Tampilkan postingan dengan label Cinta Pertama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta Pertama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Mei 2020

SaLam BLogger !!!

Untuk semua yang tertarik mengirimkan cerita ke blog cerpen ini, dimohon agar kedepannya dapat menggunakan tata bahasa yang simple dan mudah dipahami. Saya juga berharap agar cerita-cerita selanjutnya juga jika bisa adalah cerita-cerita yang mungkin bisa menjadi pelajaran atau bermanfaat bagi orang banyak. Artinya cerita-cerita yang dimaksud adalah cerita-cerita yang walaupun fiksi (Bukan kisah nyata) tapi juga bukan cerita yang di luar logika.

Saya berharap semoga blog cerpen ini bisa menjadi blog yang mampu membuat penulis-penulis amatir dan pemula seperti kita belajar lebih banyak lagi.

Silahkan isi kolom komentar untuk perkenalan satu sama lain atau ikuti forum blog cerpen di menu FORUM. Siapa tau masing-masing dari kita dapat belajar dari satu sama lain.

Perlu diperhatikan bahwa semua tulisan yang masuk ke blog cerpen, selalu saya baca terlebih dahulu sebelum saya posting. Namun yang perlu anda ketahui adalah saya tidak akan pernah sama sekali mengubah satu hurufpun dalam tulisan-tulisan yang anda kirimkan. Meskipun sudah melalui proses editing, tetap tidak saya rubah. Karna proses editing yang di maksud di sini hanyalah membaca apakah tulisan yang dikirimkan boleh atau pantas ditayangkan dalam blog cerpen.

Apabila ada satu kalimat saja (Meski hanya satu kalimat) yang tidak sesuai dengan aturan yang saya buat, maka tulisan tidak akan saya posting.

Jadi, semua tulisan/artikel dalam blog cerpen ini yang BUKAN KARYA SAYA bukanlah menjadi tanggung jawab saya apabila ada kesamaan nama, tokoh, atau orang manapun yang tanpa sengaja ada dalam tulisan tersebut. Semua tulisan selalu saya sertakan nara sumbernya (Kecuali jika memang tidak ada).

untuk itu silahkan baca TOS atau ATURAN yang berlaku dalam Blog Cerpen ini sebelum mengirimkan tulisan anda.

Demikian untuk diketahui bersama.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih atas sumbangan cerita yang sudah dikirimkan ke blog cerpen ini.

Wassalam

Upay

Minggu, 17 Mei 2020

Cinta Pertama Eps.4 (Ending Story)

Rima terdiam mendengar ucapan Michele. Bagaimanapun Ia memang tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Meski lama tak bertemu, namun Tama tak pernah hilang dalam pikirannya. Namun begitu, Jamie yang setiap hari datang dan selalu ada untuk mereka juga tak bisa Ia singkirkan dari perasaannya begitu saja.

Terlebih lagi selama tahun-tahun belakangan ini, Jamie selalu menunjukkan sosok seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab bagi Michele. Sejak Michele kecil, meski mereka tak pernah menikah, namun jika ada acara kunjungan orangtua atau acara kekeluargaan lainnya di sekolah Michele, Jamie pasti menyempatkan diri menemani Rima dan Michele untuk menghadiri acara-acara tersebut.

Bagaimanapun, mereka sudah sangat terlihat seperti satu keluarga yang utuh. Walau di mulut Rima selalu menolak Jamie. Namun di relung hatinya yang paling dalam, perlahan-lahan Ia mulai mengagumi sosok Jamie sebagai laki-laki dewasa yang berhasil, penuh tanggung jawab, dan berwibawa sebagai seorang Ayah.

Rima tak tau apa yang harus Ia jawab atas pertanyaan Michele. Apakah sekarang ini Tama masih ada dalam hatinya? Ataukah tempat Tama perlahan-lahan sudah berhasil digantikan Jamie. Rima sendiri masih bingung.

"Sayang, mommy gak bisa jawab pertanyaanmu yang satu itu sekarang dan disini. Tapi Mommy janji, Mommy pasti akan menjawabnya nanti".

Begitu jawaban Rima atas pertanyaan Michele. Mendengar jawaban itu Jamie seakan mendapat kesempatan. Ia pikir, jikalah Rima masih sangat mencintai Tama. Seharusnya Ia mudah menjawabnya. Tapi dia bingung. Mungkinkah Ia sudah sedikit membuka hatinya untukku?

Begitu pikir Jamie saat itu.

"Michele, Daddy pamit dulu ya. Besok Daddy datang lagi seperti biasa. Kalo kamu mau pergi ke suatu tempat, Daddy temani kamu besok. Hari ini sepertinya Mommy butuh istirahat. Jadi kita gak usah ke mana-mana dulu supaya kamu bisa temani Mommy".

"Ok Dadd, it's okay. Besok Daddy datang aja. Aku belum tau mau ke mana. Om Tama, makasih banyak selama ini masih menanti Mommy. Meskipun begitu, Mommy belum bisa jawab dan kalaupun Mommy masih mencintai Om Tama. Apakah Om Tama bersedia kembali pada Mommy?".

Tiba-tiba Michele bertanya pertanyaan yang Tama sendiri bingung menjawabnya. Belasan tahun Ia menanti. Jujur saja karna cintanya yang sangat besar dan dalamlah yang membuat Ia masih saja sendiri sampai detik ini. Namun begitu, kini Rima telah menjadi seorang Ibu. Tama juga harus memikirkan bagaimana perasaan Michele. Maka Iapun menjawab,

"Michele, terus terang rasa cinta Om ke Mommy gak pernah hilang sampai detik ini. Om masih sangat mencintai Mommy kamu. Tapi satu hal yang harus kita pikirkan adalah bagaimana perasaan Mommy kamu terhadap Om. Bagaimanapun, Ia bebas memilih. Itu haknya. Lagipula Om sudah cukup mendapatkan jawaban kenapa selama ini Mommy kamu menghilang begitu saja dari kehidupan Om. Setidaknya pertanyaan itu telah terjawab".

Akhirnya pembicaraan panjang lebar itu ditutup dengan tandatanya tentang perasaan Rima terhadap Tama dan Jamie. Namun begitu, Jamie masih belum menyerah. Ia tetap bertahan pada pendiriannya meluluhkan hati Rima.

"Tam, apa benar lo akan membebaskan Rima memilih?". Tanya Jamie penasaran.

"Kenapa lu tanya itu? Terus terang Jame, gue masih kesel banget sama lo. Belasan tahun lo renggut dia dari gue dengan paksa. Kalo gue gak punya iman, udah gue bunuh lo di sini sekarang juga. Tapi mengingat kebahagiaan Rima yang hanya dia sendiri yang bisa menentukan, maka gue mencoba berbesar hati untuk melepaskan dia jika dia lebih milih lo. Tapi.... emang lo masih aja cinta sama dia? Lu kan gampang pindah hati".

"Itu dulu Tam. Dulu sekali. Saat kita masih sama-sama sekolah, masih ABG labil yang belum memikirkan masa depan. Kalo gue berniat menyerah untuk dapetin hati Rima, udah gue lakuin sejak dulu. Tapi gue gak pernah sedetikpun ninggalin Rima dan Michele karna mereka udah jadi bagian dari hidup gue. Meski pada akhirnya dia lebih milih lo Tam, gue akan tetap ada buat dia".

Entah apakah perkataan Jamie itu betul-betul dari hatinya atau bukan, yang jelas sepertinya Tama kali ini mengerti betapa besar rasa cinta Jamie kepada Rima. Yang patut disayangkan hanyalah, kenapa dia harus menggunakan cara paksa seperti itu hingga michele hadir di kehidupan Rimayang pada akhirnya merenggut juga kebahagiaan Tama.

*****

"BRUK....." Buku dan dokumen-dokumen yang di bawa gadis itu terjatuh berserakan. Tama membantunya memunguti dari lantai. "Maaf, maaf Mba. Saya betul-betul ngga sengaja" .

"Iya, gapapa Mas, saya juga meleng jalannya". Jawab perempuan itu dengan ramah.

"Lho, Tama?". Tiba-tiba saja perempuan itu menyebut nama Tama.

Tama terdiam membatu sambil memandang wajah perempuan itu. "Siapa ya? Koq kaya familiar banget wajahnya. Tapi agak-agak lupa". Jawab Tama kemudian.

"Ya ampun Tama apa kabar? Pasti lupa ya? ini gue Tita. Temen deketnya Rima dulu".

"Astagaaah Tita. Ya ampuun pantes yah gue gak ngenail lo. Berubah banget lo. Emang yah cewe itu semakin dewasa justru semakin cantik. Sampe pangling lho gue".

"Ah bisa aja lo. Ngomong-ngomong udah berapa lama ya kita gak ketemu. Lo udah nikah? Sama Rima kah? Udah punya anak berapa?".

Pertanyaan-pertanyaan Tita yang terkesan memburu membuat Tama hanya tersenyum kecil. Akhirnya mereka menyempatkan diri mengobrol di cafe. Tita menceritakan semua kegiatannya setelah lepas SMA. Dia kuliah di kedokteran, sekarang sudah berhasil jadi dokter bedah yang hebat. Tapi sayangnya, masih jomblo.

"Eh Tam, gue inget banget lho. Waktu lo sibuk banget nyariin Rima. Pada akhirnya sampe kita lepas SMA, gue tetep aja lost contact sama dia. Apa kabar dia Tam?".

"Fyuuuh ceritanya panjang Ta. Dan asal lo tau, Rima sudah punya satu anak gadis, Gue masih jomblo, dan kita baru aja ketemuan kemarin di rumahnya".

"What? Rima punya satu anak? udah gadis? dan lo masih jomblo? Tungu...tunggu.... gagal paham nih gue. Maksudnya Rima nikah bukan sama lo Tam? Serius lo? Kalian kan pasangan paling hits di SMA. Masa sih kalian gak jadi. Dan anak gadisnya Rima itu emang udah gadis banget?".

"Yaah begitulah Ta. Umurnya hampir 17 tahun. Mungkin sebentar lagi ulangtahunnya yang ke 17". Tama berbicara dengan tatapan mata yang terlihat sangat sedih dan terluka. Tita menyadari hal itu. Namun tetap saja Ia masih penasaran.

"Oo My God Tama. Kalo putrinya itu udah hampir 17tahun, jadi kapan Rima menikah? Umur berapa Rima nikah? Jangan bilang waktu Rima menghilang itu dan gak datang-datang lagi ke sekolah adalah saat dia mengandung putrinya yang mau 17tahun itu? Dan sekarang lo masih jomblo. Aduh.. aduh Tama gue gagal paham. Gimana dong inih. Gue jadi penasaran".

"Mmmhhh... gimana kalo kita main aja sekalian ke rumah Rima. Kan lo udah lama banget gak ketemu dia. Ya kan?".

Saking penasarannya Tita dengan kisah hidup Rima dan Tama, maka Tita menyanggupi ajakan Tama. "OK, kapan kita jalan? Hari ini?".

"Wooow, buru-buru banget. Emang gak ada urusan lagi hari ini? Biasanya kan dokter super sibuk". Tanya Tama sambil sedikit meledek.

"Ah nggak laah, gue kan cuma nanganin operasi-operasi besar yang udah terjadwal aja di Rumah Sakit. Kebetulan hari ini gak ada jadwal".

"Ok, yok kita jalan". Ajak Tama kemudian. Akhirnya mereka menuju rumah Rima. Tita terlihat sekali tidak sabar bertemu dengan sahabatnya itu. Betapa rindu Ia dengan Rima. Sahabat baiknya semasa SMA.

Singkatnya akhirnya mereka bertemu. "Ya ampun Riiim, gila ya kangen banget gue sama lo. Sumpah masih cantik abiss seperti biasa Non Rima yang satu ini". Tita terus saja berbicara sambil memeluk sahabatnya itu di ambang pintu rumah Rima.

"Ya ampun Taa... gue juga gak nyangka ketemu lo lagi". Sahut Rima kemudian.

"kalo bukan karna gak sengaja si Bapak ini nabrak gue di toko buku, gak bakal yah kita ketemuan". Kata Tita lagi.

Taka lama berselang Michele muncul dari balik pintu. "Moom, ada siapa?". Tanya Michele.

"Hai, ini michele?". Tanya Tita kepada Michele yang baru muncul dari balik pintu.

"Hai tante, iya aku Michele. Lho ada Om Tama juga. Ooo pacarnya Om Tama ya?". Celetuk Michele kemudian.

Semuanya hanya tersenyum-senyum sambil menunduk. "Eh masuk yuk, masa sih kita terus-terusan ngobrol di depan pintu begini". Ajak Rima berlanjut.

Akhirnya mereka ngobrol dengan santai cukup lama. Di halaman belakang rumah Rima mereka ngobrol sambil bersantai menikmati udara cerah. Rima menceritakan semua yang terjadi selama hidupnya hingga saat ini. Tita jelas sangat-sangat terkejut. Karna tidak bisa dipungkiri dulu Tita sempat menaruh hati pada si bule tampan Jamie. Namun sosok Jamie yang terkenal sangat playboy membuat Tita mundur teratur dan membuang jauh-jauh pikirannya terhadap Jamie.

Namun tak disangka, Jamie malah betul-betul jatuh hati pada sahabatnya ini. Meskipun dengan cara yang cukup sadis, setidaknya itu sudah menjadi bagian dari masa lalu Rima yang pahit. Entah kenapa Tita sedikit menyadari perasaan Rima. Setiap kali Ia menceritakan tentang Jamie atau bahkan hanya menyebut namanya, binar-binar di matanya tidak dapat disembunyikan.

Kemungkinan besar Jamie sudah berhasil mencuri hati Rima. Tapi Ia tak sampai hati mengatakan itu kepada Tama. Karna seperti yang Rima ceritakan bahwa Tama masih sendiri dan terus mencarinya hingga kejadian seminggu yang lalu di rumahnya.

Tidak berapa lama kemudian Jamie datang. Memang hari ini jadwal Jamie mengunjungi Michele putrinya. "Daddy.....". Teriak Michele dari kejauhan.

"Hai sayang...". Jawab Jamie kemudian. "Woow.... ada apa ini. Sedang kumpul". Lanjut Jamie.

"Hai Jame, masih inget gue?". Tanya Tita sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Ya tentu dong Tita. Masa sih lu gak gue kenal. Lo itu sahabat dari perempuan yang paaaling gue perhatiin. Kalo gue mau curi hati Rima, kan gue harus dekatin temannya juga. Waktu itu gue mau ngobrol sama lu untuk cari tau tentang Rima. Tapi lo terus aja ngeles. Menghindar teruuus". Jawab Jamie kemudian.

Mereka semuapun tertawa. Tak disangka suasana hari ini sangat menyenangkan. Michele kelihatan bahagia sekali melihat Tama dan Jamie mengobrol santai berdua tanpa masalah sambil memandangi dua perempuan yang juga tengah asik mengobrol yang tak lain adalah Rima dan Tita. Michele menyandar pada batang pohon besar sambil sesekali menatap para orangtua yang sedang asik berbincang.

Dalam hati kecil Michele berharap jika Mommy and Daddy dapat bersatu. Namun tetap saja, itu semua hanya Rima yang bisa memutuskan. Akan membuka hati untuk Jamie, ataukah kembali pada Tama.

Tak terasa hari mulai gelap. Tiba-tiba saja Michele yang beberapa jam lalu baru masuk ke dalam rumah keluar lagi dengan membawa beberapa wadah dan bungkusan daging dari dalam kulkas. Dibantu mbok minah yang membawakan alat panggang.

"Mom, Dad, Om Tama, Tante Tita, udah mulai gelap dan sebentar lagi waktu makan malam. Gimana kalo kita sekalian barbekyu'an aja?". Teriak Michele sambil menunjuk semua peralatan panggang dan makanan mentah dihadapannya.

"Ide bagus sayang". Jawab Rima kemudian. Merekapun akhirnya bersama-sama mulai memanggang sambil bercengkrama. Sesekali tertawa karna candaan-candaan yang terlontar. Suasana hari itu sungguh luar biasa menyenangkan.

Jamie dan Tama berdiri di bawah pohon besar. Sambil menatap ke arah para wanita yang asik memanggang daging steak sambil tertawa bercanda mereka berdua mengobrol.

"Tam, apa lo masih bener-bener cinta sama Rima? Apa lo masih mau berusaha untuk kembali pada Rima?". Tanya Jamie tiba-tiba.

"Usaha gue udah selesai Jame, sekarang tinggal menanti keputusan Rima. Apa dia bersedia balik sama gue atau justru dia pilih lo". Jawab Tama kemudian.

Jamie merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia memperlihatkannya pada Tama sambil berkata "Sebetulnya hari ini untuk yang ke sekian kalinya gue akan coba lagi melamar Rima dengan cincin ini. Tapiii.... dengan kehadiran lu sekarang. Sepertinya itu mustahil".

Jamie tersenyum sedikit kecut. Sebetulnya sejak awal dia datang bertemu Rima. Ia sudah menyadari betul bahwa cinta Jamie sudah tumbuh di hati Rima. Tama tau betul tatapan Rima kepada Jamie. Sama seperti tatapannya dulu kepadanya ketika mereka masih bersama. Sekarang tatapan penuh cinta itu sudah tidak terpancar lagi kepadanya. Ia menyadari bahwa tatapan itu kini sudah jatuh kepada Jamie.

"Kenapa jadi putus asa?". Tanya Tama kepada Jamie yang masih memegang kotak cincin ditangannya. "Mending kita coba aja. Lo lamar dia sekarang. Spertinya ini waktu yang tepat".

"Apa? Gue lamar Rima? Emang lo gak masalah Tam? Gimana dengan perasaan lo?".

"Jame, kita sampai detik ini masih gak tau siapa yang Rima cinta. Dengan cara lu ngelamar dia sekarang, mungkin kita bisa dapat jawabannya. Ayolaah beranikan diri. Kalopun nanti dia nolak menikah sama lo. Artinya gue masih punya kesempatan untuk menarik kembali Rima ke hidup gue".

Tidak berapa lama kemudian makan malam steak yang dipanggang para wanita telah selesai dibuat. Meja-meja dan kursi santai di halaman belakang rumah Rima lebih nyaman digunakan daripada harus masuk ke meja makan di dalam rumah. Sehingga mereka memutuskan makan malam di sana.

Jamie dan Tama sudah sepakat, setelah makan selesai, Jamie akan mencoba melamar Rima dihadapan kami. Sebagai tanda ketulusannya dan keseriusannya Ia berani mengutarakannya dihadapan kami.

"Mmhh.... maaf mohon perhatiannya sebentar." Kata Jamie dengan wajah agak ragu sambil menatap ke arah Rima dan sesekali menatap Tama. Mereka semua spontan menengok ke arah Jamie. Penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Jamie.

Tiba-tiba saja Jamie mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah, membuka kotak kecil itu kemudian menyodorkan ke hadapan Rima sambil  berkata "Rima, untuk yang kesekian kalinya dan aku akan terus berusaha mempertanyakan ini. Maukah kamu menikah denganku?."

Mereka semua terkejut, terutama Michele. Michelle menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia betul-betul tak menyangka Daddy melamar Mommy dihadapannya bahkan saat masih ada Om Tama dan Tante Tita.

Rima terkejut bukan main. Ia juga tak menyangka dengan pernyataan Jamie. Terlebih lagi ada Tama dihadapannya. Sesekali Ia menatap Tama. Demi mencari tau apakah Tama akan terluka dengan jawabannya.

"Mmmhhhh..... sebelumnya aku mau minta maaf sama Tama. Aku sama sekali ngga pernah nyangka kalau belasan tahun ini kamu masih terus mencariku. Aku sama sekali ngga nyangka kalau kamu masih tetap sendiri menungguku. Terima kasih atas semua pengorbanan kamu selama ini Tama.

Aku juga mau bilang ke Jamie kalau selama ini kamu sudah menjadi Ayah yang sangat baik bagi Michelle. Kamu sangat bertanggung jawab pada kami meski aku terus menolak kehadiranmu dan sering sekali melukai perasaanmu dengan kalimat-kalimat penolakanku yang mungkin sedikit kasar. Aku hargai usaha dan jerih payahmu untuk bertanggung jawab atas kami berdua. Aku dan Michelle. Sampai kemarin aku masih ngga paham kenapa Jamie terus bertanggung jawab pada kami hingga saat ini. Tapi sekarang aku yakin kalau itu semua karna kamu memang mencintai aku dan Michelle. Untuk itu aku sangat menghargai semuanya."

Keadaan hening sejenak setelah Rima mengeluarkan kalimat panjang tersebut. Ia menarik nafas panjang. Yang lain semakin memperhatikan Rima. Penasaran dengan jawabannya.

"Tama, maafkan aku sekali lagi, karna aku menerima lamaran Jamie hari ini."

Seketika itu juga Jamie dan Michelle tersenyum lebar bahagia. Tama dan Tita ikut tersenyum. Tama mengerti dengan keputusan Rima, Bagaimanapun mereka sudah dewasa dan harus sesegera mungkin mengambil langkah untuk kehidupan lebih baik kedepannya.

Semua bahagia, akhirnya diputuskanlah tanggal pernikahan Rima dan Jamie. Mereka menikah di bulan depan saat putri mereka telah tumbuh besar. Memang aneh. Tapi inilah hidup. Tidak ada yang bisa menebak.

Saat hari pernikahan mereka, Tama dan Tita hadir bersamaan. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mereka sudah semakin dekat. Jamie dan Rima juga tidak menyangka jika mantan kekasih dan sahabatnya itu pada akhirnya memutuskan untuk menikah juga.

Ending yang sangat bahagia bagi semuanya. Jamie dengan Rima dan Tama dengan Tita. Michelle yang paling bahagia dengan semua yang terjadi. Sungguh, waktu yang berharga tidak dapat diputar kembali. Namun memperbaiki hidup, terlebih lagi memperbaiki hubungan dengan orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita, selalu bisa kita lakukan. Berlapang dada menerima kehendakNya dan berbahagialah, maka hidup akan senantiasa damai.

*Selesai*

Sabtu, 16 Mei 2020

Rumah Tangga

Pic from google
Aku ini laki-laki biasa awalnya. Lulus sekolah dengan nilai cukup. Tidak kurang juga tidak lebih. Sempat kuliah namun gagal. Tapi tidak menyurutkan langkahku untuk tetap hidup damai. Kemudian aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta yang cukup besar. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana mulanya, aku bertemu dengan perempuan ini. Perempuan yang sangat-sangat biasa. Wajah biasa-biasa saja penampilanpun sederhana.

Dia juga bekerja di perusahaan swasta besar di kota ini. Entah sejak kapan kamipun dekat. Karna perhatiannya yang luar biasa membuatku nyaman, akupun jatuh hati padanya. Walaupun aku tau dia biasa saja. Ya, karna dia tidak cantik. Sedangkan aku yang digilai banyak perempuan, mungkin seharusnya mendapatkan gadis yang super cantik agar serasi denganku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menyayanginya. Karna Ia membuatku nyaman dengan perhatiannya. Singkat cerita kamipun menikah. Sebetulnya ada kendala saat kami memutuskan untuk menikah. Ya, kendala itu adalah soal pekerjaanku yang sebetulnya saat itu statusku masih kontrak. Tapi calon bidadari surgaku ini rupanya tidak ambil pusing. Ia katakan bahwa harta bisa dicari bersama setelah menikah. Aku makin meleleh padanya. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Yang mencari laki-laki mapan untuk dinikahi. Padahal dia sendiri cukup berhasil dalam karirnya. Harusnya dia punya gengsi untuk memilih laki-laki mapan. Mungkin Ia hanya terpesona pada tampangku. Begitu kupikir saat itu.

Ok, cerita kusingkat-singkat aja ya. Akhirnya kami menikah, setahun kemudian kami memiliki seorang putri. Dan benar saja, ditahun ini kontrak kerjaku habis. Jadilah aku pengangguran. Bapak rumah tangga. tapi tidak full, Karna tetap saja yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah istriku. Namun begitu, aku membantunya menjaga putri kami. terlebih lagi, saat putri pertama kami lahir, istriku gelagapan, bingung mengurus baby. Tentu saja, karna sejak kecil Ia di manja oleh Ayah Ibunya. Sebetulnya aku yakin Iapun tidak terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Terbukti Ia lebih sering bermalasan. Jika sudah kepepet, barulah Ia kerjakan. Seperti mencuci piring misalnya. Kalau piring sudah habis, terpaksa Ia mencuci piring, lantai sudah berdebu, barulah Ia menyapu. Itulah istriku.

Tapi tidak mengapa. Karna Ia sangat sayang padaku. Aku tau itu. Aku ini sangat berarti baginya. Meski aku pengangguran, Ia tetap melayaniku dengan sabar. Kau tau, aku yang membersihkan baby kami jika Ia pup, memandikannyapun terkadang Ia malas. Alasannya masih ngeri karna masih terlalu kecil. Pokonya Ia betul-betul Ibu pemula yang buruk. Tapi tak apa. Nanti Ia pasti akan terbiasa. Aku terus menganggur selama setahun. Istriku tak mempermasalahkan itu, walaupun sesekali Ia sering bertanya dalam senyum dan wajah sedihnya. Kapan yah kamu dapat kerja lagi?.

Aku hanya terdiam. Karna dari sekian banyak lamaran yang kumasukan secara online di beberapa perusahaan, belum ada satupun panggilan yang kuterima. Aku tau, Ia bertanya seperti itu karna walau kami memiliki gaji dari pekerjaannya, tapi itu tidak mencukupi. Meski Ia yang bekerja mencari nafkah, Ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah, lambat laun Ia mulai lihai merawat baby kami. Pada akhirnya aku sedikit menyadari. Semua Ia lakukan untuk ruah tangga kami. Mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah, juga merawat baby. Lalu aku apa? Ngapain? Yah, inilah aku. Suami yang kurang peka. Hanya suka tidur, menonton TV dan bermain game.

Tapi Alhamdulilah. Tak berapa lama akupun mendapatkan pekerjaan. Gajinya tidak besar, tapi lumayan untuk kehidupan kami ke depannya. Istriku bahagia. Itupun karna ternyata Ia hamil lagi. Putri kami akan segera memiliki adik. Kupikir akhirnya kehidupan kami kembali normal. Karna aku kini telah bekerja lagi. Tapi memang yang namanya manusia, selalu saja tak pernah merasa cukup. Pada akhirnya bukan mensyukuri pekerjaan yang telah susah payah kudapatkan, aku malah mengeluhkan gajiku yang justru lebih rendah dari gaji istriku. Seringkali aku ungkapkan rasa maluku padanya karna memiliki gaji yang tidak seberapa dibanding gajinya.

Aku merasa gagal lagi sebagai seorang suami. Namun begitu, istriku tetaplah istriku yang sederhana, tidak cantik, namun sangat-sangat mencintaiku. Tentu saja aku tau dia sangat mencintaiku. Jika tidak, mungkin telah lama Ia pergi meninggalkanku karna kegagalanku. Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Aku bekerja dengan sangat giat dan rajin. Pergi pagi pulang terlalu larut. Namun tetap saja, tak ada yang berubah. Sampai-sampai kami jadi sering bertengkar kecil karna masalah waktu.

Ya, waktu kerjaku yang sangat tidak sebanding dengan gajiku. Gaji minim namun waktu bekerja tidak wajar. Aku terus berusaha meyakinkan istriku untuk bersabar, meski terkadang Ia berteriak padaku karna kesal setiap hari pulang terlalu larut. Aku hanya bisa menerima keadaan itu. Karna sesungguhnya Ia benar. Gajiku tidak mencukupi kebutuhan kami, tapi aku sama sekali sudah tak punya waktu luang untuk sekedar jalan-jalan seperti yang sering kami lakukan dulu. Itu semua karna jam kerjaku.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kesempatan. Alhamdulilah, aku berkesempatan pindah ke perusahaan yang lebih baik. Meski gaji hanya sedikit saja naiknya, tapi aku yakin dengan kemampuan, pengalaman, dan tekadku, aku pasti akan berhasil diperusahaan baru ini. Jam kerjaku tidak banyak berubah, masih sering pulang malam. Kadang aku pulang, istri dan anak-anakku sudah terlelap, pagi saat aku berangkat, istriku sudah lebih dulu berangkat ngantor, sementara anak-anak kami titipkan pada mertuaku.

Perlahan tapi pasti, aku semakin berhasil. Gajiku perlahan naik. Alhamdulilah lama-lama mendekati gaji istriku. Akupun terus mengejar karir. Demi bisa mencukupi kehidupan keluarga kami. Semakin lama aku semakin lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Memang karna pekerjaanku yang menyita banyak waktu kerjaku. Aku minta pengertian istriku untuk bersabar. Ia mengerti, walau terkadang suka ngambek. Aku maklumi itu.

Gaji kami yang perlahan mulai mencukupi, rupanya belum dapat mengurangi beban istriku. Ia mengerjakan semuanya. Bekerja juga, pekerjaan rumah, mengurusku, megurus anak-anak. Entah bagaimana Ia melakukan itu semua dengan kesabarannya. Seharusnya aku lebih sering memujinya. Tapi aku bukanlah laki-laki type romantis yang suka memuji istri. Entahlah, aku merasa itu hal yang kurang penting. Meski banyak artikel yang sering kubaca mengatakan bahwa pujian-pujian kecial suami terhadap istri sangatlah bermakna bagi kehidupan rumah tangga, terlebih lagi bagi si istri. Namun tetap saja aku kurang pandai memuji.

Parahnya lagi, semakin hari aku semakin malas membantunya mengerjakan pekerjaan ruman. Disaat Ia sedang berbenah lantai yang berdebu, penuh sampah berserakan, bahkan mainan anak-anak, aku hanya asyik memainkan game di gadgetku. Tak membantunya sama sekali. Padahal setelah selesai mengerjakan itu, masih banyak tumpukan pakaian yang mesti dicuci dan disetrikanya. Kami bukan tidak ingin memiliki ART, hanya saja jaman sekarang sulit sekali mendapatkan ART yang cocok. Jadilah sampai sekarang semua pekerjaan di handle istriku. Tak satu kalimat pujianpun bisa keluar dari mulutku. Bahkan sekedar bilang bahwa Ia pahlawan kami, wonderwoman yang di utus Allah mengurus rumah ini. Kalimat itu hanya ada dalam kepalaku saja tanpa pernah kukatakan padanya.

Bahkan tak jarang aku malah mencapnya pemalas ketika sesekali Ia hanya terlihat merebahkan diri di kasur tanpa berbuat apa-apa. Piciknya aku. Jika Ia pemalas, lalu aku apa?

Sekarang kehirupan kami terasa sudah jauh lebih baik. Meski kami delapan tahun kemudian telah dikaruniai tiga orang anak, tapi kami hidup cukup. Masih dari gajiku dan istriku. Istriku belum berani memutuskan untuk resign. Akupun demikian. Belum yakin jika Istriku tidak membantuku mencari nafkah. Lambat laun gajiku sudah jauh melebihi gaji istriku. Yah beginilah naluri lelaki. Gaji besar sedikit, merasa mencukupi, kemudian jadi betul-betul pemalas membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak ada satupun pekerjaan rumah yang aku bantu. Semua hal benar-benar istriku yang mengerjakan. Sedangkan aku bahkan hanya bisa cuek menanggapi keluhannya ketika Ia sedang mengeluh capek. Yah inilah aku. Sampai pada suatu ketika, aku dihadapkan pada cobaan berat yang aku tidak menyangka sama sekali akan terjadi.

Istriku yang selama ini kuanggap sabar, melayaniku sepenuh hati, merawat anak-anak kami, yang aku yakin Ia sangat mencintaiku lebih dari dirinya, kehilangan kesabaran. Aku melihatnya memegang kertas itu. Lembaran kertas yang membuat jantungku serasa ingin berhenti.

Ia tidak pernah membahas apapun tentang pernikahan kami selama ini. Keluhan-keluhannyapun tidak pernah membahas tentang perceraian. Aku shock melihat Ia memegang kertas bertuliskan "Pengadilan Agama. Pengajuan Cerai". Tak sanggup berkata-kata rasanya.

Yang membuatku bingung, kenapa Ia membawa-bawa kertas itu dengan wajah santai seperti tidak ada perasaan apa-apa. Dan kenapa Ia belum juga membicarakannya denganku. Ya Allah, apa ini akibat dari kemalasanku? Akibat dari sikap cuekku yang berlebihan? Tak pernah sekalipun memujinya, bersikap seolah yang Ia lakukan untuk keluarga ini hal yang biasa-biasa saja. Apakah pada akhirnya kesabarannya telah habis?

Habis dimakan semua pekerjaan kantor, rumah, mengurusku, dan juga anak-anakku? Ya Allah kenapa dia diam saja sampai detik ini. Ia memasukan lembaran kertas itu ke laci documen dalam lemari pakaian. Tanpa berkata apa-apa. Hatiku tegang, jantungku dag dig dug. Menebak-nebak apa yang akan Ia katakan padaku?

"Pah, kita cerai saja ya?"

"Pah, aku sudah gak tahan dengan sikap cuekmu".

"Pah, kita sudahi saja".

"Pah, aku lelah. Kita selesai saja ya".

Aku menduga-duga sambil mengucurkan keringat dingin. Tapi anehnya, sampai malam hari waktunya kami tidur, Ia tidak juga membicarakannya. Bahkan saat makan malam. Sikapnya masih seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.

Ya Allah, andai ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini semua. Akhirnya malam semakin larut. Ia tertidur. Tertidur tanpa membicarakan perceraian yang sedang Ia siapkan. Rasanya aku ingin sekali melihat lembaran kertas itu. Tapi rasa takut dan kecewa lebih besar dari rasa penasaranku akan kertas itu. Karna jelas-jelas judul kertas itu Surat Pengajuan Cerai.

Pagipun tiba, aku yang jadi sulit tidur nyenyak, bangun dengan wajah kusut. Istriku seperti biasa panik. "Lho pah, koq nukanya pucet, kantung mata papah hitam sekali. Kenapa? Papah sakit?". Tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng kemudian kembali menarik selimut. Hari itu istriku sedang cuti. Itu sebabnya Ia masih dirumah. Biasanya Ia berangkat lebih pagi dariku.

Kuputuskan untuk berangkat lebih siang. Karna merasa tidak enak badan. Aku yang workaholic ini memang tidak mungkin mengajukan cuti, meski sakit sekalipun. Paling-paling aku hanya ijin datang siang sampai badanku terasa enakan.

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah kami berbunyi "Ting Tong". Istriku beranjak ke lemari pakaian, mengambil kertas itu. Kertas yang membuatku tak dapat tidur semalaman.

"Lho mah, kertas itu?". Tanyaku sepotong-sepotong.

"Ooh ini, iya nih kemaren pengacaranya Mba Nida datang ke rumahnya, tapi Mba Nidanya lagi gak ada. Jadi dititipin ke aku. Akhirnya Mba Nida memutuskan pisah dari Mas Seno lho Pah. Sebentar ya Pah, aku ke depan dulu kasihkan surat ini ke Mba Nida".

Iapun pergi berlalu membawa kertas itu bersamanya unutuk diserahkan kepada yang punya.

Aku terdiam, bengong tanpa kata. Kemudian tertawa kencang hingga mengagetkan istriku yang masih di depan menutup pintu karna Mba Nida langsung pulang begitu menerima surat itu.

"Pah, apa yang lucu? Koq tertawa sampai terdengar ke ruang tamu?". Tanyanya padaku yang masih menyeringai lebar mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku bingung mau jawab apa. Mau bohong tapi gak kepikiran bohong apa. Jadilah aku ceritakan semuanya. Dari awal aku melihat dia membawa-bawa kertas itu sampai pagi tadi surat itu diserahkan. Aku ceritakan bagaimana aku menduga-duga yang akan Ia katakan padaku tentang perceraian.

"Hahahahahah........". Iapun ikut tertawa. Ia tertawa sangat lepas, sangat bahagia. Baru kali ini aku lihat tawanya yang begitu mekar. Maka akupun bertanya. "Ih Mama koq ketawanya gitu amat? Seneng banget ya ngetawain Papah yang bodoh ini?".

Tapi jawabannya membuatku terkejut. Rupanya rasa panik yang menjalar padaku sejak semalam itu Ia artikan bahwa aku takut kehilangannya. Mungkin benar. Hanya saja tak satu kalipun aku pernah mengungkapkan dengan kata-kata atau hal romantis tentang rasa takut kehilangannya itu.

"Mama bukan senang karna Papah udah suudzon dan bersikap bodoh seperti itu. Mama hanya gak nyangka aja. Ternyata Papah takut juga ya kehilangan Mama? Papah gak mau ya dicerai sama Mama?". Katanya sambil terus tertawa dengan wajah seperti meledek aku yang terlihat bodoh.

Ya, benar juga. Sejak semalam aku ketakutan. Aku takut kecewa, takut shock menerima kenyataan bahwa kami akan berpisah. Baru kusadari sudah bertahun-tahun lamanya sejak pernikahan kami, aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan rasa sayangku padanya, pada istriku ini. Jarang memujinya, bahkan tak pernah mengungkapkan dengan gamblang bahwa aku tak bisa kehilangannya. Karna akupun baru menyadari sejak semalam.

Kemudian Iapun bicara. Kalimat yang mambuatku lega dan merasa makin dicintai olehnya.

"Papah nih aneh. Koq bisa-bisanya mikir begitu. Kita ini udah hidup tenang. Alhamdulilah semua kebutuhan sudah terpenuhi, anak-anak sehat, tidak ada masalah di rumah ini. Kenapa Papah bisa berpikiran Mama bakalan minta cerai? Kalo emang Mama gak peduli Papah, sudah sejak dulu Mama minta cerai. Sejak Mama harus berjuang sendirian.

Bukannya mengungkit-ungkit nih ya Pah. Kalo Mama cuma mau hidup enak dan nerima Papah yang bisa nyukupin aja, buat apa Mama bertahan dengan kondisi kita yang dulu itu. Makan kurang, kebutuhan kurang, Papah bahkan gak kerja, kalaupun kerja gajinya kecil. Buat apa pah. Mending dari dulu aja minta cerainya. Sekarang Papah udah mapan, udah nyukupin, gaji sudah besar. Masa iya Mama malah minta cerai sekarang dari Papa. Papah nih aneh".

"Yaah, Papa pikir Mama gak hanya butuh dicukupin secara finansial aja. Mama kan tau sendiri Papa males bantu-bantu kerjaan rumah, gak pernah muji Mama, jarang bilang sayang, hal-hal semacam itulah pokonya".

"Gini ya Pah, sebetulnya Mama tuh ga terlalu pingin banget koq di puji-puji Papah. Apalagi digombalin. Gak perlu pah. Walaupun kadang suka kesel dengan Papa yang sama sekali gak bantu kerjaan rumah, Mama masih gak masalah koq. Masih bisa sabar ngerjain itu semua. Cuma satu hal yang Mama pingin dari Papah. Jujur apa adanya. Gimana di rumah, ya begitu di luar".

"Maksud Mama gimana?". Tanyaku penasaran. Karna rasa-rasanya sikapku di rumah dan di luar gak ada bedanya. Sama-sama cuek, gak pernah bermasalah.

"Mba Nida pernah nemu BBM'an Mas Seno sama teman kerja wanitanya. Mba Nida bilang sih awal-awal itu isiya cuma kaya becandaan biasa aja. Berawal dari "Eh ke mana lo? Koq gak masuk?". Kemudian dibalas sama Mas Seno. "Ada koq lagi di HRD, kenapa nyariin gue? Kangen ya? Hahaha". Mba Nida pikir cuma becandaan teman biasa aja di kantor. Eeeh mana tau akhirnya mereka malah pisah gara-gara Mas Seno kedapatan serius sama perempuan itu. Naah yang Mama mau, sikap Papah ya jujur. Di rumah cuek, di luar ya harus gitu juga dong. Jangan sama istri cuek, sama teman kantor becanda-becanda kangen-kangenan gitu. Istri mana tau Pah suaminya seperti apa di kantor. Cuek atau malah ganjen. Itu yang Mama gak mau".

Aku tersenyum sambil mengangguk kemudian mencium kening istriku. "InshaAllah, Papah gak akan ganjen-ganjen di luar rumah. Heheheheh". Kamipun tertawa. Rasanya lega dan akhirnya aku semangat lagi berangkat ngantor yang kesiangan hari ini.

Aku hanya berharap dan berdoa. Semoga Allah tidak mengujiku melalui perempuan-perempuan mulus di luaran sana. Jangan sampai aku tergoda apalagi terpikat dengan lawan jenis di luar rumah. Ya Allah, lindungi hambamu. Tidak ingin perjuanganku bersama istriku sedari kami menikah sampai semapan ini jadi sia-sia hanya gara-gara aku terlena dengan kemolekan perempuan di luaran sana. Semoga Papah selalu ingat perjuangan Mama mendampingi Papa dari kita hidup sulit ya Mah.

Jangan pernah lupakan, siapa yang berjuang bersama kita sedari kita masih susah. Jika banyak perempuan-perempuan molek di luaran sana yang menggoda imanmu. Maka ingatlah, azab Allah sangat pedih, dan karma dari istri yang tersakiti pasti terbalas. Senang hanya sesaat jika harus ditukar dengan kehilangan keluarga yang selama ini mensupport kita, maka kamu pasti akan merugi.

Setialah bersama istri. Arungi hidup seperti kapal dan nakhodanya. Meski klise, kalimat itu memang benar maknanya.

#SELESAI#

By: Nanda

#CurhatSuami