Tampilkan postingan dengan label Seandainya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seandainya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 Mei 2020

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.