaring. Aku menyingsing kain hingga paras lutut. Laju kakiku menyepak perutnya. Bukan sahaja sepak, malah aku turut memijak perutnya. Kawannya cuba menarikku tapi aku lebih licik. Belum sempat tangannya hendak menyentuhku, kakiku dulu telah menyepak kemaluannya.

“Hah! Jangan cakap aku tak warning,” aku terus berlalu macam tak ada apa-apa yang berlaku.

“Bizz! Bizz!” telefon ditangan begetar.

Incoming call.

“Hello!” aku menjawab panggilan dari Jelita.

“Aku nak kau kerjakan dia! Bodoh punya jantan!” marah Jelita.

“Dia tak nak bayar kau tapi dia belum ‘rasa’ kau pun. Apa masalahnya?” aku merengus.

“Dia lempang aku!! Aku nak kau belasah dia!” rengek Jelita.

Talian aku terus matikan. Urgh!! Childish! Umur dah 25 tapi manja. Meluat aku!

“Bizz! Bizz!!” telefon begetar semula.

“Apa lagi?!” Marahku ketika menjawab panggilan dari Jelita.

“Sial! Asal kau matikan telefon!” marah Jelita.

“Aku punya sukalah,” jawabku hambar.

“Kau jangan nak buat taik. Baik kau buat apa yang aku cakap ni. Aku report dekat tuan karang,” ugut Jelita.

“Urgh! Yelah! Yelah! Kau nak aku buat apa? Mana aku nak cari budak tu?” it a little funny bila aku gelar lelaki umur around 28-30 as budak.

“Kau tak payah risau pasal tu. Harini dia ada meeting dekat syarikat lain and dia akan lalu depan sekolah kau. Masa dia lalu tu, kau tahan kereta dia. Lepas tu, pandai-pandailah kau nak buat apa,” kata Jelita.

“No plat?” aku duduk dikerusi simen.

“12WTF” katanya.

Talian terus aku matikan.

“Bodoh! Macam manalah aku boleh terjebak dengan hidup yang macam ni?!” marahku.

Aku terpaksa ikut cakap Jelita sebab dia adik kepada Tuan Shirotani. Aku kena jalankan segala arahan mereka, kalau tidak Tuan Shirotani akan bunuh aku. Aku dilatih dan terlatih sebagai senjata. Aku senjata dan aku hidup. Aku jahat tapi aku belum ke tahap membunuh. Hidup aku kalau dikaryakan pasti menjadi kisah yang cliché dan membosankan. Aku sendiri bosan dengan hidup aku.

--------------------------------------------

Aku melangkah ke luar sekolah dan melangkah ke hentian bas. Aku duduk sambil menunggu kehadiran kereta 12WTF. Jam di tangan menunjukkan pukul 11.01 pagi. Waktu rehat pelajar. Ponteng dan aku adalah sahabat. Tak ada sesiapa boleh halang aku dari poteng sekolah, even papa sekalipun. Kaki aku goyang-goyangkan sambil kepala terdongak memandang langit. Angin sempoi-sempoi bahasa mengelusku damai.

Hidup aku kosong. Aku tengok dalam tv, selalu girl lonely macam aku ni mesti akan ada hero yang peramah dan akan mewarnai hidup aku. Hahahaha! Movie, imagination people. I hate boy and I dislike man. Aku mengalami krisis di mana aku tak tahu apa yang aku nak. Sejak kecil aku dah ada segalanya. Im, who the one have a hopeless life.

Sedang aku beramah mesra dengan hati, kereta bernombor plat 12WTF kelihatan sedang menghampiri. Aku kena hentikan kereta tu tapi macam mana. Aku bingkas bangun dari duduk. Think Laura! Think! Okay, aku tahu nak buat apa. Perlahan-lahan aku melangkah ke tengah jalan. Aku tertunduk.

“Laura!! Kau dah gila ke?”.

“Laura!! Lari! Kereta!” jerit beberapa pelajar lain yang sama ada sama baya dengan aku atau tidak.

Hahaha! Aku harap kereta ni langgar aku.

“Sssreerrrrkzz!!!” tayar berdecit kerana brek mengejut.

“Buk!!”

“Laura!!!”

Aku terbaring di tengah jalan. Kepalaku berpusing tetapi tidak sakit. Terasa seperti sedang mabuk todi. Aku dengar bunyi pintu kereta dibuka dan ditutup kembali. Langkah yang pantas sedang menghampiri aku. Tangannya hangat menyentuhku. Tangannya damai. Dalam kemamaian pitam, aku masih dapat membayangkan figura tangannya memegang bahuku.

“Cik! Bangun! Cik buka mata! Pandang saya!” suaranya risau.

Ouhh! Kenapa aku dengar suara dia macam desperate. Macam merayu-rayu supaya aku bangun. It weird cause I love it!

“Cik! Tolonglah bangun!” tapak tangannya mula menyentuh pipiku.

Aku terbaring di ribanya. Tapak tangan kirinya menampung berat kepalaku. Rambutku yang hitam, panjang, lurus dan kilat jatuh dari celah jejari kasarnya. Perlahan-lahan aku membuka mata. Dari samar menjadi jelas. Jelas sangat sesusuk tubuh berpakaian formal dan berkaca mata di depanku. Walaupun mata dia terlindung dengan kaca mata, tapi aku tahu yang kami sedang memaku pandangan antara satu sama lain. Sesuatu di luar jangkaan berlaku. Sesuatu yang bukan diri aku sedang mengawal diri. Aku menarik tali leher hitamnya lalu aku mengucup bibir dia! Badannya terkebelakang.

Aku bangun dari pembaringan tapi mataku tetap tertancap pada wajahnya. Tanganku mencengkam tali lehernya. Dia ni bukan lelaki yang Jelita marah sangat tu. Mungkin dia ni pemandu je kut. Kami berdiri dan tangannya memegang lenganku bagi membantu aku bangun.

“Cik! Cik oka-“

Bicaranya terhenti apabila bibir kami bersatu.

“What the hell is going on here?!” tegur satu suara.

“Urgh! Disturb!” regusku sambil memandang ke pemilik suara.

Lelaki yang berkulit putih tapi tak adalah macam white people. Dia juga berkaca mata. Pakaiannya mewah. Kacak tapi tak sekacak lelaki yang aku cium ni. Kalau tengok dari mata kasar, lelaki berkulit putih ni lebih banyak menarik minat perempuan. Tetapi lelaki yang aku cium ni. Kalau touch up sikit, lagi kacak and berkarisma. Maybe factor gaya dan pemakaian yang mempengaruhi.

“Ouh! Dear, maaf sangat. Are you okay? Driver I ni memang tak berguna,” suaranya terus bertukar lembut.

Aku memiliki package yang cantik dan menawan. I hate it when people being nice with me because of my look.

“Cik! Saya mintak maaf,” kata driver di depanku ini.

“Shut up or I kiss you!” gertakku.

Dia terkedu dan pantas mengundur ke belakang sedikit. Aku melangkah ke lelaki yang berkulit putih. Ehem, tak semua perempuan suka lelaki berkulit putih macam artis Korea. Lelaki putih dekat depan aku ni boleh digelar gayanya macam Kpop gituh! That is not my taste kecuali lelaki yang aku cium ni. Dia putih dan hitam manis. Macam mana ya nak describe. White people yang kulitnya jadi hitam sikit sebab kerja dekat tengah panas. Maskulin gitu.

“Hai, my name is Syamil. Saya mintak maaf atas kecuaian driver saya-”.

“Pangg!!” aku melempangnya sampai terteleng.

“What the-”

“Dush!!” penumbuk tepat mengena biji matanya.

Aku terus bertindak liar. Aku menumbuknya bertubi-tubi di perut. Kakinya aku pengkes dan dia terjatuh. Lelaki yang dikenali sebagai Syamil ini mengerang kesakitan. Aku menedang-nendang wajahnya yang acah kacak itu.

“Hoi! Tolong aku! Bodoh punya bodyguard!” marah Syamil.

Lelaki yang pada mulanya digelar driver kini digelar bodyguard pula. Wow! 2 in 1. Driver and bodyguard.

“Cik! Bawa mengucap,” katanya sambil merangkul pinggangku yang kini bertindak liar.

“Lepas!!” aku meronta-ronta.

Rangkulannya terlepas dan aku terus menerkam Syamil. Aku menyepak, memijak dan meludah Syamil. Tak cukup dengan itu, aku menumbuk dan mencekek dia.

“Stop!! Stop it and stop being crazy! That enough!” marah lelaki bodyguard ini.

“Lepaslah bodoh!” aku meronta-ronta dalam rangkulannya.

Badanku terangkat sedikit. Kakiku menendang-nendang. Aku cuba meleraikan rangkulannya dari belakang ini tetapi tidak berjaya. Huh! Diceithful way! Aku merabanya. Aku menyentuh pehanya dan tanganku merayap. Pantas dia meleraikan rangkulan. Aku jahat, lebih banyak cara kotor dari cara baik yang aku selalu guna.

“I said enough!!” marahnya.

Langkahku untuk menghampiri Syamil terhenti. Damn! Kenapa aku stop! No one have stopped me. Tiada siapa boleh hentikan aku bila aku dan mula ‘bertindak’.

“Kita bawak dia pergi hospital! Aku rasa otak dia bergegar, tu yang dia gila ni,” kata Syamil.

Aku ditarik masuk ke tempat sebelah pemandu manakala Syamil duduk di tempat duduk penumpang di belakang. Aku terus agresif dan ingin mencekau Syamil dibelakang. Lelaki bodyguard ini lebih pantas. Dia menarik tanganku.

“Sial!!” jeritku.

Tanganku diikat dengan tali pinggang keselamatan. Kemudian, entah macam mana dia buat, tubuhku tersandar kaku dan tak dapat bergerak kerana diikat bersama dengan kerusi. Aku meronta-ronta.

“Lebih baik duduk diam atau tangan tu melecet nanti,” kata bodyguard.

“Kau tak payah cakap lembut sangat dengan perempuan ni. Cepat bawak kereta tu. Aku dah sakit sangat ni!!” Syamil mengerang di belakang.

---------------------------------------

“Doktor kata tak ada gegaran dekat kepala cik. Cik pun tak gila tapi kenapa cik serang tuan saya?” tanya bodyguard.

“Tu kerja aku. kau tak payah tahu!” aku terbaring di katil hospital sambil memejamkan mata.

“Dia tuan saya dan saya kena tahu. Saya ditugaskan untuk menjaga keselamatan dia”.

“Bukk!!” aku memukul bantal ke wajahnya.

“Shut up! I need some rest!” aku kembali memejamkan mata.

Terasa ada tangan mengangkat sedikit kepalaku lalu bantal disorongkan. Such a charm! Aku terdengar bunyi kerusi bergerak. Aku tahu yang lelaki bodyguard ni nak blah. Pantas aku mengapai tangannya.

“Huh?” dia hairan.

“Don’t leave me alone,” mataku masih tidak dibuka.

Dia kembali duduk. Tangan aku lepaskan. This is not me! Why I act like this. Memalukan. Nampak sangat yang aku ni lemah. Aku tak perlukan sesiapa! Tapi aku tak boleh bila lelaki ni menjauh. Aku tak kenal pun dia tapi ada aura yang menarik aku untuk sentiasa bersama dia. Love? Hahahaha!! Damn it! Aku tak percaya perkara-perkara macam tu akan berlaku dekat aku. Love wujud tapi bukan untuk aku. Even untuk kelahiran seterusnya pun aku tak akan memelih ‘love’ untuk teman perjalanan hidup aku.

“Laura!” panggil satu suara.

Shit! Macam mana papa boleh ada dekat sini?! Aku buka mata dan bangun perlahan-lahan dari pembaringan. Aku lihat lelaki bodyguard sedang menyalami papa. Worst! Aku turun dari katil dan menghampiri mereka.

“Tuan, saya mintak maaf sebab dah terlanggar anak tuan,” lelaki bodyguard nampak serba salah

Kaca matanya tetap tersarung. Juling ke apa mamat ni?

“Dan anak tuan juga kena mintak maaf pada majikan saya”.

“Betul tu!” kebetulan Syamil muncul.

Aku yang berada di sebelah lelaki bodyguard terus melangkah ke Syamil yang wajahnya telah hancur.

“Huhh!!” regusku apabila tangan lelaki bodyguard menghalang laluanku.

“Saya mintak maaf sebab dah ikat tangan anak tuan. Dia bertindak agresif”.

“Fuck up! Get lose from my way!” makiku.

“Language young lady,” tegurnya.

“Huh! Go die with my language!”

“Laura!!” papa melempangku.

Mataku terpejam menunggu tangan papa singgah di pipiku tetapi, tiada. Perlahan-lahan aku mencelikkan mata. Tangan papa di tahan oleh lelaki bodyguard.

“Sorry sir, but this is not the way how to teach your child. I mean your daughter,” katanya pada papa.

Aku melangkah ke Syamil.

“Kau jangan dekat! kalau tak aku saman kau!!” Syamil ketakutan,

“Dasar pondan! Kalau kau saman aku. sampai mati aku kerjakan kau!!” aku, gadis cantik berwajah begis.

“Okay! Okay! Aku tak saman! Tapi jangan apa-apakan aku!” dia ketakutan.

“Hahahaha!!” aku ketawa mengekek.

“Laura,” papa terkejut dengan keadaan aku.

Ya, papa tak pernah nampak aku bertindak gila macam ni. Aku anak papa tapi papa tak tahu siapa aku. Papa cuma tahu penuhi kebendaan aku.

“Huh?” aku menoleh ke belakang apabila ada tangan yang memegang lenganku.

“Stop hurting my boss,” katanya.

“Aku pecat kau!” kata Syamil.

“Huh!” aku tersenyum sinis.

“Even he no longer my boss, that doesn’t mean that you can hurt people,” pujuknya lagi.

“Lepaslah bodoh!” aku menarik-narik lenganku.

Aku mengacah ingin menciumnya lalu dia pantas mengelak dan pengangannya terlepas. Aku pantas berlari ingin menerpa Syamil. Damn! Lelaki bodyguard ni lebih pantas! Pinggangku dirangkul dan tubuhku diangkat sedikit supaya kakiku tidak terpijak lantai. Aku memukul-mukul lengannya. Kakiku menendang-nendang. Koyak jugaklah kain kurungku. Who care! Huh! Aku balaskan dendam untuk Jelita dan sekaligus aku melepaskan geram.

-----------------------------------------------

“Laura Merdyna! Are you hear me?” tegur papa.

Papa datang ke hospital by his own, so papa yang memandu and aku terpaksa duduk sebelah dia. Aku nak duduk belakang tadi tapi kena marah. ‘Papa bukan driver Laura’.

“Yes,” jawabku malas sambil memandang ke luar tingkap.

“Apa yang Laura dah buat?!” marahnya.

“Laura belasah orang,” jawabku hambar.

“Berani ya Laura! Since when Laura jadi macam ni?!! Bla bla bla-”

Suara papa terus hilang. I mean, aku pekakkan telinga. Lelaki bodyguard tu macam aku pernah nampak. Lupa pulak nak tanya nama dia. Kenapa aku rasa macam hangat ja bila dengan dia. Hangat dan selesa. Aku pernah rasa benda macam tu sekali tapi rasa tu dah lama mati. Lelaki bodyguard tu kena pecat sebab aku. Macam manalah dia agaknya sekarang ni? Since when aku dah pandai rasa serba salah ni? Argh!! Fuck!

“Turun Laura, kita dah sampai,” kata papa.

Aku melangkah ke luar kereta. Pantas aku melangkah ke bilik. Pintu bilik aku kunci. Penghawa dingin aku hidupkan. Aku membawa langkah kaki ke bilik air. Badan aku dah lekit. Satu persatu pakaian aku tanggalkan. Paip air aku buka dan air memenuhi tab mandi. Aku berendam. Badan aku rendahkan sehingga air berada di bawah hidung. Haaaa! Leganya dapat rehat.

Hidup bukan pilihan. Bayi dari syurga menangis bila dia lahir ke dunia sebab hidup di dunia bukan pilihan. Dunia ni jahat, kejam dan jenayah merata. Hati tak sepatutnya wujud. Hati tak patut berada dalam badan manusia. Kewujudan hati hanya untuk merasa sakit. Perjalanan hidup lebih baik tanpa hati. Hati yang membuatkan kita merasa. Aku tak mahu ada hati! Kenapa Tuhan cipta hati? Kenapa?!

“Cik Laura! Tuan nak jumpa!” jerit Bik Senah.

“Urgh!” aku merengus.

Perlahan-lahan aku bangun dari tab mandi. Ni mesti nak membebel lagi latu. Bosannya lahai hidup macam ni. But, getting scold better than die. At least, Tuan Shirotani takkan bunuh aku. Aku melangkah ke wardrobe. Aku memilih baju berkolar besar dan labuh paras peha dan di padankan seluar skinny paras bawah lutut. Rambut aku biarkan lepas. Tanpa menutup penghawa dingin, aku terus berlalu ke luar.

“Tump! Tump! Tump!” aku mendaki turun tangga.

Kakiku melangkah ke pejabat mini papa.

“Damn! What this asshole doing here?!” aku terperanjat.

Aku lihat lelaki bodyguard sedang berdiri mebelakangkan aku. I mean, dia sedang menghadap papa. Dia menoleh aku dengan muka tanpa riak. Dia mengenakan pakaian formal. Kemeja putih, kod hitam, tali leher hitam, seluar slack hitam dan cermin mata hitam. Dah malam kot, nak juga pakai spec. Oh ya! Dia still terbawa-bawa dengan kerjaya dia as bodyguard. Poor guy!

“Language!” papa berkata keras.

Aku melangkah menghampiri lelaki bodyguard. Aku memandangnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Urgh! I rolled my eye.

“Keep rolling your eyes, maybe you find your brain back there,” katanya selamba.

“Fuck! I’ve brain okay!” aku mula melenting.

“Then, why don’t you use it properly?” dia tidak memandang aku.

Berani betul dia tak pandang aku bila bercakap!

“Sial! Aku guna otak aku dengan baik! Kau apa hal nak cakap macam tu?!” aku menolak dia supaya berhadapan dengan aku.

“Kalau cik guna dengan baik. Kenapa cik tak berfikir sebelum bercakap? Using bad words. It that make you seem cool? Using word such as fuck, sial. What that for?” dia menghadapku.

Auch! Ego aku tercabar!

“That not your business!” marahku.

“You know what, miss? Those word are suitable for people who are worst, who are scare and hide it with that words,” wajahnya cool.

Dush! Dush! Auch! It hurt!

“Argh! Go die!” aku terus duduk di sofa.

“That enough!” kata papa.

Papa melangkah ke sofa dan duduk berhadapan denganku. Papa mempelawa lelaki bodyguard duduk. Urgh! Asal papa suruh dia duduk sebelah aku ni?!

“Maaf tuan. Saya bercakap kasar dengan anak tuan,” katanya.

Urgh! Such an idiot formal guy!

“It okay. That what I want,” papa menyemak beberapa helai kertas.

“Ada apa sebenarnya ni papa?” aku menguap.

“Memandangkan kamu berdua tak boleh berkenalan dengan cara normal, biar papa yang tolong. Okay, this is Laura Merdyna, my one and only daughter. This is Haries, your bodyguard-”.

“WHAT?!” aku pantas berdiri.

“Yes, your bodyguard,” papa tersenyum.

“No need papa! I can take care of myself,” aku berkata tegas.

Is this a carma? Aku dah buat dia hilang pekerjaan then dia datang sini nak balas dendam?

“Papa tahu Laura boleh jaga diri dan terlebih boleh jaga diri. So, papa upah Haries bukan untuk protect Laura but untuk kawal Laura. Papa rasa cuma ni ja cara yang boleh buat kamu terkawal,” papa berpeluk tubuh.

“Papa! Laura terkawal okay! Laura janji Laura jaga attitude! No need him!” aku menjeling Haries.

“Papa takkan termakan lagi dengan janji palsu kamu tu. From now on, papa beri kebenaran kepada Haries untuk guna pelbagai cara supaya kamu terkawal. Even cara kasar sekalipun sebab kamu tu tak terkawal! Papa tak tahu macam mana nak kawal kamu lagi. Degil! Keras kepala!” papa memandang aku serius.

“Fine! Laura akan buat dia sendiri yang nak letak jawatan,” aku terus bangun dan melangkah ke luar.

“Tump!! Tump!! Tump!!” aku menghentak-hentak kaki semasa mendaki tangga.

Fuck this day!

-------------------------------------------

Haries’s POV

“So, how? Kamu okay dengan kerja kamu? Kamu rasa kamu boleh kawal anak saya?” tanya papa Laura.

“Ya, saya boleh tuan,” kataku yakin.

“Good! But, saya bukan sahaja nak kamu kawal anak saya. Saya nak kamu jadi mata-mata saya,” dia mengurut dahi.

“Mata-mata?” aku hairan.

“Saya tak sedar sejak bila tapi ada sesuatu yang pelik berlaku. Anak saya menjadi liar dan ada masalah attitude. Dia selalu menghilang dan we have no idea where she have been. Kalau kami pergi dinner bertiga, akan ada mata-mata yang memerhati. Mula-mula saya biarkan aja cause I think, no wonderlah, my daughter is pretty. But, one day, kami kena ekor dengan orang-orang jahat,” kata-katanya terhenti.

“Mungkin mereka nak duit?” aku membuat andaian.

“Saya pun ingat macam tu tapi tak. They want Laura. And I don’t know if Laura perasan atau tidak but saya nampak Laura buat isyarat mata. Then, all of them leave us. Saya takut kalau anak saya tu terlibat dengan gangster,” dahinya berkerut risau.

“Tuan ada nampak tanda-tanda yang dia tu gangster?” tanyaku.

She is too pretty to be a gangster.

“Tak ada pula. Kalau macam maki-maki tu adalah jugak. Pukul orang tu adalah juga but selalunya yang dia pukul budak-budak nakal dekat sekolah. Kalau yang tu memang patut pun dia act like that. Tapi hari ni, for the first time, saya nampak dengan mata kepala saya sendiri macam mana Laura belasah orang. And.. And kalini dia bertindak sangat agresif. Sangat tak terkawal. Saya dah tak kenal anak saya sendiri,” mata tuanya berair.

“If that case, izinkin saya untuk membuat tindakkan kepada anak tuan,” kataku tegas.

“Ya, saya benarkan. Buatlah apa cara sekalipun. Siasat anak saya tu,” dia memandangku tegas.

“Tapi tuan, kebenaran yang saya mintak ni lain. Saya mungkin bertindak kasar. Anak tuan bukan remaja perempuan yang biasa. Dia licik dan liar. Dia handal berlawan,” aku menanggalkan kaca mata.

“Maksud kamu?” dia bersandar pada sofa.

“Dia pernah menyerang bekas majikan saya. Cara dia serang bukan membuta tuli. Dia ada teknik berlawan yang handal. Mungkin kerana dia seorang perempuan, maka kekuatan dia terbatas tapi akal dia panjang. Mungkin saya pun boleh tersungkur kalau tidak berhati-hati. Dia bijak. Dia nampak macam dah biasa berlawan. Serangan dia terkawal dan menyakitkan. Dia nampak macam seorang yang terlatih,” aku membuat kesimpulan.

“Hurm!! That sound like not my little girl anymore. Baiklah, saya izinkan kamu buat apa aja dekat anak saya. Even dia tercalar sekalipun but jangan sampai nyawa anak saya yang kamu bermain. Saya tak nak sampai dia tersasar jalan. Saya nak kamu hentikan anak saya dari menjadi ganas dan buas,” dia memandangku penuh pengharapan.

“Tuan boleh harapkan saya,” aku tegas dengan pendirianku.

--------------------------------------------

Laura’s POV

Kedengaran ada tapak kaki sedang mendekati bilik aku.

“Squeskkk!” pintu bilik dibuka perlahan.

Aku menoleh dan aku nampak Haries memasuki bilik tidur aku.

“Get out from here! Pervert!” aku melempar bantal ke dia.

“Mulai sekarang saya akan jaga cik,” dia berdiri tegak di sebelah pintu bilik.

Aku yang sedang duduk di katil terkedu.

“Saya akan jaga cik”.

“Fuck up! I don’t need you!” aku memandang dia begis.

“Papa cik yang bayar gaji saya, which it mean saya takkan dengar arahan dari cik,” wajahnya tidak beriak.

“Urgh!!” aku terus rebahkan diri.

Lampu bilik yang terpasang membuatkan aku boleh nampak jam dengan jelas. 10.00p.m.. Awal lagi, macam-macam aku boleh buat tapi selagi Haries ade dekat sini mood aku akan rosak. Aku lihat dia setia berdiri di tepi pintu bilik. Pintu bilik telah pun ditutup. Awkward! Aku teringin nak tengok wajah dia tanpa kaca mata. I think, it can be more handsome without that spec. Damn! What wrong with me! Better I go to sleep. Perlahan-lahan aku memejamkan mata. Sleep this early, that is not me.

Puas aku berpusing-pusing bawah comforter tapi aku tetap tak boleh tidur. Aku menoleh jam, 1.02 a.m. Aku menoleh pula Haries. What the! Dia still setia diri depan pintu tu. Tak penat ke apa dia ni. Manusia ke robot dia ni? Kalau robot pun, no wonderlah sebab muka dia sentiasa tak beriak.

“Hei!” aku bangun dari pembaringan.

“Yes miss! Is that any problem?” jawabnya.

“Sampai bila kau nak diri dekat situ. Pergi duduk sana!” aku menunjuk meja belajar aku.

“Thank but no thank, miss. Im on my duty,” dia berdiri tegak.

“Duty tak duty. Kau duduk jelah situ, aku tak selesa bila kau diri depan pintu,” aku mula angin.

Huh! Orang dah simpati dekat dia pun nak banyak songeh lagi.

“Baiklah cik,” dia mula melangkah.

“Wait! Tutup lampu. Aku tak boleh tidur bila lampu terbuka,” arahku.

Dia menekan suis dan bilik serta merta gelap. Lampu tidur aku pasang. Aku tak boleh tidur dalam terang dan aku juga takut bila tidur dalam gelap gelita. That why wujudnya lampu tidur. Aku menjengah Haries. Dia duduk berpeluk tubuh sambil memerhatikan aku. Urgh! Scary! Aku terus membungkus satu badan.

Aku berpusing ke kiri. Penat ke kiri, aku ke kanan. Susahnya nak tidur! Urgh! Rimas pula dalam comforter ni. Aku menarik comforter yang menutupi kepalaku.

“Haaaaa!” aku menghela nafas panjang.

Aku mengapai hand phone yang berada di atas meja kecil sebelah katil. 3.00 a.m. . Aku menoleh Haries. Dia baringkan kepalanya di atas lengan kanan. Aku ketawa kecil. On duty but you still a human that need some rest. Aku menolak comforter dan turun dari katil. Aku menghampiri Haries. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dengkuran halus kedengaran.

Cahaya bulan yang menebusi pintu balkoni memudahkan aku nampak figuranya. What a handsome guy. Kodnya di sangkut pada kerusi, lengan kemeja putihnya di lipat sehingga paras siku. Rambutnya sedikit serabut. Butang bajunya yang atas sekali terbuka menampakkan t-shirt hitam di dalam. Tali leher dan spec hitam di letakkan di atas meja.

“Badump! Badump! Badump!” jantung aku bit fast.

Urh! My heart doesn’t work well! Perlahan-lahan tangan aku menyentuh pipinya.

‘Love at the first sight ha?Hahaha’

Hati aku ketawa mengejek.

‘No im not! You stupid!’

Aku melutut di depannya. Aku meletakkan kepala di ribanya. Hmm! Selesa. Aku berteleku di pangkuannya. Tangan kirinya aku genggam. Puas bermain dengan tangan kirinya, aku letakkan di atas kepalaku. Hmm! Rasa macam tengah baring bawah pokok pada musim luruh. Nyaman dan damai. Aku rasa selamat. It that too early to trust people?

-------------------------------------

Haries’s POV

Aku terbangun apabila kaki aku terasa lenguh. Terperanjat aku apabila lihat anak majikanku sedang tidur di riba aku. Tangan kiri aku pula memegang kepalanya. Aku menguis rambut yang menutup sebahagian wajahnya. Aku teringin nak menyentuh rambutnya. Rambutnya cantik. Lurus tapi sedikit beralun. Aku teringin nak sentuhnya macam kali pertama kami berjumpa pagi tadi. Aku teringin tapi aku tak boleh. Tugas aku untuk kawal dia, bukan ambil kesempatan.

Aku mengambil langkah dengan berhati-hati. Perlahan-lahan aku mencempung dia. Tubuhnya aku baringkan ke katil. Comforter aku tarik menyelimutkan tubuhnya. Aku duduk di sebelah pembaringan dia.

“Perfect,” bisikku.

She is too perfect. Alis mata yang tajam. Mata hitam yang besar. Kulit yang halus dan putih jambu. Rambut yang panjang. Aku pantas bangun dan kembali ke kerusi. Aku tak boleh perhatikan dia terlalu lama. Iman aku goyang. Nafsu aku bergoncang.

“Phuuuu!” aku menghembus nafas menenangkan rasa yang berkocak di hati.

Aku meletakkan tapak tangan ke dada dan beristighfar. Dia cantik tapi tuturnya menutup kecantikkan dia. Kalau aku terselisih dengan dia sebelum kejadian pagi tu, mesti aku ingat dia ni gadis lemah lembut dan sopan. Yeah! White people said, don’t judge the book by his cover. Aku menyentuh bibirku.

“Hahah,” aku ketawa kecil.

And she is little bit crazy. I have no idea why she kiss me. Masa tu aku rasa macam terlanggar bidadari then she kiss me.

“Astaghfirullahalazim!” aku pantas menyapu muka.

“No! Haa! Haa! Haa!” Laura meronta-ronta dalam tidur.

Aku bingkas mendekati dia. Dahinya berpeluh. Tuturnya meracau-racau. Tangannya mencengkam cadar katil.Nightmare. Aku menyentuh dahinya sambil duduk di sebelah dia.

“Shhh!” aku cuba menenangkan dia.

“He… Help!” suaranya tersekat-sekat.

Aku megenggam tangan kirinya. Pantas dia terus baring mengiring ke kiri sambil memeluk tangan kiriku. Tangan kananku pula menyentuh kepalanya lembut. Bibir aku berdesik-desik membaca beberapa surah untuk menenangkan Laura. Tindakkan aku berjaya apabila tiada pergerakkan lagi yang dibuat oleh Laura.

Agaknya, apalah yang dia mimpikan? Aku menarik lenganku dari pelukannya. Tanganku makin kuat digenggam. Bibirnya merengek-rengek. Aku yang separuh berdiri, duduk semula. Mataku tak lengkang dari memandang dia. Aku merebahkan kepala di katilnya.

Laura Merdyna….

------------------------

Laura’s POV

Aku mengeliat sebelum terkebil-kebil membuka mata. Aku terasa sebelah kiri pembaringan aku macam ada sesuatu. Aku menoleh dan aku terkejut. Aku lihat tangan aku megenggam tangan Haries. Agaknya aku ngigau then aku pegang tangan dia. That why dia stuck dekat sini. Hahaha! Perlahan-lahan aku melepaskan tangannya dan merangkak turun dari katil. Terasa ada pergerakkan di katil membuatkan dia tersedar. Dia bangun sambil menggosok-gosok matanya. Comel!

“Cik, maaf saya terlelap dekat sini,” dia memandang aku dengan muka half awake.

Argh! Stupid formal guy with cute face like hell.

“It sokay,” aku membalas pandangannya.

Lampu tidur membolehkan aku lihat wajahnya dengan jelas. Eh? Ada something pada wajahnya yang membuatkan aku tertarik. Aku menyarap atas katil bagi mendekatkan wajah kami. Dia pantas memalingkan wajahnya ke sisi.

“Cik, ada apa-apa yang saya boleh bantu?” tanya dia.

Aku tak suka bila orang bercakap tapi tak pandang muka aku.

“Look at me,” arahku.

“I can’t,” katanya.

Aku mengerutkan dahi.

“Why?!” aku mula berangin.

“Your collar,” aku menoleh ke kolar bajuku.

Hahaha! Rupanya kolar baju aku besar then bila aku menyarap macam ni. I look damn sexy! Aku menongkat dagu dengan tangan kiriku di atas katil dan kaki aku yang d tutupi seluar pendek, aku naikkan dan aku silangkan. Tangan kanan aku menarik dagunya.

“Look at me,” panggil aku menggoda.

Dia memandang mataku tepat. Takutlah tu kalau terpandang tempat lain. Hahahaha!

“Miss, is there any problem?” dia mengerutkan dahi.

“The hell! Your eye,” tangan kananku menyentuh mata kirinya.

Bila ingat balik, he has pure English. English dia tak dengar macam orang melayu yang sebut.

“What wrong miss?” matanya masih tertancap ke mataku.

“True name. What your true name?” tanyaku.

“Haries Erwin bin Ghaffar Smith,” suaranya kedengaran macam mendayu-dayu di telingaku.

Matanya biru.

“With people,” kataku seakan berbisik.

“No longer,” katanya.

Aku menarik dagunya sedikit. Perlahan-lahan aku mendekatkan bibirku.

“I will not let it happen again,” penuh tapak tangannya menolak wajahku.

“Argh! Damn!” aku menumbuk katil.

Haries bangun dari duduknya. Dia mengemas barangnya yang berada di meja belajarku lalu keluar dari bilik ni. Tak guna betul Haries ni. Aku tak pernah gagal dalam menggoda orang. Betul-betul mencabar Haries ni. Kita tengok siapa yang tewas nanti! Hahahaha! Kau belum kenal siapa aku. As I said before, once people know the true me, they will regret it.

Aku bangun dan berlalu ke bilik mandi. Sebelum aku masuk ke bilik mandi, aku menjeling jam. 5.00 a.m. Dua jam aja aku tidur. Aku ada masalah nak tidur. Aku menghidupkan suis lampu dan kemudian aku masuk ke bilik air. Pili air aku buka dan memenuhi tab mandi. Urgh!! Sejuknya. Pakaian aku tanggalkan satu persatu. Aku masuk ke dalam tab mandi.

“Fufufu! Sejuknya,” meremang romaku.

Seperti biasa. Aku merendamkan diri sehingga paras bawah hidung. Aku kini sebati dengan kesejukan air. Tanganku bermain-main dengan air. Haries Erwin bin Ghaffar Smith. Patutlah asyik pakai spec aja. Takut orang tahu yang dia white people. Macam dalam mimpi yang aku ni ada bodyguard. Paling lawak, guard aku dari bahayakan orang dan diri. Selalunya tugas boduguard ni kawal keselamatan majikan dia.

“Splash!” aku memukul permukaan air kerana tiba-tiba perasaan geram dan marah bertandang dalam diri.

Bukan niat aku nak bahayakan orang. Aku pun tak suka kotorkan tangan aku dengan kerja-kerja macam ni. Aku terpaksa bahayakan nyawa orang atau aku yang berada dalam bahaya. Pilihan di tangan aku cuma ada dua. Ikut dan laksanakan arahan mereka sebagai senjata hidup atau lari dan diancam mati sebagai seorang yang bermaruah.

“Kalau kau ikut arahan aku, aku takkan sentuh keluarga kau. Aku akan limpahkan segala kemewahan aku pada kau. Aku akan naikkan nama kau sehingga di kenali dunia. Tapi kalau kau langgar arahan aku, satu persatu orang yang kau sayang aku akan bunuh! Ingat! Aku sentiasa perhatikan kau. Kau tak boleh terlepas dari aku.”- Tuan Shirotani.

Sial! Macam manalah aku boleh terjebak dengan Tuan Shirotani! Aku pernah laksanakan arahan dia. Aku belasah budak sampai rusuk dia patah dan usus dia lebam. Dan Tuan Shirotani be like…..

“Well! Well! Welcome to our family. Guys, kita ada family baru. Ucap tahniah kepada dia. Even she is amateur but she work so well!. From now on, this is your new family!”-Tuan Shirotani.

Like a fuck man! Aku nak keluarga yang sempurna. Bukan yang gila harta dan bukan yang kaki pukul. Cukuplah keluarga yang normal, yang sentiasa ada masa untuk aku. Yang sentiasa…..

“Tuk! Tuk! Tuk!”

“Miss, why you take a bath too long? Come out or I’ll break the door,” Haries kedengaran risau.

“Urgh!” regusku.

Aku keluar dari tab mandi. Tuala aku capai dan aku balut ke tubuh. Aku pergi ke sinki dan mencuci muka selepas gosok gigi. Aku memandang mukaku di cermin sekilas sebelum menuju ke pintu.

“Tuk! Tuk!” pintu di ketuk.

“Hish! Nak keluarlah ni!” regusku.

Aku terperanjat kerana Haries betul-betul berada di depan pintu. Pantas dia mengundur. Aku lihat dia blushing. Perasan yang aku lihat dia, dia terus menoleh tempat lain. Aku tersenyum sinis. Dia pula yang blushing tengok aku half naked. Berkemban dengan tuala aja. Aku pergi ke wardrobe dan mencari pakaian sukan. Aku lihat jam pukul 6.00 a.m. Satu jam aku dalam bilik mandi.

“Cik, kenapa bahu kanan cik tu,” Haries memandangku

Kali ni dia tak pakai cermin mata. I’m totally right! He look more handsome!

“Tattoo,” jawabku hambar.

Aku benci dengan tattoo yang berbentuk bulan sabit yang kena panah ni. Tattoo ni melambangkan yang aku ni sebahagian dari keluarga Tuan Shirotani. Damn! Tattoo yang diukir pada besi. Besi tu dipanaskan dan dicopnya pada bahu kanan aku. Sial! Sumpah sakit!

“Macam mana ci-”

Ayatnya terhenti kerana aku tiba-tiba meleraikan tuala. Aku tersenyum sinis. Aku lihat dia keluar dari bilik. Huh! That is not your fucking business! Aku memakai pakaian dan kemudian aku duduk di meja solek. Rambutku yang panjang, aku sikat. Aku gemar biarkan rambutku terurai even dekat sekolah sekalipun. Cikgu disiplin kata, kalau sesiapa yang tak bertudung kena ikat rambutnya bagi kemas. But, ada aku kesah?

Aku keluar dari bilik dan aku menuju ke dapur. Aku lihat Haries sedang membantu Bik Senah menghidang dan menyusun lauk di atas meja. Gulp! Kacaknya dia. Seluar slack dan tali leher hitam di padankan dengan vest hitam dan kemeja lengan panjang putih. Vest yang dipakainya membuatkan dia nampak lebih tough. Tak sado sangat tapi tough. Rambutnya yang agak panjang di tolak ke belakang. This is soo white people!

“Good morning miss!” tegurnya apabila sedar akan kehadiranku.

“Kenapa kamu berdiri aja dekat sini. Pergilah duduk sana,” sergah papa dari belakang.

“Hish papa ni! terkejut Laura,” aku membuat wajah masam.

“Have a seat,” Haries menarik kerusi untuk aku.

Aku duduk dan lihat dia yang sedang diri dekat sebelah aku. Tangannya lincah menyendukkan aku nasi goreng dan menuang air sirap. This is pervert! Mata aku tak lepas dari memandang dadanya yang bidang. Feel wanna hug him. Tiba-tiba dia hendak melangkah pergi. Pantas aku menggapai tangannya.

“Err.. Kau nak pergi mana,” aku malu dengan tindakkan aku.

Aku malu sebab ada papa. Kalau papa tak ada, aku rileks ja goda dia. Habis reputasi aku depan papa. Aku lihat papa dari ekor mataku. Papa hanya memandang kami sekilas.

“Dapur. Majikan dan pekerja tak boleh semeja masa makan,” Haries memandang lengannya yang dipegang aku.

“Fuck up! Bik Senah pun pekerja tapi dia makan semeja. Tak ada pula sampai nak menghalau makan dekat dapur. Siapa yang buat peraturan macam ni!” marahku.

“Papa,” jawab papa selamba.

“Urgh! Papa ni kuno. Biarlah Haries makan sini,” aku tak puas hati.

“Peraturan tetap peraturan,” papa tidak memandang aku.

“Fine, tapi tak ada peraturan yang majikan tak boleh join pekerja makan dekat dapur,” aku menganggkat pinggan dan cawanku.

“Laura! Papa gurau jelah. Hahaha!” papa dah tergelak.

Aku melihat Haries turut tergelak.

“Apa semua ni papa?” aku mula naik angin.

“Papa saja nak tengok kamu ni sombong ke tak. Papa bangga jugalah even papa besarkan kamu dengan harta tapi kamu tak riak,” papa tersenyum.

Bik Senah yang baru keluar dari dapur hanya tersenyum.

“Kau Haries! Sengaja nak kenakan akukan?” aku memandang dia dengan wajah marah.

“Maaf cik tapi saya memang nak ke dapur sebab nak basuh tangan,” Haries terus berlalu ke dapur sebelum sempat aku membuka mulut untuk memarahi dia lagi.

“Laura, kenapa kamu tak ikat rambut? Setahu papa….”

“Malas. Laura suka rambutnya lepas macam ni,” balasku.

Haries muncul dari dapur. Dia mengambil tempat di sebelahku. Aku memfokuskan tumpuan aku pada makanan.

“Ting! Krieek! Ting! Ting!” bunyi suduku berlaga dengan pinggan.

“Laura, cuba tertib sikit bila makan tu. Tengok Haries, senyap ja dia makan,” mama muncul dari belakangku.

“Hmm,” balasku acuh tak acuh.

“Mulai sekarang, Laura pergi sekolah Haries yang hantar,”kata papa.

“K,” aku malas nak beramah mesra dengan keluargaku.

Haries di sebelah telah selesai sarap. Dia membawa pinggan kotor ke dapur. Hilangnya ke dapur, aku terus bangkit dan meninggalkan ruang makan. Baki nasi goreng aku biarkan. Aku tak betah berlama dengan keluargaku. Aku masuk ke bilik untuk mengambil begku dan kemudian aku turun semula.

---------------------

“Perlu ke kau ikut aku sampai sekolah?” aku berpeluk tubuh di seat belakang.

“Saya bodyguard cik,” dia fokus dengan pemanduan.

“Apa kata kita buat perjanjian. Bila depan papa aja kau acah jadi bodyguard aku. Belakang papa kita buat haluan masing-masing,” aku cuba tawar menawar.

“Sound good but no thanks. Saya tak nak bergajikan hasil yang haram,” katanya straight.

“Fuck! Urh!” aku meregus.

Acah-acah amanah dengan kerjalah tu.

“Kita dah sampai cik,” katanya.

Kereta dihentikan. Dia keluar dari kereta dan membukakan pintu kereta untuk aku. keluar sahaja dari kereta, aku terus lari dan menghilangkan diri di kawasan sekolah. Sekolah ni besar, tak mungkin dia boleh jumpa aku. Aku melangkah ke kawasan kolan ikan. Aku bercadang nak ponteng waktu pertama kelas. Hahaha! Padan muka kau Haries. Pandai-pandailah kau bawa diri.

“Bizz! Bizz!” telefon di kocek seluar bergetar.

Ada panggilan. Dengan berat hati, aku menjawab panggilan tersebut.

“Moshi! Moshi!” suara si pemanggil kedengaran amat menggoda.

“Apahal call time macam ni?” aku menjawab sehabis dingin.

“Auch! Sayang, janganlah kasar sangat,” dia ketawa kecil.

“……….”

“Aku dengar kau belasah orang semalam? Good job my baby,” pujinya.

“Tuan Shirotani, straight to the point please,” damn I hate him!

“Gelojoh. I like,” dia ketawa berdekah.

Urgh! Macam pondan!

“Kalau tak ada apa-apa. Aku letak,” ugutku.

“Wait! Wait! Aku nak jumpa kau,” kini barulah dia bersuara macam seorang lelaki.

“Busy,” balasku acuh tak acuh.

“Huh! Busy? Kau lupa ke kau tengah cakap dengan siapa ni? Kalau aku cakap aku nak jumpa, kita tetap akan bertemu. Ingat! Jangan sesekali kau cuba nak lari sebab kau akan gagal. Orang-orang aku selalu perhatikan tindak tanduk kau! Listen carefully Laura. Once kau bunuh orang, aku akan lepaskan kau. I give you my word!” katanya tegas.

“Tuan tetap nak saya jadi orang jahat,” kataku tanpa perasaan.

Fuck up! Aku tak sekejam tu.

“Hahaha!” dia ketawa jahat.

Pantas talian aku matikan. Telefon aku off dan aku simpan semula ke dalam kocek seluar. Aku memandang jam tangan, satu masa pertama dah berlalu. I think, I should go now. Aku jalan sorang-sorang dekat koridor sekolah macam orang bodoh. Aku lihat kereta BMW 5series cantik terparking di kawasan parking guru. Shit! Aku ingat Haries dah blah.

Dengan lagak macam seorang pencuri, aku berlari-lari menuju ke kelas. Cepat! Cepat! Cepat! Sebelum Haries nampak aku! Sampai sahaja di depan pintu kelas, aku memandang kiri dan kanan. Memastikan diri tak diekori. Aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan cara mengundur.

“Laura, kenapa dengan kamu?” tanya cikgu.

“Shhh! Jangan sebut nama saya kuat-kuat. Ada orang jahat tengah cari saya,” aku menutup pintu kelas perlahan-lahan.

“Nama dia Haries ke?”

“A.ah. Eh?!” aku terasa macam ada sesuatu yang aneh.

“Cik!”

“Arghhhhh!” aku terkejut sampai tersandar dekat pintu kelas.

Satu kelas menggelakkan aku. Damn! Aku lihat Haries sedang duduk di meja di belakang kelas.

“Laura, dah lama sangat kami tunggu kamu ni. Cepatlah, Haries tak kenalkan diri lagi ni,” kata cikgu.

“Eh! Asal nak tunggu saya. Suruh jelah dia kenalkan diri,” aku melangkah ke tempat dudukku.

Sebelah tempat yang Haries duduk tu sebenarnya tempat aku.

“Okay, cikgu tahu banyak dikalangan kamu yang tertanya-tanya tentang kehadiran Haries. Papa Laura telah upah Haries untuk kawal keselamatan dia. Biasalah, anak billionaire ni banyak musuh yang perhati. Jadi cikgu nak mintak kerjasama kamu semua untuk jaga keselamatan Laura ya,” kata-kata cikgu membuatkan aku hairan.

“Huh! Big fat liar! Bukan kau diupah untuk kawal attitude aku ke?” aku tersenyum sinis.

“Cikgu! Dia ada musuh bukan sebab dia anak billionaire tapi sebab mulut dia tu jahat!” kata Nora.

“Kau nak mati ke hah?!!!” aku pantas berdiri.

Tangan aku dipegang Haries.

“Chill! Be mature, don’t let small matter disturb you,” Haries beriak tenang.

Aku duduk semula dan mata aku tak lepas memerhati Nora. Aku lihat Nora ketakutan. Bodoh! Kena tengking sikit tahu takut. Tadi bersuara acah berani. Aku memerhati Haries. Dia hanya memandang ke hadapan. Aku lihat ada mata-mata perempuan yang sesekali menjeling Haries. Ada yang berbisik-bisik. Tak tahu kenapa tapi aku rasa macam sakit hati sangat. Sebuk nak tengok Haries aku. Tampar sekor-sekor karang.

Atas meja aku tak sama macam pelajar lain. Meja mereka penuh dengan buku. Meja aku pula kosong. Kertas pun tak ada. Rugi betul papa habiskan duit tapi aku tak belajar. Tak apalah. Papa kaya. Mama pun kaya. Aku tak belajar pun harta dah menggunung tinggi.

Oleh kerana bosan, aku mengeluarkan sehelai kertas. Penuh satu kertas itu dengan perkataan bosan dan boring. Selama setengah jam aku menghabiskan masa dengan menulis karang yang berbunyi “bosan dan boring”. Aku menoleh sebelah melihat Haries. Dia berpeluk tubuh dan memejamkan mata. Tidur ke?

“Psst!” aku berbisik dengan budak depan.

“Hmm,” dia balas acuh tak acuh.

Tak guna!

“Woi! Dengarlah ni aku nak cakap!” aku bersuara keras.

Aku menendang-nendang kerusinya.

“Apa?” dia mula tak selesa.

“Mintak satu kertas lukisan kau,” kataku.

Budak lelaki depan aku ni suka melukis. That why bag dia sentiasa ada sketchbook.

“Nah,” dia menghulurkan kertasnya lalu aku mengucap terima kasih.

Aku mengasah pencil kayu dan sampahnya aku buang ke dalam meja. Aku memandang Haries. Aku memerhatikan setiap lekuk wajahnya. Matanya, hidupnya, pipinya, keningnya, bibirnya, dagunya dan gaya rambutnya.

“Katakanlah suatu hari nanti aku tersayang kau, apa aku perlu buat?”

Aku tersenyum dengan soalan hati yang aku anggap sangat bodoh. Tangan aku terus melakar potret Haries. Setiap lekuk yang aku lakar seakan jejariku sedang menyentuhnya. Segalanya sempurna. Hatinya cantik, figuranya perfect.

‘Wahai hati, kau tak boleh sayang dia tau. Semua benda yang kau sayang biasanya akan musnah. Kalau kau sayang dia, jangan sampai sesiapa tahu’.

Aku mengetap bibir. Aku akhiri lukisanku dengan tandatangan bertulis, “AI”.

“Weh! Jom Nora pergi padang”.

“Weh Dani! Cepatlah!”.

“Ayu! Kasut sukan baru siot”.

Aku yang sedang menyimpan lukisanku berasa jengkel. Pergi padang pun nak kecoh ke. Tapi kemudian, aku tertunduk. The true is, aku cemburu. Aku tak ada kawan. Tiada sesiapa yang hiraukan aku. I’m alone. Always al.....

“Laura,” panggil seseorang.

“Hmm,” aku mengawal riak.

“What wrong?” tanyanya risau.

“Nothing Haries,” aku terus bangun diikuti dia.

Kami menuju ke padang. Haries berdiri jauh memerhatikan aku yang bersendirian di sudut padang. Pelajar perempuan rancak bermain bola jaring. Buat pertama kalinya, aku rasa aku nak main sekali. But, mereka mesti tak suka dengan kehadiran aku. Aku ni garang dan perengus, no wonderlah orang tak suka aku.

Fikiranku kosong. Fizikal yang mengawal segalanya. Tanpa aku sedar, aku sedang berdiri di tengah padang bola jaring. Mereka yang tengah bermain terus terhenti dan tak faham dengan apa yang aku cuba buat. Semua mata memerhatikan aku. Aku tak pernah ada kawan. Aku tak tahu macam mana nak buat kawan.

“Aku.. Aku nak main sekali,” kataku.

Mataku sedikit pun tak memandang mereka.

“Huh! Tak ada siapa nak main dengan aku,” kata mereka.

“Aduh! Sial!” aku menoleh.

Apa kejadahnya ni?! Siapa yang baling bola belakang aku ni?

“Bukak kasut, saya tak bercadang nak main ikut peraturan”.

“Huh! Peraturan adalah untuk dilanggar,” aku mencampakkan kasutku ke tepi padang.

Aku memandang Haries sambil tersenyum. Dia berkaki ayam. Kot, tali leher, cermin mata dan kasutnya di letakkan di pondok berdekatan. Argh! Kacaknya dia! Kemeja yang butang atas sekali terbuka dipadankan dengan vest yang menampakkan lagi kesasaan tubuhnya. Pelajar perempuan semuanya duduk di tepi padang. Mereka yang tengah main tadi pun mengambil tempat di tepi padang.

“Hei!”.

“Auch!” aku menyambut bola yang dibalingnya.

Kuat dia baling ni. Main kasar eh!

“Is it hurt? Little baby?” dia tersenyum.

“Damn! You don’t know me!” aku terus membawa lari bola ke jaring.

Sukar untuk aku menjaringkan bola kerana dia berada rapat di belakangku. Bola aku lantun-lantunkan di tanah.

“Rapatnya, I can smell him!”

“Aduh!” dia mengadu kerana aku tolak sehingga jatuh.

Kesempatan yang ada, aku menjaringkan bola. Bola aku ambil lalu aku berdiri depan dia. Aku memandang dia dengan wajah yang belagak sambil menggosok sekali sahaja di bawah hidungku.

“Need some help?” aku menghulurkan tangan.

Dia menyambutnya. Aku menariknya bangun dan entah mana silapnya, bola ditangan dirampas. Tak guna! Aku lihat dia melantunkan bola sambil tersenyum padaku.

“My! My! He so hot!”

Aku merapatinya. Bola yang dilantun tadi terus dia pegang. Aku cuba merampasnya tetapi tak berjaya kerana dia menjulang bola itu tinggi. Ehem! Fine! Aku memang pendek sikit dari dia. Terjengkek-jengkek kakiku.

“This face looks like a little cat lose her momma. Hahaha!” dia tergelak.

Kurang asam betullah Haries ni!!

Dia berpusing ke belakangku. Belakang kami berlaga. Tangan kasarnya menolak belakangku. Aku hampir tersungkur jatuh. Aku memandangnya yang sedang tergelak itu dengan wajah yang masam. Tak guna!

Aku berlari ke arah dia yang sedang menjaringkan bola. Tanganya yang memegang bola aku tarik dan bola itu terjatuh. Dengan lincah, tangan kirinya menyambut bola yang jatuh. Aku baru ingin merampas tetapi tangan kanannya yang aku tarik itu lebih pantas melingkari perutku dan aku di tarik ke tepi. Aku meronta-ronta.

“Shitt!!!!” jeritku apabila dia berjaya menjaringkan bola.

“One to one,” dia tersenyum padaku.

“He being himself. How cute!”

‘Shut up! Kau boleh diam tak hati?!’

“Fight! Fight! Fight!” sorak semua orang.

“Huh! No rule, right?” aku tersenyum sinis.

“Yeah!” dia menguak rambutnya kebelakang.

“So, let see. Who the looser here!” aku melipat seluarku sehingga paras betis.

_________________________________________

Aku menolak rambut aku yang berada di bahu macam orang dalam iklan syampoo. Hahaha! I’m gorgeous okay! That why Haries tak berkelip tengok aku buat macam tu. Budak-budak lelaki sebuk bersorak-sorak macam kucing hilang anak. Huh! I hate boy and I dislike man. Wait, man depan aku ni masih dalam pertimbangan lagi.

“No seducing,” dia melantun bola ke aku.

“Hahaha! No rule, remember? I will seduce you until your nose bleed,” aku mengenyit mataku.

“Auwww!”

“Shut up! Fucker!” makiku kepada budak-budak lelaki yang sebuk bersorak-sorak.

Mereka terus senyap. Huh! Aku tak suka mereka.

“Someone got mad. Let make a deal,”dia bercekak pinggang.

Huh?! Deal? Dia ingat aku takut ke? Silap besar!

“Fine. Apa dealnya?” aku menghampirinya dengan senyuman menggoda.

“Siapa kalah, dia kena ikut cakap orang tu,” dia mengangkat keningnya sekilas.

“How long?”aku menyelak rambut yang kena tiup angin.

“A day,” Haries menghulur tanganya.

“Deal!” kami berjabat tangan.

“Fight!” sorak semua orang.

Aku tersenyum sinis dekat Haries. Okay Laura. Naughty time!! Aku menghulur bola pada Haries. Tanpa syak wasangka, dia mengambilnya. Pantas aku menepis bola itu jatuh manakala tangan kiri aku yang sudah sedia terus menyambut bola. Aku berpusing ke belakangnya. Belakang kami berlaga.

“Huh! Your copy me?” dia tergelak.

“Tak sepenuhnya copy, tapi pengubahsuaian,” kakiku menendang ke belakang.

Menendang pelipat di belakang lutut. Akibatnya, dia terjatuh.

“Hahahahah! Looser with capital L!,” aku membuat simbol L di dahi.

Satu jaringan and I am the winner!

“Too slow!” bisiknya yang entah bila dah ada dekat belakang.

Dia merampas bolaku yang baru sahaja hendak dijaringkan.

“Damn!” aku mengejarnya.

Dia belari-lari anak secara mengundur. Bibirnya tak lengkang dengan senyuman.

“Teacher!” riak mukaku terkejut.

Pantas dia berhenti dari berlari-lari anak dan menoleh ke belakang. Kesempatan yang ada, aku membengkes kakinya. Dia terjatuh menyarap. Dia memusingkan tubuhnya menelentang dan kakinya mengait belakang lututku. Akibatnya, aku jatuh ke tubuhnya.

“Wuuuu!” sorak yang lain.

Urgh! Semak!

“Looser with capital L,” Haries mengulang ayatku.

Aku pantas duduk di perutnya. Aku mencengkam kedua-dua pergelangan tangannya dan aku tarik ke atas. Tubuhku sedikit membongkok.

“Now, who the looser with capital L, huh? Hahahaha!” rambutku yang jatuh mengena pipinya.

“LSP!” mata Haries membulat terkejut.

“Huh?! LSP stand for what?” aku mengerutkan dahi.

“Laura Si Perogol!” matanya masih membulat.

Waaa! I never thought that this stupid formal guy can be this damn cute!

“Perogol? Aku cuma nak goda kau sampai hidung kau berdarah,” aku merapatkan lagi wajah kami.

“That enough!” wajahnya serius.

“Nuuu! We still don’t know the winner!” aku berwajah nakal.

Haries menolakku. Aku terus terbaring di sebelahnya. Dia bangun dan jaringkan bola.

“I win,” dia memandangku yang telah pun duduk.

“Ouh! My winner! I will be your good slave,” aku membuat muka kesian sambil merapatkan kedua-dua pergelangan tanganku seakan diikat.

“Apa cik mengarut ni?” muka Haries kemerahan.

“Hei, that a deal right?” aku masih memegang watak nakal.

“No! Dealnya, siapa yang kalah kena ikut semua cakap winner,” dia membetulkan rambutnya.

“Eeehhh? Bunyi macam sama aja,” aku membuat wajah lurus.

Semua pelajar bersurai apabila aku dan Haries berlalu pergi.

“Kenapa cik tengok saya macam tu?” dia tidak selesa kerana aku asyik merenungnya.

“So?”

“So?” tanya dia semula.

“The deal?” mataku tak lepas dari menilik wajahnya.

“Just forget it,” dia membasuh kakinya.

“Ish! Tak seronoklah macam ni. Kalau aku yang menang, macam-macam aku suruh kau buat. Such as, siapkan kerja sekolah aku ke, kerintingkan rambut aku ke, kiss aku ke”.

“Pervert!” katanya yang masih ralit memabasuh kakinya.

Aku duduk di sinki. Kakiku aku masukkan ke dalam sinki. Pili air aku hidupkan dan air mencurah ke kaki. Ehem! Ni sebenarnya sinki dekat kantin. Haries pula basuh kaki dekat paip yang berada dekat dengan padang. Sinki ni jauh sikit. Adalah dalam tiga depa. Tepat Haries basuh kaki tu memang disediakan untuk pelajar basuh kaki lepas main dekat padang. Bukan dekat sinki kantin. Hahahah!

“Haries, cakaplah apa dealnya,” kataku.

Aku menongkat dagu atas lutut. Kakiku bermain-main dengan air.

“Dealnya?” dia menutup paip.

Langkahnya di bawa menghampiriku. Tangannya merata-ratakan air ke kakiku. Membuang kotoran.

“A.ah. Deal. Cakap ja apa, aku tak kisah. Aku suka cabaran. Kau suruh aku lompat bangunan pun aku akan buat”.

“Ish, cik jangan mengarut,” Haries mengerutkan dahi.

Tangan kasarnya mengosok-gosok kakiku. Bagusnya, basuhkan kaki aku. Patutnya winner yang dapat layanan ni.

“Haries, mintaklah apa-apa,” aku meletakkan kepalaku di atas lutut.

Mataku ralit memandang dia yang sedang membasuh kaki aku. Kacak! Kemeja putihnya kotor terkena tanah. Lenganya dilipat sehingga paras siku. Wajahnya kelihatan sedang berfikir.

“Ermm… Saya mintak cik jawab semua soalan saya dengan jujur untuk satu hari ni”.

“Boleh!” jawabku pantas.

“Don’t too fast, miss,” dia tertawa kecil.

Gulp! Ya juga, jangan terlalu pantas. Mana tahu tiba-tiba dia tanya pasal Tuan Shirotani.

_______________________________________

Aku mengambil hand phone yang berada di dalam poket seluar. Aku hidupkan. Haries melihat perbuatanku sekilas. Tangannya sedang menyabun kakiku.

“What!” terkejutku melihat notification board.

“Kenapa cik?” Haries berwajah hairan.

“Kawan aku call”.

158 panggilan tidak berjawab. Aku menghidupkan wifi. Ada whatsapp dari Tuan Shirotani. Dia hantar gambar. Wowow! Janganlah dia hantar gambar tak senonoh dia dahlah. Aku download gambarnya.

Tubuhku serta merta menggigil. Lidahku terkelu. Tuan Shirotani hantar gambar aku tengah main bola jaring dengan Haries. Ni bahaya! Macam mana kalau ada apa-apa perkara buruk berlaku pada Haries?! Argh! Aku bodoh! Patutnya aku iakan aja bila Tuan Shirotani kata nak jumpa aku. Bahaya ni! Macam mana kalau dia tahu Haries ni bodyguard aku? Habislah nyawa Haries. Bodohnya aku!

“Cik!”

“Arghh!!”terkejutku apabila bahu disentuh.

“Cik okay tak? Cik sihat tak? Muka cik pucat je ni,” Haries menilik mukaku risau.

‘Awww! He so cute and handsome plus he care about you. That all woman need’.

‘Shut up! Stupid!’

“Haries Erwin. Can we go somewhere else?” aku melihatnya dengan muka penuh pengharapan.

“Classroom?” mukanya nampak lurus.

Urgh! Stupid cute guy.

“I mean, bukan dekat sekolah,”aku masih setia memandang dia.

Dia memandang wajah aku. Lama kami saling berpandangan. Aku tahu, dia mesti tengah cuba membaca pemikiran aku. Hahahaha! Kalau dia ada kuasa psikik, dah lama dia beritahu papa apa yang tak kena dengan aku sebenarnya.

“Okay”.

“Hurayy!!” pantas aku merangkul lehernya.

“Cik,” tubuhnya kaku.

“Thank you,” bisikku.

Tiba-tiba dia mencempung tubuh aku. Aku memandangnya hairan. Dah buang tebiat ke Haries ni? Tiba-tiba nak dukung aku.

“Kalau nak keluar sekolah, kita kena ada alasan yang munasabah. Sekarang cik pura-pura pengsan,” katanya bersahaja.

Aku tersenyum.

“Pandai juga kau ajar aku membohong,” kataku yang sedang memejamkan mata.

“Bukan bohong cik, tetapi helah,”sasa tubuhnya mencempung tubuhku.

Aku mencengkam baju di dadanya. Kepala aku sandarkan ke dadanya juga. Harumannya merangsang hormon wanitaku. Aku rasa selamat.

“Cik,” panggilnya.

“Hmmm…” aku masih memejamkan mata.

“Saya berpeluh”.

“Who care,” kataku perlahan.

Aku rasa seakan sedang mendaki tangga. Dia ke pejabat ke? Boleh jadi juga. Ermm? Suasana ni macam dalam bilik pengetua aja.

“Kenapa ni?” tanya pengetua.

Betullah ni bilik pengetua.

“Dia jatuh pengsan lepas sukan tadi. Saya nak bawa dia pergi klinik,” kata Haries agak kaku.

Hahaha! Dia memang tak pandai berlakon. Aku membuka mataku sekecil yang mungkin. Aku melihat wajahnya dari bawah. Tanpa sedar, aku tersenyum. He so honest in his action. Dia melangkah ke luar dari pejabat. Aku hanya mengosongkan minda. Aku tak kisah dia nak bawa aku ke mana sahaja. As long as dia ada, aku tak kisah. Hahahahaha! Cliché.

“Cik, kita dah dalam kereta,” kata Haries.

Aku rasa tubuh aku di masukkan ke dalam perut kereta di bahagian belakang. Tangan kiriku melingkar ke belakang badannya. Tangan kananku pula melingkar ke rusuk kirinya. Aku memeluknya dengan erat dan aku tak nak lepaskan.

“Let be like this for a while,” bisikku.

______________________________________

Haries’s POV

Lama Laura berada di ribaku sehingga aku rasa cengkamannya pada bajuku semakin longgar. Aku menunduk untuk melihat wajahnya. Secarik seyuman terlarik di bibirku. Dia dah tidur rupanya. Aku membaringkan dia lalu aku keluar. Pintu kereta aku tutup.

Aku melangkah ke kelasnya semula untuk mengambil begnya. Wajahnya takut sangat tadi. Macam ada sesuatu. Kalau tidak kerana wajahnya itu, dah tentu aku tak akan ikut cakap dia untuk ponteng sekolah. Tindakkan dia kadang kala sukar di baca. Aku masih tertanya-tanya, macam mana dia boleh jadi sekasar itu. Dia tak ada kawan dekat sekolah yang boleh pengaruh dia jadi nakal. Aku rasa macam ada sesuatu yang tak kena. Adakah ia ada kaitan dengan yang papa dia cakap? Laura terlibat dengan gangster? Tidak boleh dinafikan yang dia nakal tapi jauh di sudut hatinya, dia seorang wanita yang baik.

Aku melangkah semula ke kereta, aku lihat dia masih nyenyak tidur tapi ada peluh yang jatuh dari dahinya. Kesian, dia kepanasan. Pantas aku masuk ke dalam kereta lalu aku menghidupkan enjin. Pendingin hawaku hidupkan. Hmmm? Mana aku nak bawa dia ni?

Aku memandu kereta tanpa tujuan. Berpusing-pusing sekitar bandar. Hari nampak mendung. Mungkin hujan akan turun sekejap lagi. Laura di belakang masih nyenyak tidur. Agaknya dia tak boleh tidur kut malam tadi sebab ada aku. I should discus about this with her papa. Hmmm, poor girl. Even papa and mama dia kaya, tapi dia lonely.

“Haries. Haries Erwin,” panggil Laura.

Dah bangun rupanya.

“Ya cik,” jawabku.

“I’m sleepy,” katanya separuh mamai.

Dia meletakkan dagunya di bahuku. Doesn’t she know that I’m a man and she is a girl? Doesn’t she know that her act will turn me on? Oh God! She knows nothing!

“Go back to sleep then,” aku fokus dengan pemanduan.

“Hmm… Here, feel comfortable,” Laura memegang bahuku.

“Cik, kita berhenti sekejap. Saya nak tukar pakaian,” aku menghentikan kenderaan berdekatan dengan tandas awam.

“Eh? Macam mana kau ada baju spare?” dia menarik semula dagunya dari bahuku.

“Papa cik kata, cik suka main kotor,” aku masih tak keluar dari kereta.

“Ha?” dia merenungku.

“I mean, cik suka main kotor dan main cara kotor,” aku tidak memandangnya.

Aku tahu dia tak suka kalau aku tak pandang wajahnya bila bercakap. But, how come I can face her pretty face. My heart will bit fast.

“Ouh…..” dia menyandar semula ke belakang.

Aku keluar dari kereta lalu pintu kereta aku tutup. Langkah kakiku menuju ke tandas. Lalu sahaja di depan cermin di dalam tandas, aku terus menghentikan langkah aku. Aku menilik diri dari atas sehingga bawah. Aku ada rupa tapi harta membezakan aku dan dia. Hahahaha! Aku kena fokus! Aku tengah kerja sekarang.

Aku masuk ke salah satu bilik tandas lalu menyalin pakaian yang kotor. Seperti biasa, kemeja lengan panjang putih, tali leher dan seluar slack hitam. Formal adalah ciri-ciri kerjaya aku. Hmmmm. From now on, aku kena habiskan masa dengan Laura. Aku sedikit takut tapi turut juga teruja. Gila woi siapa yang tak suka bekerja dengan perempuan cantik macam Laura. Eermm… Cool Haries. Be mature.

Aku menilik diri sekilas di depan cermin sebelum berlalu ke luar. Agaknya lama sangat tak dia tunggu aku. Agaknya dia dah tertidur semula ke atau tengah maki-maki tunggu aku? Herm.. Complicated, susah nak ubah dia dari tak mencarut. Eh, dah gerimis halus. Kejap lagi hujan lebatlah ni. Eloklah, dah tiga hari tak hujan.

“Ya Allah! Apa yang cik buat ni?!!” aku terkejut melihat dia yang sedang duduk di bonet hadapan kereta.

Dia yang sedang melepaskan kapal terbang kertasnya turut terkejut tapi tak seterkejut aku yang melihat pakaiannya yang… yang… macam mana nak cakap ye. Dia hanya memakai kemeja lengan panjangku tapi lengannya tidak dibutang. Tali leher hitamku dipakai tapi diikat reben. Duduk bersilang kaki di bonet depan kereta sambil main kapal terbang kertas. Mujur bajuku besar, dia pakai sampai paras atas lutut. She looks damn sexy!

“What? I do nothing,” dia berwajah polos.

Rambutnya sedikit messy kerana ditiup angin sejuk. Hari nak hujan ni!

“Where your pant?!” aku menyimpan pakaian kotorku di boot kereta.

Pakaian bersihku bawa dua, jadi yang lagi satu tu Laura pakai.

“Basah, jatuh dalam tandas,” katanya selamba sambil mengoyakkan buku latihannya lalu membuat origami kapal terbang.

“You need to wear something before we buy a new one,” aku menariknya turun kereta.

“What the matter? No one see it. We can just stay in the car. Right?” dia memandang aku dengan wajah keanak-anakkan.

She never understands.

“But I see it,” aku menariknya menuju ke tandas perempuan.

Dia menarik lenganku. Langkah kami terhenti.

“Haries,” panggilnya.

“Yes miss,” aku tidak memandang wajahnya.

‘She too pretty’. Desis hatiku.

“Look at me!” dahinya berkerut.

Ya, dan dia betul-betul tak suka kalau aku tak pandang wajahnya bila bercakap.

“Yes miss,” aku memakukan pandangan kami.

“Describe one word about me,” dia tersenyum.

“Crazy,” kataku selamba.

“Hei! It should be sexy!” dia menarik muka.

Hahahah! Aku menahan diri dari tersenyum melihat dia yang sedang marah.

____________________________________________.