Senin, 18 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Adiba)

Teman-teman bilang aku pemilih. Jika bermain, aku lebih suka berkelompok dengan anak-anak pengusaha lain di sekolah. Padahal itu semua tidak benar. Justru merekalah yang mendekatiku, dan tanpa sadar kami jadi kelompok. Kami yang ke mana-mana selalu di antar supir, main di mall, shopping, belajar seperlunya banyak membuat iri anak-anak lain.

Namun demikian, kami bukanlah kumpulan gadis manja berotak kosong. Karna bagi kami, cerdas itu keren. Itu motto geng kami. Geng? iya, ditahun-tahun seperti sekarang ini, sudah hal yang sangat biasa jika anak-anak sekolahan memiliki kelompok yang disebut geng. Luar biasanya dari kami, selain cantik, gaul, dan anak pengusaha, kami juga selalu juara kelas di sekolah. Aku, Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari selalu peringkat 5 teratas disekolah. Tentu saja akulah yang selalu peringkat 1. Itu sebabnya teman-teman lain bilang, akulah Mommy Gengnya.

"Hai, lagi ngapain?"  Sapaku pada sosok cowok yang sedang mengikat tali sepatu di depan Musholla sekolah. "Habis sholat ya? Emang ada sholat jam segini?" Tanyaku berlanjut. Tapi sayang, cowok ini rupanya sedikit sombong. Namun justru itu yang membuatku tanpa sadar tertarik dengan sosoknya. Awalnya sih ngga seperti itu.

"Ih ditanya diem aja, boleh minta tolong gak. Keran di toilet cewek gak bisa ditutup. Airnya ngalir terus. Bisa tolong diliat ada masalah apa?". Tanyaku padanya lagi. Kebetulan toilet memang letaknya tidak jauh dari Musholla, dan malah kelihatan jelas dari sebrangnya.

"Kan sayang air bersih terbuang percuma jadinya."  Lanjutku kemudian. Tapi cowok ini super duper sombong. Dia terus saja terdiam. Kemudian dia bangkit setelah selesai mengikat tali sepatunya. Berjalan tanpa mempedulikanku. Tapi tiba-tiba, dia berhenti tepat di depan toilet wanita, kemudian sedikit berteriak ke arahku yang masih terdiam di depan Musholla karna merasa dicuekin.

"Hei ukhti, tolong jaga di depan sini. Supaya kalo ada yang mau masuk, ukhti bisa kasih tau saya agar saya segera keluar dulu."

Aku berlari kecil ke arahnya dengan senang. Karna ternyata dia bukan cuek, hanya...... mmm.... hanya apa ya? Kenapa juga dia begitu? Tadi cuek, tapi tiba-tiba mau bantu. Aneh.

"Ok, gue tunggu di sini. Tolong dicek ya. Mmmh, nama gue Adiba. Adiba Shakila. Lu boleh panggil gue Diba atau Shaki. Kayanya lu salah orang. Gue bukaaan..... siapa tadi lu panggil? Uti? Nama gue bukan Uti." Kataku sambil berdiri di ambang pintu toilet menunggunya mengecek keadaan keran air.

"Jadi ini keran cuma kurang dorongan. Di dorong sedikit, langsung nutup koq airnya. Ya sudah, sudah selesai. Saya permisi dulu."

"Ya ampun, ini laki-laki bener-bener yah. Sama sekali lho gak peduliin omongan gue. Bahkan dia salah panggil nama dan gak minta maaf. Hhhh.... apa-apaan sih. Baru kali ini ada cowok begitu ke gue. Kesel banget."

**********

"Dari mana aja loo?"  Kata Nadya sambil menyuap chiki yang sedang dipegangnya.

"Eh, lu tau gak cowok itu? Yang lagi berdiri di depan kasir?"  Tanyaku pada Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari. Kemudian mereka menengok berbarengan.

"Ooh Ibra. Kenallah. Dia kan terkenal. Ganteng, Pinter, Ketua Rohis, Ketua Ekskul Basket, dan cuek banget sama perempuan. Kata anak-anak yah, dia homo."  Jawab Nadiva sambil terus mengunyah cemilan yang sedari tadi Ia makan tak henti-henti.

"Eeeuuuuhhh....."  Jerit kami berempat mendengar jawaban Nadiva.

"Pantes aja tadi gue dicuekin abis. Gue Nad, gue.... masa sih dia gak nengok sama sekali diajak ngomong Adiba Shakila. Mana dia kagak tau nama gue, malah gue dipanggil uti. Dia pikir gue neneknya apah."

"Bhakakakakka.........". Nadya, Utami dan Tari tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Yang membuat mereka tertawa bukan karna si "Ibra" ini nyuekin aku. Tapi karna aku gagal paham dengan maksud panggilannya si Ibra tadi.

"Aduh Diiib, lu goblok banget sik. Dia itu kan yang muslim taat banget gitu yah. Maksudnya dia itu 'ukhti' bukan 'uti'. Ampun deh Miss Endonesah satu ini." Kata Nadiva menjelaskan kembali.

"Naaah itu tuh bener, tadi dia panggil gue ukhti ada ukh ukh nya gitu."

"Bhakakakakakaka...................."  Mereka berempat malah makin keras ketawanya. Sumpah ngeselin abis. Rasanya mau kutampar wajah mereka satu persatu.

"Ya ampuuun Diib. Elo pinter, cantik, beken, tapi sayang yah. Agama lu minim. Hahahaah." Tambah Tari kemudian.

"Dibaa, sini 'barbie' kasih tau."  Kata Utami sambil merangkulku. "Ukhti itu bahasa arab, artinya panggilan untuk saudariku perempuan. Begituuu."

"Haduuuh ya ampuuun, tu orang lahir di arab? Dia udah gila ya. Ngomong bahasa arab di Indonesia. Yamanalah hamba mengertiii. Lagian, emang kapan gue pernah kawin ama sodaranya. Huh". Kataku dengan kesal.

"Hahahahahhaha....."  Kami tertawa bersama. Dan seperti biasa, geng kami memang selalu jadi pusat perhatian di pojokan manapun kami nongkrong di sekolah. Tapi kami cuek saja. Kepercayaan diri kami sungguh tinggi, karna kemampuan otak kami. Bukan karna kami anak pengusaha atau sering gonta ganti mobil. Itulah kami. Tapi yaa betul seperti yang dikatakan Tari. Agama kami memang minim. Entah dari mana mereka tau istilah Ukhti Ukhti itu.

Baiklah, kita sudahi dulu cerita tentang si Ibra. Karna satu dia gak penting di cerita kali ini, dua dia bukan tokoh utamanya, tiga dia homo. Yaaah meski itu baru kabar burung sih. Tapi bisa jadi bener. Lagiaan mana ada cowok yang gak suka sama Adiba Shakila. Aku cewek yang paling WOW di sekolah ini, dilirikpun tidak sama dia. Apa namanya kalo bukan homo? Iiiiih.....

Singkatnya, kami akhirnya menghadapi ujian akhir sekolah. Sebentar lagi kami akan jadi mahasiswi, itupun kalo lulus sih. Hihihihi. Tapi dengan otak kami yang gak setengah-setengah ini, aku yakin. Aku, Nadiva, Nadya, Tari dan Utami pasti lulus bareng-bareng.

Eh...eh tunggu. Ngomong-ngomong yah. Koq Ibra? kenapa namanya terdengar aneh ya. Agak mengganggu pikiran. Jadi kepo banget deh. Nama sebenernya siapa sih.

Setelah tanya-tanya ke anak-anak rohis, ternyata namanya bagus juga. Gak biasa 'Ibrahim Zain Mutaqqin'. Sepertinya ada artinya.

OK, bener-bener kita sudahi dulu cerita si Ibra ini. Singkat cerita kami semua lulus dengan nilai sempurna. Gengku maksudku, kalo yang laiin.... mmmh, yaaa gitu deh nilainya. Heheheheh somboong. Aku dan geng seperti biasa merayakan kesuksesan kami. Menembus universitas ternama seperti Universitas Indonesia.

Kami bersama masuk ke universitas yang sama namun berbeda jurusan. Aku memutuskan meneruskan cita-citaku menjadi seorang Dokter. Impianku ingin menjadi Ahli bedah nantinya. Dengan kecerdasan yang kami miliki, tentunya tidak sulit mengikuti semua mata kuliah di perguruan tinggi.

Karna kesibukan kami mengejar cita-cita, serta jadwal mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaan yang padat, pada akhirnya meski kami satu kampus, intensitas pertemuan kami menjadi semakin jarang. Bahkan belum tentu sebulan sekali kami dapat bertemu.

Tapi kemudian, beberapa bulan setelah lama kami tidak bertemu, akhirnya kami dipertemukan dengan kabar buruk dari keluarga nadiva. Ibundanya meninggal karna serangan jantung. Hari itu juga saat mendapat kabar duka itu, kami berempat segera bergegas ke rumah Nadiva. Suasana ramai dan terlihat Nadiva yang masih terisak di samping jenazah.

Kami menghampiri Nadiva, mencoba menenangkannya, menguatkannya agar diberi kesabaran dan ketabahan. Alhamdulilah Nadiva orang yang tegar. Ia tetap bersikap tenang meski sedang kehilangan. Sore hari setelah pemakaman selesai, kami pamit satu persatu. Kembali lagi ke kegiatan kami masing-masing yang super duper sibuk.

Dua minggu kemudian, giliran Utami yang mengirim kabar duka. Ibundanya juga telah berpulang. Lagi-lagi kami berkumpul dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Apakah hanya event ini yang dapat mempertemukan kami belakangan ini? Sedih rasanya.

Disuatu pagi yang cerah di bawah pohon rindang aku berteduh sambil membuka diktat mata kuliah yang super tebel. Aku semakin serius dengan usahaku meraih gelar dokterku. Bagaimanapun aku harus berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering "Tari memanggil."

"Haah? Tari?. Tumben, ada apa ya?." Sejenak aku terdiam, ada rasa deg-degan. Takut kalau kabar duka lagi yang kuterima. Tapi bagaimanapun aku tetap harus angkat. "Iya Tar, ada apa? Tumben pagi-pagi gini?." Tanyaku pada Tari sambil menggigit-gigit pulpen ditangan kiriku.

"Sibuk ya Dib? Bisa ketemuan gak?"  Tari terdengar seperti orang yang habis menangis. Ada apa dengannya. Kebetulan hari ini aku sedikit lowong, cuma lagi mengulang mata kuliah yang mungkin akan ada kuis nanti seperti biasa. Dosen mata kuliah satu ini memang hobi kasih kuis dadakan untuk menambah nilai. Kurasa aku sudah cukup khatam dengan diktat ini. Jadilah aku menyanggupi menemui Tari.

Kami bertemu di Caffe yang dulu sering kami datangi berlima. Tari menyeruput minuman dihadapannya. Kiwi Fresh Juice kesukaannya. Aku masih tidak berani bertanya. Ada apa dengannya. Kenapa Tari terlihat sedih. Toh jika memang Tari merasa ingin bercerita, dia pasti sudah bicara sejak tadi. Tapi Tari masih terdim dengan wajah sedihnya.

"Dib, gue sendiri sekarang. Semua orang ninggalin gue. Mereka pergi setelah tau gue bangkrut."  Tari memulai dengan kalimatnya yang bahkan aku sama sekali tidak pahami satupun. Dia menangis sambil bercerita. "Bangkrut? Elo bangrut Tar? Maksud lu apa gue gak paham deh. Coba ceritain dari awal. Kenapa juga lu bangkrut sebelum memulai apapun? Setau gue lu gak punya usaha apa-apa Tar."  Jawabku kemudian.

"Aduh Diiib, please deh jangan becanda disaat begini. Bokap gue Dib. Bokap gue yang bangkrut. Dan gue yakin lu punya TV kan di rumah. Lu juga pasti udah tau dari berita di luar sana apa yang terjadi sama keluarga gue. Awalnya gue juga males telpon lo. Pasti lu menghindar juga. Pasti lo ga angkat juga telpon gue. Tapi gue iseng aja coba-coba. Ternyata lu angkat Dib. Kenapa?"

"Kenapa apanya. Ada telepon ya diangkat lah Tari. Lu kenapa sih. Ceritain deh semuanya. Iya gue tau masalah bokap lu yang ketangkep kemaren. Korupsi apa sih dia? Perasaan lu gak pernah akur sama bokap lo, kenapa tiba-tiba sekarang lu jadi peduli? bukannya lu cuma peduli sama uangnya? ooh justru karna lu takut miskin makanya yang lu peduliin kebangkrutannya, bukan dianya yang di penjara?"

"Diba, betul banget gue gak peduli dia, yang gue peduliin itu uangnya, hartanya dia. Apa jadinya kuliah gue tanpa duit dia, mobil gue, rumah gue semuanya disita Dib. Sekarang gue kepaksa ngungsi di rumah Oma. Saudara-saudara yang lain semuanya mulai jauhin keluarga gue, Oma tiap hari marah-marah tanpa sebab seolah dia pingin gue dan nyokap jadi gak betah di rumahnya dan minggat. O my God Diba. Gue harus gimana."

Aku terus mendengarkan curhatan Tari yang dibarengi dengan tangisannya yang tak henti-henti. Kupikir, alangkah teganya jika di saat-saat seperti ini aku justru menjauh. Aku bukanlah orang-orang seperti orang-orang dilingkungan Tari yang tiba-tiba menjauh ketika keluarga Tari susah.

"Ya udahlah Tar, lu focus aja sama kuliah lo. Kelarin dan jadi sukses. Supaya lu gak bergantung lagi sama harta bokap lu. Dulu kan lu sendiri yang bilang. Harta korupsi gak akan bertahan lama. Dan sekarang omongan lu kebukti. Ya jalanin aja."  Aku mencoba terus berusaha menenangkan Tari yang sedari tadi menangis meratapi nasibnya.

Aku terus mendampingi Tari, hampir setiap malam sejak pertemuan kami itu Tari selalu menelponku. Ia tampak terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Tak jarang aku menganjurkannya untuk menghadiri acara persidangan papahnya untuk mendukungnya. Bagaimanapun Ayah dan anak haruslah saling memahami. Itu kataku padanya.

"Dib, makasih ya. Cuma lo sahabat gue yang gak pernah berubah. Cuma lo yang masih terus ada di samping gue."

"Udahlah Tar, jangan berpikiran negatif. Siapa tau Nadya dan yang lain memang sibuk dengan urusan mereka. Kapan-kapan kita coba main ke rumah mereka ya. Siapa tau mereka punya alasan kuat kenapa ganti kontak dan gak ada kabar. Kalo emang mereka cuma menghindar, ya kenapa sama gue juga. Harusnya mereka ngabarin gue dong. Kan gada masalah sama gue. Jadi jangan negatif thinking dulu ya say."

Tari terdiam disebrang telepon. Akupun ikut terdiam. Tidak berapa lama kemudian Tari mulai bicara lagi. Aku tau sejak awal Tari telepon hari ini, sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan, tapi mungkin dia mau basa basi dulu. Pikirku dalam hati.

"Dib, gue butuh banget bantuan lo. Tapi gue takut setelah ini lo bakalan ngejauhin gue juga."  Seperti dugaanku sejak awal. Cepat atau lambat, Tari pasti butuh bantuan.

"Ngomong Tar, jangan menjudge gue seolah gue ini sama seperti sodara-sodara lo yang lain. Gue bukan mereka. Sebisa mungkin gue pasti bantu lo."  Jawabku kemudian.

"Dib, gue butuh uang untuk bayar kuliah. Lu bisa bantu?" Tanyanya kemudian.

"Butuh berapa Tar? Mudah-mudahan gue bisa bantu lo."

"Sekitar 30juta Dib. Untuk semua biaya kuliah setahun ini. Gue gak mau putus kuliah. Gue harus berhasil Dib. Kalaupun lu ga bisa bantu uang, setidaknya apa lo bisa bantu gue cari kerjaan?"  Tanya Tari lebih jauh.

Aku menghela nafas panjang. Bukan karna harus keluar uang untuk Tari. Tapi lebih kepada keputusan Tari yang ingin mencari pekerjaan. Kupikir waktu kita sudah sangat padat untuk kuliah. Mata kuliah yang setiap hari selalu ada, pengulangan pelajaran, tugas-tugas dan lainnya. Bagaimana mungkin Tari bisa membagi dua waktu kuliah dan bekerja.

Aku menyanggupi permintaan tari meminjamkan uang padanya. Lagipula dengan keadaanku yang seperti ini, uang segitu tidak masalah buatku. Sebetulnya tanpa Tari berjanji mengembalikannyapun aku tidak masalah. Justru yang jadi masalah, bagaimana caraku membantu Tari mencari pekerjaan.

Kalo aku minta di perusahaan Papah, pasti mama yang gak bakalan setuju. Karna kupikir Mama adalah orang yang terlalu memandang kekuasaan dan nama baik. Jika tau aku masih berhubungan dengan Tari, Mama pasti memintaku menjauhinya. Takut dampak nama buruk Papa Tari terbawa-bawa  ke keluarga kami yang tersohor dengan perusahaan besarnya di mana-mana.

"Tar, gue bantu lo soal uang. Tapi gue ga bisa janji apa-apa masalah kerjaan. Lu tau kan nyokap gue gimana."  Aku dan Tari sama-sama terdiam sejenak.

"Gak masalah Dib, lo udah baik banget bantu gue. Sejauh ini, satu-satunya orang yang terus ada disamping gue sampai detik ini cuma elu Dib. Bahkan Dimaspun entah ke mana."

Dimas adalah pacar Tari sejak SMA, mereka seperti sepasang kancing dan baju yang sulit dipisahkan. Karna itulah aku agak sedikit kaget mendengar perkataan Tari yang mengatakan bahwa Dimaspun menghilang menghindarinya seperti yang lain.

Ya Allah, apakah sebegitu berperannya semua harta yang kita miliki di dunia ini bagi orang lain? Aku semakin bingung. Bagaimana cara meringankan beban psikologis Tari yang betul-betul sedang down.

"Sabar ya Tar, mungkin bukan Dimas yang memutuskan untuk menghilang dari lo. Mungkin aja orang-orang di sekelilingnya. Meskipun kita tetep gak boleh negatif thinking ke keluarganya. Tapi kemungkinan tetap aja ada kan. Terlebih lagi, gue gak yakin kalo Dimas type cowok yang memandang harta dan jabatan keluarga lo seperti yang lain."

Singkatnya semua kesedihan Tari berlalu. Tapi entah nasib seperti apa yang berputar di sekeliling kami berlima. Seolah cobaan datang secara bergiliran. Kali ini giliranku. Papah jatuh sakit, Mama semakin lama semakin menderita karna lelah mengurus Papah. Sudah dua tahun ini Papah terbaring lemah, usaha Papah yang dipegang Om Salman mengalami defisit. Itu kata Om Salman. Meski aku yakin sesungguhnya tidak seperti itu. Aku tidak mau berpikiran buruk terhadap Om Salman adiknya Papah. Aku ingin buang jauh-jauh sifat negatifku ini.

Tapi mengingat usaha Papah yang besar dan semua terkendali dengan baik dan tiba-tiba saja jadi berantakan semenjak Papah sakit dan tidak datang-datang ke kantor, rasanya ini sesuatu yang terlalu kebetulan. Setiap bulan Om Salman datang ke rumah membawa setumpuk laporan keuangan perusahaan. Semua laporan itu hanya bisa Papah tandatangan tanpa membaca isinya. Karna Papah terlalu sakit untuk berpikir apalagi mempelajari isi laporan itu.

Tentu saja aku dan Mama sama sekali tidak mengerti tentang bisnis Papah. Inilah satu-satunya kesalahan Papah di masa lalu yang baru kelihatan dampaknya saat ini. Seandainya dulu Papah mengijinkan Mama membuka bisnis butik dan restauran sendiri, mungkin kami gak akan terlalu bergantung pada perusahaan Papah semata. Mungkin kami bisa dengan ikhlas menyerahkan saja seluruhnya kepada Om Salman.

Papah terlalu takut jika Mama menjadi wanita mandiri maka lambat laun Ia tidak akan dibutuhkan lagi. Sepicik itukah pikiran Papah dulu. Aku terkejut mendengar cerita Mama. Pantas saja disaat Ibu-ibu lain sibuk dengan bisnisnya, usaha dagangnya, kesana kemari meeting dengan teman-teman bisnis dan lainnya. Mama hanya sibuk mengurus aku, mengantar jemputku sekolah, memasak, dan hanya berkebun di rumah. Rupanya itu karna Papah melarang.

Satu kesalahan lagi adalah Papah tidak pernah memberikanku ilmu bisnisnya sedikitpun. Ia hanya ingin aku lulus dengan nilai terbaik sebagai seorang dokter. Papah lupa jika sekolah kedokteran membutuhkan banyak dana. Jika sekarang Papah bangkrut, bagaimana aku bisa meneruskan sekolah kedokteranku yang butuh banyak biaya?

Aku bingung, Mama jadi lebih sering melamun. Kami betul-betul jatuh miskin. Sampai-sampai kami harus keluar dari rumah. Semua perusahaan beserta asset yang tersisa sudah habis untuk membayar hutang, gaji karyawan, dan biaya pengobatan Papah. Jadilah kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa fasilitas mewah yang memadai. Aku? Tentu saja sangat tersiksa. Seperti biasa, keluarga besar kami menghilang satu persatu, terlebih belakangan ini biaya pengobatan Papah makin membengkak. Papah jadi harus lebih sering bolak balik ke Rumah Sakit.

Akhirnya aku yang harus memikirkan keluarga ini. Dengan berbekal ijazah SMA aku mencari pekerjaan. Semua pekerjaan kuterima. Bahkan Tari juga turut membantuku. Hanya Tari yang ada. Mungkin Ia teringat dirinya pada masa-masa sulit dulu akupun membantunya.

"Dib, gue bingung nih mau ngomongnya." Kata Tari sambil menatapku dengan wajah kebingungan. "Apa sih, tinggal ngomong aja pake bingung segala. Gak usah takut gue tersinggung. Gimanapun sekarang ini gue udah jadi orang susah, miskin, jadi udah ga boleh baper lagi." Jawabku kemudian.

"Lu bener-bener butuh kerjaan kan?" Tanya Tari kemudian. "Ya iyalah. Kan lo tau udah dua minggu ini gue cari kerjaan dan ga dapet-dapet. Apalah artinya ijazah SMA ini."

"Nah itu dia Dib, jadi gue punya kenalan yang lagi butuh orang untuk kerja. Tapiii... gimana yah. Gue gak yakin lu sanggup."

"Tar, kerjaan apapun akan gue sanggupin asal halal gak macem-macem apalagi jual diri ke om-om." jawabku kemudian.

"Hahah, gila lo. Ya enggaklah, jadiii kenalan gue ini lagi butuh pengasuh untuk anaknya Dib. Gaji sih udah pasti gak gede lah. Jauh banget dibandingin uang jajan lu sehari. Duluuu..."

"Hahahahaha....." Kami tertawa bersama. Akhirnya aku menerima saran Tari untuk melamar menjadi pengasuh di rumah kenalannya Tari. Walau gaji tidak seberapa, setidaknya aku masih bisa bantu Mama Papa untuk biaya sehari-hari seperti makan, air, listrik dan pulsa telpon. Itu sangat menolong.

Singkatnya aku sudah sangat kewalahan mengasuh bayi majikanku. Maklum, aku yang manja harus berhadapan dengan seorang bayi yang sama sekali tidak kumengerti bahasanya. Tiap kali Ia selalu menangis. Tapi Alhamdulilah majikanku sangaaat baik, bukannya memecatku karna tidak becus mengurus anak mereka, bahkan mereka malah memberiku bimbingan dan pelajaran bagaimana cara mengasuh anak dengan benar.

Itu membuatku mempelajari banyak hal. Terlebih lagi jika suatu hari nanti mungkin Tuhan akan memberiku jodoh dan aku menikah. Itu sangat-sangat menolongku menimba ilmu menghadapi calon keluarga kecilku nanti.

Bukan hanya itu kebaikan yang kuterima dari majikanku. Mereka juga sering mengajakku pergi ke acara majelis taklim, pengajian dan dakwah yang kudengar hampir setiap hari itu membuatku makin lama makin menjadi sosok yang jauh lebih baik, hari ini ke pengajian RT sini, besok ke masjid kota sebelah, lusa di rumah majikanku sendiri. Sungguh beliau sangat berjasa bagiku.

Pic From Google
Diawal-awal mengikuti pengajian, seringkali aku menangis mendengar dakwah-dakwah yang memecut hatiku. Aku semakin tersadar, sejak kecil bahkan sejak aku lahir, Mama Papa tidak pernah sekalipun mempedulikan pendidikan agama kami. Keluargaku yang terlalu hedonis, memandang kesuksesan sebatas harta, jabatan, dan nama besar yang dimiliki. Mereka lupa yang menciptakan itu semua.

Mama kaget bukan main saat aku pulang dari bekerja dirumah majikanku dengan mengenakan gamis beserta hijab sebatas dada dikepalaku. Hampir Ia tak mengenaliku.

"Diba? ini Diba kan?" Tanyanya dengan wajah terkejut. Seketika air matanya menetes. Baru kali ini Mama ingat penciptaNya.

"Ya Allah Diba, selama ini kita lalai terhadapNya. Semua yang kita pikirkan selama ini hanyalah tentang dunia. Tapi, bagaimana mungkin kamu bisa seperti sekarang ini nak?". Tanya Mama padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Iya Mah, doakan Diba bisa istiqomah mulai sekarang ya Mah. InshaAllah Diba akan konsisten dengan jalan hidup Diba mulai detik ini. Mah, mari kita sama-memperbaiki jalan hidup kita, dimulai dari diri sendiri Mah, banyak berdoa sama Allah. Diba mohon, Mama mulai sekarang jalankan Sholat lima waktu Mah, banyak zikir dan berdoa, memohon kesembuhan Papah kepada Allah Mah."

Aku dan Mama berpelukan sambil meneteskan air mata mengingat betapa bodohnya kami yang selama ini lupa bahwa ada Sang Pencipta yang pasti akan menunjukkan jalan.

Aku merasa sangat berdosa. Mengapa ketika kesulitan datang barulah menyadari bahwa ilmu agama itu penting? Bagaimana mungkin selama ini kami hidup bahagia bergelimangan harta dan penuh kemewahan tanpa campur tangan Allah yang Maha segala-galanya, Maha memberi apa yang selama ini kita punya.

Mulai dari situ, aku merasa hidup kami lebih tentram, lebih damai. Sampai suatu ketika majikanku memberiku kabar baik sekaligus membuatku bimbang. Saudari majikanku yang tinggal di Cairo membutuhkan seorang pengasuh anak. Aku ditawari gaji yang cukup tinggi karna akan ditempatkan di luar negri. Aku bimbang, haruskah kutinggalkan Mama Papa yang justru sedang membutuhkanku.

Benarkah ini jalan yang Allah pilihkan bagiku? Bagi keluargaku? Aku bingung, majikanku menyarankanku untuk melaksanakan sholat istikharah. Yang katanya jika dilakukan dengan keyakinan dan bersungguh-sungguh, InshaAllah Allah akan menunjukkan jalan yang tepat bagiku. Akupun melaksanakannya.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian Mama tiba-tiba saja bertanya padaku. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tau Mama tau dari mana perihal aku ditawari pekerjaan di luar negri. "Dib, sampai detik ini kamu masih juga diam. Bagaimana keputusanmu mengenai tawaran bekerja di luar negri itu Nak?"  Tanya Mama di tengah suasana makan malam yang sunyi. Alhamdulilah Papa mulai bisa makan sendiri, meski masih harus beraktifitas di kursi roda tapi kondisinya sudah sangat jauh lebih baik. Beliaupun ikut berbicara.

"Nak' jika alasanmu tidak menerima tawaran itu karna Papa dan Mama, maka kami berdua akan sangat menyesal. Maka kami akan hidup menanggung rasa bersalah hingga akhir hayat. Apa kau mau Papa Mamamu menanggung derita itu?" Tanya Papa kemudian. Aku terkejut mendengarnya.

Memang sebenarnya aku berat meninggalkan mereka berdua. Diumur yang tak lagi muda, terlebih Papa dalam kondisi tidak stabil harus kutinggalkan. Rasanya aku sangat berat. Tapi mendengar hal itu, aku malah jadi takut sekali. Benarkah mereka akan terbebani dengan keputusanku?

"Pah, Mah, jikapun Diba menolak tawaran itu. Diba pastikan itu bukan karna kalian. Diba sudah nyaman di rumah Umi Halimah Pah, Mah. Kalian lihat sendiri perubahan apa yang Umi bawa kepada Diba. Majikan yang mungkin hanya seorang yang seperti Beliau di dunia ini. Diba beruntung Pah, Mah bekerja dengan Beliau. Jadi Diba bukan hanya berat meninggalkan Mama Papa tapi juga Diba sudah kerasan di rumah Beliau."

Mama Papa terus membujukku agar mau pergi bekerja di sana. Mereka berharap, aku dapat menemukan kehidupan yang lebih baik dan tentunya lebih layak di sana. Siapa tau masa depanku memang di sana. Kuliahku yang sempat terhenti mungkin saja bisa kulanjutkan nanti jika aku berhasil mengumpulkan uang dari bekerja di luar negri.

Singkat cerita, akhirnya semua persiapan kepergianku untuk bekerja di rumah kerabat majikanku telah siap. Lusa aku berangkat. Aku berdoa semoga Allah melindungi kedua orangtuaku selama aku tidak berada di dekat mereka.

*******

Cairo

Aku tiba di bandara Cairo. Disambut oleh seorang driver yang ternyata juga orang asli indonesia. Pak Samin namanya. Dia membentangkan poster bertuliskan namaku "ADIBA SHAKILA From INDONESIA". Akupun menghampirinya.

"Assalamualikum Pak Samin, saya Adiba". Kataku memperkenalkan diri sambil mengatupkan kedua tanganku ke hadapannya.

"Oh iya Neng, Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat. Sukurlah akhirnya ada yang bisa saya ajak bicara bahasa Indonesia."  Jawabnya kemudian sambil tersenyum lebar.

Akupun bersukur bahwa semua pekerja majikan baruku di Cairo ini adalah orang asli Indonesia semua. Sehingga aku tidak kesulitan ketika harus menyampaikan sesuatu. Kamipun segera bergegas menuju kediaman majikan kami. Dalam perjalanan Pak Samin banyak bercerita tentang keluarga majikan baruku. Ia bernama Umi Laksmi. Beliau pengusaha sukses di Indonesia sebenarnya. Namun rupanya Allah sangat gemar sekali menitipkan harta dunia ke tangannya. Terbukti selain Ia kaya raya di Indonesia, Iapun akhirnya berkesempatan melebarkan sayap usahanya di negeri orang.

Menurut cerita Pak Samin, keluarga Umi Laksmi ini keluarga yang sangat royal. Setiap hari tak pernah absen bersedekah. Umi memiliki yayasan panti asuhan di Indonesia. Kesemuanya Umi yang membiayai tanpa turut campur tangan donatur. Paling-paling jika ada kerabat atau rekan bisnis yang memang ingin mendonasikan sebagian hartanya barulah Umi menerima donasi. Selebihnya Umi sama sekali tidak pernah meminta atau menggalang donasi untuk yayasannya sendiri.

Aku berfikir sejenak. Teringat akan kehidupan makmur nan mewahku dulu. Adakah Papa dan Mama bersedekah ketika itu? Seingatku, perusahaan Papa yang begitu sukses dan maju sama sekali jauh dari yang namanya sedekah. Entah apakah Papa tidak kepikiran ataukah Papa merasa rugi jika harus bersedekah. Yah, entahlah. Masa lalu keluarga kami yang terlampau jauh dari ajaran Allah sangat membuat kami terjebak dalam kehidupan hura-hura yang sama sekali tidak bermanfaat. Tapi aku tidak mau menyesalinya. Aku harus bangkit dan berjuang demi mereka.

Kamipun sampai di kediaman Umi Laksmi. MasyaAllaaah...... tiada berhenti aku terkagum-kagum dengan kemeahan bangunan yang bagai puri istana para raja seperti yang ada di film-film dongeng itu. Aku tak habis pikir. Bagaimana para asisten rumah tangga membersihkan bangunan ini? Menurut Pak Samin, mereka ada lebih dari puluhan orang yang bekerja sebagai ART di rumah ini. Aku jadi merinding mengingat akan merawat seorang anak yang kehidupannya semewah ini.

Kemewahan yang kupunya sungguh sangat jauh dibandingkan apa yang ada di depan mataku sekarang ini. Benar kata Pak Samin. Allah sangat senang menitipkan harta dunia kepada keluarga Umi Laksmi yang sangat kaya raya ini.

Aku dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang berisi meja kerja dan peralatan kantor lainnya di dalam rumah itu. Ya, seperti rumah mewahku dulu yang juga ada ruang kantor di dalamnya. Bedanya ini jauh lebih luas dari milik Papa dulu.

"Jadi kamu Adiba yang calon Dokter itu?" Tanya wanita cantik yang duduk di meja kerja itu. Aku mengangguk dengan wajah sedikit heran. Darimana beliau tau kalau aku calon dokter gagal? Eh, tapi beliau tidak menyebutkan kata gagal di kalimat itu.

"Iya saya Adiba. Maaf sebelumnya Ibu. Panggilan apa yang harus saya ucapkan untuk memanggil Ibu?". Tanyaku sedikit gugup. Aku memang seorang calon dokter yang sama sekali masih jauh dari berhasil. Namun sikap tenang dan rasa kepercayaan diri seorang dokter sudah melekat pada diriku sejak aku masih SMA. Sehingga tidak sulit bagiku untuk berkomunikasi seformal dan se high class mungkin.

"Panggil saja saya Hana. Nama saya Hana Mutaqqin. Saya anak dari Umi Laksmi pemilik rumah ini. Kebetulan yang akan kamu asuh nanti adalah putri saya bernama Syahira. Dia masih berumur 3 bulan. Apa kamu sudah terbiasa mengasuh bayi kecil?" Tanyanya padaku. Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Karna kupikir seharusnya Mba Hana sudah tau jika sebelumnya aku bekerja dengan kerabatnya di Indonesia juga mengasuh seorang anak.

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Mba Hana, Ia melanjutkan. "Maaf ya Dek' Diba. Bukan saya kurang yakin. Saya tau betul waktu di Jakarta kamu bekerja mengasuh keponakan saya Maliha. Hanya saja saya tidak menyangka bahwa ternyata pengasuh yang dikirim ke sini begitu cantik dan lembut, tidak seperti seorang pekerja. Sangat jauh dari yang saya pikirkan. Mohon maaf sekali lho Dek."  Terangnya kemudian.

"Oh gak apa-apa Mba Hana. Saya gak masalah dengan yang dipikirkan orang-orang tentang saya. Karna di Jakarta semua orang tau siapa saya, reputasi saya, bahkan kehidupan saya sebelum saya jadi pengasuh. Jadi rasanya saya tidak kaget lagi jika mendengar Mba Hana mengatakan hal seperti itu."  Jawabku kemudian sambil tersenyum.

"TOK...TOK..."Terdengar pintu diketuk. Mba Hana mempersilahkan masuk. "Iya, masuk saja tidak terkunci."

Seorang laki-laki berkulit putih berbadan tinggi dan tegap masuk. Sesaat aku terpesona pada sosoknya. Laki-laki ini begitu tampan. Kemudian aku tersadar. "Astagfirullahaladziim." Batinku kemudian.

"Dek' maaf lho titipanmu tidak kutemukan di pasar tadi. Coba nanti aku suruh orang untuk mencari ke mini market." Katanya sambil menghampiri Mba Hana dan memberikan beberapa bungkusan yang katanya dari pasar.

"Iya gak papa Kak, nanti biar aku sendiri yang suruh orang. Oh ya, dimana Hira?" Tanyanya pada lelaki itu.

Sebetulnya aku agak sedikit terusik. Ingin melihat wajahnya sekali lagi. Ya Allah apakah dosa ingin melihat wajah lawan jenis dengan perasaan berdebar seperti ini. Tapi jujur saja bukan hanya terpesona dengan tampannya, aku merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi di mana. Aku berfikir keras. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa dimana aku masih SMA, berteman dengan keempat sahabatku Tari, Nadya, Nadiva dan Utami.

"Ya Allaaaah...." Aku tercekat sambil tertunduk menahan perasaan kaget yang tak terhingga. Tapi ternyata gumamanku terdengar mereka. Lelaki itu dan Mba Hana menengok tajam ke arahku.

"Iya, ada apa Adiba?"  Tanya Mba Hana kemudian.

"Mm... ngga ada apa-apa Mba Hana. Saya hanya tiba-tiba teringat sesuatu."  Jawabku sambil tertunduk. Lelaki itu tersenyum. Aku ragu dia tidak mengenaliku. Senyum tipisnya semakin meyakinkanku kalau dia ingat siapa aku. Bagaimana mungkin dia tidak mengingatku. Aku yang sangat terkenal di kalangan para siswa semasa SMA dulu.

Ya ampuuun ternyata suami Mba Hana adalah lelaki itu. Ibra, Ibrahim Zayn Mutaqqin. Kakak kelas tampan yang terkenal alim dan digosipkan gay, ternyata sudah menikah. MasyaAllah, dengan putri saudagar kaya macam Mba Hana. Makin minder saja aku. Tapi sungguh, aku tidak pernah melupakan senyuman Ibra terakhir kali ketika kami tanpa sengaja bertemu di lorong sekolah saat perpisahan SMA dulu. Waktu itu anak-anak angkatan Ibra sedang acara perpisahan kelulusan. Entah apa yang ingin Ia sampaikan saat itu.

Ingatanku flash back ke masa itu. Saat Ia berdiri di lorong sekolah. Menghadapku dan menyebut namaku. "Diba, bisa kita....."

Hanya kalimat itu yang berhasil Ia ucapkan. Karna tiba-tiba saja teman-temannya datang berhamburan lalu menarik dia keluar lapangan untuk sedikit berpidato diacara perpisahan sekolah saat itu. Setelah itu aku tak lagi bertemu dengannya. Bahkan kabarnyapun aku tak tau.

Jujur sebenarnya saat itu kemungkinan besar aku sudah jatuh cinta padanya. Namun gosip-gosip yang beredar yang mengatakan bahwa Ia gay, membuatku mundur dan acuh tak acuh kepadanya. Siapa sangka, ternyata sekarang Ia akan menjadi majikanku. Ayah dari anak yang aku asuh di rumah megah ini. Terlebih lagi istri cantiknya yang bernama Hana benar-benar membuatku minder. Aku yang dulu mungkin akan dengan mudahnya menyingkirkan lawan-lawanku. Dengan kepribadianku yang luar biasa serta status sosialku yang semua orang tau, aku pasti bisa dengan mudah merebut si Ibra ini dari tangannya. Tapi apalah aku sekarang.

"Ehem... Hira sedang main di kebun sama Ibu." Jawab Ibra kepada Mba Hana. Jujur saja aku jadi bingung sebutan apa yang pantas untuk memanggil Ibrahim. Tuan? Duh... pusing kepalaku rasanya.

Hari ini berjalan dengan lancar. Aku sudah berkenalan dengan Syahira. Putri cantik berusia tiga bulan yang masih harus digendong-gendong ke mana-mana. Wajah malaikatnya membuat hatiku nyaman mengurusnya. Putri mungil yang cantik memiliki kedua orangtua yang juga cantik dan tampan. Keluarga yang sempurna. Pikirku saat itu.

"Deek' aku pergi ke perpustakaan dulu ya. Hira bersama Diba." Teriak Ibrahim kepada Mba Hana yang sedang menyajikan makan siang di meja makan besar itu.

"Dadah sayaang". Kata ibrahim kepada Syahira sambil menyerahkannya padaku dan menciumnya kemudian berlalu pergi. Tapi kemudian Ia berbalik sejenak.

"Oh ya Diba, nanti tolong bilangin Dek Hana ya saya pergi cuma sebentar dan akan makan siang di rumah. Sepertinya dia tidak dengar teriakan saya."

"Oh iya Ka, nanti saya sampaikan. Aduh maaf saya jadi bingung mau panggil apa."  Kataku gugup.

"Kaka juga gak apa koq. Cocok. Kak' Ibra. Hihih."  Katanya dengan senyumnya yang menawan sambil berlalu pergi.

"Astagfirullaaah. perasaan apa ini. Kenapa rasa sukaku padanya semakin besar. Ya Allah, dosa besar aku mencintai suami orang seperti ini. Ya Allah hilangkan rasa ini. Bagaimana aku mengatasi perasaan ini." Batinku menjerit. Rasanya aku ingin dipulangkan saja. Dan tak pernah lagi bertemu dengan majikan tampanku ini.

Semua berjalan diluar dugaan. Pada akhirnya aku malah betah tinggal di rumah megah ini merawat Syahira putri Mba Hana dan Kak Ibrahim. Aku merasa mereka sangat dekat denganku, aku diperlakukan khusus. Seperti bagian dari keluarga. Awalnya aku takut akan mendapat tatapan sinis dari para pekerja lain di sini. Tapi ternyata aku salah. Mereka semua baik-baik padaku. Karna semua yang ada dalam rumah ini satu keluarga. Kami para pekerjapun dianggap satu keluarga. Tak jarang kami semua makan bersama dalam satu meja besar panjang setiap satu kali seminggu. Katanya sudah tradisi. Agar kami semua merasakan kekeluargaan yang kental di rumah ini. Sehingga para pekerjapun tidak merasa jauh dari rumah dan keluarga.

Aku senang setiap kali bermain bersama Syahira, Kak Ibra selalu datang menghampiri dan bermain bersama kami. Pernah suatu kali aku merasa seperti satu keluarga dengan Kak Ibra dan Hira. Andai saja kami bertiga keluarga kecil bahagia. Batinku saat itu. Tapi pikiranku itu harus kubuang jauh-jauh. Aku ini hanya pengasuh. Beraninya mengkhayalkan berkeluarga dengan majikanku. Terlebih lagi apalah aku ini jika dibandingkan dengan Mba Hana istri Kak Ibra.

Aku semakin dekat dengan keluarga ini. Tak jarang ketika kumpul keluarga besar, aku turut hadir di dalamnya. Bagaimana tidak, Syahira yang masih harus digendong tentu saja harus mengikutsertakan pengasuhnya ini.

Sore itu cuaca sangat cerah. Aku yang sedang mengajak Hira bermain di halaman sedang asyik bersantai-santai di rerumputan. Tiba-tiba saja Kak Ibra datang menghampiri. Seperti biasa sebenarnya. Sebetulnya lama kelamaan aku jadi bisa mengendalikan perasaanku. Mungkin karna aku memang sudah harus terbiasa.

"Hiraaa..... Ya ampun sayang, kamu cantik banget Nak' siapa yang dandanin? Mba Diba yaa?. Waaah Hira pakai mahkota bunga buatan Mba Diba yaa..." Umi Laksmi yang adalah neneknya Syahira hari ini sedang luang. Karna urusan bisnisnya sudah selesai semua. Ia menghampiri Hira, Aku dan Kak Ibra. Sementara Syahira bercengkrama dengan Neneknya, aku dan Kak Ibra mengobrol.

"Dib, kamu inget gak waktu kita SMA dulu. Waktu acara perpisahan kelulusanku. Di lorong sekolah sebetulnya ada yang mau aku bilang."

Sudah kuduga. Ternyata selama ini Kak Ibra memang mengingatku. Aku yang sekarang dengan pakaian serba panjang serta hijab yang menutup sampai batas dada. Ternyata pakaian ini tidak membuatnya lupa padaku.

"Sudah Diba duga. Ternyata Kak' Ibra memang ingat Diba ya. Pastinya Diba juga gak akan pernah lupa Kak saat di lorong dulu itu. Emang kalo boleh tau, Kak' Ibra waktu itu mau ngomong apa?" Tanyaku penasaran sambil tertunduk dalam-dalam karna takut terpikat pada wajahnya yang tampan padahal Ia suami majikanku.

"Sebetulnya waktu itu aku mau bilang. Seandainya saat itu kamu belum mengisi hati kamu dengan laki-laki manapun. Maukah kamu tunggu aku sampai kita lulus? Walaupun lama. Karna aku sadar yang namanya muslim kan gak mungkin pacaran. Kita dilarang pacaran. Tapi apakah kamu mau nunggu selama itu. Aku jadi mikir, gadis secantik dan sepopuler kamu pasti banyak laki-laki yang tertarik. Gak mungkin rasanya aku minta kamu menungguku"

Aku terkejut bukan main dengan kalimat yang Kak Ibra utarakan. Ya Allah, andai saja saat itu kalimat itu benar-benar terlontar dari mulutnya, dengan sigap aku pasti akan menjawab YA, AKU BERSEDIA MENUNGGU SAMPAI SAAT ITU TIBA.

"Kenapa Kak Ibra gak jadi ngomong? Malah menghilang setelah itu. Apa Kakak langsung pindah ke sini setelah lulus?"Tanyaku penasaran

"Ya, setelah lulus aku langsung meneruskan kuliah di Al-Azhar sini. Dan sampai detik ini, aku belum pernah lagi kembali ke jakarta."

Hatiku terasa ngiluuu mendengar Kak ibra bicara. Ya Allah, kenapa ini bisa terjadi padaku. Kenapa setelah semua cobaan yang Engkau berikan, aku harus patah hati di sini. Ya Allah, jujur aku masih tertarik padanya. Aku masih menyimpan rasa cinta itu. Rasa cinta yang dulu sangat kuragukan karna gosip murahan itu.

"Hmmm.... ibra, kalau sudah senang. Kenapa tak kau lamar saja Adiba."  Perkataan Umi Laksmi mengagetkanku. Astagfirullah, apakah maksudnya umi meminta menantunya ini untuk poligami. Tegakah Ia jika putrinya dipoligami. Ya Allah benarkah kalimat yang kudengar ini.

"Ah Ibu, kalimat kaya gitu koq diutarain ditempat begini." Jawab Kak Ibra kemudian. Aku semakin bingung. Kenapa Ibu dan anak ini bicara seolah-olah tidak akan ada yang tersakiti dengan obrolan macam ini. Apa mereka sadar yang mereka katakan. Terlebih lagi statusku yang hanya seorang pengasuh. Apa mungkin putri cantiknya itu rela dipoligami oleh pengasuh anaknya? Ya Allah, apa ini. Apa mereka sedang mempermainkanku.

Tiba-tiba saja Mba Hana datang. Kalian asyik sekali. Ayo, sudah waktunya makan. Ajak Mba hana kemudian. Perbincanganku dengan Kak Ibrapun lagi-lagi terputus. Didalam kamar aku termenung, Memikirkan perkataan Umi Laksmi. Tapi setauku Muslim taat seperti mereka memang sama sekali tidak pernah berkeberatan dengan yang namanya poligami. Jangan-jangaaan, Umi sendiri juga dipoligami oleh Bapak. Tapi koq aku merasa tidak seperti itu yah. Aaah membingungkan.

Aku ini baru saja berhijrah jadi muslim yang baik. Aku sama sekali tidak paham dengan poligami. Lagipula, kalaupun Mba Hana ikhlas dipoligami oleh Kak Ibra, apa iya hatiku ikhlas. Begini-begini sifat hedonisku ini masih sedikit tersisa. Terlebih lagi perihal cinta. Mana mungkin aku rela membagi cinta. Walaupun dalam hal ini akulah yang akan jadi perusaknya. Aku memang egois.

Singkat cerita, hari libur akan segera tiba. Seperti biasa para karyawan di rumah megah ini dipersilahkan cuti ke kampung halamannya masing-masing di Indonesia. Tentunya akomodasi ditanggung oleh Umi sekeluarga. Jika waktu cuti bersama ini datang, maka rumah akan diisi oleh para pekerja lokal Cairo yang di bayar harian. Sehingga rumah tetap terawat.

Akupun akan segera pulang ke Jakarta. Aku bersyukur bekerja dengan mereka. Aku betah bersama mereka. Jadi aku putuskan akan kembali bekerja setelah liburan. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Umi Laksmi sekeluarga memutuskan untuk juga pulang ke Jakarta. Tentu saja bersama Mba Hana, Kak Ibrahim, Syahira, dan lainnya.

"Mas Akbar akan menyusul kita ke Jakarta setelah selesai urusannya di Jogja Umi." Kata Mba Hana sambil menggendong Syahira dan menyerahkannya padaku. Entah siapa Mas Akbar. Sejak beberapa bulan lalu aku hadir di keluarga ini selalu saja ada orang-orang baru yang keluar masuk rumah ini. Kerabat Umi memang sangat banyak. Semuanya dekat dengan keluarga ini. Aku sendiri sampai tidak hafal satu persatu kerabat di rumah ini.

**********

Jakarta, Bandara Internasional Soekarno Hatta

Pic from google

Kamipun tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Majikanku ini memang terlampau baik. Bukan hanya mengizinkanku berlibur ke kampung halaman di Jakarta, mereka bahkan pergi bersamaku. Tiketku dipesankan tanpa aku tahu. Tiba-tiba saja sehari sebelum hari keberangkatan, Mba Hana mengatakan padaku untuk bersiap karna mereka semua sudah siap ke Jakarta dan akan pergi bersamaku sampai sini.

Aku agak sedikit canggung sebenarnya. Terkadang aku sendiri bingung dengan posisiku. Aku seperti bukan pengasuh atau pekerja di dalam keluarga Umi. Mereka memperlakukanku seolah bagian dari keluarga besar Umi. Aku sungguh tidak enak. Karna sepenglihatanku selama bekerja pada keluarga Umi, meski pekerja yang lain juga diperlakukan sama baiknya denganku, tapi rasanya tetap berbeda. Semua pekerja dianggap keluarga oleh keluarga besar Umi. Namun rasanya diriku bukan hanya dianggap tapi sudah masuk menjadi bagian dari keluarga Umi.

Bahkan dalam pesawatpun mereka sudah mengatur dimana aku duduk. Ya, aku duduk di sebelah Mba Hana. Canggung sekali rasanya. Untung ada si kecil Syahira yang kini sudah lebih besar dari pertama kali aku datang, sehingga sudah bisa diajak bercanda. Jadi rasa canggungku tertutupi dengan tawa Syahira yang sesekali aku ledek.

Hampir setengah isi pesawat berisi keluarga besar Umi Laksmi. Sepertinya mereka ada rencana liburan panjang. Entah dimana mereka tinggal. Aku tak berani bertanya.

"Dib, aku tinggal di hotel Ibis Kemayoran jika saja kamu ada perlu denganku. Sedangkan yang lainnya akan tinggal di rumah Umi Halimah. Soalnya ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jadi butuh focus untuk sendirian."

Tiba-tiba saja Ka' Ibra menghampiriku dan berkata begitu kepadaku.

"Oh iya Ka, nanti kalau Ka' Ibra butuh bantuan apapun bisa hubungi Diba saja. InshaAllah Diba tetap bisa bekerja di hari liburan seperti ini."  Jawabku kemudian. Sebetulnya aku sangat bingung ingin menanggapi bagaimana. Karna rasanya aneh. Untuk apa Ka' Ibra memberitahuku dimana Ia akan tinggal selama di Jakarta. Dan lagipula kenapa Ia harus tinggal terpisah dengan Mba Hana dan Syahira. Pekerjaan apa yang sebegitu pentingnya sehingga Ia harus sendirian. Aah sudahlah, bukan urusanku mengurusi keluarga orang lain. Mungkin aku cuma ke GR'an saja. Lagipula jikapun benar Ka' Ibra masih tertarik padaku, maaf saja ya Ka, aku ini anti poligami. Entah apakah aku berdosa atau tidak. Yang jelas aku bukan perempuan yang bisa membagi hati.

"Adiba, kira-kira kapan kau dan orangtuamu ada waktu untuk kami berkunjung?"

Sungguh aku terkejut bukan main mendengar pertanyaan Umi Laksmi. Apa tidak salah dengar. Mereka ingin berkunjung ke rumahku. Rumah kontrakan kami yang tidak seberapa luasnya. Yah ampun. Ah tapi toh aku ini hanya seorang pengasuh, sudah sewajarnya dengan statusku yang sekarang ini aku hanya tinggal di rumah kontrakan.

"Kapan saja kami bisa menerima tamu Umi. Terlebih lagi jika tamunya keluarga Umi. InshaAllah Mama Papa saya pasti senang menerimanya."  Jawabku kemudian dengan sedikit gugup.

Kamipun berpisah di bandara. Aku pulang ke rumah, Umi sekeluarga menuju kediaman Umi Halimah, sementara Ka Ibra ke Hotel Ibis. Mama Papa menyambutku haru. Mereka meneteskan air mata. Akupun demikian. Kami berpelukan.

Hidup kami sudah semakin baik, pada akhirnya kami sudah terbiasa hidup sederhana. Om Salman yang kini bergelimangan harta yang sebetulnya milik Papah dikabarkan sedang mengalami depresi berat akibat ditipu sahabatnya sendiri. Kabar terakhir yang kudengar dia sempat di rawat di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan karna sering berteriak dan marah tanpa sebab. Alhamdulilah akhirnya dia dinyatakan membaik dan diizinkan keluar setelah perawatan beberapa bulan.

Perusahaan Papa yang telah ia ambil alih kini berantakan. Karyawan sudah hanya tinggal beberapa orang, itupun hanya karyawan inti yang memang sejak awal perusahaan berdiri telah ikut membangun perusahaan. Mas Arya misalnya. Ia tangan kanan Papa sebetulnya, namun entah bagaimana bisa-bisanya bekerjasama dengan Om Salman menipu Papa hingga berhasil mengambil alih perusahaan Papa disaat Papa sedang colaps dengan penyakitnya.

Aku sama sekali tidak pernah meminta atau berdoa kepada Allah untuk menghukum Om Salman yang kurang ajar itu. Namun sepertinya Allah sedang menunjukkan kuasaNya kepada kami. Bahwa karma selalu ada. Perbuatan baik saja selalu ada balasannya apalagi perbuatan jahat. Entah bagaimana nasib keluarga Om Salman dan Mas Arya sekarang. Yang jelas, Papa sudah tidak tertarik dengan kehidupan mereka. Biarlah mereka ambil semua yang sudah Papa ikhlaskan.

"Ting...Tong...." Bel rumah berbunyi. Entah siapa sore-sore begini bertamu. Kami jarang sekali menerima tamu. Mungkin Umi Laksmi dan keluarganya benar-benar bertamu. Awalnya sih kupikir Umi hanya basa basi saja bilang ingin bertamu ke rumahku. Namun ternyata tidak, bel itu ternyata memang benar keluarga Umi Laksmi. Lengkap dengan Mba Hana, Syahira, Ka Ibra, juga keluarga lainnya di luar keluarga inti seperti Mba Diah dan juga seorang lelaki besar berkulit kecoklatan yang belakangan aku tau bernama Mas Akbar. Kalau tidak salah waktu itu Mba Hana yang menyebut-nyebut nama Mas Akbar.

Mama Papa sebetulnya sudah kuberi tahu bahwa kemungkinan keluarga Umi Laksmi akan berkunjung ke kontrakan kami ini. Namun karna tidak jelas waktunya, sehingga kami tidak mempersiapkan apa-apa. Mama jadi bingung. Mama keluar menyambut keluarga Umi ke ruang tamu sambil mendorong Papa dengan kursi rodanya.

"Mari silahkan duduk. Aduuuh saya betul-betul minta maaf lho ini. Diba sama sekali gak kasih tau kapan keluarga majikannya mau datang. Jadi kami tidak mempersiapkan apa-apa."

"Gak apa-apa Bu, aduuuh jangan panggil kami dengan sebutan majikannya Diba Bu, Diba itu sudah seperti anak saya sendiri di rumah. Sudah seperti bagian dari keluarga kami. Kecantikan dan kecerdasannya tentu membuat banyak orang dengan mudah menerima Adiba sebagai keluarga kan."

Kami semuapun duduk. Aku agak canggung. Tapi kuusahakan bersikap setenang dan sewajar mungkin. Semoga saja tidak terlalu kelihatan dibuat-buat.

"Oh ya Diba, bagaimana kuliah kedokteranmu "Nak?" Tanya Umi Laksmi tiba-tiba.

"Mmmh, Saya masih status mahasiswi Umi. Kebetulan saya hanya mengajukan cuti setahun ini. Berharap semoga masih bisa mengumpulkan rejeki untuk melanjutkan. Tapi jika memang Allah belum mengizinkan, kemungkinan bulan depan saya akan mengajukan surat pengunduran diri dari kampus Umi. Sudah tidak mau memaksakan keadaan."  Jawabku jujur.

"Oh iya, jadi begini. maksud kedatangan kami kemari sebetulnya ada kaitannya dengan pendidikan 'Nak Adiba. Jadi, Umi bermaksud meminta izin untuk mengambil alih tanggung jawab sebagai yang membiayai pendidikan Nak' Diba. Sehingga Diba bisa melanjutkan kuliah kedokterannya tanpa memikirkan biaya. Apakah diizinkan atau tidak Umi tetap berharap 'Nak Diba bisa tetap meneruskan kuliahnya. Bagaimana menurut Bapak Ibu Adiba?"

Aku, Mama, Papa, terkejut bukan main. Umi menganggap aku sebagai bagian dari keluarganya saja sudah merupakan keberuntungan bagiku. Tapi ini lebih dari itu. Umi bahkan  memikirkan pendidikanku. Entah bagaimana Mama Papa akan menjawabnya.

"Aduuh Umi, apakah nantinya tidak merepotkan. Adiba diterima bekerja dan dianggap sebagai bagian dari keluarga Umi saja rasanya kami selaku orangtua sudah sangat beruntung sekali. Tapi ini Umi sampai-sampai memikirkan pendidikannya juga. Saya sebagai Ayahnya sedikit malu."  Jawab Papa kemudian.

"Aduh maaf lho Pak. Umi tidak bermaksud menyinggung sama sekali. Ini murni demi kebaikan pendidikannya Adiba." Jelas Umi kepada Papa.

"Bukan Umi, saya malu bukan karna tersinggung. Tapi saya malu karna sampai saat ini sebagai kepala keluaraga masih belum mampu bangkit kembali dari keterpurukan."  Jawab Papa lagi.

Umi sekeluarga sudah tau betul kisah hidup keluargaku. Mulai dari aku yang satu SMA dengan Ka' Ibra, hingga usaha Papa yang diambil alih oleh saudaranya sendiri. Intinya, Papa sudah setuju tentang Umi yang akan membiayai pendidikanku sampai selesai. Kami sangat berterima kasih sekali kepada keluarga Umi.

"Sebetulnya ada satu hal lagi yang ingin disampaikan selain dari masalah pendidikan Adiba tadi. Jadi, maksud kami selain itu adalah kami ingin melamar Adiba untuk putra kami Ibrahim. Tentunya hal ini di luar masalah pendidikan yang tadi sudah kita bicarakan. Apakah lamaran ini diterima ataupun ditolak, Adiba tetap berhak mendapatkan pendidikannya seperti yang sudah kita bicarakan tadi."

Sumpah demi Allah pencipta alam semesta. Aku tak habis pikir. Pada akhirnya ini kejadian juga. Meski aku tau bahwa selama di Cairo, selama aku tiggal bersama mereka Ka' Ibra masih menaruh hati padaku. Tapi aku tak habis pikir Ia akan benar-benar melamarku. Menjadikanku istri kedua. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Jujur aku tak kuasa menolak Ka' Ibra yang memang masih ada di hatiku. Tapi bagaimana dengan Mba Hana? Ah, sesungguhnya bukan hanya Mba Hana yang kupikirkan. Jelas-jelas aku ini egois. Aku memikirkan diriku sendiri. Apakah bisa aku dipoligami.  Ya Allah keputusan apa yang harus kuambil.

"MasyaAllah Umi, sungguh ini kabar yang menggembirakan bagi kami. Hanya saja keputusan ini tetap kami serahkan kepada Adiba. Apakah Adiba menerima lamaran 'Nak Ibrahim atau tidak. Bagaimana Diba?" Tanya Papa padaku. Sungguh aku tidak tahu mau menjawab apa. Tapi kemudian jawaban ini meluncur begitu saja.

"Maaf Umi, maaf Ka' Ibra. Bukannya mau mengulur waktu. Hanya saja, apakah ini boleh dipikirkan dulu?" Tanyaku kemudian.

"Oh tentu saja kami akan menunggu. Silahkan jika 'Nak Diba mau berfikir dulu. Ini memang keputusan yang tidak boleh terburu-buru diambil. Memang harus dipikir masak-masak. Terlebih lagi kalian masih cukup muda. Mungkin masih takut untuk menikah."  Jawab Umi dengan tegas.

Tapi aku sedikit bingung. Kenapa Umi bilang kalian masih muda dan masih takut untuk menikah? Bukankah 'Ka Ibra sudah beristri. Apalagi yang Ia takutkan. Ooh mungkin maksudnya takut berpoligami. Bukan takut menikah. Hmm... entahlah.

Akhirnya keluarga Umi pamit pulang. Aku menjanjikan akan memberi jawaban perihal lamaran Ka' Ibra secepatnya. Sesuai dugaanku, Mama Papa langsung mengintrogasiku.

"Adiba putri mama yang cantik ternyata sudah cukup dewasa. Mama gak nyangka Pah, akhirnya lamaran terjadi juga di rumah ini. Mama pikir Adiba akan butuh waktu lama untuk bertemu jodohnya. dan kenapa kamu gak langsung iya aja Dib? Mama rasa, mustahil kamu gak jatuh cinta sama laki-laki tampan dan pebisnis sukses seperti Ibrahim."

"Duuh Mama gak tau sih kenyataan yang ada. Asal mama tau yah. Putri cantik kesayangan mama ini mau dijadikan istri kedua sama keluarga mereka Mah."

"APAAA....? Kamu gak salah? Maksudmu si Ibrahim itu sudah punya istri dan masih mau menikah lagi?"

"Iya Mah. Mama ingat yang tadi duduk di sebelah Umi dan sebelah laki-laki berpeci biru gelap yang menggendong Syahira anak asuh Diba? Nah itu dia istrinya. Syahira itu anaknya Mah."  Terangku kemudian. Mama shock mendengarnya. Tapi tidak percaya.

"Diba emang suka sama Ka' Ibra. Udah sejak dulu. Sejak kami masih sekolah. Tapi apa iya Diba mau jadi yang kedua. Ya Allah Mah, Diba bingung."

"Kamu lupa ya? Kan ada Allah yang selalu menuntun kita ke jalan yang sedang kita hadapi. Coba istikharah lagi seperti dulu saat kamu mau pergi ke Cairo untuk bekerja. Ternyata benar kan keputusan yang Allah buatkan untukmu. Jika saja saat itu kamu tidak berangkat, apakah mungkin kamu akan malanjutkan kuliah kedokteranmu. Tadi kan Umi bilang apapun keputusanmu beliau tetap akan menanggung biaya kuliahmu."

Mama benar, sebaiknya aku memohon diberi petunjuk kepada Allah. Apa yang akan terjadi sebaiknya kupasrahkan diri pada Rabb nya. Ya Allah mudahkan aku mengambil keputusan.

Malamnya aku terbangun. Kaget dengan mimpiku sendiri. Ada sesosok orangtua yang aku tidak tahu persis siapa beliau. Karna hanya samar-samar saja. Orangtua itu menyuruhku menemui Ka' Ibra untuk berbincang sebelum memberi jawaban lamaran kepada Umi Laksmi. Maka, akupun menghubungi Ka' Ibra.

"Assalamualaikum...."

"Waalaikumsalam, iya Diba ada apa?"

"Ka, apa Kaka ada waktu? Hari ini atau besok. Kalo boleh, Diba mau bicara sama Kaka sebelum menjawab lamaran Umi untuk Kaka. Bisakah kalo Kaka ke rumah sebentar?"  Tanyaku terbata.

Sore harinya Ka' Ibra datang sendirian ke rumah. Hatiku kacau sekali. Rasanya dag dig dug menanti kehadirannya. Begitu Ia sampai di ambang pintu rumahku, dag dig dug ini semakin menjadi. Ya Allah aku sayang sekali padanya. Aku betul-betul telah jatuh cinta pada makhlukmu ini ya Allah. Bagaimana caraku mengatasi perasaan ini. Apa yang harus kukatakan. Masalahnya adalah sanggupkah aku untuk diduakan. Cuma itu masalahku.

Bagaimana perasaannya terhadap Mba Hana? Apakah mungkin ada orang yang mencintai lebih dari satu orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Aah entahlah, aku tidak mengerti laki-laki. Tidak cukupkah seorang saja bagimu.

Mama Papa senang sekali Ka Ibrahim datang berkunjung. Mereka membiarkan kami berbicara di ruang tamu. Agar kami bisa bicara sedikit lepas, mereka meninggalkan kami. Berharap semua kegundahanku ini dapat segera teratasi. Itu juga jadi harapan Mama dan Papa. Karna sepertinya mereka paham betul perasaanku terhadap Ka Ibrahim.

"Maaf ya Dib, aku gak berani tanya dulu ke kamu tentang perasaanmu padaku. Aku malah meminta Umi untuk langsung saja melamarmu. Maaf kalau aku terlalu pengecut dan malah jadi membuatmu bingung."

"Ka, bukan hanya aku bingung. Tapi juga sedikit tanda tanya. Bagaimana tanggapan Mba Hana tentang ini? Tentang aku? Tentang kita Ka?" Tanyaku pada Ka Ibra.

Entah kenapa Ia sepertinya malah bingung. Terlihat dari caranya mengerutkan dahi. Sambil berkata "Hana katamu? Kenapa kamu malah bertanya tentang Hana? Dia tentu saja mendukung segala keputusanku. Aku sangat menghargainya dan diapun menghormatiku. Kami tidak pernah berselisih paham tentang apapun terlebih lagi mengenai calon pasngan hidup kami masing-masing. Kenapa justru yang kau tanyakan malah Hana? Apa yang sebenarnya kau pikirkan Dib?"

"Ka, apa Mba Hana yakin mau di madu? Walaupun Mba Hana sangat baik padaku. Aku tidak sampai hati menyakitinya Ka. Bagaimanapun kami sama-sama perempuan. Sudah sewajarnya tidak saling menyakiti. Aku seperti ingin merampas kebahagiaannya namun sepertinya Mba Hana tenang sekali menghadapi ini. Aku semakin merasa bersalah Ka."

"HAHAHAHHAAHAH........." Ka Ibrahim malah tertawa mendengarku bicara demikian. Aku semakin salah tingkah. Wajahku terlihat bingung bukan main.

"Ya Allah Dib, aku sama sekali gak nyangka dengan apa yang kamu pikirkan tentangku dan Hana. Jadi selama ini kau berpikir aku dan Hana suami istri? Diba, Hana itu adik kandungku, praktis Syahira itu keponakanku. Kami ini saudara sedarah. Kenapa aku memanggilnya Dik' Hana ya karna memang dia adiku. SubhanAllah Diba. Demi Allah aku belum pernah menikah. Demi Allah akupun tidak pernah punya keinginan istri lebih dari satu jika Allah menghendaki keinginanku itu Adiba. Aku masih single, aku sendiri. Mas Akbar yang kemarin ikut datang ke sini, itulah Ayah Syahira, suami Hana. Kebetulan dia memang bertugas di Indonesia selama setahun belakangan ini. Maka Hana dan Syahira dititipkan pada Umi di rumah kami di Cairo. Bulan ini tugas Mas Akbar inshaAllah selesai maka Hana akan kembali pulang ke rumahnya."

Ka Ibrahim menjelaskan panjang lebar. Aku? Tentu saja dengan wajahku yang sangat amat terlihat bodoh ini karna mengira kakak beradik yang mesra itu sebagai suami istri menjadi salah tingkah bukan main. Wajahku habis merona seperti kepiting rebus yang dibalur saus tomat paling merah yang pernah ada. Ya Allaaaah bodohnya aku. Jadi selama berbulan-bulan aku bekerja di rumah Umi Laksmi, aku telah salah paham tentang keluarga Mba Hana. Demi Allah aku malu rasanya berhadapan dengan Ka Ibrahim, Ingin lari saja dari hadapannya.

Ka Ibra tersenyum-senyum sambil memandang wajah bodohku ini. Untung saja aku belum menolak lamarannya. Bisa-bisa aku menangisi ketololanku selama ini jika itu sampai terjadi. Benar-benar bodoh.

"Ka, maaf ternyata Diba salah paham selama ini. Satu lagi Ka, Diba mohon jangan ceritakan ini ke majikan Diba ya Ka. Aduh Ka Diba malu."

"Hihihi.... kamu lucu sekali. Aku betul-betul gak nyangka sama sekali dengan pikiranmu Dib."

"Iya, Diba salah. Maaf, tolong jangan dibahas lagi ka."

"Jadi? Apa jawabanmu untuk Umiku? Kau mau menerima lamaran putranya atau menolaknya?"

Aku tersipu. Rasanya sulit sekali menghilangkan senyum-senyum kecil ini dari wajahku. Aku bahagia bukan main mendengarnya. Ka Ibra masih single, Ka Ibrahim akan menjadi imamku.

"Biar kujawab langsung ke Umi ya Ka." Kataku kemudian.

"Lho, kenapa gak sekarang aja?" Tanya Ka Ibrahim penasaran.

"Lho Ka, yang kemarin melamarku kan Umi, bukan kau sendiri. Kenapa harus jawab ke Kakak."

Singkat cerita akhirnya segala persiapan pernikahan kami dilanjutkan. Gedung, akad nikah, seragam keluarga, dan lainnya hampir semuanya telah selesai.

Aku menemui sahabat-sahabatku satu persatu. Mereka kaget bukan main mendengar aku akan manikah di umur 21 tahun. Yang bahkan aku baru akan menginjaknya.

Yang lebih mengagetkan lagi adalah aku akan menikah dengan cowok super keren yang digosipkan gay saat SMA dulu.

Aku hanya percaya, Jodoh pilihan Allah maka bagaimanapun jalan kehidupan kami, pasti Allah akan menunjukkan jalannya. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, sebaliknya pula. Maka aku berharap bahwa aku adalah yang terbaik bagi Ka Ibrahim. Begitupula Ka Ibrahim, aku yakin Ia adalah yang terbaik bagiku. Yang mampu mengimamiku. Aamiin.......

S E L E S A I

Oleh "Upay"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar