Tampilkan postingan dengan label Jodoh PilihanMu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jodoh PilihanMu. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Adiba)

Teman-teman bilang aku pemilih. Jika bermain, aku lebih suka berkelompok dengan anak-anak pengusaha lain di sekolah. Padahal itu semua tidak benar. Justru merekalah yang mendekatiku, dan tanpa sadar kami jadi kelompok. Kami yang ke mana-mana selalu di antar supir, main di mall, shopping, belajar seperlunya banyak membuat iri anak-anak lain.

Namun demikian, kami bukanlah kumpulan gadis manja berotak kosong. Karna bagi kami, cerdas itu keren. Itu motto geng kami. Geng? iya, ditahun-tahun seperti sekarang ini, sudah hal yang sangat biasa jika anak-anak sekolahan memiliki kelompok yang disebut geng. Luar biasanya dari kami, selain cantik, gaul, dan anak pengusaha, kami juga selalu juara kelas di sekolah. Aku, Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari selalu peringkat 5 teratas disekolah. Tentu saja akulah yang selalu peringkat 1. Itu sebabnya teman-teman lain bilang, akulah Mommy Gengnya.

"Hai, lagi ngapain?"  Sapaku pada sosok cowok yang sedang mengikat tali sepatu di depan Musholla sekolah. "Habis sholat ya? Emang ada sholat jam segini?" Tanyaku berlanjut. Tapi sayang, cowok ini rupanya sedikit sombong. Namun justru itu yang membuatku tanpa sadar tertarik dengan sosoknya. Awalnya sih ngga seperti itu.

"Ih ditanya diem aja, boleh minta tolong gak. Keran di toilet cewek gak bisa ditutup. Airnya ngalir terus. Bisa tolong diliat ada masalah apa?". Tanyaku padanya lagi. Kebetulan toilet memang letaknya tidak jauh dari Musholla, dan malah kelihatan jelas dari sebrangnya.

"Kan sayang air bersih terbuang percuma jadinya."  Lanjutku kemudian. Tapi cowok ini super duper sombong. Dia terus saja terdiam. Kemudian dia bangkit setelah selesai mengikat tali sepatunya. Berjalan tanpa mempedulikanku. Tapi tiba-tiba, dia berhenti tepat di depan toilet wanita, kemudian sedikit berteriak ke arahku yang masih terdiam di depan Musholla karna merasa dicuekin.

"Hei ukhti, tolong jaga di depan sini. Supaya kalo ada yang mau masuk, ukhti bisa kasih tau saya agar saya segera keluar dulu."

Aku berlari kecil ke arahnya dengan senang. Karna ternyata dia bukan cuek, hanya...... mmm.... hanya apa ya? Kenapa juga dia begitu? Tadi cuek, tapi tiba-tiba mau bantu. Aneh.

"Ok, gue tunggu di sini. Tolong dicek ya. Mmmh, nama gue Adiba. Adiba Shakila. Lu boleh panggil gue Diba atau Shaki. Kayanya lu salah orang. Gue bukaaan..... siapa tadi lu panggil? Uti? Nama gue bukan Uti." Kataku sambil berdiri di ambang pintu toilet menunggunya mengecek keadaan keran air.

"Jadi ini keran cuma kurang dorongan. Di dorong sedikit, langsung nutup koq airnya. Ya sudah, sudah selesai. Saya permisi dulu."

"Ya ampun, ini laki-laki bener-bener yah. Sama sekali lho gak peduliin omongan gue. Bahkan dia salah panggil nama dan gak minta maaf. Hhhh.... apa-apaan sih. Baru kali ini ada cowok begitu ke gue. Kesel banget."

**********

"Dari mana aja loo?"  Kata Nadya sambil menyuap chiki yang sedang dipegangnya.

"Eh, lu tau gak cowok itu? Yang lagi berdiri di depan kasir?"  Tanyaku pada Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari. Kemudian mereka menengok berbarengan.

"Ooh Ibra. Kenallah. Dia kan terkenal. Ganteng, Pinter, Ketua Rohis, Ketua Ekskul Basket, dan cuek banget sama perempuan. Kata anak-anak yah, dia homo."  Jawab Nadiva sambil terus mengunyah cemilan yang sedari tadi Ia makan tak henti-henti.

"Eeeuuuuhhh....."  Jerit kami berempat mendengar jawaban Nadiva.

"Pantes aja tadi gue dicuekin abis. Gue Nad, gue.... masa sih dia gak nengok sama sekali diajak ngomong Adiba Shakila. Mana dia kagak tau nama gue, malah gue dipanggil uti. Dia pikir gue neneknya apah."

"Bhakakakakka.........". Nadya, Utami dan Tari tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Yang membuat mereka tertawa bukan karna si "Ibra" ini nyuekin aku. Tapi karna aku gagal paham dengan maksud panggilannya si Ibra tadi.

"Aduh Diiib, lu goblok banget sik. Dia itu kan yang muslim taat banget gitu yah. Maksudnya dia itu 'ukhti' bukan 'uti'. Ampun deh Miss Endonesah satu ini." Kata Nadiva menjelaskan kembali.

"Naaah itu tuh bener, tadi dia panggil gue ukhti ada ukh ukh nya gitu."

"Bhakakakakakaka...................."  Mereka berempat malah makin keras ketawanya. Sumpah ngeselin abis. Rasanya mau kutampar wajah mereka satu persatu.

"Ya ampuuun Diib. Elo pinter, cantik, beken, tapi sayang yah. Agama lu minim. Hahahaah." Tambah Tari kemudian.

"Dibaa, sini 'barbie' kasih tau."  Kata Utami sambil merangkulku. "Ukhti itu bahasa arab, artinya panggilan untuk saudariku perempuan. Begituuu."

"Haduuuh ya ampuuun, tu orang lahir di arab? Dia udah gila ya. Ngomong bahasa arab di Indonesia. Yamanalah hamba mengertiii. Lagian, emang kapan gue pernah kawin ama sodaranya. Huh". Kataku dengan kesal.

"Hahahahahhaha....."  Kami tertawa bersama. Dan seperti biasa, geng kami memang selalu jadi pusat perhatian di pojokan manapun kami nongkrong di sekolah. Tapi kami cuek saja. Kepercayaan diri kami sungguh tinggi, karna kemampuan otak kami. Bukan karna kami anak pengusaha atau sering gonta ganti mobil. Itulah kami. Tapi yaa betul seperti yang dikatakan Tari. Agama kami memang minim. Entah dari mana mereka tau istilah Ukhti Ukhti itu.

Baiklah, kita sudahi dulu cerita tentang si Ibra. Karna satu dia gak penting di cerita kali ini, dua dia bukan tokoh utamanya, tiga dia homo. Yaaah meski itu baru kabar burung sih. Tapi bisa jadi bener. Lagiaan mana ada cowok yang gak suka sama Adiba Shakila. Aku cewek yang paling WOW di sekolah ini, dilirikpun tidak sama dia. Apa namanya kalo bukan homo? Iiiiih.....

Singkatnya, kami akhirnya menghadapi ujian akhir sekolah. Sebentar lagi kami akan jadi mahasiswi, itupun kalo lulus sih. Hihihihi. Tapi dengan otak kami yang gak setengah-setengah ini, aku yakin. Aku, Nadiva, Nadya, Tari dan Utami pasti lulus bareng-bareng.

Eh...eh tunggu. Ngomong-ngomong yah. Koq Ibra? kenapa namanya terdengar aneh ya. Agak mengganggu pikiran. Jadi kepo banget deh. Nama sebenernya siapa sih.

Setelah tanya-tanya ke anak-anak rohis, ternyata namanya bagus juga. Gak biasa 'Ibrahim Zain Mutaqqin'. Sepertinya ada artinya.

OK, bener-bener kita sudahi dulu cerita si Ibra ini. Singkat cerita kami semua lulus dengan nilai sempurna. Gengku maksudku, kalo yang laiin.... mmmh, yaaa gitu deh nilainya. Heheheheh somboong. Aku dan geng seperti biasa merayakan kesuksesan kami. Menembus universitas ternama seperti Universitas Indonesia.

Kami bersama masuk ke universitas yang sama namun berbeda jurusan. Aku memutuskan meneruskan cita-citaku menjadi seorang Dokter. Impianku ingin menjadi Ahli bedah nantinya. Dengan kecerdasan yang kami miliki, tentunya tidak sulit mengikuti semua mata kuliah di perguruan tinggi.

Karna kesibukan kami mengejar cita-cita, serta jadwal mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaan yang padat, pada akhirnya meski kami satu kampus, intensitas pertemuan kami menjadi semakin jarang. Bahkan belum tentu sebulan sekali kami dapat bertemu.

Tapi kemudian, beberapa bulan setelah lama kami tidak bertemu, akhirnya kami dipertemukan dengan kabar buruk dari keluarga nadiva. Ibundanya meninggal karna serangan jantung. Hari itu juga saat mendapat kabar duka itu, kami berempat segera bergegas ke rumah Nadiva. Suasana ramai dan terlihat Nadiva yang masih terisak di samping jenazah.

Kami menghampiri Nadiva, mencoba menenangkannya, menguatkannya agar diberi kesabaran dan ketabahan. Alhamdulilah Nadiva orang yang tegar. Ia tetap bersikap tenang meski sedang kehilangan. Sore hari setelah pemakaman selesai, kami pamit satu persatu. Kembali lagi ke kegiatan kami masing-masing yang super duper sibuk.

Dua minggu kemudian, giliran Utami yang mengirim kabar duka. Ibundanya juga telah berpulang. Lagi-lagi kami berkumpul dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Apakah hanya event ini yang dapat mempertemukan kami belakangan ini? Sedih rasanya.

Disuatu pagi yang cerah di bawah pohon rindang aku berteduh sambil membuka diktat mata kuliah yang super tebel. Aku semakin serius dengan usahaku meraih gelar dokterku. Bagaimanapun aku harus berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering "Tari memanggil."

"Haah? Tari?. Tumben, ada apa ya?." Sejenak aku terdiam, ada rasa deg-degan. Takut kalau kabar duka lagi yang kuterima. Tapi bagaimanapun aku tetap harus angkat. "Iya Tar, ada apa? Tumben pagi-pagi gini?." Tanyaku pada Tari sambil menggigit-gigit pulpen ditangan kiriku.

"Sibuk ya Dib? Bisa ketemuan gak?"  Tari terdengar seperti orang yang habis menangis. Ada apa dengannya. Kebetulan hari ini aku sedikit lowong, cuma lagi mengulang mata kuliah yang mungkin akan ada kuis nanti seperti biasa. Dosen mata kuliah satu ini memang hobi kasih kuis dadakan untuk menambah nilai. Kurasa aku sudah cukup khatam dengan diktat ini. Jadilah aku menyanggupi menemui Tari.

Kami bertemu di Caffe yang dulu sering kami datangi berlima. Tari menyeruput minuman dihadapannya. Kiwi Fresh Juice kesukaannya. Aku masih tidak berani bertanya. Ada apa dengannya. Kenapa Tari terlihat sedih. Toh jika memang Tari merasa ingin bercerita, dia pasti sudah bicara sejak tadi. Tapi Tari masih terdim dengan wajah sedihnya.

"Dib, gue sendiri sekarang. Semua orang ninggalin gue. Mereka pergi setelah tau gue bangkrut."  Tari memulai dengan kalimatnya yang bahkan aku sama sekali tidak pahami satupun. Dia menangis sambil bercerita. "Bangkrut? Elo bangrut Tar? Maksud lu apa gue gak paham deh. Coba ceritain dari awal. Kenapa juga lu bangkrut sebelum memulai apapun? Setau gue lu gak punya usaha apa-apa Tar."  Jawabku kemudian.

"Aduh Diiib, please deh jangan becanda disaat begini. Bokap gue Dib. Bokap gue yang bangkrut. Dan gue yakin lu punya TV kan di rumah. Lu juga pasti udah tau dari berita di luar sana apa yang terjadi sama keluarga gue. Awalnya gue juga males telpon lo. Pasti lu menghindar juga. Pasti lo ga angkat juga telpon gue. Tapi gue iseng aja coba-coba. Ternyata lu angkat Dib. Kenapa?"

"Kenapa apanya. Ada telepon ya diangkat lah Tari. Lu kenapa sih. Ceritain deh semuanya. Iya gue tau masalah bokap lu yang ketangkep kemaren. Korupsi apa sih dia? Perasaan lu gak pernah akur sama bokap lo, kenapa tiba-tiba sekarang lu jadi peduli? bukannya lu cuma peduli sama uangnya? ooh justru karna lu takut miskin makanya yang lu peduliin kebangkrutannya, bukan dianya yang di penjara?"

"Diba, betul banget gue gak peduli dia, yang gue peduliin itu uangnya, hartanya dia. Apa jadinya kuliah gue tanpa duit dia, mobil gue, rumah gue semuanya disita Dib. Sekarang gue kepaksa ngungsi di rumah Oma. Saudara-saudara yang lain semuanya mulai jauhin keluarga gue, Oma tiap hari marah-marah tanpa sebab seolah dia pingin gue dan nyokap jadi gak betah di rumahnya dan minggat. O my God Diba. Gue harus gimana."

Aku terus mendengarkan curhatan Tari yang dibarengi dengan tangisannya yang tak henti-henti. Kupikir, alangkah teganya jika di saat-saat seperti ini aku justru menjauh. Aku bukanlah orang-orang seperti orang-orang dilingkungan Tari yang tiba-tiba menjauh ketika keluarga Tari susah.

"Ya udahlah Tar, lu focus aja sama kuliah lo. Kelarin dan jadi sukses. Supaya lu gak bergantung lagi sama harta bokap lu. Dulu kan lu sendiri yang bilang. Harta korupsi gak akan bertahan lama. Dan sekarang omongan lu kebukti. Ya jalanin aja."  Aku mencoba terus berusaha menenangkan Tari yang sedari tadi menangis meratapi nasibnya.

Aku terus mendampingi Tari, hampir setiap malam sejak pertemuan kami itu Tari selalu menelponku. Ia tampak terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Tak jarang aku menganjurkannya untuk menghadiri acara persidangan papahnya untuk mendukungnya. Bagaimanapun Ayah dan anak haruslah saling memahami. Itu kataku padanya.

"Dib, makasih ya. Cuma lo sahabat gue yang gak pernah berubah. Cuma lo yang masih terus ada di samping gue."

"Udahlah Tar, jangan berpikiran negatif. Siapa tau Nadya dan yang lain memang sibuk dengan urusan mereka. Kapan-kapan kita coba main ke rumah mereka ya. Siapa tau mereka punya alasan kuat kenapa ganti kontak dan gak ada kabar. Kalo emang mereka cuma menghindar, ya kenapa sama gue juga. Harusnya mereka ngabarin gue dong. Kan gada masalah sama gue. Jadi jangan negatif thinking dulu ya say."

Tari terdiam disebrang telepon. Akupun ikut terdiam. Tidak berapa lama kemudian Tari mulai bicara lagi. Aku tau sejak awal Tari telepon hari ini, sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan, tapi mungkin dia mau basa basi dulu. Pikirku dalam hati.

"Dib, gue butuh banget bantuan lo. Tapi gue takut setelah ini lo bakalan ngejauhin gue juga."  Seperti dugaanku sejak awal. Cepat atau lambat, Tari pasti butuh bantuan.

"Ngomong Tar, jangan menjudge gue seolah gue ini sama seperti sodara-sodara lo yang lain. Gue bukan mereka. Sebisa mungkin gue pasti bantu lo."  Jawabku kemudian.

"Dib, gue butuh uang untuk bayar kuliah. Lu bisa bantu?" Tanyanya kemudian.

"Butuh berapa Tar? Mudah-mudahan gue bisa bantu lo."

"Sekitar 30juta Dib. Untuk semua biaya kuliah setahun ini. Gue gak mau putus kuliah. Gue harus berhasil Dib. Kalaupun lu ga bisa bantu uang, setidaknya apa lo bisa bantu gue cari kerjaan?"  Tanya Tari lebih jauh.

Aku menghela nafas panjang. Bukan karna harus keluar uang untuk Tari. Tapi lebih kepada keputusan Tari yang ingin mencari pekerjaan. Kupikir waktu kita sudah sangat padat untuk kuliah. Mata kuliah yang setiap hari selalu ada, pengulangan pelajaran, tugas-tugas dan lainnya. Bagaimana mungkin Tari bisa membagi dua waktu kuliah dan bekerja.

Aku menyanggupi permintaan tari meminjamkan uang padanya. Lagipula dengan keadaanku yang seperti ini, uang segitu tidak masalah buatku. Sebetulnya tanpa Tari berjanji mengembalikannyapun aku tidak masalah. Justru yang jadi masalah, bagaimana caraku membantu Tari mencari pekerjaan.

Kalo aku minta di perusahaan Papah, pasti mama yang gak bakalan setuju. Karna kupikir Mama adalah orang yang terlalu memandang kekuasaan dan nama baik. Jika tau aku masih berhubungan dengan Tari, Mama pasti memintaku menjauhinya. Takut dampak nama buruk Papa Tari terbawa-bawa  ke keluarga kami yang tersohor dengan perusahaan besarnya di mana-mana.

"Tar, gue bantu lo soal uang. Tapi gue ga bisa janji apa-apa masalah kerjaan. Lu tau kan nyokap gue gimana."  Aku dan Tari sama-sama terdiam sejenak.

"Gak masalah Dib, lo udah baik banget bantu gue. Sejauh ini, satu-satunya orang yang terus ada disamping gue sampai detik ini cuma elu Dib. Bahkan Dimaspun entah ke mana."

Dimas adalah pacar Tari sejak SMA, mereka seperti sepasang kancing dan baju yang sulit dipisahkan. Karna itulah aku agak sedikit kaget mendengar perkataan Tari yang mengatakan bahwa Dimaspun menghilang menghindarinya seperti yang lain.

Ya Allah, apakah sebegitu berperannya semua harta yang kita miliki di dunia ini bagi orang lain? Aku semakin bingung. Bagaimana cara meringankan beban psikologis Tari yang betul-betul sedang down.

"Sabar ya Tar, mungkin bukan Dimas yang memutuskan untuk menghilang dari lo. Mungkin aja orang-orang di sekelilingnya. Meskipun kita tetep gak boleh negatif thinking ke keluarganya. Tapi kemungkinan tetap aja ada kan. Terlebih lagi, gue gak yakin kalo Dimas type cowok yang memandang harta dan jabatan keluarga lo seperti yang lain."

Singkatnya semua kesedihan Tari berlalu. Tapi entah nasib seperti apa yang berputar di sekeliling kami berlima. Seolah cobaan datang secara bergiliran. Kali ini giliranku. Papah jatuh sakit, Mama semakin lama semakin menderita karna lelah mengurus Papah. Sudah dua tahun ini Papah terbaring lemah, usaha Papah yang dipegang Om Salman mengalami defisit. Itu kata Om Salman. Meski aku yakin sesungguhnya tidak seperti itu. Aku tidak mau berpikiran buruk terhadap Om Salman adiknya Papah. Aku ingin buang jauh-jauh sifat negatifku ini.

Tapi mengingat usaha Papah yang besar dan semua terkendali dengan baik dan tiba-tiba saja jadi berantakan semenjak Papah sakit dan tidak datang-datang ke kantor, rasanya ini sesuatu yang terlalu kebetulan. Setiap bulan Om Salman datang ke rumah membawa setumpuk laporan keuangan perusahaan. Semua laporan itu hanya bisa Papah tandatangan tanpa membaca isinya. Karna Papah terlalu sakit untuk berpikir apalagi mempelajari isi laporan itu.

Tentu saja aku dan Mama sama sekali tidak mengerti tentang bisnis Papah. Inilah satu-satunya kesalahan Papah di masa lalu yang baru kelihatan dampaknya saat ini. Seandainya dulu Papah mengijinkan Mama membuka bisnis butik dan restauran sendiri, mungkin kami gak akan terlalu bergantung pada perusahaan Papah semata. Mungkin kami bisa dengan ikhlas menyerahkan saja seluruhnya kepada Om Salman.

Papah terlalu takut jika Mama menjadi wanita mandiri maka lambat laun Ia tidak akan dibutuhkan lagi. Sepicik itukah pikiran Papah dulu. Aku terkejut mendengar cerita Mama. Pantas saja disaat Ibu-ibu lain sibuk dengan bisnisnya, usaha dagangnya, kesana kemari meeting dengan teman-teman bisnis dan lainnya. Mama hanya sibuk mengurus aku, mengantar jemputku sekolah, memasak, dan hanya berkebun di rumah. Rupanya itu karna Papah melarang.

Satu kesalahan lagi adalah Papah tidak pernah memberikanku ilmu bisnisnya sedikitpun. Ia hanya ingin aku lulus dengan nilai terbaik sebagai seorang dokter. Papah lupa jika sekolah kedokteran membutuhkan banyak dana. Jika sekarang Papah bangkrut, bagaimana aku bisa meneruskan sekolah kedokteranku yang butuh banyak biaya?

Aku bingung, Mama jadi lebih sering melamun. Kami betul-betul jatuh miskin. Sampai-sampai kami harus keluar dari rumah. Semua perusahaan beserta asset yang tersisa sudah habis untuk membayar hutang, gaji karyawan, dan biaya pengobatan Papah. Jadilah kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa fasilitas mewah yang memadai. Aku? Tentu saja sangat tersiksa. Seperti biasa, keluarga besar kami menghilang satu persatu, terlebih belakangan ini biaya pengobatan Papah makin membengkak. Papah jadi harus lebih sering bolak balik ke Rumah Sakit.

Akhirnya aku yang harus memikirkan keluarga ini. Dengan berbekal ijazah SMA aku mencari pekerjaan. Semua pekerjaan kuterima. Bahkan Tari juga turut membantuku. Hanya Tari yang ada. Mungkin Ia teringat dirinya pada masa-masa sulit dulu akupun membantunya.

"Dib, gue bingung nih mau ngomongnya." Kata Tari sambil menatapku dengan wajah kebingungan. "Apa sih, tinggal ngomong aja pake bingung segala. Gak usah takut gue tersinggung. Gimanapun sekarang ini gue udah jadi orang susah, miskin, jadi udah ga boleh baper lagi." Jawabku kemudian.

"Lu bener-bener butuh kerjaan kan?" Tanya Tari kemudian. "Ya iyalah. Kan lo tau udah dua minggu ini gue cari kerjaan dan ga dapet-dapet. Apalah artinya ijazah SMA ini."

"Nah itu dia Dib, jadi gue punya kenalan yang lagi butuh orang untuk kerja. Tapiii... gimana yah. Gue gak yakin lu sanggup."

"Tar, kerjaan apapun akan gue sanggupin asal halal gak macem-macem apalagi jual diri ke om-om." jawabku kemudian.

"Hahah, gila lo. Ya enggaklah, jadiii kenalan gue ini lagi butuh pengasuh untuk anaknya Dib. Gaji sih udah pasti gak gede lah. Jauh banget dibandingin uang jajan lu sehari. Duluuu..."

"Hahahahaha....." Kami tertawa bersama. Akhirnya aku menerima saran Tari untuk melamar menjadi pengasuh di rumah kenalannya Tari. Walau gaji tidak seberapa, setidaknya aku masih bisa bantu Mama Papa untuk biaya sehari-hari seperti makan, air, listrik dan pulsa telpon. Itu sangat menolong.

Singkatnya aku sudah sangat kewalahan mengasuh bayi majikanku. Maklum, aku yang manja harus berhadapan dengan seorang bayi yang sama sekali tidak kumengerti bahasanya. Tiap kali Ia selalu menangis. Tapi Alhamdulilah majikanku sangaaat baik, bukannya memecatku karna tidak becus mengurus anak mereka, bahkan mereka malah memberiku bimbingan dan pelajaran bagaimana cara mengasuh anak dengan benar.

Itu membuatku mempelajari banyak hal. Terlebih lagi jika suatu hari nanti mungkin Tuhan akan memberiku jodoh dan aku menikah. Itu sangat-sangat menolongku menimba ilmu menghadapi calon keluarga kecilku nanti.

Bukan hanya itu kebaikan yang kuterima dari majikanku. Mereka juga sering mengajakku pergi ke acara majelis taklim, pengajian dan dakwah yang kudengar hampir setiap hari itu membuatku makin lama makin menjadi sosok yang jauh lebih baik, hari ini ke pengajian RT sini, besok ke masjid kota sebelah, lusa di rumah majikanku sendiri. Sungguh beliau sangat berjasa bagiku.

Pic From Google
Diawal-awal mengikuti pengajian, seringkali aku menangis mendengar dakwah-dakwah yang memecut hatiku. Aku semakin tersadar, sejak kecil bahkan sejak aku lahir, Mama Papa tidak pernah sekalipun mempedulikan pendidikan agama kami. Keluargaku yang terlalu hedonis, memandang kesuksesan sebatas harta, jabatan, dan nama besar yang dimiliki. Mereka lupa yang menciptakan itu semua.

Mama kaget bukan main saat aku pulang dari bekerja dirumah majikanku dengan mengenakan gamis beserta hijab sebatas dada dikepalaku. Hampir Ia tak mengenaliku.

"Diba? ini Diba kan?" Tanyanya dengan wajah terkejut. Seketika air matanya menetes. Baru kali ini Mama ingat penciptaNya.

"Ya Allah Diba, selama ini kita lalai terhadapNya. Semua yang kita pikirkan selama ini hanyalah tentang dunia. Tapi, bagaimana mungkin kamu bisa seperti sekarang ini nak?". Tanya Mama padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Iya Mah, doakan Diba bisa istiqomah mulai sekarang ya Mah. InshaAllah Diba akan konsisten dengan jalan hidup Diba mulai detik ini. Mah, mari kita sama-memperbaiki jalan hidup kita, dimulai dari diri sendiri Mah, banyak berdoa sama Allah. Diba mohon, Mama mulai sekarang jalankan Sholat lima waktu Mah, banyak zikir dan berdoa, memohon kesembuhan Papah kepada Allah Mah."

Aku dan Mama berpelukan sambil meneteskan air mata mengingat betapa bodohnya kami yang selama ini lupa bahwa ada Sang Pencipta yang pasti akan menunjukkan jalan.

Aku merasa sangat berdosa. Mengapa ketika kesulitan datang barulah menyadari bahwa ilmu agama itu penting? Bagaimana mungkin selama ini kami hidup bahagia bergelimangan harta dan penuh kemewahan tanpa campur tangan Allah yang Maha segala-galanya, Maha memberi apa yang selama ini kita punya.

Mulai dari situ, aku merasa hidup kami lebih tentram, lebih damai. Sampai suatu ketika majikanku memberiku kabar baik sekaligus membuatku bimbang. Saudari majikanku yang tinggal di Cairo membutuhkan seorang pengasuh anak. Aku ditawari gaji yang cukup tinggi karna akan ditempatkan di luar negri. Aku bimbang, haruskah kutinggalkan Mama Papa yang justru sedang membutuhkanku.

Benarkah ini jalan yang Allah pilihkan bagiku? Bagi keluargaku? Aku bingung, majikanku menyarankanku untuk melaksanakan sholat istikharah. Yang katanya jika dilakukan dengan keyakinan dan bersungguh-sungguh, InshaAllah Allah akan menunjukkan jalan yang tepat bagiku. Akupun melaksanakannya.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian Mama tiba-tiba saja bertanya padaku. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tau Mama tau dari mana perihal aku ditawari pekerjaan di luar negri. "Dib, sampai detik ini kamu masih juga diam. Bagaimana keputusanmu mengenai tawaran bekerja di luar negri itu Nak?"  Tanya Mama di tengah suasana makan malam yang sunyi. Alhamdulilah Papa mulai bisa makan sendiri, meski masih harus beraktifitas di kursi roda tapi kondisinya sudah sangat jauh lebih baik. Beliaupun ikut berbicara.

"Nak' jika alasanmu tidak menerima tawaran itu karna Papa dan Mama, maka kami berdua akan sangat menyesal. Maka kami akan hidup menanggung rasa bersalah hingga akhir hayat. Apa kau mau Papa Mamamu menanggung derita itu?" Tanya Papa kemudian. Aku terkejut mendengarnya.

Memang sebenarnya aku berat meninggalkan mereka berdua. Diumur yang tak lagi muda, terlebih Papa dalam kondisi tidak stabil harus kutinggalkan. Rasanya aku sangat berat. Tapi mendengar hal itu, aku malah jadi takut sekali. Benarkah mereka akan terbebani dengan keputusanku?

"Pah, Mah, jikapun Diba menolak tawaran itu. Diba pastikan itu bukan karna kalian. Diba sudah nyaman di rumah Umi Halimah Pah, Mah. Kalian lihat sendiri perubahan apa yang Umi bawa kepada Diba. Majikan yang mungkin hanya seorang yang seperti Beliau di dunia ini. Diba beruntung Pah, Mah bekerja dengan Beliau. Jadi Diba bukan hanya berat meninggalkan Mama Papa tapi juga Diba sudah kerasan di rumah Beliau."

Mama Papa terus membujukku agar mau pergi bekerja di sana. Mereka berharap, aku dapat menemukan kehidupan yang lebih baik dan tentunya lebih layak di sana. Siapa tau masa depanku memang di sana. Kuliahku yang sempat terhenti mungkin saja bisa kulanjutkan nanti jika aku berhasil mengumpulkan uang dari bekerja di luar negri.

Singkat cerita, akhirnya semua persiapan kepergianku untuk bekerja di rumah kerabat majikanku telah siap. Lusa aku berangkat. Aku berdoa semoga Allah melindungi kedua orangtuaku selama aku tidak berada di dekat mereka.

*******

Cairo

Aku tiba di bandara Cairo. Disambut oleh seorang driver yang ternyata juga orang asli indonesia. Pak Samin namanya. Dia membentangkan poster bertuliskan namaku "ADIBA SHAKILA From INDONESIA". Akupun menghampirinya.

"Assalamualikum Pak Samin, saya Adiba". Kataku memperkenalkan diri sambil mengatupkan kedua tanganku ke hadapannya.

"Oh iya Neng, Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat. Sukurlah akhirnya ada yang bisa saya ajak bicara bahasa Indonesia."  Jawabnya kemudian sambil tersenyum lebar.

Akupun bersukur bahwa semua pekerja majikan baruku di Cairo ini adalah orang asli Indonesia semua. Sehingga aku tidak kesulitan ketika harus menyampaikan sesuatu. Kamipun segera bergegas menuju kediaman majikan kami. Dalam perjalanan Pak Samin banyak bercerita tentang keluarga majikan baruku. Ia bernama Umi Laksmi. Beliau pengusaha sukses di Indonesia sebenarnya. Namun rupanya Allah sangat gemar sekali menitipkan harta dunia ke tangannya. Terbukti selain Ia kaya raya di Indonesia, Iapun akhirnya berkesempatan melebarkan sayap usahanya di negeri orang.

Menurut cerita Pak Samin, keluarga Umi Laksmi ini keluarga yang sangat royal. Setiap hari tak pernah absen bersedekah. Umi memiliki yayasan panti asuhan di Indonesia. Kesemuanya Umi yang membiayai tanpa turut campur tangan donatur. Paling-paling jika ada kerabat atau rekan bisnis yang memang ingin mendonasikan sebagian hartanya barulah Umi menerima donasi. Selebihnya Umi sama sekali tidak pernah meminta atau menggalang donasi untuk yayasannya sendiri.

Aku berfikir sejenak. Teringat akan kehidupan makmur nan mewahku dulu. Adakah Papa dan Mama bersedekah ketika itu? Seingatku, perusahaan Papa yang begitu sukses dan maju sama sekali jauh dari yang namanya sedekah. Entah apakah Papa tidak kepikiran ataukah Papa merasa rugi jika harus bersedekah. Yah, entahlah. Masa lalu keluarga kami yang terlampau jauh dari ajaran Allah sangat membuat kami terjebak dalam kehidupan hura-hura yang sama sekali tidak bermanfaat. Tapi aku tidak mau menyesalinya. Aku harus bangkit dan berjuang demi mereka.

Kamipun sampai di kediaman Umi Laksmi. MasyaAllaaah...... tiada berhenti aku terkagum-kagum dengan kemeahan bangunan yang bagai puri istana para raja seperti yang ada di film-film dongeng itu. Aku tak habis pikir. Bagaimana para asisten rumah tangga membersihkan bangunan ini? Menurut Pak Samin, mereka ada lebih dari puluhan orang yang bekerja sebagai ART di rumah ini. Aku jadi merinding mengingat akan merawat seorang anak yang kehidupannya semewah ini.

Kemewahan yang kupunya sungguh sangat jauh dibandingkan apa yang ada di depan mataku sekarang ini. Benar kata Pak Samin. Allah sangat senang menitipkan harta dunia kepada keluarga Umi Laksmi yang sangat kaya raya ini.

Aku dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang berisi meja kerja dan peralatan kantor lainnya di dalam rumah itu. Ya, seperti rumah mewahku dulu yang juga ada ruang kantor di dalamnya. Bedanya ini jauh lebih luas dari milik Papa dulu.

"Jadi kamu Adiba yang calon Dokter itu?" Tanya wanita cantik yang duduk di meja kerja itu. Aku mengangguk dengan wajah sedikit heran. Darimana beliau tau kalau aku calon dokter gagal? Eh, tapi beliau tidak menyebutkan kata gagal di kalimat itu.

"Iya saya Adiba. Maaf sebelumnya Ibu. Panggilan apa yang harus saya ucapkan untuk memanggil Ibu?". Tanyaku sedikit gugup. Aku memang seorang calon dokter yang sama sekali masih jauh dari berhasil. Namun sikap tenang dan rasa kepercayaan diri seorang dokter sudah melekat pada diriku sejak aku masih SMA. Sehingga tidak sulit bagiku untuk berkomunikasi seformal dan se high class mungkin.

"Panggil saja saya Hana. Nama saya Hana Mutaqqin. Saya anak dari Umi Laksmi pemilik rumah ini. Kebetulan yang akan kamu asuh nanti adalah putri saya bernama Syahira. Dia masih berumur 3 bulan. Apa kamu sudah terbiasa mengasuh bayi kecil?" Tanyanya padaku. Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Karna kupikir seharusnya Mba Hana sudah tau jika sebelumnya aku bekerja dengan kerabatnya di Indonesia juga mengasuh seorang anak.

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Mba Hana, Ia melanjutkan. "Maaf ya Dek' Diba. Bukan saya kurang yakin. Saya tau betul waktu di Jakarta kamu bekerja mengasuh keponakan saya Maliha. Hanya saja saya tidak menyangka bahwa ternyata pengasuh yang dikirim ke sini begitu cantik dan lembut, tidak seperti seorang pekerja. Sangat jauh dari yang saya pikirkan. Mohon maaf sekali lho Dek."  Terangnya kemudian.

"Oh gak apa-apa Mba Hana. Saya gak masalah dengan yang dipikirkan orang-orang tentang saya. Karna di Jakarta semua orang tau siapa saya, reputasi saya, bahkan kehidupan saya sebelum saya jadi pengasuh. Jadi rasanya saya tidak kaget lagi jika mendengar Mba Hana mengatakan hal seperti itu."  Jawabku kemudian sambil tersenyum.

"TOK...TOK..."Terdengar pintu diketuk. Mba Hana mempersilahkan masuk. "Iya, masuk saja tidak terkunci."

Seorang laki-laki berkulit putih berbadan tinggi dan tegap masuk. Sesaat aku terpesona pada sosoknya. Laki-laki ini begitu tampan. Kemudian aku tersadar. "Astagfirullahaladziim." Batinku kemudian.

"Dek' maaf lho titipanmu tidak kutemukan di pasar tadi. Coba nanti aku suruh orang untuk mencari ke mini market." Katanya sambil menghampiri Mba Hana dan memberikan beberapa bungkusan yang katanya dari pasar.

"Iya gak papa Kak, nanti biar aku sendiri yang suruh orang. Oh ya, dimana Hira?" Tanyanya pada lelaki itu.

Sebetulnya aku agak sedikit terusik. Ingin melihat wajahnya sekali lagi. Ya Allah apakah dosa ingin melihat wajah lawan jenis dengan perasaan berdebar seperti ini. Tapi jujur saja bukan hanya terpesona dengan tampannya, aku merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi di mana. Aku berfikir keras. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa dimana aku masih SMA, berteman dengan keempat sahabatku Tari, Nadya, Nadiva dan Utami.

"Ya Allaaaah...." Aku tercekat sambil tertunduk menahan perasaan kaget yang tak terhingga. Tapi ternyata gumamanku terdengar mereka. Lelaki itu dan Mba Hana menengok tajam ke arahku.

"Iya, ada apa Adiba?"  Tanya Mba Hana kemudian.

"Mm... ngga ada apa-apa Mba Hana. Saya hanya tiba-tiba teringat sesuatu."  Jawabku sambil tertunduk. Lelaki itu tersenyum. Aku ragu dia tidak mengenaliku. Senyum tipisnya semakin meyakinkanku kalau dia ingat siapa aku. Bagaimana mungkin dia tidak mengingatku. Aku yang sangat terkenal di kalangan para siswa semasa SMA dulu.

Ya ampuuun ternyata suami Mba Hana adalah lelaki itu. Ibra, Ibrahim Zayn Mutaqqin. Kakak kelas tampan yang terkenal alim dan digosipkan gay, ternyata sudah menikah. MasyaAllah, dengan putri saudagar kaya macam Mba Hana. Makin minder saja aku. Tapi sungguh, aku tidak pernah melupakan senyuman Ibra terakhir kali ketika kami tanpa sengaja bertemu di lorong sekolah saat perpisahan SMA dulu. Waktu itu anak-anak angkatan Ibra sedang acara perpisahan kelulusan. Entah apa yang ingin Ia sampaikan saat itu.

Ingatanku flash back ke masa itu. Saat Ia berdiri di lorong sekolah. Menghadapku dan menyebut namaku. "Diba, bisa kita....."

Hanya kalimat itu yang berhasil Ia ucapkan. Karna tiba-tiba saja teman-temannya datang berhamburan lalu menarik dia keluar lapangan untuk sedikit berpidato diacara perpisahan sekolah saat itu. Setelah itu aku tak lagi bertemu dengannya. Bahkan kabarnyapun aku tak tau.

Jujur sebenarnya saat itu kemungkinan besar aku sudah jatuh cinta padanya. Namun gosip-gosip yang beredar yang mengatakan bahwa Ia gay, membuatku mundur dan acuh tak acuh kepadanya. Siapa sangka, ternyata sekarang Ia akan menjadi majikanku. Ayah dari anak yang aku asuh di rumah megah ini. Terlebih lagi istri cantiknya yang bernama Hana benar-benar membuatku minder. Aku yang dulu mungkin akan dengan mudahnya menyingkirkan lawan-lawanku. Dengan kepribadianku yang luar biasa serta status sosialku yang semua orang tau, aku pasti bisa dengan mudah merebut si Ibra ini dari tangannya. Tapi apalah aku sekarang.

"Ehem... Hira sedang main di kebun sama Ibu." Jawab Ibra kepada Mba Hana. Jujur saja aku jadi bingung sebutan apa yang pantas untuk memanggil Ibrahim. Tuan? Duh... pusing kepalaku rasanya.

Hari ini berjalan dengan lancar. Aku sudah berkenalan dengan Syahira. Putri cantik berusia tiga bulan yang masih harus digendong-gendong ke mana-mana. Wajah malaikatnya membuat hatiku nyaman mengurusnya. Putri mungil yang cantik memiliki kedua orangtua yang juga cantik dan tampan. Keluarga yang sempurna. Pikirku saat itu.

"Deek' aku pergi ke perpustakaan dulu ya. Hira bersama Diba." Teriak Ibrahim kepada Mba Hana yang sedang menyajikan makan siang di meja makan besar itu.

"Dadah sayaang". Kata ibrahim kepada Syahira sambil menyerahkannya padaku dan menciumnya kemudian berlalu pergi. Tapi kemudian Ia berbalik sejenak.

"Oh ya Diba, nanti tolong bilangin Dek Hana ya saya pergi cuma sebentar dan akan makan siang di rumah. Sepertinya dia tidak dengar teriakan saya."

"Oh iya Ka, nanti saya sampaikan. Aduh maaf saya jadi bingung mau panggil apa."  Kataku gugup.

"Kaka juga gak apa koq. Cocok. Kak' Ibra. Hihih."  Katanya dengan senyumnya yang menawan sambil berlalu pergi.

"Astagfirullaaah. perasaan apa ini. Kenapa rasa sukaku padanya semakin besar. Ya Allah, dosa besar aku mencintai suami orang seperti ini. Ya Allah hilangkan rasa ini. Bagaimana aku mengatasi perasaan ini." Batinku menjerit. Rasanya aku ingin dipulangkan saja. Dan tak pernah lagi bertemu dengan majikan tampanku ini.

Semua berjalan diluar dugaan. Pada akhirnya aku malah betah tinggal di rumah megah ini merawat Syahira putri Mba Hana dan Kak Ibrahim. Aku merasa mereka sangat dekat denganku, aku diperlakukan khusus. Seperti bagian dari keluarga. Awalnya aku takut akan mendapat tatapan sinis dari para pekerja lain di sini. Tapi ternyata aku salah. Mereka semua baik-baik padaku. Karna semua yang ada dalam rumah ini satu keluarga. Kami para pekerjapun dianggap satu keluarga. Tak jarang kami semua makan bersama dalam satu meja besar panjang setiap satu kali seminggu. Katanya sudah tradisi. Agar kami semua merasakan kekeluargaan yang kental di rumah ini. Sehingga para pekerjapun tidak merasa jauh dari rumah dan keluarga.

Aku senang setiap kali bermain bersama Syahira, Kak Ibra selalu datang menghampiri dan bermain bersama kami. Pernah suatu kali aku merasa seperti satu keluarga dengan Kak Ibra dan Hira. Andai saja kami bertiga keluarga kecil bahagia. Batinku saat itu. Tapi pikiranku itu harus kubuang jauh-jauh. Aku ini hanya pengasuh. Beraninya mengkhayalkan berkeluarga dengan majikanku. Terlebih lagi apalah aku ini jika dibandingkan dengan Mba Hana istri Kak Ibra.

Aku semakin dekat dengan keluarga ini. Tak jarang ketika kumpul keluarga besar, aku turut hadir di dalamnya. Bagaimana tidak, Syahira yang masih harus digendong tentu saja harus mengikutsertakan pengasuhnya ini.

Sore itu cuaca sangat cerah. Aku yang sedang mengajak Hira bermain di halaman sedang asyik bersantai-santai di rerumputan. Tiba-tiba saja Kak Ibra datang menghampiri. Seperti biasa sebenarnya. Sebetulnya lama kelamaan aku jadi bisa mengendalikan perasaanku. Mungkin karna aku memang sudah harus terbiasa.

"Hiraaa..... Ya ampun sayang, kamu cantik banget Nak' siapa yang dandanin? Mba Diba yaa?. Waaah Hira pakai mahkota bunga buatan Mba Diba yaa..." Umi Laksmi yang adalah neneknya Syahira hari ini sedang luang. Karna urusan bisnisnya sudah selesai semua. Ia menghampiri Hira, Aku dan Kak Ibra. Sementara Syahira bercengkrama dengan Neneknya, aku dan Kak Ibra mengobrol.

"Dib, kamu inget gak waktu kita SMA dulu. Waktu acara perpisahan kelulusanku. Di lorong sekolah sebetulnya ada yang mau aku bilang."

Sudah kuduga. Ternyata selama ini Kak Ibra memang mengingatku. Aku yang sekarang dengan pakaian serba panjang serta hijab yang menutup sampai batas dada. Ternyata pakaian ini tidak membuatnya lupa padaku.

"Sudah Diba duga. Ternyata Kak' Ibra memang ingat Diba ya. Pastinya Diba juga gak akan pernah lupa Kak saat di lorong dulu itu. Emang kalo boleh tau, Kak' Ibra waktu itu mau ngomong apa?" Tanyaku penasaran sambil tertunduk dalam-dalam karna takut terpikat pada wajahnya yang tampan padahal Ia suami majikanku.

"Sebetulnya waktu itu aku mau bilang. Seandainya saat itu kamu belum mengisi hati kamu dengan laki-laki manapun. Maukah kamu tunggu aku sampai kita lulus? Walaupun lama. Karna aku sadar yang namanya muslim kan gak mungkin pacaran. Kita dilarang pacaran. Tapi apakah kamu mau nunggu selama itu. Aku jadi mikir, gadis secantik dan sepopuler kamu pasti banyak laki-laki yang tertarik. Gak mungkin rasanya aku minta kamu menungguku"

Aku terkejut bukan main dengan kalimat yang Kak Ibra utarakan. Ya Allah, andai saja saat itu kalimat itu benar-benar terlontar dari mulutnya, dengan sigap aku pasti akan menjawab YA, AKU BERSEDIA MENUNGGU SAMPAI SAAT ITU TIBA.

"Kenapa Kak Ibra gak jadi ngomong? Malah menghilang setelah itu. Apa Kakak langsung pindah ke sini setelah lulus?"Tanyaku penasaran

"Ya, setelah lulus aku langsung meneruskan kuliah di Al-Azhar sini. Dan sampai detik ini, aku belum pernah lagi kembali ke jakarta."

Hatiku terasa ngiluuu mendengar Kak ibra bicara. Ya Allah, kenapa ini bisa terjadi padaku. Kenapa setelah semua cobaan yang Engkau berikan, aku harus patah hati di sini. Ya Allah, jujur aku masih tertarik padanya. Aku masih menyimpan rasa cinta itu. Rasa cinta yang dulu sangat kuragukan karna gosip murahan itu.

"Hmmm.... ibra, kalau sudah senang. Kenapa tak kau lamar saja Adiba."  Perkataan Umi Laksmi mengagetkanku. Astagfirullah, apakah maksudnya umi meminta menantunya ini untuk poligami. Tegakah Ia jika putrinya dipoligami. Ya Allah benarkah kalimat yang kudengar ini.

"Ah Ibu, kalimat kaya gitu koq diutarain ditempat begini." Jawab Kak Ibra kemudian. Aku semakin bingung. Kenapa Ibu dan anak ini bicara seolah-olah tidak akan ada yang tersakiti dengan obrolan macam ini. Apa mereka sadar yang mereka katakan. Terlebih lagi statusku yang hanya seorang pengasuh. Apa mungkin putri cantiknya itu rela dipoligami oleh pengasuh anaknya? Ya Allah, apa ini. Apa mereka sedang mempermainkanku.

Tiba-tiba saja Mba Hana datang. Kalian asyik sekali. Ayo, sudah waktunya makan. Ajak Mba hana kemudian. Perbincanganku dengan Kak Ibrapun lagi-lagi terputus. Didalam kamar aku termenung, Memikirkan perkataan Umi Laksmi. Tapi setauku Muslim taat seperti mereka memang sama sekali tidak pernah berkeberatan dengan yang namanya poligami. Jangan-jangaaan, Umi sendiri juga dipoligami oleh Bapak. Tapi koq aku merasa tidak seperti itu yah. Aaah membingungkan.

Aku ini baru saja berhijrah jadi muslim yang baik. Aku sama sekali tidak paham dengan poligami. Lagipula, kalaupun Mba Hana ikhlas dipoligami oleh Kak Ibra, apa iya hatiku ikhlas. Begini-begini sifat hedonisku ini masih sedikit tersisa. Terlebih lagi perihal cinta. Mana mungkin aku rela membagi cinta. Walaupun dalam hal ini akulah yang akan jadi perusaknya. Aku memang egois.

Singkat cerita, hari libur akan segera tiba. Seperti biasa para karyawan di rumah megah ini dipersilahkan cuti ke kampung halamannya masing-masing di Indonesia. Tentunya akomodasi ditanggung oleh Umi sekeluarga. Jika waktu cuti bersama ini datang, maka rumah akan diisi oleh para pekerja lokal Cairo yang di bayar harian. Sehingga rumah tetap terawat.

Akupun akan segera pulang ke Jakarta. Aku bersyukur bekerja dengan mereka. Aku betah bersama mereka. Jadi aku putuskan akan kembali bekerja setelah liburan. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Umi Laksmi sekeluarga memutuskan untuk juga pulang ke Jakarta. Tentu saja bersama Mba Hana, Kak Ibrahim, Syahira, dan lainnya.

"Mas Akbar akan menyusul kita ke Jakarta setelah selesai urusannya di Jogja Umi." Kata Mba Hana sambil menggendong Syahira dan menyerahkannya padaku. Entah siapa Mas Akbar. Sejak beberapa bulan lalu aku hadir di keluarga ini selalu saja ada orang-orang baru yang keluar masuk rumah ini. Kerabat Umi memang sangat banyak. Semuanya dekat dengan keluarga ini. Aku sendiri sampai tidak hafal satu persatu kerabat di rumah ini.

**********

Jakarta, Bandara Internasional Soekarno Hatta

Pic from google

Kamipun tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Majikanku ini memang terlampau baik. Bukan hanya mengizinkanku berlibur ke kampung halaman di Jakarta, mereka bahkan pergi bersamaku. Tiketku dipesankan tanpa aku tahu. Tiba-tiba saja sehari sebelum hari keberangkatan, Mba Hana mengatakan padaku untuk bersiap karna mereka semua sudah siap ke Jakarta dan akan pergi bersamaku sampai sini.

Aku agak sedikit canggung sebenarnya. Terkadang aku sendiri bingung dengan posisiku. Aku seperti bukan pengasuh atau pekerja di dalam keluarga Umi. Mereka memperlakukanku seolah bagian dari keluarga besar Umi. Aku sungguh tidak enak. Karna sepenglihatanku selama bekerja pada keluarga Umi, meski pekerja yang lain juga diperlakukan sama baiknya denganku, tapi rasanya tetap berbeda. Semua pekerja dianggap keluarga oleh keluarga besar Umi. Namun rasanya diriku bukan hanya dianggap tapi sudah masuk menjadi bagian dari keluarga Umi.

Bahkan dalam pesawatpun mereka sudah mengatur dimana aku duduk. Ya, aku duduk di sebelah Mba Hana. Canggung sekali rasanya. Untung ada si kecil Syahira yang kini sudah lebih besar dari pertama kali aku datang, sehingga sudah bisa diajak bercanda. Jadi rasa canggungku tertutupi dengan tawa Syahira yang sesekali aku ledek.

Hampir setengah isi pesawat berisi keluarga besar Umi Laksmi. Sepertinya mereka ada rencana liburan panjang. Entah dimana mereka tinggal. Aku tak berani bertanya.

"Dib, aku tinggal di hotel Ibis Kemayoran jika saja kamu ada perlu denganku. Sedangkan yang lainnya akan tinggal di rumah Umi Halimah. Soalnya ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jadi butuh focus untuk sendirian."

Tiba-tiba saja Ka' Ibra menghampiriku dan berkata begitu kepadaku.

"Oh iya Ka, nanti kalau Ka' Ibra butuh bantuan apapun bisa hubungi Diba saja. InshaAllah Diba tetap bisa bekerja di hari liburan seperti ini."  Jawabku kemudian. Sebetulnya aku sangat bingung ingin menanggapi bagaimana. Karna rasanya aneh. Untuk apa Ka' Ibra memberitahuku dimana Ia akan tinggal selama di Jakarta. Dan lagipula kenapa Ia harus tinggal terpisah dengan Mba Hana dan Syahira. Pekerjaan apa yang sebegitu pentingnya sehingga Ia harus sendirian. Aah sudahlah, bukan urusanku mengurusi keluarga orang lain. Mungkin aku cuma ke GR'an saja. Lagipula jikapun benar Ka' Ibra masih tertarik padaku, maaf saja ya Ka, aku ini anti poligami. Entah apakah aku berdosa atau tidak. Yang jelas aku bukan perempuan yang bisa membagi hati.

"Adiba, kira-kira kapan kau dan orangtuamu ada waktu untuk kami berkunjung?"

Sungguh aku terkejut bukan main mendengar pertanyaan Umi Laksmi. Apa tidak salah dengar. Mereka ingin berkunjung ke rumahku. Rumah kontrakan kami yang tidak seberapa luasnya. Yah ampun. Ah tapi toh aku ini hanya seorang pengasuh, sudah sewajarnya dengan statusku yang sekarang ini aku hanya tinggal di rumah kontrakan.

"Kapan saja kami bisa menerima tamu Umi. Terlebih lagi jika tamunya keluarga Umi. InshaAllah Mama Papa saya pasti senang menerimanya."  Jawabku kemudian dengan sedikit gugup.

Kamipun berpisah di bandara. Aku pulang ke rumah, Umi sekeluarga menuju kediaman Umi Halimah, sementara Ka Ibra ke Hotel Ibis. Mama Papa menyambutku haru. Mereka meneteskan air mata. Akupun demikian. Kami berpelukan.

Hidup kami sudah semakin baik, pada akhirnya kami sudah terbiasa hidup sederhana. Om Salman yang kini bergelimangan harta yang sebetulnya milik Papah dikabarkan sedang mengalami depresi berat akibat ditipu sahabatnya sendiri. Kabar terakhir yang kudengar dia sempat di rawat di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan karna sering berteriak dan marah tanpa sebab. Alhamdulilah akhirnya dia dinyatakan membaik dan diizinkan keluar setelah perawatan beberapa bulan.

Perusahaan Papa yang telah ia ambil alih kini berantakan. Karyawan sudah hanya tinggal beberapa orang, itupun hanya karyawan inti yang memang sejak awal perusahaan berdiri telah ikut membangun perusahaan. Mas Arya misalnya. Ia tangan kanan Papa sebetulnya, namun entah bagaimana bisa-bisanya bekerjasama dengan Om Salman menipu Papa hingga berhasil mengambil alih perusahaan Papa disaat Papa sedang colaps dengan penyakitnya.

Aku sama sekali tidak pernah meminta atau berdoa kepada Allah untuk menghukum Om Salman yang kurang ajar itu. Namun sepertinya Allah sedang menunjukkan kuasaNya kepada kami. Bahwa karma selalu ada. Perbuatan baik saja selalu ada balasannya apalagi perbuatan jahat. Entah bagaimana nasib keluarga Om Salman dan Mas Arya sekarang. Yang jelas, Papa sudah tidak tertarik dengan kehidupan mereka. Biarlah mereka ambil semua yang sudah Papa ikhlaskan.

"Ting...Tong...." Bel rumah berbunyi. Entah siapa sore-sore begini bertamu. Kami jarang sekali menerima tamu. Mungkin Umi Laksmi dan keluarganya benar-benar bertamu. Awalnya sih kupikir Umi hanya basa basi saja bilang ingin bertamu ke rumahku. Namun ternyata tidak, bel itu ternyata memang benar keluarga Umi Laksmi. Lengkap dengan Mba Hana, Syahira, Ka Ibra, juga keluarga lainnya di luar keluarga inti seperti Mba Diah dan juga seorang lelaki besar berkulit kecoklatan yang belakangan aku tau bernama Mas Akbar. Kalau tidak salah waktu itu Mba Hana yang menyebut-nyebut nama Mas Akbar.

Mama Papa sebetulnya sudah kuberi tahu bahwa kemungkinan keluarga Umi Laksmi akan berkunjung ke kontrakan kami ini. Namun karna tidak jelas waktunya, sehingga kami tidak mempersiapkan apa-apa. Mama jadi bingung. Mama keluar menyambut keluarga Umi ke ruang tamu sambil mendorong Papa dengan kursi rodanya.

"Mari silahkan duduk. Aduuuh saya betul-betul minta maaf lho ini. Diba sama sekali gak kasih tau kapan keluarga majikannya mau datang. Jadi kami tidak mempersiapkan apa-apa."

"Gak apa-apa Bu, aduuuh jangan panggil kami dengan sebutan majikannya Diba Bu, Diba itu sudah seperti anak saya sendiri di rumah. Sudah seperti bagian dari keluarga kami. Kecantikan dan kecerdasannya tentu membuat banyak orang dengan mudah menerima Adiba sebagai keluarga kan."

Kami semuapun duduk. Aku agak canggung. Tapi kuusahakan bersikap setenang dan sewajar mungkin. Semoga saja tidak terlalu kelihatan dibuat-buat.

"Oh ya Diba, bagaimana kuliah kedokteranmu "Nak?" Tanya Umi Laksmi tiba-tiba.

"Mmmh, Saya masih status mahasiswi Umi. Kebetulan saya hanya mengajukan cuti setahun ini. Berharap semoga masih bisa mengumpulkan rejeki untuk melanjutkan. Tapi jika memang Allah belum mengizinkan, kemungkinan bulan depan saya akan mengajukan surat pengunduran diri dari kampus Umi. Sudah tidak mau memaksakan keadaan."  Jawabku jujur.

"Oh iya, jadi begini. maksud kedatangan kami kemari sebetulnya ada kaitannya dengan pendidikan 'Nak Adiba. Jadi, Umi bermaksud meminta izin untuk mengambil alih tanggung jawab sebagai yang membiayai pendidikan Nak' Diba. Sehingga Diba bisa melanjutkan kuliah kedokterannya tanpa memikirkan biaya. Apakah diizinkan atau tidak Umi tetap berharap 'Nak Diba bisa tetap meneruskan kuliahnya. Bagaimana menurut Bapak Ibu Adiba?"

Aku, Mama, Papa, terkejut bukan main. Umi menganggap aku sebagai bagian dari keluarganya saja sudah merupakan keberuntungan bagiku. Tapi ini lebih dari itu. Umi bahkan  memikirkan pendidikanku. Entah bagaimana Mama Papa akan menjawabnya.

"Aduuh Umi, apakah nantinya tidak merepotkan. Adiba diterima bekerja dan dianggap sebagai bagian dari keluarga Umi saja rasanya kami selaku orangtua sudah sangat beruntung sekali. Tapi ini Umi sampai-sampai memikirkan pendidikannya juga. Saya sebagai Ayahnya sedikit malu."  Jawab Papa kemudian.

"Aduh maaf lho Pak. Umi tidak bermaksud menyinggung sama sekali. Ini murni demi kebaikan pendidikannya Adiba." Jelas Umi kepada Papa.

"Bukan Umi, saya malu bukan karna tersinggung. Tapi saya malu karna sampai saat ini sebagai kepala keluaraga masih belum mampu bangkit kembali dari keterpurukan."  Jawab Papa lagi.

Umi sekeluarga sudah tau betul kisah hidup keluargaku. Mulai dari aku yang satu SMA dengan Ka' Ibra, hingga usaha Papa yang diambil alih oleh saudaranya sendiri. Intinya, Papa sudah setuju tentang Umi yang akan membiayai pendidikanku sampai selesai. Kami sangat berterima kasih sekali kepada keluarga Umi.

"Sebetulnya ada satu hal lagi yang ingin disampaikan selain dari masalah pendidikan Adiba tadi. Jadi, maksud kami selain itu adalah kami ingin melamar Adiba untuk putra kami Ibrahim. Tentunya hal ini di luar masalah pendidikan yang tadi sudah kita bicarakan. Apakah lamaran ini diterima ataupun ditolak, Adiba tetap berhak mendapatkan pendidikannya seperti yang sudah kita bicarakan tadi."

Sumpah demi Allah pencipta alam semesta. Aku tak habis pikir. Pada akhirnya ini kejadian juga. Meski aku tau bahwa selama di Cairo, selama aku tiggal bersama mereka Ka' Ibra masih menaruh hati padaku. Tapi aku tak habis pikir Ia akan benar-benar melamarku. Menjadikanku istri kedua. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Jujur aku tak kuasa menolak Ka' Ibra yang memang masih ada di hatiku. Tapi bagaimana dengan Mba Hana? Ah, sesungguhnya bukan hanya Mba Hana yang kupikirkan. Jelas-jelas aku ini egois. Aku memikirkan diriku sendiri. Apakah bisa aku dipoligami.  Ya Allah keputusan apa yang harus kuambil.

"MasyaAllah Umi, sungguh ini kabar yang menggembirakan bagi kami. Hanya saja keputusan ini tetap kami serahkan kepada Adiba. Apakah Adiba menerima lamaran 'Nak Ibrahim atau tidak. Bagaimana Diba?" Tanya Papa padaku. Sungguh aku tidak tahu mau menjawab apa. Tapi kemudian jawaban ini meluncur begitu saja.

"Maaf Umi, maaf Ka' Ibra. Bukannya mau mengulur waktu. Hanya saja, apakah ini boleh dipikirkan dulu?" Tanyaku kemudian.

"Oh tentu saja kami akan menunggu. Silahkan jika 'Nak Diba mau berfikir dulu. Ini memang keputusan yang tidak boleh terburu-buru diambil. Memang harus dipikir masak-masak. Terlebih lagi kalian masih cukup muda. Mungkin masih takut untuk menikah."  Jawab Umi dengan tegas.

Tapi aku sedikit bingung. Kenapa Umi bilang kalian masih muda dan masih takut untuk menikah? Bukankah 'Ka Ibra sudah beristri. Apalagi yang Ia takutkan. Ooh mungkin maksudnya takut berpoligami. Bukan takut menikah. Hmm... entahlah.

Akhirnya keluarga Umi pamit pulang. Aku menjanjikan akan memberi jawaban perihal lamaran Ka' Ibra secepatnya. Sesuai dugaanku, Mama Papa langsung mengintrogasiku.

"Adiba putri mama yang cantik ternyata sudah cukup dewasa. Mama gak nyangka Pah, akhirnya lamaran terjadi juga di rumah ini. Mama pikir Adiba akan butuh waktu lama untuk bertemu jodohnya. dan kenapa kamu gak langsung iya aja Dib? Mama rasa, mustahil kamu gak jatuh cinta sama laki-laki tampan dan pebisnis sukses seperti Ibrahim."

"Duuh Mama gak tau sih kenyataan yang ada. Asal mama tau yah. Putri cantik kesayangan mama ini mau dijadikan istri kedua sama keluarga mereka Mah."

"APAAA....? Kamu gak salah? Maksudmu si Ibrahim itu sudah punya istri dan masih mau menikah lagi?"

"Iya Mah. Mama ingat yang tadi duduk di sebelah Umi dan sebelah laki-laki berpeci biru gelap yang menggendong Syahira anak asuh Diba? Nah itu dia istrinya. Syahira itu anaknya Mah."  Terangku kemudian. Mama shock mendengarnya. Tapi tidak percaya.

"Diba emang suka sama Ka' Ibra. Udah sejak dulu. Sejak kami masih sekolah. Tapi apa iya Diba mau jadi yang kedua. Ya Allah Mah, Diba bingung."

"Kamu lupa ya? Kan ada Allah yang selalu menuntun kita ke jalan yang sedang kita hadapi. Coba istikharah lagi seperti dulu saat kamu mau pergi ke Cairo untuk bekerja. Ternyata benar kan keputusan yang Allah buatkan untukmu. Jika saja saat itu kamu tidak berangkat, apakah mungkin kamu akan malanjutkan kuliah kedokteranmu. Tadi kan Umi bilang apapun keputusanmu beliau tetap akan menanggung biaya kuliahmu."

Mama benar, sebaiknya aku memohon diberi petunjuk kepada Allah. Apa yang akan terjadi sebaiknya kupasrahkan diri pada Rabb nya. Ya Allah mudahkan aku mengambil keputusan.

Malamnya aku terbangun. Kaget dengan mimpiku sendiri. Ada sesosok orangtua yang aku tidak tahu persis siapa beliau. Karna hanya samar-samar saja. Orangtua itu menyuruhku menemui Ka' Ibra untuk berbincang sebelum memberi jawaban lamaran kepada Umi Laksmi. Maka, akupun menghubungi Ka' Ibra.

"Assalamualaikum...."

"Waalaikumsalam, iya Diba ada apa?"

"Ka, apa Kaka ada waktu? Hari ini atau besok. Kalo boleh, Diba mau bicara sama Kaka sebelum menjawab lamaran Umi untuk Kaka. Bisakah kalo Kaka ke rumah sebentar?"  Tanyaku terbata.

Sore harinya Ka' Ibra datang sendirian ke rumah. Hatiku kacau sekali. Rasanya dag dig dug menanti kehadirannya. Begitu Ia sampai di ambang pintu rumahku, dag dig dug ini semakin menjadi. Ya Allah aku sayang sekali padanya. Aku betul-betul telah jatuh cinta pada makhlukmu ini ya Allah. Bagaimana caraku mengatasi perasaan ini. Apa yang harus kukatakan. Masalahnya adalah sanggupkah aku untuk diduakan. Cuma itu masalahku.

Bagaimana perasaannya terhadap Mba Hana? Apakah mungkin ada orang yang mencintai lebih dari satu orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Aah entahlah, aku tidak mengerti laki-laki. Tidak cukupkah seorang saja bagimu.

Mama Papa senang sekali Ka Ibrahim datang berkunjung. Mereka membiarkan kami berbicara di ruang tamu. Agar kami bisa bicara sedikit lepas, mereka meninggalkan kami. Berharap semua kegundahanku ini dapat segera teratasi. Itu juga jadi harapan Mama dan Papa. Karna sepertinya mereka paham betul perasaanku terhadap Ka Ibrahim.

"Maaf ya Dib, aku gak berani tanya dulu ke kamu tentang perasaanmu padaku. Aku malah meminta Umi untuk langsung saja melamarmu. Maaf kalau aku terlalu pengecut dan malah jadi membuatmu bingung."

"Ka, bukan hanya aku bingung. Tapi juga sedikit tanda tanya. Bagaimana tanggapan Mba Hana tentang ini? Tentang aku? Tentang kita Ka?" Tanyaku pada Ka Ibra.

Entah kenapa Ia sepertinya malah bingung. Terlihat dari caranya mengerutkan dahi. Sambil berkata "Hana katamu? Kenapa kamu malah bertanya tentang Hana? Dia tentu saja mendukung segala keputusanku. Aku sangat menghargainya dan diapun menghormatiku. Kami tidak pernah berselisih paham tentang apapun terlebih lagi mengenai calon pasngan hidup kami masing-masing. Kenapa justru yang kau tanyakan malah Hana? Apa yang sebenarnya kau pikirkan Dib?"

"Ka, apa Mba Hana yakin mau di madu? Walaupun Mba Hana sangat baik padaku. Aku tidak sampai hati menyakitinya Ka. Bagaimanapun kami sama-sama perempuan. Sudah sewajarnya tidak saling menyakiti. Aku seperti ingin merampas kebahagiaannya namun sepertinya Mba Hana tenang sekali menghadapi ini. Aku semakin merasa bersalah Ka."

"HAHAHAHHAAHAH........." Ka Ibrahim malah tertawa mendengarku bicara demikian. Aku semakin salah tingkah. Wajahku terlihat bingung bukan main.

"Ya Allah Dib, aku sama sekali gak nyangka dengan apa yang kamu pikirkan tentangku dan Hana. Jadi selama ini kau berpikir aku dan Hana suami istri? Diba, Hana itu adik kandungku, praktis Syahira itu keponakanku. Kami ini saudara sedarah. Kenapa aku memanggilnya Dik' Hana ya karna memang dia adiku. SubhanAllah Diba. Demi Allah aku belum pernah menikah. Demi Allah akupun tidak pernah punya keinginan istri lebih dari satu jika Allah menghendaki keinginanku itu Adiba. Aku masih single, aku sendiri. Mas Akbar yang kemarin ikut datang ke sini, itulah Ayah Syahira, suami Hana. Kebetulan dia memang bertugas di Indonesia selama setahun belakangan ini. Maka Hana dan Syahira dititipkan pada Umi di rumah kami di Cairo. Bulan ini tugas Mas Akbar inshaAllah selesai maka Hana akan kembali pulang ke rumahnya."

Ka Ibrahim menjelaskan panjang lebar. Aku? Tentu saja dengan wajahku yang sangat amat terlihat bodoh ini karna mengira kakak beradik yang mesra itu sebagai suami istri menjadi salah tingkah bukan main. Wajahku habis merona seperti kepiting rebus yang dibalur saus tomat paling merah yang pernah ada. Ya Allaaaah bodohnya aku. Jadi selama berbulan-bulan aku bekerja di rumah Umi Laksmi, aku telah salah paham tentang keluarga Mba Hana. Demi Allah aku malu rasanya berhadapan dengan Ka Ibrahim, Ingin lari saja dari hadapannya.

Ka Ibra tersenyum-senyum sambil memandang wajah bodohku ini. Untung saja aku belum menolak lamarannya. Bisa-bisa aku menangisi ketololanku selama ini jika itu sampai terjadi. Benar-benar bodoh.

"Ka, maaf ternyata Diba salah paham selama ini. Satu lagi Ka, Diba mohon jangan ceritakan ini ke majikan Diba ya Ka. Aduh Ka Diba malu."

"Hihihi.... kamu lucu sekali. Aku betul-betul gak nyangka sama sekali dengan pikiranmu Dib."

"Iya, Diba salah. Maaf, tolong jangan dibahas lagi ka."

"Jadi? Apa jawabanmu untuk Umiku? Kau mau menerima lamaran putranya atau menolaknya?"

Aku tersipu. Rasanya sulit sekali menghilangkan senyum-senyum kecil ini dari wajahku. Aku bahagia bukan main mendengarnya. Ka Ibra masih single, Ka Ibrahim akan menjadi imamku.

"Biar kujawab langsung ke Umi ya Ka." Kataku kemudian.

"Lho, kenapa gak sekarang aja?" Tanya Ka Ibrahim penasaran.

"Lho Ka, yang kemarin melamarku kan Umi, bukan kau sendiri. Kenapa harus jawab ke Kakak."

Singkat cerita akhirnya segala persiapan pernikahan kami dilanjutkan. Gedung, akad nikah, seragam keluarga, dan lainnya hampir semuanya telah selesai.

Aku menemui sahabat-sahabatku satu persatu. Mereka kaget bukan main mendengar aku akan manikah di umur 21 tahun. Yang bahkan aku baru akan menginjaknya.

Yang lebih mengagetkan lagi adalah aku akan menikah dengan cowok super keren yang digosipkan gay saat SMA dulu.

Aku hanya percaya, Jodoh pilihan Allah maka bagaimanapun jalan kehidupan kami, pasti Allah akan menunjukkan jalannya. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, sebaliknya pula. Maka aku berharap bahwa aku adalah yang terbaik bagi Ka Ibrahim. Begitupula Ka Ibrahim, aku yakin Ia adalah yang terbaik bagiku. Yang mampu mengimamiku. Aamiin.......

S E L E S A I

Oleh "Upay"

Sabtu, 16 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Tari)

Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menghidupiku dan Mama. Sementara Papa dipenjara, aku akan terus berusaha membahagiakan Mama.

Aku benci sekali pada Oma, dia keterlaluan. Setiap hari mencaci Mama. Menyalahkan Mama atas kebangkrutan dan dipenjaranya Papa. Andai Orangtua Mama masih ada, mungkin kami akan tinggal dengan mereka. Sayang saat ini kami hanya bisa mengandalkan Oma yang Ibunya Papa. Alhasil setiap hari Mama jadi bulan-bulanan Oma.

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk membawa Mama pergi dari rumah terkutuk ini. Sungguh menyebalkan. Bukannya aku yang cucunya ini tidak berbakti pada nenekku. Tapi aku tidak tahan melihat perlakuan Oma kepada Mama. Seringkali kami menangis berdua. Tiap kali saudara-saudara Papa datang, mereka hanya mencibir keluargaku tanpa menolong sama sekali. Aku benci sekali. Jika bukan karna Mama, mungkin aku sudah mati saja.

Ke mana Dimas. Dia menghilang bagai ditelan black hole yang entah berujung di galaxy mana. Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, Ia hanya memintaku bersabar atas apa yang terjadi pada keluargaku. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya bahwa dia akan meninggalkanku begitu saja. Suatu kali aku pernah pergi ke rumahnya. Keluarganya seperti menutup-nutupi keberadaan Dimas.

Mereka yang awalnya sangat baik padaku, sangat ramah dan selalu menerima kehadiranku sebagai pacar Dimas. Tapi kali itu terasa sangat jauh berbeda. Aku mengerti, ternyata memang benar, harta bukanlah segalanya tapi segalanya butuh harta, bahkan untuk menjalin hubungan sekalipun. Ironis. Inilah hidupku saat ini.

"Ma, kita pergi aja yuk. Tari udah gak tahan lihat perlakuan Oma ke mama. Pokonya kita keluar dari rumah ini sekarang juga." Pintaku pada Mama.

Meski aku masih tidak tau harus ke mana. Tapi aku harus menyelamatkan Mama dari kelukaan yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah cukup bagiku melihat itu. Akhirnya Mama setuju. Mungkin Iapun lelah diperlakukan kasar seperti itu. Kami keluar dengan hanya membawa tas besar berisi pakaian secukupnya. Uang di dompet hanya cukup untuk hidup satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Mama tidur di hotel malam ini. Setidaknya kami bisa nyenyak untuk satu malam saja.

Tapi kemudian aku teringat Adiba. Apa mungkin aku lagi-lagi meminta pertolongannya? Rasanya kali ini akan lebih sulit. Karna seakarang Adiba sudah menikah. Dia sudah punya keluarga kecil yang harus lebih diperhatikan. Apa yang harus kulakukan. Aku dan Mama terdiam, hanya terduduk di bangku taman tanpa tau harus apa.

"Tari, apa sebaiknya kita kembali saja?" Tanya Mama dengan pandangan mata yang sedih dan bingung. Akupun tidak tau harus bagaimana. Tapi untuk kembali pulang ke rumah Oma rasanya lebih berat daripada harus tidur di kolong jembatan.

"Sabar ya Ma. Tari janji malam ini juga kita akan dapat tempat." Jawabku kemudian.

Aku mencoba mengirim WhatsApp ke Adiba. Siapa tau Ia sedang tidak sibuk dan berkenan membantuku lagi.

"Hai Dib, sibuk ya? Gue lagi sama nyokap nih di bangku taman komplek. Lagi duduk-duduk aja."

"Hai, ngga sibuk koq. Kebetulan abis bikinin Ka Ibra kopi, terus kita lagi duduk-duduk santai aja nih di ruang TV. Ngomong-ngomong ngapain lu sama nyokap di taman?"

"Akhirnya gue sama nyokap keluar dari rumah Oma. Gue gak tahan Dib. Dan sekarang gue gak tau harus ke mana."

"Astagfirullah Tari. Kasian nyokap lu dong. Lu gimana sih. Gak punya rencana apa-apa nekat keluar bawa-bawa nyokap. Udah deh mending lu ke rumah gue sekarang. Segera ya. Cepetan cari taksi."

"MasyaAllah Dib, gue gak nyangka jawaban lu. Bener-bener cuma lu yang tersisa di hidup gue saat gue susah kaya sekarang ini."

"Gak usah banyak ngomong aneh-aneh, kasian nyokap. Cepetan ke sini."

Kami sampai di rumah Adiba yang cukup besar, megah, dan indah. Alhamdulilah, Adiba akhirnya sudah kembali kepada kehidupannya semula yang bergelimangan harta. Allah memang Maha mendengar doa-doa setiap hambaNya. Syukurlah Adiba dipertemukan kembali dengan Ka Ibra yang status sosialnya bahkan ternyata lebih tinggi daripada kami dulu yang hanya anak seorang pejabat negara.

Ka Ibrahim ternyata sudah mendengar semua cerita tentang keluargaku. Alhamdulilah Ia menerima kami dengan sangat terbuka. Mereka ramah sekali. Aku tak habis pikir, mereka yang tidak ada hubungan darah sama sekali masih bisa bersikap baik pada kami. Jauh dengan sikap Oma yang masih saja arogan padahal selama ini hanya Papah yang menopang hidup Oma.

"Dib, makasih banyak ya. Lu masih mau aja gue susahin." aku terisak menangis dalam pelukan sahabatku Adiba. Rasanya nyaman. Aku merasa lebih butuh sahabat seperti Adiba daripada pacar macam Dimas yang begitu saja menghilang entah ke mana.

"Ya udah lu santai aja dulu di sini yah. Kita pikirin caranya sama-sama nanti. Yang penting sekarang lu sama nyokap istirahat aja dulu. Gue anter ke kamar yuk."

Mama tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepada Adiba. Tentu saja, itu pasti karna Mama merasa diperlakukan sangat jauh berbeda dari tinggal di rumah Oma.

Singkat cerita akhirnya aku dan mama tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan Adiba dan Ka Ibrahim karna mereka merasa lebih baik kami tinggal di rumah mereka, tapi pada akhirnya mereka mengalah dan menghormati keputusan kami dengan membiarkan kami tinggal di kontrakan tempat Adiba dan keluarganya dulu tinggal.

Aku sangat bersyukur memiliki Adiba sebagai sahabatku satu-satunya yang masih peduli terhadapku. Aku memulai hidupku yang sederhana di rumah kontrakan ini. Seperti biasa, seminggu sekali kami mengunjungi Papah.

"Assalamualaikum Pah." sapaku pada Papah sambil mencium tangan Papah.

"Waalaikumsalam Nak' Alhamdulilah kalian masih mau datang rutin seperti ini."

Mata Papah berkaca-kaca, aku tahu kepedihan hatinya ditingal banyak orang kepercayaannya bahkan saudara-saudaranya. Rasanya pasti lebih parah dari apa yang kurasakan ketika teman-teman, sahabat, bahkan pacarku pergi menghilang meninggalkanku begitu saja. Aku menceritakan keadaan kami yang sekarang tinggal di rumah kontrakan. Aku berkata bahwa kami tidak ingin menyusahkan Oma, itu sebabnya kami pindah.

Aku tak sampai hati menceritakan kelakuan buruk Ibunya terhadap Istrinya ini. Bagaimanapun, beban Papah sudah cukup berat. Walaupun pada akhirnya aku tahu jika ternyata Oma sudah lebih dulu menghubungi Papah dan menceritakan bahwa kami minggat dari rumahnya. Pastinya dengan cerita yang sangat amat sekali berbeda dan terlalu dilebih-lebihkan.

Tapi sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi dengan kami di rumah Oma. Sehingga Ia memilih diam dan menerima keputusan kami untuk tetap tinggal di rumah kontrakan itu tanpa meminta ataupun memaksa kami kembali ke rumah Oma.

* * * * * *

Siang ini udara sangat terik. Aku yang masih saja ke sana kemari mencari pekerjaan seorang diri sangat sering merasa putus asa. Tapi demi Mama, aku harus terus berjuang. Aku duduk di depan sebuah coffee shop yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku. Sampai di detik ke sekian aku melihat pemandangan yang tidak asing bagiku.

"Bukannya itu Dimas?" gumamku dalam hati. Tapi sepertinya aku memang harus tidak terkejut. Karna aku yakin Dimas memang tidak ke mana-mana. Omongan Mamanya yang berkata Dimas kuliah di luar negri, sudah pasti hanya akal-akalan keluarga mereka untuk menjauhkanku darinya.

Aku sangat kangen padanya. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke pelukannya. Tapi aku takut. Sangat takut jika ternyata Dimas memang benar-benar ingin menjauh dariku. Tapi aku masih butuh kepastian darinya. Apa yang harus kulakukan. Mendatanginya atau biarkan saja.

Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, sepertinya Dimas masih sangat peduli padaku. Jadi, apa yang harus kulakukan. Aku berdiri di ambang pintu coffee shop. Antara mau masuk atau tidak. Sampai tiba-tiba sesosok tubuh tegap dengan wajah manis berdiri tegak dihadapanku.

"Permisi mba," katanya padaku. Tak lama kami berpandangan, Ia terkejut. "Tari." teriaknya sambil meraih tanganku, menarikku keluar ke sudut jalan kemudian Ia memelukku.

"Tari kamu ke mana aja? Aku cari ke rumahmu yang dulu ternyata sudah di sita KPK, aku ke tempat Omamu tapi beliau bilang kau dan Mamamu minggat tanpa pamit. Sepertinya Ia marah sekali. Ada apa sebenarnya. Bukannya di rumah Oma hidupmu lebih baik?"

Pertanyaan Dimas bertubi-tubi hingga tak terasa air mataku menetes.

Akhirnya kami masuk ke Coffe Shop itu. Duduk berdua, berhadapan dengan Dimas membuat hatiku berdegup sangat kencang. Tak bisa kupungkiri aku masih sangat mengharapkannya bersamaku. Tapi hidupku yang sekarang berantakan ini, apakah bisa diterima Dimas. Aku masih diam sampai akhirnya

"Kenapa kamu nangis? Ceritain ke aku ke mana aja kamu selama ini. Bagaimana hidupmu sekarang? Sebelumnya aku minta maaf karna aku gak bisa menghubungi kamu. Handphone lamaku disita Mama dengan nomornya. kemudian aku dibelikan handphone baru dengan nomor baru. Mungkin agar aku tidak bisa menghubungimu. Aku bingung mencarimu ke mana."

"Dimas, kalau apa yang kamu bilang itu benar, kalau kata-katamu barusan itu benar, bahwa kamu mencariku. Aku betul-betul berterima kasih atas itu. Tapi sumpah, aku sangat mengerti jika saja kamu harus dengan terpaksa tidak menemuiku lagi karna mamamu. Aku tidak masalah." Kataku sambil tertunduk tanpa berani menatap Dimas.

"Tar, untuk saat ini maaf, aku masih harus nurutin kata mamaku. Bagaimanapun aku memang laki-laki yang belum bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Kamu tau kan. Selesai kuliahpun aku dipekerjakan mama diperusahaannya. Aku belum diijinkan membuka usaha sendiri. Tapi aku janji, kasih aku waktu dan kita akan hidup sama-sama nanti. Aku akan buktikan ke mama bahwa aku bisa mandiri. Aku akan kumpulkan uang sendiri, kemudian membangun usahaku sendiri dan setelah itu aku akan dengan berani membawamu ke hadapan mama. Tapi semua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku minta kamu bersabar untuk itu. Kalau kamu mengijinkan, sementara ini kita hanya bisa bertemu diam-diam. Agar mama tidak bisa pisahkan kita lagi."

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Dia memintaku menunggunya. Apakah selama ini dia benar-benar mencariku, benar-benar masih berharap bersamaku. Aku yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini. Air mataku menetes lagi. Kali ini Ia menghapusnya dari pipiku. Kemudian aku memegang tangannya.

"Kamu gak salah? Kamu masih mau hubungan kita berlanjut? Denganku yang seperti ini?" Kataku sambil tetap menatapnya tidak percaya.

"Tari, bukankah sudah kodratnya laki-laki menafkahi dan wanita patuh terhadapnya setelah pernikahan? Jika itu benar, maka apalah artinya hartamu bagiku? Aku yang berkewajiban menafkahimu nanti. Jadi, apapun yang kamu punya sekarang, Seberapapun harta yang kamu miliki bahkan tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

Lagi-lagi aku tidak menyangka dengan yang diucapkan Dimas. Kenapa Dimas berpikir terlalu jauh. Apa dia yakin nantinya kami akan menikah. Saat ini aku hanya bisa berharap semua yang Dimas katakan akan terwujud meskipun entah kapan.

Akhirnya sore itu aku pulang tanpa hasil. Masih saja tidak ada satupun perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi kali ini meskipun pulang tanpa hasil, hatiku sangat senang. Lain dari biasanya. Aku sempat bertukar email dengan Dimas. Sengaja kami tidak bertukar nomor Handphone, karna khawatir mamanya Dimas akan menemukan kontakku di handphnenya Dimas. Jadi kami hanya chat melalui email saja. Bagiku itu sudah cukup untuk saat ini.

Mama bingung melihat perubahan sikapku hari ini. Tapi aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian hari ini bertemu Dimas kepada Mama. Karna aku takut mama malah melarangku berhubungan dengan Dimas karna malu.

"Kelihatannya senang sekali. Apa hari ini berhasil dapat pekerjaan?" Tanya mama penasaran.

"Sayangnya ngga begitu ma, masih sama seperti kemarin-kemarin. Tanpa hasil." jawabku kemudian.

* * * * *

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan. Bagaimanapun, aku harus membayar hutang-hutangku pada Adiba. Meski Adiba sudah mengikhlaskan. Tapi aku sudah berjanji padanya akan mengembalikan uang yang Ia pinjamkan untuk membayar sewa rumah yang kami tempati ini.

Singkatnya, aku makin sering bertemu Dimas diam-diam. Sudah dua bulan ini hubungan kami berjalan seperti ini. Seperti tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing. Aku dan Dimas selalu mencari tempat yang berbeda untuk bertemu. Khawatir mama Dimas mengikuti kegiatan Dimas seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kue. Meskipun gajiku jauh dari kata cukup, setidaknya aku masih punya penghasilan untukku dan mama hidup sehari-hari. Meski kadang kami sampai tidak makan seharian karna uang gaji yang selalu saja habis sebelum waktunya.

Sebetulnya Dimas tau hal itu, Ia seringkali memberiku uang untuk hidupku dan mama. Tapi tak pernah sekalipun kuterima. Karna aku tidak mau bergantung padanya.

"Tari, aku bener-bener gak tahan lihat hidupmu dan mamamu terus kekurangan seperti ini dan kamu sama sekali gak mau menerima bantuanku sedikitpun. Apa kamu sama sekali gak bisa menganggapku berarti?"

"Maaf Dimas, tapi kita sudah pernah membahas masalah ini. Dan saat itu kamu sudah mengertikan kenapa aku seperti ini?"

Alhamdulilah Dimas mau mengerti. Ia tidak memaksakan kehendaknya untuk menghidupiku dan Mama. Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan Dimas. Saat bulan ketiga aku bekerja di toko kue, tiba-tiba aku dapat ide untuk menjual kue-kue yang ada di toko tempatku bekerja di halaman depan rumah kontrakan kami. Alhamdulilah bosku pemilik toko kue mengijinkanku untuk membawa dulu beberapa kue setiap hari untuk dijual Mama di rumah, besoknya barulah kue-kue yang telah laku dibayar dan yang tidak laku dikembalikan ke toko.

Bosku ini memang baiknya luar biasa. Aku sempat terlupa kalo sebetulnya Mama pandai sekali membuat kue. Saat dagangan kami laris, uangnya ternyata dibelikan bahan-bahan kue oleh Mama dan Mama membuatnya sendiri untuk kemudian dijual juga. Dari situ hidup kami mulai berubah.

Keadaan kami sudah tidak sesulit dulu. Perlahan, dengan modal yang kami kumpulkan akhirnya kami bisa membuka coffee shop kecil yang menjual aneka kue, roti dan donat buatan Mama. Tanpa diduga usaha kami lancar. Alhamdulilah kami tidak kekurangan lagi. Bahkan sekarang kami bisa mengirim uang dan semua kebutuhan Oma seperti dulu. Seperti sediakala saat Papa masih sukses dan kaya raya. Ini bukti bahwa Oma selama ini salah menilai kami. Bukti bahwa kamipun sanggup bertahan meski tidak ada Papah.

Saat kami mengirim uang dan keperluan Oma, dia masih saja menghina Mama. Bahkan dia memfitnah Mama menjualku anak gadisnya kepada om-om kaya agar dinafkahi sampai seperti sekarang ini. Ya Allah kenapa sih ada orangtua macam Oma? Kenapa aku harus punya nenek seperti dia. Maafkan aku ya Allah jika aku tidak berbakti padanya. Dia yang membuatku seperti itu. Demi Allah aku benci sekali padanya.

Mama hanya bisa tertunduk malu saat Oma memfitnahnya di hadapan saudara-saudara Papa yang lainnya. Kalimatnya sungguh keterlaluan dan akhirnya akupun hilang kesabaran.

"Wah...wah...sudah bisa menghasilkan segini banyak ya setelah keluar dari rumah ini? Padahal Anakku masih dalam penjara. Tapi kalian sepertinya sudah hidup senang. Om-om mana yang kau sodorkan anak gadismu itu sampai-sampai mau mengeluarkan banyak biaya seperti ini? Rumah, kendaraan, Cafe. Luar biasa pesona anakmu".

"Astagaa.... Oma cukup ya. Kalau saja Oma bukan nenekku. Kalau saja Oma bukan Ibu dari Papah, sudah sejak lama Tari memukul mulut Oma. Keterlaluan sekali ucapan Oma. Apa Oma sadar selama ini yang menghidupi Oma hanya kami. Kalaupun benar Tari jual diri. Apa peduli Oma. Yang Oma mau kan hanya hidup enak bergelimangan harta tanpa peduli harta dari mana.

Bahkan Oma tau sejak dulu jika Papah korupsi. Tapi tak sekalipun Oma melarang. Sebagai Ibu, seharusnya Oma menasihati Papa. Tapi Oma malah membiarkan itu terus berlangsung hingga Papa dipenjara. Jadi, apa bedanya Oma yang membiarkan anaknya korupsi dengan Mama yang menjual Tari? Tidak ada bedanya kan? Bedanya saat ini hanyalah apa yang dilakukan Mama tidak seperti yang dipikirkan Oma". Aku berteriak dengan lantang karna habis kesabaranku.

"Beraninya kamu bicara begitu. Begitu ya Ibumu mendidikmu hingga berani bicara kasar terhadap Oma". Jawab Oma kemudian.

"Dengar ya Oma, yang kasar itu Oma. Sejak dulu seperti orang tidak berpendidikan. Ngakunya sekolah tinggi. Tapi bisa-bisanya mendidik anak sebagai koruptor".

"PLAAAAK.............". Tamparann Oma mendarat dipipiku. Aku tidak kaget. Karna aku sudah bisa menduganya. Oma hanya bisa berbuat seperti itu setelah menyadari bahwa dirinya yang salah mendidik anak. Bukan Mamaku. Aku tersenyum kecut ke arah wajahnya. Mama langsung menarikku dari hadapan Oma.

"Cukup Bu, saya tidak pernah memukul Tari sejak dia lahir. Bagaimanapun dia berbuat kesalahan. Tapi dia tidak pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan saya hingga saya harus memukulnya. Kesabaran saya sudah habis Bu. Ini kali terakhir kami datang ke sini. Kami janji kami tidak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini".

Setelah Mama berkata begitu, kamipun pergi dari hadapan Oma. Aku sempat melihat wajah Oma yang terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dia menyadari kesalahannya. Atau malah menjadi-jadi.

Saat kami mengunjungi Papah, rasanya mulut ini tidak tahan untuk menceritakan semuanya. Kalau saja tiap berkunjung tidak selalu bersama Mama, mungkin sudah kuceritakan semua yang terjadi pada hidup kami di rumah Oma. Tapi Mama selalu mencegahnya. Mama seperti malaikat bagiku. Beliau terlalu baik. Ia tidak ingin Papah mendurhakai Ibunya demi membela istri dan anaknya. Mamaku luar biasa. Aku ingin menjadi wanita sepertimu Ma. Semoga aku bisa sekuat dirimu.

Hidupku dan Mama akhirnya kembali bahagia. Aku kembali meneruskan kuliahku yang sempat terhenti karna cuti. Semua seolah berjalan dengan sangat mulus tanpa hambatan. Sampai suatu ketika aku melihat pemandangan yang luar biasa menyakitkan. Membuatku ingin muntah. Pahit rasanya.

* * * * *

Siang itu aku memutuskan untuk ke cafe sebrang kampus setelah jam kuliah usai. Aku lelah dan rasanya ingin minum minuman segar. Maka aku mampir ke cafe itu. Sebetulnya sejak dulu, sejak pertama kali aku masuk kuliah di kampus ini, belum pernah sekalipun aku masuk ke cafe itu. Karna dulu ada seorang laki-laki menakutkan yang bekerja di cafe itu. Sebetulnya bukan menakutkan bagaimana. Hanya saja dia selalu menatapku dalam-dalam tak berkedip jika berpapasan di depan cafe itu. Jadilah aku tidak pernah jadi masuk cafe itu sekalipun.

Tapi satu bulan lalu. Aku pernah mengalami kejadian tak terduga. Saat di jalan, ada anak-anak yang sedang bersepeda tanpa sengaja menabrakku hingga aku terjatuh dan barang-barang yang kubawa berantakan tercecer dijalan. Aku sedikit terluka waktu itu. Untungnya ada cowo baik hati yang lewat dan membantuku membereskan semua barang bawaanku yang tercecer dijalan.

"Adduduuuh". Keluhku saat itu. Lenganku terluka. Darah menetes. Untungnya tidak parah.

"Udah-udah, kamu duduk aja di situ". Kata laki-laki yang sedang membantuku merapikan barang bawaanku itu. Sambil memapahku ke bangku taman, Ia membawakan semua barang-barangku.

"Aduh kamu luka". Katanya dengan wajah khawatir namun tenang. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kemudian membukanya dan menyiram lukaku dengan air itu.

"Ini harus dibersihkan dulu biar gak infeksi". Katanya kemudian.

Saat tanpa sengaja kami bertatapan aku sangat terkejut melihatnya, kemudian spontan berteriak........

"Aaaah, eloe..... eloe kan cowo yang kerja di cafe itu kan. Yang selalu natap gue dengan muka serem. Mau ngapain lu? Aduh plis jangan macem-macem". Teriaku saat itu dengan panik.

"Aduh Mbaa, jangan salah sangka dong. Iya iya, gue emang cowo yang kerja di cafe itu. Emang bener gue selalu liatin lu tiap lu jalan di area cafe. Tapi sumpah gue bukan orang jahat. Maaf banget kalo tatapan gue mengganggu. Gue cuma merasa lu mirip sesorang yang udah lama ngilang. Maaf ya". Katanya menjelaskan.

Dari situ kami akhirnya ngobrol. Sambil dia mengantarku pulang kami banyak ngobrol. Ternyata selama  ini dia pernah kehilangan saudara perempuannya yang mirip banget denganku. Itu sebabnya dia selalu memperhatikanku. Wajah seram dengan tubuh tegapnya itu sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ternyata sangatlah ramah dan sopan.

Sejak saat itu kami berteman. Beberapa kali aku ke cafe itu dan dia membiarkan aku minum cappuccino kesukaanku tanpa membayar.

"Ssst.... jangan bilang-bilang ya. Nanti bos marah". Begitu katanya setiap kali dia memberiku gratisan Cappuccino. Lucu sekali dia.

Sampai akhirnya belakangan aku tau, bahwa ternyata justru dialah pemilik cafe itu. Tidak banyak orang yang tau kalau dia pelayan yang ternyata juga pemilik cafe. Rasanya aneh, ada manager yang tunduk sama pelayan. Hihihi..... dia itu emang cowo unik.

Entah sejak kapan aku mulai sering berkunjung ke Dance Cafe. Iya cafe itu diberi nama Dance oleh Bima pemiliknya. Ya, cowo unik itu namanya Bima. Aku mulai sedikit dekat dengannya. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, karna lebih sering bercanda dan bikin aku tertawa.

Disuatu siang yang sangat terik, aku memutuskan untuk ke cafenya Bima. Saat aku masuk dan masih berdiri di ambang pintu cafe. Aku melihat pemandangan yang membuatku muak dan ingin muntah. Aku terdiam, melihat sosok Dimas yang sedang bermesraan dengan seorang gadis. Mereka tampak sangat dekat, bermesraan bahkan hampir berciuman. Aku jijik melihat kelakuan mereka di depan umum seperti ini.

Saat itu aku berdiri tegak sambil tetap memandangi pemandangan memuakkan itu sambil meneteskan air mata. Dua makhluk brengsek itu tidak melihatku. Tapi rupanya Bima menyadari kehadiranku diambang pintu cafe. Ia yang melihatku tengah terdiam sambil menangisi pemandangan itu kemudian menghampiriku sambil menyebut namaku keras.

"Tari....." . Kontan saja dua makhluk menjijikan itu juga menengok ke arah Bima yang memanggilku.

Mereka berdua terkejut bukan main. Spontan Dimas bangkit dan ingin segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiriku. Namun saat itu gadis yang juga sama menjijikkannya itu mencegahnya. Ia menarik lengan Dimas. tidak membolehkan Dimas menghampiriku.

Segera aku berjalan keluar cafe dengan berderai air mata. Aku tak menyangka. Ternyata selama ini hubungan sembunyi-sembunyi kami bukan hanya untuk menghindari Orangtuanya. Tapi juga untuk menutupi hubungannya dengan Utami dariku. Ya, Utami. Dialah Utami sahabatku dan Adiba. Dulu saat SMA kami berlima adalah sekelompok siswi populer bergelimangan harta orangtua kami.

Aku, Adiba, Nadya, Nadiva, dan dia Utami. Kami berlima bagai satu bagian tubuh yang tak terpisahkan. Namun akhirnya harta dan kedudukan mengalahkan segalanya. Utami menghilang ketika Adiba dan aku jatuh bangkrut. Ketika kami berdua terpuruk. Utami tidak ada. Meski Nadya dan Nadivapun  seperti menghindar, tapi mereka masih menunjukan kehadirannya pada kami. Berbeda dengan Utami yang benar-benar menghilang namun kami tau Ia hanya menghindar.

Tiba-tiba muncul dihadapanku sedang memeluk mesra kekasihku Dimas. Bergandengan bahkan hampir berciuman di muka umum. Aku shock bukan main. Aku terisak di sudut jalan, Dengan posisi jongkok dan menelungkupkan wajahku dalam tunduk, aku menangis sejadi-jadinya.

Belaian lembut mendarat dikepalaku. Aku mengangkat wajahku. Kutatap wajah Bima kemudian kulanjutkan tangisku.

"Tari, udahlah. Gak pantes air matamu buat laki-laki macam dia". Bima berkata demikian seolah Ia sudah tau dan mengerti tentang hubungan kami bertiga. Aku, Dimas, dan Utami. Saat itu aku masih tidak menyadarinya. Aku tidak juga menghentikan tangisku. Aku masih shock.

"Iya Bim, tapi rasanya sakit. Gue tau orang seperti Dimas gak pantes ditangisin. Tapi Bim, lu liat kan tadi. Itu tadi Tami Bim. Utami sahabat gue. Koq bisa sih. Pantes selama ini dia menghilang. Rupanya dia gak mau ketemu gue karna udah berhasil ngerebut Dimas. Gue gak nyangka Bim, ternyata selama ini Dimas cuma ngebohongin gue. Perhatiannya, semuanya ternyata cuma bohong. Bahkan dia sempat mau menghidupi gue sama nyokap waktu itu. Untuk apa Bim. Cuma untuk ngerjain gue doang mungkin. Untungnya gue gak main terima gitu aja bantuan dia. Gue benci mereka berdua Bim. Benciii........".

Terus saja aku menangis. Tak terasa sudah mulai gelap. Aku dan Bima masih terduduk di bangku taman. Untungnya Bima bukan karyawan biasa di Dance Cafe. Jadi saat sekarng dia menemaniku tidak menjadi masalah baginya.

Sampai akhirnya aku merasa tenang, akhirnya aku pamit pulang pada Bima. Dia sedikit memaksa ingin mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolaknya. Akhirnya aku pulang dengan diantar Bima.

Sesampainya di depan pintu rumahku, Bima ikut turun dari mobilnya. Memastikan aku masuk ke dalam rumah. Tapi begitu kami sampai di depan gerbang rumahku. Tiba-tiba sesosok laki-laki muncul dan memegang agak keras lengan kiriku. Ya, ternyata Dimas sudah sejak tadi menungguku pulang.

"Tari, tunggu Tar. Biar aku jelasin semuanya". Kata Dimas sambil menarik keras lenganku demi mencegah aku masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Dim. Aku paham koq. Gak papa, aku baik-baik aja. Kamu bebas memilih berhubungan dengan perempuan manapun termasuk Utami. Bahkan mungkin kedua orangtuamu akan lebih senang kalo kamu sama dia. Aku fine aja koq. Udah ya, aku harus masuk".

Dengan sok tegar dan wajah tenang aku berkata demikian. Tapi sungguh, saat ini perasaan sakitku lebih kepada Utami. Aku masih tidak menyangka Utami bisa setega itu. Tapi pada Dimas, rasanya aku lebih tegar setelah tau dia brengsek dan tidak pantas dipertahankan. Benar kata Bima, laki-laki seperti Dimas akan mudah kucampakkan. Karna dia memang pantas diperlakukan seperti itu.

"Gak bisa Tar. Aku ga ada perasaan apa-apa sama Tami. Aku cuma cinta sama kamu". Katanya dengan wajah tegang sambil masih memegang lenganku.

Bima yang sedari tadi masih diam melihat perbincangan kami, tiba-tiba ikut emosi melihat wajahku yang tidak nyaman karna lenganku masih dipegang Dimas dengan sedikit keras. Mungkin Bima takut Dimas menyakitiku.

"Heh, lu gak denger. Tari udah gak mau dengerin penjelasan apa-apa. Gak usah lu paksa-paksa. Punya malu dikit dong". Kata Bima sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas dari lenganku.

"Eh, lu gak usah ikut campur ya. Lu itu cuma masa lalunya. Lu cuma temen kecilnya yang bahkan gak penting lagi buat hidupnya sekarang. Mending lu jauh-jauh dari Tari".

Apa? Teman masa kecil? Disini aku tidak mengerti ucapan Dimas. Apa maksudnya Ia berkata bahwa Bima adalah teman masa kecilku. Akupun spontan menatap Bima dengan wajah bingung. Kemudian kulepaskan cengkraman tangan Dimas.

"Tunggu. Apa maksudnya? Bima teman masa kecil aku? Apa ini Bim? Aku gak ngerti. Kapan kita pernah berteman sebelum ini?". Tanyaku sambil menatap Bima dengan wajah seribu tanya.

"Ooh jadi kamu bener-bener gak inget dia? Hmm, emang pantes cowo kaya lu itu dilupain. Orang gak penting dan bukan siapa-siapa macem lu, gak penting buat diinget-inget. Biar aku yang jelasin ya Tar. Ni cowo udah kenal kita dari jaman kita masih SMA. Dia sering mandangin kamu dari luar gerbang sekolah. Untungnya dia gak sampe berani nyamperin kamu. Kalo sampe berani, mungkin udah aku hajar dulu itu. Setelah aku selidiki, ternyata dia temen masa kecil kamu dulu waktu kalian tinggal di bandung yang cuma sebentar. Kamu pernah kan tinggal di bandung selama 6 bulan saat umurmu 7 tahun? Nah, dia ini yang dulu pernah jadi temen main kamu di sana. Rupanya cowo bego ini udah bener-bener jatuh cinta sama kamu Tari. Sampe-sampe dia ngejar kamu sampe ke jakarta. Waktu tau kamu masuk SMA Harapan, dia sering dateng ke sekolah kita. Tapi mungkin dia terlalu pengecut buat ngadepin kamu dulu karna kamu putri penjabat dan pengusaha terkenal kaya raya. Cowo kampung kaya dia mana mungkin cocok sama kamu".

Aku kaget bukan main. Bayanganku flash back ke beberapa tahun lalu saat aku masih kecil dan sempat tinggal di Bandung waktu itu. Dengan susah payah akhirnya aku mengingat semuanya. Pantas saja aku lupa wajah Bima. Karna dulu waktu kami kecil, sosok Bima sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bima kecil adalah anak cowo super gendut dengan pipi super tembem yang paling perhatian sama aku dibanding teman-teman lainnya. Saat tidak ada yang mau main denganku karna katanya aku lambat kalo diajak main lari-larian, hanya Bima yang mau menemaniku bermain boneka dan masak-masakan.

"Ya ampun Bimaaa, aku ingat sekarang siapa kamu. Anak Tante Lani. Kamu beda banget. Gimana bisa badan kamu jadi atletis kaya sekarang ini. Mana mungkin aku ngenalin kamu. Kenapa kamu ga cerita sih dari dulu. Ayo Bim mampir masuk dulu. Mama pasti inget deh sama kamu anaknya Tante Lani. Dulu kan kalian deket". Aku menarik lengan Bima sambil membuka gerbang rumah.

"Tunggu dulu Tar, gimana urusan kita. Aku bener-bener ga ada hubungan apa-apa sama Tami". Dimas masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku tidak peduli.

"Maaf Dim, kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Semuanya selesai di sini. Kamu silahkan teruskan hubunganmu dengan Tami. Dan jangan sekalipun nyakitin dia. Karna bagaimanapun, Utami masih tetap sahabat baikku".

Setelah itu aku berlalu dari hadapan Dimas dan masuk ke dalam rumah bersama Bima.

Singkat cerita akhirnya Bima menceritakan semuanya. Saat dia pindah ke Jakarta, dia mencariku. Setelah menemukanku, dia segan untuk menghampiriku begitu dia tau latar belakangku yang ternyata putri seorang pejabat dan pengusaha sukses di Jakarta. Memang dulu waktu aku tinggal di Bandung, kehidupan keluargaku belum sebaik di Jakarta.

Namun keinginan kuatnya untuk menemuiku membuat Ia berjuang hidup sendiri di kota besar yang penuh tantangan ini. Berbekal dari keahliannya membuat kopi dan kue, Ia membuka toko kecil. Sampai akhirnya kemudian berhasil mengumpulkan uang untuk modalnya membuka cafe yang jauh lebih baik dari sekedar toko kuenya yang dulu.

Bahkan aku tak menyangka. Tenyata nama cafenya diambil dari namaku. Dance yang artinya Tari sama dengan menari. Aku sangat tersanjung mendengarnya.

Tak berapa lama kemudian, Bima memberanikan diri melamarku. Aku tidak terkejut. Karna sudah tau bahwa dia memang menyayangiku sejak dulu. Senang bukan main ternyata ada laki-laki hebat yang memperjuangkan hidupnya demi aku. Setelah bicara pada Mama mengenai pinangannya, kami bertiga. Aku, Mama, dan Bima pergi menemui Papah di tahanan. Bima melamarku. Papah menitikkan air matanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah sedewasa ini dan memang sudah waktunya untuk menempuh hidup bersama orang yang tepat.

Kamipun menikah. Bahagianya karna Papah diijinkan keluar sel demi menikahkan kami berdua. Dengan restu Papah dan Mama, kamipun menikah dengan bahagia.

Ditahun berikutnya, Papah mendapatkan remisi. Karna Ia berkelakuan baik selama di sel. Ia mengajarkan banyak ilmu pada sesama tahanan di sel bahkan kepada para sipir tahanan. Papah memang orang yang sangat cerdas, ilmu bisnisnya banyak. Maka dengan ilmunya, Ia berhasil menelurkan para wirausahawan kecil setelah mereka masing-masing keluar dari tahanan. Itu prestasi yang membanggakan, maka papah keluar lebih cepat.

Ia kembali ke rumah kami. Sekarang kami hidup bahagia berempat, dan sedang menanti seorang anggota keluarga baru di kandunganku.

Allah memang Maha Tau yang baik bagi umatnya. Termasuk dalam hal jodoh. Bagaimanapun, kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tepat pada waktunya. Tidak akan terlalu cepat, ataupun terlalu terlambat. Semua ditanganNya selalu tepat pada waktu.

 S E L E S A I

By; Upay