Tampilkan postingan dengan label Pesan Cinta Dari Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesan Cinta Dari Pesantren. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Mei 2020

Pesan Cinta Dari Pesantren

* * * * *

Pesan Cinta dari Pesantren

Karya : Wahyu Saputro/2018 -

MEMULAI MIMPI

Sebuah cerpen yang menceritakan tentang pemuda yang bermimpi menjadi seniman musik dan mengejar cinta sejatinya melalui penantian panjang. Aku adalah Deva Rangga Putra. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara dimana aku dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Ayahku bekerja sebagai pengrajin furnitur dari kayu yang penghasilannya tidak menentu. Kadang mendapat pesanan banyak dan kadang sedikit, bahkan pernah dalam waktu satu bulan tidak ada pesanan sama sekali. Hal tersebut membuat ayah memiliki sikap yang sedikit keras ketika mendidik anak-anaknya termasuk aku sendiri. Itu semua karena ayahku berharap setelah anak-anaknya lulus sekolah menengah atas, aku dan dua orang kakakku dapat membantu ekonomi keluarga ujarnya.

Memiliki darah seni dari ayah dan mendapat turunan darah lembut dari ibuku, membuatku memiliki kemampuan yang baik dalam bidang seni khusunya melukis ketika duduk di sekolah dasar. Beberapa prestasipun pernah dirah oleh Deva kecil: Juara satu lomba melukis tingkat RT, Lomba mewarnai tingkat Kecamatan, dan aku mendapatkan beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolah dikala itu. Beranjak remaja, jiwa senimanku meluas ke ranah seni musik.

Ketika itu band Peterpan asal Bandung menjadi grup musik favoritku. Karya-karya dari grup musik tersebut banyak menginspirasi dalam kehidupanku. Sampai menjelang lanjut ke bangku sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk sekolah di luar kota kelahiranku yaitu Bogor. Sulit dipercaya, anak yang tergolong pendiam ini berani untuk tinggal jauh dari keluarganya guna menuntut ilmu. Keputusan itu berdasar karena arahan ayahku yang ingin aku cepat bekerja seperti kakak-kakakku setelah lulus sekolah.

Selain itu, sekolah ini terkenal akan lulusan-lulusan yang berkompeten di bidangnya. Akhirnya aku bersekolah di jurusan teknik penerbangan dan aku menuntut ilmu selama tiga tahun di Kota Bogor. Ditengah-tengah perjalananku, tak disangka aku bertemu dengan seorang gadis cantik. Wajahnya yang berseri-seri serta balutan hijab nan anggun membuatku terpana ketika menatapnya. Kami bertemu di salah satu angkutan kota jurusan Parung-Bogor. Kamipun tidak langsung saling mengenal ketika itu, butuh pertmuan-pertemuan yang tak disangka oleh kami berdua setelahnya. Singkat cerita akhirnya kami berkenalan dan menjalin komunikasi dengan seadanya.

Kebetulan ketika itu handphone-ku tidak secanggih anak-anak muda lainnya sehingga tidak dapat mengakses internet. Selain itu, Komunikasi kami tidak berjalan mulus karena wanita itu adalah santri di salah satu pondok modern. Komunikasi kamipun hanya sebatas pesan singkat facebook yang tidak setiap saat bisa berbalas, terlebih aku hanya bisa mengakses facebook di warnet dekat kost-kostan ku dan itupun ketika ada sisa uang jajan dari jatah pemberian ibuku.

-TAKUT AYAH KECEWA-

Waktu ke waktu berlalu. Aku mengalami gejolak dalam diri. Keputusan megambil jurusan teknik ternyata tidak semulus yang aku bayangkan. Terlebih keputusan itu didasari tidak berlandaskan hati, hanya karena keadaan ekonomi keluarga yang memaksaku untuk mengambil langkah praktis untuk cepat bekerja. Sesal mungkin terjadi di malam itu, secangkir teh hangat menemaniku di loteng kamar kost. Disamping itu, perkenalanku dengan wanita itu makin membuatku berpikir luas dan semangat untuk meraih impian. Gadis itu tak jarang membicarakan perihal mimpi ketika berbalas pesan denganku. Hal itu membakar kembali asaku untuk menjaga mimpiku yang sempat terbengkalai sejauh ini.

Tiga tahun berlalu, dimana aku sebagai Deva yang pengecut masih membohongi diriku sendiri bahwa aku memiliki mimpibesar namun belum bisa terjaga dengan baik karena aku harus melaksanakan apa yang diharapkan oleh ayah yaitu mencari pekerjaan. Beberapa perusahaan penerbangan di daerah Cengkareng, Jakarta Barat kusambangi guna melamar pekerjaan. Usahaku terjawab, aku diterima sebagai tenaga teknik di salah satu perusahaan penerbangan ternama di Indonesia. Hal tersebut membuat ayah bahagia dan bangga padaku dikala itu. Namun, dibalik itu semua, terselip kegundahan yang mendalam pada seorang Deva Rangga Putra. Beberapa bulan aku hanya menjalani rutinitas semu yang begitu meyiksa bagi seorang seniman sepertiku. Terlebih, waktu untuk merawat mimpiku sebagai seorang seniman musik hampir bahkan tidak ada sama sekali. dalam hari-hari yang kulalui hanyalah bersama tumpukan dokumen teknik yang memasung ini. Terlintas untuk keluar dari rutinitas semu dalam diriku, akan tetapi aku ingat bahwa ayah sudah bangga padaku sehingga tak mungkin bagiku untuk menyakiti hati seorang ayah dengan keputusan yang mungkin membuat ayah kecewa padaku.

-KEMBALI BERTUALANG DAN MENEMUKAN CINTA-

Tepat satu bulan kemudian aku beranikan diri untuk memutuskan resign dari perusahaan tersebut dan itu membuat ayahku kecewa. Sedih bercampur haru membasahi pipiku karena tidak mampu menjadi kebanggaan ayah lagi dikala itu. Namun, mimpi adalah mimpi. Aku harus menjemputnya kembali dalam pelukkanku. Aku kembali menuju Bogor tempatku bersekolah ketika itu, memang tak ada rencana khusus disana. Seiring waktu ku lalui, titik demi titik yang mendekati impian mulai bermunculan.

Aku memulai mimpiku menjadi penyanyi cafe dimana karya-karya dari lagu yang kuciptakan bisa ku nyanyikan pada sekumpulan oang di sana. Di samping itu semua, komunikasiku dengan wanita penyemangat itupun terlampau baik. Sesekali aku beranikan diri menengoknya di pesantren tempat ia menuntut ilmu. Tidak seperti remaja pada umumnya, situasi di pesantren memaksaku untuk berhati-hati dalam bersikap, terlebih yang namanya pacaran tidak dibenarkan disana. Oleh karena itulah aku hanya sampai di gerbang pesantren dan menitipkan sebuah surat melalui salah seorang santri lainya yang secara kebetulan sedang melintas di gerbang pesantren.

Tanpa ikrar untuk saling mencintai, rupanya kami seperti dua insan yang telah mampu berbagi rasa. Terlalu dini untuk menyebutnya dengan istilah cinta. Dia menjadi sosok yang memerhatikanku dalam perjalanan mimpi. Kata-katanya membuat langit seolah berjarak lima sentimeter dari kepalaku. Aku dibuatnya terbang kesana-kemari olehnya. Dua tahun berlalu, tepat dimana Asyifa lulus dari pesantren.

Asyifa adalah nama dari wanita indah itu, wanita yang menyihirku untuk lupa akan arti lama menunggu. Kau mungkin belum jadi yang terbaik, karena satu-satunya wanita terbaik adalah ibuku. Akan tetapi, kau telah mengarahkanku pada mimpi yang dulu terbengkalai. Kau sangat layak mendapatkan penantian panjang dari laki-laki biasa sepertiku.

Dalam sepanjang tahun itu kau makin membuatku tak kuasa bila harus kehilanganmu. Kata-kata penyemengat tersusun rapi setiap harinya untukku. Pencapaian demi pencapaian ku tempuh dalam perjalanan mimpiku. Aku mendapat tawaran manggung kesana kemari. Mulai dibayar dengan nasi bungkus, bingkisan snack, bahkan pernah tidak mendapatkan bayaran sama sekali. Hal itu tak menyurutkan semangatku untuk bisa melewati rintangan itu.

Kau membuatku kuat walau kau memang tak bersamaku setiap saat. Kau ibarat pelangi yang menampilkan tujuh warna setiap harinya. Hingga pada saat aku terduduk lelah, kau mengingatkanku pada sebuah pelangi. Akan ada pelangi setelah hujan yang menceritakan setelah air mata akan terselip kebahagiaan.

-AKHIR PENANTIAN-

Hampir sepanjang tahun aku terbasuh oleh kata-kata motivasimu. Aku tak merasakan ada lelah dalam perjalananku itu. Pada saatnya, aku merasakan hal yang berbeda dari dirimu. Kau tak secerah mentari disaat pertama aku menemuimu dulu. Terungkap rona kesedihan dari katakatamu akhir akhir ini. Ada apa ini sebenarnya? Hatiku belum siap untuk patah.

Dengan keadaan mimpi yang masih terus ditata, bagaimana mungkin aku harus menata hati lebih awal jika mengalami keretakan. Akupun tersadar memang selama ini tak pernah ada ikrar diantara kami dalam hal perasaan. Mendungpun kian murka, terdengar kabar bahwa ada laki-laki tampan dan kaya yang ingin mengajakmu menikah. Kabar tersebut ku temukan melalui temanmu. Apakah ini sebuah pertanda mentariku akan redup? Begtu juga dengan mimpimimpi yang sedang ku jaga? Entahlah.

Hingga sampai penantian sudah tak layak lagi ku lakukan, angan-angan hidup bersamanyapun sudah cukup hanya dijadikan sebuah angan, ini semua butuh kejelasan. Kurogoh kocekku untuk menemuinya di tempat yang sangat jauh yaitu bagian selatan Jawa Barat, Desa Jampangkulon, Sukabumi. Padahal dikala itu aku hanya punya uang kurang lebih 127.500 rupiah hasil manggung kemarin malam dan sudah dikurangi kebutuhan makan dan beli sabun cuci. Aku berangkat menuju cintaku yang di ujung tanduk dengan bekal perasaan seutuhnya, uangpun tak banyak, wajahpun tak tampan.

Walau aku tahu pria berlapis emas tengah membuka hatimu, setidaknya pertemuan ini menjadi pembuktianku bahwa kau telah menjadi bagian hati ini yang tak rela bila harus pergi begitu saja. Sesampainya disana, kau menyambutku dengan baik. Hampir lupa jika hati ini sedang berada di sebuah jembatan gantung jika putus talinya, maka habislah sudah. Senyummu masih seperti dulu, masih berseri dan menggetarkan hati. Suaramu menyembuhkan lelahku dari jauhnya perjalanan ini. Malam harinya, kau mengajakku menyaksikan hiburan pasar malam di desa itu. Kami bercanda, bercerita, dan menyantap hidangan seafood yang lezat. Pada pukul 10 malam, kuberanikan untuk memulai pembicaraan tentang kejelasan perasaan kami, sontak ia pun terkejut. Seolah ia tak percaya jika aku memulai pembicaraan tentang perasaan. Sialnya, hendak ku mulai kata demi kata, ia menerima telefon dari pria yang akan menikahinya.

Sedikit ku cerna dari obrolannya bahwa si pria itu tidak suka bila aku bermalam di rumah Asyifa, namun Asyifa menjelaskan alasan mengapa aku datang menemuinya. Sedikit menelan ludah pahit, ya, Asyifa menjelaskan kepada pria itu bahwa ia tak menjalin hubungan apa-apa denganku ucapnya. Perih sudah kepalang perih, namunku harus kuat melewati tahapan akhir dalam penantianku selama kurang lebih tiga tahun ini.

Memang tak ada keharusan untukku menantinya sekian lama, dan juga tak ada paksaan. Perasaan adalah perasaan. Tak selamanya harus berlabuh pada hati yang tepat. Jika memang belum saatnya, percayalah Tuhan akan melabuhkannya ke hati yang seharusnya. Usai berbicara melalui telefon dengan pria itu, kau kembali berbincang padaku tentang perasaan. “Maaf ya kak, barusan ada telefon. Gak enak kalo gak diangkat” ujar Asyifa. Aku hanya bisa tersenyum masam dan sedikit gusar.

-CINTA YANG SEHARUSNYA-

Sampai pada detik yang mematikan, kau mematahkan hatiku begitu saja. Dengan ujarmu mengenai perasaan selama ini kau bilang tak ada lebih dari seorang teman. Bahkan sesekali kau mengingatkanku bahwa tak ada ikrar diantara kami untuk saling mencinta. Kau pun mencatut si dia, pria berlapis emas yang akan mengajakmu menikah. Singkatnya, kau ucap bahwa perasaan yang seutuhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah. Tertunduk lesu, temaram mencoba menopang cahaya hati namun tak bisa. Sudahlah sudah. Ini hanya sebuah irisan hati dihadapan matamu. Irisan yang sudah seharusnya kudapat dari kesalahanku untuk menaruh hati padamu.

“Jika saja dulu.... ah sudahlah” camku dalam hati. “Kau dulu seperti mentari yang bangunkanku dari kegelapan. Kau meredup sekarang, lalu mimpiku?” “Basa-basi darimu dulu telah membuat candu dalam benak yang nyatanya tak berujung” “Rindu mendalam yang ku beri juga ternyata tak sampai ke pelabuhan hatimu” “Hingga kau pergi disaat hatiku berbunga-bunga, tanpa kau siram terlebih dahulu sebelum layu” Jadi selama ini, penantianku kosong.

Dalam hati kecilku masih belum bisa menerima seutuhnya kenyataan ini. Namun kau sudah benar dan tepat, kau sudah menjaga diri dan perasaanmu dengan cara yang diperintahkan sang pencipta (Allah). Hanya saja aku yang lalai perihal perasaan hingga tiga tahun lamanya. Tak sampai hatiku memahami tentang arti perasaan yang diajarkan oleh firman sang pencipta (Allah).

Aku paham, dengan begini aku menyadari semuanya. Ini adalah pesan bagiku untuk lebih baik lagi dan mendekatkan diriku pada firman-firman sang pencipta (Allah). Akupun tersadar, seberapa keras usaha jika sang pencipta (Allah) berkehendak lain maka takkan terjadi. Malam itu kututup dengan ucapan selamat kepadanya dan pria calon suaminya kelak. Besok aku akan pulang setelah memetik sebuah arti penantian. Kau mengajarkan arti patah hati yang berujung agar aku memahami firman illahi. Kau pula mengajarkan arti penantian bahwa tak satupun yang berhak ditunggu kecuali kehendak dari-Nya. Hingga kau menyiratkan arti cinta yang sesungguhnya adalah ketika dua insan berada di peraduan akad untuk menikah.

Keesokan harinya, aku pamit dengan lantang. Kutegakan kepalaku untuk menatap hari-hari kedepan. Sedihku sudah tak berlapis air mata. Serta mimpiku yang masih di tengah jalan, aku akan pulang dan menata kembali hidupku. Untuk kau yang singgah di detik-detikku yang lalu, berbahagialah bersama detikmu yang baru. Ia adalah pemberian Illahi untukmu, bukan aku.

Lima tahun kemudian, Deva mencapai mimpi-mimpinya untuk menjadi musisi. Ia pun telah memiliki album dari karyakarya lagunya dan pernah beberapa kali manggung ada salah satu stasiun tv swasta. Memang bukan menjadi selebritis seutuhnya, pencapaiannya dalam ranah musik adalah bagian dari mimpi masa lalunya. Dan kini ia merangkap sebagai seorang penulis. Mimpinya lebih meluas yaitu mampu mengelilingi Nusantara dengan karya: karya lagu dan tulisan. Ia pun akhirnya mampu menerapkan pelajaran yang tercipta dari masa lalunya yang berpesan bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun melalui akad nikah. Deva Rangga Putra menikahi seorang wanita seolihah juga pula cantik. “Aku menikahi seorang wanita hebat dalam hidupku.” -Deva Rangga Putra

-SEKIAN -

Cerpen, BLog Cerpen, Cerita Pendek, Cerita Bersambung, Cerpen Upay, Kisah inspiratif, Cerita Fiksi.