Tampilkan postingan dengan label Blog Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Blog Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Mei 2020

Aisyah untuk Faaris

Cerita kali ini kiriman dari "Riend Humairah". Saya ucapkan banyak terima kasih atas ceritanya. Sudah saya baca dan ceritanya sangat menarik sekali. Alurnya jelas, kalimatnya sederhana, mudah dipahami dan yang paling penting dari cerita ini adalah hikmahnya. Bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak muda yang saat ini sedang mencari jodohnya.

Pokonya ceritanya baguss banget deh. dan katanya lagi, ini cerita kisah nyata. Yuk di simak.

* * * * * * * * * *

Aisyah Untuk Faaris

“Masya Allah dia tampan sekali Aisy” Shifa menyikutku tampak dibinar matanya sorot kekaguman yang luar biasa pada sosok pria yang berdiri tegak didepan lapangan  sedang memberikan kultum dipagi jumat ini. Dia Faaris Salam, murid kelas X11  Ipa 1 yangmost wanted di MA Miftahul Huda ini. Selain paras yang menawan, kak Faaris_biasa aku memanggilnya_juga seorang ketua Rohis dan hafiz Qur’an serta pemegang juara satu umum semester kemarin. Bisa disimpulkan untuk jatuh cinta pada kak Faaris bukanlah hal yang sulit.

“Jadi untuk sahabat-sahabatku yang dirindukan surga, jatuh cinta itu merupakan fitrah seorang hamba, kita sebagai remaja yang sedang berjuang untuk dirindukan surga,jangan menodai fitrah cinta tersebut . Jatuh cinta itu enggak perlu diumbar,karena tulang rusuk itu enggak akan tertukar“  Kak Faaris memberikan kesimpulan kultum nya pagi ini yang bertema“Jatuh cinta ala remaja yang sedang berjuang untuk dirindukan surga”. Aku bisa melihat sorot kekaguman dari beberapa pasang mata sahabat-sahabat ku. Tak terkecuali Shifa.

“Aaaa Aisy dia keren banget Aisy, semoga calon masa depan aku ya Aisy hihihi“ aku hanya menggeleng melihat polah Shifa yang lagi terserang virus merah jambu, salah tingkah. Melihatku yang tanpa berkomentar, Shifa lagi-lagi menyikutku “Aamiinin dong” rajuknya yang bikin aku mau tak mau menarik bibir mengadiahi Shifa dengan lengkungan kecil dibibirku..

“Aamiin”.

Kak Faaris itu kalau dibikin metafora seperti bintang sirius di rasi canis mayoris. Dia bersinar terang diantara bintang lainnya, dan semua orang mengagumi cahaya birunya, termasuk aku. Bergabung dibawah organisasi yang sama yaitu rohis,sedikit banyak nya membuat perasaan ku pada kak Faaris bertambah setiap harinya. Aku tak memungkiri bahwa aku juga merasakan apa yang Shifa rasakan bahkan mungkin semua akhwat disekolah ini. Lagipula aku sudah pernah bilangkan jatuh cinta pada kak Faaris itu bukanlah hal yang sulit?

Ini merupakan tahun terakhir kak Faaris di sekolah ini, tinggal menghitung hari lagi pengumuman kelulusan untuk kelas X11. Sementara aku masih harus menunggu setahun lagi untuk merasakan momen deg-degan menanti kelulusan karena aku masih duduk dikelas XI. Aku mendengar bahwa kak Faaris diterima di universitas Al-Azhar Mesir untuk program studi tafsir hadist. Kami memberikan ucapan selamat pada kak Faaris sore ini yang diwakilkan olehku sebagai ketua keputrian karena wakil rohis__kak Fudho tidak bisa hadir.

“Tahniah buat kak Faaris, semoga nanti nya ilmu yang didapat bisa bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Dan doakan juga ya semoga kami juga bisa menyusul langkah kak Faaris, Barakallahu” ucapku mewakili anggota rohis menyampaikan selamat. Rasanya jantungku berdetak berkali-kali lipat dari biasanya hanya karena aku menyebut namanya. Memang interaksi ku dengan kak Faaris jarang sekali. Karena aku berada dalam keputrian. Dan bisa dihitung jari aku menyebut namanya itupun mungkin ketika rapat seluruh keanggotaan rohis.

“Ya Allah yang menggenggam hatiku, jika dia jodoh hamba dekatkanlah, jika dia bukan jodoh hamba beri hamba kekuatan untuk menerima kenyataan Rabb..”

“Aisyah, jadi datang gak nih akikahan Nizam?” aku mendengar Shifa merengek-merengek diujung telepon seperti bayi. Aku tertawa. Besok Shifa akan melaksanakan akikah untuk putra pertamanya dengan Arsil. Aku merasa bersalah karena tidak hadir dimomen bahagia Shifa. Bukan enggak mau tapi waktu itu aku dikirim ke Palestina sebagai tenaga medis untuk rumah sakit Indonesia yang dibangun di distrik Beit Lahiya Gaza Utara. Ku dengar Arsil adalah pria yang baik dan soleh. Saat ini Arsil bekerja  sebagai Sistem Analis di perusahaan Google, Jakarta.

“Insya Allah”sahutku, aku mendengar Shifa berteriak senang diujung sana.

“Insya Allah apa dulu nih? Insya Allah iya apa enggak?” lagi-lagi Shifa merajuk. Ya ampun udah  nyaris kepala tiga, Shifa masih aja suka merajuk.

“Insya Allah iya sayang” ucapku geram menahan tawa.

“Ditunggu loh ya, sekalian bawa calon nya  “ Shifa menggoda diujung sana, aku hanya bisa tertawa.

" haha,udah dulu ya Aisy nelpon kamu kena roaming internasional mulu, kamu sih jauh banget, assalamualaikum sahabat cantikku” Shifa menutup telponnya.

Aku terlambat menyadari bahwa aku nyaris kepala tiga. Semua sahabat-sahabatku di MA hampir sudah menikah, termasuk Shifa. Bahkan yang lain ada yang sudah punya anak tiga,sedangkan aku ?

Jujur saat ini aku masih mengharapkan kak Faaris meskipun seperti mengharapkan matahari terbit dipucuk senja. Sejak aku mewakili untuk mengucapkan selamat pada kak Faaris dua belas tahun lalu, aku enggak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Barangkali dia sudah menikah dan dikeliling malaikat kecilnya. Lagipula wanita mana yang tidak akan naksir dengan pria seperti kak Faaris yang nyaris sempurna.

Bukannya aku menutup hati untuk pria lain, aku pernah hampir menikah lima tahun lalu, abah menjodohkan ku dengan seorang putra kiyai, tapi namanya tidak jodoh, kami memutuskan tidak jadi melangsungkan pernikahan karena dia sudah memiliki pilihan dan aku pun belum siap untuk menikah.

Sesuai janji ku pada Shifa, aku mengambil cuti beberapa hari dan mengambil penerbangan dari Mesir.

“Masya Allah Aisyah, kamu cantik sekali” puji Shifa sembari memelukku seerat mungkin, dia tidak peka kalau aku hampir kehabisan nafas karena pelukannya.

Shifajuga tidak banyak berubah, masih Shifa ku yang dulu hanya saja badannya agak gemuk,mungkin efek usai melahirkan.

“Mas ini kenalkan sahabat aku yang sering aku ceritain ke kamu” aku menegang melihat siapa yang berdiri didepan ku saat ini.

“Aisyah”ucapku gugup. Demi Allah Arsil mirip sekali dengan kak Faaris. Aku hampir tidak bisa mengontrol diri.

“Ayo masuk Aisy, Nizam lagi nunggu tante Aisyah nih” celoteh Shifa sembari mengajakku masuk kekamar Nizam. Akikahan Nizam sudah selesai dua jam lalu. Lagi-lagi aku ketinggalan momen bahagia Shifa karena pesawatdelaybeberapa jam.

“kamu pasti syok kan ngelihat mas Arsil tadi? Hihi dia emang mirip banget sama adiknya”ucap Shifa sembari mengambil Nizam dari ayunan

Aku menggendong Nizam dan mencium puncak kepala bayi berusia 40 hari tersebut.  Aku menautkan alis mendengar guyonan Shifa.

“Ingat gak Aisy, kak Faaris yang aku sukai dulu ternyata dia adik nya Mas Arsil haha, lucu ya Aisy, aku suka nya dulu sama kak Faaris eh jodoh malah sama abangnya.” Shifa tertawa. Aku diam beberapa saat. Ingin sekali aku bertanya kepada Shifa apakah kak Faaris sudah menikah, namun pertanyaan itu hanya terkulum dibibir.

“Berarti doakamu terkabul dong, ya walaupun gak sama kak Faaris tapi yang penting persis” ucapku tertawa menimang-nimang Nizam, aku sedang mencoba menetralkan perasaanku.

“iya Aisy, eh ngomong-ngomong kamu udah punya calon belum?” kan kan, Shifa lagi-lagi menggodaku. Aku hanya mengendikkan bahu. Sesuatu yang hangat mengalir di baju gamisku.

"Yah dede Nizam nakal nih sama tante, baru ketemu udah dipipisin aja " aku buru-buru mengganti popok Nizam, sekalian mengalihkan jejeran pertanyaan Shifa yang bikin hati nyesek.

“Bagus deh kalo belum, soalnya ada yang nungguin kamu dari dulu” ujar Shifa tersenyum. Aku tidak bisa mengartikan maksud Shifa. Otakku keburu lemot.

“Yuk,,aku kenalin sama keluarga mas Arsil” Shifa mengajakku keluar dari kamar Nizam. Tadi aku hanya sempat berkenalan dengan mas Arsil karena Shifa langsung mengajakku kekamar Nizam.

Tiga meter dari jarak aku berdiri saat ini, aku bisa melihat kak Faaris tersenyum. Senyumnya masih sama seperti dulu, senyum pengantar pagi milik kak Faaris__menyejukkan. Rasanya kakiku mendadak jadi jelly. Kenapa aku jadi semenye-menye ini? Kecewekan sekali. Selesai menyalami ibu dan mertua Shifa yang tak lain adalah ibu kak Faaris, aku mendadak jadi kaku. Semuanya malah pergi kedapur meninggalkan aku sendiri dengan kak Faaris yang duduk didepanku. Satu detik dua detik tidak ada percakapan yang terjadi. Padahal begitu banyak pertanyaan yang tersetting dikepalaku seperti ‘Gimana kabar kakak?’ atau ‘Kakak sekarang kerja dimana?’ atau pertanyaan yang bikin hati jleb sendiri ‘Istri kakak mana, kenalin dong’. Tapi semuanya tertahan dikerongkongan.

“Dik Aisyah apa kabar?” kak Faaris memecah keheningan. Aku gugup sekali. Perasaan ku campuraduk.

“Alhamdulillahkak, baik, kakak sendiri gimana?” ucapku sekedarnya. Aku tidak berani menatap mata kak Faaris, takutjika akhirnya aku malah tenggelam dalam mata hujannya.

"Insya Allah kalau dik Aisyah baik, kakak juga baik" demi apa dengan kalimat ini sajaa sanggup membuat ku melayang diudara. senyum pengantar pagi ala kak Faaris terbit lagi, membuat ku menggigil karna begitu menyejukkan.

“Oh ya istri kak Faaris mana? Kenalin dong hehe?” akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibirku diselingi tawa yang terdengar aneh sekali.

“Istri?” bibir kak Faaris berkedut menahan senyum.

“Saya sedang menunggu seseorang pulang dari Palestina” ucapnya, aku mengerjap-ngerjapkan mataku takut jika ini mimpi. Rasanya ribuan kupu-kupu mengepakkan sayap nya diatas kepalaku dan ribuan daun waru khas musim semi berguguran diantara kami berdua.

“ha?” aku masih tidak mampu mengontrol hormon dopamin ku yang sedang menguar. Kak Faaris tersenyum lagi.

“Iya, mau tidak dik Aisyah menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita kelak?” aku mengangguk tersenyum dan menangis bahagia.

“jatuh cinta itu enggak perlu diumbar ukhti, cukup hanya kita dan Allah saja yang tahu. Jika kamu benar-benar tulang rusuknya yang hilang, dia tidak akan berpaling, karena Allah akan mengantarnya untuk menjemput tulang rusuknya yaitu kamu”

Written by: Riend Humairah

Hanya Aku Yang Tahu

Artikel kali ini dikirim dari "Sayyidah Umayah". Sebenarnya ada beberapa artikel kiriman pembaca yang agak saya kurang pahami perihal nama. Ada satu email mengirimkan beberapa cerita tapi nama lengkap dan nama penulisnya berbeda. Untuk diketahui bersama bahwa pada form kirim cerita, nama lengkap seharusnya di isi dengan nama pengirim cerita ya, bedakan dengan nama penulis. Kecuali memang karangan sendiri, nama lengkap dan nama penulis mungkin akan sama.

Oke, kita lanjut aja ke cerita berikutnya ya ini kiriman dari email yang sama dengan cerita sebelumnya yaitu "Aisyah Untuk Faaris". Kali ini judulnya "Hanya Aku Yang Tahu". Semoga kisahnya inspiratif lagi ya pembaca. Yuk disimak lagi.

* * * * * * * * * *

Hanya Aku yang Tahu

Setiap accident pasti membuat perasaan menjadi tidak baik. Karena pagi itu aku harus segera hadir dalam seminar yang diadakan di salah satu Universitas di daerah ku. Aku harus buru-buru karena waktunya sudah mepet dan tempat diadakan seminar sangat jauh dari tempat tinggal ku. Hal yang membuat aku harus buru-buru adalah pembicara seminar kali itu adalah seorang penulis novel yang sangat aku suka. Beliau adalah Bang TERE LIYE. Betapa kesempatan berharga ini jangan sampai disia-siakn. Jadi, jangan sampai ketinggalan sedikitpun.

“Maaf ya dek harus menunggu kakak?” hari itu saya pergi bersama junior saya yang menemani saya ke bengkel.

“Gak apa-apa kak, acara nya masih satu setengah jam lagi”, kata nya dengan penuh perhatian.

Setelah selesai urusan saya di bengkel, kami melanjutkan perjalanan. Membutuhkan waktu satu jam untuk pergi ke tempat acara seminar diadakan. Belum dihitung dengan macet, kecepatan dan lainnya.

Tepat pukul 08.15 kami sampai di tempat acara. Alhamdulillah acara belum di mulai.

Kami melakukan registrasi kehadiran. Dan mencari tempat duduk paling depan. Tapi kami dapat tempat duduk di tengah, karena yang paling depan sudah penuh.

“Tak apalah, yang penting masih bisa melihat bang Tere Liye dengan jelas.” Bathin ku.

Kami menikmati pembukaan oleh MC dengan suara yang bergema. Sambutan dari Presma yang hanya saya ketahui dari medsos betapa semangat beliau dalam orasi, ternyata beliau memang berwibawa dan semangat. Serta sambutan dan pembukaan dari rektorat yang syahdu beliau bawakan.

Acara pembukaan selesai, 15 menit waktu kosong. Ternyata kami menunggu bang Tere Liye menuju tempat seminar.

Suasana dingin, ditambah lagi keadaan kemanusiaan ku yang tidak bisa bersahabat. Takut ketinggalan seminar, aku menahan untuk panggilan alam. Tapi karena sudah tidak tahan, akhirnya aku pun keluar dari tempat duduk. Di temani adik ku untuk pergi ke belakang.

“Aduh kakak ni nanti kita ketinggalan lo” katanya kesal.

“Sebentar saja dek” kata ku memohon. Karena malu mau pergi sendiri. Dan akhirnya dia mau juga menemani. Tak lama di belakang, terdengar suara moderator yang lantang dan bersemangat yang menandakan bahwa bang Tere Liye membuat saya gugup dan semakin takut ketinggalan seminar bang Tere Liye. Adek saya di luar sudah teriak-teriak suruh cepat.

Pertama kali saya mendengar suara moderator, selain saya penarasan dengan wajah bang Tere Liye, saya juga penasaran dengan wajah Sang Moderator. Di depan cermin saya terdiam, berpikir dan menerka.

“Dari suara yang lantang dan penuh semangat sepertinya saya tahu siapa yang jadi moderator. Ah tapi bukanlah aku kan belum pernah dengar suaranya yang asli selain dengar suaranya dari youtube” Berbicara sendiri menerka-nerka di depan cermin. Aku tersadar ketika adikku berteriak pas di dekat telingaku. Kami pun kembali ke tempat duduk.

Dengan heboh aku berteriak kecil di tempat duduk selain bisa melihat wajah bang Tere Liye, tebakan ku benar, siapa orang yang jadi moderator pada saat itu. Dia adalah orang yang aku tahu, tapi bukan aku kenal. Senang sekali. Bisa secara langsung melihat 2 orang yang membuat ku penasaran selama ini.

“Tenang kak” kata adikku yang gantian terkejut karena kehebohanku.

Bagiku, aku tidak bisa tenang karena saat inilah aku melihanya dengan jelas. Dan itu membuatku tersenyum sepanjang acara.

“Kamu tidak tahu cerita tentang nya bagiku dek” gumamku sambil tersenyum.

***

Setahun lalu, aku mulai ingin mencari kenalan sebagai tempat tanya jawab mengenai apa yang harus dilakukan di tingkat 3 nanti, referensi perusahaan mana saja yang baik untuk tempat kerja praktik, apa saja yang harus dibuat untuk menyusun Tugas Akhir di dalam konsen ku yaitu Sistem Informasi, dan masih banyak lagi. Selain kenalan dari kampus, aku juga melanglang buana mencari teman di media sosial dari kampus lain, siapa tahu ada pengalaman yang berbeda. Selain pelajaran, mungkin bisa berbagi ilmu non-akademik, ilmu agama misalnya, atau ilmu politik, atau ilmu sosial dan masih banyak yang lain.

Aku mulai mencari dari grup di mana aku ikut bergabung di dalam nya. Dari banyak grup, aku memilih grup yang selama ini benar-benar memberi manfaat buat ku. Bukan grup yang hanya berisi status main-main.

Dari grup itu ada satu nama yang kupilih secara acak, entah karena kebetulan si pemilik akun kuliah di salah satu Universitas di daerah ku. Dari keterangan singkat profilnya, si pemilik akn juga mengambil konsen yang sama denganku yaitu sistem informasi. Bedanya beliau satu tingkat di atas ku. Beliau adalah Generasi 12. Setelah dipikir-pikir aku seperti stalker, tapi sebenarnya tidak. Aku berniat untuk tidak meminta pertemanan karena aku fikir nanti orang itu mengira aku jadi stalkernya. Terlalu terbawa perasaan. Saya hanya me-screenshot pin bbm beliau. Sampai sekarang pun belum pernah aku invite, yaa karena malu tadi.

Dari semua status dan foto yang diupload beliau, bisa diambil kesimpulan beliau adalah orang yang aktif. Dari foto dan status yang diuplod ada beberapa nama yang dicantumkan. Saya coba membuka satu nama.

Setelah masuk ke halaman dindingnya, aku membaca sedikit profilya, ternyata konsentrasi yang beliau ambil adalah Ilmu Komunikasi.

“Ehmm, beda konsentrasi, tapi gak apa-apalah, mana tahu ada info lain yang menarik”, ungkapku sambil terus menaik turunkan scroll pada laptop ku.

Dilihat dari semua yang diupload beliau, beliau pun adalah orang yang sangat aktif. Aku berfikir orang ini suka membaca, karena kata-kata yang tersusun rapi dan konsisten.

Sampai pada suatu foto, yang mungkin waktu itu foto lama si pemilik, bagi ku foto itu membuatnya terlihat seperti ustadz Felix Siauw. Tapi setelah tahu aslinya beliau jauh dari ustadz Felix Siauw. Terkekeh aku mengingatnya. Entah darimana ku lihat beliau mirip ustadz Felix Siauw.

Selain foto aku juga melihat ada pin bbm beliau, lagi-lagi aku hanya me-screenshot pin bbm beliau. Dan hasil itu hanya tersimpan di memori hp.

Sebulan berlalu, UTS sudah berlalu. Setiap tahunnya pada bulan Desember akan ada libur natal dan tahun baru. Liburan kali ini adalah kesempatan ku pulang ke rumah orang tua. Sudah lama tak pulang, membuat rindu harus terbayar pada liburan kali ini. Karena betapa sibuk adan padatnya jadwal perkuliahan di kampusku. Harus banyak menguras pikiran dan tenaga.

Seperti halnya semua mahasiswa yang pulang ke rumah. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan keluarga. Berlibur dengan keluarga, melepas rindu, membantu orang tua. Di mana menurut ku liburan adalah kesempatan untuk berbakti dan mengbdikan diri lagi pada orang tua. Karena sudah berbulan-bulan kita mengabdi dan berbakti pada tugas dan kegiatan perkuliahan. Sejenak melupakan perkuliahan, namun tidak sepenuhnya karena ada juga tugas liburan yang dibawa pulang ke rumah. Itu juga harus diselesaikan.

Setiap malam, aku dan ibuku biasa bercerita tentang masa-masa perkuliahan ku, beliau yang bercerita apa saja kegiatan beliau selama aku tak ada di rumah. Bercampur perasaan di dalam hati, bahagia dan terharu.

Ketika ibuku ke dapur, aku mengecek hp. Ada pemberitahuan di salah satu media sosialku. Aku buka dan melihat ada apa di dalam pemberitahuan.

“ibuuuuukkkkkk........ Coba sini sebentar!” aku berteriak karena terkejut dengan apa yang kulihat dipembertahuan.

“Ada apa, kok teriak-teriak” kata ibuku yang datang buru-buru dari dapur.

“Coba lihat buk, orang ini nge-add Dinda buk”. Dengan semangat kutunjukkan pemberitahuan itu pada ibuku.

“Emang kenapa sampai teriak begitu, ya sudah terima saja”, jawab ibuku enteng.

Memang selama ini aku bukan lah orang yang mudah menerima permintaan perteman yang diminta kepada ku. Aku akan melihat dulu ke dalam halaman diding mereka. Jika menurutku baik ya aku terima, jika membuat ku merasa terganggu lebih lagi aku tidak kenal ya sudah saya abaikan. Mungkin terdengar kejam, tapi ini suatu usaha perlindungan dan kenyamanan. Belum tentu juga orang yang aku terima esoknya memberi kenyemanan di dalam media sosial ku.

“Tunggu ya buk, aku mau cerita. Orang yang add aku ini dulu udah pernah Dinda lihat halaman dinding fb nya, terus dinda screen shot pin bbm nya. Tapi dinda gak berani meminta pertemanan dan menginvite pin bbm nya Dinda malu, nanti dikira dia Dinda jadi stalker nya. Tapi kali ini Dinda gak nyangka, ternyata Dinda yang diadd sama dia.” Ceritaku penuh semangat paa ibuku.

Pada akhirnya aku konfirmasi permintaan pertemanan beliau. Senang dan gak nyangka aja. Sampai sekarang masih bingung, kok bisa kebetulan yaa, aku yang dulu cuma liat-liat halaman dinding beliau, ehh malah beliau yang meminta pertemanan ke aku. Terbawa perasaan. Dasar wanita.

Setelah tahu, ternyata aku dan dia banyak bergabung di grup yang sama di media sosial tersebut. Beliau adalah orang yang aktif di BEM di kampusnya, memegang peran penting juga. Aktif dalam lembaga dakwah juga dan masih banyak lain. Dari situlah aku tahu betapa beliau sangat suka membaca, koleksi novelnya sudah sampai 200-an. Ehmm, gak sebanding dengan punya ku yang baru 20-an.

Liburan telah usai. Waktunya kembali ke peradaban perkuliahan. Kembali pada tugas sebagai mahasiswa. Kembali melanjutkan perjuangan, membuktikan diri bisa berguna untuk negeri.

Aku dan teman-temanku sudah tiba di kost. Dan siap menempuh Senin pagi sebagai awal masuk dari liburan natal dan tahun baru. Harus dengan pikiran baru yang kembali fresh.

“Ibu suri, dia invite bbm Dindaaaa....”, teriakku histeris ketika melihat beranda bbm ku. Ada satu pemberitahuan kalau ada 1 yang meng-invite. Pas aku buka, ia adalah orang yang sama ketika meng-add fb ku. Ibu suri adalah panggilan teman satu kost dengan ku.

“Emang siapa dia kok heboh banget, sampai teriak-teriak begitu?” katanya penasaran dan melihatku yang aneh. Aku hanya senyum-senyum dan menceritakan hal yang sama kuceritakan pada ibuku.

“Cieeee...” ledek nya. Ibu suri malah meledek ku.

Tapi, untukku pribadi, setelah sebulan lau dia add fb ku, walaupun aku sempat bingung, tapi aku gak terlalu ambil pusing. Tapi dia malah invite pin bbm ku, ini kembali membuat ku bingung membuat banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab.

“Darimana dia tahu pin bbm ku yaa?” Atau “Aku pernah share pin bbm ke fb ya, tapi rasa-rasanya tidak pernah” kembali menerka-nerka.

Daripada bingung, akhirnya ku setujui saja invite nya. Tapi kami tak pernah melakukan chat, karena aku pun gak tahu apa yang mau ditanya, dia pun mungkin gak ada ditanyakan padaku. Hal yang membingungkan.

Tak lama setelah dia meng-invite bbm ku, aku kembali dihebohkan dengan pemberitahuan yang ada di akun instagram ku. Ternyata dia juga nge-follow akun instagram ku.

“Ya Allah, tahu darimana pula dia nama akun instagram ku.” Kebingungan ku sampai detik ini pun belum terpecahkan dan tak ada tanda-tanda yang mampu menjawabnya. Biarlah kebingungan ini bersemayam terserah dia entah mau sampai kapan. Sampai aku berharap bisa bertemu dan melihat wajahnya secara langsung.

***

Seperti biasa pada umumnya dalam seminar, pasti ada sesi tanya jawab. Karena pengalamanku, membuat aku membuat persepsi sendiri tentang tanya jawab di setiap seminar. Menurutku tanya jawab dalam seminar adalah seperti lotere keberuntungan yang jika ditunjuk oleh moderator saat itu ialah yang berhasil untuk bisa bertanya, meluapkan penasaran yang bersarang di hati dan pikiran, setelah menunggu 2 jam lamanya.

Namanya juga diibaratkan seperti lotere keberuntungan, kadang-kadang tidak langsung beruntung untuk kesempatan pertama. Sama halnya seperti yang ku rasakan. Mengangkat tangan lantas tidak ditunjuk itu merupakan suatu keberanian yang luar biasa. Hanya bisa cengengesan dalam kesal.

Baiklah, untuk ronde pertama aku terima ketidakberuntunganku. Mungkin juga karena aku kurang cepat seper second dengan orang lain. Mungkin dari pertanyaan mereka ada yang bisa ku dapat. Di ronde pertama ada 3 penanya, yang masing-masing memiliki pertanyaan yang tidak cukup satu, seakan pertanyaan itu beranak.

Santai, lugas, padat dan jelas bang Tere Liye menjawab semua pertanyaan. Pastinya Bang Tere Liye  tak pernah kehabisan cerita fiksi di setiap menjawab pertanyaan, seakan kami sedang dibacakan dongeng yang bertemakan ketekadan.

Ronde kedua dibuka, aku kembali meyakinkan hati untuk bertarung dengan beberapa ratus peserta seminar untuk mengangkat tangan lebih tinggi, padahal aku ragu-ragu untuk berdiri, karena sejujurnya aku takut gak ditunjuk lagi oleh moderator. Takut kalau aku harus kesal dengan moderator yang yang tak berdosa karena tidak menunjukku.

“Ya yang berkacamata”, kata moderator sambil melihat ke arah ku.

Waaaahh, kali ini aku beruntung sekali. Sang moderator melihat ku dan menunjukku. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam hati aku sangat berterimakasih pada nya.

Nah, untuk ronde kedua ini agak berbeda, orang-orang beruntung tadi disuruh maju ke depan karena microfon yang tidak bisa diakses sampai ke kursi peserta.

“Ini beruntung atau malah mematikan yaa?” bathin ku, krena malu dilihat orang banyak.

“Tapi ini adalah kesempatan yang mungkin jarang untuk datang kedua kalinya, jadi ini adalah keberuntungan berlipat ganda” sorak riang dalam hati ku.

Yaa, dikatakan keberuntungan ganda karena selain bisa dengan jelas melihat bang Tere Liye dan bisa bertanya langsung, ini juga adalah salah satu kesempatan mengabulkan harapan yang dulu pernah ada. Sudah ku dengar suara aslinya yang benar-benar lantang dan penuh semangat. Sehingga memberikan energi positif tersendiri bagi pendengarnya, atau mungkin bagi ku sendiri. Aku juga berdiri di dekat nya, walaupun tak pas di sampingnya.

“Hari ini aku benar-benar bertemu kamu. Mendengar dan melihat dengan jelas. Banyak pertanyaan. Kebingunganku pun tidak juga hilang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan yang salah. Dan ini hanya aku yang tahu” tersenyum.

Written by : Sayyidah Umayah

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Kamis, 21 Mei 2020

Love is Simple

Aku pikir yang namanya cinta itu indah dan begitu rumit. Ternyata sangat simple sekali.

Umurku 21 Tahun saat pertama kali merasakan debar-debar itu. Memang mungkin di tahun yang katanya milenium ini,

Umur 21 cukup telat jika baru pertama merasakan rasa itu. Tapi ya itulah yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi kekasihku saat itu.

Dia begitu mempesona diriku. Meski dia laki-laki sederhana yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tidak terlalu tampan, tapi cukup menarik bagi perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Tak disangka perasaan diapun sama denganku. Kami menjalin hubungan cukup lama. Kurang lebih 4 tahun.

Tapi tidak ada tanda-tanda juga darinya bahwa Ia akan melamarku.

Tepat diumurku yang ke 25, kami membuat janji bertemu di cafe tempat kami biasa makan.

Hatiku sangat berdebar saat itu. Kupikir dihari ulang tahunku itu aku akan mendapatkan kejutan yang mungkin tidak akan kulupakan seumur hidupku.

Tapi aku tak berani berangan-angan. Aku tak berani mengkhayalkan bahwa Ia akan melamarku di saat itu. Disaat orang-orang bilang tepat bagi umur segitu untuk menikah.

Aku menunggu. "Ras, kamu tunggu aku jam 8 malam nanti ya. Mmmm.... dan nanti aku akan ajak temanku yang mau kukenalkan ke kamu" .

Begitu kata dia saat janjian waktu itu. Sebetulnya aku setengah bingung. Sempat berpikir mungkin dia mau mengadakan pesta kecil untuk memperkenalkanku pada teman-temannya.

Tak lama kemudian dia datang. "Lho Ran, sendiri? Katanya sama teman?" . Tanyaku penasaran saat itu.

"Oh iya Ras, sebentar lagi dia datang. Mungkin agak telat" . Begitu jawabannya. Selang 20 menit datang seorang gadis cantik seumuran denganku menghampiri meja kami.

"Hai Laras" . Sapa gadis itu tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Bingung karna aku tak mengenal gadis itu dan tidak mengingatnya sama sekali kapan pernah berkenalan atau bahkan bertemu.

"Oh iya Ras, kenalin ini Rasti yang tadi aku bilang" . Kata Randi sambil bangkit berdiri menyambut gadis itu.

"Mmmh... jadi gini Laras. Sebetulnya aku ngajak kamu ke sini itu mau bicara jujur dan penting banget" .

Saat itu aku masih tidak berpikir yang macam-macam, kupikir nanti akan datang lagi temannya yang lain dan kami akan berpesta kecil di cafe itu.

Tapi bagaikan gemuruh di langit, seperti tersambar halilintar tanpa rintik hujan sedikitpun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu.

Karna akupun merasa tak tahu dengan apa yang kurasa saat itu. Ini kalimatnya saat itu.

"Laras aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku minta maaf dan terserah dengan hukuman apa yang akan kamu lakukan nanti. Tapi aku mohon kamu maklumin keadaan aku.

Sebetulnya Rasti ini calon istri aku" .

Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu keluar dari mulut Randi kesayanganku. Kekasih hatiku selama 4 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar bagiku yang aku tahu.

Selama ini aku merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Dia terlalu terlihat menyayangiku sebagai kekasihnya. Dia memanjakanku, sering menghiburku, selalu menelponku sekedar untuk menanyakan kesehatanku.

Aku selalu bahagia bersamanya. Jarang sekali kami bertengkar. Dia begitu mengerti aku. Aku yakin dia pelengkap hidupku. Aku yakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi.

Aku terdiam tanpa kata, air mataku menetes. Mereka saling berpandangan kemudian melihat ke arahku. Mungkin mereka takut aku akan histeris dan berteriak pada mereka.

Tapi tidak. Aku bukan type orang yang mudah panik. Meski perasaanku saat itu sakit seperti teriris dan jujur aku ingin sekali menampar wajah mereka berdua.

Tapi itu tidak aku lakukan. Kucoba menenangkan diri, menarik nafas dalam. Mencoba memberanikan diri mengeluarkan sepatah kata saja.

Padahal saat itu banyak sekali yang aku ingin tahu mengenai mereka berdua.

"Oke... Selamat akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari" . Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kemudian aku bangkit berdiri sambil menyodorkan tangan memberikan selamat kepada mereka berdua.

"Tunggu Ras, biar aku ngomong dulu" . Entah apa yang membuat Randi begitu yakin aku ingin mendengar semua penjelasan darinya.

Bukankah sudah percuma. Jika dengan penjelasan maka waktu dapat terulang dititik dimana saat Randi menyatakan cinta padaku bisa terjadi. Maka aku pasti akan mau mendengarnya.

Tapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Bahkan jika saat itu ada doraemon berdiri tepat dihadapankupun aku tetap yakin dia tidak akan membawaku kembali ke masa itu melalui laci meja belajar nobita.

Karna aku Laras, si gadis super cantik yang bahkan memiliki nilai tertinggi di kelas. Aku bukan nobita si malas dan si cengeng yang selalu merengek pada doraemon meminta agar kehidupan selalu menjadi mudah.

Aku hanya punya keyakinan dalam diriku. Aku punya Allah yang aku yakin bahwa ini memang takdirnya untukku.

"Udahlah Ran, gak perlu jelasin apapun, gak akan ada yang berubah hanya karna sebuah penjelasan" . Kataku sambil tetap membelakangi mereka. Rasti hanya diam memandangiku dengan wajah iba.

Yang aku heran, tidak tampak wajah kemenangan yang dia tunjukan di hadapanku. Justru wajah itulah yang membuat aku semakin sakit dan terhina. Wajahnya yang seolah ikut sedih melihat kepedihanku.

"Apa-apaan perempuan itu. Seenaknya merebut kekasih hatiku lalu kini ia mengasihaniku? Dasar sampah". Dalam benakku berteriak.

"Bukan itu Ras, akuu cuma mau kasih ini" . Randi meyodorkan sebuah kartu padaku yang ternyata adalah undangan pernikahan mereka. Ya Tuhaaaan, apa sih yang selama ini terjadi. Sebetulnya aku semakin ingin tahu.

Mengapa mereka bisa mereka benar-benar akan menikah? Sementara aku menunggu Randi melamarku bertahun-tahun. Apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Sejak kapan?

Tapi aku tidak mau tahu. Aku benci mereka. Benci sekali. Hingga rasanya ingin kubunuh mereka dengan cara yang paling sadis.

"Acaranya minggu depan, memang sedikit mendadak tapi sudah keputusan kami. Maafkan aku Ras. Sungguh aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi kacau seperti ini" .

Ku ambil undangan itu sambil melenggang pergi tanpa mempedulikan Randi yang masih berdiri berharap aku mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah. Air mataku menetes tiada henti. Menetes dan terus menetes tanpa suara. Kesedihan yang teramat sangat ini membuatku tak dapat berkata-kata bahkan untuk menangispun tak mampu mengeluarkan suara.

Randiku yang aku tau teramat mencintaiku, Randiku yang memanggilku Kasih. Ya, Randi memang tidak pernah memanggilku dengan nama Laras. Dia selalu memanggilku Kasih. "Kasih sedang apa di sana?, Kasih sudah makan?, Kasih aku kangen niiih, Kasih jangan lupa mimpiin aku yaa...".

Demi Allah, kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang khas sama sekali sulit aku lupakan. Benarkah semua ini terjadi.

Aku paksakan mataku terpejam. Berharap ketika bangun pagi nanti, semua mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap ini hanya mimpi dari tidurku yang tak bisa di atur belakangan ini.

Pantas saja saat menelponku pagi tadi. Terasa begitu janggal mendengar suaranya di sebrang telpon sana. Dia menyebut namaku. Iya, namaku Laras dan berkata ingin bertemu denganku di cafe biasa.

Aku merasa ada yang aneh namun tidak menyadarinya. Ternyata sejak pagi tadi nama Kasih sudah tak terdengar lagi dari mulutnya. Aah rupanya ini yang terjadi.

Di ulangtahunku yang ke 25. Yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk di lamar kekasih karna umur yang terlalu tepat untuk menikah.

Apa yang kuharapkan. Sudahlah. Lupakan.

Hari terus berlalu, aku masih saja sedih. Aku yang periang dan percaya diri mendadak menjadi pemurung. Sulit makan, Sulit Tidur, Mata selalu sembab dan bengkak.

Tidak ada gairah hidup. "Laras, buka pintunya nak. Sudah berhari-hari kamu tidak keluar kamar, juga tidak makan. Jangan jadi begini sayang. Yakinlah jika dia memang jodohmu, maka dengan izin Allah, dia akan kembali padamu dengan jalanNya. Jangan putus asa nak" . Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku. Kemudian aku membuka pintu dengan masih mengenakan mukena. "Tenang aja Bu, Laras bukan orang yang gak punya iman. Laras paham yang sudah Allah takdirkan untuk Laras" . Jawabku sambil berdiri di ambang pintu. "Lalu kenapa kamu gak keluar-keluar? Dara berhari-hari ke sini mau menemuimu. Tapi kamu menolak. Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika ada teman bicara?" . Dara adalah sahabat dekatku sedari SD. Kami selalu bersama, sekolah bersama, lulus sarjana bersama, hingga kami bekerja di perusahaan yang sama karna saat mencari pekerjaan juga bersama. "Gapapa Bu, Laras udah nelpon Dara tadi, minta maaf dan minta Dara ke sini. Paling juga sebentar lagi dia datang" .

Benar saja, selang beberapa menit sahabatku itu muncul dan langsung masuk tanpa permisi. "Raaas, ya ampuuun lu gapapa? Sehat? Mata aja yang bengkak? Apa hati ama lambung juga" . Pertanyaan Dara panjang tanpa jeda. "Huss... Waalaikumsalaaam" . Sindirku pada Dara yang langsung menyerbu masuk menuju kamar tidurku. "Eeeh iyaa... Assalamualaikum Tante" . Sambung Dara sambil mencium tangan Ibu. "Ya udah Ibu tinggal ya. Kalian ngobrol deh yang tenang. Nanti Ibu buatkan minum" .

Akhirnya hari itu berlalu tanpa pembicaraan tentang Randi sedikitpun. Dara menginap di rumahku. Ia memang sahabat yang paling mengerti aku. Dia sama sekali tak mempertanyakan perihal Randi dan Rasti sejak kedatangannya semalam. Dara tahu harus bersikap bagaimana menghadapiku. Dara begitu mengenalku bahkan mungkin melebihi kedua orangtuaku. Dara paham bahwa jika aku butuh bicara, maka aku akan bicara tanpa ditanya. Jadi Dara tidak perlu mempertanyakan kejadian yang terjadi pada hubunganku dengan Randi. Dari Dara aku tahu bahwa atasanku ternyata begitu peduli padaku. Dara bilang Pak Hendro titip salam dan semoga aku lekas sembuh. Pak Hendro juga bilang tidak usah terlalu dipaksakan masuk jika belum pulih benar. Ternyata Dara mengatakan pada atasanku bahwa selama ini aku sakit, sehingga mau tidak mau harus ambil cuti. Sudah seminggu semenjak kejadian aku bertemu pasangan brengsek yang membuatku murka sekaligus patah hati. Hari ini harusnya aku menghadiri undangan pernikahan mereka. Tapi bagaimana. Apakah aku sanggup.

"Aduh Ras. Kalo gue jadi elu yah gue pasti dateng hari ini. Gue harus tunjukin ke mereka bahwa gue fine-fine aja. Kalo perlu gue bawa cowo" . Dara semangat sekali memberiku ide untuk ke acara pernikahan Randi dan Rasti. "Lu sarap ya? Cowo mana jugaa yang mau gue bawa?" . Jawabku kemudian.

"Hai Daraaa......." . Terdengar teriakan memanggil dari sebelah rumah ku. Adalah Dimas seorang laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua dari kami yang tinggal di sebelah rumah. Dimas adalah tetanggaku yang sudah sejak lama tinggal di kediamannya itu. Bahkan kata Ibu, jauh sebelum kami tinggal di komplek perumahan ini, keluarga Dimas sudah tinggal di sana. Sudah 5 keturunan yang mendiami rumah itu. Rumah tua megah dengan gaya barat klasik yang selalu menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang dikomplek perumahan kami. Dimas memang berdarah Amerika. Nenek buyutnyalah yang dulunya membangun rumah itu. Karna nenek buyut Dimas memang asli orang London, maka tidak heran jika rumahnya dia bangun sengaja bergaya barat. Katanya sih, supaya nenek buyut betah tinggal di negara orang. Sekarang nenek buyut Dimas memang sudah tiada. Tapi rumah bergaya barat itu tetap dipertahankan bentuknya. Karna memang bagus.

Tampan? Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia mengartikan bahwa orang blasteran berdarah campuran itu pastilah tampan dan cantik. Tapi tidak dengan Dimas. Bukannya jelek sih. Jujur saja Dimas tidak jelek. Hanya saja, dia terlalu kutu buku dan terlalu serius. Model rambutnya yang kuno dan kacamatanya yang tebal membuat wajah blasterannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun begitu, Dimas berbeda dengan kutu buku- kutu buku lainnya yang lebih sering terlihat minder dan tidak bergaul. Dimas pandai bergaul, dia aktif baik di komplek, di kampus, bahkan di tempat kerjanya. Sebetulnya Dimas cukup percaya diri. Cuma entah kenapa dia sama sekali tidak pernah merubah fashionnya yang sangat terlihat kutu buku dan sedikit culun itu.

Pernah aku bertanya sambil bercanda. "iiih lu tuh jangan begini keq Dim. Kan bisa pake pakean normal. Celan jeans atau celana pendek dengan kaos biasa, Rambut jangan disisir rapih begitu. Bisa gak sih dandan dikit" . Eeeh Dimas malah tertawa sambil menjawab dengan candaan pula. "Hahahaha, ya ampun Laras, aku ini kan cowo blasteran. Apa jadinya kalo penampilanku normal. Apa menurutmu gak bakalan banyak cewe-cewe yang datang ke rumah sambil merengek-rengek minta aku nikahi" .

Hhhh, dasar Dimas. Sama sekali nggak lucu. Mana mungkin tampang bloon kaya gitu bakalan ada yang mau nikahin dia. Kepedean banget. Tapiii kalimatnya itu kadang bikin aku berpikir. Jangan-jangan sebetulnya Dimas memang tampan. Andai aja dia mau berubah. Aaah sudahlah gak mungkin kan itu terjadi. Kalo iya, kemungkinan besar dia sudah menikah sejak bertahun-tahun lalu. Umurnya kan udah 30. Tapi masih aja jomblo tuh. Hihihihi ada-ada aja pikiranku ini.

Akhirnya aku putuskan untuk datang menghadiri pernikahan Randi dan Rasti. Lihat saja yang terjadi nanti. Setidaknya benar kata Dara. Aku harus terlihat tegar seolah tak pernah ada kata patah hati dalam kamus kehidupanku. Karna memang ga ada pasangan yang bisa aku ajak, mau gak mau aku datang bersama Dara. Apa? Dimas? Noo Weeey.... Gak akan. Apa jadinya kalo aku putus dari Randi kemudian dia pikir aku jatuh ke pelukan si culun itu? Lagi pula, Randi tau betul siapa Dimas. Gak mungkin lah.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana. Terkesan bukan pesta. Tapi ya sudahlah. Acara sakral seperti ini tidak butuh yang terlalu mewah. Toh yang menikah tidak pantas mendapatkan kemewahan yang seharusnya. Pikirku sinis. Aku menghampiri pelaminan memberikan selamat pada mereka......................................................

Baca Lanjutannya klik disini !

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.

Rabu, 20 Mei 2020

Operasi Outlone

Hai pembaca semua. Alhamdulilah makin hari blog ini makin banyak pembacanya. Yang mengirimkan cerita juga mulai banyak. Ada satu cerita fiksi yang menarik bergendre action yang akan saya muat di halaman ini. Terima kasih atas kirimannya kepada Anhar Tasman. Ceritanya bagus, bahasnya mudah dimengerti dan gambarannya jelas. Hanya saja mohon maaf sebelumnya ada satu bait paragraf yang saya cut/edit karna agak vulgar dimana seperti yang sudah saya infokan di halaman T.O.S. bahwa kiriman cerita yang akan saya muat adalah yang tidak mengandung unsur-unsur tertentu yang sudah tertuang dalam halaman T.O.S.

Namun begitu, karna menurut saya ceritanya bagus, jadi saya tetap muat di blog ini dengan sedikit editan. Terima kasih kepada penulis. Berikut ini kisahnya.

* * * * * * * * * *

Operasi Outlone

Cinta yang membawa seseorang keluar dari zona nyaman

Anhar Tasman

Ia di sana, menatapnya penuh kasih sayang, jaket hijau dan jeans biru yang dipakainya menambah kesan tomboy, Ia begitu tinggi hingga Tasim selalu mendongak ke atas setiap kali berbicara dengannya, tapi rasa pegal di leher nya terobati oleh kekagumannya pada Shinta, dengan gemetar dia letakkan tangan di bahu kirinya yang harum, memerasnya lembut,  otot bahunya sangat kuat untuk ukuran wanita,Tasim menatapnya penuh haru hingga air mata keluar tanpa nya sadari

“kenapa sayang?” Tanya Shinta lembut serta khawatir

“aku.. aku... kak” dia tatap dalam matanya penuh ketakutan

“ya sayang.. kenapa?”

“aku takut kakak selingkuh..” kedua kelopak matanya terpejam menahan derasnya air mata yang mendobrak keluar

“sayang... dek.. kenapa bicara begitu? Aku gak akan pernah selingkuh, aku sayang banget sama kamu” Jawab Shinta sambil memeluk erat pacarnya yang sangat kekanak-kanakan itu

Bukan pertama kalinya dia menanyakan hal bodoh, tapi Shinta tidak mengeluh, ia mencintai Tasim apa adanya, baginya dia adalah pria baik yang tidak boleh dibiarkan sendiri. Bagi Tasim, Shinta adalah pacar, kakak, pelindung dan gurunya. Berbeda dengan pasangan lain yang berakhir dengan hubungan sex ketika berpelukan, Tasim hanya ingin merebahkan beban pikirannya pada Shinta sembari menangis hingga perasaannya kembali lega setiap kali berpelukan, bahkan ketika Shinta hanya mengenakan Bra dan celana jeansnya, dia tidak begitu tertarik, ia hanya ingin Shinta memandang tajam matanya dan meyakinkannya semua akan baik-baik saja, ia hanya ingin sentuhan hangat dan kuat darinya.

Tasim adalah lulusan jurusan Teknik Informatika yang hidup sendirian di sebuah apartement yang dibelinya dari proyek sistem informasi yang dia kerjakan tahun lalu. Kini ia hidup sendiri, sehari-hari ia jalani dengan bekerja sebagai freelance programmer, mengerjakan proyek-proyek yang ia dapatkan melalui internet. Sifatnya yang penutup membuatnya tidak begitu dikenal oleh para tetangga dan jarang keluar apartemen.

Berbeda dengan Tasim, Shinta adalah wanita yang super aktif, ia periang, pintar, cantik, tinggi dan lebih tua satu tahun. Ia bekerja sebagai customer service di salah satu perusahaan telekomunikasi terkenal. Ia sangat ramah kepada setiap orang. Bahkan ia mendorong Tasim untuk mengunjungi beberapa tetangga apartemennya, mereka yang tadinya berprasangka buruk terhadap Tasim berubah menjadi suka pada sifatnya yang pemalu tapi ternyata sangat ramah.

Berkat dukungan Shinta, Tasim menjadi lebih dekat dengan tetangga. Ia bahkan membawa laptop pekerjaan ketika menongkrong dengan mereka di halaman basket depan gedung apartemennya sehingga dia tetap bisa bergaul sambil bekerja. Ia sesekali juga mengajari mereka pemrograman dan cara membuat animasi. Tasim pun senang keahliannya diminati para tetangganya.

“Dek.. kok melamun? Udah siap?” Tanya Shinta dari depan pintunya, ia sudah menenteng handuk dan botol air mineral, pakaian olahraganya yang ketat memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Tasim berlari kecil lalu mengunci pintu kamarnya untuk joging dengan Shinta. Ini resolusi tahun baru yang mereka sepakati, Tasim bertekad untuk menguruskan badannya yang tambun, Shinta dengan semangat terus membantunya. Mereka joging di subuh hari di lintasan samping kanal. Mereka memilih saat subuh karena saat itu hanya ada mereka berdua. Shinta mengerti pacarnya tidak suka keramaian oleh karena itu dia rela bangun jam 4 lalu menjemput Tasim untuk joging, bagi dia itu pengorbanan yang menyenangkan, ia bahagia bisa merubah pacarnya menjadi lebih baik, dari yang tadinya penutup diri menjadi terbuka, yang tadinya tambun kini badannya mulai kurus, Shinta hanya ingin Tasim menjadi lelaki yang kuat dan sehat, ia memang bersedia menjadi tempatnya memanjakan diri seperti anak kecil, tapi ia tahu orang lain tidak akan selembut itu padanya, karena itu ia ingin Tasim siap dengan kerasnya dunia luar dimana ia tidak selalu bersamanya, ia tidak ingin mencari pria sempurna, baginya lebih baik bersama-sama orang yang ia cintai dan berubah bersama menjadi lebih baik daripada menghabiskan umurnya menunggu sosok sempurna.

“Ayo dek.. masa baru lari sudah capek begitu” Ledek Shinta pada Tasim yang tertinggal di belakang

“Iya kak.. tunggu donk! Huuft” Ia melihat rambut panjang Shinta berombak ke belakang dengan indahnya, seindah tubuhnya yang tertutup jaket biru itu, ia terpesona pada gunung payudara indah yang terlihat dari ketiak jaketnya, tanpa diketahui dia sudah melihat ke belakang dan tahu ia mengerti kemauannya sekarang, kemauan untuk melepaskan hasrat padanya, dia hanya tersenyum nakal dan meneruskan lari seperti yang sudah disepakai bersama, lari minimal 2 kilo meter setiap subuh.

“Aku tak akan menyerah, akan aku kejar kamu kak” Batin Tasim, ia tahu pengorbanannya untuk menjemputnya setiap pagi tidaklah mudah, ia sebenarnya mulai malas dan ingin menyerah dengan resolusinya tapi ia tahu itu akan mengecewakan kekasihnya, ia sadar ia hanyalah pria yang tidak sejati yang harusnya bersyukur mempunyai malaikat cantik yang selalu mendukungnya, pagi ini ia akan membuatnya bangga, walaupun lelah ingin berhenti, ia terus berlari menunjukkan bahwa ia pria yang kuat yang bisa membahagiakannya suatu hari, ia terus berlari menyusul pacarnya yang seksi itu.

“Awas kamu kak, akan aku peluk dan cium kamu sampai habis” Batin Tasim, ia melesat seperti mobil yang memakai NOS saat balapan

“Maju woy! Ah bego! WOOY!”  Teriak sopir mikrolet pada mobil sedan di depannya. Teriakan itu salah satu elemen khas pagi hari di jalan raya samping kanal, selain bunyian klakson, tukang bubur, candaan ibu-ibu, tawa ledekan anak sekolahan dan tangisan anak kecil. Tasim dan Shinta sedang berdiri santai di samping jembatan kanal, menikmati keindahan pemandangan air mengalir dari arah munculnya matahari. Mereka biasa berdiri disana setengah jam setelah lari. Tanpa pelukan, tanpa ciuman, tanpa obrolan panjang, hanya dua manusia yang saling cinta sedang menikmati momen berdua diantara elemen bising khas ibu kota. Tasim yang biasanya sensi dengan kebisingan dan semraut jalan raya, kini seperti tuli sejenak, ia terpesona keindahan alam itu dan merasa nyaman dan aman ada Shinta di sampingnya.

“Kak ayo kita sarapan..”

“Hmm kakak harus berangkat kerja, motor kakak tadi di parkir disana, kamu pulang sendiri bisa kan?”

“Aku takut.. maunya sama kakak..”

“Adeee... mau kakak cium disini sekarang?”

“Engga kak malu hehe, oke kak aku pulang dulu, kakak hati-hati di jalan yah”

“Iya sayang...”

Tasim berjalan pulang sendirian, di tengah perjalanan ia melihat sosok pria yang sepertinya ia kenal, wajah itu tidak asing lagi, dia adalah Wahyu, teman lamanya saat masih duduk di tingkat satu kuliah, ia begitu bahagia bisa bertemu dengannya, mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi, ia sudah sering mencoba menelepon nomornya tapi tidak diangkat, dan chat melalui facebook tidak dibalas dan profilnya tidak pernah diupdate sejak perpisahannya di akhir semester 2

“Wahyu..? Lu wahyu kan?” Tanya Tasim padanya yang sedang menunggu dilayani penjual kebab

“Weh.. Tasim? Apa kabar lu men?” Mereka berjabat tangan, Wahyu bercerita dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis di pulau kalimantan. Dia sekarang berbisnis pakaian batik dan sedang mencari tempat tinggal dan kebetulan memilih gedung apartemen yang sama dengan yang Tasim pilih. Tasim tidak percaya Wahyu sudah berubah, pria yang dulu introvet seperti dirinya kini tampil lebih hebat, ia ingat bagaimana dia mengeluh tentang orang-orang sebagaimana ia juga tidak menyukai keramaian, dan dia mengeluh nilai kuliahnya yang sangat jelek dan memutuskan pindah fakultas, ia mencoba menahannya untuk bersabar tapi dia tetap pindah, setelah itu ia terus mencoba menghubunginya tapi tidak mendapat balasan. Hubungan mereka tidak lama, hanya 2 semester, tapi meski begitu, Wahyu adalah teman terdekat yang dimilikinya, ia ingat bagaimana dia menjemputnya dari kontrakan dan mengantarnya ke rumah saat ia demam dan sendirian, dia adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki. Tasim tidak bisa menahan untuk mengakui betapa besar kerinduannya kepada Wahyu.

“Gimana dengan lu? Sudah menikah?” Tanya Tasim sambil menyodorkan secangkir teh di ruang tamu apartemennya.

“Haha, lu udah punya ya tas, hebat, gue belum, masih mencari dan menunggu, oh iya, mana foto pacar lu itu? Gue mau lihat”

“Dia gak mau difoto yu, gw sering minta tapi dia terus nolak”

“Dia dimana sekarang? Tinggal sama lu?”

“Oh engga, dia tinggal di gedung apartemen deket kantornya, kapan-kapan gue kenalin lu ke dia”

“Sip, oh ya gw harus balik sekarang nih, udah siang”

“Wah gak kerasa yah, oke yu, eh iya nomor handphone lu berapa?”

Setelah bertukar nomor handphone, Wahyu pergi, Tasim segera mengirimkan SMS pada Shinta untuk mengatur makan malam bersama, ia ingin mengenalkan sahabat lamanya. Setelah berjam-jam menunggu balasan, Shinta akhirnya membalas SMSnya saat malam, dia memintanya segera bersiap dan naik ke atas gedung karena ingin melatihnya ilmu bela diri seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam, Tasim tidak menolak, ia senang bisa diajarkan, ia merasa sebagai lelaki macho saat bisa melakukan gerakan-gerakan karate. Ia pun segera mengganti pakaian, membawa bekal dan berlari ke tangga, sementara itu Shinta sudah menyiapkan tempat untuk mereka latihan.

Setelah berlatih, mereka berdiri menikmati pemandangan malam disertai angin yang berhembus mengusir keringat, mata Tasim tertuju pada lintasan lari yang sekarang sudah menjadi pasar malam, orang-orang berjual beli barang-barang murah di sana, ia mendapat ide untuk membelikan hadiah untuk Shinta, dia wanita tomboy dan suka bela diri, mungkin miniatur pedang sangat cocok, bisa ditaruh di mobil atau kamar, tapi setelah ia melihat restoran yang tidak jauh dari lintasan lari itu, ia mendapat ide yang lebih baik, yaitu mengajak pacar dan sahabatnya makan malam.

“Kak... aku ingin kita makan malam di restoran”

“Restoran?”

“Ya kak, kita bertiga bersama sahabat ku Wahyu, besok malam setelah latihan?”

“Kakak gak bisa dek, aku harus segera pulang setelah latihan karena paginya harus menjemput mu lari pagi kan?”

“Kak,, hanya malam besok saja, aku ingin mengenalkan mu padanya, kalian berdua orang yang ku pedulikan, aku ingin kalian saling kenal”

“Dek.. kakak gak punya waktu, dan kakak harus menjaga stamina karena selalu sibuk di kantor kamu tahu kan.. Bahkan untuk bertemu dengan mu hanya bisa saat subuh dan malam hari kan? Kakak gak sefleksibel dulu karena jabatan kakak udah naik”

“Yah selalu beralasan kantor, kantor dan kantor... Kak aku butuh kamu!”

“Ya dan kakak sedang mengumpulkan uang untuk masa depan kita!”

“Tidak ada masa depan dimana kakak dan aku bisa selalu berdua kan?! Aku  lebih memilih kakak mencari pekerjaan lain”

“Dek... kakak gak pernah meminta kamu dewasa, kamu bebas menuntut apapun dan tidak pernah sekalipun aku menolak memberikannya, aku berikan apapun dan menjadi siapapun yang kamu butuhkan, kamu mau kurus oke kakak siap jemput dan menyeret kamu keluar dari gua itu untuk lari setiap pagi, kamu mau bisa bela diri kakak ajari setiap malam, kamu pencinta senapan, kakak latih kamu menembak setiap minggu, dek jabatan aku lebih tinggi sebelum kenal kamu, percayalah aku sudah berusaha maksimal membagi waktu.  Aku gak meminta apapun selain... aku ingin kamu pada titik ini saja mendukung pekerjaan ku karena aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah untuk kita berdua dan kakak cinta pekerjaan ini, oke dek? Aku mohon minta lah apapun selain yang menghambat rutinitas kakak, apapun dan kakak akan penuhi semampu kakak, oke? Plis? Honey?” Shinta tidak ingin menyakiti perasaan kekasihnya, ia berjanji pada dirinya untuk berusaha memberikan yang dia minta, apapun selain harus membuatnya keluar dari jadwal-jadwal pekerjaannya. Ia diam menatap Tasim, menunggu jawabannya.

Tasim terbangun keesokan paginya dengan kaos dan celana bersih, Shinta telah menghilang, ia merasa takut ada orang datang karenanya ia segera berlari menuju tangga, masuk ke lift dan menuju kamar. Wahyu sedang berdiri di depan pintu terus-menerus menekan bel sambil menggedor dan memanggil namanya, ia menenteng kotak cokelat. Tasim yang melihat dari jauh merasa tidak enak dia mungkin sudah menunggu lama sementara ia tertidur.

“Woy bro! Sorry udah lama ya? Gue lagi senam di atas, sorry nih gak bawa hape”

“Owh.. slow, eh gue perhatiin lu alit tembak ya? Kemarin gue lihat ada foto-foto lu lagi nenteng senjata, laras panjang pula”

“Bukan atlit tembak sih, tapi gue sering latihan nembak sama cewe gue. Itu kotak apaan? Martabak?”

“Haha bukan ini gue mau nunjukin koleksi pistol gue, pistol angin sih”

“Wooh lu atlit nembak? Eh lupa, ayo masuk, eh sorry banget nih nunggu lama, lu udah sarapan?”

“Udah selow, masih aja kaku. Sama kaya lu gue latihan di lapangan, bokap gue ngajarin nembak setiap minggu”

Tasim membuatkan mereka berdua sarapan mie goreng telor dan teh hangat. Mereka bercerita panjang lebar tentang senapan dan metode latihan yang mereka lalui. Tasim sudah lama tahu ayah Wahyu seorang tentara dan betapa takjubnya ia mendengar cara dia mengajarkan Wahyu berkamuflase dan survival di hutan layaknya tentara sungguhan, dan Wahyu juga tidak percaya Shinta bisa mengajarkannya menembak senapan mesin dan dia ingin segera menemuinya, Tasim masih merasa bersalah karena telah memaksa Shinta bahkan tega memintanya pindah pekerjaan, ia merasa tidak tahu diri dan ingin segera meminta maaf kepadanya nanti malam. Wahyu membaca gerakan tidak enak dari kawannya dan dia pun mengganti subjek pembicaraan. Kini mereka membiacarakan film aksi yang berisi para aktor tua yang kembali berlaga tembak-menembak.

“HAHAHA! Kakinya terlalu pendek untuk menendang raksasa besar itu, hahaha, dia seharusnya”

“DING!” Bunyi bel pintu

Ketika Tasim buka, tidak ada siapapun, di depan kakinya ada amplop putih, ia buka dan ada surat bertuliskan “Nyalakan TVnya”

“Bro? Siapa?” Tanya Wahyu sambil mengunyah biskuit di sofa

“Bro tolong nyalain TV donk” Kaki Tasim tidak bisa beranjak dari gagang pintu, dia merasakan perasaan tidak enak tiba-tiba

“eh TV? Oke tunggu, nih”

Mereka berdua ternganga menyaksikan pemandangan mengerikan, adegan penyiksaan seorang wanita di ruangan yang dipenuhi pria bersenjata, Tasim mengenali wanita itu, dia adalah Shinta, mulutnya disekap, bahunya penuh sayatan, kepalanya diperban, tangtop putihnya penuh darah, lehernya dekat dengan mata pisau yang dipegang pria kekar yang sepertinya sedang bertanya sesuatu yang tidak jelas terdengar.

“Triiiing!” HP Tasim berbunyi, dia masih syok tapi mencoba tenang saat mengangkatnya

“Halo?”

“Tasim, bagaimana latihan mu? Ku harap dia sudah mengajarkan mu cara menjadi pahlawan, datang ke alamat yang ada di amplop depan pintu mu dalam waktu satu jam, tidak ada polisi, turuti permintaan ini atau akan kami bunuh”

Tasim menoleh ke belakang,ada amplop baru, ia mendengar pintu  lift terbuka, segera ia berlari tapi sayang terlambat, tidak terlihat siapa dia, orang misterius yang baru saja menaruh amblopnya. Ia kembali ke kamarnya, di sana Wahyu membaca amplop kedua lalu menoleh ke Tasim

“Gue tahu alamat ini” Kata Wahyu

“Wahyu gue harus pergi kesana, tanpa polisi”

“Hah? Dengan tangan kosong? Itu bunuh diri”

“Gue datang dengan tangan kosong  dan mobil penuh senjata, gue gak punya waktu banyak, lu harus pulang, biar gue selesain ini sendiri”

“Tunggu bro! Tunggu!” Kata Wahyu sambil menahan Tasim yang penuh emosi

“Gue ikut lu oke”

“Itu tempat berbahaya”

“Ya Tasim terimakasih penjelasannya, gue bisa lihat sendiri dari video itu”

“Gue gak mood untuk bercanda”

“Bagus, karena gue gak menganggap ini candaan. Lu tahu apalagi yang bokap gue ajarkan selain bertempur? Dia mengajari gue tentang kesetiaan. Sekarang, sebagai teman lu gue bersikeras untuk ikut lu, gue bisa jaga diri, lu bisa jaga diri, kita akan hajar mereka”

“Lu punya..”

“Ya gue punya mobil”

“Dan lu...”

“Ya gue punya banyak amunisi dan senapan”

“Apa ada di..”

“Ya semuanya ada di bagasi mobil. Gue rencananya ingin kerumah bokap untuk latihan, tapi biarlah. Kita bisa berangkat sekarang”

Rumah itu berwarna kuning. Memiliki tingkat dua. Semua jendelanya ditutup. Dijaga oleh dua orang memegang golok di depannya. Pagarnya terbuka. Ada mobil Shinta di parkiran dalam. Wahyu memberhentikan mobil di dekat pohon. Tasim keluar membawa stun gun dan pistol. Mengendap mendekat melalui  semak-semak, disusul Wahyu yang membawa senapan tembak jarak jauh.

“Wahyu, lu cari posisi aman untuk menembak, gue akan masuk sendirian”

“Jangan sok pahlawan bro, kita bisa masuk barengan”

“Dan dibantai saat baru masuk? Jangan khawatir, gue punya rencana, lu cari aja tempatnya”

“Oke bro, hati-hati”

Satu penjaga masuk. Tasim berjalan pelan ke belakang penjaga yang masih diam berdiri. Dengan stun gun, ia arahkan ke lehernya. Dia gemetar lalu pingsan. Ia seret badannya ke semak-semak. Dengan cepat ia kembali ke balik dinding menunggu penjaga lain. Satu penjaga keluar menuju jalanan. Dia menengok kanan kiri tidak menyadari keberadaan Tasim di belakangnya. Saat dia menoleh, badannya sudah gemetar. Dia pingsan. Tasim seret ke dekat temannya. Tidak ada siapapun di jalanan. Tasim masuk ke dalam rumah.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Tasim masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di bawah kasur. Dua orang masuk ke kamar. Dari suaranya, satu pria dan satu lagi wanita. Wanita itu terdengar memberontak. Keduanya naik ke kasur sehingga Tasim tertindih tapi masih bisa bergerak. Kasur itu berguncang. Tasim bisa menebak yang terjadi. Sedang terjadi pemerkosaan. Perlahan ia keluar dan berdiri menghadap pria yang sedang menindih si wanita sambil melepaskan celananya. Ia berikan setrum di lehernya. Pria itu terjatuh dan pingsan. Wanita itu menangkap isyarat diam darinya. Dia menghapus air matanya dan turun dari kasur. Dia keluar dari rumah. Setelah diperiksa tidak ada siapapun lagi di tingkat ini, Tasim naik tangga untuk memeriksa lantai atas.

Semua pintu kamar terbuka kecuali kamar yang paling besar. Pintu itu terkunci. Ia paksa buka tapi tetap tidak bisa. Ia pastikan tidak ada siapapun yang melihat kemudian mendobrak pintu itu. Berbarengan saat itu pula kaca jendela pecah oleh peluru yang menembus kepala pria besar yang tadi memegang pisau. Tasim menghajar satu pria yang hampir memukulnya dengan kayu. Setelah ia yakin tidak ada lagi penjahat, ia dekati Shinta yang terikat di sebuah kursi. Mulutnya ditutup ikatan kain. Ada bekas pukulan di sekujur tubuh dan matanya. Tasim melambaikan tangan ke luar jendela untuk memberi tanda kepada Wahyu untuk masuk.

“Kak.. Maaf aku telat, ini sak..”

“Jangan pegang gue, siapa yang menyuruh lu kesini?!”

Tasim sangat kaget, bagaimana dia bisa menjadi kasar, apakah karena semalam? Apa karena ia telat? Tapi yang paling ia tidak mengerti apa maksudnya dengan kata menyuruh. Ia hanya terdiam menatapnya penuh kesal.

“Yuli lu gapapa?” Tanya Wahyu yang baru masuk ruangan sambil memegang pistol di tangan kanannya

“Lu gila yak?! Anak kencur lu suruh nyelamatin gue?! Pake otak lain kali!” Shinta merebut pistol dari tangan Wahyu dan segera keluar dari kamar itu

“Kak... kak.. Shinta!!” Teriak Tasim kebingungan

“Gue bukan Shinta!” Bentaknya sembari menuruni anak tangga

“Tasim, bisa tenang sebentar?” Pinta Wahyu sambil memberikan kursi kepadanya

“Lu kenal dia? Yuli namanya? Apa maksudnya? Kenapa dia bisa marah ke  gue? Apa salah gue?!”

“Maafin gue kawan, gue harus ngelakuin ini” Wahyu memukulnya hingga Tasim pingsan. Ia bawa kawannya menuju mobil. Mereka bertiga meninggalkan lokasi kejadian.

Tasim terlelap di bangku belakang. Wahyu menyetir mobil sementara Shinta membersihkan luka-lukanya. Ia masih tampak kesal atas kejadian yang baru terjadi.

“Lu gak perlu teriak seperti itu ke Tasim, dia lelaki yang baik”

“Gue disekap dan lu mengirim bocah ingusan? Bilang ke bos kalau dia mau gue mati biarin gue mati sendirian”

“Asal lu tau, gue gak menyuruh dia kesini, dia bisa aja panik gak jelas bahkan nelepon polisi saat tahu lu yang asli disekap, tapi enggak, dia nekat pergi sendiri bahkan menyuruh gue pulang dan gue harus mengemis untuk ikut dia. Lu boleh percaya atau enggak, tapi lu harus minta maaf ke dia. Dia udah merelakan nyawanya untuk lu. Dia cowok pertama yang berani ketimbang ...”

“Ketimbang cowok-cowok pengecut lain yang udah gue tidurin.. Thanks, gue ngerti”

“Gue berencana bilang ketimbang kandidat lain”

“Diam”

Wahyu berharap sahabatnya bisa mengerti semua ini dan sanggup menerima kenyataan pahitnya.  Ia merasa bersalah tidak segera memberitahunya tapi merupakan kewajiban telak baginya untuk tutup mulut hingga bosnya berkata lain. Ia juga khawatir dia lebih memilih bunuh diri ketimbang bergabung bersama satuannya. Ia kembali menatap Yuli, kali ini dengan tatapan menakutkan.

“Tasim adalah sahabat gue dan lu baru saja menyakiti hatinya, lu harus meminta maaf kepadanya atau lu gak akan hidup lama”

Yuli bukanlah gadis penakut, sebagai pasukan wanita elit ia sering mendapatkan ancaman. Tapi Wahyu tidak pernah semarah ini kepadanya. Ia hanya bisa diam tidak ingin memulai keributan atau menunjukkan tanda perlawanan. Bagaimanapun juga, Tasim benar-benar menyelamatkannya sendirian. Dia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatannya. Ia menyesal telah membentaknya. Dia pasti sangat sedih, pikirnya, ia berjanji pada dirinya akan meminta maaf setelah dia mengerti.

Tasim terbangun di sebuah ruangan, hanya ada satu meja besar dan dua kursi serta kaca dinding, ruangan itu diterangi lampu kuning, ia melihat pintu yang terbuka tapi ia tidak bisa keluar karena kakinya diborgol. Masuk seorang pria tua berkacamata, mengenakan kemeja putih berjas hitam, menenteng satu folder dan sebuah remot di tangannya. Ia mengeluarkan puntung rokok dari kotaknya dan menyerahkannya kepada Tasim, dia menolak dengan gelengan.

“Apa Anda kenal saya?” Tanya bapak itu

“Shinta” Jawabnya sambil melihat ke arah kaca di ruangan, ia tahu itu kaca dua arah dan ada orang lain dibaliknya. Ia harap itu Shinta

“Maaf?”

“Shinta”

“Namanya bukan Shinta, dia Yuli, dan saya tidak bisa mengkonfirm apakah itu nama asli, dan dia tiak ada dibalik kaca itu, nak”

“Yuli? Yah benar saya lupa, wanita seperti itu tidak mungkin bernama Shinta, dia pasti bernama Yuli, Angelina, James, Risda, Novi, nama-nama tomboy”

“Apa Anda yakin tidak kenal saya?”

“Tidak”

“Koreksi jika saya salah, Anda termasuk orang yang lebih suka menjadi pendengar ketimbang memotong pembicaraan, apa itu benar?”

“Benar”

“Maka izinkan saya memperlihatkan sesuatu” Pak tua itu menekan tombol di remot ke arah kaca, muncul sebuah cuplikan rekaman pembicaraan antara Tasim dengannya di ruangan itu juga, tanggal di rekaman menunjukan rekaman itu diambil dua tahun lalu.

------------------------

9 Januari 2014

-----------------------

“Sebutkan nama Anda untuk dicatat”

“Tasim Sudirman”

“Jelaskan alasan Anda berada disini”

“Saya seorang penakut, tidak berani berinteraksi dengan orang lain, tidak memiliki teman, menjauh dari keluarga, tidak memiliki harapan masa depan, tidak memiliki semangat berjuang. Saya ingin berguna untuk negara ini, ingin menjadi prajurit, saya siap mati untuk negara ini. Tapi rasa takut saya lebih besar dari impian itu. Saya datang kesini, siap menjadi objek percobaan dengan tujuan saya bisa digunakan untuk membela negara setelah semua rasa takut saya hilang”

“Anda paham apa yang akan Anda alami?”

“Halusinasi memiliki kekasih. Saya paham dan siap dengan segala resikonya. Saya percaya dia, dalam kurung kekasih hayalan, bisa mendorong saya untuk menggapai semua yang saya mau”

“Anda sudah punya nama untuknya?”

“Shinta”

“Anda sudah punya kriteria untuknya?”

“Cerdas, kuat, mahir bela diri, tinggi, berambut panjang hitam, memiliki tubuh yang indah, senyumnya menggoda, sehat, mempunyai pekerjaan, dan yang terpenting, selalu menyemangati saya untuk berubah, untuk pergi kemanapun, berbicara dengan siapapun dan melakukan apapun yang sebelumnya saya takuti. Itu kriteria yang saya inginkan”

“Sebutkan kisah pertemuan Anda dengannya”

“Saya memiliki komputer yang rusak, lalu menelepon jasa servis, mereka mengirim Shinta untuk memperbaiki komputer itu, tapi komputer itu selalu rusak dan selalu Shinta yang dikirim, lama kelamaan terjalin komunikasi diantara kita dan saya menyukai dia, suatu hari saya bertanya apakah dia bersedia menjadi pacar saya, dan dia mengiyakannya. Itu awal pertemuan kita”

“Sebutkan aktivitas yang Anda inginkan bersamanya”

“Setiap subuh, dia menjemput saya untuk lari pagi, saat malam dia melatih saya beladiri di atap gedung apartemen, di hari minggu dia mengajari saya menembak di sebuah lapangan, dan di hari libur kami berdua, saya ingin menghabiskan hari bersamanya di apartemen”

“Apakah Anda paham, Anda tidak bisa mengajaknya keluar dari jadwal aktivitas yang sudah Anda tentukan?”

“Paham”

“Apakah Anda paham, dia tidak bisa ditunjukan kepada keluarga atau kenalan dekat Anda”

“Paham”

“Apakah Anda paham, suatu hari kebohongan ini akan terbongkar?”

“Paham”

“Apakah Anda siap menerima rasa sakit ketika mengetahui kebohongan ini?”

“Siap”

Rekaman itu dihentikan oleh Pak Tua, dia menunggu reaksi dari anak muda yang kebingungan di hadapannya. Tasim tidak percaya apa yang sudah dilihatnya, ia tidak bisa percaya bersedia melakukan perjanjian sekejam itu, ia tidak bisa percaya bahwa kekasihnya, yang selama ini selalu bersamanya, adalah hayalan, ia mencoba mencari bukti bahwa Shinta itu benaran ada.

“Saya dan dia pernah berfoto selfi bersama, saya punya foto yang membuktikan dia benar-benar ada” Tantang Tasim

“Biar saya tebak, foto itu diambil sehari setelah Anda menyatakan cinta kepadanya?”

“Ya”

“Foto seperti ini?” Pak tua itu mengeluarkan beberapa foto dari folder cokelat

“Anda mengambilnya?”

“Kami juga memiliki sudut pandang lain, silahkan dilihat-lihat”

Tasim melihat foto-foto itu, foto itu diambil dari dalam mobil yang parkir di seberang gedung apartemennya, yang parkir di seberang lintasan lari tempat ia dan Shinta selalu lari pagi, yang parkir di seberang lapangan tempat ia dan Shinta latihan menembak, ada pula foto yang diambil dari gedung apartemen seberang, foto itu menunjukkan dirinya sedang berlatih bela diri, berpelukan, bercanda dan berhubungan badan. Ia tidak percaya selama ini hubungan mereka diintai oleh orang lain.

“Foto-foto ini...”

“Nyata? Yah tentu nyata, jika saya bisa melihatnya maka ini nyata, jika keluarga Anda bisa melihatnya maka ini nyata, jika orang lain bisa melihatnya maka ini nyata. Tapi pertanyaannya adalah, apakah wanita dalam foto ini, memberikan cinta yang nyata?

Nak saya berharap bisa mengatakan ini dalam bahasa yang lebih halus dan percayalah saya mengerti rasa sakit yang Anda alami setelah mendengar ini tapi Anda harus mengetahuinya sekarang.

Kami mencari agen yang memiliki kriteria yang sesuai dengan yang Anda sebutkan, maka diutuslah agen Yuli untuk membantu menanamkan gagasan ide halusinasi di kehidupan Anda. Pada enam bulan pertama Anda diberikan obat melalui berbagai macam media seperti kapsul, suntikan dan sebagainya. Obat itu berfungsi merekam aktivitas yang kalian berdua lakukan, sesuai dengan aktivitas yang Anda inginkan. Obat itu membantu otak mengingat gerakan Shinta, bagaimana dia marah, bagaimana dia sedih, gembira, bagaimana sifatnya, responnya, kegiatannya. Pada intinya, obat itu menduplikat ingatan kalian berdua untuk dimainkan ulang setelah Yuli berhenti berpura-pura menjadi Shinta lalu keluar dari kehidupan Anda.”

Tasim teringat dulu ia sering sakit dan dibawa ke dokter, ia sering mendapatkan suntikan, mungkin itulah saat dimana ia mendapatkan obat hayalannya. Dan ia ingat pertengkarannya dengan Shinta yang membuat dia pergi dalam waktu lama, mungkin itulah saat dimana Shinta yang asli digantikan dengan halusinasinya.

“Siapa Anda? Apa yang Anda lakukan?”

“Panggil saya Rusli, saya bisa menunjukkan rekaman kita berdua membicarakan organisasi ini tapi biar saya jelaskan ulang.

Badan Inteligen Negara membentuk program pelatihan sipil yang bernama ‘Outlone’. Program ini dijalankan oleh para dokter yang ahli dibidangnya dan diawasi oleh tentara dan polisi terpercaya, tujuan program ini dibentuk untuk menciptakan agen-agen rahasia yang tertanam di seluruh lapisan masyarakat yang suatu waktu bisa dipanggil untuk membantu mempertahankan wilayah kita dari berbagai ancaman. Para kandidatnya adalah orang sipil yang tidak memiliki anak istri, tidak memiliki teman banyak dan anti sosial yang memiliki impian untuk berubah tapi terlalu takut untuk pindah dari zona aman mereka.

Anda, Tasim, dulunya adalah kandidat, Anda berlatih ilmu beladiri, menembak, berinteraksi dengan orang lain, pada awalnya Anda melakukan itu semua bersama wanita yang asli, pada kasus ini agen Yuli atau yang Anda sebut dengan Shinta, dia kami sebut sebagai ‘installer’, tugasnya menanam keyakinan bahwa dia adalah kekasih Anda, seseorang yang selalu ada untuk Anda membantu dan melakukan apapun yang Anda inginkan, setelah proses instalasi selesai,  pikiran Anda memproyeksikan wanita yang hanya bisa dilihat oleh Anda sendiri yang kita sebut dengan konverter. Konverter ini lah yang menarik Anda dari kehidupan suram ke arah kehidupan yang lebih baik.

Tadi pagi, Anda membuktikan diri Anda sudah berubah, Anda berani melawan para penjahat itu untuk menyelamatkan dia, bahkan sendirian. Saya menerima rekomendasi dari Wahyu bahwa Anda sudah siap. Sekarang, Anda bukan lagi kandidat, Anda adalah sleeper agen yang akan kami gunakan untuk melawan kejahatan, jika Anda setuju”

“Saya bisa memilih?”

“Ya tentu. Kami menyediakan tiga jalan keluar untuk Anda” Pak Rusli mengeluarkan tiga pil

“Pil merah, jika Anda ingin bunuh diri. Kami akan membuat mayat Anda seolah-olah mati karena kecelakaan atau over dosis. Pil kuning, jika Anda ingin meneruskan kegilaan ini. Anda akan melupakan semua yang terjadi hari ini, Anda akan terbangun di apartemen dan kembali berhalusinasi memiliki pacar bernama Shinta, Anda akan menghabiskan sisa hidup bersama wanita yang tidak bisa dilihat siapapun. Pil hijau, jika Anda ingin bergabung dengan kami. Anda akan sembuh, tidak bisa lagi melihat dirinya yang palsu, Anda akan kami tempatkan di manapun penjahat berada, Anda akan menjadi berguna untuk negara seperti yang Anda impikan.”

“Saya perlu waktu untuk memikirkannya”

“Oke” Pak Rusli menembakkan jarum suntik ke dada Tasim, dia pingsan, ia menyuruh untuk membawanya kembali ke apartemennya dan mengirim Yuli untuk memantau

Setelah sadar, Tasim kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi, ia juga mengingat tiga pilihan yang diberikan, ia turun dari tempat tidur, mandi air hangat, memotong kuku, memakai pakaian rapi dan parfum, kemudian pergi ke dapur mengambil makanan, menyantapnya di ruang makan, di hadapannya ada foto Shinta sedang merangkulnya, ia makan dengan perlahan sambil memperhatikan foto itu, kadang ia tertawa, kadang menangis, ia keluarkan semua perasaannya, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah selesai makan, ia pergi ke ruang tidurnya, meraba bagian bawah kasur, mengambil kotak cokelat lalu membawanya ke ruang makan, dia ambil pistol dan peluru dari kotak itu, sambil terus memperhatikan fotonya dengan Shinta, ia bersihkan pistol dan memasukan peluru kedalamnya, ia tertawa dan menangis beberapa saat kemudian tersenyum dan mengarahkan moncong pistol ke dagunya, ketika ia siap menekan pelatuk, pintu kamar terbuka, terdengar langkah kaki berlari kepadanya.

“Tasim! Jatuhkan pistol itu” Tegas Yuli. Tasim berdiri dan mengarahkan pistol kepadanya

“Jika kau palsu, kau tidak akan mati, jika kau asli maka kau akan mati, tidak ada ruginya bagi ku” Tantang Tasim

“Jika aku asli, sniper di gedung sana akan menembak kepala mu, tidak ada untungnya bagi mu”

Tasim terdiam beberapa saat kemudian mendapatkan ide

“Sepertinya, aku tahu cara mengetahui kau asli atau palsu tanpa harus membuat mu terbunuh”

“Apapun itu, turunkan pistolnya, berikan pada ku”

Tasim menjatuhkan pistolnya kemudian menendangnya ke arah Yuli, dia mengambilnya. Ia berjalan pelan kepadanya, dia acungkan pistol ke arahnya sebagai peringatan untuk berhenti tapi ia tetap berjalan tanpa terlihat rasa takut. Sementara itu di luar sana, seorang sniper siap menarik pelatuk jika Tasim melukai Yuli.

“Berhenti!” Bentak Yuli

“Kau tahu Pak Rusli memberikan ku tiga pil?”

“Ya”

“Aku sedang membuat pil keempat”

“Apa maksudnya?”

“Tadi pagi aku merelakan nyawa ku untuk menemui wanita yang ku cintai, untuk bisa bersama dengannya lagi dan merasakan lagi pelukannya, dan sekarang aku akan melakukannya lagi. Shinta.. Kak.. Jika itu kau maka peluklah aku.. aku takut dan membutuhkan mu.. Yuli.. jika itu kau maka tembak lah aku, aku sudah siap mati. Siapapun kau... aku bergerak untuk mendapatkan pelukan yang aku inginkan dan siap mati karenanya”

“Tasim, berhenti! Ini gue Yuli”

“.....”

“Diam! Sekali lagi lu gerak akan gue ledakkan kepala lu!”

Tasim memandangnya dengan senyuman, ia geser lengan yang menodongkan pistol, Yuli tidak tega untuk menembak, ia tidak berkutik ketika dia menggeser lengannya,  jari-jarinya tidak kuat untuk menekan pelatuk, sementara itu Tasim terus maju hingga akhirnya memeluk Yuli, ia senderkan kepalanya di dadanya, ia hirup aroma parfum wanita itu dalam-dalam, ia dorong punggungnya agar pelukannya semakin erat. Ia tidak bisa membedakan yang dirabanya itu asli atau tidak, semuanya terasa nyata baginya, tapi ia tahu satu hal  yang membedakan Yuli dengan Shinta.

“Lu tahu kenapa gue terus maju? Meskipun lu mengancam ingin menembak?”

Yuli tidak bisa berkata apapun, pegangannya pada pistol di tangan kanannya makin melemah.

“Tahun lalu, gue dan Shinta bertengkar hebat, dia pergi ke dapur, memegang pisau dan mengarahkannya ke gue, seperti yang lu lakukan tadi, saat itu gue sadar sudah kelewat batas, gue berusaha mendekatinya tapi dia tetap mengancam jika gue mendekat akan dibunuh, seperti yang lu lakukan tadi, tapi gue terus mendekat dan dia terus mengancam, seperti yang lu lakukan tadi, hingga akhirnya gue berhasil memeluk dia, seperti yang gue lakukan sekarang, dan dia tidak berkata apapun, seperti yang lu lakukan sekarang. Tapi apa yang membedakan? Shinta, semarah apapun dia, dia akan membalas pelukan gue, seperti yang dia lakukan dulu, dia jatuhkan pisaunya , dia belai kepala gue, dia peluk gue dan gue meminta maaf kepadanya, kemudian esok harinya kita kembali mesra. Yuli, maafin gue sudah membuat lu tidak nyaman seperti ini, dan terimakasih telah mengizinkan gue memeluk lu, tubuh yang asli. Dan Yuli, gue tetap siap mati, gue mohon tekan pelatuk itu ke kepala gue, akhirin penderitaan ini, plis, tembak gue sekarang.

“Tasim... maafin gue” Yuli menitikkan air matanya, dia peluk pria malang itu untuk terakhir kalinya

*DUUAAAR!!*

---------------------------------

Lima tahun kemudian

------------------------------------

Pak Rusli sedang meminum segelas anggur di ruang kantornya, ia merayakan kemenangan dan kekalahannya, menang dalam pertempuran bawah tanah membawakan kekalahan berturut-turut, satu persatu agennya meninggal secara tidak wajar, ia mencurigai adanya penghianat tapi belum satupun yang ia dapatkan, siapapun dia, telah memberikan kerusakan yang sangat besar, ia kembali mengingat cabangnya di makasar tempat dulu membersihkan konflik masyarakat, cabang di bandung tempat pembersihan kelompok ekspor ilegal, cabang di bali tempat pembersihan organisasi terroris, dan begitu pula cabang-cabangnya yang lain hancur, kini ia tidak memiliki cabang lagi, kantor tempatnya berada sekarang adalah satu-satunya yang tersisa, dan semua agen yang ada di kantor itu adalah agen yang tersisa, tiga agen terhebatnya yaitu Tasim, Wahyu dan Yuli juga meninggal. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak, datang firasat sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

“Sebuah gedung di Jakarta siang tadi terbakar, puluhan orang meninggal dunia dan sampai sekarang pemadam kebakaran belum berhasil memadamkan apinya, pihak kepolisian menjelaskan penyebabnya adalah kebocoran saluran gas” Suara penyiar berita melaporkan kebakaran dari TV di sebuah bar

“Mau pesan apa?” Tanya pelayan bar

“Martini, please” Jawab seorang pria

“Buat dua Martini, saya yang bayar” Pria itu menoleh, ia mengenal wanita itu, wanita yang sudah lama tidak dilihatnya

“Mau mabuk? Ini masih pagi” Ucap wanita itu kemudian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke atas, ia pandangi lelaki itu sudah banyak berubah dari tampilan dan caranya membawa diri

“Mungkin ya, mungkin tidak, entahlah, apa yang lu lakukan disini?”

“Lu membuat banyak orang marah, termasuk gue”

“Semua orang yang marah ke gue sekarang berada di gedung itu, menunggu jasadnya dibawa keluar, kecuali lu mau ikut berada disitu, gue saranin lu pergi sekarang”

“Negara kita sudah menang Tasim, berkat lu. Kenapa? Kenapa lu membunuh mereka?” Tanya wanita itu sambil menahan tangisnya

“Agar tidak ada lagi Tasim yang lain. Gue yang terakhir, dan lu... lu Yuli yang terakhir” Jawab Tasim, ia masih melihat Yuli seperti saat melihat Shinta, ia melihatnya sebagai tempatnya untuk bermanja, untuk merebahkan kepala, untuk pasrah, untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu tapi rasa itu masih ada hingga sekarang, bahkan ia ragu apakah wanita yang dihadapannya ini halusinasi atau bukan.

“Tasim.. Lu sudah lebih dewasa sekarang.. Gue senang bisa bertemu lu tanpa ancaman apapun. Semuanya karena lu. Tidak ada lagi Pak Rusli, tidak ada lagi outlone, tidak ada lagi agen lainnya. Maafin gue selalu menjauh, tapi sebenarnya gue selalu ada, gue selalu melindungi lu” Setelah negara memenangkan perang dingin dengan kelompok asing, Tasim menjalankan misi gerilyanya memberantas satuannya sendiri, BIN sudah banyak mengirim para pembunuh bayaran untuk menghentikannya, tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuhnya karena Yuli menjaganya dari kejauhan. Ia juga mencintai Tasim, tapi ia tidak bisa mendekapnya selama outlone masih ada, yang bisa ia lakukan hanyalah menjauhkannya dari pembunuh bayaran, bom mobil, penembak jitu, maling, preman dan elemen lain yang bisa membunuhnya.

“Gue gak bisa menggantikan Shinta, gak akan pernah, dia membawa lu keluar dari area buruk hingga menjadi hebat seperti sekarang, dia yang membantu lu, melatih lu, bukan gue. Tapi beri gue kesempatan untuk mengembalikan hubungan itu, gue akan menjadi apapun yang lu mau, gue akan selalu menjaga lu seperti yang selalu gue lakukan. Kita harus pergi sekarang. Memulai hidup baru di suatu tempat”

“Semua agen, semua kandidat, semua installer, semua caller, mereka sudah gue urus. Tidak ada lagi yang perlu kita takutkan”

“Lu tahu kenapa BIN tidak memberikan Pak Rusli nama lu? Karena mereka sengaja ingin menghampuskan dia dengan cara membiarkan lu mendekatinya. Kini setelah dia meninggal, mereka membentuk operasi lain, dan, gue merasakan ada ancaman di sini sekarang”

Di luar bar, polisi sedang mengatur lalu lintas seperti biasa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan senapan mesin dari bar, kaca-kaca pecah, para pejalan kaki terluka, polisi itu berlindung, ia mencari pelaku penembakan sambil mengontak satuannya untuk mengirimkan bantuan, sementara itu tembak-menembak masih berlangsung, kemudian satu persatu orang terlempar keluar dari lantai dua ke jalanan, orang-orang yang terjatuh itu memegang senjata api dan senjata tajam, setelah bantuan datang, polisi masuk ke bar, lantai tiga meledak, melemparkan lebih banyak orang ke jalanan.

Di tempat lain, mobil hitam melaju cepat melewati mobil-mobil lain di jalan raya, si pengemudi memastikan tidak ada yang mengikutinya, si penumpang memegang pistol di tangannya bersiap menembak ban mobil yang ia curigai.

“Yuli..”

“Kristina.. nama asli gue Kristina”

“Kristina... i love you kak”

“I love you to ade ku sayang”

THE END

Keterangan

Outlone : Operasi pelatihan sipil untuk mempersiapkan masyarakat mempertahankan negara

Kandidat : Orang yang terpilih secara sadar atau tidak dalam operasi Outlone

Sleeper Agent : Kandidat yang sudah lulus uji coba yang ditempatkan di daerah-daerah yang rawan konflik

Installer : Agen yang ditugaskan menanam bibit imajinasi pada kandidat

Konverter : Halusinasi yang melatih kandidat hingga siap direkrut sebagai sleeper agent

Caller : Agen lapangan yang kapanpun bisa menggunakan kandidat atau sleeper agen untuk membantu mereka

Contohnya : Agen Wahyu mendapatkan hak sebagai Caller, ia menggunakan kandidat bernama Tasim untuk menyelamatkan installer bernama Kristina