Senin, 18 Mei 2020

Ridho Ilahi (Aku yang tahu rasaku)

Kusiapkan perlengkapan sholatku, kugelar sajadah, kuletakkan mukena di atas sajadah itu, kemudian bergegas mengambil wudhu di tempat khusus berwudhu tepat di samping mushola. Mas Rasya memang sangat menjaga ibadahnya dimanapun Ia berada. Itulah sebabnya mengapa rumah ini sengaja dibuat mushola di dalamnya, dengan tempat wudhu khusus disampingnya.

Alhamdulilah, aku mendapatkan suami sholeh yang luar biasa ibadahnya. Biasanya Mas Rasya yang membangunkanku di jam-jam sholat malam seperti ini. Namun semalam, Mas Rasya tiba-tiba ambruk. Badannya panas, juga mengeluh sakit kepala. Ku kompres dengan air hangat, kusuapi Ia makan, untuk kemudian meminum obat.

Sebetulnya Ia pernah berpesan padaku. Apapun yang terjadi padanya, entah Ia sakit atau sibuk, aku tetap harus mengingatkannya untuk sholat. Bukan sholat fardhu, karna menurutnya sholat fardu itu tidaklah pantas diingatkan. Sudah semestinya semua umat manusia mengingat jamnya menghadap Allah di dunia. Yang Mas Rasya maksud adalah mengingatkannya sholat-sholat sunnah. Seperti sholat malam yang biasa kami lakukan setiap hari. Tapi rasanya hari ini aku tak tega membangunkannya dengan keadaan seperti ini. Kupegang keningnya masih sedikit panas. Biasanya dia akan sangat menyesal jika aku sholat sendiri meninggalkannya. Tapi kali ini sungguh aku tak sanggup membangunkannya. Jadi kubiarkan Ia terlelap.

Seperti biasa Ia terbangun sebelum tepat adzan subuh. "Lho Um, koq gak bangunkan Abi? Sudah mau subuh, jadi Abi ketinggalan sholat malam dong?'. Tanyanya padaku dengan wajah kecewa. Aku sebetulnya seringkali merasa tidak enak jika Mas Rasya kecewa dengan perlakuanku. Meski semenjak menikah empat tahun yang lalu aku sering membuatnya kecewa atau terluka entah dengan perkataan atau perbuatan, tapi Mas Rasya tidak pernah sekalipun marah padaku. Sungguh Imamku yang luar biasa. Allah mengkaruniakan suami yang begitu luar biasa untukku. Terima kasih ya Allah.

"Maaf Abi, Umi gak tega. Abi kan lagi kurang sehat. Tadi tepat jam dua Umi mau bangunin Abi. Tapi setelah Umi cek kening Abi, masih agak panas. Jadi Umi sholat sendiri. Maafin Umi ya Abi. Umi cuma mau Abi istirahat lebih banyak dari biasanya biar cepet sehat lagi. Lagipula, bukankah Allah juga tidak suka sesuatu yang berlebihan atau dipaksakan?".

Mas Rasya terdiam sejenak mendengar penjelasanku. Namun tetap tidak mengurangi rasa kecewanya. Terlihat jelas di wajahnya Ia menyesal meninggalkan sholat malam karna sakit. Meski Ia menyadari perkataanku benar adanya.

"Ya udah Umi, ayo kita bersiap sholat subuh". Ajaknya kemudian. Kamipun menuju Mushola. Setelah berwudhu, sambil menanti adzan subuh, kami menyempatkan membaca Al-qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang. Kami menghentikan kegiatan sejenak untuk mendengarkan dan menjawab seruanNya.

Siang hari, setelah selesai berbenah rumah, mencuci, dan sebagainya, aku merenung di teras depan rumah. Aku terbayang, bagaimana jadinya jika nanti aku dipanggil lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa? Abi hidup sendiri di rumah ini, kemudian sakit seperti semalam. Ya Allah, siapa yang akan mengurus Abi? Air mataku menetes. Tak terasa semakin mengalir ari mataku mengingat kami sampai detik ini hanya hidup berdua saja.

"Ya Allah, sampai kapan hamba terus mendampingi suami hamba seorang diri. Sudah empat tahun Ya Allah. Hamba bukannya mengeluh atas apa yang menjadi keputusanMu. Namun, hamba memohon kepadamu ya Allah berilah kami keturunan agar kami dapat melahirkan generasi-generasi yang bertaqwa kepadaMu ya Rabb".

Tak putus-putus aku berdoa siang dan malam agar diberi keturunan. Namun sepertinya Allah berkehendak lain. Pasti ada yang Indah dibalik itu semua. Begitu pikirku dalam hati. InshaAllah, apapun yang terjadi dikehidupan kami, Abi selalu berpesan agar mengikhlaskannya dan khuznudzon kepada Allah. Dia yang Maha tahu apa yang baik bagi kami.

"Lho Ka, ngapain bengong aja sendirian disini". Sapa seorang gadis yang kebetulan lewat depan rumahku sambil mampir dan menaruh dagunya di atas pintu pagar. Buru-buru kuhapus air mataku yang sempat mengalir tadi.

"Eeeh Nissa. Mau ke mana? Siang-siang panas begini keluyuran. Ntar gosong lho". Kataku kemudian sambil meledek Annisa yang masih berdiri menyandarkan dagunya di atas pintu pagar. Annisa adalah gadis yang sangat cantik. Meski berhijab, namun Annisa tetap aktif di lingkungan kami. Dia juga mengajar di madrasah RW kami tanpa dibayar. Ia memang gadis cantik sholeha yang luar biasa.

Kadang aku berfikir, bagaimana jadinya jika Annisa aku lamar untuk Mas Rasya. Tapi tetap saja aku ini perempuan biasa. Tentunya itu hanya angan-anganku saja. Mana ada perempuan yang mau di madu. Sesholeha-sholehanya seorang perempuan, mustahil Ia tidak akan sakit hati dengan poligami. Begitu pikirku sejak dulu.

"Iya nih ka, mau ke warung. Gula, kopi, teh, semuaaanya habis. Jadilah abah merengut dirumah gak bisa ngopi. Hihihi". Jawab Annisa kemudian.

"Ooh ke warung. Pakai payung atuh neng, kesian kulit putihmu nanti jadi gelap. Hihihih".

"Ah kakak bisaan aja. Putih apanya. Ini udah empat kali lipat gelapnya dari kulit asli Ka, gara-gara acara outbond tempo hari sama anak-anak madrasah kemarin. Ya udah Ka, Nissa lanjut jalan dulu. Kesian Abah mau ngopi".

"Iya gih sana, jangan sampe Abah mencari-cari anak gadisnya yang cantik hilang entah ke mana. Hihihihi". Annisapun berlalu meninggalkan wajah cantiknya yang masih membayangiku setiap kali habis melihatnya.

"Kenapa gadis secantik Annisa belum juga menikah ya. Padahal umurnya juga udah lebih dari cukup". Batinku kemudian.

Annisa memang lebih muda lima tahun dariku. Jika tahun ini usiaku menginjak 33 tahun, maka Annisa sudah 28 tahun. Tentunya bukan umur yang masih muda untuk hidup sendiri. Aku mengerti jika perempuan seperti Annisa memang tidak mungkin menjalani kehidupan pacaran seperti gadis-gadis lain. Annisa adalah perempuan Sholeha. Diapun pernah mengutarakan InshaAllah jika menikah akan melalu proses taaruf sepertiku dan Mas Rasya.

Yang mengganjal dipikiranku, mengapa gadis secantik Annisa, belum ada juga yang mengajukan Taaruf kepadanya. Ataaau hanya aku tidak tahu saja. Mungkin sebenarnya pernah ada, tapi Ia menolaknya karna banyak hal. Bisa saja.

Satu yang aku tau pasti bahwa Allah berfirman "Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula, begitu juga sebaliknya". sehingga kupikir, mungkin Allah belum mendatangkan laki-laki Sholeh untuk Annisa. Semoga Annisa cepat menemukan jodohnya.

"Assalamualaikum....".

"Waalaikumsalam Abi". Jawabku sambil cium tangan suamiku yang baru saja pulang bekerja. Aku sambut dengan segelas teh hangat seperti kebiasaannya, kuraih tas yang masih menggantung ditangannya, kemudian memintanya duduk sejenak beristirahat.

"Abi gimana keadaannya, apa tadi jadi ke dokter?". Tanyaku penasaran melihat wajah lelahnya yang sepertinya belum pulih benar dari sakitnya.

"Abi tadi jadi ke dokter. Ada obat di tas. Kata dokter Abi cuma kelelahan koq Umi. Gak perlu khawatir". Jawabnya kemudian.

"Eh Abi, ngomong-ngomong gimana omongan Umi yang kemarin?".

"Omongan apa? Yang mana?".

"Ih Abi mah becanda, Umi serius Bi, itu looh tentang Annisa. Sepertinya dia akan cocok sekali jadi guru di sekolah Abi. Orangnya sabar ngadepin anak-anak, telaten, lagipula, kasihan Annisa di madrasah RW kita kan cuma sukarelawan. Kalo dia cuma mengandalkan jahitan yang dia terima untuk menghidupi keluarganya, rasanya Umi kasihan".

"Yaah kalo Umi kasihan kan mendingan Umi kasih aja apa yang Annisa butuhkan".

"Iiih Abi, gadis cerdas seperti Annisa mana mau dikasih cuma-cuma Bi. Umi pernah tanya sama Annisa. Kenapa pendidikan sarjananya gak dipakai melamar pekerjaan yang lebih layak? Abi tau gak Annisa jawab apa?".

Mas Rasya hanya tersenyum-senyum kecil mendengarkan rengekan permintaanku untuk menerima Annisa di sekolahnya yang Ia kelola sendiri. Alhamdulilah meski tidak besar, tapi Mas Rasya sanggup mendirikan sekolah Islam di kota Jakarta yang kehidupannya keras ini. Sehingga, kami tidak perlu terlunta-lunta bekerja di perusahaan yang tidak sejalan dengan visi misi kami sebagai umat muslim yang mencari Ridho Allah.

"Iya Umi, Abi inget koq. Abi inget betul obrolan kita itu. Abi juga merasa Annisa sepertinya memang satu visi misi dengan kita. Cocok kalo jadi ustadzah di sekolah Abi. Tapi tetap aja Umi, Abi kan  harus membicarakan dulu dengan dewan guru di sekolah. Bagaimanapun, mereka harus menyetujui keputusan kita. Meski sekolah punya kita sendiri, tetap saja jangan sampai mereka berpikir kalau kita menjurus ke praktek kolusi. Coba Umi bicarakan dengan Annisa. Apa Annisa bersedia di test dulu di sekolah Abi, agar kami dewan guru juga tahu, pendidikan apa yang cocok diajarkan Annisa di sana".

"Baik Abi, nanti InshaAllah Umi akan bicarakan dengan Annisa. Tapi Abi janji ya, usahakan dewan guru setuju menerima Annisa".

"Aduuuh istri Abi nih luar biasa banget kalo mau ngebantu orang. Gak nanggung-nanggung". Ujar Mas Rasya sambil mengelus-elus kepalaku. Rasanya adeeem sekali tiap kali Mas Rasya mengelus kepalaku. Seolah, aku adalah makhluk yang paling disayangnya setelah Allah SWT. tentunya.

Esok harinya tanpa buang waktu lama, aku menghubungi Annisa agar mampir ke rumah untuk membicarakan hal itu. Tanpa di duga, ternyata Annisa senang sekali dengan tawaranku dan Mas Rasya.

"MasyaAllah Kak, Nissa seneng banget kalo bisa kerja di tempat yang dekat dengan Allah. InshaAllah, Nissa mau terus mengabdi dengan pekerjaan yang mendekatkan Nissa kepada Allah".

Begitu jawaban Annisa. Sungguh gadis luar biasa yang sholeha. Dijaman yang serba canggih dan modern ini Annisa bahkan tak tertarik dengan dunia gaul yang serba glamour. Padahal Ia cantik, percaya diri, dan pasti Ia menyadari bahwa dirinya memang menarik. Tapi hal itu tidak lantas membuat seorang Annisa menjadi gadis yang norak, alay, sok gaul, dan lain sebagainya seperti kebanyakan anak-anak muda jaman sekarang.

Singkat cerita, karna kecerdasan dan pesona yang dimiliki Annisa, tidak butuh banyak waktu untuk membuat para guru di madrasah Mas Rasya menerima Annisa sebagai guru di sana. Tanpa terasa sudah beberapa bulan Annisa mengajar di sana. Ia tetap mengajar di madrasah RW setiap sorenya. Karna panggilan jiwa. Ia tidak mungkin meninggalkan madrasah yang sudah lama menjadi bagian hidupnya demi mengejar pekerjaan yang menjanjikan gaji besar. Itulah Annisa. Gadis luar biasa.

"Abi, kenapa sih gak pulang bareng Nissa aja. Kalian kan searah?". Tanyaku pada Mas Rasya malam itu. Aku pikir Mas Rasya bisa membantu Annisa untuk lebih cepat sampai ke madrasah RW jika memberinya tumpangan.

"Demi Allah Umi, bukannya Abi tidak mau menolong. Tapi kan Umi paham agama bukan? Abi itu bukan Mahromnya Annisa. Apa kata orang kalo setiap hari pulang bareng. Abi gak mau menimbulkan fitnah Umi. Lagipula, sesekali mah pernahlah Abi menolong Annisa cepat sampai ke madrasah RW. Itu waktu ada kejadian siswi yang katanya kesurupan. Naah kalo keadaan mendesak yang genting seperti itu, Abi masih bisa menolong. Tapi jika tidak ada kebutuhan mendesak, rasanya kurang pantas Umi".

Aku tersenyum puas mendengar penjelasan Mas Rasya. Bukannya senang karna Mas Rasya jauh-jauh dari sicantik Annisa. Masa iya aku menyesal setelah membantu Annisa menjadi pengajar di sekolah Mas Rasya dan jadi cemburu karna sekarang mereka bisa bertemu setiap hari. Toh itu keinginanku.

Aku tersenyum senang karna Mas Rasya rupanya tidak tergoda dengan rupa Annisa. Meski Annisa secantik bidadari namun Mas Rasya sudah punya bidadarinya sendiri di rumah. Begitu katanya. Kalimat itu yang membuat aku tersenyum-senyum.

Suatu ketika, aku sempat berfikir. Mungkinkah Annisa dapat menolong kami memiliki keturunan. Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas dalam benakku. Jika saja bisa seperti itu, mungkin aku harus ikhlas dipoligami oleh Mas Rasya. Jika benar kami bisa memiliki keturunan dengan melamar Annisa untuk Mas Rasya, kami akan sangat tertolong. Tapi, apakah iya hatiku siap untuk ini?

Rasanya tidak mungkin. Namun begitu, aku mencoba mengutarakan perasaanku pada Mas Rasya. Aku sama sekali tidak membayangkan apa tanggapan Mas Rasya. Mungkin dia akan senang, atau mungkin sebaliknya malah akan marah.

Mengingat mas Rasya tidak pernah marah sekalipun padaku, aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku benar-benar membicarakan hal ini padanya. Maka malam itu, aku coba bicarakan dengan Mas Rasya. Hati kecilku berharap Mas Rasya menolak. Tapi hatiku yang lain tetap mengharapkan hadirnya seorang buah hati ditengah-tengah keluarga kami.

"Abi, Mmmh.... Umi mau ngomong. Tapi janji Abi jangan marah ya". Pintaku padanya sambil sibuk memainkan jari karna gugup. Sepertinya Mas Rasya paham betul kalau istrinya ini sedang gugup. Kemudian Ia mengambil tanganku, memegang dengan erat, mengelusnya,  kemudian mencium tanganku yang Ia raih sambil berkata.....

"Apakah selama pernikahan kita, Abi pernah marah? Jika iya, maka saat ini juga, Abi memohon supaya Umi mau maafin Abi. Mungkin Abi khilaf saat itu. Tapi jika menurut Umi, Abi tidak pernah marah. Maka untuk apa ragu membicarakan apa yang ada dihati Umi? Coba ngomong, Umi mau apa dari Abi?".

"Mmmh... begini Bi, Umi merasa sepi tanpa seorang anak. Umi pingin ada anak ditengah-tengah keluarga kita. Apa mungkin Abi setuju kalo kita punya anak segera, meski bukan dari rahim Umi?". Tanyaku perlahan-lahan.

Mas Rasya menghela nafas panjang. "Sebetulnya ya Umi, Abipun merasa demikian".

Waduh, aku deg-degan, semakin tegang dengan jawaban Mas Rasya. Gawat, air mataku pasti meleleh jika mendengar Abi setuju untuk menikah lagi agar punya anak. Aku yang sok tegar, aku yang sok kuat, tapi kini jadi menciut, melemah baru mendengar kalimat pertama Abi.

"Ya Allah, tolong kuatkan hamba mendengar jawaban suami hamba. Jangan biarkan air mata ini menetes".

Selama ini aku adalah perempuan yang paling yakin bahwa suami yang dicintainya ini adalah suami yang nyaris sempurna dalam memperlakukan istrinya. Sangat tidak mungkin Ia menyakiti hati istrinya. Tapi kali ini, sepertinya aku harus menanggung sikap sok ku sendiri. Sok kuat, sok tegar, sok mau dipoligami. Padahal sebetulnya aku sama sekali tidak ingin mendengar jawaban Suamiku mengiyakan.

"Aduh, kenapa aku jadi suudzon, kan Abi belum selesai bicara". Pikirku dalam hati. Akhirnya Abi melanjutkan pembicaraannya.

"Umi betul sekali. Empat tahun kita menikah. Belum juga dikaruniai anak. Mungkin Allah mentakdirkan kita memiliki anak dengan cara lain".

Mendengar itu, hatiku makin kacau. Makin merasa teriris. Tapi sekali lagi. Aku harus kuat. Toh aku yang memulainya.

"Lalu, menurut Abi gimana?". Tanyaku kemudian sambil menatap wajahnya yang masih tersenyum.

"Abi sih setuju aja kalo kita mengadopsi anak, tapi Umi harus yakin pilih tempatnya. Apakah di yayasan yatim piatu atau Umi sudah punya keluarga yang anaknya mau kita adopsi. Bagaimanapun kita tetap harus mengadopsi anak dengan cara yang syariat dan harus tau juga cara-caranya secara Islami. Umi harus belajar juga bagaimana status anak nantinya ketika sudah besar. Jika laki-laki apakah lantas menjadi mahrom Umi atau tidak, begitu juga sebaliknya. Jika mengadopsi anak perempuan, apakah statusnya jadi mahrom Abi".

Lho...Lho...koq Mas Rasya malah mikir begini. Apa aku gak salah denger. Rupanya Mas Rasya salah tanggap dengan niatanku. Meski begitu, aku tersenyum lega. Jadi tadi itu aku cuma benar-benar suudzon tanpa sengaja. Apa yang aku pikirkan dengan apa yang dipikirkan Mas Rasya jauh berbeda.

Aku betul-betul tersenyum lebar saat ini. Tapi Mas Rasya jadi bingung dengan tingkahku.

"Umi kenapa malah senyum-senyum?". Tanya Mas Rasya kemudian dengan wajah sangat penasaran.

"Ngga papa Abi, Umi cuma gak habis pikir dengan jawaban Abi. Ternyata Umi cuma salah tanggap. Kenapa Abi berpikir kalo Umi mau adopsi anak?". Tanyaku pada Mas Rasya yang masih kelihatan bingung.

"Lho, kan tadi Umi sendiri yang bilang mau segera punya anak meski bukan dari rahim Umi sendiri? Jadi apa dong maksudnya?".

"Emang Abi gak kepikiran kalo bukan dari rahim Umi, ya dari rahim istri Abi yang lain?".   Jawabku sambil tersenyum tipis.

"MasyaAllah Umi, jadi pikiran Umi begitu? Demi Allah yang Maha mengetahui segala-galanya Umi. Sama sekali Abi gak ada kepikiran ke situ. Abi betul-betul berpikir kalo Umi berniat mengadopsi anak dari panti asuhan atau dari keluarga lain. Lagi pula, Umi sadar dengan permintaan Umi? Abi gak pernah berpikir sampai ke sana karna Abi tau betul. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan yang rela dipoligami. Poligami itu bukan perkara main-main Umi. Jika nantinya malah menyakiti salah satu istri diantaranya, Abi yang berdosa. Sementara Abi gak akan pernah tau perasaan istri-istri Abi nantinya".

"Iya Abi, sebetulnya Umi juga gak mau berbagi dengan perempuan lain. Umi terlalu sayang sama Abi. Rasanya juga Umi bakalan sakit hati banget kalo Abi betul-betul menikah lagi. Ini sih baru omongan aja. Maksud Umi, apakah Abi ada pikiran ke arah sana".

"Ya ampun Umi, istri Abi sayang, bidadariku, InshaAllah Abi gak ada pikiran nyakitin hati Umi. Jadi Umi gak perlu khawatir masalah anak. Toh jika Allah berkehendak, suatu hari nanti pasti kita dikaruniai anak. Mungkin memang belum waktunya. Siapa tau cuma umur kita aja yang tua, tapi pikiran kita masih labil, sehingga Allah belum menurunkan makhluknya yang imut itu ke perut Umi. Sabar ya Umi. Jangan lagi membahas masalah yang nantinya malah Umi sendiri yang menyesal".

"Maafin Umi ya Abi". Kataku menyudahi obrolan agak ngawur malam itu. Jujur, malam ini hatiku merasa lega. Lantaran mengetahui suami terkasihku ternyata memang betul-betul tidak tertarik dengan makhluk cantik luar biasa bernama Annisa.

Namun entah kenapa, besoknya aku merasa ada yang aneh. Tiba-tiba saja keinginanku untuk melamarkan Annisa bagi Mas Rasya justru semakin kuat. Entah kenapa tiba-tiba saja aku sangat ingin Annisa menjadi saudariku di rumah ini. Namun lagi-lagi pikiranku terbelah dua. Annisa masih gadis, tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan luar biasa sholeha. Laki-laki mana yang tidak tertarik padanya. Jangankan laki-laki. Rasa-rasanya akupun sebagai seorang perempuan, sudah tertarik padanya juga. Tertarik dalam artian mengagumi sosoknya.

Aku memikirkan hal itu hingga membuatku merasa tidak enak badan, kepalaku pusing. Pikiranku kacau. Apa yang terjadi padaku. Tidak. Aku tidak mau Annisa menjadi istri Mas Rasya. Bagaimana mungkin Mas Rasya akan adil pada kami berdua. Mustahil. Cintanya pasti akan lebih besar kepada Annisa daripadaku nantinya. Tidak mau, aku tidak mau itu terjadi.

Rasanya aku jadi benar-benar sakit. Aku menghubungi Mas Rasya. Memberitaunya jika aku kurang enak badan. "Abi, rasanya Umi kurang enak badan. Kepala Umi sakit, mual juga. Kalo nanti Abi pulang, Umi lagi tidur-tiduran aja apa gapapa Bi atau mau tehnya dibuatkan sekarang? Jam berapa Abi pulang?".

"Umi sakit? Ya udah Abi segera pulang sekarang. Umi istirahat dulu sambil nunggu Abi dalam perjalanan ya. Tiduran aja jangan banyak gerak. Mungkin Umi juga kecapean".

"Eeeh Abi jangan. Kalo Abi masih ngajar ya lanjutkan aja. Umi kan cuma gak enak badan, paling juga minum obat masuk angin sembuh. Udah ya Bi, gak usah khawatirin Umi".

"Ya udah, Umi istirahat ya".

Kupikir, aku berhasil meyakinkan Mas Rasya kalau aku baik-baik saja, kupikir dia melanjutkan mengajarnya. Ternyata 30 menit kemudian, Mas Rasya sudah sampai saja di rumah.

"Assalamualaikum.....".

"Waalaikumsalam". jawabku sedikit kencang karna menjawab dari dalam kamar yang jaraknya lumayan jauh dari pintu depan.

Mas Rasya bergegas masuk kamar, meletakkan tasnya begitu saja dikursi depan. Ia seperti panik. Padahal aku hanya sakit biasa. Mungkin benar kecapean.

"Makanya, Umi jangan kebanyakan mikir yang bukan-bukan. Bukan hanya kelelahan, sepertinya Umi juga banyak pikiran. Jangan lagi mikirin masalah poligami. Umi tenang yah, Annisa akan tetap cantik sampai kapanpun dan Abi akan tetap Abi suaminya Umi yang cuma punya istri satu-satunya seperti Umi. Bidadari Abi yang gak ada tandingannya. Jangan banding-bandingkan dirimu dengan Annisa. Dan masalah keturunan biar Allah yang mengatur. Ingat itu".

Mas Rasya memapahku ke dalam mobil. Dengan sangat hati-hati, kulangkahkan kaki memasuki mobil. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit seperti ini. Betul-betul merasa tidak enak badan. Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit, Mas Rasya mendaftar ke IGD agar penanganannya lebih cepat dengan dokter umum terlebih dahulu.

kesimpulan dokter. "Ibu gak apa-apa koq Pak. Gak usah khawatir. Memang hal-hal seperti ini sudah biasa terjadi kepada Ibu-ibu yang hamil muda".

"Haaah? Hamil? Istri saya hamil dok?". Aku dan Mas Rasya saling pandang. Tidak lama kemudian kami saling berpelukan. Bahagia bukan main. Akhirnya Ya Allah, ya Rabbiku. Engkau Maha pengasih, penyayang, dan Maha segala-galanya. Doa kami terkabulkan.

"Alhamdulilah, dokter terima kasih banyak atas berita yang Alhamdulilah sangat baik ini".

"Iya Pak, selamat yah atas kehamilannya. Dijaga baik-baik istrinya. Jangan sampai kelelahan. Jangan lupa juga minum vitamin yang saya resepkan, dan datang kontrol sesuai jadwal ya Pak".

Iya Dok, InshaAllah, InshaAllah kami pasti akan menjaga dengan baik makhluk kecil ini".

Tanpa disadari, air mata kami berdua menetes saking bahagianya. Dokter terlihat bingung. Mungkin Ia penasaran.

"Apa ini anak pertama Pak?". Tanyanya pada Mas Rasya.

"Iya Dok, ini anak pertama kami, setelah menunggu hampir lima tahun lamanya, akhirnya kami dikarunai juga seorang anak. SubhanAllah Dok. Luar biasa rasanya".

Setelah itu kami pulang. Dalam perjalanan pulang, Mas Rasya terus menggenggam erat tanganku. Kami bahagia sekali. Akhirnya yang dinanti datang juga.

"Umi, gimana kalo kita cari ART untuk bantu-bantu Umi di rumah?".

"Lho, emang kenapa Abi? Umi sudah terbiasa koq merapihkan urusan rumah sendiri".

"Umi, ingatkan apa kata dokter. Rahim Umi harus dijaga betul-betul. Karna Umi sedang mengandung. Umi tidak boleh kerja terlalu berat. Lagipula, Abi pikir kalo ada orang di rumah kan bisa ngawasin Umi. Kalo nanti terjadi apa-apa sama Umi dan gak ada yang lihat gimana? Abi gak mau Umi kenapa-napa".

"Makasih Abi, tapi inshaAllah Umi bisa menjaga kandungan Umi. Jadi Abi gak perlu khawatir ya. Bukannya dulu Abi sendiri yang merasa risih karna ada si Mba di rumah yang bukan mahromnya Abi? Waktu si Mba pamit pulang karna mau menikah. Bukannya Abi yang merasa lega? Meski Abi berkali-kali meminta maaf ke Umi karna bikin Umi jadi ngerjain semuanya sendirian, tapi Umi paham koq kenapa Abi begitu. Nah kalo nanti ada ART lagi, kan repot kalo perasaan Abi masih sama seperti ada si Mba dulu. Abi tenang aja, kalo nanti ada apa-apa sama Umi, atau perasaan Umi gak enak, Umi akan telepon Ibu untuk minta tinggal bersama kita sementara. Toh Ibu sekarang tinggal sama Bang Saman dirumahnya".

"Ya sudah terserah Umi aja. Tapi janji ya, Umi gak boleh kerja berat-berat. Cucian, setrikaan gak usah dipegang. Biar Abi yang kerjakan pekerjaan itu. Yah Umi, tolong nurut sama Abi".

Aku tersenyum senang mendengar betapa suamiku sangat memperhatikan kami. Aku dan Buah hati yang ada dalam kandunganku sekarang. Kebahagiaan ini sudah didengar oleh guru-guru di sekolah, mereka tidak hentinya mengucapkan selamat. Termasuk Annisa.

Rasanya seru sekali saat Annisa datang ke rumah menjengukku. Ia heboh bukan main menyambut anak kami. Sepertinya seolah-olah, Ia yang sedang hamil. Empati Annisa membuatku makin kagum padanya. Dia mendekati telinganya ke perutku yang bahkan masih rata. Mengelus-elusnya kemudian bicara kepada si jabang bayi.

"Ya ampuuun dedeek, akhirnya kamu datang juga nak. Abi, Umi udah lama nunggu. Cepet besar yah, Sholeh sholeha, dan sehat terus. Aduuuh Bibi gak sabar nih liat kamu. Hihihih". Gumam Annisa sambil terus mengelus perutku.

Betapa menyenangkannya ada orang yang sama bahagianya dengan kita. Saat itu lagi-lagi aku berpikir, bagaimana jika benar kami satu rumah. Apakah kami masih bisa tetap seperti ini setiap hari, atau malah sebaliknya, akan lebih sering bersitegang dan berbeda pendapat.

Dulu pikiranku melamarkan Annisa untuk Mas Rasya, karna ingin sekali memiliki anak yang mungkin bisa dikandung Annisa. Tapi kini aku sedang mengandung, apa yang aku inginkan sudah tercapai. Namun mengapa pikiran poligami dalam otakku ini tidak juga mau pergi? Sebegini kagumnyakah aku pada sosok Annisa.

Waktu terus berjalan, tanpa terasa perutku sudah mulai membuncit. "Senang dan tidak sabar menanti kehadiranmu sayang". Gumamku sambil mengelus-elus perutku. Aku merasa ada dipuncak kebahagiaan kali ini. Namun ada yang mengganjal dipikiranku.

Kata orang, istilah morning sick pada Ibu hamil itu hanya terjadi di tiga bulan pertama. Tapi kenapa ya sampai detik ini, sudah empat bulan lebih, aku masih saja merasa sering mual dan tidak enak badan. Aku pikir mungkin karna memang aku sedang tak sehat, hari itu aku benar-benar membiarkan rumah sedikit berantakan, aku istirahat total di dalam kamar, tidak beranjak kecuali makan dan ke toilet. Karna aku betul-betul tak enak badan.

Mas Rasya pulang dengan kondisi rumah masih berantakan. Tapi Ia sangat memahami kondisiku yang sedang mengandung. Terlebih lagi, ini adalah moment-moment kebahagiaannya juga.

"Maaf Abi. Rasanya Umi masih aja gak enak badan sejak kemarin. Jadi tadi coba istirahatin badan". Kataku padanya yang sedang merapihkan ruang tamu, menyapu dan mengepelnya. Padahal sepulang kerja Ia belum duduk sedetikpun. Tapi Ia langsung mengerjakan pekerjaan rumah yang harusnya menjadi tanggung jawabku. Meski aku tau sebetulnya itu juga menjadi bagian dari tanggung jawab suami, tapi karna aku sudah terbiasa. Jadilah aku merasa itu bagian dari tanggung jawabku sendiri.

"Gak apa Umi, gak usah bantu. Umi tiduran aja ya. Nanti Abi buatkan bubur hangat ya biar perutnya enak. Kalo sampai besok Umi masih tidak enak badan, sebaiknya coba kontrol ke dokter ya Umi. Takutnya berkepanjangan".

"Iya Abi, inshaAllah Umi baik-baik aja". Jawabku kemudian. Hari ini Mas Rasya yang sibuk berbenah rumah dan menyiapkan makan malam. Mas Rasya memang sejak muda sudah pintar masak. Bahkan sepertinya masakannya lebih enak dari masakanku.

Sore hari Mas Rasya pulang. Aku baru saja dari Dokter. Seperti pesan Mas Rasya, jika masih saja tidak enak badan, aku sebaiknya kontrol ke dokter. Maka tadi siang aku pergi sendiri ke dokter. Karna tidak ingin Mas Rasya panik seperti yang sudah-sudah, jadi aku berpamitan pergi ke dokter ketika sudah sampai di Rumah Sakit.

"Maaf ya Abi, sekarang Umi ada di Rumah Sakit. Maaf Umi baru bilang dan gak pamit dulu sebelumnya. Soalnya Umi pikir, kalo Umi bilang masih gak enak badan dan mau kontrol ke dokter, Abi pasti pulang. Sedangkan pekerjaan di sekolah juga kan penting. Abi jangan tinggal-tinggal pekerjaan terus demi mengantar Umi kontrol. Cuma kontrol aja kan Umi bisa sendiri".

Itu kataku saat meminta izin ke Rumah Sakit pada Mas Rasya. Untungnya dia paham maksudku. Aku berbuat begitu hanya supaya dia tidak perlu memaksakan diri izin pulang dari sekolah untuk mengantarku ke Rumah Sakit.

"Jadi, apa kata dokter?". Tanya Mas Rasya begitu dia pulang dari mengajar sore itu. Aku terdiam sejenak. Tidak ingin membuatnya panik. Tapi sepertinya dia bisa membaca wajahku yang tidak biasanya ini.

"Umi, kenapa dengan kalian? Apa ada yang gawat? Umi sakit apa?". Tanyanya kembali karna melihat wajahku yang kelihatan gugup.

"Mmmh.... jadi gini Abi, sebetulnya Umi sih baik-baik aja. Cuma, kata dokternya, Umi harus benar-benar banyak istirahat dan tidak terlalu banyak gerak dulu. Karna kata dokter, kandungan Umi lemah".

Mas Rasya panik bukan main. Dia pikir ini hal gawat yang serius. Dengan wajahnya yang sangat panik, Ia meraih tanganku kemudian mendekapku sambil mengelus perutku.

"Umi sayang, mulai hari ini hentikan pekerjaan rumah sekecil apapun ya. Jangan paksakan. Abi mohon Umi nurut apa kata Abi ya. Biarin rumah berantakan, biarin cucian, setrikaan, menumpuk. InshaAllah Abi bisa nyambi ngerjain itu semua. Ya Umi ya? Pleeease".

"Iya Abi, InshaAllah Umi akan nurut sama Abi. Eh Abi, gimana kalo kita minta bantuan Annisa?". Tanyaku padanya. Berharap Ia mau mengerti.

"Maksud Umi? Masa Annisa disuruh kerja juga di rumah kita. Gak enak dong Umi". Jawabnya kemudian.

"Bukan Abi, bukan ngerjain pekerjaan rumah. Tapi, minta Annisa tinggal sama-sama kita untuk ngawasin Umi aja. Lagipula rumah Annisa kan tidak jauh dari sini. Menurut Abi gimana?".

"Umi ini ada-ada aja. Dulu bilangnya mau minta Ibu yang datang. Kenapa sekarang jadi minta Annisa? Umi ngidam ya? Jangan aneh-aneh dong sayang ngidamnya. Masa minta Annisa".

"Ah Abi, Umi kan cuma tanya. Kalo Abi gak setuju ya gak apa". Jawabku sambil merengek. Mas Rasya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku merengek.

Besoknya aku menghubungi Annisa. Bertanya sampai jam berapa Ia mengajar. Kebetulan hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, hanya saja sebagai pegawai, tetap saja dia harus berada di sekolah meski tidak ada jadwal. Setidaknya kehadiran bagian dari pekerjaan juga.

Kemudian aku memintanya datang  ke rumah siang ini jika Ia bisa meminta izin. Entah kenapa aku ingin sekali ditemani olehnya. Tidak butuh waktu lama untuknya meminta izin. Begitu Ia bilang ingin menemani istri Bpk. Rasya yang tengah mengandung, siapa lagi yang bisa menolak izin tersebut.

Annisa datang ke rumah. Kami ngobrol banyak, tertawa, bercanda, makan banyak, juga sempat tidur siang. Annisa memasakan makanan kesukaanku. Capcay seafood. Luar biasa rasanya. Gak kalah dengan masakan Mas Rasya.

"Nis, menurutmu. Mas Rasya orangnya gimana?". Tanyaku pada Annisa yang sedang menyuap makanan ke dalam mulut dengan sendoknya.

"Mmmh, Mas Rasya itu baik banget, perhatian sama anak-anak murid, gak pernah marah, kalo ada murid yang salah atau nakal, dia akan dengan tegas memberi sanksi tapi tidak dengan arogan seolah beliau itu posisinya guru. Makanya Ka, Mas Rasya itu diseganin sama murid-murid. Mereka juga sayang sama Mas Rasya. Karna Mas Rasya bisa berperan sebagai guru, orangtua, dan teman sekaligus buat mereka. Itu sih yang aku dengar dari murid-murid".

"Ooo gitu ya Niss. Kalo sebagai suami. Menurutmu dia gimana orangnya?".

"Idiiih Ka Isah koq malah nanya Nisaa. Itu kan Ka Isah yang tau. Aneh deh. Udah deeeh Ka Isah jangan mancing-mancing. Bilang aja mau nanya kapan Nissa kawin? Iya kan? Ih Ka Isah sama aja nih sama ibu di rumah. Nanyanya ituuu mulu. Padahal nanti, kalo ketemu jodohnya juga Nissa pasti kawin Ka. Itu juga yang Nissa bilang sama Ibu. Tapi tetep aja. Ibu, Bapak, Bahkan Ka Isah nanyain mulu".

"Loooh Koq kamu mikirnya gitu. Coba, mana kalimatku yang mempertanyakan itu? Memangnya dari tadi aku nanyain itu ke kamu? Yeeeh GR aja deh. Itukan urusanmu. Mau kapan nikahpun itu kamu yang jalani, jadi ya buat apa aku tanya-tanya terus. Yang aku tanyakan tadi kan bagaimana menurutmu seorang Mas Rasya jika jadi suami? Bukannya itu pertanyaanku?".

"Naaah ini nih. Pertanyaan Ka Isah itu jauh lebih aneh dari pertanyaan Ibu Bapak Nissa kapan Nissa kawin? Suami sendiri koq gak bisa menilai. Gimana toh Ka Isah ini. Apa gak aneh namanya, nanyain karakter suami sama perempuan lain?".

"Yeeeh kamu ditanya malah balik bertanya. Kalo menurut aku sih ya. Mas Rasya itu orangnya SUPER DUPER KEREN. Gak pernah marah, mau mengerjakan pekerjaan rumah, sabar, rajin ibadahnya, sholeh, cocok jadi Imam. Pokoknya beruntung banget perempuan yang jadi makmumnya".

"Ka Isah demam yah? Masih sakit?".

"Ih, apa sih kamu. Aku kan cuma ngomong apa adanya".

"Yah ngapain juga ngomongin kebaikan suami sendiri ke perempuan lain coba. Ka Isah aneh-aneh aja. Trus kalo nantinya Nissa jadi tertarik sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah cerita-cerita yang baik-baik mulu tentang Mas Rasya, siapa yang salah coba? Kalo nanti Nissa jatuh cinta sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah banga-banggain terus gimana coba? Mending kalo Mas Rasyanya nolak. Nah kalo Mas Rasyanya mau juga dideketin sama Nissa. Gimana hayoo?? Jangan sembarangan cerita tentang suami sendiri ke perempuan lain Ka. Untung Kaka ceritanya cuma ke Nissa. Nissa kan anak baik. Gak bakalan tertarik sama suami orang".

"Yaaah sayang sekali kalo kamu sampe gak tertarik sama Mas Rasya".

Anissa tersedak, batuk mendengar omonganku yang barusan. Mungkin Ia pikir aku bercanda saat ngomong itu. Tapi sejujurnya, aku serius. Aku ingin Annisa tertarik dengan Mas Rasya. Aku ingin Mas Rasya menikahi Annisa. Toh Annisa bukan istri orang.

"Ka Isah sehat gak sih. Ka Isah ngomong begitu itu kenapa? Apa maksudnya? Kaa... Nissa betul-betul minta maaf kalo selama kita bersahabat, ada kelakuan Nissa yang bikin Ka Aisyah salah paham. Tapi sungguh Ka. Nissa gak pernah punya perasaan apa-apa sama Mas Rasya. Demi Allah Ka. Demi Allah yang Maha tau segala-galanya, Yang Maha Tau dalamnya hati manusia. Nissa gak pernah sekalipun mikirin Mas Rasya".

"Nis, maafin Kaka kalo kesannya Kaka nuduh. Tapi gak gitu koq Nis. Ka Isah betul-betul berharap kamu jadi saudari kakak di rumah ini".

Annisa makin terperanjat dengan omonganku. Ia tidak habis pikir. Apakah yang aku maksud, diriku mau dimadu olehnya. Ia menghentikan suapannya. Berhenti makan meski makanan masih tersisa dipiringnya.

"Ka, tolong dong, jangan bercanda sejauh ini. Nissa takut jadi canggung atau salah sikap".

"Demi Allah yang mengetahui hati manusia, Ka Isah sungguh-sungguh ingin Mas Rasya menikahi kamu Nis".

"Dan Demi Allah Ka, Nissa masih gak paham kenapa tiba-tiba Ka Aisyah ngomong begini. Kalo karna Kaka terlalu sayang sama Nissa dan kasihan sama Nissa karna sudah umur segini Nissa masih sendiri, ya setidaknya gak mungkin kan Kaka ngorbanin perasaan Kaka sendiri? Mana ada Ka, perempuan yang mau dimadu terang-terangan. Bahkan Ka Aisyah minta Nissa tinggal disini juga. Gak masuk akal kalo gak ada alasannya Ka".

"Niss, kamu bener. Semua orang pasti punya alasan atas tindakan yang dilakukannya. Begitu juga aku. Aku juga punya alasan. Tapi sungguh, alasanku hanya ingin kamu jadi pendamping Mas Rasya, jadi saudariku, menemaniku menjaga anak-anak kita dengan Mas Rasya nanti".

Annisa jadi terlihat pucat pasi. Ia seperti tersangka pencuri yang sudah ketauan berhasil mencuri hati kami. Ia terdiam.

"Ka, sebaiknya Nissa pulang dulu ya. Nissa jadi gak enak badan denger omongan Ka Aisyah begini".

"Iya Nis. Silahkan Nissa pulang sekarang. Tapi tolong. Pikirkan lamaran Ka Aisyah untuk Mas Rasya ya. Kaka serius Nis".

Annisapun pulang dengan seribu pertanyaan dibenaknya. Ada apa denganku? Mengapa aku malah melamarkan calon istri untuk suaminya? Mengapa dia? Mengapa sekarang?

Aku sudah berhasil bicara dengan Annisa. Tugasku tinggal bicara dengan Mas Rasya. Semoga Ia mau mengabulkan permintaanku untuk menikahi Annisa.

Malamnya ketika di kamar, aku mencoba mengawali pembicaraan. Aku sengaja basa-basi dulu. Mulai dari membicarakan kehamilanku, ngidam banyak makanan, saran dokter, dan sebagainya. Dan akhirnya tibalah aku harus bicara tentang Annisa.

"Bi, menurut Abi. Annisa betah gak ya kalo tinggal di rumah ini?".

"Hmm, itu lagi yang diomongin. Kenapa sih Mi? Umi pingin banget Annisa tinggal disini. Kalo memang Umi mau dan Annisa bersedia, silahkan Umi. Ajak Annisa sahabatmu itu tinggal disini. Tapi Umi jangan lupa. Annisa bukan mahromnya Abi. Jadi dia harus bisa menjaga perilakunya jika ada Abi di rumah ini. Menjaga tingkahnya, pakaiannya, dan banyak lagi. Yang pada akhirnya nanti malah akan menyusahkan dia Umi. Kasihan kan dia kalo kesehariannya di rumah dibatasi hanya karna ada laki-laki yang bukan mahromnya tinggal serumah dengannya".

"Naah itu dia Bi, biar gak risih dan kalian gak canggung lagi. Kenapa Abi gak halalin Nissa aja sekalian".

"Apa Mi? Umi sehat? Ada apa nih tiba-tiba ngomong begini. Umi denger omongan gak bener di sekolah? Ada fitnah tentang Abi dan Annisa di sekolah yang Umi dengar? Abi gak pernah dekat-dekat dengan Annisa Umi. Demi Allah. Kalo ada omongan miring tentang kami, itu fitnah".

"Ya Allah Abi, kenapa Abi malah jadi suudzon? Demi Allah juga Abi. Umi sungguh-sungguh dengan omongan Umi yang barusan. Umi pingin Abi nikahi Annisa. Jadikan Annisa saudari Umi di rumah ini. Apa Abi gak berpikir, jika nanti putra kita lahir, Umi akan membutuhkan bantuan?".

"Ya ampun Umi. Apa sih yang ada dipikiranmu? Otakmu apa lagi kacau? Mungkin hanya kamu satu-satunya yang mau berbagi suami dengan sahabat. Umi tau gimana susahnya berbuat adil? Pengalaman orang-orangtua bilang, adil terhadap anak saja sulit, apalagi terhadap dua istri. Abi belum tentu sanggup".

"Tapi kan Abi belum jalanin Bi. Mana tau Abi sanggup atau tidak jika punya dua istri".

"Umi, istigfar kamu. Kalo kamu minta aku menikahi Annisa hanya karna kamu butuh bantuan, kamu bisa minta dicarikan ART, pengasuh, atau pembantu harian bila perlu. Kenapa harus Abi menikah lagi? Apa Umi benar-benar ngidam ingin Annisa jadi saudari Umi di rumah ini? Kalo benar seperti itu, apa jadinya ketika anak itu lahir. Mau kamu ke manakan Annisa? Artinya Umi egois dong. Cuma karna ngidam, atau karna ingin dibantu mengurus rumah tangga".

"Ya Allah Abi, Umi gak seperti itu. Kenapa sih Abi mikirnya begitu. umi hanya betul-betul ingin ada Annisa dirumah ini tapi halal bagi Abi. Agar kalian tidak canggung satu sama lain".

"Mi, udah cukup ya pembicaraan ini. Umi lagi hamil. Kita omongin lagi kapan-kapan. Abi capek, mau istirahat".

Tidak kusangka, omongan ini membuat Mas Rasya marah. Aku bingung. Sepanjang pernikahan kami, Mas Rasya tidak pernah marah sekalipun. Tapi malam ini, akhirnya emosinya meluap karna keinginanku yang tidak biasa.

Besoknya aku bangun kesiangan. Jam 10:00 aku baru bangun, Mas Rasya sudah pergi mengajar. Sepertinya Ia masih marah padaku. Kupikir akan lebih susah membujuk Mas Rasya ketimbang Annisa. Tapi, bagaimanapun, aku tetap ingin mereka menikah segera. Harus cepat. Aku tidak mau berlama-lama.

Akhirnya, usahaku sudah sampai pada puncaknya. Setelah aku bernegosiasi dengan Annisa, memberinya alasan yang betul-betul diperlukan, dan memberinya pengertian. Alhamdulilah Annisa menerima lamaranku untuk Mas Rasya. Ia sempat menangis ketika kujelaskan mengapa aku butuh dia di rumah ini.

Tapi Mas Rasya masih saja sulit dimintai pengertian. Ia tetap berfikir kalau keinginanku ini hanya karna ngidam.

"Bi, apa Abi gak kasihan. Annisa sudah setuju menikah dengan Abi. Sekarang dia menanti-nanti lamaran Abi. Kasihan kan Bi. Jangan beri Nissa harapan kosong".

"Lho, kan Umi yang memberikan Annisa harapan. Bukan Abi. Dari awal Abi sudah tegas menolak permintaan Umi yang satu itu. Umi tau apa dampaknya? Umi sendiri nantinya yang akan menyesal. Bagiamana mungkin serumah dengan dua istri yang harus saling pengertian tapi nyatanya gak seperti itu. Rasanya sulit Umi. Gak bisa Abi bayangkan untuk saat ini.

"Abi, Umi mohon dengan sangat. Kasih Umi kesempatan untuk punya saudari di rumah ini. Kasih Umi kesempatan untuk menunjukkan bahwa Abi bisa adil pada kami berdua, bahwa Umi dan Annisa bisa hidup bersama. Umi mohon Abi". Aku memohon padanya sambil menangis, air mataku betul-betul mengalir disaat itu.

Mas Rasya tidak pernah melihatku memohon padanya dengan berlinangan air mata. Ia bingung dengan keinginanku. Dia bilang, alasanku kurang kuat meminta Ia menikahi Annisa. Akupun bingung harus bicara apa lagi.

Tapi Allah sungguh Maha tau hati manusia. Akhirnya Mas Rasya setuju menikah dengan Annisa. Meski agak berat melamarnya karna kedua orangtua Annisa pasti akan sedih jika putri cantik kesayangannya menjadi istri kedua, namun mereka sadar betul akan kehidupan Annisa yang sudah dewasa. Annisa bebas memilih, Ia bukan anak kecil juga tidak remaja lagi. Ia sudah pasti tau apa yang Ia jalani.

Meski dengan berat hati, akhirnya kedua orangtua Annisa memberikan restunya pada kami. Akhirnya mereka menikah, diusia kandunganku yang ke enam, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di rumah kami.

Tidak semulus yang aku bayangkan. Ibu, Bang Saman, dan Ka Dita sempat marah pada keputusan kami. Bahkan parahnya lagi mereka menuduh Mas Rasya memojokkanku agar aku setuju dimadu. Meski dari awal aku sudah menjelaskan bahwa aku yang menginginkan ini, bahwa bahkan Mas Rasya sempat menolak dengan tegas, tapi mereka tetap tidak percaya.

Begitu pula dengan keluarga besar Mas Rasya. Mereka bingung dengan keputusan kami. Ada apa sebenarnya. Tiba-tiba saja Mas Rasya yang dikenal alim dan tidak pernah bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahromnya, ingin menikah lagi.

Siang, malam aku berdoa. "Ya Allah, bukakanlah mata hati mereka. Berilah mereka pengertian akan keputusan kami. Aku yang menjalani hidupku, aku yang tahu seperti apa perasaan ini. Aku mohon Ya Allah, lapangkan hati mereka, juga lapangkanlah hati Annisa agar tidak mereasa didinya direndahkan apalagi dipojokan".

Pernikahan sudah berlangsung. Kini kami tinggal bertiga. Mas Rasya, Aku, dan Annisa. Aku berharap hubunganku dengan Annisa justru makin dekat dan baik. Tapi di awal-awal, sepertinya Ia justru canggung. Entah apa yang dia rasa sekarang.

Malam itu, malam dimana mereka menjadi sepasang pengantin, sepasang suami istri, air mataku mengalir. Rasanya sakit, sedih sekali. Aku harus terpaksa berbagi dengan sahabat karibku. Tapi aku harus ikhlas, aku harus merelakan mereka berdua.

Usia kandunganku sudah masuk bulan ke tujuh. Aku bertanya pada Annisa. Bagaimana perasaannya sekarang. Ia hanya tersenyum sambil berkata "Semua baik-baik aja Ka Isah. Nissa baik, Mas Rasya juga sepertinya tidak ada masalah, kami baik-baik saja".

Begitu katanya. Tapi aku tau. Dari kalimatnya itu sepertinya itu semua bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya. Bagaimana tidak. Kini semua orang tau jika Annisa istri kedua Mas Rasya yang adalah atasannya di tempatnya bekerja.

Dari omongan orang-orang aku bisa tau kalau banyak yang menjelekkan Annisa. Mencapnya sebagai perebut suami orang, perusak rumah tangga orang. Seringkali aku memergoki Annisa seperti habis menangis. Tapi Ia selalu terlihat tegar.

"Nis, kamu gapapa? Ada yang mau kamu ceritakankah?". Tanyaku padanya suatu ketika.

"Gakpapa Ka, Nissa cuma agak capek aja sedikit" . Jawabnya simple.

"Nissa, jangan kamu tutupi lagi perasaanmu. Aku tau kamu sering terluka. Banyak yang memojokanmu, yang menjelekanmu karna keputusanku menikahkan kau dengan Mas Rasya. Tapi aku mohon Nissa, bertahanlah sampai harinya tiba. Bertahanlah sesanggup kau bisa. Hanya kamu harapanku Nis".

"Ka, kakak jangan bicara gitu lagi. Allah itu Maha Besar, Maha mudah bagi dia membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ka Aisyah akan baik-baik aja. Jangan kau pikirkan hal itu lagi ka. Aku juga baik-baik aja. Biarkan mereka membicarakanku dibelakang. Toh itu dosa mereka. Akupun tidak memikirkan hal itu Ka. Aku janji, kita bertiga akan menjalani kehidupan panjang dengan baik".

Kami menangis, berpelukan. Aku sangat bersyukur bertemu dengan Annisa, mengenalnya, dan sekarang lebih dekat. Meski terkadang ada rasa cemburu, tapi aku harus ikhlas. Lagipula, tanpa sengaja aku mengetahui bahwa ternyata sampai detik ini, Mas Rasya belum pernah sekalipun menyentuh Annisa.

Awalnya aku tidak tau kenapa mereka begitu. Apakah Annisa tak tega padaku, atau Mas Rasya yang masih merasa akan menyakitiku. Tapi kemudian belakangan aku tau bahwa ternyata itu permintaan Annisa.

Annisa mengatakan pada Mas Rasya bahwa Ia minta waktu sampai hatinya siap. Mas Rasya menerima karna Ia sendiri juga menikah karna permintaanku. Annisa juga yang minta agar Mas Rasya selalu tidur di kamarku.

Usia kehamilanku sudah akan jalan 9 bulan. Sebentar lagi waktunya tiba. Aku harus mempersiapkan segalanya. Aku harus siap. Ketika anak ini lahir, Annisa, Mas Rasya, Ibuku, Bang Samin, Mba Dita, Orangtua Annisa, dan keluarga besar Mas Rasya harus hadir. Aku meminta mereka menungguiku di Rumah Sakit. Mereka harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku ceritakan kepada Mas Rasya.

"Umi koq permintaannya semenjak hamil aneh-aneh sih Mi. Udah diturutin minta Abi nikah lagi, sekarang minta semua keluarga kumpul begitu Umi lahiran. Ada apa Mi. koq Umi kaya takut gak panjang umur setelah lahiran. Umi tenang aja. Umi pasti bisa. Buktinya ada berapa juta oang Ibu-ibu yang berhasil melahirkan banyak anak dengan selamat. Jadi Umi jangan mikir yang macam-macam".

"Iya Abi, Umi ngerti koq. Makasih ya Abi sayang. Udah nurutin keinginan Umi untuk Annisa tinggal bersama-sama kita".

Hari sabtu, seharusnya Mas Rasya dan Annisa libur mengajar. Tapi karna urusan mendadak di sekolah, jadilah Mas Rasya harus pergi. Kami hanya tinggal berdua. Aku mencoba mencairkan suasana. Agar Annisa tak cangguung lagi di rumah ini.

"Nis, seperti yang sudah aku bilang, nanti saat melahirkan, tolong panggil Ibu Bapak kamu ya ke Rumah Sakit. Supaya mereka tau. Bagaimana kita ke depannya nanti".

"Ka Isah, InshaAllah Nissa akan minta Ibu Bapak hadir. Tapi tolong Ka Isah gak usah berpikiran macam-macam yah, meski sudah pasti bagaimana keadaan Ka Aisyah, tapi tetap Allah yang memutuskan nanti. Bukan Kaka, jadi udah ya Ka, jangan bicara seolah-olah semuanya sudah akan pasti terjadi".

Saat sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba aku merasakan kontraksi diperutku. Rasa sakit yang bukan main. Sakitnya seperti ingin mati saja.

"Aduh Ya Allah, Niss sakit sekali perutku. Ya ampun Niss. Gimana ini. Aduh....aduh...". Aku merintih sangat kesakitan. Annisa membantuku. Ia memegang kedua lenganku. Mencoba mengangkatku naik ke kursi, karna tadi kita memang sedang duduk-duduk santai beralaskan karpet di ruang tamu.

"Ya ampun Ka, kayanya Ka Isah mau lahiran deh. Aduh Ka. Bukannya kata dokter masih tiga minggu lagi. Aduh Kaka tahan ya, kita ke Rumah sakit sekarang, nanti Nissa hubungin Mas Rasya dijalan aja. Kita harus segera Ka. Gawat ketuban Kaka, udah pecah".

Annisa panik bukan main, dia memapahku ke luar pintu. Kami berjalan perlahan menuju mobil, tetangga-tetangga yang kebetulan sedang berada di sekitaran rumah, menghampiri kami.

"Kenapa neng kenapa? Ayo ayo sini dibantu". Kata salah seorang tetangga.

"Bu, tolong Bu, bukakan pintu mobilnya aja. Tolong ya Bu".

"Iya neng iya, mari sini neng". Ibu tetangga kami membantu menahan pintu mobil agar aku dapat masuk dengan mudah. Sementara yang lain berbisik-bisik seperti biasa.

"Ada apa sih? ada apa?".

"Ituu, istri tua mau lahiran".

"Ciyeee, enaknya yang punya temen serumah ada yang bantu".

"Apa gak merasa tuh si Nissa cuma dijadiin pembantu di rumahnya. Biasa deh temen deket takut suaminya dikuasain, mending suruh kawinin aja langsung biar bisa dia jadiin pesuruh".

Begitu bisik-bisik yang kami dengar. Memang sifat alami manusia. Hal yang baik saja masih bisa mereka putar balikan menjadi buruk, apalagi hal yang tabu seperti keluarga kami ini.

"Istigfar ya Niss, gak usah dengarkan mereka. Mereka hanya tidak tau apa yang terjadi dengan kita".

"Ka, yang harusnya istigfar itu Kaka. Kenapa jadi mikirin Nissa". Kata Annisa sambil menyetir dengan terburu-buru.

Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Aku segera dimasukkan ke ruangan bersalin, Annisa menghubungi Mas Rasya dan keluarga-keluarga yang lain seperti permintaanku sebelumnya. Aku berharap, tidak ada yang tidak hadir saat ini. Karna ini hari penting bagi kelangsungan hidup keluarga kami. Aku, Annisa, Mas Rasya, dan Buah hati kami bertiga.

Dokter kandunganku yang sudah tau keadaanku datang menghampiriku, lalu menggenggam erat tanganku. "Gimana Bu Aisyah, sudah siap dengan segala resikonya? Semoga Allah meridhoi jalan yang Ibu putuskan ya Bu. Ini pilihan yang paling mulia yang pernah saya lakukan".

"Iya Dok, InshaAllah saya sudah siap. Saya sudah menyiapkan segalanya". Jawabku dengan suara terbata-bata menahan sakit yang teramat sangat di perutku.

Proses persalinan sedang berlangsung, Keluarga besar kami menunggu semua di luar pintu. Menanti kehadiran sang buah hati. Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. Mas Rasya dan Annisa dipersilahkan masuk oleh dokter kandunganku yang sudah mengenal kami dengan baik.

Aku menangis sambil menggendong bayiku, tak lama kemudian Mas Rasya mengumandangkan adzan ditelinganya. Annisa menghampiriku, kemudian sanak keluarga yang lainpun dipersilahkan masuk oleh dokterku yang tau akan kondisiku.

Annisa menangis memelukku sambil berkata "Ka Aisyah selamat ya. Selamat atas kelahiran anak kita". Ia menangis tak henti. Ia memelukku, kemudian aku memintanya mengambilkan tas besar yang kami bawa saat pergi ke Rumah Sakit sebagai persiapan melahirkan.

Akupun tak kuasa menahan tangis. Sambil terisak, kutanyakan pada dokter. "Dok, berapa lama lagi? Berapa lama lagi waktu saya Dok?".

Spontan seluruh keluarga termasuk Mas Rasya terperanjat kaget dengan pertanyaanku. Terkecuali Annisa. Annisa yang memang sudah tau kondisiku sebenarnya. Mengapa Annisa mau menikahi Mas Rasya, karna aku menceritakan kondisiku padanya saat itu. Aku mengatakan padanya usiaku hanya sampai aku melahirkan anakku. Itu sebabnya Ia menyetujui permintaan terakhirku itu.

"Ibu, sampai kapan usia manusia itu bukan saya yang tentukan. Sudahlah, sebaiknya Bu Aisyah habiskan waktu bersama putra Ibu sekarang. Jangan terlalu banyak pikiran. Lakukan saja apa yang sudah Ibu persiapkan sebelumnya. Agar kita siap kapanpun waktunya".

Mendengar dokter bicara seperti itu. Mas Rasya makin bingung. Ia melihat ke arahku, sesekali menoleh ke arah Dokter. "Kalian ini bicara apa? Saya gak mengerti. Apa maksud Umi ngomong begitu".

Kemudian kuminta Annisa membuka tas besar itu, kukeluarkan banyak sekali amplop surat yang sudah kupersiapkan. Salah satunya amplop beberapa bulan lalu saat usia kandunganku memasuki usia 4 bulan, dimana aku merasa mual dan sakit berkepanjangan. Amplop itu berisi hasil test laboratorium yang menginformasikan bahwa ada kanker di rahimku. Kanker stadium 4 yang sudah tidak mungkin disembuhkan kecuali dengan Mu'jizatNya.

"Maafkan Umi ya Bi, maafkan atas keputusan Umi yang tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Abi". Aku dan Annisa menangis sejadi-jadinya. Air mata kami tak bisa berhenti. Annisapun memohon maaf kepada Mas Rasya.

"Maafkan Nissa juga Mas, ini pesan terakhir Ka Aisyah. Kaka yang tidak mau Nissa menceritakan perihal sakitnya kepada semua. Maafin Nissa yang tidak berdaya menolong Ka Aisyah Mas".

Annisa terus menangis sambil memelukku yang sedang menggendong putra kami. Mas Rasya membaca hasil lab itu dengan serius. Ia shock, hingga tanpa sengaja menjatuhkan surat itu. Kemudian menghampiriku, menciumiku sambil juga menangis. Pada akhirnya, Mas Rasya yang tegarpun menangis juga.

"Ya Allah Umi, kenapa Umi sembunyikan dari Abi Mi. Ya Allah, tolong jangan ambil istri saya secepat ini Ya Rabbi. Kenapa cuma Umi sendiri yang mengalami ini. Kenapa tidak berbagi dengan Abi Mi? MasyaAllaaah bagaimana hidup Abi tanpamu Umi".

Dokter turut bicara. Agar permasalahan menjadi lebih clear.

"Hari itu, hari dimana saya membaca hasil test laboratorium itu, saya sudah tanyakan kepada Ibu Aisyah. Apa keputusannya. Apakah Ia mau menggugurkan kandungannya agar Ia bisa bertahan hidup, atau meneruskannya dengan resiko kematian yang tinggi setelah melahirkan. Ibu Aisyah memutuskan memilih meneruskan kandungannya. Tapi itu setelah saya menjelaskan panjang lebar resiko yang akan terjadi apabila bayi dalam rahim yang sudah berusia empat bulan itu diangkat.

Dengan jujur saya katakan bahwa, meskipun Ibu Aisyah memilih menggugurkan kandungannya, maka bukan berarti Ia sembuh total. Hal itu hanya akan memperpanjang sedikit usia hidupnya saja. Karna terus terang, kanker itu sudah sangat parah menggerogotinya. Itu juga yang menyebabkan kalian sulit dapat keturunan. Sungguh mu'jizat Ibu Aisyah pada akhirnya bisa mengandung, meski harus bertaruh nyawa. Akhirnya Ibu Aisyah memutuskan untuk meneruskan kandungannya. Saya hanya dokter, keputusan tetap ditangan pasien".

Begitulah penjelasan dokter didepan semua keluarga besar kami. Itulah mengapa aku ingin keluarga besar kami hadir. Agar mereka bisa mendengarkan pesan-pesan terakhirku.

"Itulah sebabnya Bu, Bang Saman, Ka Dita, Bapak, Ibu, semuanya. Mengapa saya bersikeras melamarkan Annisa untuk Mas Rasya. Saya ingin Annisa yang menjadi pengganti saya. Saya ingin Annisa yang menjadi Ibu dari anak saya. Saya tahu betul Annisa akan sangat menyayangi putra kami. Jadi tolong, saya mohon, kalian jangan lagi memojokkan Annisa dan Bapak Ibunya seolah mereka merusak keluarga kecil saya. Tidak Bu, Bang, justru mereka penyelamat hidup saya".

"Ya Allah Umi, kenapa kamu menderita sendiri seperti ini selama ini Mi. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka dalam hal apapun?".

Mas Rasya tak hentinya menangis sambil memeluk kepalaku yang sedang menggendong sambil menyusui putra kami. Mereka semua menangis.

"Annisa, ini ada surat-surat yang harus kamu berikan kepada anak kita setiap kali dia berulang tahun. Semuanya ada 17 surat. Aku berharap, di ulangtahunnya yang ke 18, Ia sudah tidak memerlukan surat-suratku lagi untuk mengingatku".

Aku menyodorkan ke17 amplop putih berisi surat-surat untuk putraku. Annisa menerimanya dengan air mata yang masih mengalir tak henti-hentinya. Ya, aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku menulis surat-surat itu agar kelak anakku tahu bagaimana kehidupan kami saat Ibu yang melahirkannya masih hidup.

Bukan, surat-surat itu bukan surat-surat permintaan seperti yang ditulis Tina untuk anaknya dalam film india itu. Bukan berisi surat permohonan mencarikan jodoh bagi Ayahnya. Karna tugas itu, sudah dilaksanakan oleh Ibunya sendiri. Anakku tidak perlu lahir tanpa Ibu. Karna Ia sudah memiliki Annisa Ibunya. Itulah betapa Islam agama yang sangat benar, agama yang mengatur segala kehidupan umat manusia pada jalan yang lurus. Indahnya Islam yang memperbolehkan seorang suami menikah lagi dengan alasan yang sangat kuat tentunya.

Ini adalah salah satu alasan paling kuat mengapa seorang suami diijinkan menikah lagi oleh istrinya sendiri. Maha benar Allah atas segala firmanNya.

Surat-surat yang kutulis untuk anakku berisikan perjalan hidup kami bertiga. Agar nanti jika masih ada orang-orang yang bergunjing tentang pernikahan Ayah dan Ibunya Annisa, putraku tidak bingung ataupun sedih mendengarnya. Karna Ia sudah tahu yang terjadi melalui surat-surat yang kuberikan.

Malam itu, beberapa jam setelah melahirkan. Akhirnya aku berpulang. Aku bersyukur menjadi manusia yang diberitahu kapan umurku akan berakhir di dunia. Tidak semua manusia memiliki kesempatan yang sebaik aku miliki.

Alhamdulilah impian kami memiliki anak, akhirnya terwujud juga. Aku menghembuskan nafas terakhirku disamping Mas Rasya dan Annisa. Kupersatukan tangan mereka. Aku memohon kepada mereka untuk segera tidur satu kamar selepas kepergianku.

Aku tau, jika aku tidak berpesan demikian, entah sampai kapan mereka akan tidur terpisah karna merasa sama-sama canggung dan tidak enak. Aku berpesan, mereka harus jadi keluarga yang utuh.

Itulah kisah hidupku. Allah berfirman  Laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, begitu juga sebaliknya laki-laki yang buruk hanya untuk wanita-wanita yang buruk (perilakunya) juga.

Maka aku yakin, Mas Rasya adalah sosok yang paling tepat bagi Annisa dikehidupannya.

S E L E S A I

Laura

School and boring memang kobinasi yang menarik. Argh! Im too clever to stuck in this entah apa-apa school. Aku menongkat dagu sambil memandang ke luar.

“Is that something more important outside there?” tegur Puan Ain, guru Sejarah.

“Mind your own business” aku berkata sinis sebelum berlalu ke luar.

“How rude!!” marahnya.

Aku berjalan-jalan di koridor sekolah tanpa arah tujuan. Urgh!! Kalau bukan sebab papa ugut, aku dah ponteng sekolah dah sekarang ni. Mesti time macam ni aku tengah syok lepak-lepak main arcade. Dimwit! Ni cikgu counselor punya pasallah! Adakah patut dia call papa hari tu lepas tu report yang aku selalu ponteng sekolah. School and me are not suitable and we cannot be friend. I hate school and school hate me. It good if papa can understand it that school and me can’t be together.

“Laura! We need to talk!” tegur Shahrul, Tingkatan 6.

“Fuck off! Apa lagi kau nak!” marahku.

“Aku suka kau! Aku betul-betul suka kau. Kau cakap aja kau nak aku buat apa, aku akan buat asalkan kau terima aku,” rayu Shahrul.

“Menyalak macam anjing tiga kali then jilat kaki aku,” aku tersenyum sinis sambil melihat dia terkedu.

Aku terus berpaling dan melangkah meninggalkan Shahrul yang terpinga-pinga. Aku berjalan-jalan di kawasan kolam ikan. Makanan ikan aku tabur di dalam kolam. Ikan-ikan koi berebut-rebut menyambar makanan yang berada di permukaan air. I’m too good!

“I’m too good for everything,” aku berteleku di tepi kolam.

“Bizz! Bizz!” kocek baju kurungku bergetar kerana telefon yang aku bawa secara terlarang, aku set ke mod meeting.

Whatsapp notification. Messages from Jelita.

“Fuck up! Babe, u need to help me. This guy making shit with me.

[Imej]

He ask me to sleep with him but he don’t want to pay! Make his life worst!”

Aku hanya memberi bluetick.

“Urgh! You fuck up too! Tidur dengan ramai jantan. Patutnya kau kerja dekat kandang pelacur sana!” aku mengetap gigi.

Mahu atau tidak, aku kena juga ikut cakap Jelita or die. Shit! My life is worst even though people look me as a perfect one. Yeah! I’m perfect. Aku memiliki tubuh yang matang dari usia. Orang selalu menganggap yang aku ni 20 and above, the true is aku 18 tahun. Aku kaya. Aku ada segalanya but aku tak ada satu benda. Kasih sayang…

Kasih sayang bagi papa ialah duit. Duit mampu memenuhi keinginanku. Aku hidup dengan duit dan aku hidup untuk duit. Maruah? Huh! Dunia sekarang. Kau miskin, kau hina. Kau kaya, kau disanjung. Maruah adalah duit dan untuk dapatkan duit, manusia bertindak liar.

Mama.. Kasihnya banyak dicurahkan pada kerjaya. Fashioner terbaik negara. Niat ingin kalahkan Jimmy Choo berjaya tapi gagal dalam mendidikku. Mama kejar kejaya kerana aku. Mama cari popularity supaya aku dikenali dunia. Mama ingin aku diketahui satu Malaysia. Mama know nothing about me. Even mama popular dan dikenali sehingga ke luar negara, tapi dunia tak tahu yang beliau mempunyai anak bernama Laura Merdyna. I choose to be no one. I choose to be the one who being neglected.

“Tengok siapa yang ada dekat sini? Puteri Gunung Ledang sesat. Hahaha!” kata Amar.

“Mar, tak habis-habis kau nak nyakat Laura. Dah-dahlah tu,” kata kawannya.

Aku berdiri dan berhadapan dengan mereka berdua.

“Huh! Patutlah busuk! Ada najis rupanya,” aku berkata sinis.

Mereka terkedu. They don’t know the true me. Even whole school doesn’t know the true me. Once they know, they will regret it!

“Laura, agaklah ayat kau,” tegur Amar bengang.

“Aku dah warning kau, jangan sesekali kacau hidup aku. Kau tu sampah! Stop playing around me. It sticky!” sinisku.

“Biadap kau perempuan!” Amar cuba untuk melempangku.

Aku lebih pantas. Aku mengelak dan hadiahkan dia penumbuk di perut. Dia terbaring. Aku menyingsing kain hingga paras lutut. Laju kakiku menyepak perutnya. Bukan sahaja sepak, malah aku turut memijak perutnya. Kawannya cuba menarikku tapi aku lebih licik. Belum sempat tangannya hendak menyentuhku, kakiku dulu telah menyepak kemaluannya.

“Hah! Jangan cakap aku tak warning,” aku terus berlalu macam tak ada apa-apa yang berlaku.

“Bizz! Bizz!” telefon ditangan begetar.

Incoming call.

“Hello!” aku menjawab panggilan dari Jelita.

“Aku nak kau kerjakan dia! Bodoh punya jantan!” marah Jelita.

“Dia tak nak bayar kau tapi dia belum ‘rasa’ kau pun. Apa masalahnya?” aku merengus.

“Dia lempang aku!! Aku nak kau belasah dia!” rengek Jelita.

Talian aku terus matikan. Urgh!! Childish! Umur dah 25 tapi manja. Meluat aku!

“Bizz! Bizz!!” telefon begetar semula.

“Apa lagi?!” Marahku ketika menjawab panggilan dari Jelita.

“Sial! Asal kau matikan telefon!” marah Jelita.

“Aku punya sukalah,” jawabku hambar.

“Kau jangan nak buat taik. Baik kau buat apa yang aku cakap ni. Aku report dekat tuan karang,” ugut Jelita.

“Urgh! Yelah! Yelah! Kau nak aku buat apa? Mana aku nak cari budak tu?” it a little funny bila aku gelar lelaki umur around 28-30 as budak.

“Kau tak payah risau pasal tu. Harini dia ada meeting dekat syarikat lain and dia akan lalu depan sekolah kau. Masa dia lalu tu, kau tahan kereta dia. Lepas tu, pandai-pandailah kau nak buat apa,” kata Jelita.

“No plat?” aku duduk dikerusi simen.

“12WTF” katanya.

Talian terus aku matikan.

“Bodoh! Macam manalah aku boleh terjebak dengan hidup yang macam ni?!” marahku.

Aku terpaksa ikut cakap Jelita sebab dia adik kepada Tuan Shirotani. Aku kena jalankan segala arahan mereka, kalau tidak Tuan Shirotani akan bunuh aku. Aku dilatih dan terlatih sebagai senjata. Aku senjata dan aku hidup. Aku jahat tapi aku belum ke tahap membunuh. Hidup aku kalau dikaryakan pasti menjadi kisah yang cliché dan membosankan. Aku sendiri bosan dengan hidup aku.

--------------------------------------------

Aku melangkah ke luar sekolah dan melangkah ke hentian bas. Aku duduk sambil menunggu kehadiran kereta 12WTF. Jam di tangan menunjukkan pukul 11.01 pagi. Waktu rehat pelajar. Ponteng dan aku adalah sahabat. Tak ada sesiapa boleh halang aku dari poteng sekolah, even papa sekalipun. Kaki aku goyang-goyangkan sambil kepala terdongak memandang langit. Angin sempoi-sempoi bahasa mengelusku damai.

Hidup aku kosong. Aku tengok dalam tv, selalu girl lonely macam aku ni mesti akan ada hero yang peramah dan akan mewarnai hidup aku. Hahahaha! Movie, imagination people. I hate boy and I dislike man. Aku mengalami krisis di mana aku tak tahu apa yang aku nak. Sejak kecil aku dah ada segalanya. Im, who the one have a hopeless life.

Sedang aku beramah mesra dengan hati, kereta bernombor plat 12WTF kelihatan sedang menghampiri. Aku kena hentikan kereta tu tapi macam mana. Aku bingkas bangun dari duduk. Think Laura! Think! Okay, aku tahu nak buat apa. Perlahan-lahan aku melangkah ke tengah jalan. Aku tertunduk.

“Laura!! Kau dah gila ke?”.

“Laura!! Lari! Kereta!” jerit beberapa pelajar lain yang sama ada sama baya dengan aku atau tidak.

Hahaha! Aku harap kereta ni langgar aku.

“Sssreerrrrkzz!!!” tayar berdecit kerana brek mengejut.

“Buk!!”

“Laura!!!”

Aku terbaring di tengah jalan. Kepalaku berpusing tetapi tidak sakit. Terasa seperti sedang mabuk todi. Aku dengar bunyi pintu kereta dibuka dan ditutup kembali. Langkah yang pantas sedang menghampiri aku. Tangannya hangat menyentuhku. Tangannya damai. Dalam kemamaian pitam, aku masih dapat membayangkan figura tangannya memegang bahuku.

“Cik! Bangun! Cik buka mata! Pandang saya!” suaranya risau.

Ouhh! Kenapa aku dengar suara dia macam desperate. Macam merayu-rayu supaya aku bangun. It weird cause I love it!

“Cik! Tolonglah bangun!” tapak tangannya mula menyentuh pipiku.

Aku terbaring di ribanya. Tapak tangan kirinya menampung berat kepalaku. Rambutku yang hitam, panjang, lurus dan kilat jatuh dari celah jejari kasarnya. Perlahan-lahan aku membuka mata. Dari samar menjadi jelas. Jelas sangat sesusuk tubuh berpakaian formal dan berkaca mata di depanku. Walaupun mata dia terlindung dengan kaca mata, tapi aku tahu yang kami sedang memaku pandangan antara satu sama lain. Sesuatu di luar jangkaan berlaku. Sesuatu yang bukan diri aku sedang mengawal diri. Aku menarik tali leher hitamnya lalu aku mengucup bibir dia! Badannya terkebelakang.

Aku bangun dari pembaringan tapi mataku tetap tertancap pada wajahnya. Tanganku mencengkam tali lehernya. Dia ni bukan lelaki yang Jelita marah sangat tu. Mungkin dia ni pemandu je kut. Kami berdiri dan tangannya memegang lenganku bagi membantu aku bangun.

“Cik! Cik oka-“

Bicaranya terhenti apabila bibir kami bersatu.

“What the hell is going on here?!” tegur satu suara.

“Urgh! Disturb!” regusku sambil memandang ke pemilik suara.

Lelaki yang berkulit putih tapi tak adalah macam white people. Dia juga berkaca mata. Pakaiannya mewah. Kacak tapi tak sekacak lelaki yang aku cium ni. Kalau tengok dari mata kasar, lelaki berkulit putih ni lebih banyak menarik minat perempuan. Tetapi lelaki yang aku cium ni. Kalau touch up sikit, lagi kacak and berkarisma. Maybe factor gaya dan pemakaian yang mempengaruhi.

“Ouh! Dear, maaf sangat. Are you okay? Driver I ni memang tak berguna,” suaranya terus bertukar lembut.

Aku memiliki package yang cantik dan menawan. I hate it when people being nice with me because of my look.

“Cik! Saya mintak maaf,” kata driver di depanku ini.

“Shut up or I kiss you!” gertakku.

Dia terkedu dan pantas mengundur ke belakang sedikit. Aku melangkah ke lelaki yang berkulit putih. Ehem, tak semua perempuan suka lelaki berkulit putih macam artis Korea. Lelaki putih dekat depan aku ni boleh digelar gayanya macam Kpop gituh! That is not my taste kecuali lelaki yang aku cium ni. Dia putih dan hitam manis. Macam mana ya nak describe. White people yang kulitnya jadi hitam sikit sebab kerja dekat tengah panas. Maskulin gitu.

“Hai, my name is Syamil. Saya mintak maaf atas kecuaian driver saya-”.

“Pangg!!” aku melempangnya sampai terteleng.

“What the-”

“Dush!!” penumbuk tepat mengena biji matanya.

Aku terus bertindak liar. Aku menumbuknya bertubi-tubi di perut. Kakinya aku pengkes dan dia terjatuh. Lelaki yang dikenali sebagai Syamil ini mengerang kesakitan. Aku menedang-nendang wajahnya yang acah kacak itu.

“Hoi! Tolong aku! Bodoh punya bodyguard!” marah Syamil.

Lelaki yang pada mulanya digelar driver kini digelar bodyguard pula. Wow! 2 in 1. Driver and bodyguard.

“Cik! Bawa mengucap,” katanya sambil merangkul pinggangku yang kini bertindak liar.

“Lepas!!” aku meronta-ronta.

Rangkulannya terlepas dan aku terus menerkam Syamil. Aku menyepak, memijak dan meludah Syamil. Tak cukup dengan itu, aku menumbuk dan mencekek dia.

“Stop!! Stop it and stop being crazy! That enough!” marah lelaki bodyguard ini.

“Lepaslah bodoh!” aku meronta-ronta dalam rangkulannya.

Badanku terangkat sedikit. Kakiku menendang-nendang. Aku cuba meleraikan rangkulannya dari belakang ini tetapi tidak berjaya. Huh! Diceithful way! Aku merabanya. Aku menyentuh pehanya dan tanganku merayap. Pantas dia meleraikan rangkulan. Aku jahat, lebih banyak cara kotor dari cara baik yang aku selalu guna.

“I said enough!!” marahnya.

Langkahku untuk menghampiri Syamil terhenti. Damn! Kenapa aku stop! No one have stopped me. Tiada siapa boleh hentikan aku bila aku dan mula ‘bertindak’.

“Kita bawak dia pergi hospital! Aku rasa otak dia bergegar, tu yang dia gila ni,” kata Syamil.

Aku ditarik masuk ke tempat sebelah pemandu manakala Syamil duduk di tempat duduk penumpang di belakang. Aku terus agresif dan ingin mencekau Syamil dibelakang. Lelaki bodyguard ini lebih pantas. Dia menarik tanganku.

“Sial!!” jeritku.

Tanganku diikat dengan tali pinggang keselamatan. Kemudian, entah macam mana dia buat, tubuhku tersandar kaku dan tak dapat bergerak kerana diikat bersama dengan kerusi. Aku meronta-ronta.

“Lebih baik duduk diam atau tangan tu melecet nanti,” kata bodyguard.

“Kau tak payah cakap lembut sangat dengan perempuan ni. Cepat bawak kereta tu. Aku dah sakit sangat ni!!” Syamil mengerang di belakang.

---------------------------------------

“Doktor kata tak ada gegaran dekat kepala cik. Cik pun tak gila tapi kenapa cik serang tuan saya?” tanya bodyguard.

“Tu kerja aku. kau tak payah tahu!” aku terbaring di katil hospital sambil memejamkan mata.

“Dia tuan saya dan saya kena tahu. Saya ditugaskan untuk menjaga keselamatan dia”.

“Bukk!!” aku memukul bantal ke wajahnya.

“Shut up! I need some rest!” aku kembali memejamkan mata.

Terasa ada tangan mengangkat sedikit kepalaku lalu bantal disorongkan. Such a charm! Aku terdengar bunyi kerusi bergerak. Aku tahu yang lelaki bodyguard ni nak blah. Pantas aku mengapai tangannya.

“Huh?” dia hairan.

“Don’t leave me alone,” mataku masih tidak dibuka.

Dia kembali duduk. Tangan aku lepaskan. This is not me! Why I act like this. Memalukan. Nampak sangat yang aku ni lemah. Aku tak perlukan sesiapa! Tapi aku tak boleh bila lelaki ni menjauh. Aku tak kenal pun dia tapi ada aura yang menarik aku untuk sentiasa bersama dia. Love? Hahahaha!! Damn it! Aku tak percaya perkara-perkara macam tu akan berlaku dekat aku. Love wujud tapi bukan untuk aku. Even untuk kelahiran seterusnya pun aku tak akan memelih ‘love’ untuk teman perjalanan hidup aku.

“Laura!” panggil satu suara.

Shit! Macam mana papa boleh ada dekat sini?! Aku buka mata dan bangun perlahan-lahan dari pembaringan. Aku lihat lelaki bodyguard sedang menyalami papa. Worst! Aku turun dari katil dan menghampiri mereka.

“Tuan, saya mintak maaf sebab dah terlanggar anak tuan,” lelaki bodyguard nampak serba salah

Kaca matanya tetap tersarung. Juling ke apa mamat ni?

“Dan anak tuan juga kena mintak maaf pada majikan saya”.

“Betul tu!” kebetulan Syamil muncul.

Aku yang berada di sebelah lelaki bodyguard terus melangkah ke Syamil yang wajahnya telah hancur.

“Huhh!!” regusku apabila tangan lelaki bodyguard menghalang laluanku.

“Saya mintak maaf sebab dah ikat tangan anak tuan. Dia bertindak agresif”.

“Fuck up! Get lose from my way!” makiku.

“Language young lady,” tegurnya.

“Huh! Go die with my language!”

“Laura!!” papa melempangku.

Mataku terpejam menunggu tangan papa singgah di pipiku tetapi, tiada. Perlahan-lahan aku mencelikkan mata. Tangan papa di tahan oleh lelaki bodyguard.

“Sorry sir, but this is not the way how to teach your child. I mean your daughter,” katanya pada papa.

Aku melangkah ke Syamil.

“Kau jangan dekat! kalau tak aku saman kau!!” Syamil ketakutan,

“Dasar pondan! Kalau kau saman aku. sampai mati aku kerjakan kau!!” aku, gadis cantik berwajah begis.

“Okay! Okay! Aku tak saman! Tapi jangan apa-apakan aku!” dia ketakutan.

“Hahahaha!!” aku ketawa mengekek.

“Laura,” papa terkejut dengan keadaan aku.

Ya, papa tak pernah nampak aku bertindak gila macam ni. Aku anak papa tapi papa tak tahu siapa aku. Papa cuma tahu penuhi kebendaan aku.

“Huh?” aku menoleh ke belakang apabila ada tangan yang memegang lenganku.

“Stop hurting my boss,” katanya.

“Aku pecat kau!” kata Syamil.

“Huh!” aku tersenyum sinis.

“Even he no longer my boss, that doesn’t mean that you can hurt people,” pujuknya lagi.

“Lepaslah bodoh!” aku menarik-narik lenganku.

Aku mengacah ingin menciumnya lalu dia pantas mengelak dan pengangannya terlepas. Aku pantas berlari ingin menerpa Syamil. Damn! Lelaki bodyguard ni lebih pantas! Pinggangku dirangkul dan tubuhku diangkat sedikit supaya kakiku tidak terpijak lantai. Aku memukul-mukul lengannya. Kakiku menendang-nendang. Koyak jugaklah kain kurungku. Who care! Huh! Aku balaskan dendam untuk Jelita dan sekaligus aku melepaskan geram.

-----------------------------------------------

“Laura Merdyna! Are you hear me?” tegur papa.

Papa datang ke hospital by his own, so papa yang memandu and aku terpaksa duduk sebelah dia. Aku nak duduk belakang tadi tapi kena marah. ‘Papa bukan driver Laura’.

“Yes,” jawabku malas sambil memandang ke luar tingkap.

“Apa yang Laura dah buat?!” marahnya.

“Laura belasah orang,” jawabku hambar.

“Berani ya Laura! Since when Laura jadi macam ni?!! Bla bla bla-”

Suara papa terus hilang. I mean, aku pekakkan telinga. Lelaki bodyguard tu macam aku pernah nampak. Lupa pulak nak tanya nama dia. Kenapa aku rasa macam hangat ja bila dengan dia. Hangat dan selesa. Aku pernah rasa benda macam tu sekali tapi rasa tu dah lama mati. Lelaki bodyguard tu kena pecat sebab aku. Macam manalah dia agaknya sekarang ni? Since when aku dah pandai rasa serba salah ni? Argh!! Fuck!

“Turun Laura, kita dah sampai,” kata papa.

Aku melangkah ke luar kereta. Pantas aku melangkah ke bilik. Pintu bilik aku kunci. Penghawa dingin aku hidupkan. Aku membawa langkah kaki ke bilik air. Badan aku dah lekit. Satu persatu pakaian aku tanggalkan. Paip air aku buka dan air memenuhi tab mandi. Aku berendam. Badan aku rendahkan sehingga air berada di bawah hidung. Haaaa! Leganya dapat rehat.

Hidup bukan pilihan. Bayi dari syurga menangis bila dia lahir ke dunia sebab hidup di dunia bukan pilihan. Dunia ni jahat, kejam dan jenayah merata. Hati tak sepatutnya wujud. Hati tak patut berada dalam badan manusia. Kewujudan hati hanya untuk merasa sakit. Perjalanan hidup lebih baik tanpa hati. Hati yang membuatkan kita merasa. Aku tak mahu ada hati! Kenapa Tuhan cipta hati? Kenapa?!

“Cik Laura! Tuan nak jumpa!” jerit Bik Senah.

“Urgh!” aku merengus.

Perlahan-lahan aku bangun dari tab mandi. Ni mesti nak membebel lagi latu. Bosannya lahai hidup macam ni. But, getting scold better than die. At least, Tuan Shirotani takkan bunuh aku. Aku melangkah ke wardrobe. Aku memilih baju berkolar besar dan labuh paras peha dan di padankan seluar skinny paras bawah lutut. Rambut aku biarkan lepas. Tanpa menutup penghawa dingin, aku terus berlalu ke luar.

“Tump! Tump! Tump!” aku mendaki turun tangga.

Kakiku melangkah ke pejabat mini papa.

“Damn! What this asshole doing here?!” aku terperanjat.

Aku lihat lelaki bodyguard sedang berdiri mebelakangkan aku. I mean, dia sedang menghadap papa. Dia menoleh aku dengan muka tanpa riak. Dia mengenakan pakaian formal. Kemeja putih, kod hitam, tali leher hitam, seluar slack hitam dan cermin mata hitam. Dah malam kot, nak juga pakai spec. Oh ya! Dia still terbawa-bawa dengan kerjaya dia as bodyguard. Poor guy!

“Language!” papa berkata keras.

Aku melangkah menghampiri lelaki bodyguard. Aku memandangnya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Urgh! I rolled my eye.

“Keep rolling your eyes, maybe you find your brain back there,” katanya selamba.

“Fuck! I’ve brain okay!” aku mula melenting.

“Then, why don’t you use it properly?” dia tidak memandang aku.

Berani betul dia tak pandang aku bila bercakap!

“Sial! Aku guna otak aku dengan baik! Kau apa hal nak cakap macam tu?!” aku menolak dia supaya berhadapan dengan aku.

“Kalau cik guna dengan baik. Kenapa cik tak berfikir sebelum bercakap? Using bad words. It that make you seem cool? Using word such as fuck, sial. What that for?” dia menghadapku.

Auch! Ego aku tercabar!

“That not your business!” marahku.

“You know what, miss? Those word are suitable for people who are worst, who are scare and hide it with that words,” wajahnya cool.

Dush! Dush! Auch! It hurt!

“Argh! Go die!” aku terus duduk di sofa.

“That enough!” kata papa.

Papa melangkah ke sofa dan duduk berhadapan denganku. Papa mempelawa lelaki bodyguard duduk. Urgh! Asal papa suruh dia duduk sebelah aku ni?!

“Maaf tuan. Saya bercakap kasar dengan anak tuan,” katanya.

Urgh! Such an idiot formal guy!

“It okay. That what I want,” papa menyemak beberapa helai kertas.

“Ada apa sebenarnya ni papa?” aku menguap.

“Memandangkan kamu berdua tak boleh berkenalan dengan cara normal, biar papa yang tolong. Okay, this is Laura Merdyna, my one and only daughter. This is Haries, your bodyguard-”.

“WHAT?!” aku pantas berdiri.

“Yes, your bodyguard,” papa tersenyum.

“No need papa! I can take care of myself,” aku berkata tegas.

Is this a carma? Aku dah buat dia hilang pekerjaan then dia datang sini nak balas dendam?

“Papa tahu Laura boleh jaga diri dan terlebih boleh jaga diri. So, papa upah Haries bukan untuk protect Laura but untuk kawal Laura. Papa rasa cuma ni ja cara yang boleh buat kamu terkawal,” papa berpeluk tubuh.

“Papa! Laura terkawal okay! Laura janji Laura jaga attitude! No need him!” aku menjeling Haries.

“Papa takkan termakan lagi dengan janji palsu kamu tu. From now on, papa beri kebenaran kepada Haries untuk guna pelbagai cara supaya kamu terkawal. Even cara kasar sekalipun sebab kamu tu tak terkawal! Papa tak tahu macam mana nak kawal kamu lagi. Degil! Keras kepala!” papa memandang aku serius.

“Fine! Laura akan buat dia sendiri yang nak letak jawatan,” aku terus bangun dan melangkah ke luar.

“Tump!! Tump!! Tump!!” aku menghentak-hentak kaki semasa mendaki tangga.

Fuck this day!

-------------------------------------------

Haries’s POV

“So, how? Kamu okay dengan kerja kamu? Kamu rasa kamu boleh kawal anak saya?” tanya papa Laura.

“Ya, saya boleh tuan,” kataku yakin.

“Good! But, saya bukan sahaja nak kamu kawal anak saya. Saya nak kamu jadi mata-mata saya,” dia mengurut dahi.

“Mata-mata?” aku hairan.

“Saya tak sedar sejak bila tapi ada sesuatu yang pelik berlaku. Anak saya menjadi liar dan ada masalah attitude. Dia selalu menghilang dan we have no idea where she have been. Kalau kami pergi dinner bertiga, akan ada mata-mata yang memerhati. Mula-mula saya biarkan aja cause I think, no wonderlah, my daughter is pretty. But, one day, kami kena ekor dengan orang-orang jahat,” kata-katanya terhenti.

“Mungkin mereka nak duit?” aku membuat andaian.

“Saya pun ingat macam tu tapi tak. They want Laura. And I don’t know if Laura perasan atau tidak but saya nampak Laura buat isyarat mata. Then, all of them leave us. Saya takut kalau anak saya tu terlibat dengan gangster,” dahinya berkerut risau.

“Tuan ada nampak tanda-tanda yang dia tu gangster?” tanyaku.

She is too pretty to be a gangster.

“Tak ada pula. Kalau macam maki-maki tu adalah jugak. Pukul orang tu adalah juga but selalunya yang dia pukul budak-budak nakal dekat sekolah. Kalau yang tu memang patut pun dia act like that. Tapi hari ni, for the first time, saya nampak dengan mata kepala saya sendiri macam mana Laura belasah orang. And.. And kalini dia bertindak sangat agresif. Sangat tak terkawal. Saya dah tak kenal anak saya sendiri,” mata tuanya berair.

“If that case, izinkin saya untuk membuat tindakkan kepada anak tuan,” kataku tegas.

“Ya, saya benarkan. Buatlah apa cara sekalipun. Siasat anak saya tu,” dia memandangku tegas.

“Tapi tuan, kebenaran yang saya mintak ni lain. Saya mungkin bertindak kasar. Anak tuan bukan remaja perempuan yang biasa. Dia licik dan liar. Dia handal berlawan,” aku menanggalkan kaca mata.

“Maksud kamu?” dia bersandar pada sofa.

“Dia pernah menyerang bekas majikan saya. Cara dia serang bukan membuta tuli. Dia ada teknik berlawan yang handal. Mungkin kerana dia seorang perempuan, maka kekuatan dia terbatas tapi akal dia panjang. Mungkin saya pun boleh tersungkur kalau tidak berhati-hati. Dia bijak. Dia nampak macam dah biasa berlawan. Serangan dia terkawal dan menyakitkan. Dia nampak macam seorang yang terlatih,” aku membuat kesimpulan.

“Hurm!! That sound like not my little girl anymore. Baiklah, saya izinkan kamu buat apa aja dekat anak saya. Even dia tercalar sekalipun but jangan sampai nyawa anak saya yang kamu bermain. Saya tak nak sampai dia tersasar jalan. Saya nak kamu hentikan anak saya dari menjadi ganas dan buas,” dia memandangku penuh pengharapan.

“Tuan boleh harapkan saya,” aku tegas dengan pendirianku.

--------------------------------------------

Laura’s POV

Kedengaran ada tapak kaki sedang mendekati bilik aku.

“Squeskkk!” pintu bilik dibuka perlahan.

Aku menoleh dan aku nampak Haries memasuki bilik tidur aku.

“Get out from here! Pervert!” aku melempar bantal ke dia.

“Mulai sekarang saya akan jaga cik,” dia berdiri tegak di sebelah pintu bilik.

Aku yang sedang duduk di katil terkedu.

“Saya akan jaga cik”.

“Fuck up! I don’t need you!” aku memandang dia begis.

“Papa cik yang bayar gaji saya, which it mean saya takkan dengar arahan dari cik,” wajahnya tidak beriak.

“Urgh!!” aku terus rebahkan diri.

Lampu bilik yang terpasang membuatkan aku boleh nampak jam dengan jelas. 10.00p.m.. Awal lagi, macam-macam aku boleh buat tapi selagi Haries ade dekat sini mood aku akan rosak. Aku lihat dia setia berdiri di tepi pintu bilik. Pintu bilik telah pun ditutup. Awkward! Aku teringin nak tengok wajah dia tanpa kaca mata. I think, it can be more handsome without that spec. Damn! What wrong with me! Better I go to sleep. Perlahan-lahan aku memejamkan mata. Sleep this early, that is not me.

Puas aku berpusing-pusing bawah comforter tapi aku tetap tak boleh tidur. Aku menoleh jam, 1.02 a.m. Aku menoleh pula Haries. What the! Dia still setia diri depan pintu tu. Tak penat ke apa dia ni. Manusia ke robot dia ni? Kalau robot pun, no wonderlah sebab muka dia sentiasa tak beriak.

“Hei!” aku bangun dari pembaringan.

“Yes miss! Is that any problem?” jawabnya.

“Sampai bila kau nak diri dekat situ. Pergi duduk sana!” aku menunjuk meja belajar aku.

“Thank but no thank, miss. Im on my duty,” dia berdiri tegak.

“Duty tak duty. Kau duduk jelah situ, aku tak selesa bila kau diri depan pintu,” aku mula angin.

Huh! Orang dah simpati dekat dia pun nak banyak songeh lagi.

“Baiklah cik,” dia mula melangkah.

“Wait! Tutup lampu. Aku tak boleh tidur bila lampu terbuka,” arahku.

Dia menekan suis dan bilik serta merta gelap. Lampu tidur aku pasang. Aku tak boleh tidur dalam terang dan aku juga takut bila tidur dalam gelap gelita. That why wujudnya lampu tidur. Aku menjengah Haries. Dia duduk berpeluk tubuh sambil memerhatikan aku. Urgh! Scary! Aku terus membungkus satu badan.

Aku berpusing ke kiri. Penat ke kiri, aku ke kanan. Susahnya nak tidur! Urgh! Rimas pula dalam comforter ni. Aku menarik comforter yang menutupi kepalaku.

“Haaaaa!” aku menghela nafas panjang.

Aku mengapai hand phone yang berada di atas meja kecil sebelah katil. 3.00 a.m. . Aku menoleh Haries. Dia baringkan kepalanya di atas lengan kanan. Aku ketawa kecil. On duty but you still a human that need some rest. Aku menolak comforter dan turun dari katil. Aku menghampiri Haries. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dengkuran halus kedengaran.

Cahaya bulan yang menebusi pintu balkoni memudahkan aku nampak figuranya. What a handsome guy. Kodnya di sangkut pada kerusi, lengan kemeja putihnya di lipat sehingga paras siku. Rambutnya sedikit serabut. Butang bajunya yang atas sekali terbuka menampakkan t-shirt hitam di dalam. Tali leher dan spec hitam di letakkan di atas meja.

“Badump! Badump! Badump!” jantung aku bit fast.

Urh! My heart doesn’t work well! Perlahan-lahan tangan aku menyentuh pipinya.

‘Love at the first sight ha?Hahaha’

Hati aku ketawa mengejek.

‘No im not! You stupid!’

Aku melutut di depannya. Aku meletakkan kepala di ribanya. Hmm! Selesa. Aku berteleku di pangkuannya. Tangan kirinya aku genggam. Puas bermain dengan tangan kirinya, aku letakkan di atas kepalaku. Hmm! Rasa macam tengah baring bawah pokok pada musim luruh. Nyaman dan damai. Aku rasa selamat. It that too early to trust people?

-------------------------------------

Haries’s POV

Aku terbangun apabila kaki aku terasa lenguh. Terperanjat aku apabila lihat anak majikanku sedang tidur di riba aku. Tangan kiri aku pula memegang kepalanya. Aku menguis rambut yang menutup sebahagian wajahnya. Aku teringin nak menyentuh rambutnya. Rambutnya cantik. Lurus tapi sedikit beralun. Aku teringin nak sentuhnya macam kali pertama kami berjumpa pagi tadi. Aku teringin tapi aku tak boleh. Tugas aku untuk kawal dia, bukan ambil kesempatan.

Aku mengambil langkah dengan berhati-hati. Perlahan-lahan aku mencempung dia. Tubuhnya aku baringkan ke katil. Comforter aku tarik menyelimutkan tubuhnya. Aku duduk di sebelah pembaringan dia.

“Perfect,” bisikku.

She is too perfect. Alis mata yang tajam. Mata hitam yang besar. Kulit yang halus dan putih jambu. Rambut yang panjang. Aku pantas bangun dan kembali ke kerusi. Aku tak boleh perhatikan dia terlalu lama. Iman aku goyang. Nafsu aku bergoncang.

“Phuuuu!” aku menghembus nafas menenangkan rasa yang berkocak di hati.

Aku meletakkan tapak tangan ke dada dan beristighfar. Dia cantik tapi tuturnya menutup kecantikkan dia. Kalau aku terselisih dengan dia sebelum kejadian pagi tu, mesti aku ingat dia ni gadis lemah lembut dan sopan. Yeah! White people said, don’t judge the book by his cover. Aku menyentuh bibirku.

“Hahah,” aku ketawa kecil.

And she is little bit crazy. I have no idea why she kiss me. Masa tu aku rasa macam terlanggar bidadari then she kiss me.

“Astaghfirullahalazim!” aku pantas menyapu muka.

“No! Haa! Haa! Haa!” Laura meronta-ronta dalam tidur.

Aku bingkas mendekati dia. Dahinya berpeluh. Tuturnya meracau-racau. Tangannya mencengkam cadar katil.Nightmare. Aku menyentuh dahinya sambil duduk di sebelah dia.

“Shhh!” aku cuba menenangkan dia.

“He… Help!” suaranya tersekat-sekat.

Aku megenggam tangan kirinya. Pantas dia terus baring mengiring ke kiri sambil memeluk tangan kiriku. Tangan kananku pula menyentuh kepalanya lembut. Bibir aku berdesik-desik membaca beberapa surah untuk menenangkan Laura. Tindakkan aku berjaya apabila tiada pergerakkan lagi yang dibuat oleh Laura.

Agaknya, apalah yang dia mimpikan? Aku menarik lenganku dari pelukannya. Tanganku makin kuat digenggam. Bibirnya merengek-rengek. Aku yang separuh berdiri, duduk semula. Mataku tak lengkang dari memandang dia. Aku merebahkan kepala di katilnya.

Laura Merdyna….

------------------------

Laura’s POV

Aku mengeliat sebelum terkebil-kebil membuka mata. Aku terasa sebelah kiri pembaringan aku macam ada sesuatu. Aku menoleh dan aku terkejut. Aku lihat tangan aku megenggam tangan Haries. Agaknya aku ngigau then aku pegang tangan dia. That why dia stuck dekat sini. Hahaha! Perlahan-lahan aku melepaskan tangannya dan merangkak turun dari katil. Terasa ada pergerakkan di katil membuatkan dia tersedar. Dia bangun sambil menggosok-gosok matanya. Comel!

“Cik, maaf saya terlelap dekat sini,” dia memandang aku dengan muka half awake.

Argh! Stupid formal guy with cute face like hell.

“It sokay,” aku membalas pandangannya.

Lampu tidur membolehkan aku lihat wajahnya dengan jelas. Eh? Ada something pada wajahnya yang membuatkan aku tertarik. Aku menyarap atas katil bagi mendekatkan wajah kami. Dia pantas memalingkan wajahnya ke sisi.

“Cik, ada apa-apa yang saya boleh bantu?” tanya dia.

Aku tak suka bila orang bercakap tapi tak pandang muka aku.

“Look at me,” arahku.

“I can’t,” katanya.

Aku mengerutkan dahi.

“Why?!” aku mula berangin.

“Your collar,” aku menoleh ke kolar bajuku.

Hahaha! Rupanya kolar baju aku besar then bila aku menyarap macam ni. I look damn sexy! Aku menongkat dagu dengan tangan kiriku di atas katil dan kaki aku yang d tutupi seluar pendek, aku naikkan dan aku silangkan. Tangan kanan aku menarik dagunya.

“Look at me,” panggil aku menggoda.

Dia memandang mataku tepat. Takutlah tu kalau terpandang tempat lain. Hahahaha!

“Miss, is there any problem?” dia mengerutkan dahi.

“The hell! Your eye,” tangan kananku menyentuh mata kirinya.

Bila ingat balik, he has pure English. English dia tak dengar macam orang melayu yang sebut.

“What wrong miss?” matanya masih tertancap ke mataku.

“True name. What your true name?” tanyaku.

“Haries Erwin bin Ghaffar Smith,” suaranya kedengaran macam mendayu-dayu di telingaku.

Matanya biru.

“With people,” kataku seakan berbisik.

“No longer,” katanya.

Aku menarik dagunya sedikit. Perlahan-lahan aku mendekatkan bibirku.

“I will not let it happen again,” penuh tapak tangannya menolak wajahku.

“Argh! Damn!” aku menumbuk katil.

Haries bangun dari duduknya. Dia mengemas barangnya yang berada di meja belajarku lalu keluar dari bilik ni. Tak guna betul Haries ni. Aku tak pernah gagal dalam menggoda orang. Betul-betul mencabar Haries ni. Kita tengok siapa yang tewas nanti! Hahahaha! Kau belum kenal siapa aku. As I said before, once people know the true me, they will regret it.

Aku bangun dan berlalu ke bilik mandi. Sebelum aku masuk ke bilik mandi, aku menjeling jam. 5.00 a.m. Dua jam aja aku tidur. Aku ada masalah nak tidur. Aku menghidupkan suis lampu dan kemudian aku masuk ke bilik air. Pili air aku buka dan memenuhi tab mandi. Urgh!! Sejuknya. Pakaian aku tanggalkan satu persatu. Aku masuk ke dalam tab mandi.

“Fufufu! Sejuknya,” meremang romaku.

Seperti biasa. Aku merendamkan diri sehingga paras bawah hidung. Aku kini sebati dengan kesejukan air. Tanganku bermain-main dengan air. Haries Erwin bin Ghaffar Smith. Patutlah asyik pakai spec aja. Takut orang tahu yang dia white people. Macam dalam mimpi yang aku ni ada bodyguard. Paling lawak, guard aku dari bahayakan orang dan diri. Selalunya tugas boduguard ni kawal keselamatan majikan dia.

“Splash!” aku memukul permukaan air kerana tiba-tiba perasaan geram dan marah bertandang dalam diri.

Bukan niat aku nak bahayakan orang. Aku pun tak suka kotorkan tangan aku dengan kerja-kerja macam ni. Aku terpaksa bahayakan nyawa orang atau aku yang berada dalam bahaya. Pilihan di tangan aku cuma ada dua. Ikut dan laksanakan arahan mereka sebagai senjata hidup atau lari dan diancam mati sebagai seorang yang bermaruah.

“Kalau kau ikut arahan aku, aku takkan sentuh keluarga kau. Aku akan limpahkan segala kemewahan aku pada kau. Aku akan naikkan nama kau sehingga di kenali dunia. Tapi kalau kau langgar arahan aku, satu persatu orang yang kau sayang aku akan bunuh! Ingat! Aku sentiasa perhatikan kau. Kau tak boleh terlepas dari aku.”- Tuan Shirotani.

Sial! Macam manalah aku boleh terjebak dengan Tuan Shirotani! Aku pernah laksanakan arahan dia. Aku belasah budak sampai rusuk dia patah dan usus dia lebam. Dan Tuan Shirotani be like…..

“Well! Well! Welcome to our family. Guys, kita ada family baru. Ucap tahniah kepada dia. Even she is amateur but she work so well!. From now on, this is your new family!”-Tuan Shirotani.

Like a fuck man! Aku nak keluarga yang sempurna. Bukan yang gila harta dan bukan yang kaki pukul. Cukuplah keluarga yang normal, yang sentiasa ada masa untuk aku. Yang sentiasa…..

“Tuk! Tuk! Tuk!”

“Miss, why you take a bath too long? Come out or I’ll break the door,” Haries kedengaran risau.

“Urgh!” regusku.

Aku keluar dari tab mandi. Tuala aku capai dan aku balut ke tubuh. Aku pergi ke sinki dan mencuci muka selepas gosok gigi. Aku memandang mukaku di cermin sekilas sebelum menuju ke pintu.

“Tuk! Tuk!” pintu di ketuk.

“Hish! Nak keluarlah ni!” regusku.

Aku terperanjat kerana Haries betul-betul berada di depan pintu. Pantas dia mengundur. Aku lihat dia blushing. Perasan yang aku lihat dia, dia terus menoleh tempat lain. Aku tersenyum sinis. Dia pula yang blushing tengok aku half naked. Berkemban dengan tuala aja. Aku pergi ke wardrobe dan mencari pakaian sukan. Aku lihat jam pukul 6.00 a.m. Satu jam aku dalam bilik mandi.

“Cik, kenapa bahu kanan cik tu,” Haries memandangku

Kali ni dia tak pakai cermin mata. I’m totally right! He look more handsome!

“Tattoo,” jawabku hambar.

Aku benci dengan tattoo yang berbentuk bulan sabit yang kena panah ni. Tattoo ni melambangkan yang aku ni sebahagian dari keluarga Tuan Shirotani. Damn! Tattoo yang diukir pada besi. Besi tu dipanaskan dan dicopnya pada bahu kanan aku. Sial! Sumpah sakit!

“Macam mana ci-”

Ayatnya terhenti kerana aku tiba-tiba meleraikan tuala. Aku tersenyum sinis. Aku lihat dia keluar dari bilik. Huh! That is not your fucking business! Aku memakai pakaian dan kemudian aku duduk di meja solek. Rambutku yang panjang, aku sikat. Aku gemar biarkan rambutku terurai even dekat sekolah sekalipun. Cikgu disiplin kata, kalau sesiapa yang tak bertudung kena ikat rambutnya bagi kemas. But, ada aku kesah?

Aku keluar dari bilik dan aku menuju ke dapur. Aku lihat Haries sedang membantu Bik Senah menghidang dan menyusun lauk di atas meja. Gulp! Kacaknya dia. Seluar slack dan tali leher hitam di padankan dengan vest hitam dan kemeja lengan panjang putih. Vest yang dipakainya membuatkan dia nampak lebih tough. Tak sado sangat tapi tough. Rambutnya yang agak panjang di tolak ke belakang. This is soo white people!

“Good morning miss!” tegurnya apabila sedar akan kehadiranku.

“Kenapa kamu berdiri aja dekat sini. Pergilah duduk sana,” sergah papa dari belakang.

“Hish papa ni! terkejut Laura,” aku membuat wajah masam.

“Have a seat,” Haries menarik kerusi untuk aku.

Aku duduk dan lihat dia yang sedang diri dekat sebelah aku. Tangannya lincah menyendukkan aku nasi goreng dan menuang air sirap. This is pervert! Mata aku tak lepas dari memandang dadanya yang bidang. Feel wanna hug him. Tiba-tiba dia hendak melangkah pergi. Pantas aku menggapai tangannya.

“Err.. Kau nak pergi mana,” aku malu dengan tindakkan aku.

Aku malu sebab ada papa. Kalau papa tak ada, aku rileks ja goda dia. Habis reputasi aku depan papa. Aku lihat papa dari ekor mataku. Papa hanya memandang kami sekilas.

“Dapur. Majikan dan pekerja tak boleh semeja masa makan,” Haries memandang lengannya yang dipegang aku.

“Fuck up! Bik Senah pun pekerja tapi dia makan semeja. Tak ada pula sampai nak menghalau makan dekat dapur. Siapa yang buat peraturan macam ni!” marahku.

“Papa,” jawab papa selamba.

“Urgh! Papa ni kuno. Biarlah Haries makan sini,” aku tak puas hati.

“Peraturan tetap peraturan,” papa tidak memandang aku.

“Fine, tapi tak ada peraturan yang majikan tak boleh join pekerja makan dekat dapur,” aku menganggkat pinggan dan cawanku.

“Laura! Papa gurau jelah. Hahaha!” papa dah tergelak.

Aku melihat Haries turut tergelak.

“Apa semua ni papa?” aku mula naik angin.

“Papa saja nak tengok kamu ni sombong ke tak. Papa bangga jugalah even papa besarkan kamu dengan harta tapi kamu tak riak,” papa tersenyum.

Bik Senah yang baru keluar dari dapur hanya tersenyum.

“Kau Haries! Sengaja nak kenakan akukan?” aku memandang dia dengan wajah marah.

“Maaf cik tapi saya memang nak ke dapur sebab nak basuh tangan,” Haries terus berlalu ke dapur sebelum sempat aku membuka mulut untuk memarahi dia lagi.

“Laura, kenapa kamu tak ikat rambut? Setahu papa….”

“Malas. Laura suka rambutnya lepas macam ni,” balasku.

Haries muncul dari dapur. Dia mengambil tempat di sebelahku. Aku memfokuskan tumpuan aku pada makanan.

“Ting! Krieek! Ting! Ting!” bunyi suduku berlaga dengan pinggan.

“Laura, cuba tertib sikit bila makan tu. Tengok Haries, senyap ja dia makan,” mama muncul dari belakangku.

“Hmm,” balasku acuh tak acuh.

“Mulai sekarang, Laura pergi sekolah Haries yang hantar,”kata papa.

“K,” aku malas nak beramah mesra dengan keluargaku.

Haries di sebelah telah selesai sarap. Dia membawa pinggan kotor ke dapur. Hilangnya ke dapur, aku terus bangkit dan meninggalkan ruang makan. Baki nasi goreng aku biarkan. Aku tak betah berlama dengan keluargaku. Aku masuk ke bilik untuk mengambil begku dan kemudian aku turun semula.

---------------------

“Perlu ke kau ikut aku sampai sekolah?” aku berpeluk tubuh di seat belakang.

“Saya bodyguard cik,” dia fokus dengan pemanduan.

“Apa kata kita buat perjanjian. Bila depan papa aja kau acah jadi bodyguard aku. Belakang papa kita buat haluan masing-masing,” aku cuba tawar menawar.

“Sound good but no thanks. Saya tak nak bergajikan hasil yang haram,” katanya straight.

“Fuck! Urh!” aku meregus.

Acah-acah amanah dengan kerjalah tu.

“Kita dah sampai cik,” katanya.

Kereta dihentikan. Dia keluar dari kereta dan membukakan pintu kereta untuk aku. keluar sahaja dari kereta, aku terus lari dan menghilangkan diri di kawasan sekolah. Sekolah ni besar, tak mungkin dia boleh jumpa aku. Aku melangkah ke kawasan kolan ikan. Aku bercadang nak ponteng waktu pertama kelas. Hahaha! Padan muka kau Haries. Pandai-pandailah kau bawa diri.

“Bizz! Bizz!” telefon di kocek seluar bergetar.

Ada panggilan. Dengan berat hati, aku menjawab panggilan tersebut.

“Moshi! Moshi!” suara si pemanggil kedengaran amat menggoda.

“Apahal call time macam ni?” aku menjawab sehabis dingin.

“Auch! Sayang, janganlah kasar sangat,” dia ketawa kecil.

“……….”

“Aku dengar kau belasah orang semalam? Good job my baby,” pujinya.

“Tuan Shirotani, straight to the point please,” damn I hate him!

“Gelojoh. I like,” dia ketawa berdekah.

Urgh! Macam pondan!

“Kalau tak ada apa-apa. Aku letak,” ugutku.

“Wait! Wait! Aku nak jumpa kau,” kini barulah dia bersuara macam seorang lelaki.

“Busy,” balasku acuh tak acuh.

“Huh! Busy? Kau lupa ke kau tengah cakap dengan siapa ni? Kalau aku cakap aku nak jumpa, kita tetap akan bertemu. Ingat! Jangan sesekali kau cuba nak lari sebab kau akan gagal. Orang-orang aku selalu perhatikan tindak tanduk kau! Listen carefully Laura. Once kau bunuh orang, aku akan lepaskan kau. I give you my word!” katanya tegas.

“Tuan tetap nak saya jadi orang jahat,” kataku tanpa perasaan.

Fuck up! Aku tak sekejam tu.

“Hahaha!” dia ketawa jahat.

Pantas talian aku matikan. Telefon aku off dan aku simpan semula ke dalam kocek seluar. Aku memandang jam tangan, satu masa pertama dah berlalu. I think, I should go now. Aku jalan sorang-sorang dekat koridor sekolah macam orang bodoh. Aku lihat kereta BMW 5series cantik terparking di kawasan parking guru. Shit! Aku ingat Haries dah blah.

Dengan lagak macam seorang pencuri, aku berlari-lari menuju ke kelas. Cepat! Cepat! Cepat! Sebelum Haries nampak aku! Sampai sahaja di depan pintu kelas, aku memandang kiri dan kanan. Memastikan diri tak diekori. Aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan cara mengundur.

“Laura, kenapa dengan kamu?” tanya cikgu.

“Shhh! Jangan sebut nama saya kuat-kuat. Ada orang jahat tengah cari saya,” aku menutup pintu kelas perlahan-lahan.

“Nama dia Haries ke?”

“A.ah. Eh?!” aku terasa macam ada sesuatu yang aneh.

“Cik!”

“Arghhhhh!” aku terkejut sampai tersandar dekat pintu kelas.

Satu kelas menggelakkan aku. Damn! Aku lihat Haries sedang duduk di meja di belakang kelas.

“Laura, dah lama sangat kami tunggu kamu ni. Cepatlah, Haries tak kenalkan diri lagi ni,” kata cikgu.

“Eh! Asal nak tunggu saya. Suruh jelah dia kenalkan diri,” aku melangkah ke tempat dudukku.

Sebelah tempat yang Haries duduk tu sebenarnya tempat aku.

“Okay, cikgu tahu banyak dikalangan kamu yang tertanya-tanya tentang kehadiran Haries. Papa Laura telah upah Haries untuk kawal keselamatan dia. Biasalah, anak billionaire ni banyak musuh yang perhati. Jadi cikgu nak mintak kerjasama kamu semua untuk jaga keselamatan Laura ya,” kata-kata cikgu membuatkan aku hairan.

“Huh! Big fat liar! Bukan kau diupah untuk kawal attitude aku ke?” aku tersenyum sinis.

“Cikgu! Dia ada musuh bukan sebab dia anak billionaire tapi sebab mulut dia tu jahat!” kata Nora.

“Kau nak mati ke hah?!!!” aku pantas berdiri.

Tangan aku dipegang Haries.

“Chill! Be mature, don’t let small matter disturb you,” Haries beriak tenang.

Aku duduk semula dan mata aku tak lepas memerhati Nora. Aku lihat Nora ketakutan. Bodoh! Kena tengking sikit tahu takut. Tadi bersuara acah berani. Aku memerhati Haries. Dia hanya memandang ke hadapan. Aku lihat ada mata-mata perempuan yang sesekali menjeling Haries. Ada yang berbisik-bisik. Tak tahu kenapa tapi aku rasa macam sakit hati sangat. Sebuk nak tengok Haries aku. Tampar sekor-sekor karang.

Atas meja aku tak sama macam pelajar lain. Meja mereka penuh dengan buku. Meja aku pula kosong. Kertas pun tak ada. Rugi betul papa habiskan duit tapi aku tak belajar. Tak apalah. Papa kaya. Mama pun kaya. Aku tak belajar pun harta dah menggunung tinggi.

Oleh kerana bosan, aku mengeluarkan sehelai kertas. Penuh satu kertas itu dengan perkataan bosan dan boring. Selama setengah jam aku menghabiskan masa dengan menulis karang yang berbunyi “bosan dan boring”. Aku menoleh sebelah melihat Haries. Dia berpeluk tubuh dan memejamkan mata. Tidur ke?

“Psst!” aku berbisik dengan budak depan.

“Hmm,” dia balas acuh tak acuh.

Tak guna!

“Woi! Dengarlah ni aku nak cakap!” aku bersuara keras.

Aku menendang-nendang kerusinya.

“Apa?” dia mula tak selesa.

“Mintak satu kertas lukisan kau,” kataku.

Budak lelaki depan aku ni suka melukis. That why bag dia sentiasa ada sketchbook.

“Nah,” dia menghulurkan kertasnya lalu aku mengucap terima kasih.

Aku mengasah pencil kayu dan sampahnya aku buang ke dalam meja. Aku memandang Haries. Aku memerhatikan setiap lekuk wajahnya. Matanya, hidupnya, pipinya, keningnya, bibirnya, dagunya dan gaya rambutnya.

“Katakanlah suatu hari nanti aku tersayang kau, apa aku perlu buat?”

Aku tersenyum dengan soalan hati yang aku anggap sangat bodoh. Tangan aku terus melakar potret Haries. Setiap lekuk yang aku lakar seakan jejariku sedang menyentuhnya. Segalanya sempurna. Hatinya cantik, figuranya perfect.

‘Wahai hati, kau tak boleh sayang dia tau. Semua benda yang kau sayang biasanya akan musnah. Kalau kau sayang dia, jangan sampai sesiapa tahu’.

Aku mengetap bibir. Aku akhiri lukisanku dengan tandatangan bertulis, “AI”.

“Weh! Jom Nora pergi padang”.

“Weh Dani! Cepatlah!”.

“Ayu! Kasut sukan baru siot”.

Aku yang sedang menyimpan lukisanku berasa jengkel. Pergi padang pun nak kecoh ke. Tapi kemudian, aku tertunduk. The true is, aku cemburu. Aku tak ada kawan. Tiada sesiapa yang hiraukan aku. I’m alone. Always al.....

“Laura,” panggil seseorang.

“Hmm,” aku mengawal riak.

“What wrong?” tanyanya risau.

“Nothing Haries,” aku terus bangun diikuti dia.

Kami menuju ke padang. Haries berdiri jauh memerhatikan aku yang bersendirian di sudut padang. Pelajar perempuan rancak bermain bola jaring. Buat pertama kalinya, aku rasa aku nak main sekali. But, mereka mesti tak suka dengan kehadiran aku. Aku ni garang dan perengus, no wonderlah orang tak suka aku.

Fikiranku kosong. Fizikal yang mengawal segalanya. Tanpa aku sedar, aku sedang berdiri di tengah padang bola jaring. Mereka yang tengah bermain terus terhenti dan tak faham dengan apa yang aku cuba buat. Semua mata memerhatikan aku. Aku tak pernah ada kawan. Aku tak tahu macam mana nak buat kawan.

“Aku.. Aku nak main sekali,” kataku.

Mataku sedikit pun tak memandang mereka.

“Huh! Tak ada siapa nak main dengan aku,” kata mereka.

“Aduh! Sial!” aku menoleh.

Apa kejadahnya ni?! Siapa yang baling bola belakang aku ni?

“Bukak kasut, saya tak bercadang nak main ikut peraturan”.

“Huh! Peraturan adalah untuk dilanggar,” aku mencampakkan kasutku ke tepi padang.

Aku memandang Haries sambil tersenyum. Dia berkaki ayam. Kot, tali leher, cermin mata dan kasutnya di letakkan di pondok berdekatan. Argh! Kacaknya dia! Kemeja yang butang atas sekali terbuka dipadankan dengan vest yang menampakkan lagi kesasaan tubuhnya. Pelajar perempuan semuanya duduk di tepi padang. Mereka yang tengah main tadi pun mengambil tempat di tepi padang.

“Hei!”.

“Auch!” aku menyambut bola yang dibalingnya.

Kuat dia baling ni. Main kasar eh!

“Is it hurt? Little baby?” dia tersenyum.

“Damn! You don’t know me!” aku terus membawa lari bola ke jaring.

Sukar untuk aku menjaringkan bola kerana dia berada rapat di belakangku. Bola aku lantun-lantunkan di tanah.

“Rapatnya, I can smell him!”

“Aduh!” dia mengadu kerana aku tolak sehingga jatuh.

Kesempatan yang ada, aku menjaringkan bola. Bola aku ambil lalu aku berdiri depan dia. Aku memandang dia dengan wajah yang belagak sambil menggosok sekali sahaja di bawah hidungku.

“Need some help?” aku menghulurkan tangan.

Dia menyambutnya. Aku menariknya bangun dan entah mana silapnya, bola ditangan dirampas. Tak guna! Aku lihat dia melantunkan bola sambil tersenyum padaku.

“My! My! He so hot!”

Aku merapatinya. Bola yang dilantun tadi terus dia pegang. Aku cuba merampasnya tetapi tak berjaya kerana dia menjulang bola itu tinggi. Ehem! Fine! Aku memang pendek sikit dari dia. Terjengkek-jengkek kakiku.

“This face looks like a little cat lose her momma. Hahaha!” dia tergelak.

Kurang asam betullah Haries ni!!

Dia berpusing ke belakangku. Belakang kami berlaga. Tangan kasarnya menolak belakangku. Aku hampir tersungkur jatuh. Aku memandangnya yang sedang tergelak itu dengan wajah yang masam. Tak guna!

Aku berlari ke arah dia yang sedang menjaringkan bola. Tanganya yang memegang bola aku tarik dan bola itu terjatuh. Dengan lincah, tangan kirinya menyambut bola yang jatuh. Aku baru ingin merampas tetapi tangan kanannya yang aku tarik itu lebih pantas melingkari perutku dan aku di tarik ke tepi. Aku meronta-ronta.

“Shitt!!!!” jeritku apabila dia berjaya menjaringkan bola.

“One to one,” dia tersenyum padaku.

“He being himself. How cute!”

‘Shut up! Kau boleh diam tak hati?!’

“Fight! Fight! Fight!” sorak semua orang.

“Huh! No rule, right?” aku tersenyum sinis.

“Yeah!” dia menguak rambutnya kebelakang.

“So, let see. Who the looser here!” aku melipat seluarku sehingga paras betis.

_________________________________________

Aku menolak rambut aku yang berada di bahu macam orang dalam iklan syampoo. Hahaha! I’m gorgeous okay! That why Haries tak berkelip tengok aku buat macam tu. Budak-budak lelaki sebuk bersorak-sorak macam kucing hilang anak. Huh! I hate boy and I dislike man. Wait, man depan aku ni masih dalam pertimbangan lagi.

“No seducing,” dia melantun bola ke aku.

“Hahaha! No rule, remember? I will seduce you until your nose bleed,” aku mengenyit mataku.

“Auwww!”

“Shut up! Fucker!” makiku kepada budak-budak lelaki yang sebuk bersorak-sorak.

Mereka terus senyap. Huh! Aku tak suka mereka.

“Someone got mad. Let make a deal,”dia bercekak pinggang.

Huh?! Deal? Dia ingat aku takut ke? Silap besar!

“Fine. Apa dealnya?” aku menghampirinya dengan senyuman menggoda.

“Siapa kalah, dia kena ikut cakap orang tu,” dia mengangkat keningnya sekilas.

“How long?”aku menyelak rambut yang kena tiup angin.

“A day,” Haries menghulur tanganya.

“Deal!” kami berjabat tangan.

“Fight!” sorak semua orang.

Aku tersenyum sinis dekat Haries. Okay Laura. Naughty time!! Aku menghulur bola pada Haries. Tanpa syak wasangka, dia mengambilnya. Pantas aku menepis bola itu jatuh manakala tangan kiri aku yang sudah sedia terus menyambut bola. Aku berpusing ke belakangnya. Belakang kami berlaga.

“Huh! Your copy me?” dia tergelak.

“Tak sepenuhnya copy, tapi pengubahsuaian,” kakiku menendang ke belakang.

Menendang pelipat di belakang lutut. Akibatnya, dia terjatuh.

“Hahahahah! Looser with capital L!,” aku membuat simbol L di dahi.

Satu jaringan and I am the winner!

“Too slow!” bisiknya yang entah bila dah ada dekat belakang.

Dia merampas bolaku yang baru sahaja hendak dijaringkan.

“Damn!” aku mengejarnya.

Dia belari-lari anak secara mengundur. Bibirnya tak lengkang dengan senyuman.

“Teacher!” riak mukaku terkejut.

Pantas dia berhenti dari berlari-lari anak dan menoleh ke belakang. Kesempatan yang ada, aku membengkes kakinya. Dia terjatuh menyarap. Dia memusingkan tubuhnya menelentang dan kakinya mengait belakang lututku. Akibatnya, aku jatuh ke tubuhnya.

“Wuuuu!” sorak yang lain.

Urgh! Semak!

“Looser with capital L,” Haries mengulang ayatku.

Aku pantas duduk di perutnya. Aku mencengkam kedua-dua pergelangan tangannya dan aku tarik ke atas. Tubuhku sedikit membongkok.

“Now, who the looser with capital L, huh? Hahahaha!” rambutku yang jatuh mengena pipinya.

“LSP!” mata Haries membulat terkejut.

“Huh?! LSP stand for what?” aku mengerutkan dahi.

“Laura Si Perogol!” matanya masih membulat.

Waaa! I never thought that this stupid formal guy can be this damn cute!

“Perogol? Aku cuma nak goda kau sampai hidung kau berdarah,” aku merapatkan lagi wajah kami.

“That enough!” wajahnya serius.

“Nuuu! We still don’t know the winner!” aku berwajah nakal.

Haries menolakku. Aku terus terbaring di sebelahnya. Dia bangun dan jaringkan bola.

“I win,” dia memandangku yang telah pun duduk.

“Ouh! My winner! I will be your good slave,” aku membuat muka kesian sambil merapatkan kedua-dua pergelangan tanganku seakan diikat.

“Apa cik mengarut ni?” muka Haries kemerahan.

“Hei, that a deal right?” aku masih memegang watak nakal.

“No! Dealnya, siapa yang kalah kena ikut semua cakap winner,” dia membetulkan rambutnya.

“Eeehhh? Bunyi macam sama aja,” aku membuat wajah lurus.

Semua pelajar bersurai apabila aku dan Haries berlalu pergi.

“Kenapa cik tengok saya macam tu?” dia tidak selesa kerana aku asyik merenungnya.

“So?”

“So?” tanya dia semula.

“The deal?” mataku tak lepas dari menilik wajahnya.

“Just forget it,” dia membasuh kakinya.

“Ish! Tak seronoklah macam ni. Kalau aku yang menang, macam-macam aku suruh kau buat. Such as, siapkan kerja sekolah aku ke, kerintingkan rambut aku ke, kiss aku ke”.

“Pervert!” katanya yang masih ralit memabasuh kakinya.

Aku duduk di sinki. Kakiku aku masukkan ke dalam sinki. Pili air aku hidupkan dan air mencurah ke kaki. Ehem! Ni sebenarnya sinki dekat kantin. Haries pula basuh kaki dekat paip yang berada dekat dengan padang. Sinki ni jauh sikit. Adalah dalam tiga depa. Tepat Haries basuh kaki tu memang disediakan untuk pelajar basuh kaki lepas main dekat padang. Bukan dekat sinki kantin. Hahahah!

“Haries, cakaplah apa dealnya,” kataku.

Aku menongkat dagu atas lutut. Kakiku bermain-main dengan air.

“Dealnya?” dia menutup paip.

Langkahnya di bawa menghampiriku. Tangannya merata-ratakan air ke kakiku. Membuang kotoran.

“A.ah. Deal. Cakap ja apa, aku tak kisah. Aku suka cabaran. Kau suruh aku lompat bangunan pun aku akan buat”.

“Ish, cik jangan mengarut,” Haries mengerutkan dahi.

Tangan kasarnya mengosok-gosok kakiku. Bagusnya, basuhkan kaki aku. Patutnya winner yang dapat layanan ni.

“Haries, mintaklah apa-apa,” aku meletakkan kepalaku di atas lutut.

Mataku ralit memandang dia yang sedang membasuh kaki aku. Kacak! Kemeja putihnya kotor terkena tanah. Lenganya dilipat sehingga paras siku. Wajahnya kelihatan sedang berfikir.

“Ermm… Saya mintak cik jawab semua soalan saya dengan jujur untuk satu hari ni”.

“Boleh!” jawabku pantas.

“Don’t too fast, miss,” dia tertawa kecil.

Gulp! Ya juga, jangan terlalu pantas. Mana tahu tiba-tiba dia tanya pasal Tuan Shirotani.

_______________________________________

Aku mengambil hand phone yang berada di dalam poket seluar. Aku hidupkan. Haries melihat perbuatanku sekilas. Tangannya sedang menyabun kakiku.

“What!” terkejutku melihat notification board.

“Kenapa cik?” Haries berwajah hairan.

“Kawan aku call”.

158 panggilan tidak berjawab. Aku menghidupkan wifi. Ada whatsapp dari Tuan Shirotani. Dia hantar gambar. Wowow! Janganlah dia hantar gambar tak senonoh dia dahlah. Aku download gambarnya.

Tubuhku serta merta menggigil. Lidahku terkelu. Tuan Shirotani hantar gambar aku tengah main bola jaring dengan Haries. Ni bahaya! Macam mana kalau ada apa-apa perkara buruk berlaku pada Haries?! Argh! Aku bodoh! Patutnya aku iakan aja bila Tuan Shirotani kata nak jumpa aku. Bahaya ni! Macam mana kalau dia tahu Haries ni bodyguard aku? Habislah nyawa Haries. Bodohnya aku!

“Cik!”

“Arghh!!”terkejutku apabila bahu disentuh.

“Cik okay tak? Cik sihat tak? Muka cik pucat je ni,” Haries menilik mukaku risau.

‘Awww! He so cute and handsome plus he care about you. That all woman need’.

‘Shut up! Stupid!’

“Haries Erwin. Can we go somewhere else?” aku melihatnya dengan muka penuh pengharapan.

“Classroom?” mukanya nampak lurus.

Urgh! Stupid cute guy.

“I mean, bukan dekat sekolah,”aku masih setia memandang dia.

Dia memandang wajah aku. Lama kami saling berpandangan. Aku tahu, dia mesti tengah cuba membaca pemikiran aku. Hahahaha! Kalau dia ada kuasa psikik, dah lama dia beritahu papa apa yang tak kena dengan aku sebenarnya.

“Okay”.

“Hurayy!!” pantas aku merangkul lehernya.

“Cik,” tubuhnya kaku.

“Thank you,” bisikku.

Tiba-tiba dia mencempung tubuh aku. Aku memandangnya hairan. Dah buang tebiat ke Haries ni? Tiba-tiba nak dukung aku.

“Kalau nak keluar sekolah, kita kena ada alasan yang munasabah. Sekarang cik pura-pura pengsan,” katanya bersahaja.

Aku tersenyum.

“Pandai juga kau ajar aku membohong,” kataku yang sedang memejamkan mata.

“Bukan bohong cik, tetapi helah,”sasa tubuhnya mencempung tubuhku.

Aku mencengkam baju di dadanya. Kepala aku sandarkan ke dadanya juga. Harumannya merangsang hormon wanitaku. Aku rasa selamat.

“Cik,” panggilnya.

“Hmmm…” aku masih memejamkan mata.

“Saya berpeluh”.

“Who care,” kataku perlahan.

Aku rasa seakan sedang mendaki tangga. Dia ke pejabat ke? Boleh jadi juga. Ermm? Suasana ni macam dalam bilik pengetua aja.

“Kenapa ni?” tanya pengetua.

Betullah ni bilik pengetua.

“Dia jatuh pengsan lepas sukan tadi. Saya nak bawa dia pergi klinik,” kata Haries agak kaku.

Hahaha! Dia memang tak pandai berlakon. Aku membuka mataku sekecil yang mungkin. Aku melihat wajahnya dari bawah. Tanpa sedar, aku tersenyum. He so honest in his action. Dia melangkah ke luar dari pejabat. Aku hanya mengosongkan minda. Aku tak kisah dia nak bawa aku ke mana sahaja. As long as dia ada, aku tak kisah. Hahahahaha! Cliché.

“Cik, kita dah dalam kereta,” kata Haries.

Aku rasa tubuh aku di masukkan ke dalam perut kereta di bahagian belakang. Tangan kiriku melingkar ke belakang badannya. Tangan kananku pula melingkar ke rusuk kirinya. Aku memeluknya dengan erat dan aku tak nak lepaskan.

“Let be like this for a while,” bisikku.

______________________________________

Haries’s POV

Lama Laura berada di ribaku sehingga aku rasa cengkamannya pada bajuku semakin longgar. Aku menunduk untuk melihat wajahnya. Secarik seyuman terlarik di bibirku. Dia dah tidur rupanya. Aku membaringkan dia lalu aku keluar. Pintu kereta aku tutup.

Aku melangkah ke kelasnya semula untuk mengambil begnya. Wajahnya takut sangat tadi. Macam ada sesuatu. Kalau tidak kerana wajahnya itu, dah tentu aku tak akan ikut cakap dia untuk ponteng sekolah. Tindakkan dia kadang kala sukar di baca. Aku masih tertanya-tanya, macam mana dia boleh jadi sekasar itu. Dia tak ada kawan dekat sekolah yang boleh pengaruh dia jadi nakal. Aku rasa macam ada sesuatu yang tak kena. Adakah ia ada kaitan dengan yang papa dia cakap? Laura terlibat dengan gangster? Tidak boleh dinafikan yang dia nakal tapi jauh di sudut hatinya, dia seorang wanita yang baik.

Aku melangkah semula ke kereta, aku lihat dia masih nyenyak tidur tapi ada peluh yang jatuh dari dahinya. Kesian, dia kepanasan. Pantas aku masuk ke dalam kereta lalu aku menghidupkan enjin. Pendingin hawaku hidupkan. Hmmm? Mana aku nak bawa dia ni?

Aku memandu kereta tanpa tujuan. Berpusing-pusing sekitar bandar. Hari nampak mendung. Mungkin hujan akan turun sekejap lagi. Laura di belakang masih nyenyak tidur. Agaknya dia tak boleh tidur kut malam tadi sebab ada aku. I should discus about this with her papa. Hmmm, poor girl. Even papa and mama dia kaya, tapi dia lonely.

“Haries. Haries Erwin,” panggil Laura.

Dah bangun rupanya.

“Ya cik,” jawabku.

“I’m sleepy,” katanya separuh mamai.

Dia meletakkan dagunya di bahuku. Doesn’t she know that I’m a man and she is a girl? Doesn’t she know that her act will turn me on? Oh God! She knows nothing!

“Go back to sleep then,” aku fokus dengan pemanduan.

“Hmm… Here, feel comfortable,” Laura memegang bahuku.

“Cik, kita berhenti sekejap. Saya nak tukar pakaian,” aku menghentikan kenderaan berdekatan dengan tandas awam.

“Eh? Macam mana kau ada baju spare?” dia menarik semula dagunya dari bahuku.

“Papa cik kata, cik suka main kotor,” aku masih tak keluar dari kereta.

“Ha?” dia merenungku.

“I mean, cik suka main kotor dan main cara kotor,” aku tidak memandangnya.

Aku tahu dia tak suka kalau aku tak pandang wajahnya bila bercakap. But, how come I can face her pretty face. My heart will bit fast.

“Ouh…..” dia menyandar semula ke belakang.

Aku keluar dari kereta lalu pintu kereta aku tutup. Langkah kakiku menuju ke tandas. Lalu sahaja di depan cermin di dalam tandas, aku terus menghentikan langkah aku. Aku menilik diri dari atas sehingga bawah. Aku ada rupa tapi harta membezakan aku dan dia. Hahahaha! Aku kena fokus! Aku tengah kerja sekarang.

Aku masuk ke salah satu bilik tandas lalu menyalin pakaian yang kotor. Seperti biasa, kemeja lengan panjang putih, tali leher dan seluar slack hitam. Formal adalah ciri-ciri kerjaya aku. Hmmmm. From now on, aku kena habiskan masa dengan Laura. Aku sedikit takut tapi turut juga teruja. Gila woi siapa yang tak suka bekerja dengan perempuan cantik macam Laura. Eermm… Cool Haries. Be mature.

Aku menilik diri sekilas di depan cermin sebelum berlalu ke luar. Agaknya lama sangat tak dia tunggu aku. Agaknya dia dah tertidur semula ke atau tengah maki-maki tunggu aku? Herm.. Complicated, susah nak ubah dia dari tak mencarut. Eh, dah gerimis halus. Kejap lagi hujan lebatlah ni. Eloklah, dah tiga hari tak hujan.

“Ya Allah! Apa yang cik buat ni?!!” aku terkejut melihat dia yang sedang duduk di bonet hadapan kereta.

Dia yang sedang melepaskan kapal terbang kertasnya turut terkejut tapi tak seterkejut aku yang melihat pakaiannya yang… yang… macam mana nak cakap ye. Dia hanya memakai kemeja lengan panjangku tapi lengannya tidak dibutang. Tali leher hitamku dipakai tapi diikat reben. Duduk bersilang kaki di bonet depan kereta sambil main kapal terbang kertas. Mujur bajuku besar, dia pakai sampai paras atas lutut. She looks damn sexy!

“What? I do nothing,” dia berwajah polos.

Rambutnya sedikit messy kerana ditiup angin sejuk. Hari nak hujan ni!

“Where your pant?!” aku menyimpan pakaian kotorku di boot kereta.

Pakaian bersihku bawa dua, jadi yang lagi satu tu Laura pakai.

“Basah, jatuh dalam tandas,” katanya selamba sambil mengoyakkan buku latihannya lalu membuat origami kapal terbang.

“You need to wear something before we buy a new one,” aku menariknya turun kereta.

“What the matter? No one see it. We can just stay in the car. Right?” dia memandang aku dengan wajah keanak-anakkan.

She never understands.

“But I see it,” aku menariknya menuju ke tandas perempuan.

Dia menarik lenganku. Langkah kami terhenti.

“Haries,” panggilnya.

“Yes miss,” aku tidak memandang wajahnya.

‘She too pretty’. Desis hatiku.

“Look at me!” dahinya berkerut.

Ya, dan dia betul-betul tak suka kalau aku tak pandang wajahnya bila bercakap.

“Yes miss,” aku memakukan pandangan kami.

“Describe one word about me,” dia tersenyum.

“Crazy,” kataku selamba.

“Hei! It should be sexy!” dia menarik muka.

Hahahah! Aku menahan diri dari tersenyum melihat dia yang sedang marah.

____________________________________________.