Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Novel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay

Selasa, 19 Mei 2020

I'm Stalker and I'm Proud

Setiap orang pasti mau orang yang mereka cintai bisa membalas perasaan mereka.

Entah itu sebagai pacar, selingkuhan atau dalam bentuk apapun itu yang penting Si Dia mau membalas

perasaan kita. Oh iya, cerita ini gue tulis berdasarkan pengalaman hidup gue. Alias asli. Cerita kali ini kiriman dari Steven Wijaya. Ceritanya inspirasi dari kisah sendiri katanya. Dan tidak ada satu katapun yang saya edit dalam cerita Steven. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Semuanya terjadi pada pertengahan tahun 2013. Waktu itu gue masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Jika dibandingkan dengan murid-murid lain gue ini lebih mirip tipe murid eksentrik. Gue nggak terlalu tertarik pada pergaulan begitu juga dengan yang namanya medsos. Menurut gue itu semua hanya buang-buang uang. Gue memang tinggal di kota besar, tapi telponan sama tetangga sebelah aja udah lebih dari cukup daripada harus eksis di medsos.

Jadi gini, waktu itu jam pelajaran ketiga. Gue lagi sibuk-sibuknya nyari penghapus karena waktu itu kebetulan lagi ulangan harian dadakan. Biasa, guru-guru SMP emang suka bengis sama anak kelas 3.

Udah minjam sana-sini masih aja nggak ketemu. Hampir semua teman kelas yang gue pengen minjem jawabannya. “Sorry, udah gue pinjemin ke Rika.” “Yah, cuman satu.” Tapi ada juga yang cuek bebek. Gue frustasi. Waktu tinggal beberapa menit lagi.

Tiba-tiba ada tangan yang ngulurin sebuah penghapus ke gue.

“Nih, jangan lupa nanti dibalikin.” Katanya sembari tetap fokus ke kertas ulangannya.

“M-Makasih..” gue langsung balik ke tempat duduk dan lanjut ngerjain nomer 4 sama 5.

Aneh, gak biasanya dia baik sama gue. Namanya Alina. Anaknya cantik putih tinggi lagi. Anak kelas banyak yang pada ngejar dia tapi semuanya pada gagal total. Katanya sih Alina itu “Belok” tapi gue gak percaya kalau belum lihat dengan mata kepala sendiri. Kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya.

Pulang sekolah gue sempat ngelirik Alina bentar. Siapa tahu dia ngungkit dikit soal yang tadi. Tapi hasilnya nihil. Dia juga kayaknya nggak tertarik ngobrol sama gue. Yah, wajar sih. Siapa juga yang mau ngobrol sama anak gak keren gak beken gak ada gaul kayak gue? Dia itu primadona kelas, jadi normal-normal aja kalau dianya gak mau ngobrol sama gue.

Sampai rumah, gue masih kepikiran sama dia. Pas makan malam, tetap aja masih kepikiran. Gue coba mandi tengah malam, tapi sama aja gak ngaruh malahan badan gue jadi kedinginan.

Gue mau ketemuan sama dia.

Itu yang ada di pikiran gua dari tadi. Tapi gimana? Sekarang jam 2 lewat, siapa yang mau diajak keluar jam segini? Lagian kalau dia belum tidur belum tentu juga dia mau jalan sama gue. Dari satu sampai sepuluh kemungkinan gue pasti 0,08 %

Satu-satunya alternative adalah ngecek medsos-nya dia. Gue baru sadar kalau gue ini sebenarnya gak punya satu pun akun medsos. Akhirnya gue mutusin ketik aja nama dia di google. Kurang lebih gini tulisannya.

“Alina Ales*****a SMA 1 ******”

Kurang lebih begitu. Dan emang, namanya orang mujur gue langsung ketemu akun Instagramnya. Gue pelototin satu persatu foto-fotonya sampai mata gue serasa perih. Tapi gue senang bisa memuaskan rasa penasaran sekaligus kangen. Tiba-tiba gue sadar.. gue udah jatuh cinta sama Alina.

Keesokan paginya gue ketemu lagi sama dia. Gue sengaja nyari-nyari alasan buat ngobrol. Tapi naas, dianya pura-pura budeg. Gue tahu kalau orang kayak gue nggak mungkin bisa bicara sama dia. Tapi gue pengen bicara! Gue pengen tahu gimana kabarnya! Gue pengen tahu tadi malam dia makan apa! Tapi semua itu sia-sia karena kondisi gue yang sekarang. Gue nyesel karena gak jadi anak gaul.. gue nyesel dulu gak mau pake medsos..

Penyesalan selalu datang dari belakang.

Pulang dirumah gue mengulangi rutinitas tadi malam. Tapi kali ini bukan cuman Instagram. Twitter, Path, FB gue embat semua. Semakin lama gue semakin ngerasa dekat sama dia walaupun bukan dengan cara yang benar. Gue memberanikan diri bukan hanya stalking di medsos, tapi juga di dunia nyata.

Pulang sekolah, biasanya dia main ke mall sama teman-temannya. Sampai di rumah jam 4 lewat. Kalau hari libur pasti cuman dirumah. Jarang keluar. Dia punya anjing besar, namanya Franky. Bokapnya kerja di sebuah perusahaan. Nyokap ibu rumah tangga. Kakaknya udah kuliah.

Gue tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk dekat sama Alina.

Namun semua itu tidak berlangsung lama. Gue ketahuan lagi ngikutin dia pas di mall ******. Gue ketangkap basah sama teman-teman kelas. Keesokan harinya gue digebukin habis-habisan. Untung tangan gue gak patah. Berkat kejadian itu gue jadi terkenal sampai ke penjuru sekolah. STALKER dari KELAS 9-D. Itu sebutan baru gue.

Sejak hari itu Alina menatap gue dengan jijik. Gue juga dipandang semakin rendah sama anak-anak kelas.

Setelah hari terakhir ujian nasional. Gue sengaja memberanikan diri buat nembak Alina. Waktu itu dia lagi duduk di taman. Keadaan begitu hura-hura. Semuanya penuh canda dan tawa.

“Lin.. gue mau bilang sesuatu ke elo..” gue menelan ludah.

“Bilang apaan?”

“Pertama gue mau minta maaf, sebenarnya selama ini gue udah stalking lo terus. Terus,” gue menahan napas. “Gue suka sama elu. Mau gak jadi pacar gue?”

Alina memandang dengan tatapan kosong. Gue udah bisa menebak kemana arus pembicaraan ini. “Maaf. Gue gak tertarik pacaran sama orang kayak, lo.” Alina segera bangkit dan berjalan melewati gue.

Tapi tiba-tiba dia berhenti tidak jauh dan menambahkan. “Kalau aja lo lebih jujur, lebih berani dan lebih awal bilangnya. Gue mau kok pacaran sama lo. Lo nggak perlu ngelakuin itu semua. Lo itu orang baik.”

Alina segera berlalu dan berjalan menjauh. Hari yang menurut teman-teman kelas salah satu hari paling bersejarah jadi hari paling tidak mengenakkan bagi gue.

Setelah masuk SMA gue belajar bergaul gue juga punya banyak akun medsos. Gue berubah 180 derajat berkat kata-kata Alina.

Suatu hari pas lagi nongkrong di kafe gue ketemu Alina. Kami bertukar kabar. Ada yang aneh, dia jadi lebih terbuka sama gue. Oh iya, gue lupa. Gue kan sekarang anak keren. Siapa coba yang gak mau sama gue yang sekarang.

Setelah bertukar nomor telpon gue dan Alina jadi tambah dekat. Tambah dekat setiap harinya. Sampai suatu hari Alina ngajak gue ketemuan.

“Ven, lo udah berubah banget, ya. Gak kayak waktu SMP dulu.”

“Kan semua ini berkat kamu waktu itu.” gue menyeduh kopi hangat berusaha terlihat cool.

“Ngomong-ngomong, Ven…” Alina tiba-tiba memegang tangan gue. “Gue udah nunggu 2 tahun buat hari ini. Gue masih suka sama lo. Gue janji bakalan jadi pacar lo yang paling setia..”

Gue hanya diam sambil memandangi wajah Alina yang malu-malu. Gue tersenyum tipis. Hanya ada satu jawaban untuk situasi ini. “Gue juga masih suka sama lo.” Mendadak roman wajah Alina berubah. “Tapi maaf, gue tahu lo udah ada cowok. Darimana gue tahu? Gue masih sering stalker wall, lo. Gue masih suka ngikutin lo kemana-mana. Lo kira hanya gara-gara kejadian waktu itu gue mau tobat? BODO!”

Gue mungkin sudah membuang kesempatan sekali dalam seumur hidup. Tapi siapa yang peduli? Hidup hidup gue, masalah masalah gue, kenapa lo yang pusing? Heran gue.

Jujur aja, setelah gue bilang begitu pas pulang gue nyesel banget sampai mau nangis. Tapi gue sadar ini jalan hidup gue. Dan gue bangga bisa jadi Stalker.

* S E L E S A I *

Jumat, 15 Mei 2020

Bertepuk sebelah tangan? (ikhtiar)

"Ya ampun Faa.... koq ada sih makhluk kaya ka Nizam. MasyaAllah Fa. Gagahnya dia...." kataku kepada Ifa sahabatku yang sedang duduk manis dikursi sebelahku. Kami semua sedang ada acara pensi di sekolah. Dan cowok yang barusan aku kagumi itu sedang berdiri di atas panggung dihadapan kami semua ratusan murid disekolah ini.

Ia adalah Nizam. Senior kelas tiga yang juga seorang ketua osis plus ketua ekskul rohis. Tidak bisa dipungkiri lagi ketampanan dan kepandaiannya disekolah ini. Aku yakin semua siswi pastilah menaruh hati padanya. Ia memang luar biasa. Bagaimana tidak, diumurnya yang bahkan masih semuda ini, Ia sudah hafal AlQur'an dan fasih berbahasa arab. Katanya sih, umi dan abinya mengkhususkan Nizam kursus bahasa arab dan pendidikan tahfidz dirumahnya.

Bahkan guru agamanyapun privat yang didatangkan langsung ke rumahnya. Bagi kedua orangtua Nizam, amatlah penting mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih dekat dengan agama daripada dunia. Maka, disaat anak-anak lain sibuk kursus bahasa inggris, komputer, design, dan teknik lainnya, keluarga Nizam justru sibuk memberi pendidikan agama yang cukup dalam.

Meski begitu, Nizam adalah Nizam, seorang cowok sempurna yang bukan cuma sholeh tapi juga banyak bakat. Hanya berbekal pelajaran bahasa inggris disekolah tanpa kursus, Nizam cukup lumayan berbahasa Inggris. Sehingga Ia menguasai dua bahasa asing itu. Ditambah lagi suaranya yang merdu setiap kali mengumandangkan Adzan dan semua nilai mata pelajarannya yang hampir sempurna. Jadilah Ia Nizam kebanggaan sekolah kami.

Mungkin ini yang disebut mengejar akhirat pasti juga dapat dunia. Pelajaran yang selalu kupegang teguh semenjak aku mengenal sosok Ka Nizam kakak kelasku itu.

Dia pulalah yang selalu mengisi acara ceramah setiap kali pensi tahunan diadakan disekolah kami. Salah satu ceramahnya ya itu tadi.

"Kalau kita mengejar dunia, niscaya akan sulit kita dapatkan apa yang kita inginkan. Namun jika kita mengejar amalan akhirat, maka inshaAllah apa yang kita butuhkan didunia pastilah akan terpenuhi."

Dan sampai detik ini, dimana usiaku sudah menginjak 34 tahun, aku masih saja mengingat ceramah itu. Aku menjadi pribadi yang lebih baik dalam beriman. Mengejar keshalihan demi hidup tenang. Benar saja kata Ka Nizam, hidupku sempurna. Lulus dengan nilai terbaik, menjadi seorang dokter dengan penghasilan yang semua orang pastilah tau dan memiliki sahabat seperti Ifa yang masih saja setia menemaniku hingga detik ini. Meski sekarang Ifa sudah berkeluarga tentunya.

"Jadi sekarang, apalagi yang kamu pikirkan May?" Tanya Ifa kepadaku yang sedang duduk dibangku pasien disebrang mejaku. Saat ini aku sedang sepi pasien. Sehingga aku meminta Ifa datang ke Rumah Sakit tempatku praktek untuk menemaniku. Ifa sendiri cukup sukses sebagai pebisnis butik muslim. Sehingga Ia tidak terikat waktu dalam pekerjaannya.

"Maksud pertanyaanmu?" Balasku bertanya pada Ifa yang sedari tadi menanti jawaban dariku.

"Ya apa lagi yang kamu tunggu May. Hasan itu laki-laki yang baik lho. Dia sholeh, sukses sebagai entrepreneur dan kelihatannya dia juga betul-betul serius tertarik sama kamu. Kenapa ngga kamu terima saja tawaran ta'aruf darinya?"

Hasan adalah salah seorang teman kampusku semasa kuliah dulu. Ia juga telah berhasil menyelesaikan study kedokterannya. Tapi rupanya Ia lebih senang tenggelam dalam dunia bisnis ketimbang dunia kesehatan yang justru menjadi jurusannya di kuliah dulu. Unik memang. Namun entah kenapa aku merasakan hal  yang berbeda pada Hasan. Memang ada sedikit rasa ketertarikan padanya. Pada sosok laki-laki mandiri nan cerdas seperti dirinya. Tapi perasaan itu tidak seperti yang pernah aku rasakan pada Ka Nizam dulu. Entahlah.

"Fa, tidak semua pernikahan itu segampang kamu dan Mas Edo. Kamu tau kan banyak hal-hal yang mesti aku pikirin." Jawabku kemudian. Aku tau Ifa mengkhawatirkan sahabatnya ini yang sudah 34 tahun menjomblo. Sedih ya. Hehehehe. Tapi tak mengapa. Allah tau apa yang kuinginkan tapi Allah tau apa yang lebih kubutuhkan. Aku masih harus istikharah meminta petunjuknya.

"Mas Edo, minggu depan aku mau mengajak Ifa ke Bogor. Ada kajian di sana. Ustadzah Arumi yang mengisi. Apa diizinkan?" Tanyaku pada Mas Edo suami Ifa dari sebrang telepon. Kebiasaan kami adalah aku selalu memintakan izin kepada Mas Edo suami Ifa meski sebelumnya Ifa sudah lebih dulu meminta izin kepada suaminya itu. Ini hanya sekedar rasa hormat dan tata krama kepada saudara. Bagiku ini penting.

"Tentulah May, silahkan. Aku juga sudah bilang sama Ifa kalau dia boleh pergi sama kamu". Jawab Mas Edo kemudian. Ada sedikit rasa lega setelah mendapatkan izinnya, karna lokasi yang menurutku cukup jauh di Bogor. Meski bisa ditempuh pulang pergi, tetap saja membutuhkan waktu berjam-jam dijalan untuk tiba ditujuan.

*Seminggu kemudian dilokasi kajian*

Kajian dilaksanakan di dalam aula. Karna bukan di masjid, sehingga disediakan kursi-kursi untuk para tamu undangan dan hadirin yang datang. Aku dan Ifa duduk bersebelahan.

"Permisi mba, kursi disebelahnya kosong gak ya?" Seorang wanita berparas cantik dan lembut tiba-tiba muncul dan menanyakan kursi kosong disebelahku dan Ifa.

"Oh kosong mba silahkan diisi aja." Jawabku kemudian. Acara sebentar lagi dimulai. Tapi tiba-tiba mataku terperanjat melihat sosok yang tidak kuduga hadir di acara kajian kali ini. "Apa aku salah lihat?" Batinku bergumam. "Tapi sepertinya benar. Meski sekarang kami sudah jauh lebih dewasa, tapi dia tidak banyak berubah. Aku yakin betul tadi itu Ka Nizam yang ada dibalik tirai belakang panggung."

"Kenapa May? Mukamu aneh dari tadi." Tanya Ifa menatapku heran. Aku masih kurang yakin meski sebetulnya sangat yakin. Aaah entahlah. Kurang yakin tapi sangat yakin. Apalah perasaanku ini. Acarapun dimulai.

Tiba-tiba sesosok laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, tegap dan gagah membuka acara di atas panggung. Sontak aku dan Ifa terkejut.

"MasyaAllah Maaay. Itu........"

"Iya Fa, itu. Itu lho yang dari tadi membuat mukaku aneh. Dia dibalik tirai panggung sesekali tirainya tersingkap aku lihat dia dari tadi. Ya ampuuun Faaa...... itu Ka Nizam. MasyaAllah ya Fa dia masih gagah aja. Bahkan sekarang aura charmingnya lebih kelihatan. Ya ampun Fa, cinta pertamaku didepan sana." Gumamku dengan wajah super aneh dan nyebelin saking kaget dan kagumnya pada sosok laki-laki itu. Aku sampai tidak sadar kalau obrolanku dengan Ifa sepertinya terdengar oleh orang-orang.

"Husss, May berisik kali." Sahut Ifa sambil menyikut lenganku pelan.

"Tapi itu Ka Nizam Fa, beneran dia kan." Bisikku kepada Ifa dengan suara yang cukup jelas.

"Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh, Terima kasih untuk para tamu undangan dan hadirin yang berkesempatan hadir di acara kajian kali ini yang akan diisi oleh Ustadzah Arumi. Saya berdiri di sini sebagai MC mengucapkan terima kasih juga telah diberi kesempatan membuka acara ini. Untuk itu kepada Ustadzah Arumi, dipersilahkan."

Acara kajian selesai. Aku dan Ifa masih berdiri di ambang pintu aula. Aku masih terdiam mengingat sosok Ka Nizam barusan. Suasana masih ramai orang-orang. Tiba-tiba saja Ka Nizam terlihat berdiri tidak jauh dari hadapanku. Aku terkejut bukan main ketika melihat Ia sedang menatap ke arahku sambil tersenyum. Dalam batinku, apa tidak salah?

Ternyata Ka Nizam MC nya. Hatiku masih terasa deg-degan ketika melihatnya. Aku bingung, sudah begitu lama tidak bertemu dengannya. Tapi kenapa rasa yang sama timbul lagi. Sialnya lagi, ternyata Ka Nizam lebih ingat Ifa daripada aku. Ya sudah tentu sih. Dulu semasa sekolah Ifa memang cukup supel dan banyak dikenal murid lain. Dari adik kelas sampai kakak kelas rasanya kenal Ifa. Sementara aku yang sangat biasa ini, siapalah yang masih akan mengenalku. Apalagi diingat.

Kemudian perlahan Ia berjalan menghampiri kami. Aku mematung. Ya Allah dia ke sini. Ngapain? Tersenyum. Sama siapa? Aku atau Ifa? Duh makin terasa hangat rasanya hatiku. Seperti ada yang mengalir membanjiri hatiku yang semula dingin.

"Lho Dek' kenapa masih di sini. Kan aku bilang masuk aja ke balik panggung. Boleh masuk koq."

"Gapapa Mas, Adek nunggu depan pintu aja. Malahan tadinya adek mau ke parkiran aja tunggu dimobil."

Waduh. Apa-apaan ini. Ternyata Ka nizam bukan menghampiriku ataupun Ifa. Tapi dia menghampiri perempuan yang berdiri di sampingku dan Ifa. Ya Allaaah ternyata perempuan yang tadi duduk di sebelahku. Yang sempat menanyakan apakah kursi di sebelahku itu kosong atau tidak.

Sejenak kemudian matanya tertuju pada Ifa.

"Lho, kalo gak salah, kamu Ifa kan? Alumni SMA Harapan?" Tanyanya pada Ifa.

"Iya Ka Nizam. Aku Ifa." Jawab Ifa sambil tersenyum.

"Ya ampun, gak nyangka ya ketemu di sini. Oh iya Fa, kenalin. Ini istriku Sarah."

JEGEEEEERRRR.............. bagai kilat menyambar pohon hatiku yang semula dingin kemudian hangat kemudian hancur berkeping tersengat kalimat ini istriku.

Setelah tidak berapa lama Ifa dan Ka Nizam saling menyapa. Kamipun beranjak. Fix dia tidak mengenaliku. Sedih memang. Tapi ya sudahlah. Yang membuatku tak bisa tenang. Apakah istrinya sepanjang kajian mendengar semua perbincanganku dengan Ifa mengenai suaminya. Ya ampuuun. Apa yang harus aku lakukan.

"Fa, gak enak banget deh. Kayanya istri Ka Nizam mustahil gak denger obrolan kita. Ya ampun aku malu banget Fa. Kepergok terlalu mengagumi suami orang di depan istrinya. Ya Allah aku harus gimana Fa." Kataku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku dibangku kemudi dalam mobilku.

"Yah, kamu berdoa aja semoga dia gak denger." Kata Ifa kemudian.

"Gak mungkin Fa." Kataku lagi. Tak berapa lama, aku melihat sosok istri Ka Nizam berdiri di depan sebuah mobil yang terparkir di sebrang mobilku. Aku tak pikir panjang lagi. Buru-buru aku turun dan menghampirinya.

"Assalamualaikum Mba Sarah." Sapaku pada istri Ka Nizam yang sepertinya sedang menunggu kedatangan suaminya di parkiran ini.

"Waalaikumsalam." Jawabnya lembut.

"Maaf Mba Sarah, saya mau bicara sebentar. Saya Mayang temannya Ifa yang teman alumni sekolahnya Ka nizam yang barusan ngobrol tadi." Kalimatku berantakan. Sebagai seorang Dokter, rasanya omonganku ini sama sekali tidak mencerminkan. Karna aku terlalu gugup, malu, dan merasa bersalah pada perempuan lembut ini.

"Iya, saya tau koq Mba Mayang. Ada apa mba?" Tanyanya dengan sopan dan suara yang lembut keibuan. Aku meleleh oleh pesonanya dan tutur katanya yang lembut. Kalo perempuan lain mungkin sudah bersikap angkuh dan sombong berhadapan dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi suaminya. Tapi Sarah, sama sekali tidak seperti itu.

"Mba Sarah mungkin tadi mendengar obrolan saya dengan Ifa. Saya betul-betul minta maaf Mba. Saya harap Mba Sarah tidak merasa terganggu. Karna biarpun dari obrolan tadi saya seperti terlalu kagum pada Ka Nizam, tapi sejujurnya itu dulu Mba. Aduh, maksud saya, biarpun kedengarannya seperti saya masih mengagumi beliau, itu hanya karna beliau memang pantas di kagumi karna prestasinya. Seperti fans kepada artis aja Mba. Jadi saya mohon maaf kalo sekiranya obrolan tadi jadi mengganggu pikiran Mba."

Sungguh butuh keberanian teramat besar mengakui semua ini. Tapi sebagai seorang perempuan, aku tidak mau sikapku mengganggu perempuan lain. Terlebih lagi mengganggu pikiran rumah tangga orang. Jadi dengan segenap kekuatan dan rasa tanggung jawab, aku terpaksa harus bicara.

"Ya ampun Mba Mayang. Apa benar Mba segitu mengagumi Mas Nizam? Saya malah baru tau saat Mba ngomong ini. Saya sama sekali gak dengar obrolan Mba Mayang dengan Mba Ifa lho. Gak apa koq Mba. Saya baik-baik aja. Gak perlu terlalu dipikirkan." Jawabnya kemudian.

Rasanya mustahil dia tidak mendengar. Sepertinya dia hanya sedang menyelamatkan harga diriku saja. Dia sungguh-sungguh sosok perempuan yang bisa membuat orang jatuh hati seketika. Bukan hanya laki-laki. Tapi juga perempuan seperti aku. Yang setelah kejadian ini malah justru mengaguminya sebagai seorang perempuan yang baik, terhormat, lembut dan sopan. Rasanya tidaklah salah jika Ka Nizam jatuh cinta pada perempuan seperti Sarah yang cantik luar dan dalam. Aku memakluminya. Jika aku saja yang perempuan begitu kagum dengan pribadainya, bagaimana laki-laki.

Tak lama kemudian, Ka Nizam datang menghampiri istrinya yang masih berdiri bersamaku. Aku bingung dan jadi salah tingkah dihadapan mereka. Rasanya ingin buru-buru menghilang saja ke belahan dunia lain.

"Mas, ingat perempuan yang berdiri di samping Ifa teman Mas tadi?" Tanya Sarah kepada suaminya.

"Ini Mayang Mas kenalin. Mungkin Mas lupa, tapi Mayang ini juga adik kelas mas di SMA yang juga temannya Ifa." Terang Sarah kepada suaminya.

"Oh iya, maaf Mayang. Sebetulnya aku agak-agak ingat tadi. Cuma takut salah. Karna kamu berubah banget dari sejak SMA, dan Ifa tadi juga diam aja. Jadi aku takut-takut mau negornya." Jawab Ka Nizam kemudian.

"Mmmh, ya udah Mba Sarah, Ka Nizam, Saya permisi pulang dulu." Aku buru-buru pamitan. Takut wajah salah tingkahku semakin terlihat.

"Mayang cantik banget ya Mas." Kata Sarah sebelum aku beranjak. Aku tersipu dan makin salah tingkah.

"Iya, sejak dulu di SMA memang begitu. hanya saja dia terlalu pendiam. Hahahah." Jawab Nizam sambil tertawa.

"Ah kalian ini bisa aja." Kataku sambil tersenyum malu. Kamipun saling berpamitan.

Dimobil, dalam perjalanan pulang, aku menceritakan semua yang kubicarakan dengan Sarah dan suaminya. Ifa mendengarkan dengan seksama sambil senyum-senyum dan sesekali mengejek seperti kebiasaannya.

"Hahahah, jadi itu yang kamu omongin sama istrinya. Malu ya kegep. Hihihihi...." Ejek Ifa sambil makan cemilan dikursi penumpang. Sementara aku terus melajukan kendaraan sambil sesekali mendorong lengan Ifa yang mengejekku.

"Ah rese kamu ngejek aja." Kataku.

Seminggu berlalu dari sejak kejadian di kajian itu. Hatiku masih sedih rasanya, mengetahui cinta pertamaku kini telah beristri. Tapi mau bagaimana lagi. Diumur segini justru aku yang aneh, masih saja sendiri. Masa iya aku harus terima pinangan Hasan hanya karna sedang patah hati. Apa tidak gegabah namanya.

Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya selama ini aku memang masih menanti Ka Nizam. Padahal bertemupun sudah tak pernah sejak SMA. Mungkin yang aku nantikan bukan benar-benar Ka Nizam. Bisa jadi aku menanti kehadiran laki-laki yang sesempurna Ka Nizam. Meski aku tau tak ada satupun manusia yang sempurna, setidaknya aku belum melihat kekurangan pada Ka Nizam, meskipun aku yakin pastilah ada.

Beruntungnya Sarah bisa mengetahui kekurangan dan kelemahan Ka Nizam. Apalah yang aku pikirkan. Betul-betul jadi kacau sejak hari itu. Sore ini aku sedang senggang, tidak ada janji temu pasien. Tapi tiba-tiba Suster Ana masuk dan menyerahkan berkas pasien. Aku buka dan nama yang tertera di dalamnya adalah Sarah.

Aaah betapa hidup ini begitu penuh kejutan. Disaat hati gundah, aku malah mendapati pasien yang bernama sama dengan istri Ka Nizam. Rasanya ingin kutolak semua pasien bernama Sarah. Meski mengagumi sosoknya, tapi tak kupungkiri kalau seorang dokterpun bisa iri dengan wanita lain. Sungguh ironi.

"Pasien baru ya An?" Tanyaku pada suster Ana karna berkasnya masih bersih dari medical record.

"Iya Dok pasien baru." Jawab Suster Ana kemudian.

"Ok, persilahkan masuk. Kalau ini yang terakhir, setelah ini aku mau langsung pulang ya An." Kataku pada suster Ana.

"Baik Dok, nanti saya siapkan berkas yang mau Dokter pelajari di rumah."

"Assalamualaikum Dokter Mayang." Sapa pasien baruku itu.

"Waalaikumsalam." Jawabku kemudian dan langsung aku terkejut bukan main. Ternyata pasien baruku ini benar-benar Sarah. Sarah yang.............

ya Sarah, istrinya Ka Nizam. Aku tak menyangka Ia jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk berobat. Padahal di Bogor juga banyak Rumah Sakit besar. Atau jangan-jangan dia mauu.....................

"Hei Mayang, kau ini memang Dokter. Tapi bukan berarti semua laki-laki bisa kau pikat dengan gelarmu. Awas kau berani-berani mendekati suamiku." Aaaah itu khayalanku.

"Maaf Dok, kaget ya?" Tanyanya dengan senyum simpul diwajahnya.

"Aah, iya. Sedikit kaget. Kenapa Mba Sarah sampai cek ke sini? Bukahkah banyak Rumah Sakit besar di Bogor?" Tanyaku penasaran.

"Mmh, iya Dokter Mayang maaf. Jadi sebetulnya aku ke sini karna mau ada yang diobrolin. Tapi melihat begitu padat jadwalmu, jadi sepertinya aku harus jadi salah satu pasienmu untuk bisa bertemu."

"Oh begitu. Kenapa gak kasih kabar aja Mba, aku bisa atur jadwal koq. Kupikir Mba Sarah mau cek kehamilan juga." Kataku padanya dengan wajah masih setengah terkejut.

"Wah senangnya kalau memang aku bisa cek kehamilan. Sayang tidak begitu Dok. Kalo boleh, aku mau ngobrol apa tidak masalah disini?"

Akhirnya kami memutuskan ngobrol di cafe. Karna aku merasa lebih nyaman suasananya untuk ngobrol santai. Dari obrolan kami, jelas terlihat kalau dia benar-benar hanya ingin ngobrol denganku. Walaupun aku agak bingung. Hal apa yang menyebabkan dia mau berteman denganku. Dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi sosok suaminya. Apa tidak takut kalau jin tiba-tiba menyergap diriku dan langsung menggoda suaminya besok-besok. Sungguh wanita ini unik.

Dari obrolan kami aku tau bahwa ternyata keluarga Sarah dan Ka Nizam bukan orang sembarangan. Jika aku hanyalah Dokter yang bekerja pada suatu Rumah Sakit, ternyata mereka adalah pemilik Rumah Sakit Muslim di Bogor. Rumah Sakit Swasta yang cukup besar dan menurutku sedikit mahal. Wah mereka luar biasa. Hatiku makin mengerdil rasanya berteman dengan Sarah.

Entah apa yang ada dipikirannya. Yang jelas, aku seperti hanya melihat ketulusan. Walaupun mungkin ada maksud lain, aku merasa itu pasti bukan maksud jelek. Dia menawarkanku bekerja di Rumah Sakitnya. Dia mau aku jadi Dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit itu. Alasannya sih karna Dokter SPOG baru ada dua di sana, sedangkan mereka lumayan banyak pasien Ibu hamil.

Yang aku tak habis pikir, dari mana Mba Sarah mendapatkan data-dataku. Alamatku, Nomor handphoneku, bahkan tempat aku bekerja. Tapi dipikir-pikir lagi. Orang sepenting dia. Sangatlah mudah mendapatkan apa saja yang dibutuhkan. Buat apa aku ambil pusing bertanya-tanya sendiri.

"Kamu boleh koq Dok pikir-pikir dulu tawaran dari aku. Memang jauh dari rumahmu disini. Tapi kami akan kasih fasilitas apartemen di sana jika kamu menerima tawaran kami. Aku dan Mas Nizam sangat berharap kamu mau bekerja sama dengan Rumah Sakit kami."

Jika saja pribadi Sarah tidak secantik dan tidak terlihat setulus itu, mungkin aku akan suudzon bahwa dia sengaja mau mempekerjakanku di Rumah Sakitnya  untuk menunjukan siapa dirinya dan siapa diriku, bahwa kami berada di kelas yang berbeda, bahwa aku tidak mungkin bisa menjerat suaminya. Aaah pikiran-pikiran picik semacam itu memang sempat terlintas sejenak dikepalaku. Tapi aku yakin Sarah tulus. Dia bukan perempuan seperti itu.

Itu bukan pertemuan terakhir kami. Pada akhirnya aku menolak bekerja sama dengan Rumah Sakitnya. Bukan karna Ka Nizam. Tapi karna aku memang sudah nyaman ditempatku sekarang. Terlebih lagi, rasanya aku akan repot jika tinggal jauh dari rumah. Aku takut lalai pada mamaku. Mama yang setiap hari masih mengurus keperluanku meski sebetulnya tidak perlu. Pengurus rumah tangga kami bisa mengurus semuanya. Tapi jika menyangkut kebutuhanku, mama lebih suka mengurusnya sendiri.

Mama yang setiap hari menyiapkan pakaian apa yang harus kupakai ke Rumah Sakit hari ini, bekal makan apa yang boleh kumakan hari ini dan lain sebagainya. Mamaku itu fashion designer. Itu sebabnya dia agak bawel masalah pakaian kerjaku meski yang kupakai sama saja, hanya gamis dan hijab sebatas dada. Dan aku sepertinya tak bisa jauh dari mama. Apalagi semenjak Papa meninggal. Kami hanya tinggal berdua. Kakak-kakakku semuanya sudah berumah tangga. Hidup masing-masing di rumahnya. Dan kalau aku mengajak mama pindah ke Bogor, sudah pasti beliau menolak. Mana mungkin dia mau meninggalkan usaha butiknya yang sudah sejak kami lahir dia bangun dengan jerih payahnya.

Dengan butik itu juga usaha Papa yang sekarang dipegang Ka Ali bisa berkembang. Jadi aku yakin mama tidak akan mau melepaskan butiknya untuk tinggal bersamaku di Bogor. Jadi tanpa lama berpikir, aku langsung menolak tawaran Mba Sarah.

Setelah pertemuan di cafe itu dengan Mba Sarah, Ia lebih sering menghubungiku. Kadang via email, kadang chat, malah kadang langsung menelepon. Tak terasa sudah dua bulan kami dekat. Ia juga sering mampir ke Rumah Sakit tiap kali ada waktu senggang. Padahal jauh dari Bogor.

Pernah suatu kali tiba-tiba Mba Sarah datang bertamu bersama Ka Nizam ke rumahku. Katanya ingin mengenal Ibuku. Sungguh kaget aku waktu itu. Aku yang sedang mengenakan mukena karna sudah masuk waktu ashar tanpa sadar membukakan pintu tanpa melepasnya. Mereka benar-benar bertamu. Mama sangat senang dengan mereka. Keluarga yang harmonis dan terlihat sangat serasi. Suami istri sholeh sholeha. Sayangnya setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mungkin karna mereka terlampau sibuk dengan bisnisnya.

Akupun sejak pertama kali dekat dengan Mba Sarah jadi lebih concern dengan kesehatan Mba Sarah. Bahkan aku membuatkan jadwal dan aturan makan untuk Mba Sarah dan Ka Nizam agar mereka cepat punya momongan. Sepertinya mereka berdua butuh diprogram kehamilan agar cepat.

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya aku tau apa maksud Mba Sarah mendekatiku dan ingin berteman denganku. Betul saja. Ternyata dia memang ada maksud. Aku sangat-sangat shock saat mendengar maksud dan tujuan Mba Sarah. Berhari-hari aku tidak bisa tidur memikirkan itu.

Siang itu dicuaca yang teramat terik. Chat mba Sarah membuyarkan lamunanku yang sedang duduk santai di ruanganku. Belum waktunya aku praktek. Tapi aku sudah datang sejak pagi. Karna Mba Sarah ingin bicara serius denganku dan mengajak bertemu di cafe dekat Rumah Sakit tempat kami biasa ngobrol. Dalam hati aku bergumam. Hal serius apa yang ingin dibicarakan Mba Sarah. Dia bilang hal ini sudah sejak lama Ia simpan, bahkan sejak kami pertama bertemu di kajian kala itu.

Itu sebabnya Ia mendekatiku. Tapi dia belum mengatakan apa itu. Aku semakin penasaran. Kenapa baru sekarang, setelah sekian bulan kami berteman. Kenapa tidak sejak awal-awal Ia datang menemuiku di Rumah sakit ini. Kalau itu hal serius dan penting kenapa harus ditunda-tunda.

"Maaf ya May, aku ganggu waktu santai kamu siang-siang gini." Katanya dengan wajah agak sedikit canggung.

"Gak papa Mba Sarah. Aku senang koq ada teman ngobrol disela-sela waktu luangku. Memang hal serius apa Mba yang mau dibicarakan. Kata mba waktu di chat, sudah sejak lama. Tapi kenapa ditunda-tunda dan baru sekarang Mba mau omongin?" Tanyaku penasaran.

"Dokter Mayang, aku betul-betul minta maaf sebelumnya. Aku benar-benar tidak ingin sama sekali menyinggung perasaanmu. Sungguh aku gak mau kamu salah sangka dan berpikiran jelek tentang apa yang mau aku omongin ini. Dan mohon janganlah kamu tersinggung dan marah setelahnya."

Aku makin penasaran. Kudengarkan dengan seksama. Aku berusaha untuk tenang.

"Jadi, sebetulnya hal ini sudah lama aku pikirkan. Bahkan jauh sebelum kita saling kenal. Kurang lebih sudah dua tahun lalu rencana ini aku bicarakan dengan Mas Nizam. Awalnya Ia menolak. Bahkan kami sempat bertengkar. Ia bersikeras bahwa rencanaku ini gila dan dia tidak setuju. Tapi pada akhirnya Ia melunak dan menghargai keputusanku. Jadi Mayang, kedatanganku sejak berapa bulan lalu ke tempatmu dan berusaha dekat denganmu adalah karna memang aku sedang PDKT sama kamu. Jadi, aku mau melamarkan kamu untuk mas Nizam."

JEGERRRR.......................

Ini kali kedua aku seperti disengat halilintar. Kali ini wajahku terpaku, terdiam menatap wajah Mba Sarah.

"Mba, apa rumah tangga kalian bermasalah? Kalian baik-baik aja kan? Apa kalimatku waktu di kajian itu membuatmu terganggu? Aku sungguh minta maaf Mba. Tapi aku sama sekali gak ada maksud menggoda Ka Nizam. Lagipula mana mungkin aku mau jadi istri Ka Nizam yang masih beristri." Lidahku kelu. Apa ini. Kenapa jadi begini.

"Mayang. Aku mohon. Kamu jangan langsung menolak. Kamu tolong pikirkan lagi. Jadilah saudariku."

"Aku gak paham Mba. Kenapa Mba mau dipoligami? Boleh aku tau alasannya?" Tanyaku penasaran. Akhirnya Mba Sarah ceritakan semuanya.

"lima tahun yang lalu aku menikah dengan mas Nizam. Bahagia tentu saja. Seperti yang kamu tau, bagaimana sempurnanya Ia dimata para hawa. Dan Ia memilihku. Aku tidak menyalahkan kamu yang jatuh cinta padanya. Aku selalu memaklumi setiap hawa yang memandang iri padaku ketika melihat Mas Nizam. Hari-hari kami sangat baik dan harmonis. Mas Nizam itu romantis lho May orangnya. Kamu juga pasti masih cinta kan sama dia?"

"Ya Allah, pertanyaan macam apa itu mba. Mba mengharapkan jawaban apa dari saya? Iya saya masih cinta sama Ka Nizam? Mba ini ada-ada aja. Jangan permainkan perasaan saya Mba. Sakit hati saya waktu tau Ka Nizam telah beristri. Tapi akhirnya sakit itu berangsur sembuh. Tapi sekarang? Apa ini? Kenapa begini Mba? Fuuuh." Aku menghela nafas dalam. Tak habis pikir akan perbincangan hari ini.

Mba Sarah melanjutkan ceritanya.

"Tiga tahun setelah pernikahan kami, tidak juga kami dikaruniai seorang anak. Entah ada apa dengan kami. Menurut hasil pemerikasaan, kami baik-baik saja. Ditahun keempat, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Kasihan Mas Nizam. Akhirnya aku memberanikan diri mengutarakan maksudku pada Ka Nizam. Aku katakan bahwa sebaiknya Ia mencari istri lagi. Toh dalam agama itu sah-sah saja selama aku ikhlas menjalaninya dan aku yakin Mas Nizam bisa berlaku adil."

"Lalu apa tanggapan Ka Nizam?" Tanyaku penasaran. Tentu saja. Aku ini perempuan. Sudah tentu benci sekali dengan sikap serakah laki-laki. Makanya aku makin penasaran. Apa yang dilakukan Ka Nizam saat mendengar istrinya yang cantik ini rela dipoligami. Senangkah? Tapi ternyata aku cuma suudzon.

"Ia marah bukan main May. Dia bilang aku gegabah, dia bilang aku gak sabaran, dia bilang aku jahat. Bayangkan May, dia yang aku tawarkan menikah lagi. Tapi dia sebut aku yang jahat. Menurutnya, tidak ada satu manusiapun yang bisa adil memperlakukan manusia lainnya. Jangankan istri, kepada anak saja terkadang orangtua tidak bisa adil. Apalagi istri. Itu sangat berat. Dan aku malah mau membebaninya dengan meminta dipoligami. Dia bilang sebaiknya aku bersabar lagi, mungkin ini ujian bagi kami. Allah belum mempercayakan kami dititipi makhluk kecil milikNya itu.Tapi aku bersikeras ini mungkin jalan yang dipilih Allah. Kami bertengkar hebat saat itu. Bahkan Mas Nizam segitu ngambeknya sampai-sampai Ia tidur di luar beberapa hari. Fyuuuh."

Mba Sarah bercerita panjang lebar, sesekali menghela nafas.

"Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya dia membaik. Kemudian aku coba bicara lagi. Tapi dia bersikeras tidak mau. Tapi karna aku terus membujuknya akhirnya dia bilang, OK, dia akan menikah lagi dengan dua syarat."

Aku terdiam, menantikan kelanjutan cerita Mba Sarah. Penasaran syarat apa yang diminta Ka Nizam. Sampai Ia akhirnya memutuskan menyetujui keinginan gila istrinya ini.

"Syaratnya ialah bahwa dia akan menikah lagi jika aku yang mencarikan calonnya dan jika calon yang aku temukan itu sanggup membuatnya jatuh cinta seperti dia cinta kepadaku. Kamu tau May? Dia tersenyum lebar saat itu. Dia bilang, itu syarat yang pasti tidak bisa aku penuhi. Karna katanya tidak mungkin ada perempuan yang bisa membuatnya jatuh hati selain aku. Hahah, masih bisa ngegombal dia saat itu."

Aku sedikit tertawa mendengar ceritanya. Lucu juga Ka Nizam. Sebegitu cintanya pada Mba Sarah. Sampai Ia sangat yakin bahwa tidak akan pernah lagi menemui perempuan yang bisa membuat dia jatuh cinta lagi.

"Lalu kita bertemu dikajian itu. Jujur saat itu aku agak sedikit risih mendengar kamu dan Ifa membicarakan suamiku seperti itu. Ya benar, aku sebenarnya mendengar dengan jelas. Tapi saat itu kupikir, biarlah toh kamu bukan siapa-siapa. Toh, mas Nizam suamiku. Apa yang ku khawatirkan. Tapi tiba-tiba, kamu mendatangiku di parkiran. Kamu bagai seorang ksatria gagah berani yang mengakui kesalahan telah jatuh hati pada suamiku dan menurutmu itu salah. Padahal, jatuh cinta itu fitrahmu mayang, fitrah semua orang. Detik itu juga, aku langsung mengagumimu. Sepulang dari kajian, aku mencoba mencari tau tentangmu, latar belakangmu, kehidupan pribadimu, dan tak ada satupun yang bisa membuatku membatalkan rasa sukaku kepadamu Mayang. Akhirnya kuputuskan bahwa kaulah yang ingin aku jadikan saudariku. Tapi aku tau ini akan sulit. Perempuan sepertimu pastilah banyak laki-laki yang mengidamkan. Jadi, untuk apa memilih jadi istri kedua orang jika bisa menjadi satu-satunya. Namun entah kenapa aku merasa bahwa kamu masih mencintai suamiku. Apa aku salah Mayang? Tolong jawab jujur. Apa kamu masih mencintai Mas Nizam?"

Aku terdiam mendengar omong kosong ini. Yah, bagiku ini omong kosong. Mana ada perempuan yang mau dimadu, terlebih lagi oleh laki-laki seperti Ka Nizam. Perempuan manapun pasti ingin menjadi yang satu-satunya dihati Ka Nizam.

"Mba, apa Ka Nizam sudah tau niatan Mba Sarah ini?" Tanyaku penasaran.

"Oh ya Mayang. Aku lupa cerita satu lagi. Bahwa pada akhirnya aku berhasil melaksanakan dua syarat yang diberi Mas Nizam. Kamu ingat kan ceritaku tadi apa syarat yang diminta Mas Nizam?"

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam benak aku bergumam. Tidak mungkin. Mana mungkin Ka Nizam jatuh cinta padaku. Ini mustahil. Mba Sarah pasti memaksakan kehendaknya pada Ka Nizam. Aku sangat yakin itu. Terlihat jelas dimata Ka Nizam setiap kali kami bertemu, bahwa Ia begitu sangat mencintai istrinya ini. Sejak kapan dia jatuh hati padaku.

"Hahahah, Mba Sarah ini ada-ada aja. Mba berharap aku percaya bahwa pada akhirnya syarat kedua dari Ka Nizam benar-benar berlaku?" Tanyaku penasaran dengan wajah tersenyum penasaran.

"Kamu gak percaya kalo dia tertarik sama kamu?"

"Lah Mba Sarah nih. Orang tanya koq ya malah balik tanya. Ya jelas enggak lah Mba. Mana mungkin Ka Nizam suka sama aku." Jawabku gugup.

"Hari itu setelah pulang kajian. Aku jadi terus-terusan kepikiran kamu May."

Mba Sarahpun memulai lagi ceritanya. Cerita sarah membuat hatiku kembali pink yang semula biru dan sempat menghitam manakala petir menyambar hatiku hari itu.

Cerita Sarah

"Bagaimana Mayang menurutmu Mas?" Tanya Sarah pada suaminya beberapa hari setelah pertemuan kami di kajian hari itu.

"Hah? Mayang? Kenapa tiba-tiba bicarakan dia? Jangan bilang kamu mau aku melamar dia ya Dek' itu mustahil." Jawab Nizam kemudian.

"Lho, memang salah? Apa kamu yakin dia tidak menarik perhatianmu mas?"

"Dek. Mayang itu bukan perempuan biasa. Dia itu Dokter, sukses, dan...... ya pokonya begitulah. Mana mungkin dia mau jadi istri kedua. Meski sekarang kamu bilang dia masih single, sudah pasti banyak yang sudah melamarnya. Mungkin dia tinggal memilih saja mau sama yang mana."

"Dan apa mas? dan cantik? Benar kan? Aku benar kan kalo Mas tertarik sama dia?"

"Yaah, OK Mayang memang cantik. Justru karna itulah. Perempuan seperti Mayang mustahil mau jadi saudarimu dirumah ini. Lagipula kamu saja tidak kenal dia koq. Baru bertemu berapa hari lalu koq bisa-bisanya langsung punya keputusan seperti itu."

Pembicaraan kami terhenti sampai disitu, karna kupikir memang Mas Nizam ada benarnya. Aku sama sekali belum mengenal Mayang. Maka malam itupun aku tidak bisa tidur. Aku terus kepikiran dengan gadis cantik itu. Betapa kesan pertamaku dengannya sangat baik. Aku merasa ini suatu petunjuk dari Allah.

"Apa sebaiknya aku cari tau dulu kehidupan Mayang?" Dalam batinku bergumam. Maka kemudian akupun mencari tau semua yang berhubungan dengan gadis itu. Sungguh musthail, tak ada satupun hal yang membuatku tidak mengagumi sosoknya itu. Terlahir dari keluarga enterpreneur namun memilih menjadi seorang Dokter.

Dia juga tercatat memiliki klinik bersalin gratis di daerah pinggiran kota yang pemukimannya padat penduduk dengan status sosial dibawah standar. Sungguh luar biasa. Pagi hari sebagai Dokter SPOG di Rumah Sakit besar, malam hari mendedikasikan waktunya untuk klinik gratisnya.

Semakin dalam aku menelisik kehidupannya, semakin jatuh cinta rasanya. Aku tidak mungkin salah pilihan. Ditambah lagi, Ia pernah jatuh cinta pada Maz Nizam. Jika mengingat kejadian di kajian saat itu, tidak menutup kemungkinan dia masih menyimpan rasa pada Mas Nizam. Walau ada kemungkinan dia akan berusaha membunuh perasaannya itu setelah bertemu denganku istri dari laki-laki yang pernah dipujanya.

Tapi melupakan itu adalah suatu hal yang sulit. Aku yakin rasa itu masih ada. Aku harus meyakinkan Mas Nizam demi keluarga kami. Jika memang ini jalan yang Allah pilihkan untuk kami memiliki keturunan, maka aku harus menjalaninya dengan ikhlas dan tidak setengah-setengah.

Saat itu Mas Nizam tengah sibuk di ruang kerjanya. Ku ketuk pintu yang sebenarnya sedang terbuka itu. Agar Ia tidak kaget dan merasa terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Ada apa Dek? Pake ngetuk segala. Sini masuk, temenin aku kerja." Katanya sambil tetap menatap ke tumpukan dokumen yang masih Ia pegang di atas meja kerjanya. Begitulah Mas Nizam. Sedikit dingin, sedikit romantis, sedikit gombal. Misterius dan itu yang membuatku semakin hari semakin jatuh cinta padanya hingga tak tega membiarkan keinginannya memiliki jagoan kecil sirna begitu saja seiring berjalannya waktu.

Aku rasa empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menanti kehadiran malaikat kecil itu di rumah kami. Aku ingin kebahagiaan itu hadir segera tanpa menunggu-nunggu lagi.

Aku masuk menghampirinya ke meja kerja. Kemudian kusodorkan map berisi dokumen ke hadapannya sambil memegang kedua bahunya.

"Apa ini?" Tanya Mas Nizam sambil membuka map itu. Begitu Ia buka dan melihat foto Mayang. Segera Ia tutup map itu dan meletakkannya kembali sambil memarahiku.

"Aduuuh apaan sih ini Dek' rupanya kau belum menyerah juga ya. Tidak peka dengan syarat yang kuajukan?"

"Mas, jujurlah dua syaratmu itu sudah kupenuhi. Kau tau Allah Maha benar tidak suka akan kebohongan. Jujurlah Mas, kau juga tertarik kan dengan Dokter Mayang?"

"Kau pikir hanya karna seseorang cantik, lantas dapat membuat semua laki-laki jatuh hati padanya? Aku tidak semudah itu Dek."

Iapun pergi meninggalkanku dengan amarahnya. Apa benar aku salah? dimananya Dokter Mayang yang membuatmu tidak jatuh hati mas?

Malam itu Ia benar-benar marah. Bahkan tidak tidur di kamar. Aku hampiri ke ruang kerjanya sambil membawakan selimut. Aku tau, kebiasaannya tiap kali marah padaku, Ia akan tidur di sofa ruang kerjanya. Bukan artinya dia sering marah padaku tanpa alasan. Hanya terkadang jika merajukpun Ia seperti itu.

Kubiarkan Ia tertidur di sana. Sambil kubisikan kalimat "Mas, demi Allah ini keinginanku, dan demi Allah aku berjanji tidak akan tersakiti, bahkan aku yakin aku akan bahagia mas." Bisikku ditelinganya yang aku yakin Ia masih mendengarnya meski sedang memejamkan mata.

Waktu sangat cepat sekali berlalu. Berminggu minggu aku berjuang meyakinkan suamiku itu untuk menerima tawaranku meminang Dokter Mayang. Siang malam aku berdoa semoga Allah membukakan hatinya untuk Mayang, melunakan sedikit amarahnya dan memahami keinginan istrinya ini.

Tak berapa lama, doaku diijabah Allah. Hati suamiku melunak karna aku tak pernah berhenti berjuang merayunya untuk mendekati Mayang. Malam itu akhirnya pembicaraan kami sampai pada titiknya.

"Baiklah jika itu benar-benar keinginanmu. Kau yang inginkan rumah tangga ini bertambah anggotanya dan aku sudah dengan susah payah menolak keinginanmu itu. Tapi jika dihari depan keinginanmu membuat hubungan kita berantakan, aku pasti akan menyalahkanmu. Ingat itu."

Meski perkataan Mas Nizam terdengar mengancam, tapi aku tau pasti bahwa apa yang dikatakannya itu semata-mata demi diriku sendiri. Mungkin Ia berharap dengan demikian aku akan kembali memikirkan keputusan besar ini. Sayangnya aku sudah bertekad untuk tetap maju.

* * * * *

"Begitulah bagaimana pada akhirnya Mas Nizam bersedia menuruti permintaanku May."

"Tapi jadi terdengar kau agak memaksa ya Mba Sarah. Apa Ka Nizam mengiyakannya bukan karna terpaksa?" Tanyaku penasaran.

"Kau akan tau sendiri nanti. Yang pasti, aku sudah mengutarakan niatku dan memberitahu semua yang harusnya kamu ketahui, agar dikemudian hari. Sikap Mas Nizam tidak membuatmu salah paham. Karna kau sudah tau maksudnya."

Aku tidak paham dengan kalimat Mba Sarah barusan. Sikapnya yang mana? Dikemudian hari? Maksudnya? Aaah semuanya membuat kepalaku berdengung rasanya. Obrolan kami terhenti sampai disitu. Mba Sarah pamit pulang sambil berkata bahwa aku harus memikirkannya masak-masak dan tidak boleh terburu-buru.

Dering ponselku berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tidak ada dalam list kontak ponselku. Biasanya aku tidak pernah menerima telepon dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku. Tapi entah kenapa rasanya saat ini aku ingin mengangkatnya.

"Assalamualaikum." Sapaku mendahului.

"Waalaikumsalam." Kata suara disebrang sana.

* B E R S A M B U N G *

Oleh,

Upay

Rabu, 13 Mei 2020

Gengster kota liberty

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam Blog ini tidak semua tulisan adalah hasil karya saya sendiri. Seperti tulisan berikut ini. Ini adalah kisah fiksi yang dikirimkan oleh Miftahudin. Terima kasih sudah berkenan mengirimkan tulisan ke Blog ini untuk meramaikan isi blog cerpen ini.

Dan ternyata Miftahudin juga adalah seorang penulis. Mungkin hobi seperti saya. Tulisannya tidak hanya yang dimuat di Blog ini saja lho. Kalian juga bisa lihat karya lainnya dari Miftahudin di akun kompasiananya. Bisa klik disini.

Ok, tanpa panjang lebar lagi. Inilah karya dari Miftahudin yang berjudul "Perampokan Bank". Selamat Membaca.

"Perampokan bank"

Kisah ini berawal dari sebuah aksi perampokan Bank Liberty di daerah sekitaran kota Liberty City , pada saat kejadian itu terlihat sebuah mobil Banshee melaju cepat dan berhenti di sebuah gang sempit.Mobil itu dikendarai Miguel. Dan bermaksud untuk menjemput para anggota perampok yang telah berhasil membawa kabur hasil rampasan.Dia seorang anggota geng yang juga turut ambil bagian dalam perampokan itu.mereka berjumlah empat orang. terdiri dari tiga orang pria dan satu orang wanita . mereka bernama Claude, pacarnya Claude yang namanya Catalina, serta Miguel sendiri , dan juga seorang yang belum jelas profilnya.berpakaian mirip seperti seorang Kartel Kolombia. Setelah menembak kamera keamanan, Claude mencoba untuk bergabung kembali dengan yang lain, tetapi entah kenapa setelah bergabung kembali

si cantik Catalina telah mengkhianati Claude dengan menembaki dia dan bermaksud untuk membunuh pacarnya itu . Hal ini mengejutkan claude .

(Catalina menodongkan pistol ke arah Claude).sambil mengatakan...

"Aku adaIah seorang gadis yang ambisius, dan kamu hanya membuang buang waktuku saja sayang !! "

Setelah itu ..., dooor... (suara pistol yang ada di genggaman Catalina tadi berhasil melumpuhkan kaki Claude)

Claude tubunya seketika itu terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur ketanah. Dalam kondisi itu ia masih sempat melihat Catalina dan Miguel pergi meninggalkan dia sendiri .Sebelum akhirnya ia pingsan.

Catalina merasa sangat senang melakukan hal itu dan akan bersenang senang ke pesta bersama Miguel. Karena telah berhasil membawa kabur uang hasil merampok sesaat.

Sementara Claude tertelungkup di tanah pada sebuah gang sempit , ketika Claude telah sadar dari koma, ia dengan tergesa gesa berusaha untuk mencari tempat persembunyian

Tetapi nasib malang menimpanya

Dan kini ia telah ditangkap oleh Departemen Kepolisian Kota Liberty.

Dalam benak Claude ia merasakan tujuan Catalina mencoba untuk membunuhnya adalah karena mungkin Catalina ingin menjadi seorang yang sangat profesional dalam dunia kriminal. Tetapi tidak ingin bersama Claude,karena merasa Claude tidak sebanding dengan dirinya, maka pengkhianatan dan keputusan untuk bergabung dengan geng Kartel Kolombia yang berkuasa.

Sehingga Hal ini membuat Claude ingin membalas dendam pada Catalina.

"Tahanan dan melarikan diri"

Claude, sekarang dalam tahanan polisi,pada saat itu Departement kepolisian kota liberty bermaksud untuk memindahkan tahanan kelas satu dari distrik Staunton ke Lembaga Pemasyarakatan pusat kota Liberty untuk menjalani hukuman 10 tahun penjara. Claude harus dibawa ke sana melalui konvoi polisi yang juga mengangkut dua narapidana lain yaitu seorang ahli pembuat bom bernama 8-ball.

8-ball sendiri ditangkap polisi karena kasus yang sama.

Karena 8-ball dan Claude telah bersama selama beberapa minggu sehingga keduanya bersepakat untuk menjadi partner.

di dalam mobil itu juga ada seorang lelaki oriental yang tidak diketahui asalnya, ditangkap karena tidak memiliki dokumen hukum.

Saat menyeberangi Jembatan Callahan dari Staunton ke Portland, konvoi tersebut disergap oleh tim Kartel Kolombia yang terkoordinasi dengan baik, yang berniat untuk menangkap tahanan oriental sebagai tebusan,

Tiba-tiba ada empat buah mobil berkecepatan tinggi berusaha menghentikan konvoi polisi dengan menodongkan Ak-47 ke arah para petugas kepolisian.

Sontak iring-iringan konvoi tersebut berhenti dan para petugas semuanya keluar

Kartel Kolombia:

"Ayo! Señor dickhead! Tidak sulit untuk membunuhmu. (Beberapa pucuk senjata diarahkan ke kepala para polisi tersebut)

"Kamu akan menyesal.jika tidak melepaskan para tahanan itu"!!

(Mereka mengancam dengan serius)

(Orang-orang Kolombia membuka pintu mobil yang di maksudkan dan membebaskan seseorang. Tapi mereka tidak bermaksud untuk membebaskan Claude maupun 8-Ball,

sehingga mereka memanfaatkan kondisi kacau itu untuk melarikan diri.)

Kartel Kolombia:

"Baiklah , baiklah Enyah."!!

(8-ball dan Claude menendang polisi hingga terjerembab ke tanah.)

Untuk memastikan pelarian mereka, tim kartel kolombia meninggalkan beberapa bom berdaya ledak tinggi di jembatan,yang menghasilkan ledakan yang merusak jembatan dan mengisolasi distrik Portland dari sisi Liberty City.

Selama penyergapan dan ledakan, Claude dan 8-Ball berhasil membebaskan diri, tetapi mereka tidak menemukan tempat lain selain Portland, yang mengarah ke kisah selanjutnya.

Kejadian pada hari itu telah menjadi sorotan utama beberapa media massa maupun cetak.

Salah satunnya adalah satu koran liberty news update yang telah ternama .

Dalam headline news mereka telah menuliskan bahwa;

"Kota Liberty sedang dalam keadaan terguncang hari ini, karena iring-iringan konvoi polisi yang akan memindahkan para narapidana ke penjara pusat telah menghadapi serangan yang menghancurkan pada pagi ini. Sampai berita ini di turunkan , belum ada rincian pasti tentang informasi detailnya, dan tidak ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab. Sebuah konvoi meninggalkan markas tahanan lokal pagi ini, untuk pengalihan rutin para pelaku kejahatan

ke penjara pusat Kota Liberty. Serangan itu terjadi di Jembatan Callahan, meninggalkan beberapa saksi, dan jembatan itu sendiri, rusak parah. Beberapa narapidana diperkirakan tewas, dalam ledakan yang mengikuti serangan awal. Hal itu dinyatakan oleh pihak kepolisian di lakukan oleh para profesional. Proses identifikasi para tahanan yang hilang semakin terhambat oleh peretas komputer di database markas besar kepolisian. Karena proyek terowongan Porter yang terkendala masalah perizinan, bencana ini membuat Portland terisolasi dari distrik-distrik yang lain.

Siapa ???

 Hari itu hujan diluar sangat lebat. Aku dan Sarah bertemu janji disebuah coffee shop pinggir jalan dekat dari rumahnya. Ia datang lebih awal dari yang kuduga. Aku sudah bersiap menunggunya dengan secangkir kopi hangat. Dengan wajah bahagia dan tersenyum, kurogoh saku kemejaku dan mengambil kotak kecil berbentuk hati. Aku sangat mencintai gadis yang ada dihadapanku ini. Sampai aku yakin diapun demikian. Sudah lama kami bersama. Jadi kurasa cukup untuk kami saling mengenal satu sama lain. Dihari hujan, dimalam yang sangat dingin, seharusnya aku menyadari bahwa cuaca hari itu adalah pertanda bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat bagiku melamar Sarah.

Aku membuka kotak itu dihadapannya sambil berkata "Apa kamu bersedia menjadi istriku?" Tanyaku padanya dengan wajah merona merah menahan sedikit canggung dan malu karna hanya bisa melamarnya dengan cara yang sederhana seperti ini.

Wajahnya sama sekali tidak terkejut. Akupun menyadari bahwa beberapa hari ini sepertinya Ia mungkin tau bahwa dalam waktu dekat aku akan melamarnya. Tapi entah kenapa selama beberapa hari itu wajahnya datar seperti tanpa rasa. Aku merasa Ia akan menjauh. Tapi kenapa aku malah nekat melamarnya sekarang. Ini gila, tapi sudah kulakukan.

"Maafkan aku Ben, aku sama sekali tidak menyangka bahwa akan secepat ini. Walaupun kamu tau bahwa aku menyadari niatmu belakangan ini. Tapi rasanya aku sama sekali tak sanggup mengatakannya padamu sebelum ini. tapi karna kau sudah terlanjur bicara. Maka aku tak bisa mundur lagi untuk memberitahumu perasaanku yang belakangan ini telah berubah."

Bagai halilintar menyambar jiwaku yang penuh berisi dirinya dan tiba-tiba kosong.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Apa yang salah? 13 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kita berjalan bersama selama ini. Kenapa baru sekarang?" Tanyaku padanya dengan wajah terkejut luar biasa. Aku tau mungkin Sarah belum siap menjadi seorang istri. Tapi aku tak sangka bahkan Ia ingin mengakhiri hubungan kami. Kupikir Ia hanya akan menolak menikah denganku. Tapi pada akhirnya hal yang lebih menyakitkan dan yang selalu aku takutkan terjadi juga.

"Maaf Ben, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku sudah tidak merasakan hal yang sama padamu belakangan ini. Maafkan aku Ben. Aku sungguh minta maaf dan memohon pengertianmu."

"Apa katamu? Pengertianku? Apa yang bisa kumengerti dari semua ini Sarah? Katakan padaku, apa kau mencintai orang lain?" Tanyaku penuh emosi. Wajahnya sedikit terkejut. Sepertinya Ia kaget dan tak menyangka kalau aku akan menanyakan hal ini.

"Tolonglah Ben. Tolong mengerti. Kita sudah terlalu lama. Aku sudah tidak bisa lagi. Maafkan aku jika harus seperti ini."

Hanya itu yang Ia katakan. Tapi entah kenapa, aku merasa ada laki-laki lain diantara kami. Tapi disisi lain, aku masih merasa dia masih mencintaiku. Apakah keputusanku melamarnya sekarang-sekarang ini adalah  hal yang seharusnya tidak kulakukan.

"Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kamu punya hubungan dengan yang lain?" Aku kembali bertanya. Aku betul-betul tidak dapat menahan emosi. Bahkan aku yakin, seluruh pengunjung cafe mendengar teriakanku pada Sarah.

"Aku mohon Ben. Jangan buat keributan disini. Maaf, sebaiknya kita sudahi saja. Tolong kamu mengerti ya. Aku ingin kamu menerima keputusanku berpisah darimu. Sudah kukatakan aku tidak mencintaimu lagi. Tidak bisakah kau mengerti Ben? Tidak bisakah kau menerimanya dengan rasa hormat?"

"Sarah, aku sudah tidak punya lagi kehormatan dan harga diri dihadapanmu jauh sejak aku memutuskan mencintaimu dan menjalin hubungan ini. Sudah kubuang jauh-jauh harga diriku demi kau. Jadi jangan ajari aku tentang bagaimana menahan harga diri yang bahkan sudah tidak ada lagi Sarah. Kau ingin aku menerima keputusanmu begitu saja? Baik, setelah kau jawab semua pertanyaanku."

Aku sangaaat menahan emosiku ketika itu. Tapi rasanya aku sangat marah. Kenapa baru sekarang. Kenapa baru saat ini ketika aku akan melamarnya. Padahal aku yakin tidak ada pasangan yang saling mencintai seperti aku dengannya. Seyakin itu aku padanya.

"Ben, aku mohon. Jangan begini. Maaf, aku harus pergi. Dia menungguku sekarang. Aku mohon jangan temui aku lagi. Jangan menggangguku dengan masalah apapun. Anggaplah kita tak saling mengenal. Aku pergi. Permisi."

Diapun meninggalkanku begitu saja dengan puncak amarahku. Aku merasa sakit sekali. Aku tidak tau apakah aku masih sangat mencintainya atau rasa ini telah berubah menjadi benci yang teramat sangat. Siapa dia yang sedang menunggunya?

Ingin rasanya aku teriak. Tapi aku laki-laki. Benar katanya. Aku harus punya harga diri. Akhirnya dengan wajah masih penuh emosi. Aku memutuskan untuk pulang. Diluar masih hujan. Aku memandang Sarah yang berpayung merah jambu dari depan cafe. Aku berjalan dalam hujan. Tanpa sadar, aku mengikutinya. Mungkin dalam hati yang paling dalam, aku sangat ingin tau siapa laki-laki brengsek yang merebut kekasih hatiku itu.

Aku berjalan dalam hujan. Aku melihatnya tak berbelok ke arah rumahnya. Rupanya mungkin Ia bertemu janji dengan kekasih lainnya ditempat lain, tidak dirumah. Aku menyebutnya kekasih lain dan bukan kekasih baru karna aku yakin hubungannya dengan laki-laki itu mungkin sudah lama.

Tapi baru saja setengah jalan, hatiku berkata aku harus berhenti. Tidak seharusnya kulakukan ini. Biarlah dia dengan hidupnya jika itu yang Ia inginkan. Lagi pula, aku tidak yakin akan dapat menahan rasa kesal dan amarah jika melihat laki-laki itu. Aku pasti akan menghajarnya dan malah mempermalukan diriku sendiri. Sebaiknya aku pulang.

Aku kesal, marah, dan sangat emosi malam itu. Dalam perjalanan pulang, kusempatkan membeli minuman. Aku yang memang tinggal seorang diri dirumah karna keluargaku tinggal jauh di kota lain, menjadi sangat terpuruk ketika itu. Sampai dirumah, aku tak langsung mengganti pakaianku yang basah terguyur hujan. Aku duduk sambil menenggak minuman yang kubeli. Entah semabuk apa aku semalam.

Tiba-tiba saja hari sudah pagi dan kudengar ketukan dipintu depan. Sambil mengucek mata, kulihat jam dinding 06:45. Masih sangat pagi untuk orang bertamu. Siapa pagi-pagi begini. Kubuka pintu dengan wajah bangun tidur yang sangat berantakan.

"Yaa, siapa?"

Dua orang laki-laki berpakaian rapih berdiri dibalik pintu.

"Apakah anda Beni Adam? Kami dari kepolisian." Tanya salah satunya.

"Ya benar. Saya Ben."

"Apa benar semalam anda bersama Sarah Eden?"

"Betul. Semalam saya bersamanya. Apa yang terjadi dengannya?"

"Apa yang membuatmu berpikiran sesuatu terjadi padanya? Kami hanya bertanya apa anda bersamanya semalam tadi?"

"Yah, kupikir, apapun yang terjadi padanya. Mungkin itu semua salahku. Kami sedikit bertengkar karna hubungan yang terlalu serius. Apa dia tidak kembali ke rumah?"

"Sepertinya kau tau banyak atau mungkin kau terlibat. Sebaiknya anda ikut kami untuk dimintai keterangan." Kata salah seorang dari kedua polisi yang berdiri diambang pintu rumahku.

Aku bingung. Ada apa sebenarnya. Apakah Sarah benar-benar tidak pulang dan orangtuanya mencarinya. Akupun mengikuti kedua polisi itu. Demi mencari tau yang terjadi.

Saat dikantor polisi.

"Apa yang kau lakukan dengan Sarah semalam?" Tanya polisi itu sambil menyeruput kopi dihadapannya sementara aku masih bingung. Kenapa aku harus berada disini.

"Aku berbincang dengannya di Coffee Shop, lalu kami sedikit berbeda pendapat, kemudian Ia pergi ditengah hujan dengan payungnya meninggalkanku yang sedikit marah. Tak lama akupun pulang. Ada apa ini sebenarnya Pak?" Aku balik bertanya dengan rasa penasaran.

"Atau setelah pertengkaran kalian di cafe itu, kau mengikutinya? Jawab saja dengan jujur." Kata polisi yang ada dihadapanku.

"Ya, ya memang aku mengikutinya sebentar. Tapi tak lama aku memutuskan untuk pulang sebelum tau kemana tujuan Sarah."

"Benarkah? Sarah ditemukan tewas disemak pepohonan ditaman kota pagi tadi. Sekitar jam 04:30, tuna wisma yang selalu memulung ditaman setiap pagi yang menemukannya dan langsung menghubungi kami."

"APA. Sarah tewas? Apa anda tidak salah orang? Bisa saja itu bukan Sarah. Mana mungkin....."

"Mana mungkin apa? Mana mungkin Sarah tewas? Apa kau ingin mengatakan bahwa kau tidak bermaksud membunuhnya dan hanya ingin sedikit menyakitinya lalu meninggalkannya kemudian Ia tewas tanpa sepengetahuanmu begitu?"

"Apa maksudnya Pak. Anda menuduh saya membunuh Sarah? Gila. Ini gila. Saya mencintainya Pak. Saya sangat menyayanginya. Tidak mungkin......"

"Tapi semua orang di cafe menyaksikan pertengakaran kalian. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang melihatmu membuntuti Sarah malam itu."

"Iya Pak, seperti yang barusan saya katakan. Saya hanya mengikutinya sebentar. Setelah itu saya berpikir jernih untuk pulang dan tidak ingin lagi peduli padanya."

"Jadi kamu mau mengakui kalau setelah pertengkaran itu kau tidak lagi mencintainya begitu? Apa kau mau bilang bahwa saat itu kau marah dan berpikir ingin menyakitinya karna emosimu yang begitu memuncak?"

"Ya, saya memang sangat marah, kecewa dengan ucapannya. Tapi tidak mungkin sampai ingin membunuh."

"Tapi saat kami bertamu ke rumahmu tadi pagi. Kamu sempat berkata bahwa apapun yang terjadi pada Sarah karna kesalahanmu. Bukankah itu bagian dari pengakuanmu?"

"Saya hanya merasa bersalah karna berteriak padanya, memakinya dihadapan orang banyak di cafe itu. Saya hanya merasa bahwa saya mempermalukannya saat itu. Mungkin Ia marah lalu tidak ingin pulang. Atau mungkin Ia........"

Aku terdiam sejenak. Aku berpikir. Apa yang ingin kukatakan. Apakah mungkin Ia bertemu dengan kekasih lainnya? Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa Ia berbohong. Kenapa tiba-tiba saat ini, sekarang, ditempat ini, aku merasa Sarah sebetulnya masih mencintaiku dan berbohong tentang laki-laki lain. Perasaan apa ini.

Akhirnya pagi itu aku ditahan dan berstatus sebagai tersangka pembunuh Sarah. Kejadian luar biasa yang bahkan aku tak tau perasaan apa ini. Sakit hatiku ditinggal Sarah dengan laki-laki lain, tapi lebih sakit mengetahui Sarah sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sarah sudah meninggal. Ingin sekali aku melihat wajahnya untuk terakhir kali. Tapi aku bahkan dituduh sebagai pembunuhnya. Itu lebih membuatku gila daripada aku kehilangan Sarah.

Sore harinya tiba-tiba aku dikeluarkan. "Anda bebas sementara dengan jaminan Bapak Louis pengacara anda."

"Louis?"

"Ya. Kau bebas sementara ini. Sampai investigasi dilakukan." Jawab Louis kemudian. Louis adalah sahabat baikku dari kecil yang sekarang adalah pengacara hebat. Ia sukses diumur yang masih muda.

"Makasih Lou, kau sudah percaya bahwa aku bukan pembunuh Sarah dan berhasil meyakinkan polisi untuk mengeluarkanku."

"Tidak Ben. Aku belum sepenuhnya yakin kau bersih. Kau adalah orang yang terakhir kali bersama Sarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya bisa membela orang yang benar-benar tidak bersalah Ben. Terlebih lagi ini kasus pembunuhan. Bukan hal yang ringan dan bisa dilupakan begitu saja."

"Lou, bagaimana mungkin aku membunuh Sarah. Kau tau betul bagaimana cintanya aku pada Sarah."

"Bisa saja kau terlalu emosi. Saat dia menangis kau lalu membenturkannya pada batu ditaman itu."

"Bagaimana kau bisa tau kalau aku dan Sarah bertengkar. Aku bahkan tidak tau Ia menangis."

Louis tiba-tiba terlihat canggung dan gugup ketika aku bertanya tentang bagaimana Ia mengetahui semua kejadian semalam itu.

Dengan gugup Ia menjawab "Polisi sudah menceritakan semua padaku. Sudahlah, kita pulang. Kau harus istirahat."

Aku berpikir seharian. Apakah aku harus ke rumah Sarah. Bagaimana orangtuanya jika dihadapkan denganku. Louis bilang mereka sudah tau kalau aku menjadi tersangka pembunuh putri mereka dan mereka juga tau kalau orang yang terakhir bertemu Sarah adalah aku. Mungkinkah aku ke sana. Tidak, mereka pasti akan langsung mencaciku. Tapi apa aku sepengecut ini?

Akhirnya, aku memberanikan diri ke rumah Sarah. Aku tetap harus menunjukkan bahwa aku tidak bersalah.

"Apa yang kamu lakukan disini? Dasar brengsek." Hardik Ayah Sarah saat melihatku diambang pintu rumah mereka.

"Ayah, dia sudah dibebaskan. Artinya dia belum tentu bersalah." Sahut Ibunya Sarah membelaku.

"Benar Tante, Om. Saya tidak membunuh Sarah. Saya memang yang terakhir bertemu dengannya. Tapi saya tidak tau apa-apa lagi setelah Sarah berbelok ke taman itu. Seharusnya saya tetap mengikutinya. Itulah kesalahan saya satu-satunya. Seharusnya saya terus mengikutinya sampai Ia bertemu dengan laki-laki itu." Jawabku kemudian demi meyakinkan kedua orangtua Sarah.

"Laki-laki itu? Siapa yang kamu maksud?" Tanya Ibunya Sarah dengan wajah penuh rasa penasaran. Aku menjelaskannya.

"Malam itu aku melamar Sarah Tante. Tapi tak kusangka, Dia menolakku. Kau tau betapa kami saling mencintai."

"Tidak mungkin. Tante tau betul bagaimana cintanya Ia padamu Ben. Tidak mungkin Ia menolak lamaranmu."

"Tapi itu yang terjadi Tante. Sungguh. Saya tidak berbohong. Sarah hanya bilang bahwa Ia tidak mencintai saya lagi. Waktu itu perasaan saya sangat kacau hingga tidak dapat mencerna apa yang Sarah katakan. Kalau tidak salah, Sarah berkata dia sedang menunggunya. Entah dia siapa yang Sarah maksud. Saya hanya berpikir, dia adalah laki-laki yang membuat Sarah jatuh cinta dan meninggalkan saya."

Saat itu Ayah Sarah tetap pada pendiriannya bahwa aku masihlah tersangka satu-satunya. Namun Ibunya Sarah lebih berpikir jernih. Ibu Sarah memang hanya Ibu tirinya. Namun sepengetahuanku. Sarah sangat bahagia saat Ayahnya menikahi Ibu tirinya ini. Kemudian aku juga tau bagaimana baiknya Ibu Sarah padanya. Dia bukan sosok Ibu Tiri kejam seperti yang sering diceritakan orang-orang atau dalam film-film.

Ia betul-betul Ibu tiri yang sangat menyayangi Sarah. Dan menurutku, memang sangat mudah mencintai sesosok Sarah. Gadis yang teramat cantik, cerdas dan baik. Membuat semua orang menyayanginya. Hingga rasanya aku tak habis pikir ada orang yang sanggup menghabisi nyawa Sarah. Bagaimana mungkin.

Dengan sedikit rayuan Ibu Sarah, akhirnya Ayah Sarah menerimaku masuk ke rumahnya. Aku bahkan diijinkan masuk ke kamar Sarah. Siapa tau ada barang milik Sarah yang bisa kujadikan kenangan dikamarnya. Begitu kata Ibu Sarah.

Didalam kamar Sarah. Air mataku berlinang. Tak percaya bahwa kekasih hatiku yang teramat cantik sudah tak ada lagi di dunia ini. Ia bahkan sudah tidak bisa lagi menyakitiku dengan kalimatnya yang terkadang egois namun lucu. Aku merindukannya.

Aku memegang fotonya diatas meja. Ia bahkan masih memajang foto kami berdua. Tiba-tiba aku terpikir. Bagaimana mungkin dia punya kekasih lain tapi masih memajang foto kami berdua dan bahkan tidak ada satupun tanda-tanda adanya laki-laki lain dihati Sarah yang tertinggal dikamar ini. Baik foto atau benda yang mungkin aku tau.

Aku terus menelusuri tiap sudut kamar Sarah. Tiba-tiba aku menemukan sekotak benda yang ternyata isinya foto-foto dan barang peninggalan Sarah. Didalamnya penuh dengan Aku, Sarah, dan......

Dan Louis? Ada louis. Ada foto kami bertiga dan kalung rantai milik Louis. Kenapa kalung Louis ada pada Sarah?

Kubongkar semua isinya. Ada buku harian. Aku membukanya. Satu demi satu kubaca. Semuanya tentang kami. Saat kami berlibur, saat kami bertengkar, bahkan saat kami merayakan hari jadi kami. Tapi dibagian akhir ada tentang Louis....

20 Desember 2018

Aku tak menyangka, Louis menyatakan perasaannya padaku. Sambil memberiku kalung berbentuk hati. Ia katakan bahwa Ia lebih mencintaiku daripada Ben. Ia bahkan berani menikahiku sekarang juga. Daripada aku harus menanti kepastian dari Ben yang entah kapan dia akan sukses seperti katanya. Pekerjaan saja masih tidak jelas. Louis meyakinkanku bahwa aku akan lebih bahagia dengannya ketimbang dengan Ben, Louis tidak tau...........

Tulisan itu terpotong dibagian itu. Karna halaman berikutnya habis, robek, atau menghilang. Entahlah. Aku terkejut. Marah bukan main. Louis sahabatku. Louis yang selalu menolongku disaat aku sedang sulit. Louis yang bahkan sangat mendukungku melamar Sarah malam itu.

Tanpa berpikir panjang dan jernih. Aku segera bergegas keluar dari kamar Sarah dan pamit pulang. Kubawa kalung rantai milik Louis. Aku terus saja berlari ke arah rumah Louis.

"Jawab pertanyaanku Lou. Ini kalungmu kan? Bagaimana kalungmu bisa ada pada Sarah? Apa kau laki-laki yang Sarah....?" Aku tak sanggup meneruskannya.

"Maaf Ben, aku bersumpah. Aku tak bermaksud menyakitinya malam itu."

"Apa, jadi kau yang......" Spontan aku menghajarnya. Bertubi-tubi tanpa ampun. Rupanya Ialah pembunuh Sarah yang sebenarnya.

Dengan wajah dan tubuh yang babak belur, Louis tetap berusaha bangkit dan bicara.

"Ben, aku hanya merayunya saja malam itu, kupikir Ia yang sedang menangis dapat luluh hatinya dipelukanku. Kupikir dia sudah jatuh cinta padaku karna dia bilang telah memutuskan hubungannya dengamu. Tak kusangka saat aku akan menciumnya, Ia malah menolak dan bilang bukan saatnya. Tapi sungguh Ben aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku bahkan mengingatmu yang sangat mencintai Sarah. Saat itu aku hanya..........."

Belum sempat Ia meneruskan bicaranya. Langsung kuhajar lagi dia habis-habisan. Bahkan tanpa sadar. Aku membenturkan kepalanya berkali-kali pada meja kayu yang kurasa dia takkan selamat. Setelah puas dan melihat Louis tergeletak dilantai, akupun pergi meninggalkannya begitu saja.

"AAAAAARRRRRGGGHHHH............................" Aku berteriak sangat keras.Hancur rasanya. Ya Tuhaaan. Kekasihku mencintai sahabatku yang sanggup membunuhnya. Cobaan macam ini? Bagaimana mungkin mereka bisa saling jatuh cinta? Sejak kapan? Tapi kenapa Louis sampai tega membunuh Sarah hanya karna Sarah belum mau disentuh olehnya.

"Dasar bajingan kau Looouuuu......"

Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku. Pengingat perayaan anniversary yang dibuat Sarah setiap tahunnya. Ya, hari ini adalah hari jadi kami. Tapi aku sedikit terkejut dengan isi pesan pengingat Sarah. "Happy anniversary Ben. Jika kau buka pesan ini. Artinya kau harus menemukan hadiahmu ditempat pertama kali kita bertemu."

"Apa ini? Jika Sarah memang ingin berpisah dariku demi Louis. Mengapa Ia masih membuat pesan pengingat ini? Dan masih menyiapkan hadiah anniversary kami."

Aku bergegas ke taman kota. Tempat dimana pertama kali kami bertemu. Tapi nihil. Aku tak menemukan satupun petunjuk dimana hadiah yang disiapkan Sarah. Aku terus berpikir kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dilakukan Sarah jika Ia masih hidup. Kira-kira, apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba pandanganku terjurus pada satu pohon besar disusut taman. Ya, aku dan Sarah pernah menemukan secelah lubang yang cukup dalam dipohon itu. Mungkinkah?

Benar saja. Ada sekotak benda yang setelah kubuka isinya penuh dengan kenangan kami. Berbeda dengan kotak yang ada dikamarnya. Kotak ini hanya berisi kenangan kami yang bahagia saja. Kemudian ada sepucuk surat yang akhirnya menjadi jawaban terakhir dari rasa penasaranku tentang perasaannya terhadapku maupun Louis.

Dear Ben,

ketika kamu membaca surat ini. artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu sehingga aku harus memilih untuk pergi meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan. Maaf Ben, aku tau kau akan melamarku. Aku bingung bagaimana caranya menyampaikan hal yang sebenarnya padamu.

Aku sakit Ben. Kanker yang merenggut nyawa Ibuku, ternyata hinggap juga pada diriku. Mungkin ini penyakit menurun. Aku yakin, jika kuberitahukan perihal penyakitku ini. Kau mungkin malah akan lebih ingin menikahiku dari sebelumnya dan terjebak bersamaku dimana kau harus merawatku disisa umurku. Itu tidak baik Ben.

Aku sudah melihat bagaimana Ibuku berjuang melawan penyakitnya. Aku merasa tak sehebat beliau. Mungkin umurku tak sepanjang beliau Ben. Aku juga melihat bagaimana perjuangan Ayah mendampingi Ibu dan bagaimana hancurnya ketika Ia kehilangan Ibu. Aku tidak ingin apa yang menimpa Ayah, terjadi juga padamu. Sehingga bagaimanapun sakitnya hati ini. Aku harus membuatmu membenciku dan menjauhiku.

Selamat tinggal Ben, berbahagialah dengan hidupmu dan cintamu yang baru.

Oh ya, katakan pada Louis aku juga menyayanginya sebagai sahabat kita. Sahabatmu dan aku.

Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah Ia lakukan padaku. Semoga persahabatan kalian abadi selamanya.

Yang sangat mencintaimu.

Sarah

Diwaktu yang bersamaan, akhirnya aku mengetahui bahwa setelah dilakukan investigasi mendalam. Ternyata Sarah meninggal karna kecelakaan. Ia terjatuh dari atas jembatan yang ada diatas taman ini, kemudian berguling hingga kepalanya membentur batu yang ada disemak pepohonan itu. Begitulah Sarah meninggal.

Malam itu, Louis melihat Sarah berjalan dalam hujan dengan payungnya sambil menangis. Diatas jembatan itu Louis menghampiri Sarah. Sarah menceritakan semuanya. Bahwa Ia sedang sakit dan terpaksa meninggalkanku demi diriku sendiri. Louis mencoba menenangkannya dengan memeluknya. Louis yang terbawa suasana, tiba-tiba perlahan ingin mencium Sarah. Namun saat itu Sarah marah dan berteriak padanya.

"LEPAS, Tolong Lou jangan cari kesempatan. Aku memang berkata menyayangimu. Tapi tidak lebih. Aku bahkan masih mencintai Ben. Kau hanya sahabatku. Jadi jangan pernah mencoba menyentuhku." Teriak Sarah saat itu.

Louis sedikit kecewa dan membentak Sarah saat itu. Itulah saat Louis merasa Ia menyakiti Sarah. Setelah Ia marah pada Sarah, Ia lalu meninggalkan Sarah yang masih menangis dijembatan itu. Dirumah, Louis merasa sangat bersalah telah menyakiti perasaan Sarah dengan kalimatnya dijembatan itu. Sehingga Ia ingin pergi menemui Sarah pagi itu. Tapi sayangnya, Ia malah mendapat berita bahwa aku dipenjara karna membunuh Sarah.

Saat itu Louis sangat bingung. Bagaimana bisa aku yang sangat mencintai Sarah membunuhnya. Demi mencari tau kebenaran, Ia mengeluarkanku dari penjara dengan jaminannya. Tapi Ia malah mendapati kenyataan bahwa justru satu-satunya orang yang terakhir bertemu dengan Sarah adalah dirinya. Karna jelas-jelas aku tidak jadi mengikuti Sarah malam itu. Sehingga Louis menjadi lebih bingung. Siapa pembunuh Sarah sebenarnya.

Itu semua kenyataan yang Louis katakan pada polisi sesaat sebelum Ia meninggal di Rumah Sakit. Pengurus rumah tangganyalah yang menemukan Louis bersimbah darah hari itu dan melarikannya ke Rumah Sakit. Louis dinyatakan meninggal beberapa jam kemudian karna banyaknya pukulan dan benturan yang Ia terima.

Bahkan polisi menggali lebih dalam lagi tentang kematian Sarah setelah mendengar cerita Louis. Pada akhirnya mereka malah menemukan  kenyataan bahwa tewasnya Sarah murni karna terjatuh dari jembatan yang ternyata pagarnya sudah rapuh.

Akupun berakhir dipenjara karna telah membunuh sahabatku. Dua orang yang kucintai kini telah pergi selama-lamanya. Hidupkupun berantakan karna emosi yang tak dapat dikendalikan. Bodohnya.

* SEKIAN *

Oleh,

Upay

*Note: Kisah ini sedikit terinspirasi dari Film berjudul "HORN". Walau dengan alur dan ending yang sangat berbeda.