Rabu, 06 Mei 2020

Hafidzah Pemberani

HAFIDZAH YG MENGALAHKAN PEMERKOSA

ini kisah nyata. Tokoh dalam kisah ini merupakan  mudiroh mafaza. Jadi seluruh santri mafaza dan para wali santri serta ribuan alumni super manzil InsyaAlloh mengenal gadis tangguh yg ramah ini. Sebab beliau pernah menjabat sebagai pimpinan mafaza 1, mafaza 3 dan mafaza program dhobit bandung. Beliau adalah ustadzah Juni. Salah satu Musyrifah yg paling saya sayangi.

kisah yg sangat menegangkan ini terjadi di batam pada akhir Desember 2013. Setahun sebelum beliau diangkat jadi pimpinan mafaza bogor. Kisahnya pernah di angkat banyak media islam. Saya mengangkatnya kembali utk seluruh santri mafaza dan seluruh muslimah indonesia

Ustzh juni merupakan aktifis sejati. Diluar jam kerjanya beliau sibuk mengisi mentoring kpd siswi2 sekolah menengah di batam.

Sore itu sepulang mengisi ta’lim didaerah Tiban, beliau merasa waktunya agak luang karena tdk ada agenda lain. Maka dicobalah jalur lain. Ia melaju dan terus melaju bersama motornya. Hingga tanpa sadar ia hampir tiba di pelabuhan sekupang. Beliau mencoba cari jalan pulang, namun jalan semakin sepi dan asing.

Sebelum hari benar2 gelap, ustzh juni bertemu  dg dua orang pria dipinggir jalan. Yg satu bapak2 berambut panjang dan satu lagi pemuda yg tengah menstarter motornya. Da'iyah muda ini memberanikan diri menyapa dan bertanya: “bang, ini jalan buntu ya? Kalau mau batu aji ke arah mana ya?”

“iya ini jln buntu, batu ajinya dimana?” pria bermotor balik bertanya.

“ ditembesi” jawab ustzh yg ramah ini.

“ya udahlah bareng. Saya pun didaerah itu” kata pria itu.

Maka melajulah mereka. Ustzh Juni mengikuti motor si pria itu dari belakang. Sepanjang perjalanan, pria itu rajin bertanya, sehingga Aktivis lulusan fak psikologi ini tak memiliki kecurigaan buruk padanya. Namun lama kelamaan ustzh juni merasa ada yg ganjil. Sebab jalanan sdh lama mereka susuri namun tak kunjung sampai.

Pria jahat ini telah membawanya ke Tanjung Riau. Dan ustzh Juni tak tahu sama sekali tentang daerah itu. “Bang, kok belum nyampe-nyampe juga? Saya pernah dulu nyasar ke Sekupang, ada ini ada ini, ada kuburan Kristen, koq sampe sekarang belum jumpa juga, lama kali, kan udah jauh kan, udah sunyi lagi?”

Si Abang menjawab, “Oh, mau gak motong?”

“Motong? Dari mana?”

Pria tersebut menunjukan jalan menuju seperti hutan. Ustzh Juni mulai curiga. Ketika memasuki daerah itu, setelah agak jauh, beliau bertanya, “Bang, kok sunyi?”

Si abang menghentikan motornya, dan menahan laju motor ustzh Juni. Pria itu mengeluarkan sebuah gunting. “ Turun!!! Mau mati atau mau hidup?”

Juni terkesiap. “Kenapa Abang ini? Bicara baik-baiklah Bang, kalau mau motorku ambil, mau handphoneku, ambil…”

Pria itu tak menjawab. Malah dengan satu sentakan yang keras, ia menarik jaket ustzh Juni. Ustzh berontak. Ia diseret lelaki itu. Selintas beliau berpikir, pria ini hendak memerkosanya.

Pria itu terus menyeret Juni, dan berusaha untuk membuka helnya. Merasa gelagat sudah tidak beres, Juni berusaha bangkit, dan sebisa mungkin memukul orang tersebut. Ia berusaha meraih kayu untuk memukul si lelaki yang sudah beritikad tidak baik tersebut. Tapi sia-sia. Tenaga lelaki itu terlampau besar untuknya.

Lelaki itu berhasil mempreteli jaket yang dikenakan ustzh Juni. Tapi tidak baju gamisnya. Ia menyekap ustzh juni. Ustzh sholehah ini terus berontak dan menjerit-jerit. Kesal, si lelaki itu memukul sang ustzh sekuat tenaga. Gadis ramah ini menggelosor ke tanah, dan pura-pura pingsan. Si lelaki menyangka ustzh Juni  pingsan betulan. Ia menjadi agak lengah, sementara Juni berdoa dalam hatinya, “Ya Allah, ini makhlukMu,… janganlah matikan aku di tempat seperti ini dengan cara yang seperti ini.” Juni terus berdoa tiada henti. Juni mengumpulkan tenaga dan dengan sebat, sambil berterak keras “Allahu Akbar!”, Juni menendang si lelaki. Juni tidak tahu bagian mana yang ia tendang.

Si lelaki beringas kembali. Ia kembali menodongkan gunting ke arah ustzh Juni. “Kamu mau mati ya?”

ustzh Juni menukas dg garang, “Lebih baik aku mati!”

Si lelaki merangsek dan menusukkan gunting itu beberapa kali ke perut ustzh.  Tapi ajaib, ketika itu, ustzh Juni tidak merasa sakit, dan tak ada darah yang keluar dari perutnya. Melihat itu, si lelaki tambah beringas. Diarahkannya gunting itu ke leher sang ustzh. Digesek-gesekkannya sepenuh tenaga. Ustzh Juni berusaha melindungi dengan tangannya sambil bertanya-tanya dalam hati,  “Ya Allah, udah putus belum ya urat leherku ini…”

ustzh Juni bisa bangkit. Si lelaki kalap. Mungkin karena Juni ternyata masih belum mati juga. Juni sendiri tidak merasakan apa-apa lagi. Yang ada di kepalanya hanya satu, ia berdoa agar ia selamat dan tetap terjaga.

Si lelaki yang geram kemudian menerkam Juni dengan sambil tetap menusukkan guntingnya ke seluruh tubuh Juni. Juni terjerambab. Ia meronta-ronta. Sekarang, ia merasakan mulutnya berdarah. Ia terus meronta-ronta.

ustzh juni terjengkang kembali. Menggelosor di tanah. Tak bergerak. Si laki-laki tampaknya menyangka sang ustzh sudah mati, dikarenakan tusukan dan pukulan sudah bertubi-tubi mencabik tubuh Juni.

Entah dapat pikiran dari mana, ustzh Juni perlahan bangkit, berdiri dan menghampiri si lelaki itu. “Aku hidup kembali…” geram Juni pada lelaki itu.

Tanpa dinyana, si lelaki itu terlihat jelas ketakutan. Ustzh Juni sendiri berpikir ketika itu ia sudah mati. Ia dengan jelas bisa merasakan bahwa muka dan tubuhnya dipenuhi darah. Giginya sudah tanggal di beberapa bagian, dan akibatnya penglihatannya juga kabur, sama-samar.

Si lelaki berlari. Juni mengejar. Seluruh tubuh Juni sudah dipenuhi dengan darah. Tangan, rambut, muka, dan kaki Juni dibaluti warna merah.

Ketika si lelaki sudah kabur, ustzh Juni duduk menggelosor, lemas dan lemah. Ia mencoba meraih tasnya, namun susah karena tangannya berlumuran darah. Pun begitu ketika akan meraih telepon selulernya. Dengan sekuat tenaga, ia meraih, dan berhasil.

Biasanya, sinyal ponsel di daerah itu selalu jelek, namun saat itu, mungkin dengan izin Allah, tidak ada gangguan. Juni langsung mencoba menghubungi kawannya yang terdekat.  Tapi tidak bisa karena tangannya penuh darah.

ustzh Juni diam. Ia tidak bisa melihat. Dan sejenak, samar-samar dan jauh, Juni terbayang, siapa yang akan menemukannya di hutan yg gelap? Sepuluh menit berlalu, dan pikiran ustzh Juni juga tidak bisa mengenyahkan bayangan jika lelaki jahat itu datang kembali.

ustzh Juni berusaha bangkit. Ia berusaha mencari jilbabnya. Alhamdulillah, ia menemukannya. Namun ia tidak berhasil menemukan jaketnya. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, yang ada dalam pikirannyai adalah, ia akan segera keluar dari hutan, dan mungkin bertemu dengan orang banyak, sehingga ia harus mengenakan penutup auratnya.

Keluar dari hutan, ustzh Juni terus berjalan, namun hanya beberapa langkah, tenaganya habis. Ia terduduk.

Ketika itu, lewatlah seorang anak laki-laki tanggung. Tentu anak laki-laki itu kaget. Namun Juni berusaha meminta tolong untuk menelepon orang-orang penting lewat ponsel miliknya.

Beberapa saat kemudian, berdatangan orang-orang. RT setempat berusaha mengamankan motor Juni dan ia dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Ustzh di rawat di RS selama sepekan, para aktivis PKS batam setiap hari datang menjenguk. Sebagian dr mereka Gantian menemaninya selama di rawat.

InsyaAlloh saat sanlat Ramadhan nanti. Ustzh juni akan kembali membimbing anak2 anda dg kelembutannya yg khas.

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2615086098566109&id=100001942342007

Sendu

Dia tidak memakai sari, melainkan gaun pendek kuning cerah. Malam itu dia menyajikan makanan untuk kita. Di meja bulat di dapur kini tersaji berjenis-jenis masakan yang tidak pernah hadir sebelumnya. Dia sibuk mengurai bumbu-bumbu apa saja yang terkandung dalam kari itu, misalnya, dan menyatakan telah menghabiskan waktu sehari penuh untuk menyiapkan makan malam hari ini.

Dia benar-benar mengharap pujian, sedang aku tidak ingin berbasa-basi. Karinya terasa hambar di lidahku, tapi aku tidak dapat menjelaskan bumbu apa yang kurang atau berlebih. Aku tidak pandai memasak, sehingga tidak begitu paham tabiat bumbu-bumbu itu. Aku hanya bisa membedakan rasa: pedas, manis, asin, pahit, asam. Seperti perpaduan rasa kehidupan kita. Hanya sekali aku memasak untukmu, nasi goreng udang itu, dan aku sendiri yang menghabiskannya. Selebihnya kamu selalu memasak untukku, setiap hari. Sarapan, makan siang, makan malam. Panekuk kentang, spaghetti, semur, salmon steak, tumis brokoli.

Tak berapa lama dia bercerita di mana kalian bertemu pertama kali. Suatu sore di pantai, seorang lelaki paruh baya membentang sehelai kain di atas pasir, lalu melambai padanya untuk duduk bersama-sama melihat laut. Dia mendekat, karena baru saja bertengkar dengan lelaki yang mengajaknya melancong ke pantai itu. Karena kamu begitu baik dan langsung menawarinya menginap di hotel yang nyaman dan juga membayari tiket pulangnya, dia tidak berpikir lama untuk melarikan diri dari teman kencannya, anak muda yang cepat naik pitam dan menyediakan tempat tidur reyot di pondok kayu yang nyaris terjungkal dari tebing curam. Aku tersenyum mendengar ceritanya, sedang kamu tampak gugup dan tiap sebentar meneguk air dari gelas, hingga tandas.

Terakhir kali kita bersama ke pantai akhir tahun lalu. Kamu menyongsong ombak dengan papan selancarmu, sedang aku berdiri di pantai sambil menilik-nilik ke arah laut yang seakan siap tumpah ke sini. Lidah ombak menjulat, lalu terkulai. Di atasnya kamu terayun, lalu terhempas. Setelah itu di atas pasir hangat, kubentang handuk besar, lalu terlentang seperti hiu mati.

Sekali waktu kamu mengajakku mengintip ikan-ikan dan karang dekat pantai itu. Aku tidak perlu menyelam, melainkan merunduk ke dalam air dengan pipa oksigen mencuat ke udara terbuka. Namun, aku lebih suka terbungkuk-bungkuk di pantai mencari kulit kerang atau bintang laut.

Setelah makan malam, dia menumpuk semua piring kotor di bak cucian. Sisa makanan di piring tidak dibuangnya ke tempat sampah. Kita selalu membuang seluruh sisa makanan ke tong sampah, lalu mencuci semua peralatan dapur setelah makan. Kita tidak ingin semut, kecoak, atau tikus berkerumun di dapur ini bagai tamu-tamu sebuah pesta.

Dia menarik lenganmu, mengajakmu buru-buru masuk kamar. Kamu terseret-seret macam anak kecil merajuk. Tidak kudengar suara air kran mengucur di wastafel, yang menandakan kamu menyikat gigi sebelum tidur seperti kebiasaan kita di rumah ini. Dia juga tidak menyikat giginya, tidur dengan kerak kari, serpih sayur, dan serat ayam di sela-sela gusi.

Di pagi hari kamu tidak lagi menyiapkan sarapan. Dia memasak kue dadar manis untuk kita, menyusun irisan pisang dan menabur keju parut di atasnya. Dia masih mengenakan gaun pendek kuning itu, tidak menggantinya dengan pakaian rumah. Tapi aku merindukan sarapan kita sebelum ini: roti gandum, telur dadar atau mata sapi, dan daging sapi atau kalkun asin.

Kita pun duduk mengeliling meja bulat itu. Wajahmu tampak cemas. Dia terus mengoceh tentang apa saja, termasuk ingin cepat-cepat menikah denganmu dan mempunyai satu saja anak yang lucu. Namun, kamu langsung menyela ucapannya. Kamu tidak ingin menikah apalagi punya anak. Dia memberengut sebentar, lalu meraih tanganmu dan berkata bahwa dia akan sabar menunggu saat yang tepat. Wajahmu memucat. Aku tersedak.

Kita menonton siaran berita pagi di televisi, duduk berdampingan di sofa itu. Dia pergi ke kamar mandi. Kamu berbisik-bisik menanyakan apakah aku tidak apa-apa. Tentu saja aku baik-baik saja. Aku tidak sedih seperti yang kamu bayangkan. Kamu mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa sejak tahun lalu kita memang sudah sendiri-sendiri. Kita tidak lagi tidur bersama. Aku membaca dan menulis sepanjang hari, sedang kamu pergi ke kantor, memasak, dan menghabiskan waktu senggang sendiri. Hubungan menahun membuat jemu, tapi tidak semua orang berani berpisah hanya dengan alasan itu. Anehnya, kita juga merasa ada ikatan yang lebih dalam dari apa yang tampak. Kita akan selalu seperti ini, bersama-sama, katamu. Selamanya? Ya, selamanya. Kamu menatapku, berkaca-kaca.

Dia bersenandung riang di dapur. Menyiapkan bahan-bahan masakan untuk makan siang nanti. Kamu tidak suka perempuan menghabiskan waktu mereka di dapur. Kamu tidak menginginkan perempuan yang mengurus rumah sepanjang hari. Katamu, perempuan semacam itu sama sekali tidak seksi. Karena itu, kamu memasak untuk kita, agar aku selalu seksi, kataku. Kamu tertawa keras. Dia berseru dari dapur. "Ada yang lucu?" Kita serempak menjawab: tidak ada. Kamu lalu memintanya bergabung menonton berita dengan kita. Kamu juga tidak senang dia menghabiskan waktu di dapur. Dia sama sekali bukan koki atau jongos. Namun, dia menyahut tidak suka politik dan urusan negara. Teroris dan polisi juga menakutkannya.

Dalam dua bulan, dia sudah empat kali menginap di rumah kita dan selalu memasak. Suatu kali, saat kamu masih di kantor dan aku pulang ke rumah lebih awal, dia mengeluarkan sehelai potret dari dompetnya. Potretnya dengan seorang pria. Mereka mengenakan pakaian pengantin, berdampingan di muka gereja yang lebih mirip kuil Hindu dengan patung Isa yang lebih menyerupai tokoh-tokoh Mahabharata, Rama atau Krishna. Dia bercerita tentang suaminya yang meninggalkannya berbulan-bulan, tidak memberi uang belanja, dan bahkan menangis tersedu-sedu di subuh hari teringat salah seorang pacarnya, perempuan gemuk dengan pipi-pipi tembam kemerahan. "Saya sangat mencintainya, meski dia gemuk," tutur suami kurang ajar itu, seraya sesegukan dan memeluk bantal mungil pemberian sang pacar. Dia lantas harus menghibur lelaki tersebut dan menyembuhkan luka patah hatinya yang parah dengan menahan luka hati sendiri. Dia ingin mengakhiri pernikahan mereka, tapi pastor bersikeras menyatukan pasangan ini kembali. Kusarankan dia melarikan diri. Suaminya koki di kapal pesiar. Namun aku tidak percaya. Lelaki itu berambut panjang sepinggang dengan tato di sekujur badan. Suamimu lebih pantas berdagang obat bius, kataku. Dia terpingkal-pingkal.

Dia merasa beruntung bertemu denganmu. Dulu dia harus berpacaran dengan lelaki-lelaki tua untuk sekadar uang jajan. Kamu juga tua, tapi tampan dan menghargai perempuan, katanya. Aku terbahak-bahak. Dia harus menanggung hidup ibu dan empat keponakan. Bekerja sebagai pelayan kafe, tidak mendatangkan cukup uang untuk mengenyangkan perut enam orang dan membiayai sekolah anak-anak itu.

Ketika kamu membuka pintu depan, dia segera melesat dari kursinya untuk menyambutmu dengan ciuman. Kamu malah menghampiriku, merangkulku dan bertanya apa saja yang sudah dilakukan dua perempuan dalam rumah. Dia kembali sibuk menata piring-piring di meja bulat itu, menyiapkan makan malam kita.

Aku kembali ke kamarku, membiarkan kalian bercengkrama. Hatiku senang saat mendengar gelaktawa. Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu!

Segalanya tampak berjalan lancar. Kita tetap tinggal bersama dan kamu kini memiliki seseorang. Namun, perubahan yang menyesakkan itu terjadi juga.

Di hari Minggu itu aku bangun pagi-pagi dan mulai mencuci semua piring kotor yang bertumpuk di bak cucian. Dua ekor kecoak merayap-rayap malas dalam panci dan gelas. Mereka kekenyangan.

Kucuran air kran terdengar nyaring dalam rumah yang hening, sehingga kamu tiba-tiba membuka pintu kamarmu dengan mata setengah terpejam dan bertanya dengan nada kesal, "Apa sih yang kamu kerjakan sepagi ini?"

Aku tiba-tiba sedih. Kutinggalkan piring-piring kotor di bak cucian, lalu bergegas ke kamarku dan mengunci diri. Kamu mengetuk pintu kamarku berkali-kali. Karena tidak ingin membangunkan tidurnya, kubuka pintu kamar dan kita langsung berpelukan. Kamu meminta maaf dan berkata bahwa aku boleh melakukan apa saja dalam rumahku sendiri, rumah kita.

Di dapur terdengar seseorang mencuci piring-piring. Air kran kembali mengucur, deras. Kita tetap berpelukan dan tidak pernah merasa sesedih ini. (*)

Selasa, 05 Mei 2020

Jadilah matre sesuai aturan

Tapi dibilang semua hanya kebetulan, gue juga punya dua orang teman yang nasibnya sama dengan gue. Hanya beda alur cerita. OK, gue ceritain kisah gue dulu sambil pelan-pelan beralih ke kisah temen gue. Sorry kalo kalimatnya gak terlalu formal seperti cerpen-cerpen fiksi yang plotnya mengalir sempurna dengan bahasa yang baik dan benar. Karna ini hanya unek-unek gue yang gue curahkan ke dalam tulisan.

Berawal dari gue yang dilahirkan dikeluarga sederhana. Ingat ya, keluarga sederhana itu tidak sama dengan miskin atau susah. Entah sejak kapan, kalau kita mendengar kalimat "dari keluarga sederhana", orang akan berpikiran itu artinya hidup susah. Padahal gak gitu lho.

Bokap gue sanggup nyekolahin gue sampai ke jenjang universitas. Tapi untuk hang out ke mall, nongkrong di cafe sama temen-temen, belanja barang branded, itu bukanlah kehidupan keluarga sederhana. So, that's the point. Keluarga sederhana is keluarga yang masih dalam kategori bisa hidup layak hanya saja untuk memenuhi keinginan diluar kebutuhan itu butuh mikir ratusan kali.

Back to my past. Gue kenal ni laki dari jaman kita SMA, dia bahkan temen sekolah gue dulu. Kita namakan saja dia Reno. Sorry ya saat nulis ini bayangan gue ke reno barack yang abis nikahin syahrini tanpa pacaran. Mungkin gue harus seperti syahrini untuk mendapatkan seorang reno barack. Tapi apalah gue. Hanya remahan rempeyek ditengah-tengah rengginang utuh yang belum dipecah-pecah.

Ok, balik ke Reno. Reno adalah laki-laki super duper biasa. Mukanya biasa, hidupnya biasa, nilainya biasa. Semuanya biasa. Tapi itu sesuatu yang membuat gue jadi biasa melihat dia hidup biasa. Halaaah apaan sih ni tulisan. Mulai ngaco.

Kita pacaran saat dibangku kelas 3 SMA. Singkat cerita kita lulus dong. Meski dia juga orang biasa dari keluarga sederhana seperti gue, tapi keinginan keluarganya besar banget untuk nguliahin dia di universitas ternama. Jadilah dia berada di sana. Sedangkan gue melanjutkan hidup gue dengan bekerja siang dan malam membanting tulang demi membeli beras. Halal lebay. Gak gitu ding.

Jadi gue kuliah sambil kerja. Karna meski keluarga sederhana gue ini sanggup nguliahin gue, tetep aja gue harus tau diri buat bisa menghasilkan pundi-pundi demi membantu keberlangsungan hidup gue sendiri. Gue jelasin dulu. Gue kerja bukan karna tuntutan keluarga gue yang butuh biaya lebih. Penghasilan gue murni untuk diri gue sendiri, meski sesekali gue ngasih orangtua sih beberapa. Walaupun sebetulnya orangtua gue masih sanggup hidup diatas garis kemiskinan. Nah lho, ini gimana ceritanya yah. Maksud gue seperti yang diawal tadi gue bilang. Keluarga sederhana itu bukan berarti miskin.

Jadi orangtua gue masih sanggup nguliahin gue tapi gue pingin bisa gaul kaya temen-temen gue. Ke mall, nonton, ke caffe, belanja, sedangkan uang untuk pergaulan gue itu rasanya sangat tidak tau diri kalo gue minta sama bokap. Itulah mengapa gue kuliah sambil kerja.

Gue dan Reno sama-sama kuliah dipagi hari, sorenya gue jaga mini market. Seperti mahasiswa sederhana pada umumnya. Reno tidak selalu punya uang untuk kehidupannya. Untuk minta ke orangtuanya sih gak masalah, pasti dikasih kalo untuk kebutuhan kuliah dong.

Tapi sebagai pacar yang peka, gue sering banget bantu dia bayar ini itu. Seperti beli buku, foto copy jurnal, dan lain-lain deh. Meski ga semua kebutuhannya gue yang kasih sih, terlalu lebay kalo gue bilang gue ngidupin dia. Ya gak sampe segitunyalah. Intinya kita berbagi kadang dia juga bantu gue bayar kosan saat gue belum gajian atau orangtua gue belum ngirim. Jadi kita sama-sama dari susah banget kaya gini.

Gak terasa waktu terus berjalan dan sudah mulai masuk semester akhir. Kita sama-sama sibuk ngurus skripsi, sidang, dan segala jenisnya. Gue sih mikir positif. Kalo perubahan sikap Reno belakangan ini, hanya karna kita berdua lagi sama-sama tertekan dengan skripsi yang masih harus diselesaikan. Gue masih santai meski dia sering banget marah bahkan ngebentak gue.

Udah gak sungkan lagi nolak permintaan gue untuk jemput gue kerja atau dikampus atau untuk ketemuan dengan alasan dia lagi jalan sama temen-temennya. Awalnya gue shock sih. Tumben-tumbennya dia lebih milih temen-temennya dibanding gue. Tapi lama-lama karna dia udah biasa begitu, ya udah jadi biasa aja.

Gue sempet curiga dan pernah coba buntutin dia. Tapi ternyata apa yang dia bilang ya bener. Dia emang jalan sama temen-temennya aja. Yaah pokonya dia makin aneh. Sampai pada akhirnya dia lulus dan kemudian dapet kerja diperusahaan besar dengan gaji yang orang-orang pasti iri. Disinilah akhirnya gue mulai paham kenapa akhir-akhir ini dia mulai berubah.

Akhirnya dia minta putus. Ooh OK, gue mencoba berbesar hati. Karna gue bukan type cewe cengeng yang bakalan nangis kejer diputusin cowok. Ya sudahlah mungkin kita emang gak cocok. Waktu itu alasan dia mutusin gue karna katanya dia udah lumayan sibuk banget sama urusan kerjanya yang hampir selalu pulang malem. Daripada kita jarang ketemu dan lama-lama makin ga nyambung ya udah kita udahin aja. Begitu katanya hari itu.

Tapi, dua hari kemudian gue denger dari temen gue yang satu kampus sama dia dulu. Ternyata dia udah jadian sama perempuan lain yang adalah temen SMA kita dulu. Kita namakan saja dia mawar. Jadi si mawar ini adalah anak konglomerat dari jaman dia lahir. Saat kita SMA, mana ada laki-laki yang gak jatuh hati sama dirinya. Dia kaya, cantik kebangetan, modis bagai model, meski otak cuma setengah. Tapi penampilan bisa menutupi kekosongan otak lo.

Yang gue gak sangka, ternyata laki gue ini. Sorry, mantan gue ini dulu juga salah satu dari semua laki-laki yang demen banget sama ni makhluk perempuan konglomerat. Gue gak nyangka karna dulu jaman sekolah tuh dia gak ada sama sekali tanda-tanda tertarik sama ni perempuan. Rupanya, dia cuma pinter nyembunyiin perasaan. Pada dasarnya dia sama aja sama laki-laki lainnya. Demen juga sama yang model begitu.

Tapi apa boleh buat. Kasta yang membuat dia mengurungkan niatnya jatuh cinta sama perempuan sekelas mawar. Tapi sekarang. Dia udah berani show up dong secara dia udah sukses gitu kan. Gimana mungkin dia bisa menahan untuk gak menunjukkan dirinya didepan perempuan konglomerat itu dengan segala yang udah dia raih.

Jabatan, gaji besar, kendaraan roda empat, dan barang branded yang nempel dibadannya. Jadi selama ini gue cuma temen susahnya aja. Dikala dia sukses dia langsung mengejar cintanya yang dulu terpendam karna beda kasta. Jadi bisa dipastikan. Dia berjuang hidup sukses demi mengejar perempuan itu. Bukan demi masa depan yang pernah dia janjikan dulu waktu kita masih pacaran dan hidup susah dari nol.

Temen gue beda cerita lagi. Dia udah nikah. Waktu itu sih dia sama pasangannya hidup lebih susah dari keluarga sederhana gue. Tapi temen gue ini setia ngedampingin lakinya. Ngelayanin lakinya sepenuh hati dan jiwa raga yang dia punya. Dia harus hidup irit demi bisa anak dan lakinya makan enak. Disaat temen-temen lain pakai perhiasan, dia bahkan sehari-hari cuma bisa pake daster.

Tapi dia tetap tegar. Tetap mensupport lakinya untuk berjuang demi keluarga mereka. Bahkan dia terkadang harus menanggung malu meminjam uang ke orangtuanya demi keluarga kecilnya. Sampai suatu hari tiba-tiba lakinya dapet kerjaan enak dong. Gaji lebih tinggi dari sebelumnya, perlahan tapi pasti kehidupannya mulai membaik.

Prahara rumah tangga dimulai ketika si laki udah sanggup ngebeli mobil dan pindah dari rumah kontrakan ke rumah yang dia beli. Luar biasa kan. Kalo orang waras akan berpikir itu adalah hasil dari mereka berdua. Perjuangan seimbang antara ikhtiar suami dan doa istri.

Tapi rupa-rupanya, si laki gak tau diri. Saat sedang merintis karir dia udah mulai main mata sama lawan jenis di luar rumah. Awalnya sembunyi-sembunyi, begitu harta berlimpah dia udah ga peduli lagi hati istrinya.

Tanpa perasaan dia berujar "Kalo kamu gak suka sama dia, gapapa kamu tinggalin saya aja. Kalo kamu mau kita cerai karna ga bisa terima dia. Saya gak akan memaksa mempertahankan rumah tangga kita." ANJ*** gak tuh laki.

Gue gak tau nasib temen gue itu sekarang. Apakah dia jadi pisah sama lakinya, atau dia tetap bertahan dimadu karna setau gue dia ga punya penghasilan untuk hidupin dirinya dan anaknya. Nanti gue update ceritanya begitu udah dapet kabar dari temen gue yang idupnya tragis banget ini. Lebih tragis karna dia udah nikah sedangkan gue belum. Artinya gue lebih beruntung.

Tolong gak usah komen yang gak enak tentang kisah hidup gue. Gue tau koq pacaran itu dosa, tapi itu kan masa lalu gue. Sekarang sih pinginnya taarufan aja. Tapi tetep harus yang udah mapan. Karna gue udah gak mau lagi dampingin laki dari nol. Sorry ya bagi gue sekarang jadilah matre pada waktu yang tepat.

Saran gue buat semua perempuan sebagai perempuan yang udah ngerasain pengalaman pahit duluan, ada beberapa nih:

Satu, Jangan maulah nemenin laki dari nol. Cari aja yang udah mapan. Kalo dikatain matre, hadapi aja dengan tegar dan penuh keyakinan. Katakan bahwa matre dengan setia itu akan beriringan jalannya.

Dua, buat yang udah nikah, jangan mau idup terlalu ngalah dikala susah. Sesekali harus manjain diri juga. Misal, saat laki lu gajian, meski lu harus ngirit, minimal ada beberapa uang yang harus lu beliin perawatan diri atau makeup. Jangan sampe pas laki lu kaya. Muka sama badan lu gak stabil. Alias mirip babu dirumah majikan. Alhasil laki lu akan cari yang terlihat seperti nyonya di rumah.

Tiga, buat lu perempuan-perempuan syar'i yang inginnya dipinang dengan Bissmillah, tetep tanyakan sama calon lu, apa pekerjaan mereka. Kalo masih susah, mending mikir-mikir lagi.

Sorry sorry to say ya. Ini sih pendapat gue. Seperti yang gue bilang tadi, mungkin gak semua laki seperti laki-laki yang gue temuin ini. Mungkin juga nasib gue sama temen gue aja yang sial. Bisa jadi lu gak sesial kita. So, silahkan yang mau tetep berjuang dari nol sama-sama.

Sekian dulu cerita gue. Intinya, ini kisah gue. Kalo mau komen yang menjudge atau nyakitin ati, jangan dimari. Karna gue cuma mau curhat bukan mau dicurhatin. Semoga cerita gue bisa lu petik hikmah baiknya dan buang hal-hal buruknya. Sekian.

TAMAT

Oleh, Upay

Dari curhatan sahabat

Semoga bisa dipetik hikmahnya. Aamiin.

Panahan Indoor

Terima kasih kami ucapkan atas partisipasinya mengirimkan tulisan ini kepada team CerpenUpay.

Langsung saja ke kisahnya.

pagi-pagi sekali aku terbangun, sadar sudah pagi aku segera melihat jam. Ternyata angka sudah menunjukkan jam enam pagi tak sia-sia lagi, aku harus cepat bersiap. Keluargaku pun begitu, kenapa harus bersiap-siap, apalagi di hari libur ini? Itu karena aku, dan adikku akan mengikuti sebuah lomba yang menurutku seru, yaitu panahan. Dan beda lagi, ini lebih spesial tempatnya. Yap di Indoor. Tempatnya di Universitas Tidar, Magelang.

Sesampainya di tempat, aku segera turun dari mobil bersama adikku,

" Dek, ayo turun. sepertinya kita sudah ditunggu pelatih," kataku mengajaknya dan langsung mengambil tas busurnya di bagasi mobil.

" Oke, kak,"

" Ya sudah, kalian kesana dulu. Nanti Ibu sama Ayah nyusul," kata Ibu menimpali.

Akupun kesana, disana sudah banyak sekali teman-temanku satu klub panahan datang lengkap. Sepertinya hanya kita berdua yang terlambat, itupun dari rumah sendiri, yang lain mah sudah kemarin kesini, terus pakai menginap di hotel.

" Hai, Han. Sini!" panggil teman-temanku, mereka juga teman sekolah. Kenapa begitu? Ceritamya panjang deh. Kita berempat ikut panahan jadi kayak kompak gitu.

" Eh kalian, waahh pada nginep yee?" godaku, pada mereka bertiga.

" Iyalah, kamu sih gak mau," jawab Farah yang gayanya gaspoooolll banget.

" Elah kan udah aku bilangin nduk, kan tergantung orangtuaku. Enak gak sekamar tiga orang?" tantangku sedikit iri.

" Enak doong, adeemm..," kali ini yang jawab Rani, seorang anak yang sangat sehat

"Enak mbahmu! Kita yang mendengarkan kamu merdu sekali dalam mengorok!" ejek Hira orang yang sangat cuek, dan galak.

" Oke-oke, dah ah aku daritadi ni lohh, gak masang-masang busurnya," timpalku.

Segera saja aku pasang busurnya dengan kedua sayapnya, kanan dan kiri, lalu fisirnya untuk melihat targetnya, stabilizer, arm guard, cash guard, button nya, finger tab, quiver, anak panah. Setelah semua lengkap, lalu kakak-kakak pelatihku menyuruh kita semua untuk melakukan pemanasan terleih dahulu dan melakukan berdoa bersama.

" Anak-anak sebelum kita kesana dan tanding, kita akan ber-tos bersama dan teriak untuk yel-yel nya!" seru pelatih kami yang memimpin.

" Baaiiikkk KAK!" kompak kami berseru.

" SELABORA PANAHAN FIK UNY!"

" Jaya-Jaya Juara!!" jawab kami dengan keras.

Lalu kami semuapun memasuki indoornya, dan segera memasangkan pelengkapannya, menyiapkan anak panah, lalu dipasang anak panah itu, dan lepaskan.

Itulah perjuanagan kami di indoor lebih berat daripada di luar outdoor. Karena tak menyangka perlombaan akan berakhir sampai tengah malam, apalagi yang masih terus bagus nilainya, itu bisa lebih pagi. Ahh.., yang penting semangatnya dalam berjuang mendapatkan kemenangan dari banyaknya lawan yang mengikutisertai ini. SUKSES SELALU!!

SELESAI

Kisah Umar Bin Khattab

Mohon maaf karna keterbatasan waktu, sehingga cerpen-cerpen karya admin sendiri banyak yang masih dalam proses penulisan. Begitu pula semua kiriman penulis lainpun masih banyak yang belum sempat admin baca. Baiklah, kita langsung saja ke Kisah Umar bin Khattab berikut ini. Selamat membaca.

KISAH UMAR BIN KHATTAB

.

Pernah suatu ketika Madinah dilanda oleh musim paceklik yang berkepanjangan.

Akibatnya, saat itu banyak rakyat Madinah yang meninggal akibat kelaparan.

Melihat hal tersebut, Umar bin Khattab pun merasa sedih dan terus membantu rakyatnya dengan memberikan sebagian besar hartanya. Bahkan, Umar pun enggan memakan daging dan meminum susu hingga cobaan tersebut berlalu.

Umar bin Khattab justru hanya mengkonsumsi roti dan minyak zaitun saja agar dia bisa memahami bagaimana penderitaan yang dialami oleh rakyatnya yang kelaparan.

.

Di lain kesempatan, Umar bin Khattab pun gemar melakukan blusukan berkeliling kota untuk melihat kondisi rakyatnya secara sembunyi-sembunyi.

Umar melakukan kegiatan tersebut di malam hari dan saat itu ia mendengar tangisan seorang balita akibat kelaparan dalam sebuah gubuk kumuh.

Rupanya balita tersebut adalah anak dari seorang janda yang tak memiliki makanan apapun dan janda tersebut berpura-pura memasak batu agar sang anak berhenti menangis.

Umar pun mendengar keluhan sang janda bahwa kondisinya demikian karena Khalifah Umar tak memperhatikan kondisi rakyatnya.

.

Bukannya marah terhadap ucapan sang janda, Umar bin Khattab justru merasa sangat bersalah.

Sedangkan sang janda tak menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah Khalifah Umar.

Umar pun segera pulang dan mengambil sekantung gandum yang berat.

Umar bahkan memikul sendiri gandum tersebut kembali ke tempat janda tersebut meskipun ia harus berjalan jauh dan kelelahan. Umar sangat menyadari bahwa sebagai pemimpin ia harus bertanggung jawab atas kondisi rakyatnya.

Link sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2235896003406003&id=1429884347340510