Tampilkan postingan dengan label Catatan Upay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Upay. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2020

Sahabat Bayang-Bayang

Tulisan yang saya muat kali ini kiriman dari "Dinik Afrianingsih". Saya ucapkan banyak terima kasih atas kirimannya.Cerita ini fiktif dan hanya karangan semata. Mohon lebih bijak dalam me ngambil maksud dari inti cerita ini. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Sahabat Bayang-Bayang

Tak pernah ada rasa sesal yang hinggap dalam hati kecil ini. Ataupun rasa takut, tak pernah terpikir dan terasakan olehku. Gadis muda yang penuh imajinasi. Apa salahnya berteman bahkan bersahabat? Tak salahkan? Tapi, mengapa semua memandang penuh keanehan padaku? Mereka selalu bertanya ‘Kenapa harus kamu?’. Sementara aku hanya bisa menatap bingung tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Hei, Forehead! Apa yang kau pikirkan?” tanya seseorang yang membuyarkan lamunanku.

“Ah, kau mengagetkanku Ino pig.” jawabku sambil menatapnya dengan kesal. Tentu itu hanya sebuah gurauan. Tak pernah aku merasa benar-benar kesal padanya. Teman ‘Nyataku’ Yamanaka Ino.

“Jadi apa yang membuat sahabatku Haruno Sakura melamun? Sasuke kah? Atau Naruto?” tanyanya penuh selidik padaku. Ah ya namaku Haruno Sakura. Sasuke dan Naruto yang disebut-sebut oleh Ino adalah temanku juga. Lebih tepatnya Teman kecilku.

“Bukan keduanya Ino. Apa aku terlihat begitu perduli dengan mereka yang seenak jidatnya meninggalkanku sendirian di club kemarin? Jawabannya TIDAK!” jawabku sewot. Cih, jika menyangkut kedua pria brengsek itu aku mulai naik darah. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Argh mengingatnya saja sudah membuatku emosi.

“Lalu? Masalah apa lagi?”

“Hanya masalah kecil, mungkin?” jawabku ragu. Dan karena itu membuat salah satu alis temanku pig ini terangkat keatas. Pertanda dia tidak mengerti.

Akupun menghela napas maklum. “Kau masih belum ngeh ya?” dan anggukan adalah jawabannya. “Aigoo…” akupun mulai gemas. Padahal kami sudah berteman cukup lama dan sudah sering curcol bersama tapi tetap saja…

“Ah, aku ingat!!” teriaknya sambil mengangkat jari telunjuk di depan mukaku.”Masalah itu ya? Tentang ‘SAHABATMU’ itukan? Kenapa lagi?”

Aku hanya menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Inopun mulai memaksaku untuk bercerita. Namun, aku tetap diam tak mau bercerita. Dia terus mengoceh tentang persahabatan dan kebersamaan kami. Akupun mulai memandang langit dan mengingat kembali ‘SAHABAT’ ku itu. Semua berawal dari kejadian itu.

Hujan lebat turun dengan sambaran petir yang tak bersahabat membuat siapapun menjadi takut. Termasuk aku yang berada di dalam rumah sendirian. Ayah dan Ibuku pergi keluar kota untuk urusan bisnis dan sepupuku Sasori juga sedang menginap di rumah temannya. Itulah mengapa aku sendirian.

Saat itu aku berumur lima tahun dan masih sangat kecil untuk ditinggal sendirian di rumah yang sangat luas. Aku hanya dapat meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk taddy bear kesayanganku. Tubuhku bergetar ketakutan saat mendengar suara petir yang menyambar dengan keras. Seolah mereka menyambar-nyambar diatas kepalaku. Apa lagi saat itu semua lampu padam, tak ada sedikitpun cahaya yang ada hanya sinar petir yang menakutkan.

Dan kesalahan itupun dimulai, Saat kusembunyikan wajahku di balik boneka kesayangan milikku, aku merasakan kehangatan dari tangan seseorang yang menjalar dari punggung tanganku. Tangan itupun mulai merambat kepunggungku dan memeluk tubuh mungilku. Kehangatannyapun mulai merasuki diriku. Hingga…

“Jangan takut aku disini…” bisikan halus tepat di telingaku dan hembusan napas yang dihembuskan ke tengkukku. Akupun diam membeku.

“Jangan takut, aku temanmu Sakura-sama”. Teman? Temanku?. Siapa? Ingin kupastikan siapa dia. Namun rasa takut lebih kental daripada rasa ingin tahuku. Sasuke? Tapi tidak mungkin jika dia. Naruto? Tidak mungkin dia ada di Amerika sekarang. Lalu siapa? Akupun tidak berani melihatnya dan semakin kutenggelamkan wajahku ke boneka itu.

“Itu hanya sebuah petir yang menyelingi hujan. Bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi kau tidak perlu sampai setakut ini” ucapnya menghiburku. Tentu saja dengan berbisik seperti sebelumnya.

“Ibu… Ayah…” gumamku.

“Aku temanmu. Neil…” Akupun tertegun sesaat saat mendengarnya. Neil. Itukah namanya? Akupun mulai memberanikan diri untuk menatap dirinya. Dan senyuman menenangkan di wajahnyalah yang pertama kulihat.

“Neil…” kuulangi namanya dan saat itu pula senyumannya semakin lebar. Neilpun memelukku kembali dan terus berkata jika kami teman dan menenangkan diriku agar tidak ketakutan lagi.

Itulah awal pertemuan kami dan awal dari bencana dalam hidupku…

***

“Sakura hari ini ayah dan ibu akan pergi untuk perjalanan bisnis selama sebulan jadi-”

“Hn aku tak apa. Jadi tenanglah ok!” potongku saat ayah mulai menjelaskan maksud dinner keluarga ini.

“Saku sayang jangan memotong ucapan orang tua ya? Itu tidak sopan” tegur ibuku halus sambil mengelus kepalaku.

Secara perlahan kusingkirkan tangannya dari kepalaku. Aku tidak pernah menyukainya. Mereka seolah menyayangiku namun nyatanya mereka mengacuhkanku selalu.

“Tolong jangan seperti ini bu. Aku bukan anak kecil lagi.” jelasku sambil memotong steak di hadapanku.

Brakk…

“Haruno Sakura!” bentak ayahku padaku saat melihat perilaku putri semata wayangnya ini. Terlihat dengan jelas jika nafsu makannya hilang seketika itu juga, Wajahnya mulai memerah karena marah dan kedua alisnyapun mulai bertaut tanda tak suka.

“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar dulu. Terima kasih atas makanannya.” ujarku sambil membungkuk tanda hormat  kepada mereka sebelum  aku melenggang pergi dari ruang makan. Saat aku mulai menaiki tangga sempat kutolehkan wajahku kearah kedua orangtuaku. Kesal, sedih, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu dan terukir jelas di wajah mereka. Tapi, apa peduliku? Kutatap datar mereka dan melenggang pergi ke kamarku di lantai dua.

Kubaringkat tubuh sintalku di kasur empuk milikku. Aku mulai memandang langit – langit kamar. Lelah. Itu yang kurasakan sekarang. Kuletakkan tanganku menutupi  sinar lampu yang menyilaukan.

“Ada apa? Bertengkar lagi?” tanya seseorang di sampingku. Neil?.

“Kenapa?” tanyanya lagi tepat di telingaku. Kuturunkan tanganku dan kutolehkan kepalaku ke samping. Dapat kulihat senyumnya yang hangat dan mata penuh rasa ingin tahu.

“Seperti biasa” jawabku seadanya sambil tersemum melihatnya. Karena kurang nyaman dengan posisiku akupun mengubah posisiku berbaring menyamping menghadap Neil.

“Oh,.” Komentarnya mengerti. Diapun menatap lekat diriku. Tangannya mulai memaikan ramput bubblegumku seperti biasa. Dan itu tidak membuatku terganggu. Entah kenapa.

Kuperhatikan wajah pria dihadapanku ini dengan lekat. Rambut hitam arang yang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu. Tak ada yang bisa membuat diriku berpaling darinya, dari Neil.

“Lihatlah dirimu hime… Untuk kesekian kalinya aku tahu kau menatap diriku penuh nafsu hahaha” ucapnya sambil terkikik tidak lupa dengan jari telunjuknya yang mencolek - colek pipiku.

“Tidak! Aku tidak melihatmu penuh nafsu kok!” belaku. Aku merengut saat melihat ekspresi Neil yang tidak percaya pada ucapanku. Melihat hal itu Neil terkekeh.

“Neil?”

“Ada apa hime?”

“Kau tidak akan meninggalkanku kan?” Neil menggeleng kepalanya dan berkata.

“Tidak akan pernah aku pergi meninggalkanmu sendirian. Kitakan sahabat. Aku janji” ucapnya mantap sambil mengacungkan jari kelingkingnya tanda perjanjian dan akupun menautkan kelingkingku tanda persetujuan dariku.

Setelah itu Neil semakin sumringah dan memelukku erat. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dipeluk olehnya. Neil sahabat terbaikku.

** *

Tanpa Sakura sadari di balik pintu kamarnya Tuan dan Nyonya Haruno mendengar semua yang dia ucapkan. Ibunya menitikkan air mata tanda kesedihan dan ayahnyapun memeluk sang istri mencoba menenangkan. Karena tidak kuasa dengan apa yang terjadi merekapun kembali ke kamar tidur mereka.

***

Sebulan telah berlalu dan kini keluarga Haruno berkumpul kembali namun bukan di rumah megah mereka tapi di suatu tempat yang asing bagi Sakura.

“Dimana kita?” tanyanya pada sang ibu yang sedari tadi merangkulnya.

“Nanti kau juga tahu nak.” jawab sang ayah yang masih berjalan dibelakang mereka. Terlihat jelas diwajah Kizashi  kegusaran yang teramat dalam namun inilah jalan terakhir. Demi dia, putri tercintanya.

“Kizashi sama?” panggil seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu besar bercat hitam. Tangannya melambai pada Kizashi dan dibalas dengan anggukan.

Saat Sakura sekeluarga sampai dihadapannya. Wanita paruh baya itupun menyodorkan tangannya pada Sakura. Bigung. Pelan tapi pasti Sakura mulai menyodorkan tangannya untuk menyalami wanita dihadapannya. Namun…

‘Jangan!’ Neil?!. Mata Sakura terbelalak kaget. Dia yakin itu suara Neil sahabatnya.

Dia mulai menoleh kesana kemari mencari Neil. Namun nihil Neil tidak ada. Apa itu hanya khayalan Sakura saja?. Mungkin. Tapi, hatinya mulai gusar. Dia sangat yakin itu tadi sara Neil.

“Ada apa?” tanya wanita di hadapannya. Seolah dia tahu kegusaran Sakura.

“Tidak. Tidak apa” jawab Sakura sedari menoleh ke belakang mencari Neil.

“Kalau begitu ayo masuk” ajak wanita itu. Sakura sekeluargapun memasuki ruangan yang berada dibalik pintu besar bercat hitam. Sesaat Sakura mulai terpesona melihat interior ruangan tersebut. Sangking terkagumnya Sakura tidak sengaja menabrak guci besar di depannya. Namun dengan cepat ditanggap oleh sang Ayah.

“Hati – hati Sakura.” ujar sang Ayah. Sakura hanya mengangguk dan mengatakan, “Sumimasen”.

“Daijobu, duduklah dulu.Ah ya namaku Senju Tsunade tadi kita belum sempat berkenalan kan? Aku kawan lama ayahmu Saku-chan” ujar wanita bernama Tsunade itu.

Sen-ju Tsu-na-de sepertinya nama itu tidak asing bagi Sakura. Sakura mengernyit bingung. Dan saat itupula tanpa sengaja dia melihat sebuah foto yang cukup besar di pojok ruangan. Tapi, sayang foto itu ditutup dengan kain sehingga hanya terlihat wajah Tsunade saja.

Tsunade yang elihat rasa penasaran Sakura langsung mengikuti arah pandangnya. Diapun tersenyum lalu berkata, “Apa kau penasaran dengan foto itu?”.

Sakura yang kaget saat itu langsung menunduk dan merona.’Aish ketahuan malunya.’ Melihat itu Wanita berbaju hijau itupun tertawa lepas.

“Hahahahahahahaha… tidak apa jika kau memang penasaran sayang. Sudah biasa kok. Hahahaha” ujarnya disela-sela tawanya.

“Ah, ya jika boleh tahu kenapa aku diajak kemari?” tanya Sakura yang mulai sebal dengan sikap wanita di hadapannya ini.

Sekejap kemudian semua diruangan itu diam tak bersuara. Kizashi beserta sang istri membungkam diri, mereka takut untuk mengatakannya. Tsunade yang sedari tadi tertawapun diam dan menatap tajam kearah Sakura.

“Haruno Sakura” panggilnya. Wajahnya tampak serius menatap Sakura yang mulai tegang. ‘Ada apa ini? Kenapa suasananya berubah menjadi setegang ini?’ piker Sakura.

“Sudah lima belas tahun kita tidak pernah bertemu lagi. Ini kali pertama kita bertemu kembali.”

“Ha? Lima belas-tahun?”

“Sepertinya kau tidak ingat aku. Hah, tapi wajar jika kau lupa padaku dan segelku terlepas. Seandainya aku tidak membawamu ke rumah itu kau pasti hidup normal sekarang” jelas Tsunade yang membuat Sakura semakin bingung.

“Apa maksudmu nyonya? Ibu? Ayah?” Sakura mencari kejelasan pada mereka yang ada di sekelilingnya. Namun… dapat dilihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh sesal dan sang ibu yang hamper meneteskan wajahnya.

Brakk… Sakura menggebrak meja. Dia mulai kesal dengan apa yang terjadi. Dilangkahkan kakinya kearah pintu besar itu. Tak dipedulikannya ketiga manusia itu dia ingin keluar dan pulang melupakan keanehan hidupnya hari ini.

“Tidakkah kau penasan dengan foto itu?” hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Tsunade langkah kaki Sakura berhenti seketika. Dia penasaran amat penasaran namun dia juga harus secepatnya pergi dari sini. Gagang pintu sudah ada dipegangannya lalu apa lagi yang perlu dipikirkannya.

“Neil. Tadayama Neil. Kau mengenalnya?” Deg. Secepat kilat Sakura langsung menoleh kearah wanita berambut pirang yang duduk di sofa penjang itu.

“Siapa kau? Bagaimana bisa kau…”

Tsunade menatap gadis bubblegum itu penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam. Bagaimana tidak? Karena dirinya seorang gadis muda harus menerima ikatan yang tidak seharusnya. Ikatan iblis yang memakan jiwanya secara perlahan dan membawanya kedunia bawah yang mengerikan.

“Aku Senju Tsunade . Aku penjaga Neil.” ujarnya penuh penekanan.

Bingung. Itulah yang dirasakan Sakura saat ini. Bagaimana tidak syok coba? Jika wanita yang mengaku kawan lama ayahmu sekarang mengaku kalau dia seorang penjaga dari sahabatmu. Dan lagi bagaimana bisa dia mengenal sahabatnya Neil dan nama panjangnya padahal dirinya saja tidak tahu nama panjang Neil. Tapi, tapi, bagaimana bisa? Argh!

“Sakura…” panggil Tsunade sendu. Entah sejak kapan wanita itu sudah ada di hadapan Sakura. Sementara Sakura yang masih berdiam diri di depan pintu kembali menatap Tsunade penuh tanya dan bingung.

“Aku tahu kau bingung bagaimana bisa aku mengenal Tadayama Neil.” Secara otomatis Sakura mengangguk. Tsunade menghembuskan nafas beratnya.

“Ini sudah pada batasnya dan kau harus tahu hal penting ini Sakura.” Tsunade mulai berjalan sambil menarik Sakura agar mengikutinya. “Bukankah kau penasaran dengan foto besar ini?”

Sakura diam dan menoleh kebelakang melihat ayah dan ibunya. Merekapun menatap Sakura penuh kasih dan cinta. Sang ibu mengangguk pada Sakura seolah berkata ‘ayo nak’. Dia menoleh dan menatap bingkai foto besar dihadapannya.

Kain hitam itupun ditarik oleh Tsunade dan semakin terlihat jelas foto siapa saja itu. Di dalam foto itu dapat dilihat Tsunade berdiri di tengah-tengah dua orang pria dewasa yang entah siapa itu. Lalu didepan mereka bertiga ada sosok pria muda berambut hitam arang berantakan, mata blue saphire yang tajam namun penuh dengan kehangatan dan canda, hidungnya mancung, bibirnya yang selalu mengulas senyum bahkan tawa untukku, dan kulitnya yang putih seputih susu.

“Itu aku dan kedua suamiku. Yang rambut hitam panjang itu bernama Orochimaru sedangkan pria berambut putih panjang dan berantakan itu bernama Jiraiya. Dan pemuda yang duduk dihadapan kami adalah…”

“Ne-il” potong Sakura yang menatap lekat foto pemuda itu. Wajahna mengeras, tangannya mengepal menahan amarah.

‘Pergi Sakura. Pergilah dari sana Sakura!’ Secepat kilat Sakura menoleh kebelakang setelah mendengar suara itu.

“Neil!” Panggilnya. Sekarang dia semakin yakin jika sahabatnya itu ada disini. Tapi kenapa dia tidak dapat melihatnya.

“Kau dimana Neil? Keluarlah!” ujar Sakura sambil mengelilingi ruangan dan sesekali menengok kesana kemari. Melihat hal itu Kizashi dan istrinya mencoba menghentikan Sakura dengan memeluknya.

“Hentikan Sakura! Dia tidak ada Sakura! Tidak ada!” yakin Kizashi pada sang putri yang memberontak di pelukannya. Sakura menoleh pada sang ayah dan menatapnya dengan rasa benci.

“Memang siapa kau berani-beraninya melarangku?! Hanya karena kau ayahku bukan berarti kau bisa bicara seperti itu!” ujar Sakura sinis pada sang ayah. Kizashi dan istrinyapun kaget mendengan ucapan putri mereka. Sementara Tsunade menatap nanar gadis yang memberontak itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku harus mencari Neil!”

“Apa yang dikatakan ayahmu benar Sakura. Neil dia tidak ada. Dia sudah mati” Jelas Tsunade sambil memegang kedua bahu Sakura mencoba meyakainkannya.

Deg. Syok. Sakura berhenti berontak. Dia diam seketika setelah mendengar itu. Matanya membulat kaget, mulutnya terbuka kaku seolah sulit untuk berbicara.

“Neil yang kau lihat setiap harinya. Yang ada di sampingmu selama ini hanyalah bayangan Sakura. Dia tidak nyata” Tsunade mulai menangis saat mengatakannya. Sementara ibu dan ayahnya telah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

Sakit. Itu yang Sakura rasakan sekarang. Dipegangnya dada kirinya sakit dan perih itu bercampur menjadi satu. Kecewa dan sedihpun telah meluap menjadi tetesan air mata yang mulai merembes keluar dari kelopak matanya membanjiri pipi putihnya. Sakura hanya dapat meringis menghadapi kebodohan dirinya saat ini.

***

Sementara itu dapat kita lihat terdapat sosok gelap di atas pohon maple berdiri dengan aura hitam terpancar dari seluruh tubuhnya. Wajahnya sangat datar namun terlihat jelas jika dia sangat marah. Matanya memancarkan semua emosi itu.

“Tsu-na-de” ucapnya lirih.

Awan hitam muncul entah darimana, berkumpul menutupi sang mentari yang indah. Diikuti dengan suara guntur yang menggema dan kilat yang mulai menyambar-nyambar.

“Rasakan akibatnya jika kau mencoba merebut milikku” ujarnya dengan evilsmirk yang terpahat dibibir sexynya. Melunturkan senyum ceria yang biasa menjadi kekhasan dirinya.

***

Tsunade menoleh kearah jendela. Dapat dirasakan olehnya bahaya yang akan muncul sebentar lagi. Aura khas yang hanya muncul dari seseorang yang paling dikenal olehnya. Orang yang telah tiada lima puluh tahun yang lalu. Tadayama Neil.

Prang… Pyar… Seketika itu pula semua kaca dan guci yang ada diruangan itu pecah begitu saja. Semua orang termasuk Sakura kaget dan mulai takut. Dan berlanjut dengan barang-barang yang mulai terbang sendiri tidak ada yang mengendalikannya. Namun anehnya hanya benda-benda tajam yang melayang. Ada apa ini? Ada apa lagi?

Sakura mulai pening dengan keanehan ini. Kenyataan pahit yang dialami olehnya. Dan masih menjadi misteri dalam kehidupannya. Tapi ada hal yang masih dia bingung lalu Neil itu apa?

“Tsunade san. Lalu siapa Neil?” tanya Sakura  yang masih linglung kurang memahami bahaya yang akan datang. Sementara  ibu dan ayahnya hanya dapat tepuk jidat karena kurang pekanya putri mereka. Tsunade menghela nafas maklum dan akan menjawab namun…

Angin berhembus kencang ke dalam ruangan tersebut dan dapat dilihat bayangan seseorang yang berdiri diatas pagar pembatas sambil menyender pinggiran jendela. Tak lupa dengan evilsmirknya.

“Ohayo minna…” sapa sosok itu. “Dan ohayo Sakura sama” lanjutnya sambil menatap Sakura yang terpaku padanya. Setelah membungkuk sebagai tanda hormat sosok itu kembali keposisi tegapnya dan menoleh kearah Tsunade dengan menatapnya penuh benci.

“Hmm… Lama tak berjumpa obasama. Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil mendekati Tsunade yang semakin mundur saat didekatinya. Dan berhenti tepat didepan Sakura dan orangtuanya.

“Ah ya ini juga kali pertama kita bertemukan? Maaf atas ketidak sopananku” ucapnya sambil membungkuk hormat pada Kizashi dan istrinya yang menatapnya takut. Sementara Sakura menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan.

Kesempatan. Tsunade mengambil salah satu pedang yang melayang dan menebas sosok yang membelakanginya tersebut namun… Prang! Pedang itu jatuh dan patah menjadi dua sebelum mengenai punggung sasarannya. Semua orang kaget termasuk Sakura. Mereka melihat Tsunade yang tak berdaya ada dicengkraman sasarannya tersebut.

“Inikah caramu menyambut kawan lama? Tsu-na-de” ujar sosok itu sambil mencekik leher wanita berkuncir dua itu. Tsunade hanya mendecih tak suka dengan sebutan ‘kawan lama’ dari sosok dihadapannya ini.

“Siapa kau?” pertanyaan itu memecah ketegangan yang ada diantara Tsunade dan sosok itu. Dan pertanyaan itu berasal dari balik punggung sosok tersebut yang sekarang memegang senjata berupa katana.

Kaget. Tentu saja. Setelah lima belas tahun lamanya mereka bersama bagaimana bisa sosok gadis ini melupakannya. Bercanda dia. Dilepaskannya cengkramannya pada kawan lamanya Tsunade dan berbalik menghadap gadis miliknya itu. “Sakura…” panggilnya.

Hening. Tak ada jawaban.

“Sakura. Ini aku” ucapnya lagi sambil menunjuk dirinya sendiri. Tak ada respon. Dia menghela nafas dan tersenyum maklum.

“Sakura ini aku Neil. Sahabatmu hime. Lupakah dirimu padaku?” ujarnya kembali sambil berusaha mendekati Sakura yang terus berjalan mundur sambil menghunuskan pedang kearahnya dengan setianya.

“Sakura turunkan pedangmu. Ini aku Neil” perih. Rasanya perih sekali saat melihat wanita yang kita puja tidak menghiraukan kita.

“Siapa kau?” mengakhiri kebisuannya. Dengan tatapan tajam dan tetap menghunuskan pedang kearah pemuda itu. Dapat dilihat kekagetan yang terpancar dari wajah rupawan Neil. Rahnggnya mulai mengeras pertanda amarahnya sudah diujung tanduk.

Neil mendesis tak suka dengan pertanyaan itu. Dia sudah muak dengan semua ini. Kenapa disaat dia akan hidup kembali menjadi manusia dia harus menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh penjaga brengseknya, Tsunade!

“Aku Neil. Tadayama Neil. Sahabatmu.” Jelasnya penuh penekanan pada setiap kata.

“Siapa kau?” tanya Sakura lagi.

“Neil. Sahabatmu” jawab Neil sambil menatap Sakura tajam.

“Sekali lagi aku tanya padamu. SIAPA KAU?!” bentak Sakura penuh emosi menanyakan siapa dirinya. Diam. Semua orang diam saat mendengar bentakan Sakura yang sarat akan amarah.

Cukup. Neil tidak dapat menahannya lagi. Ditatapnya gadis kesayangnnya itu penuh kasih.

“Aku Neil, sahabatmu yang selalu ada untukmu. Yang selalu menemanimu dikala senang maupun sedih. Yang selalu memelukmu setiap malam. Yang selalu menghapus air mata yang keluar dari mata indahmu. Yang…”

“Selalu menghisap jiwaku setiap malam demi kehidupanmu. Benar?” potong Sakura. Ya Sakura sadar sekarang kesalahan besar dalam hidupnya.

“Neil…” ucapnya sendu. Sementara sosok yang dipanggil hanya diam tanpa suara. Nyatanya rahasia terbesarnya terbongkar sekarang.

“Aku…” air mata mulai jatuh membasahi pipi Sakura lagi.”Membencimu…”

Deg.

Prang… Prang… Prang…

Tak bisa. Tidak akan bisa. Dia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sakura adalah miliknya. Sakura tidak boleh membencinya. Sakura adalah jembatan kehidupan keduanya. Tak bisa…

Kalau Sakura tidak mau menjadi miliknya. Maka kematian adalah pilihannya.

“Kalau begitu matilah…” ucapnya lirih sambil menyerang Sakura. Jleb.”Aaagh…” suara rintihan kesakitan itu menggema hingga keluar. Darah mulai mengalir dengan deras membasahi tubuh dan lantai disekitarnya. Semua terpaku kaget. Bahkan Neil.”Tidaaakkkkkk.…!!!!!!!!!!!!!” Suara gutur melengkapi jeritan tangis itu. Kilat menyambar-nyambar di atas rumah itu. Hujan turun semakin deras meredam jeritan-jeritan pilu yang menyayat hati. Langit menjadi saksi pengorbanannya untuk keluarga tercintanya.

***

“Ayah dan ibu sangat mencintaimu Sakura…” ujar Kizashi pada sang putri tercintanya.

“Maaf jika kami membuatmu selalu kesepian Sakura” timpal Mebuki.

“Ini adalah pengorbanan yang impas untuk membalas kesedihanmu.” Ucap mereka.

‘Seandainya saja aku lebih memahami mereka…’

‘Mungkin mereka tak akan pergi’

***

“Hoi Sakura! Hoii” suara cempreng dari seorang pemuda membangunkannya dari kenangan masa lalunya. Pemuda pirang  yang membungkuk sambil mengibaskan tangannya didepan wajah Sakura menatap penuh tanda tanya. Dan berucap “Kau kenapa melamun?”

“Sakura memikirkan bagaimana caranya memberi pelajaran pada kalian berdua!” sentak Ino pada dua pemuda dihadapan mereka ini. Sementara Sakura, hanya diam melihat pertengkaran Ino dan Naruto. Sementara Sasuke masih menatap Sakura lekat seolah meminta kejelasan.

“Aku hanya rindu mereka saja hehehe” jawab Sakura sambil cengengesan.

“Hn” jawab Sasuke sambil duduk di samping Sakura “Maaf soal kemarin”

“Hn. Daijobu” ucap Sakura sambil tersenyum pada Sasuke.

Inilah hidupnya sekarang. Dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu ada untuknya. Walau dia hidup sendiri sekarang tapi rasanya masih terasa hidup bersama keluarga.

‘Neil, aku merindukanmu… Sahabatku….’

24 - 30 Desember 2015

Jumat, 22 Mei 2020

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Sabtu, 16 Mei 2020

Rumah Tangga

Pic from google
Aku ini laki-laki biasa awalnya. Lulus sekolah dengan nilai cukup. Tidak kurang juga tidak lebih. Sempat kuliah namun gagal. Tapi tidak menyurutkan langkahku untuk tetap hidup damai. Kemudian aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta yang cukup besar. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana mulanya, aku bertemu dengan perempuan ini. Perempuan yang sangat-sangat biasa. Wajah biasa-biasa saja penampilanpun sederhana.

Dia juga bekerja di perusahaan swasta besar di kota ini. Entah sejak kapan kamipun dekat. Karna perhatiannya yang luar biasa membuatku nyaman, akupun jatuh hati padanya. Walaupun aku tau dia biasa saja. Ya, karna dia tidak cantik. Sedangkan aku yang digilai banyak perempuan, mungkin seharusnya mendapatkan gadis yang super cantik agar serasi denganku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menyayanginya. Karna Ia membuatku nyaman dengan perhatiannya. Singkat cerita kamipun menikah. Sebetulnya ada kendala saat kami memutuskan untuk menikah. Ya, kendala itu adalah soal pekerjaanku yang sebetulnya saat itu statusku masih kontrak. Tapi calon bidadari surgaku ini rupanya tidak ambil pusing. Ia katakan bahwa harta bisa dicari bersama setelah menikah. Aku makin meleleh padanya. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Yang mencari laki-laki mapan untuk dinikahi. Padahal dia sendiri cukup berhasil dalam karirnya. Harusnya dia punya gengsi untuk memilih laki-laki mapan. Mungkin Ia hanya terpesona pada tampangku. Begitu kupikir saat itu.

Ok, cerita kusingkat-singkat aja ya. Akhirnya kami menikah, setahun kemudian kami memiliki seorang putri. Dan benar saja, ditahun ini kontrak kerjaku habis. Jadilah aku pengangguran. Bapak rumah tangga. tapi tidak full, Karna tetap saja yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah istriku. Namun begitu, aku membantunya menjaga putri kami. terlebih lagi, saat putri pertama kami lahir, istriku gelagapan, bingung mengurus baby. Tentu saja, karna sejak kecil Ia di manja oleh Ayah Ibunya. Sebetulnya aku yakin Iapun tidak terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Terbukti Ia lebih sering bermalasan. Jika sudah kepepet, barulah Ia kerjakan. Seperti mencuci piring misalnya. Kalau piring sudah habis, terpaksa Ia mencuci piring, lantai sudah berdebu, barulah Ia menyapu. Itulah istriku.

Tapi tidak mengapa. Karna Ia sangat sayang padaku. Aku tau itu. Aku ini sangat berarti baginya. Meski aku pengangguran, Ia tetap melayaniku dengan sabar. Kau tau, aku yang membersihkan baby kami jika Ia pup, memandikannyapun terkadang Ia malas. Alasannya masih ngeri karna masih terlalu kecil. Pokonya Ia betul-betul Ibu pemula yang buruk. Tapi tak apa. Nanti Ia pasti akan terbiasa. Aku terus menganggur selama setahun. Istriku tak mempermasalahkan itu, walaupun sesekali Ia sering bertanya dalam senyum dan wajah sedihnya. Kapan yah kamu dapat kerja lagi?.

Aku hanya terdiam. Karna dari sekian banyak lamaran yang kumasukan secara online di beberapa perusahaan, belum ada satupun panggilan yang kuterima. Aku tau, Ia bertanya seperti itu karna walau kami memiliki gaji dari pekerjaannya, tapi itu tidak mencukupi. Meski Ia yang bekerja mencari nafkah, Ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah, lambat laun Ia mulai lihai merawat baby kami. Pada akhirnya aku sedikit menyadari. Semua Ia lakukan untuk ruah tangga kami. Mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah, juga merawat baby. Lalu aku apa? Ngapain? Yah, inilah aku. Suami yang kurang peka. Hanya suka tidur, menonton TV dan bermain game.

Tapi Alhamdulilah. Tak berapa lama akupun mendapatkan pekerjaan. Gajinya tidak besar, tapi lumayan untuk kehidupan kami ke depannya. Istriku bahagia. Itupun karna ternyata Ia hamil lagi. Putri kami akan segera memiliki adik. Kupikir akhirnya kehidupan kami kembali normal. Karna aku kini telah bekerja lagi. Tapi memang yang namanya manusia, selalu saja tak pernah merasa cukup. Pada akhirnya bukan mensyukuri pekerjaan yang telah susah payah kudapatkan, aku malah mengeluhkan gajiku yang justru lebih rendah dari gaji istriku. Seringkali aku ungkapkan rasa maluku padanya karna memiliki gaji yang tidak seberapa dibanding gajinya.

Aku merasa gagal lagi sebagai seorang suami. Namun begitu, istriku tetaplah istriku yang sederhana, tidak cantik, namun sangat-sangat mencintaiku. Tentu saja aku tau dia sangat mencintaiku. Jika tidak, mungkin telah lama Ia pergi meninggalkanku karna kegagalanku. Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Aku bekerja dengan sangat giat dan rajin. Pergi pagi pulang terlalu larut. Namun tetap saja, tak ada yang berubah. Sampai-sampai kami jadi sering bertengkar kecil karna masalah waktu.

Ya, waktu kerjaku yang sangat tidak sebanding dengan gajiku. Gaji minim namun waktu bekerja tidak wajar. Aku terus berusaha meyakinkan istriku untuk bersabar, meski terkadang Ia berteriak padaku karna kesal setiap hari pulang terlalu larut. Aku hanya bisa menerima keadaan itu. Karna sesungguhnya Ia benar. Gajiku tidak mencukupi kebutuhan kami, tapi aku sama sekali sudah tak punya waktu luang untuk sekedar jalan-jalan seperti yang sering kami lakukan dulu. Itu semua karna jam kerjaku.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kesempatan. Alhamdulilah, aku berkesempatan pindah ke perusahaan yang lebih baik. Meski gaji hanya sedikit saja naiknya, tapi aku yakin dengan kemampuan, pengalaman, dan tekadku, aku pasti akan berhasil diperusahaan baru ini. Jam kerjaku tidak banyak berubah, masih sering pulang malam. Kadang aku pulang, istri dan anak-anakku sudah terlelap, pagi saat aku berangkat, istriku sudah lebih dulu berangkat ngantor, sementara anak-anak kami titipkan pada mertuaku.

Perlahan tapi pasti, aku semakin berhasil. Gajiku perlahan naik. Alhamdulilah lama-lama mendekati gaji istriku. Akupun terus mengejar karir. Demi bisa mencukupi kehidupan keluarga kami. Semakin lama aku semakin lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Memang karna pekerjaanku yang menyita banyak waktu kerjaku. Aku minta pengertian istriku untuk bersabar. Ia mengerti, walau terkadang suka ngambek. Aku maklumi itu.

Gaji kami yang perlahan mulai mencukupi, rupanya belum dapat mengurangi beban istriku. Ia mengerjakan semuanya. Bekerja juga, pekerjaan rumah, mengurusku, megurus anak-anak. Entah bagaimana Ia melakukan itu semua dengan kesabarannya. Seharusnya aku lebih sering memujinya. Tapi aku bukanlah laki-laki type romantis yang suka memuji istri. Entahlah, aku merasa itu hal yang kurang penting. Meski banyak artikel yang sering kubaca mengatakan bahwa pujian-pujian kecial suami terhadap istri sangatlah bermakna bagi kehidupan rumah tangga, terlebih lagi bagi si istri. Namun tetap saja aku kurang pandai memuji.

Parahnya lagi, semakin hari aku semakin malas membantunya mengerjakan pekerjaan ruman. Disaat Ia sedang berbenah lantai yang berdebu, penuh sampah berserakan, bahkan mainan anak-anak, aku hanya asyik memainkan game di gadgetku. Tak membantunya sama sekali. Padahal setelah selesai mengerjakan itu, masih banyak tumpukan pakaian yang mesti dicuci dan disetrikanya. Kami bukan tidak ingin memiliki ART, hanya saja jaman sekarang sulit sekali mendapatkan ART yang cocok. Jadilah sampai sekarang semua pekerjaan di handle istriku. Tak satu kalimat pujianpun bisa keluar dari mulutku. Bahkan sekedar bilang bahwa Ia pahlawan kami, wonderwoman yang di utus Allah mengurus rumah ini. Kalimat itu hanya ada dalam kepalaku saja tanpa pernah kukatakan padanya.

Bahkan tak jarang aku malah mencapnya pemalas ketika sesekali Ia hanya terlihat merebahkan diri di kasur tanpa berbuat apa-apa. Piciknya aku. Jika Ia pemalas, lalu aku apa?

Sekarang kehirupan kami terasa sudah jauh lebih baik. Meski kami delapan tahun kemudian telah dikaruniai tiga orang anak, tapi kami hidup cukup. Masih dari gajiku dan istriku. Istriku belum berani memutuskan untuk resign. Akupun demikian. Belum yakin jika Istriku tidak membantuku mencari nafkah. Lambat laun gajiku sudah jauh melebihi gaji istriku. Yah beginilah naluri lelaki. Gaji besar sedikit, merasa mencukupi, kemudian jadi betul-betul pemalas membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak ada satupun pekerjaan rumah yang aku bantu. Semua hal benar-benar istriku yang mengerjakan. Sedangkan aku bahkan hanya bisa cuek menanggapi keluhannya ketika Ia sedang mengeluh capek. Yah inilah aku. Sampai pada suatu ketika, aku dihadapkan pada cobaan berat yang aku tidak menyangka sama sekali akan terjadi.

Istriku yang selama ini kuanggap sabar, melayaniku sepenuh hati, merawat anak-anak kami, yang aku yakin Ia sangat mencintaiku lebih dari dirinya, kehilangan kesabaran. Aku melihatnya memegang kertas itu. Lembaran kertas yang membuat jantungku serasa ingin berhenti.

Ia tidak pernah membahas apapun tentang pernikahan kami selama ini. Keluhan-keluhannyapun tidak pernah membahas tentang perceraian. Aku shock melihat Ia memegang kertas bertuliskan "Pengadilan Agama. Pengajuan Cerai". Tak sanggup berkata-kata rasanya.

Yang membuatku bingung, kenapa Ia membawa-bawa kertas itu dengan wajah santai seperti tidak ada perasaan apa-apa. Dan kenapa Ia belum juga membicarakannya denganku. Ya Allah, apa ini akibat dari kemalasanku? Akibat dari sikap cuekku yang berlebihan? Tak pernah sekalipun memujinya, bersikap seolah yang Ia lakukan untuk keluarga ini hal yang biasa-biasa saja. Apakah pada akhirnya kesabarannya telah habis?

Habis dimakan semua pekerjaan kantor, rumah, mengurusku, dan juga anak-anakku? Ya Allah kenapa dia diam saja sampai detik ini. Ia memasukan lembaran kertas itu ke laci documen dalam lemari pakaian. Tanpa berkata apa-apa. Hatiku tegang, jantungku dag dig dug. Menebak-nebak apa yang akan Ia katakan padaku?

"Pah, kita cerai saja ya?"

"Pah, aku sudah gak tahan dengan sikap cuekmu".

"Pah, kita sudahi saja".

"Pah, aku lelah. Kita selesai saja ya".

Aku menduga-duga sambil mengucurkan keringat dingin. Tapi anehnya, sampai malam hari waktunya kami tidur, Ia tidak juga membicarakannya. Bahkan saat makan malam. Sikapnya masih seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.

Ya Allah, andai ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini semua. Akhirnya malam semakin larut. Ia tertidur. Tertidur tanpa membicarakan perceraian yang sedang Ia siapkan. Rasanya aku ingin sekali melihat lembaran kertas itu. Tapi rasa takut dan kecewa lebih besar dari rasa penasaranku akan kertas itu. Karna jelas-jelas judul kertas itu Surat Pengajuan Cerai.

Pagipun tiba, aku yang jadi sulit tidur nyenyak, bangun dengan wajah kusut. Istriku seperti biasa panik. "Lho pah, koq nukanya pucet, kantung mata papah hitam sekali. Kenapa? Papah sakit?". Tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng kemudian kembali menarik selimut. Hari itu istriku sedang cuti. Itu sebabnya Ia masih dirumah. Biasanya Ia berangkat lebih pagi dariku.

Kuputuskan untuk berangkat lebih siang. Karna merasa tidak enak badan. Aku yang workaholic ini memang tidak mungkin mengajukan cuti, meski sakit sekalipun. Paling-paling aku hanya ijin datang siang sampai badanku terasa enakan.

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah kami berbunyi "Ting Tong". Istriku beranjak ke lemari pakaian, mengambil kertas itu. Kertas yang membuatku tak dapat tidur semalaman.

"Lho mah, kertas itu?". Tanyaku sepotong-sepotong.

"Ooh ini, iya nih kemaren pengacaranya Mba Nida datang ke rumahnya, tapi Mba Nidanya lagi gak ada. Jadi dititipin ke aku. Akhirnya Mba Nida memutuskan pisah dari Mas Seno lho Pah. Sebentar ya Pah, aku ke depan dulu kasihkan surat ini ke Mba Nida".

Iapun pergi berlalu membawa kertas itu bersamanya unutuk diserahkan kepada yang punya.

Aku terdiam, bengong tanpa kata. Kemudian tertawa kencang hingga mengagetkan istriku yang masih di depan menutup pintu karna Mba Nida langsung pulang begitu menerima surat itu.

"Pah, apa yang lucu? Koq tertawa sampai terdengar ke ruang tamu?". Tanyanya padaku yang masih menyeringai lebar mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku bingung mau jawab apa. Mau bohong tapi gak kepikiran bohong apa. Jadilah aku ceritakan semuanya. Dari awal aku melihat dia membawa-bawa kertas itu sampai pagi tadi surat itu diserahkan. Aku ceritakan bagaimana aku menduga-duga yang akan Ia katakan padaku tentang perceraian.

"Hahahahahah........". Iapun ikut tertawa. Ia tertawa sangat lepas, sangat bahagia. Baru kali ini aku lihat tawanya yang begitu mekar. Maka akupun bertanya. "Ih Mama koq ketawanya gitu amat? Seneng banget ya ngetawain Papah yang bodoh ini?".

Tapi jawabannya membuatku terkejut. Rupanya rasa panik yang menjalar padaku sejak semalam itu Ia artikan bahwa aku takut kehilangannya. Mungkin benar. Hanya saja tak satu kalipun aku pernah mengungkapkan dengan kata-kata atau hal romantis tentang rasa takut kehilangannya itu.

"Mama bukan senang karna Papah udah suudzon dan bersikap bodoh seperti itu. Mama hanya gak nyangka aja. Ternyata Papah takut juga ya kehilangan Mama? Papah gak mau ya dicerai sama Mama?". Katanya sambil terus tertawa dengan wajah seperti meledek aku yang terlihat bodoh.

Ya, benar juga. Sejak semalam aku ketakutan. Aku takut kecewa, takut shock menerima kenyataan bahwa kami akan berpisah. Baru kusadari sudah bertahun-tahun lamanya sejak pernikahan kami, aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan rasa sayangku padanya, pada istriku ini. Jarang memujinya, bahkan tak pernah mengungkapkan dengan gamblang bahwa aku tak bisa kehilangannya. Karna akupun baru menyadari sejak semalam.

Kemudian Iapun bicara. Kalimat yang mambuatku lega dan merasa makin dicintai olehnya.

"Papah nih aneh. Koq bisa-bisanya mikir begitu. Kita ini udah hidup tenang. Alhamdulilah semua kebutuhan sudah terpenuhi, anak-anak sehat, tidak ada masalah di rumah ini. Kenapa Papah bisa berpikiran Mama bakalan minta cerai? Kalo emang Mama gak peduli Papah, sudah sejak dulu Mama minta cerai. Sejak Mama harus berjuang sendirian.

Bukannya mengungkit-ungkit nih ya Pah. Kalo Mama cuma mau hidup enak dan nerima Papah yang bisa nyukupin aja, buat apa Mama bertahan dengan kondisi kita yang dulu itu. Makan kurang, kebutuhan kurang, Papah bahkan gak kerja, kalaupun kerja gajinya kecil. Buat apa pah. Mending dari dulu aja minta cerainya. Sekarang Papah udah mapan, udah nyukupin, gaji sudah besar. Masa iya Mama malah minta cerai sekarang dari Papa. Papah nih aneh".

"Yaah, Papa pikir Mama gak hanya butuh dicukupin secara finansial aja. Mama kan tau sendiri Papa males bantu-bantu kerjaan rumah, gak pernah muji Mama, jarang bilang sayang, hal-hal semacam itulah pokonya".

"Gini ya Pah, sebetulnya Mama tuh ga terlalu pingin banget koq di puji-puji Papah. Apalagi digombalin. Gak perlu pah. Walaupun kadang suka kesel dengan Papa yang sama sekali gak bantu kerjaan rumah, Mama masih gak masalah koq. Masih bisa sabar ngerjain itu semua. Cuma satu hal yang Mama pingin dari Papah. Jujur apa adanya. Gimana di rumah, ya begitu di luar".

"Maksud Mama gimana?". Tanyaku penasaran. Karna rasa-rasanya sikapku di rumah dan di luar gak ada bedanya. Sama-sama cuek, gak pernah bermasalah.

"Mba Nida pernah nemu BBM'an Mas Seno sama teman kerja wanitanya. Mba Nida bilang sih awal-awal itu isiya cuma kaya becandaan biasa aja. Berawal dari "Eh ke mana lo? Koq gak masuk?". Kemudian dibalas sama Mas Seno. "Ada koq lagi di HRD, kenapa nyariin gue? Kangen ya? Hahaha". Mba Nida pikir cuma becandaan teman biasa aja di kantor. Eeeh mana tau akhirnya mereka malah pisah gara-gara Mas Seno kedapatan serius sama perempuan itu. Naah yang Mama mau, sikap Papah ya jujur. Di rumah cuek, di luar ya harus gitu juga dong. Jangan sama istri cuek, sama teman kantor becanda-becanda kangen-kangenan gitu. Istri mana tau Pah suaminya seperti apa di kantor. Cuek atau malah ganjen. Itu yang Mama gak mau".

Aku tersenyum sambil mengangguk kemudian mencium kening istriku. "InshaAllah, Papah gak akan ganjen-ganjen di luar rumah. Heheheheh". Kamipun tertawa. Rasanya lega dan akhirnya aku semangat lagi berangkat ngantor yang kesiangan hari ini.

Aku hanya berharap dan berdoa. Semoga Allah tidak mengujiku melalui perempuan-perempuan mulus di luaran sana. Jangan sampai aku tergoda apalagi terpikat dengan lawan jenis di luar rumah. Ya Allah, lindungi hambamu. Tidak ingin perjuanganku bersama istriku sedari kami menikah sampai semapan ini jadi sia-sia hanya gara-gara aku terlena dengan kemolekan perempuan di luaran sana. Semoga Papah selalu ingat perjuangan Mama mendampingi Papa dari kita hidup sulit ya Mah.

Jangan pernah lupakan, siapa yang berjuang bersama kita sedari kita masih susah. Jika banyak perempuan-perempuan molek di luaran sana yang menggoda imanmu. Maka ingatlah, azab Allah sangat pedih, dan karma dari istri yang tersakiti pasti terbalas. Senang hanya sesaat jika harus ditukar dengan kehilangan keluarga yang selama ini mensupport kita, maka kamu pasti akan merugi.

Setialah bersama istri. Arungi hidup seperti kapal dan nakhodanya. Meski klise, kalimat itu memang benar maknanya.

#SELESAI#

By: Nanda

#CurhatSuami

Jumat, 15 Mei 2020

Monyet yang rakus

Alhamdulilaah akhirnya ada juga pembaca BLog Cerpen yang mengirimkan cerita anak-anak.

Ini yang kita tunggu-tunggu ya guys. Ceritanya menarik kiriman dari Muhammad Zainul Firdaus.

Kami ucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya mengirimkan cerita ini. Berikut kisahnya !

Monyet Yang Rakus

Apakah ini sudah cukup??” kata kelinci.”Iya mungkin ini sudah cukup untuk makan selama 1 minggu”kata kura-kura,”Baiklah,kita istirahat sekarang!!”kata siput.Kelinci kura-kura dan siput sudah bersahabat sejak lama,Iapun berundingan untuk mencari makan bersama-sama,lalu makanan tersebut disembunyikan dirumput bawah pepohonan.”semoga saja tidak ada yang tahu tentang persembunyian ini,ya...??”ucap si kelinci,”Iya..semoga saja”Kata kura-kura dan sisiput.Dan merekapun berbincang bincang sambil makan makanannya.

Disisi lain,monyet pergi bergelantungan untuk mencari makanan dipohon-pohon,secara tidak sengaja,monyet melihat kelinci dan teman temannya menyimpan makanan disuatu tempat.monyetpun berpikir jahat.”jika kuambil semua makanan itu maka aku akan makan besar minggu ini..hahaha!!”ucap monyet dalam hati.Setelah kelinci dan teman temannya pulang,simonyetpun melakukan aksinya untuk mencuri makanan tersebut.

Keesokan harinya kelinci dan kura-kura marah-marah,sebab makanannya habis tidak ada satupun tersisa “kemana semua makanan kita ini??”ucap kelinci dengan mata agak memerah,sisiputpun terdiam dan memikirkan sesuatu “Hmm...Bagaimana kalau kita cari dirumah rumah sekitar sini..”.Sisput mengajukan saran,”baiklah,mungkin kita bisa..”Setelah kelinci dan teman temannya berkeliling satu kampung,

Hanya tinggal rumah monyet yang belum didatangi”Mari kita tanyakan ke monyet”Kata siput.

Ketika kelinci hampir mengetok pintu,secara tidak sengaja ia mendengar si monyet bicara sendiri di jendela luar”Huh...Seandainya saja aku makan banyak seperti ini tiap hari..pasti aku selalu kenyang nihh..”Kata monyet sambiil berharap.

Kelincipun mengintip dari jendela luar,dan melihat sampah buah buahan bertumpuk dirumah simonyet,seketika kelinci membuat siasat untuk mencelakakan si monyet.

“Dasar,simonyet sangat keterlaluan.”kata sikelinci.”Benar,dia mencuri makanan kita..!!”kata kura-kura.Kelinci dan teman-temannya pun berunding untuk mencelakakan simonyet.Beberapa saat kemudian kelinci membuat lubang yang agak dalam,kura-kura menutupi lubang tersebut dengan kayu kayu yang ditutupi beberapa daun,dan sisiput menaruh makanan diatas

dedaunan tersebut.Merekapun bersembunyi disemak semak dan melihat simonyet datang.Simonyetpun bergegas karena melihat makanan yang banyak didepannya.Monyetpun terjatuh kedalam lubang dan merengek minta tolong,sikelinci dan teman temannya mendatangi dia dan memarahi simonyet tersebut.Monyetpun menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.Akhirnya kelincipun menolongnya.

Tamat...

Karya:Muhammad Zainul Firdaus