Rabu, 20 Mei 2020

Operasi Outlone

Hai pembaca semua. Alhamdulilah makin hari blog ini makin banyak pembacanya. Yang mengirimkan cerita juga mulai banyak. Ada satu cerita fiksi yang menarik bergendre action yang akan saya muat di halaman ini. Terima kasih atas kirimannya kepada Anhar Tasman. Ceritanya bagus, bahasnya mudah dimengerti dan gambarannya jelas. Hanya saja mohon maaf sebelumnya ada satu bait paragraf yang saya cut/edit karna agak vulgar dimana seperti yang sudah saya infokan di halaman T.O.S. bahwa kiriman cerita yang akan saya muat adalah yang tidak mengandung unsur-unsur tertentu yang sudah tertuang dalam halaman T.O.S.

Namun begitu, karna menurut saya ceritanya bagus, jadi saya tetap muat di blog ini dengan sedikit editan. Terima kasih kepada penulis. Berikut ini kisahnya.

* * * * * * * * * *

Operasi Outlone

Cinta yang membawa seseorang keluar dari zona nyaman

Anhar Tasman

Ia di sana, menatapnya penuh kasih sayang, jaket hijau dan jeans biru yang dipakainya menambah kesan tomboy, Ia begitu tinggi hingga Tasim selalu mendongak ke atas setiap kali berbicara dengannya, tapi rasa pegal di leher nya terobati oleh kekagumannya pada Shinta, dengan gemetar dia letakkan tangan di bahu kirinya yang harum, memerasnya lembut,  otot bahunya sangat kuat untuk ukuran wanita,Tasim menatapnya penuh haru hingga air mata keluar tanpa nya sadari

“kenapa sayang?” Tanya Shinta lembut serta khawatir

“aku.. aku... kak” dia tatap dalam matanya penuh ketakutan

“ya sayang.. kenapa?”

“aku takut kakak selingkuh..” kedua kelopak matanya terpejam menahan derasnya air mata yang mendobrak keluar

“sayang... dek.. kenapa bicara begitu? Aku gak akan pernah selingkuh, aku sayang banget sama kamu” Jawab Shinta sambil memeluk erat pacarnya yang sangat kekanak-kanakan itu

Bukan pertama kalinya dia menanyakan hal bodoh, tapi Shinta tidak mengeluh, ia mencintai Tasim apa adanya, baginya dia adalah pria baik yang tidak boleh dibiarkan sendiri. Bagi Tasim, Shinta adalah pacar, kakak, pelindung dan gurunya. Berbeda dengan pasangan lain yang berakhir dengan hubungan sex ketika berpelukan, Tasim hanya ingin merebahkan beban pikirannya pada Shinta sembari menangis hingga perasaannya kembali lega setiap kali berpelukan, bahkan ketika Shinta hanya mengenakan Bra dan celana jeansnya, dia tidak begitu tertarik, ia hanya ingin Shinta memandang tajam matanya dan meyakinkannya semua akan baik-baik saja, ia hanya ingin sentuhan hangat dan kuat darinya.

Tasim adalah lulusan jurusan Teknik Informatika yang hidup sendirian di sebuah apartement yang dibelinya dari proyek sistem informasi yang dia kerjakan tahun lalu. Kini ia hidup sendiri, sehari-hari ia jalani dengan bekerja sebagai freelance programmer, mengerjakan proyek-proyek yang ia dapatkan melalui internet. Sifatnya yang penutup membuatnya tidak begitu dikenal oleh para tetangga dan jarang keluar apartemen.

Berbeda dengan Tasim, Shinta adalah wanita yang super aktif, ia periang, pintar, cantik, tinggi dan lebih tua satu tahun. Ia bekerja sebagai customer service di salah satu perusahaan telekomunikasi terkenal. Ia sangat ramah kepada setiap orang. Bahkan ia mendorong Tasim untuk mengunjungi beberapa tetangga apartemennya, mereka yang tadinya berprasangka buruk terhadap Tasim berubah menjadi suka pada sifatnya yang pemalu tapi ternyata sangat ramah.

Berkat dukungan Shinta, Tasim menjadi lebih dekat dengan tetangga. Ia bahkan membawa laptop pekerjaan ketika menongkrong dengan mereka di halaman basket depan gedung apartemennya sehingga dia tetap bisa bergaul sambil bekerja. Ia sesekali juga mengajari mereka pemrograman dan cara membuat animasi. Tasim pun senang keahliannya diminati para tetangganya.

“Dek.. kok melamun? Udah siap?” Tanya Shinta dari depan pintunya, ia sudah menenteng handuk dan botol air mineral, pakaian olahraganya yang ketat memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Tasim berlari kecil lalu mengunci pintu kamarnya untuk joging dengan Shinta. Ini resolusi tahun baru yang mereka sepakati, Tasim bertekad untuk menguruskan badannya yang tambun, Shinta dengan semangat terus membantunya. Mereka joging di subuh hari di lintasan samping kanal. Mereka memilih saat subuh karena saat itu hanya ada mereka berdua. Shinta mengerti pacarnya tidak suka keramaian oleh karena itu dia rela bangun jam 4 lalu menjemput Tasim untuk joging, bagi dia itu pengorbanan yang menyenangkan, ia bahagia bisa merubah pacarnya menjadi lebih baik, dari yang tadinya penutup diri menjadi terbuka, yang tadinya tambun kini badannya mulai kurus, Shinta hanya ingin Tasim menjadi lelaki yang kuat dan sehat, ia memang bersedia menjadi tempatnya memanjakan diri seperti anak kecil, tapi ia tahu orang lain tidak akan selembut itu padanya, karena itu ia ingin Tasim siap dengan kerasnya dunia luar dimana ia tidak selalu bersamanya, ia tidak ingin mencari pria sempurna, baginya lebih baik bersama-sama orang yang ia cintai dan berubah bersama menjadi lebih baik daripada menghabiskan umurnya menunggu sosok sempurna.

“Ayo dek.. masa baru lari sudah capek begitu” Ledek Shinta pada Tasim yang tertinggal di belakang

“Iya kak.. tunggu donk! Huuft” Ia melihat rambut panjang Shinta berombak ke belakang dengan indahnya, seindah tubuhnya yang tertutup jaket biru itu, ia terpesona pada gunung payudara indah yang terlihat dari ketiak jaketnya, tanpa diketahui dia sudah melihat ke belakang dan tahu ia mengerti kemauannya sekarang, kemauan untuk melepaskan hasrat padanya, dia hanya tersenyum nakal dan meneruskan lari seperti yang sudah disepakai bersama, lari minimal 2 kilo meter setiap subuh.

“Aku tak akan menyerah, akan aku kejar kamu kak” Batin Tasim, ia tahu pengorbanannya untuk menjemputnya setiap pagi tidaklah mudah, ia sebenarnya mulai malas dan ingin menyerah dengan resolusinya tapi ia tahu itu akan mengecewakan kekasihnya, ia sadar ia hanyalah pria yang tidak sejati yang harusnya bersyukur mempunyai malaikat cantik yang selalu mendukungnya, pagi ini ia akan membuatnya bangga, walaupun lelah ingin berhenti, ia terus berlari menunjukkan bahwa ia pria yang kuat yang bisa membahagiakannya suatu hari, ia terus berlari menyusul pacarnya yang seksi itu.

“Awas kamu kak, akan aku peluk dan cium kamu sampai habis” Batin Tasim, ia melesat seperti mobil yang memakai NOS saat balapan

“Maju woy! Ah bego! WOOY!”  Teriak sopir mikrolet pada mobil sedan di depannya. Teriakan itu salah satu elemen khas pagi hari di jalan raya samping kanal, selain bunyian klakson, tukang bubur, candaan ibu-ibu, tawa ledekan anak sekolahan dan tangisan anak kecil. Tasim dan Shinta sedang berdiri santai di samping jembatan kanal, menikmati keindahan pemandangan air mengalir dari arah munculnya matahari. Mereka biasa berdiri disana setengah jam setelah lari. Tanpa pelukan, tanpa ciuman, tanpa obrolan panjang, hanya dua manusia yang saling cinta sedang menikmati momen berdua diantara elemen bising khas ibu kota. Tasim yang biasanya sensi dengan kebisingan dan semraut jalan raya, kini seperti tuli sejenak, ia terpesona keindahan alam itu dan merasa nyaman dan aman ada Shinta di sampingnya.

“Kak ayo kita sarapan..”

“Hmm kakak harus berangkat kerja, motor kakak tadi di parkir disana, kamu pulang sendiri bisa kan?”

“Aku takut.. maunya sama kakak..”

“Adeee... mau kakak cium disini sekarang?”

“Engga kak malu hehe, oke kak aku pulang dulu, kakak hati-hati di jalan yah”

“Iya sayang...”

Tasim berjalan pulang sendirian, di tengah perjalanan ia melihat sosok pria yang sepertinya ia kenal, wajah itu tidak asing lagi, dia adalah Wahyu, teman lamanya saat masih duduk di tingkat satu kuliah, ia begitu bahagia bisa bertemu dengannya, mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi, ia sudah sering mencoba menelepon nomornya tapi tidak diangkat, dan chat melalui facebook tidak dibalas dan profilnya tidak pernah diupdate sejak perpisahannya di akhir semester 2

“Wahyu..? Lu wahyu kan?” Tanya Tasim padanya yang sedang menunggu dilayani penjual kebab

“Weh.. Tasim? Apa kabar lu men?” Mereka berjabat tangan, Wahyu bercerita dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis di pulau kalimantan. Dia sekarang berbisnis pakaian batik dan sedang mencari tempat tinggal dan kebetulan memilih gedung apartemen yang sama dengan yang Tasim pilih. Tasim tidak percaya Wahyu sudah berubah, pria yang dulu introvet seperti dirinya kini tampil lebih hebat, ia ingat bagaimana dia mengeluh tentang orang-orang sebagaimana ia juga tidak menyukai keramaian, dan dia mengeluh nilai kuliahnya yang sangat jelek dan memutuskan pindah fakultas, ia mencoba menahannya untuk bersabar tapi dia tetap pindah, setelah itu ia terus mencoba menghubunginya tapi tidak mendapat balasan. Hubungan mereka tidak lama, hanya 2 semester, tapi meski begitu, Wahyu adalah teman terdekat yang dimilikinya, ia ingat bagaimana dia menjemputnya dari kontrakan dan mengantarnya ke rumah saat ia demam dan sendirian, dia adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki. Tasim tidak bisa menahan untuk mengakui betapa besar kerinduannya kepada Wahyu.

“Gimana dengan lu? Sudah menikah?” Tanya Tasim sambil menyodorkan secangkir teh di ruang tamu apartemennya.

“Haha, lu udah punya ya tas, hebat, gue belum, masih mencari dan menunggu, oh iya, mana foto pacar lu itu? Gue mau lihat”

“Dia gak mau difoto yu, gw sering minta tapi dia terus nolak”

“Dia dimana sekarang? Tinggal sama lu?”

“Oh engga, dia tinggal di gedung apartemen deket kantornya, kapan-kapan gue kenalin lu ke dia”

“Sip, oh ya gw harus balik sekarang nih, udah siang”

“Wah gak kerasa yah, oke yu, eh iya nomor handphone lu berapa?”

Setelah bertukar nomor handphone, Wahyu pergi, Tasim segera mengirimkan SMS pada Shinta untuk mengatur makan malam bersama, ia ingin mengenalkan sahabat lamanya. Setelah berjam-jam menunggu balasan, Shinta akhirnya membalas SMSnya saat malam, dia memintanya segera bersiap dan naik ke atas gedung karena ingin melatihnya ilmu bela diri seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam, Tasim tidak menolak, ia senang bisa diajarkan, ia merasa sebagai lelaki macho saat bisa melakukan gerakan-gerakan karate. Ia pun segera mengganti pakaian, membawa bekal dan berlari ke tangga, sementara itu Shinta sudah menyiapkan tempat untuk mereka latihan.

Setelah berlatih, mereka berdiri menikmati pemandangan malam disertai angin yang berhembus mengusir keringat, mata Tasim tertuju pada lintasan lari yang sekarang sudah menjadi pasar malam, orang-orang berjual beli barang-barang murah di sana, ia mendapat ide untuk membelikan hadiah untuk Shinta, dia wanita tomboy dan suka bela diri, mungkin miniatur pedang sangat cocok, bisa ditaruh di mobil atau kamar, tapi setelah ia melihat restoran yang tidak jauh dari lintasan lari itu, ia mendapat ide yang lebih baik, yaitu mengajak pacar dan sahabatnya makan malam.

“Kak... aku ingin kita makan malam di restoran”

“Restoran?”

“Ya kak, kita bertiga bersama sahabat ku Wahyu, besok malam setelah latihan?”

“Kakak gak bisa dek, aku harus segera pulang setelah latihan karena paginya harus menjemput mu lari pagi kan?”

“Kak,, hanya malam besok saja, aku ingin mengenalkan mu padanya, kalian berdua orang yang ku pedulikan, aku ingin kalian saling kenal”

“Dek.. kakak gak punya waktu, dan kakak harus menjaga stamina karena selalu sibuk di kantor kamu tahu kan.. Bahkan untuk bertemu dengan mu hanya bisa saat subuh dan malam hari kan? Kakak gak sefleksibel dulu karena jabatan kakak udah naik”

“Yah selalu beralasan kantor, kantor dan kantor... Kak aku butuh kamu!”

“Ya dan kakak sedang mengumpulkan uang untuk masa depan kita!”

“Tidak ada masa depan dimana kakak dan aku bisa selalu berdua kan?! Aku  lebih memilih kakak mencari pekerjaan lain”

“Dek... kakak gak pernah meminta kamu dewasa, kamu bebas menuntut apapun dan tidak pernah sekalipun aku menolak memberikannya, aku berikan apapun dan menjadi siapapun yang kamu butuhkan, kamu mau kurus oke kakak siap jemput dan menyeret kamu keluar dari gua itu untuk lari setiap pagi, kamu mau bisa bela diri kakak ajari setiap malam, kamu pencinta senapan, kakak latih kamu menembak setiap minggu, dek jabatan aku lebih tinggi sebelum kenal kamu, percayalah aku sudah berusaha maksimal membagi waktu.  Aku gak meminta apapun selain... aku ingin kamu pada titik ini saja mendukung pekerjaan ku karena aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah untuk kita berdua dan kakak cinta pekerjaan ini, oke dek? Aku mohon minta lah apapun selain yang menghambat rutinitas kakak, apapun dan kakak akan penuhi semampu kakak, oke? Plis? Honey?” Shinta tidak ingin menyakiti perasaan kekasihnya, ia berjanji pada dirinya untuk berusaha memberikan yang dia minta, apapun selain harus membuatnya keluar dari jadwal-jadwal pekerjaannya. Ia diam menatap Tasim, menunggu jawabannya.

Tasim terbangun keesokan paginya dengan kaos dan celana bersih, Shinta telah menghilang, ia merasa takut ada orang datang karenanya ia segera berlari menuju tangga, masuk ke lift dan menuju kamar. Wahyu sedang berdiri di depan pintu terus-menerus menekan bel sambil menggedor dan memanggil namanya, ia menenteng kotak cokelat. Tasim yang melihat dari jauh merasa tidak enak dia mungkin sudah menunggu lama sementara ia tertidur.

“Woy bro! Sorry udah lama ya? Gue lagi senam di atas, sorry nih gak bawa hape”

“Owh.. slow, eh gue perhatiin lu alit tembak ya? Kemarin gue lihat ada foto-foto lu lagi nenteng senjata, laras panjang pula”

“Bukan atlit tembak sih, tapi gue sering latihan nembak sama cewe gue. Itu kotak apaan? Martabak?”

“Haha bukan ini gue mau nunjukin koleksi pistol gue, pistol angin sih”

“Wooh lu atlit nembak? Eh lupa, ayo masuk, eh sorry banget nih nunggu lama, lu udah sarapan?”

“Udah selow, masih aja kaku. Sama kaya lu gue latihan di lapangan, bokap gue ngajarin nembak setiap minggu”

Tasim membuatkan mereka berdua sarapan mie goreng telor dan teh hangat. Mereka bercerita panjang lebar tentang senapan dan metode latihan yang mereka lalui. Tasim sudah lama tahu ayah Wahyu seorang tentara dan betapa takjubnya ia mendengar cara dia mengajarkan Wahyu berkamuflase dan survival di hutan layaknya tentara sungguhan, dan Wahyu juga tidak percaya Shinta bisa mengajarkannya menembak senapan mesin dan dia ingin segera menemuinya, Tasim masih merasa bersalah karena telah memaksa Shinta bahkan tega memintanya pindah pekerjaan, ia merasa tidak tahu diri dan ingin segera meminta maaf kepadanya nanti malam. Wahyu membaca gerakan tidak enak dari kawannya dan dia pun mengganti subjek pembicaraan. Kini mereka membiacarakan film aksi yang berisi para aktor tua yang kembali berlaga tembak-menembak.

“HAHAHA! Kakinya terlalu pendek untuk menendang raksasa besar itu, hahaha, dia seharusnya”

“DING!” Bunyi bel pintu

Ketika Tasim buka, tidak ada siapapun, di depan kakinya ada amplop putih, ia buka dan ada surat bertuliskan “Nyalakan TVnya”

“Bro? Siapa?” Tanya Wahyu sambil mengunyah biskuit di sofa

“Bro tolong nyalain TV donk” Kaki Tasim tidak bisa beranjak dari gagang pintu, dia merasakan perasaan tidak enak tiba-tiba

“eh TV? Oke tunggu, nih”

Mereka berdua ternganga menyaksikan pemandangan mengerikan, adegan penyiksaan seorang wanita di ruangan yang dipenuhi pria bersenjata, Tasim mengenali wanita itu, dia adalah Shinta, mulutnya disekap, bahunya penuh sayatan, kepalanya diperban, tangtop putihnya penuh darah, lehernya dekat dengan mata pisau yang dipegang pria kekar yang sepertinya sedang bertanya sesuatu yang tidak jelas terdengar.

“Triiiing!” HP Tasim berbunyi, dia masih syok tapi mencoba tenang saat mengangkatnya

“Halo?”

“Tasim, bagaimana latihan mu? Ku harap dia sudah mengajarkan mu cara menjadi pahlawan, datang ke alamat yang ada di amplop depan pintu mu dalam waktu satu jam, tidak ada polisi, turuti permintaan ini atau akan kami bunuh”

Tasim menoleh ke belakang,ada amplop baru, ia mendengar pintu  lift terbuka, segera ia berlari tapi sayang terlambat, tidak terlihat siapa dia, orang misterius yang baru saja menaruh amblopnya. Ia kembali ke kamarnya, di sana Wahyu membaca amplop kedua lalu menoleh ke Tasim

“Gue tahu alamat ini” Kata Wahyu

“Wahyu gue harus pergi kesana, tanpa polisi”

“Hah? Dengan tangan kosong? Itu bunuh diri”

“Gue datang dengan tangan kosong  dan mobil penuh senjata, gue gak punya waktu banyak, lu harus pulang, biar gue selesain ini sendiri”

“Tunggu bro! Tunggu!” Kata Wahyu sambil menahan Tasim yang penuh emosi

“Gue ikut lu oke”

“Itu tempat berbahaya”

“Ya Tasim terimakasih penjelasannya, gue bisa lihat sendiri dari video itu”

“Gue gak mood untuk bercanda”

“Bagus, karena gue gak menganggap ini candaan. Lu tahu apalagi yang bokap gue ajarkan selain bertempur? Dia mengajari gue tentang kesetiaan. Sekarang, sebagai teman lu gue bersikeras untuk ikut lu, gue bisa jaga diri, lu bisa jaga diri, kita akan hajar mereka”

“Lu punya..”

“Ya gue punya mobil”

“Dan lu...”

“Ya gue punya banyak amunisi dan senapan”

“Apa ada di..”

“Ya semuanya ada di bagasi mobil. Gue rencananya ingin kerumah bokap untuk latihan, tapi biarlah. Kita bisa berangkat sekarang”

Rumah itu berwarna kuning. Memiliki tingkat dua. Semua jendelanya ditutup. Dijaga oleh dua orang memegang golok di depannya. Pagarnya terbuka. Ada mobil Shinta di parkiran dalam. Wahyu memberhentikan mobil di dekat pohon. Tasim keluar membawa stun gun dan pistol. Mengendap mendekat melalui  semak-semak, disusul Wahyu yang membawa senapan tembak jarak jauh.

“Wahyu, lu cari posisi aman untuk menembak, gue akan masuk sendirian”

“Jangan sok pahlawan bro, kita bisa masuk barengan”

“Dan dibantai saat baru masuk? Jangan khawatir, gue punya rencana, lu cari aja tempatnya”

“Oke bro, hati-hati”

Satu penjaga masuk. Tasim berjalan pelan ke belakang penjaga yang masih diam berdiri. Dengan stun gun, ia arahkan ke lehernya. Dia gemetar lalu pingsan. Ia seret badannya ke semak-semak. Dengan cepat ia kembali ke balik dinding menunggu penjaga lain. Satu penjaga keluar menuju jalanan. Dia menengok kanan kiri tidak menyadari keberadaan Tasim di belakangnya. Saat dia menoleh, badannya sudah gemetar. Dia pingsan. Tasim seret ke dekat temannya. Tidak ada siapapun di jalanan. Tasim masuk ke dalam rumah.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Tasim masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di bawah kasur. Dua orang masuk ke kamar. Dari suaranya, satu pria dan satu lagi wanita. Wanita itu terdengar memberontak. Keduanya naik ke kasur sehingga Tasim tertindih tapi masih bisa bergerak. Kasur itu berguncang. Tasim bisa menebak yang terjadi. Sedang terjadi pemerkosaan. Perlahan ia keluar dan berdiri menghadap pria yang sedang menindih si wanita sambil melepaskan celananya. Ia berikan setrum di lehernya. Pria itu terjatuh dan pingsan. Wanita itu menangkap isyarat diam darinya. Dia menghapus air matanya dan turun dari kasur. Dia keluar dari rumah. Setelah diperiksa tidak ada siapapun lagi di tingkat ini, Tasim naik tangga untuk memeriksa lantai atas.

Semua pintu kamar terbuka kecuali kamar yang paling besar. Pintu itu terkunci. Ia paksa buka tapi tetap tidak bisa. Ia pastikan tidak ada siapapun yang melihat kemudian mendobrak pintu itu. Berbarengan saat itu pula kaca jendela pecah oleh peluru yang menembus kepala pria besar yang tadi memegang pisau. Tasim menghajar satu pria yang hampir memukulnya dengan kayu. Setelah ia yakin tidak ada lagi penjahat, ia dekati Shinta yang terikat di sebuah kursi. Mulutnya ditutup ikatan kain. Ada bekas pukulan di sekujur tubuh dan matanya. Tasim melambaikan tangan ke luar jendela untuk memberi tanda kepada Wahyu untuk masuk.

“Kak.. Maaf aku telat, ini sak..”

“Jangan pegang gue, siapa yang menyuruh lu kesini?!”

Tasim sangat kaget, bagaimana dia bisa menjadi kasar, apakah karena semalam? Apa karena ia telat? Tapi yang paling ia tidak mengerti apa maksudnya dengan kata menyuruh. Ia hanya terdiam menatapnya penuh kesal.

“Yuli lu gapapa?” Tanya Wahyu yang baru masuk ruangan sambil memegang pistol di tangan kanannya

“Lu gila yak?! Anak kencur lu suruh nyelamatin gue?! Pake otak lain kali!” Shinta merebut pistol dari tangan Wahyu dan segera keluar dari kamar itu

“Kak... kak.. Shinta!!” Teriak Tasim kebingungan

“Gue bukan Shinta!” Bentaknya sembari menuruni anak tangga

“Tasim, bisa tenang sebentar?” Pinta Wahyu sambil memberikan kursi kepadanya

“Lu kenal dia? Yuli namanya? Apa maksudnya? Kenapa dia bisa marah ke  gue? Apa salah gue?!”

“Maafin gue kawan, gue harus ngelakuin ini” Wahyu memukulnya hingga Tasim pingsan. Ia bawa kawannya menuju mobil. Mereka bertiga meninggalkan lokasi kejadian.

Tasim terlelap di bangku belakang. Wahyu menyetir mobil sementara Shinta membersihkan luka-lukanya. Ia masih tampak kesal atas kejadian yang baru terjadi.

“Lu gak perlu teriak seperti itu ke Tasim, dia lelaki yang baik”

“Gue disekap dan lu mengirim bocah ingusan? Bilang ke bos kalau dia mau gue mati biarin gue mati sendirian”

“Asal lu tau, gue gak menyuruh dia kesini, dia bisa aja panik gak jelas bahkan nelepon polisi saat tahu lu yang asli disekap, tapi enggak, dia nekat pergi sendiri bahkan menyuruh gue pulang dan gue harus mengemis untuk ikut dia. Lu boleh percaya atau enggak, tapi lu harus minta maaf ke dia. Dia udah merelakan nyawanya untuk lu. Dia cowok pertama yang berani ketimbang ...”

“Ketimbang cowok-cowok pengecut lain yang udah gue tidurin.. Thanks, gue ngerti”

“Gue berencana bilang ketimbang kandidat lain”

“Diam”

Wahyu berharap sahabatnya bisa mengerti semua ini dan sanggup menerima kenyataan pahitnya.  Ia merasa bersalah tidak segera memberitahunya tapi merupakan kewajiban telak baginya untuk tutup mulut hingga bosnya berkata lain. Ia juga khawatir dia lebih memilih bunuh diri ketimbang bergabung bersama satuannya. Ia kembali menatap Yuli, kali ini dengan tatapan menakutkan.

“Tasim adalah sahabat gue dan lu baru saja menyakiti hatinya, lu harus meminta maaf kepadanya atau lu gak akan hidup lama”

Yuli bukanlah gadis penakut, sebagai pasukan wanita elit ia sering mendapatkan ancaman. Tapi Wahyu tidak pernah semarah ini kepadanya. Ia hanya bisa diam tidak ingin memulai keributan atau menunjukkan tanda perlawanan. Bagaimanapun juga, Tasim benar-benar menyelamatkannya sendirian. Dia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatannya. Ia menyesal telah membentaknya. Dia pasti sangat sedih, pikirnya, ia berjanji pada dirinya akan meminta maaf setelah dia mengerti.

Tasim terbangun di sebuah ruangan, hanya ada satu meja besar dan dua kursi serta kaca dinding, ruangan itu diterangi lampu kuning, ia melihat pintu yang terbuka tapi ia tidak bisa keluar karena kakinya diborgol. Masuk seorang pria tua berkacamata, mengenakan kemeja putih berjas hitam, menenteng satu folder dan sebuah remot di tangannya. Ia mengeluarkan puntung rokok dari kotaknya dan menyerahkannya kepada Tasim, dia menolak dengan gelengan.

“Apa Anda kenal saya?” Tanya bapak itu

“Shinta” Jawabnya sambil melihat ke arah kaca di ruangan, ia tahu itu kaca dua arah dan ada orang lain dibaliknya. Ia harap itu Shinta

“Maaf?”

“Shinta”

“Namanya bukan Shinta, dia Yuli, dan saya tidak bisa mengkonfirm apakah itu nama asli, dan dia tiak ada dibalik kaca itu, nak”

“Yuli? Yah benar saya lupa, wanita seperti itu tidak mungkin bernama Shinta, dia pasti bernama Yuli, Angelina, James, Risda, Novi, nama-nama tomboy”

“Apa Anda yakin tidak kenal saya?”

“Tidak”

“Koreksi jika saya salah, Anda termasuk orang yang lebih suka menjadi pendengar ketimbang memotong pembicaraan, apa itu benar?”

“Benar”

“Maka izinkan saya memperlihatkan sesuatu” Pak tua itu menekan tombol di remot ke arah kaca, muncul sebuah cuplikan rekaman pembicaraan antara Tasim dengannya di ruangan itu juga, tanggal di rekaman menunjukan rekaman itu diambil dua tahun lalu.

------------------------

9 Januari 2014

-----------------------

“Sebutkan nama Anda untuk dicatat”

“Tasim Sudirman”

“Jelaskan alasan Anda berada disini”

“Saya seorang penakut, tidak berani berinteraksi dengan orang lain, tidak memiliki teman, menjauh dari keluarga, tidak memiliki harapan masa depan, tidak memiliki semangat berjuang. Saya ingin berguna untuk negara ini, ingin menjadi prajurit, saya siap mati untuk negara ini. Tapi rasa takut saya lebih besar dari impian itu. Saya datang kesini, siap menjadi objek percobaan dengan tujuan saya bisa digunakan untuk membela negara setelah semua rasa takut saya hilang”

“Anda paham apa yang akan Anda alami?”

“Halusinasi memiliki kekasih. Saya paham dan siap dengan segala resikonya. Saya percaya dia, dalam kurung kekasih hayalan, bisa mendorong saya untuk menggapai semua yang saya mau”

“Anda sudah punya nama untuknya?”

“Shinta”

“Anda sudah punya kriteria untuknya?”

“Cerdas, kuat, mahir bela diri, tinggi, berambut panjang hitam, memiliki tubuh yang indah, senyumnya menggoda, sehat, mempunyai pekerjaan, dan yang terpenting, selalu menyemangati saya untuk berubah, untuk pergi kemanapun, berbicara dengan siapapun dan melakukan apapun yang sebelumnya saya takuti. Itu kriteria yang saya inginkan”

“Sebutkan kisah pertemuan Anda dengannya”

“Saya memiliki komputer yang rusak, lalu menelepon jasa servis, mereka mengirim Shinta untuk memperbaiki komputer itu, tapi komputer itu selalu rusak dan selalu Shinta yang dikirim, lama kelamaan terjalin komunikasi diantara kita dan saya menyukai dia, suatu hari saya bertanya apakah dia bersedia menjadi pacar saya, dan dia mengiyakannya. Itu awal pertemuan kita”

“Sebutkan aktivitas yang Anda inginkan bersamanya”

“Setiap subuh, dia menjemput saya untuk lari pagi, saat malam dia melatih saya beladiri di atap gedung apartemen, di hari minggu dia mengajari saya menembak di sebuah lapangan, dan di hari libur kami berdua, saya ingin menghabiskan hari bersamanya di apartemen”

“Apakah Anda paham, Anda tidak bisa mengajaknya keluar dari jadwal aktivitas yang sudah Anda tentukan?”

“Paham”

“Apakah Anda paham, dia tidak bisa ditunjukan kepada keluarga atau kenalan dekat Anda”

“Paham”

“Apakah Anda paham, suatu hari kebohongan ini akan terbongkar?”

“Paham”

“Apakah Anda siap menerima rasa sakit ketika mengetahui kebohongan ini?”

“Siap”

Rekaman itu dihentikan oleh Pak Tua, dia menunggu reaksi dari anak muda yang kebingungan di hadapannya. Tasim tidak percaya apa yang sudah dilihatnya, ia tidak bisa percaya bersedia melakukan perjanjian sekejam itu, ia tidak bisa percaya bahwa kekasihnya, yang selama ini selalu bersamanya, adalah hayalan, ia mencoba mencari bukti bahwa Shinta itu benaran ada.

“Saya dan dia pernah berfoto selfi bersama, saya punya foto yang membuktikan dia benar-benar ada” Tantang Tasim

“Biar saya tebak, foto itu diambil sehari setelah Anda menyatakan cinta kepadanya?”

“Ya”

“Foto seperti ini?” Pak tua itu mengeluarkan beberapa foto dari folder cokelat

“Anda mengambilnya?”

“Kami juga memiliki sudut pandang lain, silahkan dilihat-lihat”

Tasim melihat foto-foto itu, foto itu diambil dari dalam mobil yang parkir di seberang gedung apartemennya, yang parkir di seberang lintasan lari tempat ia dan Shinta selalu lari pagi, yang parkir di seberang lapangan tempat ia dan Shinta latihan menembak, ada pula foto yang diambil dari gedung apartemen seberang, foto itu menunjukkan dirinya sedang berlatih bela diri, berpelukan, bercanda dan berhubungan badan. Ia tidak percaya selama ini hubungan mereka diintai oleh orang lain.

“Foto-foto ini...”

“Nyata? Yah tentu nyata, jika saya bisa melihatnya maka ini nyata, jika keluarga Anda bisa melihatnya maka ini nyata, jika orang lain bisa melihatnya maka ini nyata. Tapi pertanyaannya adalah, apakah wanita dalam foto ini, memberikan cinta yang nyata?

Nak saya berharap bisa mengatakan ini dalam bahasa yang lebih halus dan percayalah saya mengerti rasa sakit yang Anda alami setelah mendengar ini tapi Anda harus mengetahuinya sekarang.

Kami mencari agen yang memiliki kriteria yang sesuai dengan yang Anda sebutkan, maka diutuslah agen Yuli untuk membantu menanamkan gagasan ide halusinasi di kehidupan Anda. Pada enam bulan pertama Anda diberikan obat melalui berbagai macam media seperti kapsul, suntikan dan sebagainya. Obat itu berfungsi merekam aktivitas yang kalian berdua lakukan, sesuai dengan aktivitas yang Anda inginkan. Obat itu membantu otak mengingat gerakan Shinta, bagaimana dia marah, bagaimana dia sedih, gembira, bagaimana sifatnya, responnya, kegiatannya. Pada intinya, obat itu menduplikat ingatan kalian berdua untuk dimainkan ulang setelah Yuli berhenti berpura-pura menjadi Shinta lalu keluar dari kehidupan Anda.”

Tasim teringat dulu ia sering sakit dan dibawa ke dokter, ia sering mendapatkan suntikan, mungkin itulah saat dimana ia mendapatkan obat hayalannya. Dan ia ingat pertengkarannya dengan Shinta yang membuat dia pergi dalam waktu lama, mungkin itulah saat dimana Shinta yang asli digantikan dengan halusinasinya.

“Siapa Anda? Apa yang Anda lakukan?”

“Panggil saya Rusli, saya bisa menunjukkan rekaman kita berdua membicarakan organisasi ini tapi biar saya jelaskan ulang.

Badan Inteligen Negara membentuk program pelatihan sipil yang bernama ‘Outlone’. Program ini dijalankan oleh para dokter yang ahli dibidangnya dan diawasi oleh tentara dan polisi terpercaya, tujuan program ini dibentuk untuk menciptakan agen-agen rahasia yang tertanam di seluruh lapisan masyarakat yang suatu waktu bisa dipanggil untuk membantu mempertahankan wilayah kita dari berbagai ancaman. Para kandidatnya adalah orang sipil yang tidak memiliki anak istri, tidak memiliki teman banyak dan anti sosial yang memiliki impian untuk berubah tapi terlalu takut untuk pindah dari zona aman mereka.

Anda, Tasim, dulunya adalah kandidat, Anda berlatih ilmu beladiri, menembak, berinteraksi dengan orang lain, pada awalnya Anda melakukan itu semua bersama wanita yang asli, pada kasus ini agen Yuli atau yang Anda sebut dengan Shinta, dia kami sebut sebagai ‘installer’, tugasnya menanam keyakinan bahwa dia adalah kekasih Anda, seseorang yang selalu ada untuk Anda membantu dan melakukan apapun yang Anda inginkan, setelah proses instalasi selesai,  pikiran Anda memproyeksikan wanita yang hanya bisa dilihat oleh Anda sendiri yang kita sebut dengan konverter. Konverter ini lah yang menarik Anda dari kehidupan suram ke arah kehidupan yang lebih baik.

Tadi pagi, Anda membuktikan diri Anda sudah berubah, Anda berani melawan para penjahat itu untuk menyelamatkan dia, bahkan sendirian. Saya menerima rekomendasi dari Wahyu bahwa Anda sudah siap. Sekarang, Anda bukan lagi kandidat, Anda adalah sleeper agen yang akan kami gunakan untuk melawan kejahatan, jika Anda setuju”

“Saya bisa memilih?”

“Ya tentu. Kami menyediakan tiga jalan keluar untuk Anda” Pak Rusli mengeluarkan tiga pil

“Pil merah, jika Anda ingin bunuh diri. Kami akan membuat mayat Anda seolah-olah mati karena kecelakaan atau over dosis. Pil kuning, jika Anda ingin meneruskan kegilaan ini. Anda akan melupakan semua yang terjadi hari ini, Anda akan terbangun di apartemen dan kembali berhalusinasi memiliki pacar bernama Shinta, Anda akan menghabiskan sisa hidup bersama wanita yang tidak bisa dilihat siapapun. Pil hijau, jika Anda ingin bergabung dengan kami. Anda akan sembuh, tidak bisa lagi melihat dirinya yang palsu, Anda akan kami tempatkan di manapun penjahat berada, Anda akan menjadi berguna untuk negara seperti yang Anda impikan.”

“Saya perlu waktu untuk memikirkannya”

“Oke” Pak Rusli menembakkan jarum suntik ke dada Tasim, dia pingsan, ia menyuruh untuk membawanya kembali ke apartemennya dan mengirim Yuli untuk memantau

Setelah sadar, Tasim kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi, ia juga mengingat tiga pilihan yang diberikan, ia turun dari tempat tidur, mandi air hangat, memotong kuku, memakai pakaian rapi dan parfum, kemudian pergi ke dapur mengambil makanan, menyantapnya di ruang makan, di hadapannya ada foto Shinta sedang merangkulnya, ia makan dengan perlahan sambil memperhatikan foto itu, kadang ia tertawa, kadang menangis, ia keluarkan semua perasaannya, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah selesai makan, ia pergi ke ruang tidurnya, meraba bagian bawah kasur, mengambil kotak cokelat lalu membawanya ke ruang makan, dia ambil pistol dan peluru dari kotak itu, sambil terus memperhatikan fotonya dengan Shinta, ia bersihkan pistol dan memasukan peluru kedalamnya, ia tertawa dan menangis beberapa saat kemudian tersenyum dan mengarahkan moncong pistol ke dagunya, ketika ia siap menekan pelatuk, pintu kamar terbuka, terdengar langkah kaki berlari kepadanya.

“Tasim! Jatuhkan pistol itu” Tegas Yuli. Tasim berdiri dan mengarahkan pistol kepadanya

“Jika kau palsu, kau tidak akan mati, jika kau asli maka kau akan mati, tidak ada ruginya bagi ku” Tantang Tasim

“Jika aku asli, sniper di gedung sana akan menembak kepala mu, tidak ada untungnya bagi mu”

Tasim terdiam beberapa saat kemudian mendapatkan ide

“Sepertinya, aku tahu cara mengetahui kau asli atau palsu tanpa harus membuat mu terbunuh”

“Apapun itu, turunkan pistolnya, berikan pada ku”

Tasim menjatuhkan pistolnya kemudian menendangnya ke arah Yuli, dia mengambilnya. Ia berjalan pelan kepadanya, dia acungkan pistol ke arahnya sebagai peringatan untuk berhenti tapi ia tetap berjalan tanpa terlihat rasa takut. Sementara itu di luar sana, seorang sniper siap menarik pelatuk jika Tasim melukai Yuli.

“Berhenti!” Bentak Yuli

“Kau tahu Pak Rusli memberikan ku tiga pil?”

“Ya”

“Aku sedang membuat pil keempat”

“Apa maksudnya?”

“Tadi pagi aku merelakan nyawa ku untuk menemui wanita yang ku cintai, untuk bisa bersama dengannya lagi dan merasakan lagi pelukannya, dan sekarang aku akan melakukannya lagi. Shinta.. Kak.. Jika itu kau maka peluklah aku.. aku takut dan membutuhkan mu.. Yuli.. jika itu kau maka tembak lah aku, aku sudah siap mati. Siapapun kau... aku bergerak untuk mendapatkan pelukan yang aku inginkan dan siap mati karenanya”

“Tasim, berhenti! Ini gue Yuli”

“.....”

“Diam! Sekali lagi lu gerak akan gue ledakkan kepala lu!”

Tasim memandangnya dengan senyuman, ia geser lengan yang menodongkan pistol, Yuli tidak tega untuk menembak, ia tidak berkutik ketika dia menggeser lengannya,  jari-jarinya tidak kuat untuk menekan pelatuk, sementara itu Tasim terus maju hingga akhirnya memeluk Yuli, ia senderkan kepalanya di dadanya, ia hirup aroma parfum wanita itu dalam-dalam, ia dorong punggungnya agar pelukannya semakin erat. Ia tidak bisa membedakan yang dirabanya itu asli atau tidak, semuanya terasa nyata baginya, tapi ia tahu satu hal  yang membedakan Yuli dengan Shinta.

“Lu tahu kenapa gue terus maju? Meskipun lu mengancam ingin menembak?”

Yuli tidak bisa berkata apapun, pegangannya pada pistol di tangan kanannya makin melemah.

“Tahun lalu, gue dan Shinta bertengkar hebat, dia pergi ke dapur, memegang pisau dan mengarahkannya ke gue, seperti yang lu lakukan tadi, saat itu gue sadar sudah kelewat batas, gue berusaha mendekatinya tapi dia tetap mengancam jika gue mendekat akan dibunuh, seperti yang lu lakukan tadi, tapi gue terus mendekat dan dia terus mengancam, seperti yang lu lakukan tadi, hingga akhirnya gue berhasil memeluk dia, seperti yang gue lakukan sekarang, dan dia tidak berkata apapun, seperti yang lu lakukan sekarang. Tapi apa yang membedakan? Shinta, semarah apapun dia, dia akan membalas pelukan gue, seperti yang dia lakukan dulu, dia jatuhkan pisaunya , dia belai kepala gue, dia peluk gue dan gue meminta maaf kepadanya, kemudian esok harinya kita kembali mesra. Yuli, maafin gue sudah membuat lu tidak nyaman seperti ini, dan terimakasih telah mengizinkan gue memeluk lu, tubuh yang asli. Dan Yuli, gue tetap siap mati, gue mohon tekan pelatuk itu ke kepala gue, akhirin penderitaan ini, plis, tembak gue sekarang.

“Tasim... maafin gue” Yuli menitikkan air matanya, dia peluk pria malang itu untuk terakhir kalinya

*DUUAAAR!!*

---------------------------------

Lima tahun kemudian

------------------------------------

Pak Rusli sedang meminum segelas anggur di ruang kantornya, ia merayakan kemenangan dan kekalahannya, menang dalam pertempuran bawah tanah membawakan kekalahan berturut-turut, satu persatu agennya meninggal secara tidak wajar, ia mencurigai adanya penghianat tapi belum satupun yang ia dapatkan, siapapun dia, telah memberikan kerusakan yang sangat besar, ia kembali mengingat cabangnya di makasar tempat dulu membersihkan konflik masyarakat, cabang di bandung tempat pembersihan kelompok ekspor ilegal, cabang di bali tempat pembersihan organisasi terroris, dan begitu pula cabang-cabangnya yang lain hancur, kini ia tidak memiliki cabang lagi, kantor tempatnya berada sekarang adalah satu-satunya yang tersisa, dan semua agen yang ada di kantor itu adalah agen yang tersisa, tiga agen terhebatnya yaitu Tasim, Wahyu dan Yuli juga meninggal. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak, datang firasat sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

“Sebuah gedung di Jakarta siang tadi terbakar, puluhan orang meninggal dunia dan sampai sekarang pemadam kebakaran belum berhasil memadamkan apinya, pihak kepolisian menjelaskan penyebabnya adalah kebocoran saluran gas” Suara penyiar berita melaporkan kebakaran dari TV di sebuah bar

“Mau pesan apa?” Tanya pelayan bar

“Martini, please” Jawab seorang pria

“Buat dua Martini, saya yang bayar” Pria itu menoleh, ia mengenal wanita itu, wanita yang sudah lama tidak dilihatnya

“Mau mabuk? Ini masih pagi” Ucap wanita itu kemudian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke atas, ia pandangi lelaki itu sudah banyak berubah dari tampilan dan caranya membawa diri

“Mungkin ya, mungkin tidak, entahlah, apa yang lu lakukan disini?”

“Lu membuat banyak orang marah, termasuk gue”

“Semua orang yang marah ke gue sekarang berada di gedung itu, menunggu jasadnya dibawa keluar, kecuali lu mau ikut berada disitu, gue saranin lu pergi sekarang”

“Negara kita sudah menang Tasim, berkat lu. Kenapa? Kenapa lu membunuh mereka?” Tanya wanita itu sambil menahan tangisnya

“Agar tidak ada lagi Tasim yang lain. Gue yang terakhir, dan lu... lu Yuli yang terakhir” Jawab Tasim, ia masih melihat Yuli seperti saat melihat Shinta, ia melihatnya sebagai tempatnya untuk bermanja, untuk merebahkan kepala, untuk pasrah, untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu tapi rasa itu masih ada hingga sekarang, bahkan ia ragu apakah wanita yang dihadapannya ini halusinasi atau bukan.

“Tasim.. Lu sudah lebih dewasa sekarang.. Gue senang bisa bertemu lu tanpa ancaman apapun. Semuanya karena lu. Tidak ada lagi Pak Rusli, tidak ada lagi outlone, tidak ada lagi agen lainnya. Maafin gue selalu menjauh, tapi sebenarnya gue selalu ada, gue selalu melindungi lu” Setelah negara memenangkan perang dingin dengan kelompok asing, Tasim menjalankan misi gerilyanya memberantas satuannya sendiri, BIN sudah banyak mengirim para pembunuh bayaran untuk menghentikannya, tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuhnya karena Yuli menjaganya dari kejauhan. Ia juga mencintai Tasim, tapi ia tidak bisa mendekapnya selama outlone masih ada, yang bisa ia lakukan hanyalah menjauhkannya dari pembunuh bayaran, bom mobil, penembak jitu, maling, preman dan elemen lain yang bisa membunuhnya.

“Gue gak bisa menggantikan Shinta, gak akan pernah, dia membawa lu keluar dari area buruk hingga menjadi hebat seperti sekarang, dia yang membantu lu, melatih lu, bukan gue. Tapi beri gue kesempatan untuk mengembalikan hubungan itu, gue akan menjadi apapun yang lu mau, gue akan selalu menjaga lu seperti yang selalu gue lakukan. Kita harus pergi sekarang. Memulai hidup baru di suatu tempat”

“Semua agen, semua kandidat, semua installer, semua caller, mereka sudah gue urus. Tidak ada lagi yang perlu kita takutkan”

“Lu tahu kenapa BIN tidak memberikan Pak Rusli nama lu? Karena mereka sengaja ingin menghampuskan dia dengan cara membiarkan lu mendekatinya. Kini setelah dia meninggal, mereka membentuk operasi lain, dan, gue merasakan ada ancaman di sini sekarang”

Di luar bar, polisi sedang mengatur lalu lintas seperti biasa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan senapan mesin dari bar, kaca-kaca pecah, para pejalan kaki terluka, polisi itu berlindung, ia mencari pelaku penembakan sambil mengontak satuannya untuk mengirimkan bantuan, sementara itu tembak-menembak masih berlangsung, kemudian satu persatu orang terlempar keluar dari lantai dua ke jalanan, orang-orang yang terjatuh itu memegang senjata api dan senjata tajam, setelah bantuan datang, polisi masuk ke bar, lantai tiga meledak, melemparkan lebih banyak orang ke jalanan.

Di tempat lain, mobil hitam melaju cepat melewati mobil-mobil lain di jalan raya, si pengemudi memastikan tidak ada yang mengikutinya, si penumpang memegang pistol di tangannya bersiap menembak ban mobil yang ia curigai.

“Yuli..”

“Kristina.. nama asli gue Kristina”

“Kristina... i love you kak”

“I love you to ade ku sayang”

THE END

Keterangan

Outlone : Operasi pelatihan sipil untuk mempersiapkan masyarakat mempertahankan negara

Kandidat : Orang yang terpilih secara sadar atau tidak dalam operasi Outlone

Sleeper Agent : Kandidat yang sudah lulus uji coba yang ditempatkan di daerah-daerah yang rawan konflik

Installer : Agen yang ditugaskan menanam bibit imajinasi pada kandidat

Konverter : Halusinasi yang melatih kandidat hingga siap direkrut sebagai sleeper agent

Caller : Agen lapangan yang kapanpun bisa menggunakan kandidat atau sleeper agen untuk membantu mereka

Contohnya : Agen Wahyu mendapatkan hak sebagai Caller, ia menggunakan kandidat bernama Tasim untuk menyelamatkan installer bernama Kristina

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay

Cara Mudah Terbebas Dari Jeratan Hutang

Semoga artikel ini bermanfaat untuk semua.

Semua orang sebetulnya enggan memiliki hutang. Namun demikian rata-rata berhutang dijadikan jalan keluar sebagai bantuan memenuhi kebutuhan hidup yang mungkin ada kekurangan.

Padahal sesungguhnya Allah senantiasa memberikan kecukupan bagi umatnya yang mengerti.

Dalam islam, berhutang tidak di larang. Selama dengan niat mengembalikannya dan tidak ada unsur riba didalamnya.

perlu diketahui bahwa jika anda berhutang, maka anda membayar hutang wajib diutamakan dari kebutuhan hidup sendiri. Sesungguhnya, ketika anda terpaksa harus berhutang, Allah akan senantiasa memberikan jalan dan kemudahan untuk membayarnya ketika tiba waktunya membayar. Hanya saja kebanyakan orang berfikir sebaliknya. Ketika waktunya membayar hutang ternyata uang yang didapatkan hanya cukup untuk hidup sendiri, maka orang lebih senang menunda membayar hutang ketimbang menunda kebutuhan hidupnya. Padahal sebetulnya hal ini jangan sampai anda lakukan.

Jika anda memiliki hutang sebesar seratus ribu rupiah, kemudian pada saatnya anda membayar hutang, uang yang anda dapatkan hanya sebesar seratus lima rupiah sementara kebutuhan hidup anda lebih dari hutang yang harus dibayarkan, sudah barang tentu anda lebih suka menunda membayar hutang. Padahal yang sebenar-benarnya, bayarlah kewajiban hutang anda terlebih dahulu. Berdoa dan ikhlas membayar hutang akan mendatangkan rejeki yang tidak terduga-duga setelahnya. Jangan risau jika anda mendahulukan membayar hutang dengan ikhlas dan niat baik, maka inshaAllah dikemudian harinya anda akan langsung mendapatkan rejeki lainnya.

Misalnya anda bayarkan hutang sebesar seratusribu dan uang anda hanya tersisa limaribu rupiah saja, tentunya kemungkinan besar kebutuhan hidup anda jauh dari cukup. Tapi yakin dan percayalah kepada Allah yang senantiasa memberikan kecukupan kepada kita.

Namun sebaliknya, bagi anda yang lebih sering menunda-nunda membayar hutang padahal anda memiliki uang yang cukup untuk membayarnya, kemungkinan anda akan berhutang lebiih sering lagi. Terlebih lagi jika anda berhutang dengan embel-embel riba di dalamnya.

Sabda Rasulullah yang maksudnya

"Berhati-hatilah kamu dalam berhutang,

Sesungguhnya hutang itu mendatangkan kerisauan di malam hari,

dan menyebabkan kehinaan di siang hari"

[ Riwayat Al-Baihaqi ]

Jika ada di antara anda yang merasa sudah mendahulukan membayar hutang namun hidup masih dibayang-bayangi dengan hutang yang menggunung dan tidak ada habisnya, cobalah renungkan kembali, Apakah mungkin sesaat sebelum membayar hutang, anda dibayangi keraguan atau kurang ikhlas membayarkannya karna takut tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup?

Jika demikian. Maka beristigfar dan berusahalah untuk tetap berpegang pada keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan kehidupanmu meski harta yang kau dapatkan hari ini hanya dicukupkan untuk membayar hutang. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. Semoga Allah senantiasa memudahkan segala kehidupan kita di dunia agar kelak dipermudah juga di akhirat. Aamiin...!!!

Jadi mulai sekarang bagi anda yang inginkan hidup tenang dan terbebas dari hutang dihari depan, maka utamakanlah membayar hutang dengan ikhlas dan niat baik.