Kamis, 21 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.3)

Cerita Sebelumnya. (Klik di Sini).

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Rima tetap tidak membukakan pintu. Tama masih saja berdiri terdiam di depan pintu kamar Rima. Tiba-tiba saja terdengar suara Mischelle dari ruang tamu "Hai Dad? Akhirnya daddy datang juga. Maaf ya Dad mischelle tetap ga berhasil bujuk mommy buka hatinya untuk daddy" .

Tama sedikit terkejut. "Wah Daddy nya mischelle datang. Siapa dia? Apa aku pulang dulu aja? rasanya tidak enak mengganggu Rima yang kedatangan suaminya. Eh tapi kata mischelle daddy dan mommy nya gak pernah nikah sejak mischelle dalam kandungan. Bagaimana bisa. Apa ini maksudnya? siapa laki-laki yang bisa berbuat begitu terhadap Rima tanpa menikahinya?".

Hati Tama berkecamuk, penasaran ingin mengetahui semuanya. Hanya saja Ia berfikir bahwa sebetulnya rumah tangga Rima dan Mischelle tidak seharusnya Ia campuri. Namun mengingat betapa lamanya Tama menunggu hari ini. Hari dimana semua pertanyaan harusnya terjawab, akhirnya Ia memberanikan diri menuju ruang tamu demi melihat siapa sosok laki-laki yang menjadi Ayah Mischelle itu. Laki-laki yang merebut kekasih hatinya belasan tahun lalu. Tama bergegas menuju ruang tamu.

Shock dan terkejut bukan main. Memang mereka sudah lebih dewasa. Wajah dan postur tubuh sudah pasti banyak perubahan. Tapi Tama ingat betul laki-laki yang saat ini berdiri di samping mischelle di hadapannya. Meski berubah, tapi tidak banyak yang berubah dari laki-laki itu.

Tama diam membatu seketika kemudian bergegas menghampiri laki-laki itu dengan amarahnya yang sangat memuncak. Sambil berlari kecil menghampirinya Tama menarik bagian kerah baju laki-laki itu dengan kepalan tinjunya yang akhirnya mendarat di wajah laki-laki itu. "BRAAAK".

Laki-laki itu jatuh terjerembab menghantam meja kaca hingga pecah, Tama menghampirinya lagi, memukulnya berulang-ulang dengan penuh emosi.

"Bangsat lu Jamie, rupanya elu yang udah berani-beraninya mengambil hati Rima hingga dia hamil dan lu tinggalin gitu aja. Sialan lu, kenapa lu gak nikahin dia? Dia bukan perempuan sembarangan seperti perempuan-perempuan yang sering lu kencanin semasa sekolah" .

Tama terus menerus berteriak sambil memukul Jamie.

Ya, Jamie si cowok bule di SMA dulu. Siswa baru yang di gilai banyak perempuan dan terkenal playboy karna sering kencan dengan banyak siswi tanpa komitmen apapun.

"Ya ampun Om, cukup Om cukup. Stooop iit, please Om Tama dont hit daddy, please" . Mischelle berteriak panik dan ketakutan sambil terus berusaha memegang lengan Tama demi melepaskan Daddy nya.

"Denger penjelasan gua dulu Tam" . Teriak Jamie sambil terus kesakitan dan berusaha melindungi bagian wajahnya yang dipukul bertubi-tubi oleh Tama. "Gua gak pernah ninggalin Rima Tam, dia yang gak pingin gue nikahin Tam. Dia bilang dia jijik sama gue, dia cuma mau elu Tam" .

Tama terdiam seketika. Mendengar ucapan Jamie barusan seolah membuat semua terkaan yang selama ini ada dalam pikirannya menjadi kembali runyam. Semuanya malah semakin tidak jelas. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksudnya Rima tidak mau dinikahi oleh laki-laki yang membuatnya meninggalkan dirinya.

"Udah cukup kalian rusak rumah ini, keluar kalian dari rumahku" . Teriakan Rima yang tiba-tiba berdiri di hadapan mereka membuat mereka terkejut. Terlebih lagi Tama. Antara senang dan bingung akhirnya Rima mau keluar. Tama sangat merindukan perempuan yang sedang berdiri di hadapannya itu. Ingin rasanya Tama menarik lengan Rima agar menghambur ke pelukannya. Tapi rasa itu terkalahkan dengan rasa penasaran yang semakin dalam dipikiran Tama.

"Tolong kalian keluar sekarang juga. Dan tolong ini terakhir kalinya kalian datang ke rumah ini, aku mohon jangan kalian ganggu lagi hidup kami. Hidupku dengan Mischelle. Biar kami tenang menjalani rumah tangga ini berdua saja. Kalian sebaiknya pergi sekarang juga" . Rima mengusir Tama dan Jamie yang sudah terlihat berantakan karna berkelahi. Namun mischelle mencegahnya.

"Nggak Mom, ini saatnya. Saatnya aku tau semua yang terjadi. Siapa Om Tama sebenarnya di hidup kalian Mom, Dad? Kenapa Mommy and Daddy gak pernah nikah, kenapa kalian ga pernah bersama. Bagaimana Mischelle bisa lahir mom? Kalian egois. Kalian orang-orang dewasa paling egois yang pernah mischelle kenal. Kalian pikir di sini hanya kalian aja yang menderita? Ada aku mom, aku yang paling merasa tidak diinginkan di sini. Apa sebenarnya hubungan kalian bertiga".

Mischelle berlinangan air mata memohon kepada Rima agar menjelaskan semuanya. Tapi Rima hanya terdiam kemudian membalikkan badan dan menuju kembali ke kamarnya. Tanda bahwa Ia masih belum ingin menceritakan apapun.

"Mischelle, biar daddy yang ceritakan semuanya. Biar Tama juga bisa dengar. Daddy yang bersalah. Mommy kamu yang menanggung semuanya" . Jamie memulai ceritanya.

Belasan tahun silam !

Cuaca terik membuat peluh dikening Rima mengalir deras. Ia menunggu di gerbang sekolah. Pak Aman belum juga muncul. Hari itu Tama sedang ada kegiatan ekstrakurikuler, sehingga Rima pulang dengan dijemput supirnya. "Mana ya Pak Aman?". Gumam Rima dalam hati.

"Hai Rima, nunggu siapa?" . Sapa Jamie dari balik jendela mobilnya. "Yuk aku antar pulang. Daripada kepanasan lama-lama di sini" . Bujuk Jamie kepada Rima yang sedang berdiri sambil mengelap keringat dikeningnya.

"Gak usah Jame, makasih banyak. Sebentar lagi juga datang" . Jawab Rima kemudian.

Rupanya Jamie tidak mau menyerah. Iapun meminggirkan mobilnya dan keluar menghampiri Rima.

"Ya udah kalo mau tetap nunggu supir, aku temanin kamu di sini" . Kata Jamie sambil memasukan kedua tangannya ke saku celananya dan berjalan ke tempat Rima berdiri.

"Kenapa mau repot-repot nemenin aku sementara kamu bisa enak pulang, adem gak panas-panasan kaya sekarang?" . Tanya Rima penasaran.

"Lho emang kenapa kalo aku mau temanin kamu? Aku ini orang baik lho, bukan penjahat. Tenang aja.

"Oya? Baik? Bagaimana aku tau kamu baik kalo setiap hari di sekolah kerjanya cuma ngegoda perempuan". Kata Rima sambil tertawa kecil. "Jangankan siswi perempuan, Bu Nia aja masih kamu godain". Lanjut Rima sambil tetap tersenyum kecil.

"Waah ngga nyangka aku. Ternyata cewe sedingin kamu merhatiin cowo macem aku juga ya". Jamie tertawa kecil.

"Idiiih GR banget kamu. Semua orang juga tau kalo kamu itu playboy tanpa harus merhatiin, semua perempuan pasti kamu pacarin. Jangan-jangaan termasuk Bu Nia. Hihihihi".

"ih iseng banget sih ngomongnya. Masa tante-tante tua kaya gitu aku gebet. Dia itu cuma cocok dijadiin nenek aku".

"Ahahahahahahahh". Keduanya tertawa lebar.

"ih kamu jahat banget sih bilang Bu Nia tante-tante lah, neneklah. Dia kan guru paling cantik yang pernah ada, masih muda juga koq. Masih cocok sama kamu. hihih". Goda Rima sambil cengengesan. Keduanya asyik ngobrol sampai akhirnya Pak Aman muncul menjemput Rima.

Singkat cerita, di suatu malam yang berhawa sejuk. Tiba-tiba ponsel Rima berdering, ditengoknya ponsel itu, "Jamie Memanggil".

"Hhhh... lagi-lagi dia. Ngapain sih ngga nyerah juga ganggu hidup orang aja" . Gerutu Rima dan mendiamkan saja ponselnya berdering tanpa henti. Setiap kali mati, maka berapa detik kemudian berdering lagi, hingga berkali-kali. Akhirnya dengan perasaan BT, Rimapun menerima panggilan tersebut. "Ada apa Jame? Aku lagi ngerjain tugas untuk besok, bisa kan ngga telpon-telpon lagi?".

"Rima, aku mohon Rim, kali iniiii aja. Tolong aku Rim. Aku....aku....". Suara nafas Jamie tersengal-sengal seperti sangat kelelahan, suaranya seperti sulit keluar. Rima kebingungan karna kurang jelas dengan yang dikatakan Jamie.

"Rim... Aakuuu ada dekat mini market depan komplekmu.... akuu... aku... gak kuat Rim. Cuma kamu yang paling dekat dari sini. Rima Pleasee help me...".

"Nuuuut.....". Tiba-tiba telpon terputus.

"Ya ampun, ada apa dengan Jamie, kenapa suaranya seperti orang yang sedang menahan sakit? Apa yang terjadi?". Gumam Rima dalam hati. Rima menengok jam dinding di atas pintu kamarnya.

Waktu menunjukan pukul 00:30 dini hari. "Udah tengah malam. Jamie bilang ada dekat mini market depan komplek. Jam segini kan udah sepi banget. Aduuuh, gimana yah, susulin gak yah. Tapi takut. Gimana dong kalo Jamie lagi kenapa-napa dan gue kelamaan mikir kemudian semuanya terlambat. Ooo My God. No ! Gue harus berbuat sesuatu".

Rima bangkit dari kursi meja belajarnya, berlari menyusuri tangga kemudian keluar. "Lho non, udah tengah malam gini mau ke mana?". Tanya Pak Domon Satpam penjaga rumah Rima.

"Aduuh pak, jelasinnya nanti aja deh. Sekarang Bapak tolong saya dulu ya. Tolong Pak Domon ke mini market depan komplek, liat apa ada laki-laki di situ? Kalo ada, coba tanyakan namanya, kalo namanya Jamie, segera hubungin saya dan kasih tau dia ngapain di sana dan mau apa. Ya Pak ya, tolong cepetan". Pinta Rima kepada Pak Domon satpam rumahnya.

Pak Domon bergegas menggunakan sepeda motor menuju mini market yang Rima maksud secepat kilat. Karna dia tidak ingin nona besarnya terlibat masalah dengan orang yang salah.

sepuluh menit, dua puluh menit, hingga lebih dari setengah jam tidak juga ada kabar dari Pak Domon. Rima makin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ingin rasanya Rima berlari menyusul pak Domon. Rima takut Pak Domon ikut-ikutan kena masalah.

Akhirnya telpon rumah berdering, Rima mengangkat telepon dengan sedikit gemetar, karna ada rasa takut yang menjalar dalam dirinya.

"Non, ini saya Domon, non sebaiknya segera ke sini. Minta Pak Aman anter ya Non, ini temen non yang namanya Jamie ada di rumah sakit. Kritis non. Cepat kemari, karna saya gak tau mau hubungin siapa. Sementara pihak Rumah Sakit minta saya urus administrasi di bagian informasi. Saya jadi bingung non".

Tanpa banyak bicara lagi, Rima bergegas menuju Rumah Sakit di antar Pak Aman.

Sesampainya di rumah sakit. "Ada apa pak? Gimana bisa dia kritis?" . Tanya Rima penasaran.

"Jadi tadi saya ikutin perintah non untuk ke mini market depan komplek, sesampainya di sana keadaan gelap dan sepi sekali non, keamanan yang tugas jaga sepertinya sedang keliling, jadi tadi di sana itu benar-benar sepi non.

Saya melihat ke sekeliling dan mata saya tertuju langsung ke depan mini market. Saya lihat ada orang tergeletak di situ. Saya mendekat dan lihat orang itu berlumuran darah non. Parah sekali. saya bingung mau apa. Lapor polisi ga kepikiran non, udah keburu panik.

Saya cek dia masih nafas, saya geledah kantong-kantongnya. Kantong celana, kantong baju, dan sweater. Saya cuma nemu dompet aja di kantong celana. Tapi karna takut terlambat bertindak, jadi saya langsung buru-buru minta bantuan orang situ untuk bawa ke rumah sakit, karna saat saya buka dompetnya dan cari KTP nya, nama di KTP nya sama dengan nama teman non yang non kasih tau saya di rumah.

Tadi setelah sampai sini. Saya langsung bergegas cari alamat yang ada di KTP nya, karna alamatnya kebetulan gak jauh juga dari sini. Tapi sayang, ternyata alamatnya cuma rumah kosong. Rumah besar dengan pagar besi yang ga ada siapa-siapa di dalamnya. Gelap juga. Kemungkinan sudah agak lama ga di tempatin. Saya jadi bingung harus hubungin siapa dan ke mana. Ya sudah saya langsung hubungin non aja begitu saya balik lagi ke sini. Karna saya diminta urus administrasi sama susternya".

Penjelasan Pak Domon membuat Rima semakin bingung. Apa yang harus dilakukannya. Setelah mengurus semuanya Rima kembali pulang. Dia masih bingung harus menghubungi keluarga Jamie dari mana. Tiba-tiba dia teringat teman-teman sekelas Jamie yang juga Ia kenal. Maka Rima menghubungi mereka. Namun sayang tidak seorangpun yang dapat dihubungi.

Malam itu Rima terpaksa menunggui Jamie di Rumah Sakit. Maka Ia kembali pergi menuju Rumah Sakit tempat Jamie dirawat. Paginya Jamie siuman. Syukurlaah pikir Rima dalam hati.

"Kenapa aku ada di sini? Ini di mana?". Tanya Jamie kepada Rima yang duduk di kursi samping tempat tidurnya.

"Lo di Rumah Sakit Jam. Lo gak inget kejadian semalem gimana? Gimana bisa lu babak belur kaya gini? Siapa yang berbuat begini Jame?". Tanya Rima penasaran demi mengetahui kejadian sesungguhnya.

"Ooh iya, semalam sebetulnya gue berniat ke rumah lo. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ada yang berentiin mobil gue. Tiga orang dengan satu motor berboncengan. Trus gue turun, mereka rampas semua milik gue uang di dalam dompet dan mobil gue. Tapi gue gak mau nyerahin semuanya begitu aja, jadi gue lawan dulu mereka. Tapi ternyata mereka bawa senjata tajam. Malah gue dikeroyok mereka bertiga. Trus gue gak sadar deh".

Cerita Jamie membuat Rima merinding ketakutan, tidak di sangka area komplek perumahannya ternyata ada rampok. Berbekal cerita Jamie, Rima melaporkan kejadian tersebut ke petugas keamanan komplek untuk kemudian kasusnya diurus.

Jamie masih harus istirahat di Rumah Sakit. Maka Rima meminta nomor telepon keluarga Jamie yang dapat dihubungi.

"Percuma Rima, gak akan ada orang yang datang. Keluarga gue sibuk semua. Palingan Mama Papa juga lagi di luar negeri urusan bisnis". Kata Jamie dengan nada sinis sambil meneguk segelas air putih.

"Masa sih Jame sampe begitunya. Gak mungkin nyokap bokap lo bakalan diem aja kalo tau anaknya lagi keadaan begini". Kata Rima kemudian.

"Lu gak kenal orangtua gue Rim. Lu juga gak tau watak mereka. Udahlah, gak usah berusaha". Tanpa merekapun gue bisa bayar biaya Rumah Sakit ini". Sambung Jamie dengan kalimat yang masih juga sinis.

Jamie menghubungi Bagas sahabatnya di sekolah. Singkatnya, semua urusan administrasi akhirnya diurus oleh Bagas. Sampai akhir, tidak satupun keluarga Jamie yang datang ke Rumah Sakit. Entah apa yang terjadi dengan keluarganya. Yang jelas, setiap kali Jamie diajak bicara masalah keluarganya, Ia akan menanggapinya dengan sinis. Itu sebabnya, tidak satupun sahabatnya yang berani mengajak bicara tentang keluarga Jamie.

Rima merenung di kamarnya. Berfikir apakah seharusnya semua yang terjadi minggu belakangan ini Ia ceritakan kepada Tama atau tidak. Rima sebetulnya takut jika ada omongan yang beredar tentang dirinya yang menolong Jamie selama di Rumah Sakit dan membuat Tama cemburu.

Tapi disamping itu, Rima pikir ini bukan hal besar yang harus diceritakan kepada Tama. Maka akhirnya Rima tidak pernah menceritakan tentang Jamie kepada Tama. Toh tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua. Rima berfikir Ia hanya berniat menolong Jamie saja waktu itu.

Waktu terus berjalan. Tidak terasa sudah sebulan sejak kejadian Jamie masuk Rumah Sakit. Sejak itu pula Jamie jadi sering menemui Rima. Sebetulnya Rima merasa tidak enak. Takut Tama mendengar hal-hal yang sebetulnya tidak benar.

Seringkali Rima menolak kedatangan Jamie. Tapi Jamie tidak pernah hilang akal untuk menemui Rima. Pernah suatu kali ketika Jamie main ke rumah Rima, Pak Domon mengusir Jamie dengan sedikit kasar. Itu permintaan Rima sendiri. Tapi rupanya Jamie tidak juga mau menyerah.

Hari itu kebetulan Rima harus ke toko buku. Maka Ia pergi dengan diantar Pak Aman seperti biasa. Tanpa diduga dan entah darimana Jamie tau. Mereka akhirnya bertemu di toko buku. Setelah didesak oleh Rima, akhirnya Jamie mengaku jika selama ini Jamie selalu mengikuti kegiatan Rima sehari-hari. Termasuk ketika pergi berdua dengan Tama.

"Kamu tau gak. Aku kesel banget kalo liat kamu lagi jalan sama Tama". Kata Jamie sambil membuka-buka buku disebelah Rima yang juga sedang melihat-lihat buku-buku di rak toko buku itu.

"Kamu?" Rima berkata sambil sedikit tersenyum dengan wajah tetap menatap ke dalam buku yang sedang Ia buka.

"Apa?". Tanya Jamie tidak mengerti dengan perkataan Rima.

"Iya, Kamu. Sejak kapan seorang Jamie jadi sopan begini. Biasanya juga elu, gue". Jawab Rima kemudian.

"Oooh, heheh. Itukan karna ternyata kamu cewek istimewa yang memang harus diperlakukan dengan sopan".

"Hmmm.... gak usah gitu juga kali. Biasa aja. Lagian, ngapain sih lu ngikutin gue mulu. Gak ada yah yang minta lu ngikutin gue sampe di waktu-waktu gue kencan sama Tama. Jadi perihal lo kesel atau apapun, itu sih urusan lo. Wajar dong gue kencan sama pacar gue sendiri. Kenapa lo yang ribet". Jawab Rima kemudian dengan sedikit sinis.

"Aduh..aduuh tuan putri ini bener-bener susah ya ditaklukin. Lo bener-bener melukai harga diri gue dengan lebih memilih Tama dibanding gue. Apa hebatnya dia? Apa karna dia smart? Nilainya selalu tinggi? anak basket?. Jangan khawatir Rima, gue juga bisa kaya gitu kalo gue mau". Tantang Jamie dengan wajah sedikit menggoda Rima.

"Apaan sih, gak usah kepedean. Mau lo lebih pinter keq, lebih jago, lebih keren, gue tetep gak bakal nengok ke lu. OK. Jadi berenti deketin gue mulai sekarang. Jangan coba-coba ganggu gue sama Tama".

Hari itupun berlalu masih tanpa hasil bagi Jamie. Entah apa yang dia rencanakan. Tapi bagaimanapun sepertinya Jamie sudah benar-benar jatuh cinta kepada Rima. Bukan hanya sekedar mengejarnya seperti Ia mengejar gadis-gadis lain selama ini.

Jamie merasakan jatuh cinta kali ini. Ia benar-benar ingin memiliki Rima seutuhnya. Ia berniat merusak hubungannya dengan Tama. Jamie yakin jika sebetulnya Rima juga sedikit menaruh hati padanya. Maka Ia terus berusaha.

Malam itu tiba-tiba suara handphone Rima berdering. Tepat jam 21:00. Rima mengangkatnya dengan segera.

"Iya Ta, Kenapa malem-malem begini?". Tanya Rima sambil mengunyah cemilan yang sedang Ia pegang. Rima memang terbiasa nonton video hingga larut malam sambil ngemil di tempat tidurnya.

Itu kegiatan yang biasa Ia lakukan jika malam minggu tidak pergi berkencan dengan Tama. Kebetulan malam itu Tama ada pertandingan basket dengan regunya di Bogor. Jadilah Rima bermalam mingguan di rumah saja.

"Ini Doni Rim, sorry-sorry ganggu malem-malem. Gue pake handphone Tita temen lu. Mendingan lu cepet ke sini deh Rim. Temen lu mabok nih". Jelas Doni dari sebrang telepon.

Jelas sekali Rima kaget dengan apa yang barusan Ia dengar. "Tita? Mabuk? Yang bener aja, sejak kapan dia jadi begitu". Tanya Rima dalam hati.

"Jangan becanda deeh. Emang kalian di mana? gimana ceritanya Tita bisa mabuk? Tanya Rima penasaran.

"Serius Rim, Tita parah nih. Cepetan ke sini ya. Di klub Green. Tau kan?" Jelas Doni kemudian.

Rima ragu dengan yang dikatakan Doni. Namun bagaimanapun, Tita adalah sahabatnya. Ia tidak mungkin diam saja. Ia tau jika Tita sahabatnya itu memang sedang dalam masalah dengan keluarganya.

Mungkin ini sebagai bentuk pelarian kecil yang Ia lakukan demi melupakan sedikit beban berat hidupnya di keluarganya yang Ia tanggung sendiri. Begitu pikir Rima. Maka Ia bergegas datang ke klub tempat Tita berada seperti yang dikatakan Doni.

"Heeiii, teman baikku cayaaang, kamu ngapaiiin disiniii? Anak baik kaya kamu jangan kesini dooong". Tita tiba-tiba berbicara melantur dengan wajah luar biasa tampak mabuk berat sambil menunjuk-nunjuk Rima yang baru saja datang.

"Ya ampun Ta, lu kenapa gini sih?". Tanya Rima sambil meraih tangan Tita dan bermaksud membuatnya berdiri agar dapat Ia bawa pulang.

"Ayo Ta, pulang. Pokonya lu harus pulang. Jangan jadi gini Tita. Gue tau lu lagi ada masalah. Tapi gak perlu kaya gini kan Ta. Ayo, kita pulang ke rumah gue". Ajak Rima kemudian. Namun tak di duga, Tita malah terjatuh sehingga membuat Rima yang sedang memapahnya ikutan ambruk.

"Addduuuuh, ampun deh ni anak. Berat banget". Gerutu Rima kemudian.

Tiba-tiba ada suara tak asing yang terdengar dari belakang Rima.

"Hai cantik, gak nyangka juga kamu bisa ke sini". Kata Jamie sambil melipat kedua tangannya menatap Rima dan tersenyum simpul. Ya, ternyata Jamie juga ada di situ.

"Heh, lu apain nih anak orang? Kalian tuh keterlaluan ya. Sengaja banget bikin Tita jadi begini. Kalo bikin acara murahan kaya gini gak usah ajak-ajak orang lain". Bentak Rima kepada Jamie yang masih berdiri tepat dihadapannya kali ini.

"Woo... Woo... tunggu dulu Rim. Harusnya kamu terima kasih sama aku. Udah nolongin teman kamu ini untuk duduk di sini dan menelpon kamu untuk jemput dia. Kamu tau kenapa? Karna tadi, dia sendirian dibangku bar itu. Minum banyak sekali, ngoceh gak karuan dan bikin kacau keadaan. Makanya aku, Doni, sama Dimas bawa dia duduk di sini, di meja kami. Karna kami gak mau sampe terjadi apa-apa sama temanmu ini". Jelas Jamie kemudian.

Rima tidak percaya begitu saja. Tapi keadaan akan makin buruk jika Ia hanya mendengar ocehan Jamie. Jadi Ia memutuskan untuk segera membawa Tita pulang.

"Cepet, bantu gue bopong dia ke mobil". Perintah Rima kepada Jamie. Tapi Jamie hanya tersenyum dan meminta Rima untuk bersabar.

"Sabar dulu Rim, duduk dulu kenapa sih. Ngapain buru-buru, ini kan malam minggu. Lagian, kalo kamu bisa kesini jemput temanmu yang lagi mabuk berat ini, artinya kamu gak ada kegiatan lain kan. Udahlaah santai dulu aja".

Sebetulnya Rima enggan menerima ajakan Jamie untuk duduk sebentar bersama mereka. Tapi Ia bingung dengan Tita. Kondisi Tita sudah benar-benar mabuk berat. Diajak berdiri saja Tita sempoyongan, apalagi disuruh jalan.

"Jame, please deh. Bantu gue bopong Tita ke parkiran. Gue gak suka tempat rame begini". Pinta Rima dengan wajah memohon kepada Jamie.

Jamie yang melihat keseriusan di wajah Rima malah semakin ingin membuat Rima menemaninya di klub pada malam itu.

"Rima, please juga deh. Sekali iniii aja kamu terima tawaran saya. Toh kamu udah ada di sini kan sekarang. Aku janji akan bantu Tita. Tapi please, kamu duduk dulu di sini. Kita ngobrol".

"Jame, gimana mau ngobrol sih. Ini tempat yang bising, dan kita harus teriak-teriak begini supaya kedengeran. Apa enaknya ngobrol ditempat begini". Jawab Rima kemudian.

Demi Tita, akhirnya Rima menerima tawaran Jamie.

"Oke, gak lama. 10 menit. Cuma 10 menit dan lo bantu gue bopong Tita ke mobil".

"Ok, Janji 10 menit". Jawab Jamie kemudian.

"Aku pesenin minum ya".

"Gak usah Jame, sorry gue gak minum alkohol". Kata Rima menolak tawaran minum dari Jamie.

"Ya ampun Rima, aku ini tau kamu itu perempuan seperti apa. Tenang aja lagi. Siapa juga yang mau nyediain alkohol buat kamu. Aku udah pesenin orange juice buatmu. Diminum ya".

Tidak berapa lama kemudian Orange Juice pesanan Jamie datang ke meja mereka. Rima tidak habis pikir kenapa Jamie jadi sebaik ini sekarang.

Rima pikir setelah minum seteguk Ia akan dibantu Jamie membawa Tita ke mobilnya. Tapi ternyata dugaan Rima salah. Entah bagaimana ceritanya. Tiba-tiba saja Rima terbangun pagi itu dalam keadaan sakit kepala dan perasaan aneh yang belum pernah Ia rasa sebelumnya. Rima bingung.

"Dimana gue ya?". Tanyanya dalam hati. Tidak lama kemudian Jamie muncul dari balik pintu. Rima terkejut bukan main.

"Tuan putri sudah bangun?". Tanya Jamie dengan senyumnya yang merekah. Kemudian Ia menghampiri Rima yang masih dengan raut wajah bingung.

"Jame, ini dimana? Gue kenapa? Koq bisa disini? Jame, please jelasin ada apa sama gue".

Jamie baru saja mau menghampiri Rima tapi...........................

"STOOOP....!! Jangan mendekat sebelum lo jelasin ke gue apa yang terjadi semalam setelah......". Rima berhenti bicara sejenak, teringat akan kejadian semalam.

"Jame, lo kasih apa ke minuman gue? Lu campur apa orange juice itu jame? Lo apain gue jaaame.....?".

Rima menangis sejadi-jadinya. Ia sedikit mengerti apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Jamie. Hancur sudah harapan Rima untuk terus bersama Tama. Dengan keadaannya yang sekarang. Rima sudah kehilangan kepercayaan dirinya di hadapan Tama.

"Tenang Rim, tenaaang. Gak ada yang tau dengan apa yang sudah terjadi pada kamu". Jamie mencoba menenangkan Rima. Tapi tidak berhasil.

"Lu brengsek Jame, lu bener-bener keterlaluan. Kenapa sih lo tega berbuat begini ke gue. Kenapa lo sejahat ini sama gue Jame, apa salah guee....". Rima masih terus menangisi nasibnya pagi itu.

Jamie sendiri terus mencoba mendekati Rima. Berusaha maksimal agar rima mau mengerti bahwa apa yang dilakukaknnya hanya agar Rima mau menerimanya. Meski dengan keadaan terpaksa.

"Rim, mulai detik ini, aku akan jadi yang terbaik buat kamu. Aku janji gak akan pernah lagi godain perempuan lain. Aku akan setia sama kamu Rim".

"Lu udah gila? Lu pikir dengan cara kaya gini, terus gue akan mau nerima lo? Jamie, gue makin jijik sama lo. Jangan pernah lagi lu deketin gue. Gue harap lo puas udah ngancurin hidup gue hari ini. Gue harap tujuan lo tercapai".

Rima berteriak kepada Jamie yang masih berdiri di hadapannya yang sedang menangis. Kemudian Rima berlari sambil menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian dengan selimut, berlari ke toilet dan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai hotel pagi itu.

Setelah berpakaian, Rima keluar toilet dan ingin bergegas pulang. Namun Jamie mencegahnya.

"Minggir...". Teriak Rima kepada Jamie yang berdiri di ambang pintu demi menahan Rima keluar.

"Rima please, forgive me. I Dont know you'll hurt so bad".

"Just let me go and dont ever meet me anymore. Gue benci elo dan jangan pernah lagi berusaha minta maaf ke gue".

Kemudian Rima mendorong Jamie dan berlari keluar. Ia berlari sambil menangis. Menyetir mobilnya dengan kacau. pikirannya kacau, dalam perjalanan pulang Ia terus menangis di dalam mobil yang dikendarainya. Nasibnya kini hancur. Ia tidak punya muka lagi bertemu Tama. Begitu pikirnya saat itu.

Rima mengurung diri di kamar. Tak habis pikir dengan kejadian yang telah menimpanya. Handphonenya terus berdering. Banyak pesan yang juga tidak Ia buka.

"Rima sayang, masih belum mau bicara? Apa kamu gak ke sekolah lagi hari ini? Udah dua hari lho mama ijin kamu sakit ke sekolah. Ayolah sayang, setidaknya cerita ke mama ada apa ". Ibunda Rima membujuk Rima. Tapi tidak berhasil.

Rima masih membalas pesan-pesan Tama seperti biasanya. Ia tidak ingin Tama khawatir. Namun ketika Tama berkunjung ke rumahnya, Ibunda Rima berkata bahwa Rima sedang tidur. Sehingga Ia tidak bertemu dengan Rima.

Saat itu Tama belum menaruh curiga. Ia pikir rima hanya sakit biasa. Setelah tiga hari tidak ke sekolah dengan alasan sakit, akhirnya Rima memutuskan untuk kembali pergi ke sekolah. Meski terlihat sedikit murung, tapi Rima berusaha tegar.

"Kamu kenapa? Masih gak enak badan?". Tanya Tama kepada Rima yang masih terlihat murung duduk dibangku kelasnya.

"Gapapa Tam, aku udah mendingan. Cuma memang masih gak enak aja. Mungkin pemulihan". Jawab Rima memberi alasan.

Jamie terhenti di ambang pintu kelas Rima. Ia ingin menghampiri Rima, namun mengurungkan niatnya ketika melihat Tama sedang disamping Rima. Tampak Tama sedang memegang tangan Rima dan menyentuh dahinya. Mengecek apakah Rima masih demam seperti yang dikatakan Ibundanya kemarin.

Akhirnya Jamie mundur dan kembali ke kelasnya. Siang itu sepulang sekolah, Jamie mencuri waktu untuk menemui Rima. Ia tau kebiasaan Rima yang pasti akan menunggu Tama selesai berlatih basket. Rima biasanya menunggu Tama di perpustakaan jika Ia sedang enggan melihat Tama berlatih di lapangan.

Namun sayangnya siang itu Rima sudah pulang, Rima merasa betul-betul tidak enak badan. Bukan lagi hanya alasan karna menutupi kemurungannya. Tapi kali ini Rima benar-benar sakit. Maka siang itu Rima pulang dengan Pak Aman tanpa menunggu Tama.

"Ya udah kamu pulang aja duluan ya, minta Pak Aman jemput". Kata Tama siang itu masih di kelas Rima. Tama sebetulnya merasa sikap Rima akhir-akhir ini agak aneh. Murung dan terlihat sedih. Tapi Tama pikir itu karna Rima sedang tidak enak badan. Jadi Ia membuang pikiran jelek jauh-jauh dari kepalanya.

Hari itu adalah hari terakhir Tama bertemu Rima. Dimana pada akhirnya Tama menyendiri hingga umurnya yang sudah kepala tiga sekarang ini.

Tapi cerita Jamie tentang bagaimana Rima menghilang dari kehidupan Tama belum selesai. Maka ceritapun berlanjut.

Malam hari di kediaman Rima. Saat makan malam, tiba-tiba saja Rima ambruk. Pingsan tak sadarkan diri setelah beberapa hari terlihat murung. Ibunda Rima berfikir jika putrinya memang sedang sakit. Maka malam itu ibu dan ayah Rima menelpon dokter keluarga mereka.

Terkejut bukan main atas analisa dokter. Rima mengandung dua minggu. Ayah Rima murka. Marah sejadi-jadinya.

"Papah akan menemui orangtua Tama. Bisa-bisanya kalian berbuat begini. Papah merestui hubungan kalian karna papa pikir Tama anak yang baik dan mampu menjaga kamu Rima. Tapi apa yang dia perbuat padamu". Saat Ayah Rima memencet tombol telepon, seketika itu juga Rima bangkit dari tempat tidurnya kemudian memegang tangan Ayahnya.

"Nggak Pah, Papah ngga tau apa-apa. Bukan Tama Pah, bukan Tama yang harus bertanggung jawab atas bayi ini".

"Apa katamu Rima?". "PLAAAAK" . Seketika itu juga telapak tangan Ayah Rima mendarat di pipi kiri putrinya. Ibunda Rima hanya bisa menangis. Menangisi nasib putrinya. Ia tidak menyangka semua bisa terjadi.

"Kamu pacaran dengan Tama, tapi kamu mengandung anak laki-laki lain maksudmu? Perempuan macam apa kamu Rima? Papah gak nyangka punya putri bejat seperti kamu. Sejak kapan kamu jadi rusak begini Rimaaa....".

"Pah, Rima kan sudah bilang. Papa dan Mama ngga tau apa-apa. Papa, Mama ngga tau apa yang udah terjadi sama Rima kan Pah. Jangankan kalian. Tama juga ngga tau tentang ini Pah. Tama gak salah, Tama gak ngerti apa-apa, dia tetap laki-laki baik seperti yang Papa Mama yakini. Tama tetap laki-laki baik, terhormat, dan tiak pernah berbuat macam-macam pada putri kalian yang kotor ini. Kalian gak tau apa yang Rima jalani belakangan ini".

Rima menangis sejadi-jadinya, kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi dimalam itu. Di malam Ia bertemu Jamie, dimalam ketika Ia hanya berniat menolong Tita sahabatnya. Tita sudah tau kejadian itu. Tita sudah memohon maaf pada Rima.

Rima juga tidak bisa menyalahkan Tita. Karna Tita sendiri juga tidak menyangka dimalam ketika Ia sedang dirundung banyak masalah pelik dalam keluarganya, kemudian lari ke klub itu, Ia bertemu Jamie dan kawan-kawannya.

Tita hanya ingat pagi itu Ia sudah bangun di dalam kamarnya sendiri. Entah siapa yang mengantarnya pulang. Tita bahkan tidak tau sama sekali bahwa Rima datang untuk membantunya pulang namun kejadian naas menimpa Rima.

"Papa akan lapor polisi. Kejadian ini gak bisa dibiarkan". Kata Ayah Rima hari itu. Namun Ibunda Rima melarang.

"Pah, kalo kita berbuat begini, yang ada anak Rima akan lahir tanpa Ayah. Kemudian Rima dan kita akan menanggung malu Pah. Sebaiknya kita temui dulu Jamie. Siapa tau dia mau bertanggung jawab".

"Apa Mama sudah ngga waras? Mama mau menikahkan putri kita dengan laki-laki bejat macam itu?".

"Pah, Mama pernah dengar cerita dari Pak Aman tentang Jamie. Sepertinya Jamie betul-betul mencintai Rima. Mungkin dia benar-benar mau bertanggung jawab Pah. Bisa jadi, perbuatannya dia lakukan demi mendapatkan Rima. Setidaknya, biarkan Rima melahirkan dengan seorang suami Pah. Meski nanti mereka kita pisahkan, setidaknya anak Rima harus punya Ayah dulu Pah. Jangan sampai dia telahir tanpa Ayah".

Ibunda Rima memohon kepada suaminya. Bagaimanapun ini aib. Rima harus segera meninggalkan Jakarta dan menikah secepatnya. Sebelum kandungannya membesar. Akhirnya malam itu juga Ayah dan Ibunda Rima bergegas meminta Pak Aman mengantar mereka ke kediaman Jamie.

Dari Pak Domon yang pernah menolong Jamie membawanya ke Rumah Sakit tempo hari, Pak Aman tau alamat rumah di KTP Jamie. Namun sayang, seperti yang pernah Pak Domon ceritakan, rumah besar itu gelap dan kosong. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ayah Rima berpikir kemungkinan Jamie melarikan diri. Tapi mereka salah. Jamie memang tidak pernah tinggal lagi di rumah besar itu semenjak Ia ditinggal kedua orangtuanya pergi bertugas ke luar negeri. Bahkan kedua orangtuanya tidak pernah mengetahui bahwa Jamie anak mereka ternyata tinggal di sebuah kos-kosan yang tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Jamie tidak mau merasa kesepian tinggal di rumah besar itu sendirian. Meski ada ART, tapi bagi Jamie itu sama sekali tidak membantu menyingkirkan rasa kesepiannya. Sehingga Ia memilih tinggal di kosan. Meski begitu, kosan Jamie adalah kosan elit yang terletak di dalam komplek perumahan mewah.

Hal itu mereka ketahui dari tetangga rumah Jamie yang kebetulan lewat ketika mereka berusaha menemui Jamie di rumah besarnya.

"Iya Pak, Bu, Nak' Jamie memang nggak suka tinggal di sini sendirian. Jadi dia tinggal di kosan di blok sebelah Pak". Begitu kata tetangganya.

Ayah dan Ibunda Rima serta Pak Aman segera bergegas mencari kosan yang dimaksud tetangga Jamie.

"Permisi Pak, apa betul di kosan ini ada yang tinggal bernama Jamie?". Tanya Pak Aman kepada satpam penjaga kosan.

"Oh iya betul Pak, ada Nak' Jamie tinggal di sini. Anda ini siapa ya? Keperluannya apa?". Bapak Satpam itupun balik bertanya kepada Pak Aman.

"Saya Aman Pak, majikan saya yang sedang di mobil itu ingin bertemu dengan Nak' Jamie. Urusan super penting Pak. Mohon bantuannya dipanggilkan. Tolong katakan saja kalau orangtua Non Rima yang mau ketemu".

"Ooh begitu. Oke, tunggulah sebentar. Saya coba panggilan Nak' Jamie".

Jamie kaget bukan main mendengar orangtua Rima mencarinya. Sepertinya Ia tau apa yang terjadi. Ia mengira bahwa Rima menceritakan perihal dirinya telah dinodai olehnya. Namun Jamie masih belum mengetahui tentang Rima yang mengandung.

Ia pikir, mungkin orangtua Rima akan membawanya ke kantor polisi. Ia akan pasrah saja. Karna Ia sadar betul atas apa yang telah diperbuatnya kepada Rima. Maka Iapun segera keluar menemui orangtua Rima dengan perasaan sedikit tegang.

"Kamu yang namanya Jamie?". Tanya Ayah Rima dengan wajah masam memperlihatkan mimik wajah marahnya.

"Iya Om, saya Jamie". Jawab Jamie kemudian dengan wajah tertunduk.

"Bangsat kamu ya. Kamu apakan anak saya". Ayah Rima murka, dengan serta merta Ia meremas kerah baju Jamie dan memukul wajahnya. Jamie tersungkur jatuh di jalan.

Satpam kosan dan Pak Aman bergegas menghampiri mereka. Satpam kosan membantu Jamie berdiri, sementara Pak Aman mencoba memegang lengan Ayah Rima sambil menenangkannya dibantu Ibunda Rima.

"Lho..Lho... ini ada apa ya? Koq Nak Jamie dipukuli seperti ini. Jangan main kasar Pak. Tolong dibicarakan dulu". Kata Satpam kosan sambil membantu Jamie berdiri.

Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik dengan wajah aneh. "Ada apa sih? Ada apa?"...... Begitu kata mereka.

"Pah, sabar Pah. Tujuan kita ke sini bukan untuk menghakimi Jamie Pah. Papah jangan bikin kacau keadaan. Ingat Rima Pah". Kata Ibunda Rima mencoba menenangkan suaminya.

"Mari Pak, kita selesaikan saja di dalam. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin dan tenang". Ujar Satpam kosan kepada Ayah Rima yang massih dipegangi oleh Pak Aman dan Ibunda Rima.

Merekapun masuk ke dalam kosan. Di ruang tamu, mereka membicarakan semua hal yang terjadi sebelumnya. Termasuk kehamilan Rima.

"Mana orangtua kamu? Saya harus bicara dengan mereka". Tanya Ayah Rima dengan nada membentak Jamie.

"Maaf Om, orangtua saya tidak perlu terlibat. Jika Om mau, saya akan menyerahkan diri ke polisi tanpa perlu melibatkan mereka. Bukan apa-apa Om. Hanya saja, mereka tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada saya". Jawab Jamie kemudian.

"Anak macam apa kamu sampai-sampai tidak dipedulikan orangtuanya. Pantas saja kelakuanmu ini bejat, tidak bermoral, tidak punya otak kamu. Kamu apakan putri saya hingga dia hamil hah? Kamu sudah hancurkan masa depan putri saya. Kamu pikir saya bisa terima begitu saja dengan kamu dihukum dalam penjara? Itu malah akan membebaskanmu dari tanggung jawab. Dasar anak brengsek".

Jamie terkejut bukan main. Rima hamil. Ia tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Namun Ia tetap menyadari kesalahannya.

"Apa Om, Rima hamil? Ya ampuuun. Om saya betul-betul minta maaf. Hukuman apapun yang akan Om berikan, saya akan terima Om. Tapi saya mohon Om. Pertemukan saya dengan Rima Om. Saya mohon".

"Dasar anak sialan, apa lagi yang mau kamu lakukan pada putri saya?". Ayah Rima semakin murka dengan permintaan Jamie. Namun Ia teringat kata istrinya. Kemungkinan Jamie ini betul-betul mencintai putri mereka. Karna kehadiran Tama di hati Rimalah yang membuat Jamie nekat berbuat demikian terhadap Rima.

Sekarang giliran Ibunda Rima yang bicara. Ia tidak ingin putrinya mengalami lebih banyak masalah setelah ini. Maka Ia segera saja membicarakan tujuan mereka datang ke tempat Jamie.

"Jamie, tujuan kami datang kemari, bukanlah untuk menghukummu. Paling tidak, bukan sekarang waktu yang tepat untuk kami menghukum kamu. Nanti bila sudah waktunya, maka kamu harus siap dengan segala hukuman yang akan diberikan".

Jamie hanya tertunduk mendengarkan omongan Ibunda Rima. Ia sadar bahwa Ia memang pantas dihukum setelah apa yang diperbuatnya pada putri mereka.

"Kami ke sini meminta kamu bertanggung jawab atas kehamilan Rima. Kamu harus segera menikahinya". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie mengangkat wajahnya. Kaget mendengar omongan itu kemudian dengan wajah sambil tersenyum Ia menjawab.

"Apa tante? Saya menikahi Rima? Betul Tante? Ya ampuuun, saya tidak menyangka akan menjadi suaminya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Rima tante. Saya berjanji. Mulai sekarang, hidup Rima dan anak yang dikandungnya adalah tanggung jawab saya tante". Jawab Jamie kemudian.

Sebetulnya ada perasaan lega di wajah orangtua Rima, Mereka bahkan tidak menyangka laki-laki brengsek yang menghamili paksa putrinya dengan wajah bahagia bersedia bertanggung jawab.

Rupanya kali ini Jamie mendapatkan karmanya. Setelah Ia bermain-main dengan banyak wanita. Bahkan Ia pernah berujar tidak akan pernah mencintai wanita manapun, kini Ia malah betul-betul tersiksa karna mencintai Rima teramat sangat.

Malam itu juga, Jamie dibawa ke rumah Rima. Ia dipertemukan dengan Rima. Namun semuanya tidak menduga dengan apa yang dikatakan Rima.

"Ngapain lu ke sini? Mau apa? Puas lo ngancurin hidup gue?". Rima berteriak ke hadapan Jamie. Ia tak menyangka Orangtuanya membawa Jamie datang.

"Rima please. Kita akan menikah. Aku mohon jangan menolak. Bagaimanapun itu anakku juga Rima".

"Dasar gila. Gimana lu bisa yakin ini anak lo hah? Gue jijik sama lo. Sekarang juga lo pergi dari sini. Gue gak mau lu dateng-dateng lagi ke sini. Pergiiii....". Rima menjerit histeris sambil mengusir Jamie.

"Rima, sayang. Maafin mama dan papah. Mama yang memutuskan menikahkan kamu dengan Jamie. Bagaimanapun kamu gak boleh melahirkan tanpa suami. Rima sayang denger mama nak' kali ini kamu harus nurut apa kata mama. Menikahlah dulu dengan Jamie. Setelah itu terserah dengan apa yang ingin kamu lakukan nak' setidaknya, anakmu harus punya Ayah".

"Nggak mah, nggaaak. Rima gak mau. Rima gak sudi. Siapa yang bilang Rima mau melahirkan? Rima gak mauuu maaah. Rima gak mau anak ini Rima benci dia mah, benciii". Rima semakin histeris, berteriak sambil memukul-mukul perutnya.

"Rima, jangan sayang. Jangan kamu lakukan itu. Dia ngga bersalah nak' jangan berbuat begitu. Dia berhak hidup". Ibunda Rima menghampirinya kemudian mencoba menenangkannya.

"Bagaimanapun Rima tidak boleh menggugurkan bayi dalam kandungannya. Kita harus berbuat sesuatu Pah". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie terdiam sejenak. Berfikir apa yang mungkin akan Ia lakukan selanjutnya. Rima telah menolak menikah dengannya. Tapi Jamie terus berusaha membujuknya. Hari ini tidak berhasil.

"Besok aku akan datang lagi Rima. Aku akan terus datang sampai kamu mau menerimaku. Bagaimanapun, bayi itu harus hidup. Dia tidak berbuat kesalahan Rima. Aku yang salah, aku yang akan menanggung semuanya".

Jamie pulang tanpa hasil. Ia tidak berhasil membujuk Rima menikah dengannya. Tapi kali ini Jamie yang sudah benar-benar jatuh cinta, pada akhirnya tetap harus mengalah, diam, dan pulang. Hanya saja dia tidak berniat menyerah. Dia akan memperjuangkan cintanya. Terlebih lagi, kini perempuan yang dicintainya tengah mengandung darah dagingnya.

Esoknya, Rima tidak datang-datang lagi ke sekolah. Iapun memutuskan untuk tidak akan pernah l;agi menemui Tama. Hancur sudah harapan hidup bersama Tama di masa depan. Siang itu sepulang sekolah Tama berniat menemui Rima karna tidak ada yang tau kabar Rima di sekolah.

Tita hanya bilang jika Rima sedang sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Kabar itu Ia dapatkan dari Ibunda Rima saat Ia menelpon untuk menanyakan apakah Rima baik-baik saja. Karna Tita merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi.

Sejak hari itulah Tama tidak pernah lagi bertemu Rima. Jamie terus menerus datang ke rumah Rima. Begitu pula Rima yang terus menerus menolak menikah dengan Jamie. Pada akhirnya, Jamie memang bertanggung jawab atas Rima dan Mischele secara materi namun mereka tetap tidak menikah.

Semua barang-barang yang dibawa atau dikirimkan Jamie selalu Rima masukan dalam gudang. Tidak satupun yang Ia gunakan. Bahkan uang bulanan yang selalu Jamie kirimkanpun tidak pernah Rima gunakan. Baik untuk dirinya sendiri ataupun anaknya.

Hari itu hari di mana Tama datang lagi ke rumah Rima yang sudah kosong tanpa penghuni, hari dimana Tama bertemu tetangga Rima dan mengatakan bahwa Jamie harus ke rumah sakit, adalah hari dimana Rima berusaha bunuh diri. Rima tidak ingin melahirkan bayinya. Ia nekat mengakhiri hidupnya.

Namun Tama tidak mengetahui hal itu. Tetangganya juga tidak mengatakan apa-apa selain Ibunda Rima yang titip pesan jika ada laki-laki bernama Jamie datang ke rumah, diminta untuk segera ke Rumah Sakit.

Saat itu Tama pikir, keluarga Rima memiliki saudara atau sanak family bernama Jamie. Tidak disangka ternyata Jamie yang dimaksud adalah Jamie si bule teman sekolahnya yang terkenal playboy. Tama betul-betul tidak menyangka.

Tama dan Mischele terus mendengarkan cerita Jamie. Singkat cerita, akhirnya mischele lahir dan Jamie lulus SMA. Jamie meneruskan kuliahnya di Jakarta. Sementara Rima pergi ke Bandung untuk melanjutkan lagi sekolah SMA nya yang tertunda karna mengandung.

Tentu saja status Rima yang telah memiliki anak dirahasiakan di sekolahnya yang baru. Setahun kemudian Rima lulus SMA, kemudian Ia pindah ke sidney membawa serta Mischele. Ia sengaja melakukan itu untuk menjauhkan Mischele dari Ayahnya.

Ya, saat itu Rima berfikir untuk tidak lagi mempertemukan Jamie dengan Miscehele putrinya. Rima tetap belum dapat menerima Jamie. Namun begitu, Jamie tetaplah Jamie yang selalu berkeinginan keras pantang putus asa. Belasan tahun Ia menanti Rima membuka hati.

Sama seperti Tama yang sudah belasan tahun pula menanti Rima kembali. Rimapun demikian, hidup tanpa laki-laki selama belasan tahun, hingga Mischele tumbuh remaja seperti hari ini. Cantik dan Cerdas.

Saat Rima dan Mischele hidup di Sidney, Jamie menyusulnya. Ia tidak pernah menyerah. Selalu datang setiap hari menjenguk Mischele. Berharap Ibunya luluh dan mau mulai membuka hatinya. Itulah sebabnya, Mischele tetap dekat dengan Ayahnya meski Ayah dan Ibunya tidak pernah menikah.

Begitulah ceritanya. Bagaimana Rima bisa menghilang dari kehidupan Tama, bagaimana Mischele hadir dikehidupan Rima, bagaimana Jamie si playboy berubah drastis setelah ditaklukan Rima.

Mischele terdiam mendengar akhir cerita Ayahnya. Tanpa Ia sadari, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Tak lama air matanya mengalir jatuh ke pipinya yang putih mulus merona pink tanpa makeup.

"Jadi, Mommy gak pernah inginkan Mischele. Mommy menderita karna Mischele. Jadi Mischele ini anak yang gak pernah diinginkan Mommy". Ujar Mischele sambil menangis.

"Nggak sayang, siapa yang bilang begitu? Mommy always love you Mischele. Gak akan pernah berubah". Tiba-tiba Rima berdiri dihadapan mereka bertiga yang tengah duduk mendengarkan cerita Jamie.

Kemudian Mischele menghambur kepelukan Ibunya sambil menangis dan berujar "Mooom, maafin Mischele Mom. Karna kehadiran Mischele Mommy jadi menderita. Harusnya Mommy hidup bahagia dengan Om Tama kan Mom". Mischele terisak dipelukan Rima.

"Sayaaang please jangan bicara begitu. Mommy hanya shock saat tau kamu ada dalam perut Mommy. Tapi begitu kamu lahir, Mommy betul-betul mencintai kamu sayang. Kamu yang paling berharga buat Mommy sekarang. Bukan laki-laki manapun. Ingat itu Mischele. Mommy sudah bahagia hidup berdua denganmu tanpa mereka". Jelas Rima kemudian sambil memeluk Mischele.

Tama dan Jamie bangkit dari duduknya. Kemudian menatap Rima dan Mischele yang sedang berpelukan. Tama tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya dari cerita Jamie. Iapun bingung akan berbuat apa.

Kini giliran Rima yang buka suara. Akhirnya setelah lama menanti selama belasan tahun. Rima mau bicara dengan Tama dan Jamie sekaligus.

"Tama, aku minta maaf karna menghilang tiba-tiba dan tak ada kabar. Tapi sekarang kamu tau apa penyebabnya. Aku sudah terlalu kotor dan hina untuk bertemu kamu waktu itu. Meski hanya sekedar mengucapkan selamat tinggal rasanya aku ngga pantas lagi ketemu kamu".

"Rima please jangan bicara begitu. Gak ada yang lebih berharga dan lebih terhormat dari kamu Rima. Harusnya kamu temui aku, kita bisa selesaikan semua sejak dulu. Tidak seperti ini. Lama menunggu dan akhirnya ini yang terjadi. Kamu gak salah. Jadi jangan pernah minta maaf".

Sebetulnya Tama masih sangat kesal pada Jamie. Ingin sekali Ia menghajarnya kembali habis-habisan. Ia memisahkan hidupnya dari Rima perempuan yang paling dicintainya sejak dulu. Tapi karna kehadiran Mischele, maka Tama mencoba tegar. Mencoba menerima kenyataan yang sudah ada di depan matanya.

"Dan kamu Jamie, please gak usah bujuk-bujuk Mischele lagi untuk membuka hati aku untukmu. Karna itu gak akan pernah terjadi. Aku membiarkanmu bertemu Mischele hanya karna Ia butuh sosok Ayah. Itu aja. Bukan karna aku menerima kamu. Sudah jelaskan? Jadi jangan pernah berusaha lagi. Hentikan usaha-usahamu mengirimiku semua barang-barang dan uang setiap hari dan setiap bulan. Aku bisa mengurus Mischele tanpa bantuanmu".

Mischel terdiam. Kemudian Ia berfikir, apakah Mommy masih sangat mencintai Om Tama dan sebaliknya? Apakah mungkin mereka kembali hidup bersama seperti ketika mereka masih remaja dulu. Apakah kehadirannya mengganggu kembalinya hubungan mereka. Aah hal yang rumit untuk dipikirkan.

"Mom, tolong jawab jujur peryanyaan Mischele ya Mom. Pleeease Mom. Mischele butuh jawaban".

"iya sayang, tanyalah apa yang mau Mischele tau. Mommy pasti jawab. Sudah gak ada lagi yang harus Mommy rahasiakan". Jawab Rima kemudian.

"Mom, jujur. Apa Mommy masih mencintai Om Tama? Atau Mommy sedikit demi sedikit sudah bisa mencintai Daddy? Jawab Mom".

Rima, Tama, dan Jamie terkejut bersamaan mendengar pertanyaan Mischele. Tidak disangka Mischele bertanya demikian dihadapan mereka semua.

"Mischele, bagi Mommy sekarang kamu yang terpenting. Bukan siapapun. Jadi kamu gak perlu menanyakan hal yang kurang penting begitu. Baik Daddy ataupun Om Tama, sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan hidup Mommy. Biarkan mereka menjalani kehidupan mereka ke depannya. Mungkin juga Om Tama sudah menikah, atau mungkin Daddy kamu sudah memiliki kekasih yang mungkin akan dinikahinya nanti. Mommy gak mau lagi ngerusak hidup siapapun termasuk hidup Mommy sendiri. Cukup kamu aja di hati mommy sayang".

"Bukan Mom, bukan itu pertanyaannya. Kenapa Mommy gak jawab aja. Siapa yang Mommy cinta sekarang? Om Tama atau Daddy? Jawabannya gak perlu sepanjang itu Mom".

"Michele, Mommy gak perlu jawab pertanyaan itu Mommy rasa Michele udah tau gimana hati Mommy selama ini kan? Kosong michele. Gak ada siapapun. Tolong jangan bahas ini lagi".

Bersambung ke Eps.4 (Ending)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Love is Simple

Aku pikir yang namanya cinta itu indah dan begitu rumit. Ternyata sangat simple sekali.

Umurku 21 Tahun saat pertama kali merasakan debar-debar itu. Memang mungkin di tahun yang katanya milenium ini,

Umur 21 cukup telat jika baru pertama merasakan rasa itu. Tapi ya itulah yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi kekasihku saat itu.

Dia begitu mempesona diriku. Meski dia laki-laki sederhana yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tidak terlalu tampan, tapi cukup menarik bagi perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Tak disangka perasaan diapun sama denganku. Kami menjalin hubungan cukup lama. Kurang lebih 4 tahun.

Tapi tidak ada tanda-tanda juga darinya bahwa Ia akan melamarku.

Tepat diumurku yang ke 25, kami membuat janji bertemu di cafe tempat kami biasa makan.

Hatiku sangat berdebar saat itu. Kupikir dihari ulang tahunku itu aku akan mendapatkan kejutan yang mungkin tidak akan kulupakan seumur hidupku.

Tapi aku tak berani berangan-angan. Aku tak berani mengkhayalkan bahwa Ia akan melamarku di saat itu. Disaat orang-orang bilang tepat bagi umur segitu untuk menikah.

Aku menunggu. "Ras, kamu tunggu aku jam 8 malam nanti ya. Mmmm.... dan nanti aku akan ajak temanku yang mau kukenalkan ke kamu" .

Begitu kata dia saat janjian waktu itu. Sebetulnya aku setengah bingung. Sempat berpikir mungkin dia mau mengadakan pesta kecil untuk memperkenalkanku pada teman-temannya.

Tak lama kemudian dia datang. "Lho Ran, sendiri? Katanya sama teman?" . Tanyaku penasaran saat itu.

"Oh iya Ras, sebentar lagi dia datang. Mungkin agak telat" . Begitu jawabannya. Selang 20 menit datang seorang gadis cantik seumuran denganku menghampiri meja kami.

"Hai Laras" . Sapa gadis itu tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Bingung karna aku tak mengenal gadis itu dan tidak mengingatnya sama sekali kapan pernah berkenalan atau bahkan bertemu.

"Oh iya Ras, kenalin ini Rasti yang tadi aku bilang" . Kata Randi sambil bangkit berdiri menyambut gadis itu.

"Mmmh... jadi gini Laras. Sebetulnya aku ngajak kamu ke sini itu mau bicara jujur dan penting banget" .

Saat itu aku masih tidak berpikir yang macam-macam, kupikir nanti akan datang lagi temannya yang lain dan kami akan berpesta kecil di cafe itu.

Tapi bagaikan gemuruh di langit, seperti tersambar halilintar tanpa rintik hujan sedikitpun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu.

Karna akupun merasa tak tahu dengan apa yang kurasa saat itu. Ini kalimatnya saat itu.

"Laras aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku minta maaf dan terserah dengan hukuman apa yang akan kamu lakukan nanti. Tapi aku mohon kamu maklumin keadaan aku.

Sebetulnya Rasti ini calon istri aku" .

Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu keluar dari mulut Randi kesayanganku. Kekasih hatiku selama 4 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar bagiku yang aku tahu.

Selama ini aku merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Dia terlalu terlihat menyayangiku sebagai kekasihnya. Dia memanjakanku, sering menghiburku, selalu menelponku sekedar untuk menanyakan kesehatanku.

Aku selalu bahagia bersamanya. Jarang sekali kami bertengkar. Dia begitu mengerti aku. Aku yakin dia pelengkap hidupku. Aku yakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi.

Aku terdiam tanpa kata, air mataku menetes. Mereka saling berpandangan kemudian melihat ke arahku. Mungkin mereka takut aku akan histeris dan berteriak pada mereka.

Tapi tidak. Aku bukan type orang yang mudah panik. Meski perasaanku saat itu sakit seperti teriris dan jujur aku ingin sekali menampar wajah mereka berdua.

Tapi itu tidak aku lakukan. Kucoba menenangkan diri, menarik nafas dalam. Mencoba memberanikan diri mengeluarkan sepatah kata saja.

Padahal saat itu banyak sekali yang aku ingin tahu mengenai mereka berdua.

"Oke... Selamat akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari" . Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kemudian aku bangkit berdiri sambil menyodorkan tangan memberikan selamat kepada mereka berdua.

"Tunggu Ras, biar aku ngomong dulu" . Entah apa yang membuat Randi begitu yakin aku ingin mendengar semua penjelasan darinya.

Bukankah sudah percuma. Jika dengan penjelasan maka waktu dapat terulang dititik dimana saat Randi menyatakan cinta padaku bisa terjadi. Maka aku pasti akan mau mendengarnya.

Tapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Bahkan jika saat itu ada doraemon berdiri tepat dihadapankupun aku tetap yakin dia tidak akan membawaku kembali ke masa itu melalui laci meja belajar nobita.

Karna aku Laras, si gadis super cantik yang bahkan memiliki nilai tertinggi di kelas. Aku bukan nobita si malas dan si cengeng yang selalu merengek pada doraemon meminta agar kehidupan selalu menjadi mudah.

Aku hanya punya keyakinan dalam diriku. Aku punya Allah yang aku yakin bahwa ini memang takdirnya untukku.

"Udahlah Ran, gak perlu jelasin apapun, gak akan ada yang berubah hanya karna sebuah penjelasan" . Kataku sambil tetap membelakangi mereka. Rasti hanya diam memandangiku dengan wajah iba.

Yang aku heran, tidak tampak wajah kemenangan yang dia tunjukan di hadapanku. Justru wajah itulah yang membuat aku semakin sakit dan terhina. Wajahnya yang seolah ikut sedih melihat kepedihanku.

"Apa-apaan perempuan itu. Seenaknya merebut kekasih hatiku lalu kini ia mengasihaniku? Dasar sampah". Dalam benakku berteriak.

"Bukan itu Ras, akuu cuma mau kasih ini" . Randi meyodorkan sebuah kartu padaku yang ternyata adalah undangan pernikahan mereka. Ya Tuhaaaan, apa sih yang selama ini terjadi. Sebetulnya aku semakin ingin tahu.

Mengapa mereka bisa mereka benar-benar akan menikah? Sementara aku menunggu Randi melamarku bertahun-tahun. Apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Sejak kapan?

Tapi aku tidak mau tahu. Aku benci mereka. Benci sekali. Hingga rasanya ingin kubunuh mereka dengan cara yang paling sadis.

"Acaranya minggu depan, memang sedikit mendadak tapi sudah keputusan kami. Maafkan aku Ras. Sungguh aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi kacau seperti ini" .

Ku ambil undangan itu sambil melenggang pergi tanpa mempedulikan Randi yang masih berdiri berharap aku mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah. Air mataku menetes tiada henti. Menetes dan terus menetes tanpa suara. Kesedihan yang teramat sangat ini membuatku tak dapat berkata-kata bahkan untuk menangispun tak mampu mengeluarkan suara.

Randiku yang aku tau teramat mencintaiku, Randiku yang memanggilku Kasih. Ya, Randi memang tidak pernah memanggilku dengan nama Laras. Dia selalu memanggilku Kasih. "Kasih sedang apa di sana?, Kasih sudah makan?, Kasih aku kangen niiih, Kasih jangan lupa mimpiin aku yaa...".

Demi Allah, kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang khas sama sekali sulit aku lupakan. Benarkah semua ini terjadi.

Aku paksakan mataku terpejam. Berharap ketika bangun pagi nanti, semua mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap ini hanya mimpi dari tidurku yang tak bisa di atur belakangan ini.

Pantas saja saat menelponku pagi tadi. Terasa begitu janggal mendengar suaranya di sebrang telpon sana. Dia menyebut namaku. Iya, namaku Laras dan berkata ingin bertemu denganku di cafe biasa.

Aku merasa ada yang aneh namun tidak menyadarinya. Ternyata sejak pagi tadi nama Kasih sudah tak terdengar lagi dari mulutnya. Aah rupanya ini yang terjadi.

Di ulangtahunku yang ke 25. Yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk di lamar kekasih karna umur yang terlalu tepat untuk menikah.

Apa yang kuharapkan. Sudahlah. Lupakan.

Hari terus berlalu, aku masih saja sedih. Aku yang periang dan percaya diri mendadak menjadi pemurung. Sulit makan, Sulit Tidur, Mata selalu sembab dan bengkak.

Tidak ada gairah hidup. "Laras, buka pintunya nak. Sudah berhari-hari kamu tidak keluar kamar, juga tidak makan. Jangan jadi begini sayang. Yakinlah jika dia memang jodohmu, maka dengan izin Allah, dia akan kembali padamu dengan jalanNya. Jangan putus asa nak" . Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku. Kemudian aku membuka pintu dengan masih mengenakan mukena. "Tenang aja Bu, Laras bukan orang yang gak punya iman. Laras paham yang sudah Allah takdirkan untuk Laras" . Jawabku sambil berdiri di ambang pintu. "Lalu kenapa kamu gak keluar-keluar? Dara berhari-hari ke sini mau menemuimu. Tapi kamu menolak. Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika ada teman bicara?" . Dara adalah sahabat dekatku sedari SD. Kami selalu bersama, sekolah bersama, lulus sarjana bersama, hingga kami bekerja di perusahaan yang sama karna saat mencari pekerjaan juga bersama. "Gapapa Bu, Laras udah nelpon Dara tadi, minta maaf dan minta Dara ke sini. Paling juga sebentar lagi dia datang" .

Benar saja, selang beberapa menit sahabatku itu muncul dan langsung masuk tanpa permisi. "Raaas, ya ampuuun lu gapapa? Sehat? Mata aja yang bengkak? Apa hati ama lambung juga" . Pertanyaan Dara panjang tanpa jeda. "Huss... Waalaikumsalaaam" . Sindirku pada Dara yang langsung menyerbu masuk menuju kamar tidurku. "Eeeh iyaa... Assalamualaikum Tante" . Sambung Dara sambil mencium tangan Ibu. "Ya udah Ibu tinggal ya. Kalian ngobrol deh yang tenang. Nanti Ibu buatkan minum" .

Akhirnya hari itu berlalu tanpa pembicaraan tentang Randi sedikitpun. Dara menginap di rumahku. Ia memang sahabat yang paling mengerti aku. Dia sama sekali tak mempertanyakan perihal Randi dan Rasti sejak kedatangannya semalam. Dara tahu harus bersikap bagaimana menghadapiku. Dara begitu mengenalku bahkan mungkin melebihi kedua orangtuaku. Dara paham bahwa jika aku butuh bicara, maka aku akan bicara tanpa ditanya. Jadi Dara tidak perlu mempertanyakan kejadian yang terjadi pada hubunganku dengan Randi. Dari Dara aku tahu bahwa atasanku ternyata begitu peduli padaku. Dara bilang Pak Hendro titip salam dan semoga aku lekas sembuh. Pak Hendro juga bilang tidak usah terlalu dipaksakan masuk jika belum pulih benar. Ternyata Dara mengatakan pada atasanku bahwa selama ini aku sakit, sehingga mau tidak mau harus ambil cuti. Sudah seminggu semenjak kejadian aku bertemu pasangan brengsek yang membuatku murka sekaligus patah hati. Hari ini harusnya aku menghadiri undangan pernikahan mereka. Tapi bagaimana. Apakah aku sanggup.

"Aduh Ras. Kalo gue jadi elu yah gue pasti dateng hari ini. Gue harus tunjukin ke mereka bahwa gue fine-fine aja. Kalo perlu gue bawa cowo" . Dara semangat sekali memberiku ide untuk ke acara pernikahan Randi dan Rasti. "Lu sarap ya? Cowo mana jugaa yang mau gue bawa?" . Jawabku kemudian.

"Hai Daraaa......." . Terdengar teriakan memanggil dari sebelah rumah ku. Adalah Dimas seorang laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua dari kami yang tinggal di sebelah rumah. Dimas adalah tetanggaku yang sudah sejak lama tinggal di kediamannya itu. Bahkan kata Ibu, jauh sebelum kami tinggal di komplek perumahan ini, keluarga Dimas sudah tinggal di sana. Sudah 5 keturunan yang mendiami rumah itu. Rumah tua megah dengan gaya barat klasik yang selalu menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang dikomplek perumahan kami. Dimas memang berdarah Amerika. Nenek buyutnyalah yang dulunya membangun rumah itu. Karna nenek buyut Dimas memang asli orang London, maka tidak heran jika rumahnya dia bangun sengaja bergaya barat. Katanya sih, supaya nenek buyut betah tinggal di negara orang. Sekarang nenek buyut Dimas memang sudah tiada. Tapi rumah bergaya barat itu tetap dipertahankan bentuknya. Karna memang bagus.

Tampan? Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia mengartikan bahwa orang blasteran berdarah campuran itu pastilah tampan dan cantik. Tapi tidak dengan Dimas. Bukannya jelek sih. Jujur saja Dimas tidak jelek. Hanya saja, dia terlalu kutu buku dan terlalu serius. Model rambutnya yang kuno dan kacamatanya yang tebal membuat wajah blasterannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun begitu, Dimas berbeda dengan kutu buku- kutu buku lainnya yang lebih sering terlihat minder dan tidak bergaul. Dimas pandai bergaul, dia aktif baik di komplek, di kampus, bahkan di tempat kerjanya. Sebetulnya Dimas cukup percaya diri. Cuma entah kenapa dia sama sekali tidak pernah merubah fashionnya yang sangat terlihat kutu buku dan sedikit culun itu.

Pernah aku bertanya sambil bercanda. "iiih lu tuh jangan begini keq Dim. Kan bisa pake pakean normal. Celan jeans atau celana pendek dengan kaos biasa, Rambut jangan disisir rapih begitu. Bisa gak sih dandan dikit" . Eeeh Dimas malah tertawa sambil menjawab dengan candaan pula. "Hahahaha, ya ampun Laras, aku ini kan cowo blasteran. Apa jadinya kalo penampilanku normal. Apa menurutmu gak bakalan banyak cewe-cewe yang datang ke rumah sambil merengek-rengek minta aku nikahi" .

Hhhh, dasar Dimas. Sama sekali nggak lucu. Mana mungkin tampang bloon kaya gitu bakalan ada yang mau nikahin dia. Kepedean banget. Tapiii kalimatnya itu kadang bikin aku berpikir. Jangan-jangan sebetulnya Dimas memang tampan. Andai aja dia mau berubah. Aaah sudahlah gak mungkin kan itu terjadi. Kalo iya, kemungkinan besar dia sudah menikah sejak bertahun-tahun lalu. Umurnya kan udah 30. Tapi masih aja jomblo tuh. Hihihihi ada-ada aja pikiranku ini.

Akhirnya aku putuskan untuk datang menghadiri pernikahan Randi dan Rasti. Lihat saja yang terjadi nanti. Setidaknya benar kata Dara. Aku harus terlihat tegar seolah tak pernah ada kata patah hati dalam kamus kehidupanku. Karna memang ga ada pasangan yang bisa aku ajak, mau gak mau aku datang bersama Dara. Apa? Dimas? Noo Weeey.... Gak akan. Apa jadinya kalo aku putus dari Randi kemudian dia pikir aku jatuh ke pelukan si culun itu? Lagi pula, Randi tau betul siapa Dimas. Gak mungkin lah.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana. Terkesan bukan pesta. Tapi ya sudahlah. Acara sakral seperti ini tidak butuh yang terlalu mewah. Toh yang menikah tidak pantas mendapatkan kemewahan yang seharusnya. Pikirku sinis. Aku menghampiri pelaminan memberikan selamat pada mereka......................................................

Baca Lanjutannya klik disini !

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.

Rabu, 20 Mei 2020

Operasi Outlone

Hai pembaca semua. Alhamdulilah makin hari blog ini makin banyak pembacanya. Yang mengirimkan cerita juga mulai banyak. Ada satu cerita fiksi yang menarik bergendre action yang akan saya muat di halaman ini. Terima kasih atas kirimannya kepada Anhar Tasman. Ceritanya bagus, bahasnya mudah dimengerti dan gambarannya jelas. Hanya saja mohon maaf sebelumnya ada satu bait paragraf yang saya cut/edit karna agak vulgar dimana seperti yang sudah saya infokan di halaman T.O.S. bahwa kiriman cerita yang akan saya muat adalah yang tidak mengandung unsur-unsur tertentu yang sudah tertuang dalam halaman T.O.S.

Namun begitu, karna menurut saya ceritanya bagus, jadi saya tetap muat di blog ini dengan sedikit editan. Terima kasih kepada penulis. Berikut ini kisahnya.

* * * * * * * * * *

Operasi Outlone

Cinta yang membawa seseorang keluar dari zona nyaman

Anhar Tasman

Ia di sana, menatapnya penuh kasih sayang, jaket hijau dan jeans biru yang dipakainya menambah kesan tomboy, Ia begitu tinggi hingga Tasim selalu mendongak ke atas setiap kali berbicara dengannya, tapi rasa pegal di leher nya terobati oleh kekagumannya pada Shinta, dengan gemetar dia letakkan tangan di bahu kirinya yang harum, memerasnya lembut,  otot bahunya sangat kuat untuk ukuran wanita,Tasim menatapnya penuh haru hingga air mata keluar tanpa nya sadari

“kenapa sayang?” Tanya Shinta lembut serta khawatir

“aku.. aku... kak” dia tatap dalam matanya penuh ketakutan

“ya sayang.. kenapa?”

“aku takut kakak selingkuh..” kedua kelopak matanya terpejam menahan derasnya air mata yang mendobrak keluar

“sayang... dek.. kenapa bicara begitu? Aku gak akan pernah selingkuh, aku sayang banget sama kamu” Jawab Shinta sambil memeluk erat pacarnya yang sangat kekanak-kanakan itu

Bukan pertama kalinya dia menanyakan hal bodoh, tapi Shinta tidak mengeluh, ia mencintai Tasim apa adanya, baginya dia adalah pria baik yang tidak boleh dibiarkan sendiri. Bagi Tasim, Shinta adalah pacar, kakak, pelindung dan gurunya. Berbeda dengan pasangan lain yang berakhir dengan hubungan sex ketika berpelukan, Tasim hanya ingin merebahkan beban pikirannya pada Shinta sembari menangis hingga perasaannya kembali lega setiap kali berpelukan, bahkan ketika Shinta hanya mengenakan Bra dan celana jeansnya, dia tidak begitu tertarik, ia hanya ingin Shinta memandang tajam matanya dan meyakinkannya semua akan baik-baik saja, ia hanya ingin sentuhan hangat dan kuat darinya.

Tasim adalah lulusan jurusan Teknik Informatika yang hidup sendirian di sebuah apartement yang dibelinya dari proyek sistem informasi yang dia kerjakan tahun lalu. Kini ia hidup sendiri, sehari-hari ia jalani dengan bekerja sebagai freelance programmer, mengerjakan proyek-proyek yang ia dapatkan melalui internet. Sifatnya yang penutup membuatnya tidak begitu dikenal oleh para tetangga dan jarang keluar apartemen.

Berbeda dengan Tasim, Shinta adalah wanita yang super aktif, ia periang, pintar, cantik, tinggi dan lebih tua satu tahun. Ia bekerja sebagai customer service di salah satu perusahaan telekomunikasi terkenal. Ia sangat ramah kepada setiap orang. Bahkan ia mendorong Tasim untuk mengunjungi beberapa tetangga apartemennya, mereka yang tadinya berprasangka buruk terhadap Tasim berubah menjadi suka pada sifatnya yang pemalu tapi ternyata sangat ramah.

Berkat dukungan Shinta, Tasim menjadi lebih dekat dengan tetangga. Ia bahkan membawa laptop pekerjaan ketika menongkrong dengan mereka di halaman basket depan gedung apartemennya sehingga dia tetap bisa bergaul sambil bekerja. Ia sesekali juga mengajari mereka pemrograman dan cara membuat animasi. Tasim pun senang keahliannya diminati para tetangganya.

“Dek.. kok melamun? Udah siap?” Tanya Shinta dari depan pintunya, ia sudah menenteng handuk dan botol air mineral, pakaian olahraganya yang ketat memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Tasim berlari kecil lalu mengunci pintu kamarnya untuk joging dengan Shinta. Ini resolusi tahun baru yang mereka sepakati, Tasim bertekad untuk menguruskan badannya yang tambun, Shinta dengan semangat terus membantunya. Mereka joging di subuh hari di lintasan samping kanal. Mereka memilih saat subuh karena saat itu hanya ada mereka berdua. Shinta mengerti pacarnya tidak suka keramaian oleh karena itu dia rela bangun jam 4 lalu menjemput Tasim untuk joging, bagi dia itu pengorbanan yang menyenangkan, ia bahagia bisa merubah pacarnya menjadi lebih baik, dari yang tadinya penutup diri menjadi terbuka, yang tadinya tambun kini badannya mulai kurus, Shinta hanya ingin Tasim menjadi lelaki yang kuat dan sehat, ia memang bersedia menjadi tempatnya memanjakan diri seperti anak kecil, tapi ia tahu orang lain tidak akan selembut itu padanya, karena itu ia ingin Tasim siap dengan kerasnya dunia luar dimana ia tidak selalu bersamanya, ia tidak ingin mencari pria sempurna, baginya lebih baik bersama-sama orang yang ia cintai dan berubah bersama menjadi lebih baik daripada menghabiskan umurnya menunggu sosok sempurna.

“Ayo dek.. masa baru lari sudah capek begitu” Ledek Shinta pada Tasim yang tertinggal di belakang

“Iya kak.. tunggu donk! Huuft” Ia melihat rambut panjang Shinta berombak ke belakang dengan indahnya, seindah tubuhnya yang tertutup jaket biru itu, ia terpesona pada gunung payudara indah yang terlihat dari ketiak jaketnya, tanpa diketahui dia sudah melihat ke belakang dan tahu ia mengerti kemauannya sekarang, kemauan untuk melepaskan hasrat padanya, dia hanya tersenyum nakal dan meneruskan lari seperti yang sudah disepakai bersama, lari minimal 2 kilo meter setiap subuh.

“Aku tak akan menyerah, akan aku kejar kamu kak” Batin Tasim, ia tahu pengorbanannya untuk menjemputnya setiap pagi tidaklah mudah, ia sebenarnya mulai malas dan ingin menyerah dengan resolusinya tapi ia tahu itu akan mengecewakan kekasihnya, ia sadar ia hanyalah pria yang tidak sejati yang harusnya bersyukur mempunyai malaikat cantik yang selalu mendukungnya, pagi ini ia akan membuatnya bangga, walaupun lelah ingin berhenti, ia terus berlari menunjukkan bahwa ia pria yang kuat yang bisa membahagiakannya suatu hari, ia terus berlari menyusul pacarnya yang seksi itu.

“Awas kamu kak, akan aku peluk dan cium kamu sampai habis” Batin Tasim, ia melesat seperti mobil yang memakai NOS saat balapan

“Maju woy! Ah bego! WOOY!”  Teriak sopir mikrolet pada mobil sedan di depannya. Teriakan itu salah satu elemen khas pagi hari di jalan raya samping kanal, selain bunyian klakson, tukang bubur, candaan ibu-ibu, tawa ledekan anak sekolahan dan tangisan anak kecil. Tasim dan Shinta sedang berdiri santai di samping jembatan kanal, menikmati keindahan pemandangan air mengalir dari arah munculnya matahari. Mereka biasa berdiri disana setengah jam setelah lari. Tanpa pelukan, tanpa ciuman, tanpa obrolan panjang, hanya dua manusia yang saling cinta sedang menikmati momen berdua diantara elemen bising khas ibu kota. Tasim yang biasanya sensi dengan kebisingan dan semraut jalan raya, kini seperti tuli sejenak, ia terpesona keindahan alam itu dan merasa nyaman dan aman ada Shinta di sampingnya.

“Kak ayo kita sarapan..”

“Hmm kakak harus berangkat kerja, motor kakak tadi di parkir disana, kamu pulang sendiri bisa kan?”

“Aku takut.. maunya sama kakak..”

“Adeee... mau kakak cium disini sekarang?”

“Engga kak malu hehe, oke kak aku pulang dulu, kakak hati-hati di jalan yah”

“Iya sayang...”

Tasim berjalan pulang sendirian, di tengah perjalanan ia melihat sosok pria yang sepertinya ia kenal, wajah itu tidak asing lagi, dia adalah Wahyu, teman lamanya saat masih duduk di tingkat satu kuliah, ia begitu bahagia bisa bertemu dengannya, mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi, ia sudah sering mencoba menelepon nomornya tapi tidak diangkat, dan chat melalui facebook tidak dibalas dan profilnya tidak pernah diupdate sejak perpisahannya di akhir semester 2

“Wahyu..? Lu wahyu kan?” Tanya Tasim padanya yang sedang menunggu dilayani penjual kebab

“Weh.. Tasim? Apa kabar lu men?” Mereka berjabat tangan, Wahyu bercerita dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis di pulau kalimantan. Dia sekarang berbisnis pakaian batik dan sedang mencari tempat tinggal dan kebetulan memilih gedung apartemen yang sama dengan yang Tasim pilih. Tasim tidak percaya Wahyu sudah berubah, pria yang dulu introvet seperti dirinya kini tampil lebih hebat, ia ingat bagaimana dia mengeluh tentang orang-orang sebagaimana ia juga tidak menyukai keramaian, dan dia mengeluh nilai kuliahnya yang sangat jelek dan memutuskan pindah fakultas, ia mencoba menahannya untuk bersabar tapi dia tetap pindah, setelah itu ia terus mencoba menghubunginya tapi tidak mendapat balasan. Hubungan mereka tidak lama, hanya 2 semester, tapi meski begitu, Wahyu adalah teman terdekat yang dimilikinya, ia ingat bagaimana dia menjemputnya dari kontrakan dan mengantarnya ke rumah saat ia demam dan sendirian, dia adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki. Tasim tidak bisa menahan untuk mengakui betapa besar kerinduannya kepada Wahyu.

“Gimana dengan lu? Sudah menikah?” Tanya Tasim sambil menyodorkan secangkir teh di ruang tamu apartemennya.

“Haha, lu udah punya ya tas, hebat, gue belum, masih mencari dan menunggu, oh iya, mana foto pacar lu itu? Gue mau lihat”

“Dia gak mau difoto yu, gw sering minta tapi dia terus nolak”

“Dia dimana sekarang? Tinggal sama lu?”

“Oh engga, dia tinggal di gedung apartemen deket kantornya, kapan-kapan gue kenalin lu ke dia”

“Sip, oh ya gw harus balik sekarang nih, udah siang”

“Wah gak kerasa yah, oke yu, eh iya nomor handphone lu berapa?”

Setelah bertukar nomor handphone, Wahyu pergi, Tasim segera mengirimkan SMS pada Shinta untuk mengatur makan malam bersama, ia ingin mengenalkan sahabat lamanya. Setelah berjam-jam menunggu balasan, Shinta akhirnya membalas SMSnya saat malam, dia memintanya segera bersiap dan naik ke atas gedung karena ingin melatihnya ilmu bela diri seperti yang biasa mereka lakukan setiap malam, Tasim tidak menolak, ia senang bisa diajarkan, ia merasa sebagai lelaki macho saat bisa melakukan gerakan-gerakan karate. Ia pun segera mengganti pakaian, membawa bekal dan berlari ke tangga, sementara itu Shinta sudah menyiapkan tempat untuk mereka latihan.

Setelah berlatih, mereka berdiri menikmati pemandangan malam disertai angin yang berhembus mengusir keringat, mata Tasim tertuju pada lintasan lari yang sekarang sudah menjadi pasar malam, orang-orang berjual beli barang-barang murah di sana, ia mendapat ide untuk membelikan hadiah untuk Shinta, dia wanita tomboy dan suka bela diri, mungkin miniatur pedang sangat cocok, bisa ditaruh di mobil atau kamar, tapi setelah ia melihat restoran yang tidak jauh dari lintasan lari itu, ia mendapat ide yang lebih baik, yaitu mengajak pacar dan sahabatnya makan malam.

“Kak... aku ingin kita makan malam di restoran”

“Restoran?”

“Ya kak, kita bertiga bersama sahabat ku Wahyu, besok malam setelah latihan?”

“Kakak gak bisa dek, aku harus segera pulang setelah latihan karena paginya harus menjemput mu lari pagi kan?”

“Kak,, hanya malam besok saja, aku ingin mengenalkan mu padanya, kalian berdua orang yang ku pedulikan, aku ingin kalian saling kenal”

“Dek.. kakak gak punya waktu, dan kakak harus menjaga stamina karena selalu sibuk di kantor kamu tahu kan.. Bahkan untuk bertemu dengan mu hanya bisa saat subuh dan malam hari kan? Kakak gak sefleksibel dulu karena jabatan kakak udah naik”

“Yah selalu beralasan kantor, kantor dan kantor... Kak aku butuh kamu!”

“Ya dan kakak sedang mengumpulkan uang untuk masa depan kita!”

“Tidak ada masa depan dimana kakak dan aku bisa selalu berdua kan?! Aku  lebih memilih kakak mencari pekerjaan lain”

“Dek... kakak gak pernah meminta kamu dewasa, kamu bebas menuntut apapun dan tidak pernah sekalipun aku menolak memberikannya, aku berikan apapun dan menjadi siapapun yang kamu butuhkan, kamu mau kurus oke kakak siap jemput dan menyeret kamu keluar dari gua itu untuk lari setiap pagi, kamu mau bisa bela diri kakak ajari setiap malam, kamu pencinta senapan, kakak latih kamu menembak setiap minggu, dek jabatan aku lebih tinggi sebelum kenal kamu, percayalah aku sudah berusaha maksimal membagi waktu.  Aku gak meminta apapun selain... aku ingin kamu pada titik ini saja mendukung pekerjaan ku karena aku sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah untuk kita berdua dan kakak cinta pekerjaan ini, oke dek? Aku mohon minta lah apapun selain yang menghambat rutinitas kakak, apapun dan kakak akan penuhi semampu kakak, oke? Plis? Honey?” Shinta tidak ingin menyakiti perasaan kekasihnya, ia berjanji pada dirinya untuk berusaha memberikan yang dia minta, apapun selain harus membuatnya keluar dari jadwal-jadwal pekerjaannya. Ia diam menatap Tasim, menunggu jawabannya.

Tasim terbangun keesokan paginya dengan kaos dan celana bersih, Shinta telah menghilang, ia merasa takut ada orang datang karenanya ia segera berlari menuju tangga, masuk ke lift dan menuju kamar. Wahyu sedang berdiri di depan pintu terus-menerus menekan bel sambil menggedor dan memanggil namanya, ia menenteng kotak cokelat. Tasim yang melihat dari jauh merasa tidak enak dia mungkin sudah menunggu lama sementara ia tertidur.

“Woy bro! Sorry udah lama ya? Gue lagi senam di atas, sorry nih gak bawa hape”

“Owh.. slow, eh gue perhatiin lu alit tembak ya? Kemarin gue lihat ada foto-foto lu lagi nenteng senjata, laras panjang pula”

“Bukan atlit tembak sih, tapi gue sering latihan nembak sama cewe gue. Itu kotak apaan? Martabak?”

“Haha bukan ini gue mau nunjukin koleksi pistol gue, pistol angin sih”

“Wooh lu atlit nembak? Eh lupa, ayo masuk, eh sorry banget nih nunggu lama, lu udah sarapan?”

“Udah selow, masih aja kaku. Sama kaya lu gue latihan di lapangan, bokap gue ngajarin nembak setiap minggu”

Tasim membuatkan mereka berdua sarapan mie goreng telor dan teh hangat. Mereka bercerita panjang lebar tentang senapan dan metode latihan yang mereka lalui. Tasim sudah lama tahu ayah Wahyu seorang tentara dan betapa takjubnya ia mendengar cara dia mengajarkan Wahyu berkamuflase dan survival di hutan layaknya tentara sungguhan, dan Wahyu juga tidak percaya Shinta bisa mengajarkannya menembak senapan mesin dan dia ingin segera menemuinya, Tasim masih merasa bersalah karena telah memaksa Shinta bahkan tega memintanya pindah pekerjaan, ia merasa tidak tahu diri dan ingin segera meminta maaf kepadanya nanti malam. Wahyu membaca gerakan tidak enak dari kawannya dan dia pun mengganti subjek pembicaraan. Kini mereka membiacarakan film aksi yang berisi para aktor tua yang kembali berlaga tembak-menembak.

“HAHAHA! Kakinya terlalu pendek untuk menendang raksasa besar itu, hahaha, dia seharusnya”

“DING!” Bunyi bel pintu

Ketika Tasim buka, tidak ada siapapun, di depan kakinya ada amplop putih, ia buka dan ada surat bertuliskan “Nyalakan TVnya”

“Bro? Siapa?” Tanya Wahyu sambil mengunyah biskuit di sofa

“Bro tolong nyalain TV donk” Kaki Tasim tidak bisa beranjak dari gagang pintu, dia merasakan perasaan tidak enak tiba-tiba

“eh TV? Oke tunggu, nih”

Mereka berdua ternganga menyaksikan pemandangan mengerikan, adegan penyiksaan seorang wanita di ruangan yang dipenuhi pria bersenjata, Tasim mengenali wanita itu, dia adalah Shinta, mulutnya disekap, bahunya penuh sayatan, kepalanya diperban, tangtop putihnya penuh darah, lehernya dekat dengan mata pisau yang dipegang pria kekar yang sepertinya sedang bertanya sesuatu yang tidak jelas terdengar.

“Triiiing!” HP Tasim berbunyi, dia masih syok tapi mencoba tenang saat mengangkatnya

“Halo?”

“Tasim, bagaimana latihan mu? Ku harap dia sudah mengajarkan mu cara menjadi pahlawan, datang ke alamat yang ada di amplop depan pintu mu dalam waktu satu jam, tidak ada polisi, turuti permintaan ini atau akan kami bunuh”

Tasim menoleh ke belakang,ada amplop baru, ia mendengar pintu  lift terbuka, segera ia berlari tapi sayang terlambat, tidak terlihat siapa dia, orang misterius yang baru saja menaruh amblopnya. Ia kembali ke kamarnya, di sana Wahyu membaca amplop kedua lalu menoleh ke Tasim

“Gue tahu alamat ini” Kata Wahyu

“Wahyu gue harus pergi kesana, tanpa polisi”

“Hah? Dengan tangan kosong? Itu bunuh diri”

“Gue datang dengan tangan kosong  dan mobil penuh senjata, gue gak punya waktu banyak, lu harus pulang, biar gue selesain ini sendiri”

“Tunggu bro! Tunggu!” Kata Wahyu sambil menahan Tasim yang penuh emosi

“Gue ikut lu oke”

“Itu tempat berbahaya”

“Ya Tasim terimakasih penjelasannya, gue bisa lihat sendiri dari video itu”

“Gue gak mood untuk bercanda”

“Bagus, karena gue gak menganggap ini candaan. Lu tahu apalagi yang bokap gue ajarkan selain bertempur? Dia mengajari gue tentang kesetiaan. Sekarang, sebagai teman lu gue bersikeras untuk ikut lu, gue bisa jaga diri, lu bisa jaga diri, kita akan hajar mereka”

“Lu punya..”

“Ya gue punya mobil”

“Dan lu...”

“Ya gue punya banyak amunisi dan senapan”

“Apa ada di..”

“Ya semuanya ada di bagasi mobil. Gue rencananya ingin kerumah bokap untuk latihan, tapi biarlah. Kita bisa berangkat sekarang”

Rumah itu berwarna kuning. Memiliki tingkat dua. Semua jendelanya ditutup. Dijaga oleh dua orang memegang golok di depannya. Pagarnya terbuka. Ada mobil Shinta di parkiran dalam. Wahyu memberhentikan mobil di dekat pohon. Tasim keluar membawa stun gun dan pistol. Mengendap mendekat melalui  semak-semak, disusul Wahyu yang membawa senapan tembak jarak jauh.

“Wahyu, lu cari posisi aman untuk menembak, gue akan masuk sendirian”

“Jangan sok pahlawan bro, kita bisa masuk barengan”

“Dan dibantai saat baru masuk? Jangan khawatir, gue punya rencana, lu cari aja tempatnya”

“Oke bro, hati-hati”

Satu penjaga masuk. Tasim berjalan pelan ke belakang penjaga yang masih diam berdiri. Dengan stun gun, ia arahkan ke lehernya. Dia gemetar lalu pingsan. Ia seret badannya ke semak-semak. Dengan cepat ia kembali ke balik dinding menunggu penjaga lain. Satu penjaga keluar menuju jalanan. Dia menengok kanan kiri tidak menyadari keberadaan Tasim di belakangnya. Saat dia menoleh, badannya sudah gemetar. Dia pingsan. Tasim seret ke dekat temannya. Tidak ada siapapun di jalanan. Tasim masuk ke dalam rumah.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Tasim masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di bawah kasur. Dua orang masuk ke kamar. Dari suaranya, satu pria dan satu lagi wanita. Wanita itu terdengar memberontak. Keduanya naik ke kasur sehingga Tasim tertindih tapi masih bisa bergerak. Kasur itu berguncang. Tasim bisa menebak yang terjadi. Sedang terjadi pemerkosaan. Perlahan ia keluar dan berdiri menghadap pria yang sedang menindih si wanita sambil melepaskan celananya. Ia berikan setrum di lehernya. Pria itu terjatuh dan pingsan. Wanita itu menangkap isyarat diam darinya. Dia menghapus air matanya dan turun dari kasur. Dia keluar dari rumah. Setelah diperiksa tidak ada siapapun lagi di tingkat ini, Tasim naik tangga untuk memeriksa lantai atas.

Semua pintu kamar terbuka kecuali kamar yang paling besar. Pintu itu terkunci. Ia paksa buka tapi tetap tidak bisa. Ia pastikan tidak ada siapapun yang melihat kemudian mendobrak pintu itu. Berbarengan saat itu pula kaca jendela pecah oleh peluru yang menembus kepala pria besar yang tadi memegang pisau. Tasim menghajar satu pria yang hampir memukulnya dengan kayu. Setelah ia yakin tidak ada lagi penjahat, ia dekati Shinta yang terikat di sebuah kursi. Mulutnya ditutup ikatan kain. Ada bekas pukulan di sekujur tubuh dan matanya. Tasim melambaikan tangan ke luar jendela untuk memberi tanda kepada Wahyu untuk masuk.

“Kak.. Maaf aku telat, ini sak..”

“Jangan pegang gue, siapa yang menyuruh lu kesini?!”

Tasim sangat kaget, bagaimana dia bisa menjadi kasar, apakah karena semalam? Apa karena ia telat? Tapi yang paling ia tidak mengerti apa maksudnya dengan kata menyuruh. Ia hanya terdiam menatapnya penuh kesal.

“Yuli lu gapapa?” Tanya Wahyu yang baru masuk ruangan sambil memegang pistol di tangan kanannya

“Lu gila yak?! Anak kencur lu suruh nyelamatin gue?! Pake otak lain kali!” Shinta merebut pistol dari tangan Wahyu dan segera keluar dari kamar itu

“Kak... kak.. Shinta!!” Teriak Tasim kebingungan

“Gue bukan Shinta!” Bentaknya sembari menuruni anak tangga

“Tasim, bisa tenang sebentar?” Pinta Wahyu sambil memberikan kursi kepadanya

“Lu kenal dia? Yuli namanya? Apa maksudnya? Kenapa dia bisa marah ke  gue? Apa salah gue?!”

“Maafin gue kawan, gue harus ngelakuin ini” Wahyu memukulnya hingga Tasim pingsan. Ia bawa kawannya menuju mobil. Mereka bertiga meninggalkan lokasi kejadian.

Tasim terlelap di bangku belakang. Wahyu menyetir mobil sementara Shinta membersihkan luka-lukanya. Ia masih tampak kesal atas kejadian yang baru terjadi.

“Lu gak perlu teriak seperti itu ke Tasim, dia lelaki yang baik”

“Gue disekap dan lu mengirim bocah ingusan? Bilang ke bos kalau dia mau gue mati biarin gue mati sendirian”

“Asal lu tau, gue gak menyuruh dia kesini, dia bisa aja panik gak jelas bahkan nelepon polisi saat tahu lu yang asli disekap, tapi enggak, dia nekat pergi sendiri bahkan menyuruh gue pulang dan gue harus mengemis untuk ikut dia. Lu boleh percaya atau enggak, tapi lu harus minta maaf ke dia. Dia udah merelakan nyawanya untuk lu. Dia cowok pertama yang berani ketimbang ...”

“Ketimbang cowok-cowok pengecut lain yang udah gue tidurin.. Thanks, gue ngerti”

“Gue berencana bilang ketimbang kandidat lain”

“Diam”

Wahyu berharap sahabatnya bisa mengerti semua ini dan sanggup menerima kenyataan pahitnya.  Ia merasa bersalah tidak segera memberitahunya tapi merupakan kewajiban telak baginya untuk tutup mulut hingga bosnya berkata lain. Ia juga khawatir dia lebih memilih bunuh diri ketimbang bergabung bersama satuannya. Ia kembali menatap Yuli, kali ini dengan tatapan menakutkan.

“Tasim adalah sahabat gue dan lu baru saja menyakiti hatinya, lu harus meminta maaf kepadanya atau lu gak akan hidup lama”

Yuli bukanlah gadis penakut, sebagai pasukan wanita elit ia sering mendapatkan ancaman. Tapi Wahyu tidak pernah semarah ini kepadanya. Ia hanya bisa diam tidak ingin memulai keributan atau menunjukkan tanda perlawanan. Bagaimanapun juga, Tasim benar-benar menyelamatkannya sendirian. Dia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatannya. Ia menyesal telah membentaknya. Dia pasti sangat sedih, pikirnya, ia berjanji pada dirinya akan meminta maaf setelah dia mengerti.

Tasim terbangun di sebuah ruangan, hanya ada satu meja besar dan dua kursi serta kaca dinding, ruangan itu diterangi lampu kuning, ia melihat pintu yang terbuka tapi ia tidak bisa keluar karena kakinya diborgol. Masuk seorang pria tua berkacamata, mengenakan kemeja putih berjas hitam, menenteng satu folder dan sebuah remot di tangannya. Ia mengeluarkan puntung rokok dari kotaknya dan menyerahkannya kepada Tasim, dia menolak dengan gelengan.

“Apa Anda kenal saya?” Tanya bapak itu

“Shinta” Jawabnya sambil melihat ke arah kaca di ruangan, ia tahu itu kaca dua arah dan ada orang lain dibaliknya. Ia harap itu Shinta

“Maaf?”

“Shinta”

“Namanya bukan Shinta, dia Yuli, dan saya tidak bisa mengkonfirm apakah itu nama asli, dan dia tiak ada dibalik kaca itu, nak”

“Yuli? Yah benar saya lupa, wanita seperti itu tidak mungkin bernama Shinta, dia pasti bernama Yuli, Angelina, James, Risda, Novi, nama-nama tomboy”

“Apa Anda yakin tidak kenal saya?”

“Tidak”

“Koreksi jika saya salah, Anda termasuk orang yang lebih suka menjadi pendengar ketimbang memotong pembicaraan, apa itu benar?”

“Benar”

“Maka izinkan saya memperlihatkan sesuatu” Pak tua itu menekan tombol di remot ke arah kaca, muncul sebuah cuplikan rekaman pembicaraan antara Tasim dengannya di ruangan itu juga, tanggal di rekaman menunjukan rekaman itu diambil dua tahun lalu.

------------------------

9 Januari 2014

-----------------------

“Sebutkan nama Anda untuk dicatat”

“Tasim Sudirman”

“Jelaskan alasan Anda berada disini”

“Saya seorang penakut, tidak berani berinteraksi dengan orang lain, tidak memiliki teman, menjauh dari keluarga, tidak memiliki harapan masa depan, tidak memiliki semangat berjuang. Saya ingin berguna untuk negara ini, ingin menjadi prajurit, saya siap mati untuk negara ini. Tapi rasa takut saya lebih besar dari impian itu. Saya datang kesini, siap menjadi objek percobaan dengan tujuan saya bisa digunakan untuk membela negara setelah semua rasa takut saya hilang”

“Anda paham apa yang akan Anda alami?”

“Halusinasi memiliki kekasih. Saya paham dan siap dengan segala resikonya. Saya percaya dia, dalam kurung kekasih hayalan, bisa mendorong saya untuk menggapai semua yang saya mau”

“Anda sudah punya nama untuknya?”

“Shinta”

“Anda sudah punya kriteria untuknya?”

“Cerdas, kuat, mahir bela diri, tinggi, berambut panjang hitam, memiliki tubuh yang indah, senyumnya menggoda, sehat, mempunyai pekerjaan, dan yang terpenting, selalu menyemangati saya untuk berubah, untuk pergi kemanapun, berbicara dengan siapapun dan melakukan apapun yang sebelumnya saya takuti. Itu kriteria yang saya inginkan”

“Sebutkan kisah pertemuan Anda dengannya”

“Saya memiliki komputer yang rusak, lalu menelepon jasa servis, mereka mengirim Shinta untuk memperbaiki komputer itu, tapi komputer itu selalu rusak dan selalu Shinta yang dikirim, lama kelamaan terjalin komunikasi diantara kita dan saya menyukai dia, suatu hari saya bertanya apakah dia bersedia menjadi pacar saya, dan dia mengiyakannya. Itu awal pertemuan kita”

“Sebutkan aktivitas yang Anda inginkan bersamanya”

“Setiap subuh, dia menjemput saya untuk lari pagi, saat malam dia melatih saya beladiri di atap gedung apartemen, di hari minggu dia mengajari saya menembak di sebuah lapangan, dan di hari libur kami berdua, saya ingin menghabiskan hari bersamanya di apartemen”

“Apakah Anda paham, Anda tidak bisa mengajaknya keluar dari jadwal aktivitas yang sudah Anda tentukan?”

“Paham”

“Apakah Anda paham, dia tidak bisa ditunjukan kepada keluarga atau kenalan dekat Anda”

“Paham”

“Apakah Anda paham, suatu hari kebohongan ini akan terbongkar?”

“Paham”

“Apakah Anda siap menerima rasa sakit ketika mengetahui kebohongan ini?”

“Siap”

Rekaman itu dihentikan oleh Pak Tua, dia menunggu reaksi dari anak muda yang kebingungan di hadapannya. Tasim tidak percaya apa yang sudah dilihatnya, ia tidak bisa percaya bersedia melakukan perjanjian sekejam itu, ia tidak bisa percaya bahwa kekasihnya, yang selama ini selalu bersamanya, adalah hayalan, ia mencoba mencari bukti bahwa Shinta itu benaran ada.

“Saya dan dia pernah berfoto selfi bersama, saya punya foto yang membuktikan dia benar-benar ada” Tantang Tasim

“Biar saya tebak, foto itu diambil sehari setelah Anda menyatakan cinta kepadanya?”

“Ya”

“Foto seperti ini?” Pak tua itu mengeluarkan beberapa foto dari folder cokelat

“Anda mengambilnya?”

“Kami juga memiliki sudut pandang lain, silahkan dilihat-lihat”

Tasim melihat foto-foto itu, foto itu diambil dari dalam mobil yang parkir di seberang gedung apartemennya, yang parkir di seberang lintasan lari tempat ia dan Shinta selalu lari pagi, yang parkir di seberang lapangan tempat ia dan Shinta latihan menembak, ada pula foto yang diambil dari gedung apartemen seberang, foto itu menunjukkan dirinya sedang berlatih bela diri, berpelukan, bercanda dan berhubungan badan. Ia tidak percaya selama ini hubungan mereka diintai oleh orang lain.

“Foto-foto ini...”

“Nyata? Yah tentu nyata, jika saya bisa melihatnya maka ini nyata, jika keluarga Anda bisa melihatnya maka ini nyata, jika orang lain bisa melihatnya maka ini nyata. Tapi pertanyaannya adalah, apakah wanita dalam foto ini, memberikan cinta yang nyata?

Nak saya berharap bisa mengatakan ini dalam bahasa yang lebih halus dan percayalah saya mengerti rasa sakit yang Anda alami setelah mendengar ini tapi Anda harus mengetahuinya sekarang.

Kami mencari agen yang memiliki kriteria yang sesuai dengan yang Anda sebutkan, maka diutuslah agen Yuli untuk membantu menanamkan gagasan ide halusinasi di kehidupan Anda. Pada enam bulan pertama Anda diberikan obat melalui berbagai macam media seperti kapsul, suntikan dan sebagainya. Obat itu berfungsi merekam aktivitas yang kalian berdua lakukan, sesuai dengan aktivitas yang Anda inginkan. Obat itu membantu otak mengingat gerakan Shinta, bagaimana dia marah, bagaimana dia sedih, gembira, bagaimana sifatnya, responnya, kegiatannya. Pada intinya, obat itu menduplikat ingatan kalian berdua untuk dimainkan ulang setelah Yuli berhenti berpura-pura menjadi Shinta lalu keluar dari kehidupan Anda.”

Tasim teringat dulu ia sering sakit dan dibawa ke dokter, ia sering mendapatkan suntikan, mungkin itulah saat dimana ia mendapatkan obat hayalannya. Dan ia ingat pertengkarannya dengan Shinta yang membuat dia pergi dalam waktu lama, mungkin itulah saat dimana Shinta yang asli digantikan dengan halusinasinya.

“Siapa Anda? Apa yang Anda lakukan?”

“Panggil saya Rusli, saya bisa menunjukkan rekaman kita berdua membicarakan organisasi ini tapi biar saya jelaskan ulang.

Badan Inteligen Negara membentuk program pelatihan sipil yang bernama ‘Outlone’. Program ini dijalankan oleh para dokter yang ahli dibidangnya dan diawasi oleh tentara dan polisi terpercaya, tujuan program ini dibentuk untuk menciptakan agen-agen rahasia yang tertanam di seluruh lapisan masyarakat yang suatu waktu bisa dipanggil untuk membantu mempertahankan wilayah kita dari berbagai ancaman. Para kandidatnya adalah orang sipil yang tidak memiliki anak istri, tidak memiliki teman banyak dan anti sosial yang memiliki impian untuk berubah tapi terlalu takut untuk pindah dari zona aman mereka.

Anda, Tasim, dulunya adalah kandidat, Anda berlatih ilmu beladiri, menembak, berinteraksi dengan orang lain, pada awalnya Anda melakukan itu semua bersama wanita yang asli, pada kasus ini agen Yuli atau yang Anda sebut dengan Shinta, dia kami sebut sebagai ‘installer’, tugasnya menanam keyakinan bahwa dia adalah kekasih Anda, seseorang yang selalu ada untuk Anda membantu dan melakukan apapun yang Anda inginkan, setelah proses instalasi selesai,  pikiran Anda memproyeksikan wanita yang hanya bisa dilihat oleh Anda sendiri yang kita sebut dengan konverter. Konverter ini lah yang menarik Anda dari kehidupan suram ke arah kehidupan yang lebih baik.

Tadi pagi, Anda membuktikan diri Anda sudah berubah, Anda berani melawan para penjahat itu untuk menyelamatkan dia, bahkan sendirian. Saya menerima rekomendasi dari Wahyu bahwa Anda sudah siap. Sekarang, Anda bukan lagi kandidat, Anda adalah sleeper agen yang akan kami gunakan untuk melawan kejahatan, jika Anda setuju”

“Saya bisa memilih?”

“Ya tentu. Kami menyediakan tiga jalan keluar untuk Anda” Pak Rusli mengeluarkan tiga pil

“Pil merah, jika Anda ingin bunuh diri. Kami akan membuat mayat Anda seolah-olah mati karena kecelakaan atau over dosis. Pil kuning, jika Anda ingin meneruskan kegilaan ini. Anda akan melupakan semua yang terjadi hari ini, Anda akan terbangun di apartemen dan kembali berhalusinasi memiliki pacar bernama Shinta, Anda akan menghabiskan sisa hidup bersama wanita yang tidak bisa dilihat siapapun. Pil hijau, jika Anda ingin bergabung dengan kami. Anda akan sembuh, tidak bisa lagi melihat dirinya yang palsu, Anda akan kami tempatkan di manapun penjahat berada, Anda akan menjadi berguna untuk negara seperti yang Anda impikan.”

“Saya perlu waktu untuk memikirkannya”

“Oke” Pak Rusli menembakkan jarum suntik ke dada Tasim, dia pingsan, ia menyuruh untuk membawanya kembali ke apartemennya dan mengirim Yuli untuk memantau

Setelah sadar, Tasim kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi, ia juga mengingat tiga pilihan yang diberikan, ia turun dari tempat tidur, mandi air hangat, memotong kuku, memakai pakaian rapi dan parfum, kemudian pergi ke dapur mengambil makanan, menyantapnya di ruang makan, di hadapannya ada foto Shinta sedang merangkulnya, ia makan dengan perlahan sambil memperhatikan foto itu, kadang ia tertawa, kadang menangis, ia keluarkan semua perasaannya, semua yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah selesai makan, ia pergi ke ruang tidurnya, meraba bagian bawah kasur, mengambil kotak cokelat lalu membawanya ke ruang makan, dia ambil pistol dan peluru dari kotak itu, sambil terus memperhatikan fotonya dengan Shinta, ia bersihkan pistol dan memasukan peluru kedalamnya, ia tertawa dan menangis beberapa saat kemudian tersenyum dan mengarahkan moncong pistol ke dagunya, ketika ia siap menekan pelatuk, pintu kamar terbuka, terdengar langkah kaki berlari kepadanya.

“Tasim! Jatuhkan pistol itu” Tegas Yuli. Tasim berdiri dan mengarahkan pistol kepadanya

“Jika kau palsu, kau tidak akan mati, jika kau asli maka kau akan mati, tidak ada ruginya bagi ku” Tantang Tasim

“Jika aku asli, sniper di gedung sana akan menembak kepala mu, tidak ada untungnya bagi mu”

Tasim terdiam beberapa saat kemudian mendapatkan ide

“Sepertinya, aku tahu cara mengetahui kau asli atau palsu tanpa harus membuat mu terbunuh”

“Apapun itu, turunkan pistolnya, berikan pada ku”

Tasim menjatuhkan pistolnya kemudian menendangnya ke arah Yuli, dia mengambilnya. Ia berjalan pelan kepadanya, dia acungkan pistol ke arahnya sebagai peringatan untuk berhenti tapi ia tetap berjalan tanpa terlihat rasa takut. Sementara itu di luar sana, seorang sniper siap menarik pelatuk jika Tasim melukai Yuli.

“Berhenti!” Bentak Yuli

“Kau tahu Pak Rusli memberikan ku tiga pil?”

“Ya”

“Aku sedang membuat pil keempat”

“Apa maksudnya?”

“Tadi pagi aku merelakan nyawa ku untuk menemui wanita yang ku cintai, untuk bisa bersama dengannya lagi dan merasakan lagi pelukannya, dan sekarang aku akan melakukannya lagi. Shinta.. Kak.. Jika itu kau maka peluklah aku.. aku takut dan membutuhkan mu.. Yuli.. jika itu kau maka tembak lah aku, aku sudah siap mati. Siapapun kau... aku bergerak untuk mendapatkan pelukan yang aku inginkan dan siap mati karenanya”

“Tasim, berhenti! Ini gue Yuli”

“.....”

“Diam! Sekali lagi lu gerak akan gue ledakkan kepala lu!”

Tasim memandangnya dengan senyuman, ia geser lengan yang menodongkan pistol, Yuli tidak tega untuk menembak, ia tidak berkutik ketika dia menggeser lengannya,  jari-jarinya tidak kuat untuk menekan pelatuk, sementara itu Tasim terus maju hingga akhirnya memeluk Yuli, ia senderkan kepalanya di dadanya, ia hirup aroma parfum wanita itu dalam-dalam, ia dorong punggungnya agar pelukannya semakin erat. Ia tidak bisa membedakan yang dirabanya itu asli atau tidak, semuanya terasa nyata baginya, tapi ia tahu satu hal  yang membedakan Yuli dengan Shinta.

“Lu tahu kenapa gue terus maju? Meskipun lu mengancam ingin menembak?”

Yuli tidak bisa berkata apapun, pegangannya pada pistol di tangan kanannya makin melemah.

“Tahun lalu, gue dan Shinta bertengkar hebat, dia pergi ke dapur, memegang pisau dan mengarahkannya ke gue, seperti yang lu lakukan tadi, saat itu gue sadar sudah kelewat batas, gue berusaha mendekatinya tapi dia tetap mengancam jika gue mendekat akan dibunuh, seperti yang lu lakukan tadi, tapi gue terus mendekat dan dia terus mengancam, seperti yang lu lakukan tadi, hingga akhirnya gue berhasil memeluk dia, seperti yang gue lakukan sekarang, dan dia tidak berkata apapun, seperti yang lu lakukan sekarang. Tapi apa yang membedakan? Shinta, semarah apapun dia, dia akan membalas pelukan gue, seperti yang dia lakukan dulu, dia jatuhkan pisaunya , dia belai kepala gue, dia peluk gue dan gue meminta maaf kepadanya, kemudian esok harinya kita kembali mesra. Yuli, maafin gue sudah membuat lu tidak nyaman seperti ini, dan terimakasih telah mengizinkan gue memeluk lu, tubuh yang asli. Dan Yuli, gue tetap siap mati, gue mohon tekan pelatuk itu ke kepala gue, akhirin penderitaan ini, plis, tembak gue sekarang.

“Tasim... maafin gue” Yuli menitikkan air matanya, dia peluk pria malang itu untuk terakhir kalinya

*DUUAAAR!!*

---------------------------------

Lima tahun kemudian

------------------------------------

Pak Rusli sedang meminum segelas anggur di ruang kantornya, ia merayakan kemenangan dan kekalahannya, menang dalam pertempuran bawah tanah membawakan kekalahan berturut-turut, satu persatu agennya meninggal secara tidak wajar, ia mencurigai adanya penghianat tapi belum satupun yang ia dapatkan, siapapun dia, telah memberikan kerusakan yang sangat besar, ia kembali mengingat cabangnya di makasar tempat dulu membersihkan konflik masyarakat, cabang di bandung tempat pembersihan kelompok ekspor ilegal, cabang di bali tempat pembersihan organisasi terroris, dan begitu pula cabang-cabangnya yang lain hancur, kini ia tidak memiliki cabang lagi, kantor tempatnya berada sekarang adalah satu-satunya yang tersisa, dan semua agen yang ada di kantor itu adalah agen yang tersisa, tiga agen terhebatnya yaitu Tasim, Wahyu dan Yuli juga meninggal. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak, datang firasat sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

“Sebuah gedung di Jakarta siang tadi terbakar, puluhan orang meninggal dunia dan sampai sekarang pemadam kebakaran belum berhasil memadamkan apinya, pihak kepolisian menjelaskan penyebabnya adalah kebocoran saluran gas” Suara penyiar berita melaporkan kebakaran dari TV di sebuah bar

“Mau pesan apa?” Tanya pelayan bar

“Martini, please” Jawab seorang pria

“Buat dua Martini, saya yang bayar” Pria itu menoleh, ia mengenal wanita itu, wanita yang sudah lama tidak dilihatnya

“Mau mabuk? Ini masih pagi” Ucap wanita itu kemudian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya ke atas, ia pandangi lelaki itu sudah banyak berubah dari tampilan dan caranya membawa diri

“Mungkin ya, mungkin tidak, entahlah, apa yang lu lakukan disini?”

“Lu membuat banyak orang marah, termasuk gue”

“Semua orang yang marah ke gue sekarang berada di gedung itu, menunggu jasadnya dibawa keluar, kecuali lu mau ikut berada disitu, gue saranin lu pergi sekarang”

“Negara kita sudah menang Tasim, berkat lu. Kenapa? Kenapa lu membunuh mereka?” Tanya wanita itu sambil menahan tangisnya

“Agar tidak ada lagi Tasim yang lain. Gue yang terakhir, dan lu... lu Yuli yang terakhir” Jawab Tasim, ia masih melihat Yuli seperti saat melihat Shinta, ia melihatnya sebagai tempatnya untuk bermanja, untuk merebahkan kepala, untuk pasrah, untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu tapi rasa itu masih ada hingga sekarang, bahkan ia ragu apakah wanita yang dihadapannya ini halusinasi atau bukan.

“Tasim.. Lu sudah lebih dewasa sekarang.. Gue senang bisa bertemu lu tanpa ancaman apapun. Semuanya karena lu. Tidak ada lagi Pak Rusli, tidak ada lagi outlone, tidak ada lagi agen lainnya. Maafin gue selalu menjauh, tapi sebenarnya gue selalu ada, gue selalu melindungi lu” Setelah negara memenangkan perang dingin dengan kelompok asing, Tasim menjalankan misi gerilyanya memberantas satuannya sendiri, BIN sudah banyak mengirim para pembunuh bayaran untuk menghentikannya, tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuhnya karena Yuli menjaganya dari kejauhan. Ia juga mencintai Tasim, tapi ia tidak bisa mendekapnya selama outlone masih ada, yang bisa ia lakukan hanyalah menjauhkannya dari pembunuh bayaran, bom mobil, penembak jitu, maling, preman dan elemen lain yang bisa membunuhnya.

“Gue gak bisa menggantikan Shinta, gak akan pernah, dia membawa lu keluar dari area buruk hingga menjadi hebat seperti sekarang, dia yang membantu lu, melatih lu, bukan gue. Tapi beri gue kesempatan untuk mengembalikan hubungan itu, gue akan menjadi apapun yang lu mau, gue akan selalu menjaga lu seperti yang selalu gue lakukan. Kita harus pergi sekarang. Memulai hidup baru di suatu tempat”

“Semua agen, semua kandidat, semua installer, semua caller, mereka sudah gue urus. Tidak ada lagi yang perlu kita takutkan”

“Lu tahu kenapa BIN tidak memberikan Pak Rusli nama lu? Karena mereka sengaja ingin menghampuskan dia dengan cara membiarkan lu mendekatinya. Kini setelah dia meninggal, mereka membentuk operasi lain, dan, gue merasakan ada ancaman di sini sekarang”

Di luar bar, polisi sedang mengatur lalu lintas seperti biasa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan senapan mesin dari bar, kaca-kaca pecah, para pejalan kaki terluka, polisi itu berlindung, ia mencari pelaku penembakan sambil mengontak satuannya untuk mengirimkan bantuan, sementara itu tembak-menembak masih berlangsung, kemudian satu persatu orang terlempar keluar dari lantai dua ke jalanan, orang-orang yang terjatuh itu memegang senjata api dan senjata tajam, setelah bantuan datang, polisi masuk ke bar, lantai tiga meledak, melemparkan lebih banyak orang ke jalanan.

Di tempat lain, mobil hitam melaju cepat melewati mobil-mobil lain di jalan raya, si pengemudi memastikan tidak ada yang mengikutinya, si penumpang memegang pistol di tangannya bersiap menembak ban mobil yang ia curigai.

“Yuli..”

“Kristina.. nama asli gue Kristina”

“Kristina... i love you kak”

“I love you to ade ku sayang”

THE END

Keterangan

Outlone : Operasi pelatihan sipil untuk mempersiapkan masyarakat mempertahankan negara

Kandidat : Orang yang terpilih secara sadar atau tidak dalam operasi Outlone

Sleeper Agent : Kandidat yang sudah lulus uji coba yang ditempatkan di daerah-daerah yang rawan konflik

Installer : Agen yang ditugaskan menanam bibit imajinasi pada kandidat

Konverter : Halusinasi yang melatih kandidat hingga siap direkrut sebagai sleeper agent

Caller : Agen lapangan yang kapanpun bisa menggunakan kandidat atau sleeper agen untuk membantu mereka

Contohnya : Agen Wahyu mendapatkan hak sebagai Caller, ia menggunakan kandidat bernama Tasim untuk menyelamatkan installer bernama Kristina