Sabtu, 16 Mei 2020

Rumah Tangga

Pic from google
Aku ini laki-laki biasa awalnya. Lulus sekolah dengan nilai cukup. Tidak kurang juga tidak lebih. Sempat kuliah namun gagal. Tapi tidak menyurutkan langkahku untuk tetap hidup damai. Kemudian aku bekerja pada salah satu perusahaan swasta yang cukup besar. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana mulanya, aku bertemu dengan perempuan ini. Perempuan yang sangat-sangat biasa. Wajah biasa-biasa saja penampilanpun sederhana.

Dia juga bekerja di perusahaan swasta besar di kota ini. Entah sejak kapan kamipun dekat. Karna perhatiannya yang luar biasa membuatku nyaman, akupun jatuh hati padanya. Walaupun aku tau dia biasa saja. Ya, karna dia tidak cantik. Sedangkan aku yang digilai banyak perempuan, mungkin seharusnya mendapatkan gadis yang super cantik agar serasi denganku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menyayanginya. Karna Ia membuatku nyaman dengan perhatiannya. Singkat cerita kamipun menikah. Sebetulnya ada kendala saat kami memutuskan untuk menikah. Ya, kendala itu adalah soal pekerjaanku yang sebetulnya saat itu statusku masih kontrak. Tapi calon bidadari surgaku ini rupanya tidak ambil pusing. Ia katakan bahwa harta bisa dicari bersama setelah menikah. Aku makin meleleh padanya. Dia bukan seperti perempuan kebanyakan. Yang mencari laki-laki mapan untuk dinikahi. Padahal dia sendiri cukup berhasil dalam karirnya. Harusnya dia punya gengsi untuk memilih laki-laki mapan. Mungkin Ia hanya terpesona pada tampangku. Begitu kupikir saat itu.

Ok, cerita kusingkat-singkat aja ya. Akhirnya kami menikah, setahun kemudian kami memiliki seorang putri. Dan benar saja, ditahun ini kontrak kerjaku habis. Jadilah aku pengangguran. Bapak rumah tangga. tapi tidak full, Karna tetap saja yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah istriku. Namun begitu, aku membantunya menjaga putri kami. terlebih lagi, saat putri pertama kami lahir, istriku gelagapan, bingung mengurus baby. Tentu saja, karna sejak kecil Ia di manja oleh Ayah Ibunya. Sebetulnya aku yakin Iapun tidak terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Terbukti Ia lebih sering bermalasan. Jika sudah kepepet, barulah Ia kerjakan. Seperti mencuci piring misalnya. Kalau piring sudah habis, terpaksa Ia mencuci piring, lantai sudah berdebu, barulah Ia menyapu. Itulah istriku.

Tapi tidak mengapa. Karna Ia sangat sayang padaku. Aku tau itu. Aku ini sangat berarti baginya. Meski aku pengangguran, Ia tetap melayaniku dengan sabar. Kau tau, aku yang membersihkan baby kami jika Ia pup, memandikannyapun terkadang Ia malas. Alasannya masih ngeri karna masih terlalu kecil. Pokonya Ia betul-betul Ibu pemula yang buruk. Tapi tak apa. Nanti Ia pasti akan terbiasa. Aku terus menganggur selama setahun. Istriku tak mempermasalahkan itu, walaupun sesekali Ia sering bertanya dalam senyum dan wajah sedihnya. Kapan yah kamu dapat kerja lagi?.

Aku hanya terdiam. Karna dari sekian banyak lamaran yang kumasukan secara online di beberapa perusahaan, belum ada satupun panggilan yang kuterima. Aku tau, Ia bertanya seperti itu karna walau kami memiliki gaji dari pekerjaannya, tapi itu tidak mencukupi. Meski Ia yang bekerja mencari nafkah, Ia juga yang mengerjakan pekerjaan rumah, lambat laun Ia mulai lihai merawat baby kami. Pada akhirnya aku sedikit menyadari. Semua Ia lakukan untuk ruah tangga kami. Mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah, juga merawat baby. Lalu aku apa? Ngapain? Yah, inilah aku. Suami yang kurang peka. Hanya suka tidur, menonton TV dan bermain game.

Tapi Alhamdulilah. Tak berapa lama akupun mendapatkan pekerjaan. Gajinya tidak besar, tapi lumayan untuk kehidupan kami ke depannya. Istriku bahagia. Itupun karna ternyata Ia hamil lagi. Putri kami akan segera memiliki adik. Kupikir akhirnya kehidupan kami kembali normal. Karna aku kini telah bekerja lagi. Tapi memang yang namanya manusia, selalu saja tak pernah merasa cukup. Pada akhirnya bukan mensyukuri pekerjaan yang telah susah payah kudapatkan, aku malah mengeluhkan gajiku yang justru lebih rendah dari gaji istriku. Seringkali aku ungkapkan rasa maluku padanya karna memiliki gaji yang tidak seberapa dibanding gajinya.

Aku merasa gagal lagi sebagai seorang suami. Namun begitu, istriku tetaplah istriku yang sederhana, tidak cantik, namun sangat-sangat mencintaiku. Tentu saja aku tau dia sangat mencintaiku. Jika tidak, mungkin telah lama Ia pergi meninggalkanku karna kegagalanku. Aku tidak mau terpuruk terlalu lama. Aku bekerja dengan sangat giat dan rajin. Pergi pagi pulang terlalu larut. Namun tetap saja, tak ada yang berubah. Sampai-sampai kami jadi sering bertengkar kecil karna masalah waktu.

Ya, waktu kerjaku yang sangat tidak sebanding dengan gajiku. Gaji minim namun waktu bekerja tidak wajar. Aku terus berusaha meyakinkan istriku untuk bersabar, meski terkadang Ia berteriak padaku karna kesal setiap hari pulang terlalu larut. Aku hanya bisa menerima keadaan itu. Karna sesungguhnya Ia benar. Gajiku tidak mencukupi kebutuhan kami, tapi aku sama sekali sudah tak punya waktu luang untuk sekedar jalan-jalan seperti yang sering kami lakukan dulu. Itu semua karna jam kerjaku.

Sampai pada akhirnya, aku mendapatkan kesempatan. Alhamdulilah, aku berkesempatan pindah ke perusahaan yang lebih baik. Meski gaji hanya sedikit saja naiknya, tapi aku yakin dengan kemampuan, pengalaman, dan tekadku, aku pasti akan berhasil diperusahaan baru ini. Jam kerjaku tidak banyak berubah, masih sering pulang malam. Kadang aku pulang, istri dan anak-anakku sudah terlelap, pagi saat aku berangkat, istriku sudah lebih dulu berangkat ngantor, sementara anak-anak kami titipkan pada mertuaku.

Perlahan tapi pasti, aku semakin berhasil. Gajiku perlahan naik. Alhamdulilah lama-lama mendekati gaji istriku. Akupun terus mengejar karir. Demi bisa mencukupi kehidupan keluarga kami. Semakin lama aku semakin lebih sering menghabiskan waktu di kantor. Memang karna pekerjaanku yang menyita banyak waktu kerjaku. Aku minta pengertian istriku untuk bersabar. Ia mengerti, walau terkadang suka ngambek. Aku maklumi itu.

Gaji kami yang perlahan mulai mencukupi, rupanya belum dapat mengurangi beban istriku. Ia mengerjakan semuanya. Bekerja juga, pekerjaan rumah, mengurusku, megurus anak-anak. Entah bagaimana Ia melakukan itu semua dengan kesabarannya. Seharusnya aku lebih sering memujinya. Tapi aku bukanlah laki-laki type romantis yang suka memuji istri. Entahlah, aku merasa itu hal yang kurang penting. Meski banyak artikel yang sering kubaca mengatakan bahwa pujian-pujian kecial suami terhadap istri sangatlah bermakna bagi kehidupan rumah tangga, terlebih lagi bagi si istri. Namun tetap saja aku kurang pandai memuji.

Parahnya lagi, semakin hari aku semakin malas membantunya mengerjakan pekerjaan ruman. Disaat Ia sedang berbenah lantai yang berdebu, penuh sampah berserakan, bahkan mainan anak-anak, aku hanya asyik memainkan game di gadgetku. Tak membantunya sama sekali. Padahal setelah selesai mengerjakan itu, masih banyak tumpukan pakaian yang mesti dicuci dan disetrikanya. Kami bukan tidak ingin memiliki ART, hanya saja jaman sekarang sulit sekali mendapatkan ART yang cocok. Jadilah sampai sekarang semua pekerjaan di handle istriku. Tak satu kalimat pujianpun bisa keluar dari mulutku. Bahkan sekedar bilang bahwa Ia pahlawan kami, wonderwoman yang di utus Allah mengurus rumah ini. Kalimat itu hanya ada dalam kepalaku saja tanpa pernah kukatakan padanya.

Bahkan tak jarang aku malah mencapnya pemalas ketika sesekali Ia hanya terlihat merebahkan diri di kasur tanpa berbuat apa-apa. Piciknya aku. Jika Ia pemalas, lalu aku apa?

Sekarang kehirupan kami terasa sudah jauh lebih baik. Meski kami delapan tahun kemudian telah dikaruniai tiga orang anak, tapi kami hidup cukup. Masih dari gajiku dan istriku. Istriku belum berani memutuskan untuk resign. Akupun demikian. Belum yakin jika Istriku tidak membantuku mencari nafkah. Lambat laun gajiku sudah jauh melebihi gaji istriku. Yah beginilah naluri lelaki. Gaji besar sedikit, merasa mencukupi, kemudian jadi betul-betul pemalas membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak ada satupun pekerjaan rumah yang aku bantu. Semua hal benar-benar istriku yang mengerjakan. Sedangkan aku bahkan hanya bisa cuek menanggapi keluhannya ketika Ia sedang mengeluh capek. Yah inilah aku. Sampai pada suatu ketika, aku dihadapkan pada cobaan berat yang aku tidak menyangka sama sekali akan terjadi.

Istriku yang selama ini kuanggap sabar, melayaniku sepenuh hati, merawat anak-anak kami, yang aku yakin Ia sangat mencintaiku lebih dari dirinya, kehilangan kesabaran. Aku melihatnya memegang kertas itu. Lembaran kertas yang membuat jantungku serasa ingin berhenti.

Ia tidak pernah membahas apapun tentang pernikahan kami selama ini. Keluhan-keluhannyapun tidak pernah membahas tentang perceraian. Aku shock melihat Ia memegang kertas bertuliskan "Pengadilan Agama. Pengajuan Cerai". Tak sanggup berkata-kata rasanya.

Yang membuatku bingung, kenapa Ia membawa-bawa kertas itu dengan wajah santai seperti tidak ada perasaan apa-apa. Dan kenapa Ia belum juga membicarakannya denganku. Ya Allah, apa ini akibat dari kemalasanku? Akibat dari sikap cuekku yang berlebihan? Tak pernah sekalipun memujinya, bersikap seolah yang Ia lakukan untuk keluarga ini hal yang biasa-biasa saja. Apakah pada akhirnya kesabarannya telah habis?

Habis dimakan semua pekerjaan kantor, rumah, mengurusku, dan juga anak-anakku? Ya Allah kenapa dia diam saja sampai detik ini. Ia memasukan lembaran kertas itu ke laci documen dalam lemari pakaian. Tanpa berkata apa-apa. Hatiku tegang, jantungku dag dig dug. Menebak-nebak apa yang akan Ia katakan padaku?

"Pah, kita cerai saja ya?"

"Pah, aku sudah gak tahan dengan sikap cuekmu".

"Pah, kita sudahi saja".

"Pah, aku lelah. Kita selesai saja ya".

Aku menduga-duga sambil mengucurkan keringat dingin. Tapi anehnya, sampai malam hari waktunya kami tidur, Ia tidak juga membicarakannya. Bahkan saat makan malam. Sikapnya masih seperti biasa. Seolah tak ada apa-apa.

Ya Allah, andai ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini semua. Akhirnya malam semakin larut. Ia tertidur. Tertidur tanpa membicarakan perceraian yang sedang Ia siapkan. Rasanya aku ingin sekali melihat lembaran kertas itu. Tapi rasa takut dan kecewa lebih besar dari rasa penasaranku akan kertas itu. Karna jelas-jelas judul kertas itu Surat Pengajuan Cerai.

Pagipun tiba, aku yang jadi sulit tidur nyenyak, bangun dengan wajah kusut. Istriku seperti biasa panik. "Lho pah, koq nukanya pucet, kantung mata papah hitam sekali. Kenapa? Papah sakit?". Tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng kemudian kembali menarik selimut. Hari itu istriku sedang cuti. Itu sebabnya Ia masih dirumah. Biasanya Ia berangkat lebih pagi dariku.

Kuputuskan untuk berangkat lebih siang. Karna merasa tidak enak badan. Aku yang workaholic ini memang tidak mungkin mengajukan cuti, meski sakit sekalipun. Paling-paling aku hanya ijin datang siang sampai badanku terasa enakan.

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah kami berbunyi "Ting Tong". Istriku beranjak ke lemari pakaian, mengambil kertas itu. Kertas yang membuatku tak dapat tidur semalaman.

"Lho mah, kertas itu?". Tanyaku sepotong-sepotong.

"Ooh ini, iya nih kemaren pengacaranya Mba Nida datang ke rumahnya, tapi Mba Nidanya lagi gak ada. Jadi dititipin ke aku. Akhirnya Mba Nida memutuskan pisah dari Mas Seno lho Pah. Sebentar ya Pah, aku ke depan dulu kasihkan surat ini ke Mba Nida".

Iapun pergi berlalu membawa kertas itu bersamanya unutuk diserahkan kepada yang punya.

Aku terdiam, bengong tanpa kata. Kemudian tertawa kencang hingga mengagetkan istriku yang masih di depan menutup pintu karna Mba Nida langsung pulang begitu menerima surat itu.

"Pah, apa yang lucu? Koq tertawa sampai terdengar ke ruang tamu?". Tanyanya padaku yang masih menyeringai lebar mentertawakan kebodohanku sendiri. Aku bingung mau jawab apa. Mau bohong tapi gak kepikiran bohong apa. Jadilah aku ceritakan semuanya. Dari awal aku melihat dia membawa-bawa kertas itu sampai pagi tadi surat itu diserahkan. Aku ceritakan bagaimana aku menduga-duga yang akan Ia katakan padaku tentang perceraian.

"Hahahahahah........". Iapun ikut tertawa. Ia tertawa sangat lepas, sangat bahagia. Baru kali ini aku lihat tawanya yang begitu mekar. Maka akupun bertanya. "Ih Mama koq ketawanya gitu amat? Seneng banget ya ngetawain Papah yang bodoh ini?".

Tapi jawabannya membuatku terkejut. Rupanya rasa panik yang menjalar padaku sejak semalam itu Ia artikan bahwa aku takut kehilangannya. Mungkin benar. Hanya saja tak satu kalipun aku pernah mengungkapkan dengan kata-kata atau hal romantis tentang rasa takut kehilangannya itu.

"Mama bukan senang karna Papah udah suudzon dan bersikap bodoh seperti itu. Mama hanya gak nyangka aja. Ternyata Papah takut juga ya kehilangan Mama? Papah gak mau ya dicerai sama Mama?". Katanya sambil terus tertawa dengan wajah seperti meledek aku yang terlihat bodoh.

Ya, benar juga. Sejak semalam aku ketakutan. Aku takut kecewa, takut shock menerima kenyataan bahwa kami akan berpisah. Baru kusadari sudah bertahun-tahun lamanya sejak pernikahan kami, aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan rasa sayangku padanya, pada istriku ini. Jarang memujinya, bahkan tak pernah mengungkapkan dengan gamblang bahwa aku tak bisa kehilangannya. Karna akupun baru menyadari sejak semalam.

Kemudian Iapun bicara. Kalimat yang mambuatku lega dan merasa makin dicintai olehnya.

"Papah nih aneh. Koq bisa-bisanya mikir begitu. Kita ini udah hidup tenang. Alhamdulilah semua kebutuhan sudah terpenuhi, anak-anak sehat, tidak ada masalah di rumah ini. Kenapa Papah bisa berpikiran Mama bakalan minta cerai? Kalo emang Mama gak peduli Papah, sudah sejak dulu Mama minta cerai. Sejak Mama harus berjuang sendirian.

Bukannya mengungkit-ungkit nih ya Pah. Kalo Mama cuma mau hidup enak dan nerima Papah yang bisa nyukupin aja, buat apa Mama bertahan dengan kondisi kita yang dulu itu. Makan kurang, kebutuhan kurang, Papah bahkan gak kerja, kalaupun kerja gajinya kecil. Buat apa pah. Mending dari dulu aja minta cerainya. Sekarang Papah udah mapan, udah nyukupin, gaji sudah besar. Masa iya Mama malah minta cerai sekarang dari Papa. Papah nih aneh".

"Yaah, Papa pikir Mama gak hanya butuh dicukupin secara finansial aja. Mama kan tau sendiri Papa males bantu-bantu kerjaan rumah, gak pernah muji Mama, jarang bilang sayang, hal-hal semacam itulah pokonya".

"Gini ya Pah, sebetulnya Mama tuh ga terlalu pingin banget koq di puji-puji Papah. Apalagi digombalin. Gak perlu pah. Walaupun kadang suka kesel dengan Papa yang sama sekali gak bantu kerjaan rumah, Mama masih gak masalah koq. Masih bisa sabar ngerjain itu semua. Cuma satu hal yang Mama pingin dari Papah. Jujur apa adanya. Gimana di rumah, ya begitu di luar".

"Maksud Mama gimana?". Tanyaku penasaran. Karna rasa-rasanya sikapku di rumah dan di luar gak ada bedanya. Sama-sama cuek, gak pernah bermasalah.

"Mba Nida pernah nemu BBM'an Mas Seno sama teman kerja wanitanya. Mba Nida bilang sih awal-awal itu isiya cuma kaya becandaan biasa aja. Berawal dari "Eh ke mana lo? Koq gak masuk?". Kemudian dibalas sama Mas Seno. "Ada koq lagi di HRD, kenapa nyariin gue? Kangen ya? Hahaha". Mba Nida pikir cuma becandaan teman biasa aja di kantor. Eeeh mana tau akhirnya mereka malah pisah gara-gara Mas Seno kedapatan serius sama perempuan itu. Naah yang Mama mau, sikap Papah ya jujur. Di rumah cuek, di luar ya harus gitu juga dong. Jangan sama istri cuek, sama teman kantor becanda-becanda kangen-kangenan gitu. Istri mana tau Pah suaminya seperti apa di kantor. Cuek atau malah ganjen. Itu yang Mama gak mau".

Aku tersenyum sambil mengangguk kemudian mencium kening istriku. "InshaAllah, Papah gak akan ganjen-ganjen di luar rumah. Heheheheh". Kamipun tertawa. Rasanya lega dan akhirnya aku semangat lagi berangkat ngantor yang kesiangan hari ini.

Aku hanya berharap dan berdoa. Semoga Allah tidak mengujiku melalui perempuan-perempuan mulus di luaran sana. Jangan sampai aku tergoda apalagi terpikat dengan lawan jenis di luar rumah. Ya Allah, lindungi hambamu. Tidak ingin perjuanganku bersama istriku sedari kami menikah sampai semapan ini jadi sia-sia hanya gara-gara aku terlena dengan kemolekan perempuan di luaran sana. Semoga Papah selalu ingat perjuangan Mama mendampingi Papa dari kita hidup sulit ya Mah.

Jangan pernah lupakan, siapa yang berjuang bersama kita sedari kita masih susah. Jika banyak perempuan-perempuan molek di luaran sana yang menggoda imanmu. Maka ingatlah, azab Allah sangat pedih, dan karma dari istri yang tersakiti pasti terbalas. Senang hanya sesaat jika harus ditukar dengan kehilangan keluarga yang selama ini mensupport kita, maka kamu pasti akan merugi.

Setialah bersama istri. Arungi hidup seperti kapal dan nakhodanya. Meski klise, kalimat itu memang benar maknanya.

#SELESAI#

By: Nanda

#CurhatSuami

Jumat, 15 Mei 2020

Monyet yang rakus

Alhamdulilaah akhirnya ada juga pembaca BLog Cerpen yang mengirimkan cerita anak-anak.

Ini yang kita tunggu-tunggu ya guys. Ceritanya menarik kiriman dari Muhammad Zainul Firdaus.

Kami ucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya mengirimkan cerita ini. Berikut kisahnya !

Monyet Yang Rakus

Apakah ini sudah cukup??” kata kelinci.”Iya mungkin ini sudah cukup untuk makan selama 1 minggu”kata kura-kura,”Baiklah,kita istirahat sekarang!!”kata siput.Kelinci kura-kura dan siput sudah bersahabat sejak lama,Iapun berundingan untuk mencari makan bersama-sama,lalu makanan tersebut disembunyikan dirumput bawah pepohonan.”semoga saja tidak ada yang tahu tentang persembunyian ini,ya...??”ucap si kelinci,”Iya..semoga saja”Kata kura-kura dan sisiput.Dan merekapun berbincang bincang sambil makan makanannya.

Disisi lain,monyet pergi bergelantungan untuk mencari makanan dipohon-pohon,secara tidak sengaja,monyet melihat kelinci dan teman temannya menyimpan makanan disuatu tempat.monyetpun berpikir jahat.”jika kuambil semua makanan itu maka aku akan makan besar minggu ini..hahaha!!”ucap monyet dalam hati.Setelah kelinci dan teman temannya pulang,simonyetpun melakukan aksinya untuk mencuri makanan tersebut.

Keesokan harinya kelinci dan kura-kura marah-marah,sebab makanannya habis tidak ada satupun tersisa “kemana semua makanan kita ini??”ucap kelinci dengan mata agak memerah,sisiputpun terdiam dan memikirkan sesuatu “Hmm...Bagaimana kalau kita cari dirumah rumah sekitar sini..”.Sisput mengajukan saran,”baiklah,mungkin kita bisa..”Setelah kelinci dan teman temannya berkeliling satu kampung,

Hanya tinggal rumah monyet yang belum didatangi”Mari kita tanyakan ke monyet”Kata siput.

Ketika kelinci hampir mengetok pintu,secara tidak sengaja ia mendengar si monyet bicara sendiri di jendela luar”Huh...Seandainya saja aku makan banyak seperti ini tiap hari..pasti aku selalu kenyang nihh..”Kata monyet sambiil berharap.

Kelincipun mengintip dari jendela luar,dan melihat sampah buah buahan bertumpuk dirumah simonyet,seketika kelinci membuat siasat untuk mencelakakan si monyet.

“Dasar,simonyet sangat keterlaluan.”kata sikelinci.”Benar,dia mencuri makanan kita..!!”kata kura-kura.Kelinci dan teman-temannya pun berunding untuk mencelakakan simonyet.Beberapa saat kemudian kelinci membuat lubang yang agak dalam,kura-kura menutupi lubang tersebut dengan kayu kayu yang ditutupi beberapa daun,dan sisiput menaruh makanan diatas

dedaunan tersebut.Merekapun bersembunyi disemak semak dan melihat simonyet datang.Simonyetpun bergegas karena melihat makanan yang banyak didepannya.Monyetpun terjatuh kedalam lubang dan merengek minta tolong,sikelinci dan teman temannya mendatangi dia dan memarahi simonyet tersebut.Monyetpun menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.Akhirnya kelincipun menolongnya.

Tamat...

Karya:Muhammad Zainul Firdaus

Bertepuk sebelah tangan? (ikhtiar)

"Ya ampun Faa.... koq ada sih makhluk kaya ka Nizam. MasyaAllah Fa. Gagahnya dia...." kataku kepada Ifa sahabatku yang sedang duduk manis dikursi sebelahku. Kami semua sedang ada acara pensi di sekolah. Dan cowok yang barusan aku kagumi itu sedang berdiri di atas panggung dihadapan kami semua ratusan murid disekolah ini.

Ia adalah Nizam. Senior kelas tiga yang juga seorang ketua osis plus ketua ekskul rohis. Tidak bisa dipungkiri lagi ketampanan dan kepandaiannya disekolah ini. Aku yakin semua siswi pastilah menaruh hati padanya. Ia memang luar biasa. Bagaimana tidak, diumurnya yang bahkan masih semuda ini, Ia sudah hafal AlQur'an dan fasih berbahasa arab. Katanya sih, umi dan abinya mengkhususkan Nizam kursus bahasa arab dan pendidikan tahfidz dirumahnya.

Bahkan guru agamanyapun privat yang didatangkan langsung ke rumahnya. Bagi kedua orangtua Nizam, amatlah penting mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih dekat dengan agama daripada dunia. Maka, disaat anak-anak lain sibuk kursus bahasa inggris, komputer, design, dan teknik lainnya, keluarga Nizam justru sibuk memberi pendidikan agama yang cukup dalam.

Meski begitu, Nizam adalah Nizam, seorang cowok sempurna yang bukan cuma sholeh tapi juga banyak bakat. Hanya berbekal pelajaran bahasa inggris disekolah tanpa kursus, Nizam cukup lumayan berbahasa Inggris. Sehingga Ia menguasai dua bahasa asing itu. Ditambah lagi suaranya yang merdu setiap kali mengumandangkan Adzan dan semua nilai mata pelajarannya yang hampir sempurna. Jadilah Ia Nizam kebanggaan sekolah kami.

Mungkin ini yang disebut mengejar akhirat pasti juga dapat dunia. Pelajaran yang selalu kupegang teguh semenjak aku mengenal sosok Ka Nizam kakak kelasku itu.

Dia pulalah yang selalu mengisi acara ceramah setiap kali pensi tahunan diadakan disekolah kami. Salah satu ceramahnya ya itu tadi.

"Kalau kita mengejar dunia, niscaya akan sulit kita dapatkan apa yang kita inginkan. Namun jika kita mengejar amalan akhirat, maka inshaAllah apa yang kita butuhkan didunia pastilah akan terpenuhi."

Dan sampai detik ini, dimana usiaku sudah menginjak 34 tahun, aku masih saja mengingat ceramah itu. Aku menjadi pribadi yang lebih baik dalam beriman. Mengejar keshalihan demi hidup tenang. Benar saja kata Ka Nizam, hidupku sempurna. Lulus dengan nilai terbaik, menjadi seorang dokter dengan penghasilan yang semua orang pastilah tau dan memiliki sahabat seperti Ifa yang masih saja setia menemaniku hingga detik ini. Meski sekarang Ifa sudah berkeluarga tentunya.

"Jadi sekarang, apalagi yang kamu pikirkan May?" Tanya Ifa kepadaku yang sedang duduk dibangku pasien disebrang mejaku. Saat ini aku sedang sepi pasien. Sehingga aku meminta Ifa datang ke Rumah Sakit tempatku praktek untuk menemaniku. Ifa sendiri cukup sukses sebagai pebisnis butik muslim. Sehingga Ia tidak terikat waktu dalam pekerjaannya.

"Maksud pertanyaanmu?" Balasku bertanya pada Ifa yang sedari tadi menanti jawaban dariku.

"Ya apa lagi yang kamu tunggu May. Hasan itu laki-laki yang baik lho. Dia sholeh, sukses sebagai entrepreneur dan kelihatannya dia juga betul-betul serius tertarik sama kamu. Kenapa ngga kamu terima saja tawaran ta'aruf darinya?"

Hasan adalah salah seorang teman kampusku semasa kuliah dulu. Ia juga telah berhasil menyelesaikan study kedokterannya. Tapi rupanya Ia lebih senang tenggelam dalam dunia bisnis ketimbang dunia kesehatan yang justru menjadi jurusannya di kuliah dulu. Unik memang. Namun entah kenapa aku merasakan hal  yang berbeda pada Hasan. Memang ada sedikit rasa ketertarikan padanya. Pada sosok laki-laki mandiri nan cerdas seperti dirinya. Tapi perasaan itu tidak seperti yang pernah aku rasakan pada Ka Nizam dulu. Entahlah.

"Fa, tidak semua pernikahan itu segampang kamu dan Mas Edo. Kamu tau kan banyak hal-hal yang mesti aku pikirin." Jawabku kemudian. Aku tau Ifa mengkhawatirkan sahabatnya ini yang sudah 34 tahun menjomblo. Sedih ya. Hehehehe. Tapi tak mengapa. Allah tau apa yang kuinginkan tapi Allah tau apa yang lebih kubutuhkan. Aku masih harus istikharah meminta petunjuknya.

"Mas Edo, minggu depan aku mau mengajak Ifa ke Bogor. Ada kajian di sana. Ustadzah Arumi yang mengisi. Apa diizinkan?" Tanyaku pada Mas Edo suami Ifa dari sebrang telepon. Kebiasaan kami adalah aku selalu memintakan izin kepada Mas Edo suami Ifa meski sebelumnya Ifa sudah lebih dulu meminta izin kepada suaminya itu. Ini hanya sekedar rasa hormat dan tata krama kepada saudara. Bagiku ini penting.

"Tentulah May, silahkan. Aku juga sudah bilang sama Ifa kalau dia boleh pergi sama kamu". Jawab Mas Edo kemudian. Ada sedikit rasa lega setelah mendapatkan izinnya, karna lokasi yang menurutku cukup jauh di Bogor. Meski bisa ditempuh pulang pergi, tetap saja membutuhkan waktu berjam-jam dijalan untuk tiba ditujuan.

*Seminggu kemudian dilokasi kajian*

Kajian dilaksanakan di dalam aula. Karna bukan di masjid, sehingga disediakan kursi-kursi untuk para tamu undangan dan hadirin yang datang. Aku dan Ifa duduk bersebelahan.

"Permisi mba, kursi disebelahnya kosong gak ya?" Seorang wanita berparas cantik dan lembut tiba-tiba muncul dan menanyakan kursi kosong disebelahku dan Ifa.

"Oh kosong mba silahkan diisi aja." Jawabku kemudian. Acara sebentar lagi dimulai. Tapi tiba-tiba mataku terperanjat melihat sosok yang tidak kuduga hadir di acara kajian kali ini. "Apa aku salah lihat?" Batinku bergumam. "Tapi sepertinya benar. Meski sekarang kami sudah jauh lebih dewasa, tapi dia tidak banyak berubah. Aku yakin betul tadi itu Ka Nizam yang ada dibalik tirai belakang panggung."

"Kenapa May? Mukamu aneh dari tadi." Tanya Ifa menatapku heran. Aku masih kurang yakin meski sebetulnya sangat yakin. Aaah entahlah. Kurang yakin tapi sangat yakin. Apalah perasaanku ini. Acarapun dimulai.

Tiba-tiba sesosok laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, tegap dan gagah membuka acara di atas panggung. Sontak aku dan Ifa terkejut.

"MasyaAllah Maaay. Itu........"

"Iya Fa, itu. Itu lho yang dari tadi membuat mukaku aneh. Dia dibalik tirai panggung sesekali tirainya tersingkap aku lihat dia dari tadi. Ya ampuuun Faaa...... itu Ka Nizam. MasyaAllah ya Fa dia masih gagah aja. Bahkan sekarang aura charmingnya lebih kelihatan. Ya ampun Fa, cinta pertamaku didepan sana." Gumamku dengan wajah super aneh dan nyebelin saking kaget dan kagumnya pada sosok laki-laki itu. Aku sampai tidak sadar kalau obrolanku dengan Ifa sepertinya terdengar oleh orang-orang.

"Husss, May berisik kali." Sahut Ifa sambil menyikut lenganku pelan.

"Tapi itu Ka Nizam Fa, beneran dia kan." Bisikku kepada Ifa dengan suara yang cukup jelas.

"Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh, Terima kasih untuk para tamu undangan dan hadirin yang berkesempatan hadir di acara kajian kali ini yang akan diisi oleh Ustadzah Arumi. Saya berdiri di sini sebagai MC mengucapkan terima kasih juga telah diberi kesempatan membuka acara ini. Untuk itu kepada Ustadzah Arumi, dipersilahkan."

Acara kajian selesai. Aku dan Ifa masih berdiri di ambang pintu aula. Aku masih terdiam mengingat sosok Ka Nizam barusan. Suasana masih ramai orang-orang. Tiba-tiba saja Ka Nizam terlihat berdiri tidak jauh dari hadapanku. Aku terkejut bukan main ketika melihat Ia sedang menatap ke arahku sambil tersenyum. Dalam batinku, apa tidak salah?

Ternyata Ka Nizam MC nya. Hatiku masih terasa deg-degan ketika melihatnya. Aku bingung, sudah begitu lama tidak bertemu dengannya. Tapi kenapa rasa yang sama timbul lagi. Sialnya lagi, ternyata Ka Nizam lebih ingat Ifa daripada aku. Ya sudah tentu sih. Dulu semasa sekolah Ifa memang cukup supel dan banyak dikenal murid lain. Dari adik kelas sampai kakak kelas rasanya kenal Ifa. Sementara aku yang sangat biasa ini, siapalah yang masih akan mengenalku. Apalagi diingat.

Kemudian perlahan Ia berjalan menghampiri kami. Aku mematung. Ya Allah dia ke sini. Ngapain? Tersenyum. Sama siapa? Aku atau Ifa? Duh makin terasa hangat rasanya hatiku. Seperti ada yang mengalir membanjiri hatiku yang semula dingin.

"Lho Dek' kenapa masih di sini. Kan aku bilang masuk aja ke balik panggung. Boleh masuk koq."

"Gapapa Mas, Adek nunggu depan pintu aja. Malahan tadinya adek mau ke parkiran aja tunggu dimobil."

Waduh. Apa-apaan ini. Ternyata Ka nizam bukan menghampiriku ataupun Ifa. Tapi dia menghampiri perempuan yang berdiri di sampingku dan Ifa. Ya Allaaah ternyata perempuan yang tadi duduk di sebelahku. Yang sempat menanyakan apakah kursi di sebelahku itu kosong atau tidak.

Sejenak kemudian matanya tertuju pada Ifa.

"Lho, kalo gak salah, kamu Ifa kan? Alumni SMA Harapan?" Tanyanya pada Ifa.

"Iya Ka Nizam. Aku Ifa." Jawab Ifa sambil tersenyum.

"Ya ampun, gak nyangka ya ketemu di sini. Oh iya Fa, kenalin. Ini istriku Sarah."

JEGEEEEERRRR.............. bagai kilat menyambar pohon hatiku yang semula dingin kemudian hangat kemudian hancur berkeping tersengat kalimat ini istriku.

Setelah tidak berapa lama Ifa dan Ka Nizam saling menyapa. Kamipun beranjak. Fix dia tidak mengenaliku. Sedih memang. Tapi ya sudahlah. Yang membuatku tak bisa tenang. Apakah istrinya sepanjang kajian mendengar semua perbincanganku dengan Ifa mengenai suaminya. Ya ampuuun. Apa yang harus aku lakukan.

"Fa, gak enak banget deh. Kayanya istri Ka Nizam mustahil gak denger obrolan kita. Ya ampun aku malu banget Fa. Kepergok terlalu mengagumi suami orang di depan istrinya. Ya Allah aku harus gimana Fa." Kataku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku dibangku kemudi dalam mobilku.

"Yah, kamu berdoa aja semoga dia gak denger." Kata Ifa kemudian.

"Gak mungkin Fa." Kataku lagi. Tak berapa lama, aku melihat sosok istri Ka Nizam berdiri di depan sebuah mobil yang terparkir di sebrang mobilku. Aku tak pikir panjang lagi. Buru-buru aku turun dan menghampirinya.

"Assalamualaikum Mba Sarah." Sapaku pada istri Ka Nizam yang sepertinya sedang menunggu kedatangan suaminya di parkiran ini.

"Waalaikumsalam." Jawabnya lembut.

"Maaf Mba Sarah, saya mau bicara sebentar. Saya Mayang temannya Ifa yang teman alumni sekolahnya Ka nizam yang barusan ngobrol tadi." Kalimatku berantakan. Sebagai seorang Dokter, rasanya omonganku ini sama sekali tidak mencerminkan. Karna aku terlalu gugup, malu, dan merasa bersalah pada perempuan lembut ini.

"Iya, saya tau koq Mba Mayang. Ada apa mba?" Tanyanya dengan sopan dan suara yang lembut keibuan. Aku meleleh oleh pesonanya dan tutur katanya yang lembut. Kalo perempuan lain mungkin sudah bersikap angkuh dan sombong berhadapan dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi suaminya. Tapi Sarah, sama sekali tidak seperti itu.

"Mba Sarah mungkin tadi mendengar obrolan saya dengan Ifa. Saya betul-betul minta maaf Mba. Saya harap Mba Sarah tidak merasa terganggu. Karna biarpun dari obrolan tadi saya seperti terlalu kagum pada Ka Nizam, tapi sejujurnya itu dulu Mba. Aduh, maksud saya, biarpun kedengarannya seperti saya masih mengagumi beliau, itu hanya karna beliau memang pantas di kagumi karna prestasinya. Seperti fans kepada artis aja Mba. Jadi saya mohon maaf kalo sekiranya obrolan tadi jadi mengganggu pikiran Mba."

Sungguh butuh keberanian teramat besar mengakui semua ini. Tapi sebagai seorang perempuan, aku tidak mau sikapku mengganggu perempuan lain. Terlebih lagi mengganggu pikiran rumah tangga orang. Jadi dengan segenap kekuatan dan rasa tanggung jawab, aku terpaksa harus bicara.

"Ya ampun Mba Mayang. Apa benar Mba segitu mengagumi Mas Nizam? Saya malah baru tau saat Mba ngomong ini. Saya sama sekali gak dengar obrolan Mba Mayang dengan Mba Ifa lho. Gak apa koq Mba. Saya baik-baik aja. Gak perlu terlalu dipikirkan." Jawabnya kemudian.

Rasanya mustahil dia tidak mendengar. Sepertinya dia hanya sedang menyelamatkan harga diriku saja. Dia sungguh-sungguh sosok perempuan yang bisa membuat orang jatuh hati seketika. Bukan hanya laki-laki. Tapi juga perempuan seperti aku. Yang setelah kejadian ini malah justru mengaguminya sebagai seorang perempuan yang baik, terhormat, lembut dan sopan. Rasanya tidaklah salah jika Ka Nizam jatuh cinta pada perempuan seperti Sarah yang cantik luar dan dalam. Aku memakluminya. Jika aku saja yang perempuan begitu kagum dengan pribadainya, bagaimana laki-laki.

Tak lama kemudian, Ka Nizam datang menghampiri istrinya yang masih berdiri bersamaku. Aku bingung dan jadi salah tingkah dihadapan mereka. Rasanya ingin buru-buru menghilang saja ke belahan dunia lain.

"Mas, ingat perempuan yang berdiri di samping Ifa teman Mas tadi?" Tanya Sarah kepada suaminya.

"Ini Mayang Mas kenalin. Mungkin Mas lupa, tapi Mayang ini juga adik kelas mas di SMA yang juga temannya Ifa." Terang Sarah kepada suaminya.

"Oh iya, maaf Mayang. Sebetulnya aku agak-agak ingat tadi. Cuma takut salah. Karna kamu berubah banget dari sejak SMA, dan Ifa tadi juga diam aja. Jadi aku takut-takut mau negornya." Jawab Ka Nizam kemudian.

"Mmmh, ya udah Mba Sarah, Ka Nizam, Saya permisi pulang dulu." Aku buru-buru pamitan. Takut wajah salah tingkahku semakin terlihat.

"Mayang cantik banget ya Mas." Kata Sarah sebelum aku beranjak. Aku tersipu dan makin salah tingkah.

"Iya, sejak dulu di SMA memang begitu. hanya saja dia terlalu pendiam. Hahahah." Jawab Nizam sambil tertawa.

"Ah kalian ini bisa aja." Kataku sambil tersenyum malu. Kamipun saling berpamitan.

Dimobil, dalam perjalanan pulang, aku menceritakan semua yang kubicarakan dengan Sarah dan suaminya. Ifa mendengarkan dengan seksama sambil senyum-senyum dan sesekali mengejek seperti kebiasaannya.

"Hahahah, jadi itu yang kamu omongin sama istrinya. Malu ya kegep. Hihihihi...." Ejek Ifa sambil makan cemilan dikursi penumpang. Sementara aku terus melajukan kendaraan sambil sesekali mendorong lengan Ifa yang mengejekku.

"Ah rese kamu ngejek aja." Kataku.

Seminggu berlalu dari sejak kejadian di kajian itu. Hatiku masih sedih rasanya, mengetahui cinta pertamaku kini telah beristri. Tapi mau bagaimana lagi. Diumur segini justru aku yang aneh, masih saja sendiri. Masa iya aku harus terima pinangan Hasan hanya karna sedang patah hati. Apa tidak gegabah namanya.

Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya selama ini aku memang masih menanti Ka Nizam. Padahal bertemupun sudah tak pernah sejak SMA. Mungkin yang aku nantikan bukan benar-benar Ka Nizam. Bisa jadi aku menanti kehadiran laki-laki yang sesempurna Ka Nizam. Meski aku tau tak ada satupun manusia yang sempurna, setidaknya aku belum melihat kekurangan pada Ka Nizam, meskipun aku yakin pastilah ada.

Beruntungnya Sarah bisa mengetahui kekurangan dan kelemahan Ka Nizam. Apalah yang aku pikirkan. Betul-betul jadi kacau sejak hari itu. Sore ini aku sedang senggang, tidak ada janji temu pasien. Tapi tiba-tiba Suster Ana masuk dan menyerahkan berkas pasien. Aku buka dan nama yang tertera di dalamnya adalah Sarah.

Aaah betapa hidup ini begitu penuh kejutan. Disaat hati gundah, aku malah mendapati pasien yang bernama sama dengan istri Ka Nizam. Rasanya ingin kutolak semua pasien bernama Sarah. Meski mengagumi sosoknya, tapi tak kupungkiri kalau seorang dokterpun bisa iri dengan wanita lain. Sungguh ironi.

"Pasien baru ya An?" Tanyaku pada suster Ana karna berkasnya masih bersih dari medical record.

"Iya Dok pasien baru." Jawab Suster Ana kemudian.

"Ok, persilahkan masuk. Kalau ini yang terakhir, setelah ini aku mau langsung pulang ya An." Kataku pada suster Ana.

"Baik Dok, nanti saya siapkan berkas yang mau Dokter pelajari di rumah."

"Assalamualaikum Dokter Mayang." Sapa pasien baruku itu.

"Waalaikumsalam." Jawabku kemudian dan langsung aku terkejut bukan main. Ternyata pasien baruku ini benar-benar Sarah. Sarah yang.............

ya Sarah, istrinya Ka Nizam. Aku tak menyangka Ia jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk berobat. Padahal di Bogor juga banyak Rumah Sakit besar. Atau jangan-jangan dia mauu.....................

"Hei Mayang, kau ini memang Dokter. Tapi bukan berarti semua laki-laki bisa kau pikat dengan gelarmu. Awas kau berani-berani mendekati suamiku." Aaaah itu khayalanku.

"Maaf Dok, kaget ya?" Tanyanya dengan senyum simpul diwajahnya.

"Aah, iya. Sedikit kaget. Kenapa Mba Sarah sampai cek ke sini? Bukahkah banyak Rumah Sakit besar di Bogor?" Tanyaku penasaran.

"Mmh, iya Dokter Mayang maaf. Jadi sebetulnya aku ke sini karna mau ada yang diobrolin. Tapi melihat begitu padat jadwalmu, jadi sepertinya aku harus jadi salah satu pasienmu untuk bisa bertemu."

"Oh begitu. Kenapa gak kasih kabar aja Mba, aku bisa atur jadwal koq. Kupikir Mba Sarah mau cek kehamilan juga." Kataku padanya dengan wajah masih setengah terkejut.

"Wah senangnya kalau memang aku bisa cek kehamilan. Sayang tidak begitu Dok. Kalo boleh, aku mau ngobrol apa tidak masalah disini?"

Akhirnya kami memutuskan ngobrol di cafe. Karna aku merasa lebih nyaman suasananya untuk ngobrol santai. Dari obrolan kami, jelas terlihat kalau dia benar-benar hanya ingin ngobrol denganku. Walaupun aku agak bingung. Hal apa yang menyebabkan dia mau berteman denganku. Dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi sosok suaminya. Apa tidak takut kalau jin tiba-tiba menyergap diriku dan langsung menggoda suaminya besok-besok. Sungguh wanita ini unik.

Dari obrolan kami aku tau bahwa ternyata keluarga Sarah dan Ka Nizam bukan orang sembarangan. Jika aku hanyalah Dokter yang bekerja pada suatu Rumah Sakit, ternyata mereka adalah pemilik Rumah Sakit Muslim di Bogor. Rumah Sakit Swasta yang cukup besar dan menurutku sedikit mahal. Wah mereka luar biasa. Hatiku makin mengerdil rasanya berteman dengan Sarah.

Entah apa yang ada dipikirannya. Yang jelas, aku seperti hanya melihat ketulusan. Walaupun mungkin ada maksud lain, aku merasa itu pasti bukan maksud jelek. Dia menawarkanku bekerja di Rumah Sakitnya. Dia mau aku jadi Dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit itu. Alasannya sih karna Dokter SPOG baru ada dua di sana, sedangkan mereka lumayan banyak pasien Ibu hamil.

Yang aku tak habis pikir, dari mana Mba Sarah mendapatkan data-dataku. Alamatku, Nomor handphoneku, bahkan tempat aku bekerja. Tapi dipikir-pikir lagi. Orang sepenting dia. Sangatlah mudah mendapatkan apa saja yang dibutuhkan. Buat apa aku ambil pusing bertanya-tanya sendiri.

"Kamu boleh koq Dok pikir-pikir dulu tawaran dari aku. Memang jauh dari rumahmu disini. Tapi kami akan kasih fasilitas apartemen di sana jika kamu menerima tawaran kami. Aku dan Mas Nizam sangat berharap kamu mau bekerja sama dengan Rumah Sakit kami."

Jika saja pribadi Sarah tidak secantik dan tidak terlihat setulus itu, mungkin aku akan suudzon bahwa dia sengaja mau mempekerjakanku di Rumah Sakitnya  untuk menunjukan siapa dirinya dan siapa diriku, bahwa kami berada di kelas yang berbeda, bahwa aku tidak mungkin bisa menjerat suaminya. Aaah pikiran-pikiran picik semacam itu memang sempat terlintas sejenak dikepalaku. Tapi aku yakin Sarah tulus. Dia bukan perempuan seperti itu.

Itu bukan pertemuan terakhir kami. Pada akhirnya aku menolak bekerja sama dengan Rumah Sakitnya. Bukan karna Ka Nizam. Tapi karna aku memang sudah nyaman ditempatku sekarang. Terlebih lagi, rasanya aku akan repot jika tinggal jauh dari rumah. Aku takut lalai pada mamaku. Mama yang setiap hari masih mengurus keperluanku meski sebetulnya tidak perlu. Pengurus rumah tangga kami bisa mengurus semuanya. Tapi jika menyangkut kebutuhanku, mama lebih suka mengurusnya sendiri.

Mama yang setiap hari menyiapkan pakaian apa yang harus kupakai ke Rumah Sakit hari ini, bekal makan apa yang boleh kumakan hari ini dan lain sebagainya. Mamaku itu fashion designer. Itu sebabnya dia agak bawel masalah pakaian kerjaku meski yang kupakai sama saja, hanya gamis dan hijab sebatas dada. Dan aku sepertinya tak bisa jauh dari mama. Apalagi semenjak Papa meninggal. Kami hanya tinggal berdua. Kakak-kakakku semuanya sudah berumah tangga. Hidup masing-masing di rumahnya. Dan kalau aku mengajak mama pindah ke Bogor, sudah pasti beliau menolak. Mana mungkin dia mau meninggalkan usaha butiknya yang sudah sejak kami lahir dia bangun dengan jerih payahnya.

Dengan butik itu juga usaha Papa yang sekarang dipegang Ka Ali bisa berkembang. Jadi aku yakin mama tidak akan mau melepaskan butiknya untuk tinggal bersamaku di Bogor. Jadi tanpa lama berpikir, aku langsung menolak tawaran Mba Sarah.

Setelah pertemuan di cafe itu dengan Mba Sarah, Ia lebih sering menghubungiku. Kadang via email, kadang chat, malah kadang langsung menelepon. Tak terasa sudah dua bulan kami dekat. Ia juga sering mampir ke Rumah Sakit tiap kali ada waktu senggang. Padahal jauh dari Bogor.

Pernah suatu kali tiba-tiba Mba Sarah datang bertamu bersama Ka Nizam ke rumahku. Katanya ingin mengenal Ibuku. Sungguh kaget aku waktu itu. Aku yang sedang mengenakan mukena karna sudah masuk waktu ashar tanpa sadar membukakan pintu tanpa melepasnya. Mereka benar-benar bertamu. Mama sangat senang dengan mereka. Keluarga yang harmonis dan terlihat sangat serasi. Suami istri sholeh sholeha. Sayangnya setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mungkin karna mereka terlampau sibuk dengan bisnisnya.

Akupun sejak pertama kali dekat dengan Mba Sarah jadi lebih concern dengan kesehatan Mba Sarah. Bahkan aku membuatkan jadwal dan aturan makan untuk Mba Sarah dan Ka Nizam agar mereka cepat punya momongan. Sepertinya mereka berdua butuh diprogram kehamilan agar cepat.

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya aku tau apa maksud Mba Sarah mendekatiku dan ingin berteman denganku. Betul saja. Ternyata dia memang ada maksud. Aku sangat-sangat shock saat mendengar maksud dan tujuan Mba Sarah. Berhari-hari aku tidak bisa tidur memikirkan itu.

Siang itu dicuaca yang teramat terik. Chat mba Sarah membuyarkan lamunanku yang sedang duduk santai di ruanganku. Belum waktunya aku praktek. Tapi aku sudah datang sejak pagi. Karna Mba Sarah ingin bicara serius denganku dan mengajak bertemu di cafe dekat Rumah Sakit tempat kami biasa ngobrol. Dalam hati aku bergumam. Hal serius apa yang ingin dibicarakan Mba Sarah. Dia bilang hal ini sudah sejak lama Ia simpan, bahkan sejak kami pertama bertemu di kajian kala itu.

Itu sebabnya Ia mendekatiku. Tapi dia belum mengatakan apa itu. Aku semakin penasaran. Kenapa baru sekarang, setelah sekian bulan kami berteman. Kenapa tidak sejak awal-awal Ia datang menemuiku di Rumah sakit ini. Kalau itu hal serius dan penting kenapa harus ditunda-tunda.

"Maaf ya May, aku ganggu waktu santai kamu siang-siang gini." Katanya dengan wajah agak sedikit canggung.

"Gak papa Mba Sarah. Aku senang koq ada teman ngobrol disela-sela waktu luangku. Memang hal serius apa Mba yang mau dibicarakan. Kata mba waktu di chat, sudah sejak lama. Tapi kenapa ditunda-tunda dan baru sekarang Mba mau omongin?" Tanyaku penasaran.

"Dokter Mayang, aku betul-betul minta maaf sebelumnya. Aku benar-benar tidak ingin sama sekali menyinggung perasaanmu. Sungguh aku gak mau kamu salah sangka dan berpikiran jelek tentang apa yang mau aku omongin ini. Dan mohon janganlah kamu tersinggung dan marah setelahnya."

Aku makin penasaran. Kudengarkan dengan seksama. Aku berusaha untuk tenang.

"Jadi, sebetulnya hal ini sudah lama aku pikirkan. Bahkan jauh sebelum kita saling kenal. Kurang lebih sudah dua tahun lalu rencana ini aku bicarakan dengan Mas Nizam. Awalnya Ia menolak. Bahkan kami sempat bertengkar. Ia bersikeras bahwa rencanaku ini gila dan dia tidak setuju. Tapi pada akhirnya Ia melunak dan menghargai keputusanku. Jadi Mayang, kedatanganku sejak berapa bulan lalu ke tempatmu dan berusaha dekat denganmu adalah karna memang aku sedang PDKT sama kamu. Jadi, aku mau melamarkan kamu untuk mas Nizam."

JEGERRRR.......................

Ini kali kedua aku seperti disengat halilintar. Kali ini wajahku terpaku, terdiam menatap wajah Mba Sarah.

"Mba, apa rumah tangga kalian bermasalah? Kalian baik-baik aja kan? Apa kalimatku waktu di kajian itu membuatmu terganggu? Aku sungguh minta maaf Mba. Tapi aku sama sekali gak ada maksud menggoda Ka Nizam. Lagipula mana mungkin aku mau jadi istri Ka Nizam yang masih beristri." Lidahku kelu. Apa ini. Kenapa jadi begini.

"Mayang. Aku mohon. Kamu jangan langsung menolak. Kamu tolong pikirkan lagi. Jadilah saudariku."

"Aku gak paham Mba. Kenapa Mba mau dipoligami? Boleh aku tau alasannya?" Tanyaku penasaran. Akhirnya Mba Sarah ceritakan semuanya.

"lima tahun yang lalu aku menikah dengan mas Nizam. Bahagia tentu saja. Seperti yang kamu tau, bagaimana sempurnanya Ia dimata para hawa. Dan Ia memilihku. Aku tidak menyalahkan kamu yang jatuh cinta padanya. Aku selalu memaklumi setiap hawa yang memandang iri padaku ketika melihat Mas Nizam. Hari-hari kami sangat baik dan harmonis. Mas Nizam itu romantis lho May orangnya. Kamu juga pasti masih cinta kan sama dia?"

"Ya Allah, pertanyaan macam apa itu mba. Mba mengharapkan jawaban apa dari saya? Iya saya masih cinta sama Ka Nizam? Mba ini ada-ada aja. Jangan permainkan perasaan saya Mba. Sakit hati saya waktu tau Ka Nizam telah beristri. Tapi akhirnya sakit itu berangsur sembuh. Tapi sekarang? Apa ini? Kenapa begini Mba? Fuuuh." Aku menghela nafas dalam. Tak habis pikir akan perbincangan hari ini.

Mba Sarah melanjutkan ceritanya.

"Tiga tahun setelah pernikahan kami, tidak juga kami dikaruniai seorang anak. Entah ada apa dengan kami. Menurut hasil pemerikasaan, kami baik-baik saja. Ditahun keempat, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Kasihan Mas Nizam. Akhirnya aku memberanikan diri mengutarakan maksudku pada Ka Nizam. Aku katakan bahwa sebaiknya Ia mencari istri lagi. Toh dalam agama itu sah-sah saja selama aku ikhlas menjalaninya dan aku yakin Mas Nizam bisa berlaku adil."

"Lalu apa tanggapan Ka Nizam?" Tanyaku penasaran. Tentu saja. Aku ini perempuan. Sudah tentu benci sekali dengan sikap serakah laki-laki. Makanya aku makin penasaran. Apa yang dilakukan Ka Nizam saat mendengar istrinya yang cantik ini rela dipoligami. Senangkah? Tapi ternyata aku cuma suudzon.

"Ia marah bukan main May. Dia bilang aku gegabah, dia bilang aku gak sabaran, dia bilang aku jahat. Bayangkan May, dia yang aku tawarkan menikah lagi. Tapi dia sebut aku yang jahat. Menurutnya, tidak ada satu manusiapun yang bisa adil memperlakukan manusia lainnya. Jangankan istri, kepada anak saja terkadang orangtua tidak bisa adil. Apalagi istri. Itu sangat berat. Dan aku malah mau membebaninya dengan meminta dipoligami. Dia bilang sebaiknya aku bersabar lagi, mungkin ini ujian bagi kami. Allah belum mempercayakan kami dititipi makhluk kecil milikNya itu.Tapi aku bersikeras ini mungkin jalan yang dipilih Allah. Kami bertengkar hebat saat itu. Bahkan Mas Nizam segitu ngambeknya sampai-sampai Ia tidur di luar beberapa hari. Fyuuuh."

Mba Sarah bercerita panjang lebar, sesekali menghela nafas.

"Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya dia membaik. Kemudian aku coba bicara lagi. Tapi dia bersikeras tidak mau. Tapi karna aku terus membujuknya akhirnya dia bilang, OK, dia akan menikah lagi dengan dua syarat."

Aku terdiam, menantikan kelanjutan cerita Mba Sarah. Penasaran syarat apa yang diminta Ka Nizam. Sampai Ia akhirnya memutuskan menyetujui keinginan gila istrinya ini.

"Syaratnya ialah bahwa dia akan menikah lagi jika aku yang mencarikan calonnya dan jika calon yang aku temukan itu sanggup membuatnya jatuh cinta seperti dia cinta kepadaku. Kamu tau May? Dia tersenyum lebar saat itu. Dia bilang, itu syarat yang pasti tidak bisa aku penuhi. Karna katanya tidak mungkin ada perempuan yang bisa membuatnya jatuh hati selain aku. Hahah, masih bisa ngegombal dia saat itu."

Aku sedikit tertawa mendengar ceritanya. Lucu juga Ka Nizam. Sebegitu cintanya pada Mba Sarah. Sampai Ia sangat yakin bahwa tidak akan pernah lagi menemui perempuan yang bisa membuat dia jatuh cinta lagi.

"Lalu kita bertemu dikajian itu. Jujur saat itu aku agak sedikit risih mendengar kamu dan Ifa membicarakan suamiku seperti itu. Ya benar, aku sebenarnya mendengar dengan jelas. Tapi saat itu kupikir, biarlah toh kamu bukan siapa-siapa. Toh, mas Nizam suamiku. Apa yang ku khawatirkan. Tapi tiba-tiba, kamu mendatangiku di parkiran. Kamu bagai seorang ksatria gagah berani yang mengakui kesalahan telah jatuh hati pada suamiku dan menurutmu itu salah. Padahal, jatuh cinta itu fitrahmu mayang, fitrah semua orang. Detik itu juga, aku langsung mengagumimu. Sepulang dari kajian, aku mencoba mencari tau tentangmu, latar belakangmu, kehidupan pribadimu, dan tak ada satupun yang bisa membuatku membatalkan rasa sukaku kepadamu Mayang. Akhirnya kuputuskan bahwa kaulah yang ingin aku jadikan saudariku. Tapi aku tau ini akan sulit. Perempuan sepertimu pastilah banyak laki-laki yang mengidamkan. Jadi, untuk apa memilih jadi istri kedua orang jika bisa menjadi satu-satunya. Namun entah kenapa aku merasa bahwa kamu masih mencintai suamiku. Apa aku salah Mayang? Tolong jawab jujur. Apa kamu masih mencintai Mas Nizam?"

Aku terdiam mendengar omong kosong ini. Yah, bagiku ini omong kosong. Mana ada perempuan yang mau dimadu, terlebih lagi oleh laki-laki seperti Ka Nizam. Perempuan manapun pasti ingin menjadi yang satu-satunya dihati Ka Nizam.

"Mba, apa Ka Nizam sudah tau niatan Mba Sarah ini?" Tanyaku penasaran.

"Oh ya Mayang. Aku lupa cerita satu lagi. Bahwa pada akhirnya aku berhasil melaksanakan dua syarat yang diberi Mas Nizam. Kamu ingat kan ceritaku tadi apa syarat yang diminta Mas Nizam?"

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam benak aku bergumam. Tidak mungkin. Mana mungkin Ka Nizam jatuh cinta padaku. Ini mustahil. Mba Sarah pasti memaksakan kehendaknya pada Ka Nizam. Aku sangat yakin itu. Terlihat jelas dimata Ka Nizam setiap kali kami bertemu, bahwa Ia begitu sangat mencintai istrinya ini. Sejak kapan dia jatuh hati padaku.

"Hahahah, Mba Sarah ini ada-ada aja. Mba berharap aku percaya bahwa pada akhirnya syarat kedua dari Ka Nizam benar-benar berlaku?" Tanyaku penasaran dengan wajah tersenyum penasaran.

"Kamu gak percaya kalo dia tertarik sama kamu?"

"Lah Mba Sarah nih. Orang tanya koq ya malah balik tanya. Ya jelas enggak lah Mba. Mana mungkin Ka Nizam suka sama aku." Jawabku gugup.

"Hari itu setelah pulang kajian. Aku jadi terus-terusan kepikiran kamu May."

Mba Sarahpun memulai lagi ceritanya. Cerita sarah membuat hatiku kembali pink yang semula biru dan sempat menghitam manakala petir menyambar hatiku hari itu.

Cerita Sarah

"Bagaimana Mayang menurutmu Mas?" Tanya Sarah pada suaminya beberapa hari setelah pertemuan kami di kajian hari itu.

"Hah? Mayang? Kenapa tiba-tiba bicarakan dia? Jangan bilang kamu mau aku melamar dia ya Dek' itu mustahil." Jawab Nizam kemudian.

"Lho, memang salah? Apa kamu yakin dia tidak menarik perhatianmu mas?"

"Dek. Mayang itu bukan perempuan biasa. Dia itu Dokter, sukses, dan...... ya pokonya begitulah. Mana mungkin dia mau jadi istri kedua. Meski sekarang kamu bilang dia masih single, sudah pasti banyak yang sudah melamarnya. Mungkin dia tinggal memilih saja mau sama yang mana."

"Dan apa mas? dan cantik? Benar kan? Aku benar kan kalo Mas tertarik sama dia?"

"Yaah, OK Mayang memang cantik. Justru karna itulah. Perempuan seperti Mayang mustahil mau jadi saudarimu dirumah ini. Lagipula kamu saja tidak kenal dia koq. Baru bertemu berapa hari lalu koq bisa-bisanya langsung punya keputusan seperti itu."

Pembicaraan kami terhenti sampai disitu, karna kupikir memang Mas Nizam ada benarnya. Aku sama sekali belum mengenal Mayang. Maka malam itupun aku tidak bisa tidur. Aku terus kepikiran dengan gadis cantik itu. Betapa kesan pertamaku dengannya sangat baik. Aku merasa ini suatu petunjuk dari Allah.

"Apa sebaiknya aku cari tau dulu kehidupan Mayang?" Dalam batinku bergumam. Maka kemudian akupun mencari tau semua yang berhubungan dengan gadis itu. Sungguh musthail, tak ada satupun hal yang membuatku tidak mengagumi sosoknya itu. Terlahir dari keluarga enterpreneur namun memilih menjadi seorang Dokter.

Dia juga tercatat memiliki klinik bersalin gratis di daerah pinggiran kota yang pemukimannya padat penduduk dengan status sosial dibawah standar. Sungguh luar biasa. Pagi hari sebagai Dokter SPOG di Rumah Sakit besar, malam hari mendedikasikan waktunya untuk klinik gratisnya.

Semakin dalam aku menelisik kehidupannya, semakin jatuh cinta rasanya. Aku tidak mungkin salah pilihan. Ditambah lagi, Ia pernah jatuh cinta pada Maz Nizam. Jika mengingat kejadian di kajian saat itu, tidak menutup kemungkinan dia masih menyimpan rasa pada Mas Nizam. Walau ada kemungkinan dia akan berusaha membunuh perasaannya itu setelah bertemu denganku istri dari laki-laki yang pernah dipujanya.

Tapi melupakan itu adalah suatu hal yang sulit. Aku yakin rasa itu masih ada. Aku harus meyakinkan Mas Nizam demi keluarga kami. Jika memang ini jalan yang Allah pilihkan untuk kami memiliki keturunan, maka aku harus menjalaninya dengan ikhlas dan tidak setengah-setengah.

Saat itu Mas Nizam tengah sibuk di ruang kerjanya. Ku ketuk pintu yang sebenarnya sedang terbuka itu. Agar Ia tidak kaget dan merasa terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Ada apa Dek? Pake ngetuk segala. Sini masuk, temenin aku kerja." Katanya sambil tetap menatap ke tumpukan dokumen yang masih Ia pegang di atas meja kerjanya. Begitulah Mas Nizam. Sedikit dingin, sedikit romantis, sedikit gombal. Misterius dan itu yang membuatku semakin hari semakin jatuh cinta padanya hingga tak tega membiarkan keinginannya memiliki jagoan kecil sirna begitu saja seiring berjalannya waktu.

Aku rasa empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menanti kehadiran malaikat kecil itu di rumah kami. Aku ingin kebahagiaan itu hadir segera tanpa menunggu-nunggu lagi.

Aku masuk menghampirinya ke meja kerja. Kemudian kusodorkan map berisi dokumen ke hadapannya sambil memegang kedua bahunya.

"Apa ini?" Tanya Mas Nizam sambil membuka map itu. Begitu Ia buka dan melihat foto Mayang. Segera Ia tutup map itu dan meletakkannya kembali sambil memarahiku.

"Aduuuh apaan sih ini Dek' rupanya kau belum menyerah juga ya. Tidak peka dengan syarat yang kuajukan?"

"Mas, jujurlah dua syaratmu itu sudah kupenuhi. Kau tau Allah Maha benar tidak suka akan kebohongan. Jujurlah Mas, kau juga tertarik kan dengan Dokter Mayang?"

"Kau pikir hanya karna seseorang cantik, lantas dapat membuat semua laki-laki jatuh hati padanya? Aku tidak semudah itu Dek."

Iapun pergi meninggalkanku dengan amarahnya. Apa benar aku salah? dimananya Dokter Mayang yang membuatmu tidak jatuh hati mas?

Malam itu Ia benar-benar marah. Bahkan tidak tidur di kamar. Aku hampiri ke ruang kerjanya sambil membawakan selimut. Aku tau, kebiasaannya tiap kali marah padaku, Ia akan tidur di sofa ruang kerjanya. Bukan artinya dia sering marah padaku tanpa alasan. Hanya terkadang jika merajukpun Ia seperti itu.

Kubiarkan Ia tertidur di sana. Sambil kubisikan kalimat "Mas, demi Allah ini keinginanku, dan demi Allah aku berjanji tidak akan tersakiti, bahkan aku yakin aku akan bahagia mas." Bisikku ditelinganya yang aku yakin Ia masih mendengarnya meski sedang memejamkan mata.

Waktu sangat cepat sekali berlalu. Berminggu minggu aku berjuang meyakinkan suamiku itu untuk menerima tawaranku meminang Dokter Mayang. Siang malam aku berdoa semoga Allah membukakan hatinya untuk Mayang, melunakan sedikit amarahnya dan memahami keinginan istrinya ini.

Tak berapa lama, doaku diijabah Allah. Hati suamiku melunak karna aku tak pernah berhenti berjuang merayunya untuk mendekati Mayang. Malam itu akhirnya pembicaraan kami sampai pada titiknya.

"Baiklah jika itu benar-benar keinginanmu. Kau yang inginkan rumah tangga ini bertambah anggotanya dan aku sudah dengan susah payah menolak keinginanmu itu. Tapi jika dihari depan keinginanmu membuat hubungan kita berantakan, aku pasti akan menyalahkanmu. Ingat itu."

Meski perkataan Mas Nizam terdengar mengancam, tapi aku tau pasti bahwa apa yang dikatakannya itu semata-mata demi diriku sendiri. Mungkin Ia berharap dengan demikian aku akan kembali memikirkan keputusan besar ini. Sayangnya aku sudah bertekad untuk tetap maju.

* * * * *

"Begitulah bagaimana pada akhirnya Mas Nizam bersedia menuruti permintaanku May."

"Tapi jadi terdengar kau agak memaksa ya Mba Sarah. Apa Ka Nizam mengiyakannya bukan karna terpaksa?" Tanyaku penasaran.

"Kau akan tau sendiri nanti. Yang pasti, aku sudah mengutarakan niatku dan memberitahu semua yang harusnya kamu ketahui, agar dikemudian hari. Sikap Mas Nizam tidak membuatmu salah paham. Karna kau sudah tau maksudnya."

Aku tidak paham dengan kalimat Mba Sarah barusan. Sikapnya yang mana? Dikemudian hari? Maksudnya? Aaah semuanya membuat kepalaku berdengung rasanya. Obrolan kami terhenti sampai disitu. Mba Sarah pamit pulang sambil berkata bahwa aku harus memikirkannya masak-masak dan tidak boleh terburu-buru.

Dering ponselku berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tidak ada dalam list kontak ponselku. Biasanya aku tidak pernah menerima telepon dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku. Tapi entah kenapa rasanya saat ini aku ingin mengangkatnya.

"Assalamualaikum." Sapaku mendahului.

"Waalaikumsalam." Kata suara disebrang sana.

* B E R S A M B U N G *

Oleh,

Upay

Kapan Kau Menikah Nak?

* * * * * * * * * * *

Kapan Kau Menikah Nak?

By: Muhamad Agus Syafii

Setelah hati terluka disakiti, diusianya tiga puluh tahun cinta itu menghunjam hatinya. Rasa itu muncul ketika penasaran dengan sosok yang mampu membuatnya tertawa ditengah penat pekerjaan. Pertemuan pertama dengannya adalah salam dipagi dengan senyum manis, "Assalamu'alaikum ukhti.." Kalo teringat pertamuan itu bagaikan mimpi, pertemuan yang ditakdirkan oleh Allah. Sampai kemudian bertemu kembali dibeberapa project yang dikerjaan bersama. Cintanya tumbuh begitu indah, bersahaja, penuh warna. Dia banyak mengalah dan mengerti perasaannya. Diam-diam ikhwan itu membaca pikirannya. "Biarkan Allah yang menyatukan cinta kita." ucap ikhwan itu padanya. Ia terdiam, hatinya campur aduk, gembira, bahagia juga sedih dan perih bayangan luka dimasa lalu.

Setelah itu semua berlalu begitu saja. Entah tiada kabar lagi, tiada pertemuan dan tegur sapa. Bagai tertiup angin. Tenggelam dalam kesibukan. Ditengah galau kehadirannya di Rumah Amalia turut menjadi hidupnya dihiasi dengan keindahan dan kebahagiaan, bershodaqoh untuk Rumah Amalia dengan mengharapkan keridhaan Allah menguatkan setiap langkah hidupnya yang begitu terasa berat dijalaninya. Terkadang hati terasa perih teringat ibundanya bertanya, kapan kamu menikah? Adikmu saja sudah sebentar lagi anaknya dua? Kapan ibu melihat kamu menikah? Ucapan itu begitu perih menyayat hati. Air matanya mengalir disetiap sholat tahajud, memohon kepada Allah agar bertemu dengan jodohnya.

Allah Maha Mendengar setiap doa hambaNya. Doa itu dijawabnya, sungguh tidak pernah diduganya. Ikhwan datang bersama keluarganya untuk melamar. Dirinya terkejut, ibundanya menangis, rasa haru dan bersyukur menyatu dalam panjatan kehadirat Ilahi Robbi. "Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau dengarkan doa kami," tutur ibunda penuh isak tangis menerima lamaran itu dan tidak lama kemudian menentukan akad nikahnya. Kebahagiaan keluarga besar mempersiapkan pernikahan seolah waktu berjalan begitu lama, keberserahan diri kepada Allah mempersatukan cinta mereka telah mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Subhanallah..

Wassalam,

Muhamad Agus Syafii

----

Sahabatku, aminkan doa ini agar Segera menikah dan mendapatkan jodoh yg terbaik dari sisi Allah.'Rabbana hablana milladunka zaujan thayyiban wayakuna shahiban lii fiddini waddunya wal akhirah' Artinya. "Ya Tuhan kami, berikanlah kami pasangan yg terbaik dari sisiMu, pasangan yg juga menjadi sahabat kami dlm urusan agama, dunia & akhirat." YUK, JADI ORANG YG PERTAMA DAN PEDULI UNTUK ANAK YATIM & ANAK DHUAFA DI RUMAH AMALIA. Rumah Amalia, Jl. Subagyo IV blok ii, No. 24 Komplek Peruri, Ciledug, Tangerang 15151. Bila berkenan berpartisipasi dlm bentuk Sembako, Peralatan sekolah, Perlengkapan Sholat, baju layak pakai, DVD Islami, buku bacaan. Kirimkan ke Rumah Amalia Jl. Subagyo IV blok ii, No. 24 Komplek Peruri, Ciledug, Tangerang 15151. DUKUNGAN & PARTISIPASI ANDA SANGAT BERARTI BAGI KAMI, Info: silahkan SMS/WA/LINE ke 087-8777-12431 ~http://instagram.com/dahsyatnya.doa ~https://line.me/R/ti/p/%40dahsyatnyadoa

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10156072918708296&id=246320798295

Kamis, 14 Mei 2020

Pengorbanan

Ditengan-tengah obrolan yang sering mereka lakukan setiap malam. Bram suaminya bertanya padanya.

"Apa yang paling membuatmu sedih di dunia ini?". Tanya Bram pada Meri.

"Mmh....". Meri terdiam sejenak kemudian menjawab. "Jika aku tak lagi bisa hidup bersama dengan orang yang paling aku cintai". Jawabnya sambil mengecup pipi Bram. Keduanya tersenyum.

Malam itu berlalu tanpa masalah. Kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan berdua. Karna belum dikaruniai seorang anak meskipun pernikahan sudah berjalan dua tahun.

Hari itu Bram begitu berbeda. Ia tak sehangat selama ini. Tiba-tiba saja berubah menjadi sosok suami yang begitu dingin. Kamipun mulai jarang mengobrol. Ia lebih sering di depan laptop dan menelpon teman kantornya yang adalah seorang wanita. Aku tau, tak semestinya aku cemburu. Karna itu memang urusan pekerjaan. Raya nama perempuan itu. Dia tidak terlalu cantik, tapi berkulit bersih dan memiliki postur tubuh yang bagus seperti seorang model. Rambutnya panjang tapi lebih sering diikat. Itu yang aku pernah lihat dan dengar dari suamiku. Semua pembicaraan mereka tidak kumengerti. Mungkin bahasa orang kantor.

Beberapa minggu kemudian Bram ditugaskan ke Singapur oleh perusahaan tempatnya bekerja. Namun tidak seperti biasa. Ia pergi seorang diri tanpa mengajakku. Biasanya jika Ia dapat tugas luar kota atau luar negri, dia selalu membawaku ikut serta. Lagipula, perusahaan tidak keberatan selama aku tidak mengganggu pekerjaannya. Aku bahkan malah membantunya. Ketika Ia pergi bertugas, aku akan diam di hotel atau penginapan tempat kami tinggal selama masa tugasnya. Aku membantunya membuat sarapan, merapikan pakaian kerjanya, merapikan documen atau alat tulisnya ke dalam tas kerjanya, dan lainnya. Sehingga aku justru membantunya.

Namun entah kenapa kali ini Ia pergi sendiri. "Nanti siapa yang siapin sarapan kamu, pakaianmu, dan tas kerjamu disana?". Tanyaku dengan tatapan heran mengapa belakangan ini dia seperti menjaga jarak dariku.

"Aku ini bukan anak kecil Mer. Kamu tuh aneh ya. Selama tugas kan aku tinggal di hotel. Tinggal telpon pelayan antar makanan, hotel juga ada pelayanan laundry, tas kerjaku itu isinya lebih sedikit dari makeup kamu. Aku bisa aja rapihin sendiri. Selama ini kan kamu yang mau ngerjain semuanya. Aku gak minta".

Meri shock mendengar ucapan suaminya yang tumben sekali bisa bicara kasar seperti itu.

Sebetulnya Meri sudah menangkap sinyal-sinyal ketidakberesan dalam rumah tangganya belakangan ini. Tapi Ia selalu menepisnya. Ia hanya berdoa semoga tidak ada yang terjadi pada Bram. Akhirnya Bram pergi bertugas.

Hari itu Meri merasa sakit. Air matanya berlinangan. Tapi Ia tetap bertahan pada pendiriannya bahwa semua akan kembali baik seperti semula ketika Bram pulang nanti. Tapi hari itu, ternyata Meri tidak hanya merasakan sakit di hatinya. Kepalanya terasa berat, dadanya terasa sesak. Khawatir terjadi sesuatu. Iapun pergi ke klinik.

"Anak keberapa mba?". Tanya dokter.

"Anak?". Meri terkejut dengan pertanyaan sang dokter.

"Ooh jadi ini kehamilan pertama. Iya, jadi Mbanya merasa pusing, mual dan sesak karna sedang mengandung".

Meri bahagia bukan main. Ia merasa menjadi wanita yang paling sempurna dan bahagia ketika itu. Iapun kembali ke rumah.

Di rumah Ia berfikir akan memberi Bram kejutan ketika Ia pulang tugas nanti. Tapi entah kenapa rasanya Meri tak dapat menunggu lama untuk mengabari perihal kehamilannya pada Bram. Maka Iapun bergegas mengambil ponselnya dan menelpon Bram. Sekali, dua kali, tiga kali tak diangkat. WhatsApp tak terkirim. Ia masih positif thinking. Mungkin Bram sedang sibuk di luar dan tak ada wifi.

Malamnya Ia mencoba kembali menghubungi Bram. Tapi masih sama. Bram masih sulit dihubungi. Akhirnya dengan rasa penasaran teramat sangat, esok paginya Ia menelpon kantor Bram. Apa yang didapatnya sungguh membuatnya shock dan bingung.

"Pak Bram sudah sejak kemarin lusa tidak masuk kantor Bu. Katanya sudah ambil cuti selama seminggu. Ini dari mana ya?". Kata wanita yang mengangkat telpon Meri di kantor Bram.

"Cuti? Seminggu? Bukannya beliau sedang tugas luar ke singapur?". Tanya Meri kemudian.

"Pak Bram memang ambil cuti seminggu untuk ke singapur. Katanya mau liburan sama keluarganya karna sudah lama cutinya gak diambil. Maaf ini dari mana ya?". Tanya perempuan itu lagi.

"Maaf, kalo Mba Raya di bagian mana ya mba? Bisa saya bicara dengannya sekarang?". Tanya Meri selanjutnya.

"Raya? Siapa ya Mba. Setau saya selama saya bekerja disini, tidak ada karyawati bernama Raya disini".

Meri makin bingung. Khawatir orang kantor suaminya berpikir yang tidak-tidak, Meri segera menutup teleponnya. Ia bingung, dahinya mengerut sambil berpikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Jadi, siapa Raya yang selama ini dikatakan suaminya sebagai teman kantor?

Meri bergegas menuju ruangan kerja suaminya. Namun sayang. Pintunya terkunci. Rasanya semakin aneh. Belum pernah Bram mengunci ruangan kerjanya selama ini. Apa yang disembunyikannya? Seribu tanya muncul dalam benaknya.

Ia masuk ke dalam kamarnya. Termenung di ranjang. Tanpa sengaja matanya tertuju pada buku telepon disamping ranjang. Meri membuka-buka buku tersebut dan untung saja Ia menemukan nomor telepon Raya. Segera Ia menghubungi nomor itu.

"Halo, selamat siang. Bisa bicara dengan Mba Raya?".

"Maaf, Ibu sedang tidak di rumah. Beliau ada urusan ke Singapur". Jawab pengurus rumah tangga yang mengangkat telepon Meri.

Perasaan Meri bercampur aduk. Belum tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi hatinya sudah terasa hancur lebur. Kemungkinan besar suaminya pergi ke singapur bersama Raya. Keduanya sulit dihubungi.

Akhirnya tanggal kepulangan Bram hari ini. Meri tidak tau jam berapa Bram akan tiba di bandara. Karna selama kepergiannya, mereka tidak berkomunikasi sama sekali. Bram benar-benar tidak bisa dihubungi. Sehingga hari itu Meri menuju bandara pagi-pagi sekali. Biarlah Ia menunggu dengan lama. Yang terpenting baginya semua harus jelas.

Dari kejauhan, tampak Bram muncul perlahan bersamaan dengan keramaian yang tampak. Benar saja dugaan Meri. Bram berjalan beriringan dengan Raya. Hanya berdua saja. Meri terdiam mematung. Entah apa yang akan Ia hadapi. Ia berdoa dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa suaminya akan menjelaskan semua persoalan yang ada. Tapi......

"Aku gak nyangka sih kamu nunggu disini. Padahal kamu gak tau aku sampai sini jam berapa. Bisa aja besok kan". Kata Bram dihadapan Meri. Hati Meri masih berguncang hebat. Sulit dikendalikan. Tapi belum lagi Meri mengucap sepatah katapun, Bram melanjutkan bicaranya.

"Sebetulnya aku mau ngomongin ini di rumah. Tapi karna kamu udah terlanjur liat. Aku akan jujur aja disini. Maaf selama ini udah bohongin kamu. Raya yang sekarang ada disamping aku sebenernya bukan teman kantorku. Aku ingin kita pisah. Kita sudahi sampai disini pernikahan kita. Aku ingin bersama Raya. Jadi mulai hari ini aku ga akan pulang ke rumah. Maaf kalau harus seperti ini". Bram bicara seperti itu sambil menggenggam tangan Raya.

Meri terdiam. Terlalu sakit sampai-sampai air mata sulit keluar. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Meri. Ia membalik badan kemudian berjalan pulang tanpa bicara apapun bahkan tanpa menoleh ke belakang ke arah dimana suaminya masih berdiri bersama perempuan itu. Sampai di rumah, Meri memandang ke segala arah bagian rumahnya. Memandangi satu persatu setiap barang-barang dalam rumahnya yang memiliki kenangan indah bersama suaminya yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Bahkan Ia belum membicarakan pasal kehamilannya. Ia tak sanggup.

Tak berapa lama Bram muncul. Kemudian Ia masuk dan mengajak Meri bicara. Namun Meri hanya diam membisu. Mendengarkan setiap kata yang Bram ucapkan. Betul-betul terdiam hingga air matapun sulit keluar.

"Tempat tinggal kita ada dua. Sekarang aku membebaskanmu memilih. Kau mau tetap tinggal disini, atau kau pindah ke apartemen?". Tanya Bram pada Meri.

Meri memilih tinggal di apartemen mereka. Karna Ia tak sanggup jika harus tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama Bram selama ini. Semuanya kenangan manis. Kecuali hari ini. Jadi Ia putuskan untuk keluar.

Tanpa terasa 2 tahun berlalu. Meri masih tetap hidup berdua saja dengan putrinya Keira. Sebetulnya Ia bermaksud ingin mengenalkan Keira pada Ayahnya. Tapi Meri belum siap bertemu Bram. Entah perasaan apa dihatinya. Masih cintakah atau malah kebencian yang mendalam. Yang jelas Ia belum siap mempertemukan Keira dengan Ayahnya.

Ketika umur Keira 3 tahun, tibalah harinya dimana akhirnya Keira mempertanyakan keberadaan Ayahnya.

"Ma, kenapa Keira gak punya Papa?". Tanyanya sambil menatap wajah Ibunya dengan mata sendu dan wajah mungilnya yang sungguh menggemaskan.

"Keira punya Papa. Besok kita ketemu Papa ya". Jawab Meri sambil mengangkat tubuh mungil Keira. Esoknya dengan perasaan tegang bercampur cemas, Meri mempersiapkan diri dan hatinya untuk bertemu dengan Bram. Ia belum tau apa yang akan Ia ucapkan nanti saat bertemu Bram. Apa yang akan Ia katakan. Dan apakah Ia akan sanggup bertemu Bram dengan keluarga barunya.

Mungkin saja Bram dan Raya telah memiliki anak. Lalu Keira? Apakah Keira tidak diinginkan Bram nantinya. Seribu tanya dan ketakutan hampir saja menyurutkan langkahnya untuk mempertemukan Bram dengan putrinya. Namun saat melihat kegembiraan dan keriangan wajah serta tingkah laku Keira yang sudah tidak sabar ingin bertemu Ayahnya, tekad Meri muncul lagi.

Merekapun bergegas menuju rumah Bram yang adalah tempat tinggal Meri juga sebelumnya. Saat sampai di rumah itu. Meri tak sanggup melangkah ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu.

"Bram masih saja ceroboh. Tidak pernah menutup pintu". Batin Meri masih sambil berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba terlihat Bram, Raya, seorang anak kecil, dan seorang lagi pria dewasa yang entah siapa dia. Benar saja dugaan Meri. Bahwa mungkin saja Bram sudah memiliki anak. Meri semakin takut. Saat ia berbalik arah sambil menggendong Keira untuk kembali pulang, tiba-tiba saja anak di dalam rumah itu bicara.

"Om Bram harus makan. Katanya Om mau ketemuin aku sama Keira anak Om. Jadi Om harus sehat". Ucap anak itu kepada Bram.

Meri lantas menghentikan langkahnya. Ia kembali ke ambang pintu, namun kali ini sedikit bergeser agar tidak terlihat dari dalam. Ia penasaran. Mengapa anak itu bicara seperti itu. Jika memang Ia bukan anak Bram. Bagaimana mereka tau tentang Keira.

"Abang harus makan kalo mau tetap sehat. Abang ingat kan apa kata Raya. Aku harus berangkat Bang. Abang nurut ya sama Raya". Kata laki-laki itu sambil mengambil tas kerjanya dan akan bergegas keluar. Terlihat raya mencium tangan laki-laki itu kemudian laki-laki itu mencium kening Raya sambil berucap "Kamu pastikan abang makan ya. Jangan lengah. Dia harus bertemu Keira untuk memotivasinya. Tapi masih saja dia enggan menemui mereka".

Saat laki-laki itu berjalan menuju pintu. Mereka berpapasan.

"Mba Meri"

"Rio"

Sama-sama terkejut. Kemudian Raya keluar karna mendengar mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?". Tanya Meri penasaran. Akhirnya Raya dan laki-laki yang ternyata adalah Rio sepupunya Bram mempersilahkan Meri dan Keira masuk.

"Maaf Mba. Selama ini kami membantu Abang demi kalian. Itu kata Bang Bram. Meskipun aku tak setuju. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang sedang dekat dengan Raya tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Bang Bram ke rumah sakit tempat Raya bekerja. Kebetulan Raya ini adalah seorang dokter yang ditunjuk oleh dokter Bang Bram sebelumnya untuk proses kemoterapi abang waktu itu. Sayangnya abang datang terlambat Mba. Kankernya sudah stadium akhir".

Terkejut bukan main Meri mendengar cerita itu. Ia tak pernah habis pikir. Bagaimana bisa disaat-saat sepenting itu, disaat seharusnya Ia lebih dubutuhkan. Tapi malah justru Bram memilih menjalaninya seorang diri. Rio melanjutkan ceritanya. Sementara Bram sedang terlelap di dalam kamar dan tak menyadari kehadiran Meri dan putrinya di ruang tamu.

"Maafkan saya Mba Meri". Lanjut Raya. Kali ini Raya yang melanjutkan penjelasan tentang kondisi Bram sejak empat tahun lalu hingga hari ini.

"Hari itu, aku bilang sama Rio yang saat itu masih berstatus pacarku Mba, bahwa abangnya mengidap kanker otak stadium akhir. Aku katakan pada Rio bahwa Ia masih bisa di kemoterapi dan mengkonsumsi obat untuk memperpanjang umurnya. Syukur-syukur siapa tau dalam perjalanan pengobatan kita bisa mematikan sel kankernya. Hari itu juga Bang Bram memintaku menghubungi Rio dan meminta kami menyembunyikannya dari Mba Meri. Kata Bang Bram dia pernah bertanya sama Mba Meri. Apa yang paling mba Meri takutkan di dunia ini. Dan jawaban Mba Meri adalah tidak bisa lagi hidup bersama dengan orang yang Mba cintai. Karna itulah Bang Bram ingin sekali Mba Meri membenci dia, agar ketika nanti Bang Bram tidak berumur panjang, Mba Meri tidak merasakan kesedihan".

Seketika itu juga tubuh Meri bergetar, mengingat betapa dulu Ia sangat mencintai suaminya itu. Bahkan mungkin hingga detik ini. Iapun berlari ke dalam rumah mencari sosok mantan suaminya itu.

"Maas...... Mas Bram. Kamu dimana". Teriaknya sambil terisak. Bram keluar dari dalam kamar. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya sangaat kurus hingga seperti tersisa tulang saja. Rambutnyapun habis. Tapi mendengar suara Meri, seketika Ia sanggup berjalan. Keduanya berpelukan sangat erat. Melepas rindu yang selama ini terpendam dan tertutup benci di hati Meri.

Bram meminta maaf karna telah membuat Meri sakit hati dengan berpura-pura menjalin hubungan dengan Raya yang ternyata saat itu adalah calon adik iparnya. Meripun meminta maaf karna tidak peka dengan apa yang terjadi pada Bram.

Raya menjelaskan sebagai seorang Dokter. Bahwa Bram masih bertahan hingga detik ini karna ia termotivasi ingin menemui Keira putrinya. Bram tau bahwa waktu itu Meri tengah hamil. Sejak perpisahan mereka, tak satu haripun Bram lewatkan untuk memantau kehidupan Meri dan putrinya dari kejauhan. Bahkan Bram menyewa orang untuk mengintai Meri dan Keira setiap hari di apartemen mereka. Takut-takut terjadi sesuatu pada mereka. itu sebabnya Bram sudah sangat mengenal Keira.

Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk lagi. Meri meyakinkan Bram bahwa Ialah yang paling pantas mengurus Bram disaat-saat seperti ini. Awalnya Bram menolak. Ia ingin Meri menemukan kebahagiaannya sendiri. Tapi Meri meyakinkan, jika selama empat tahun ini saja Bram bisa bertahan, apakah tidak mungkin Bram bertahan lebih lama jika hidup bersama putrinya. Merekapun kembali bersama.

Setahun setelah kebersamaan mereka, akhirnya Bram menghembuskan nafas terakhirnya. Dipangkuan orang yang paling dicintainya. Walaupun terlalu sedih, tapi Meri tetap bersyukur bahwa Bram bisa menghabiskan sisa hidupnya bersamanya dan Keira. Untunglah setahun lalu itu Meri memutuskan mempertemukan Keira dengan Ayahnya. Jika tidak, mungkin Ia sudah menyesal seumur hidupnya.

Pengorbanan Bram demi Meri dan Keira sangat sulit dimengerti oleh orang yang tak merasakan kehidupan sepertinya. Bagaimana bisa disaat-saat seperti itu, Ia justru lebih memilih dibenci istrinya agar disisa hidupnya tidak menyusahkan sang istri. Namun, keluarga yang baik adalah mereka yang bisa saling menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya. Bukan yang hanya ingin hidup ketika hanya sedang bahagia.

* S E K I A N *