Jumat, 22 Mei 2020

Hanya Aku Yang Tahu

Artikel kali ini dikirim dari "Sayyidah Umayah". Sebenarnya ada beberapa artikel kiriman pembaca yang agak saya kurang pahami perihal nama. Ada satu email mengirimkan beberapa cerita tapi nama lengkap dan nama penulisnya berbeda. Untuk diketahui bersama bahwa pada form kirim cerita, nama lengkap seharusnya di isi dengan nama pengirim cerita ya, bedakan dengan nama penulis. Kecuali memang karangan sendiri, nama lengkap dan nama penulis mungkin akan sama.

Oke, kita lanjut aja ke cerita berikutnya ya ini kiriman dari email yang sama dengan cerita sebelumnya yaitu "Aisyah Untuk Faaris". Kali ini judulnya "Hanya Aku Yang Tahu". Semoga kisahnya inspiratif lagi ya pembaca. Yuk disimak lagi.

* * * * * * * * * *

Hanya Aku yang Tahu

Setiap accident pasti membuat perasaan menjadi tidak baik. Karena pagi itu aku harus segera hadir dalam seminar yang diadakan di salah satu Universitas di daerah ku. Aku harus buru-buru karena waktunya sudah mepet dan tempat diadakan seminar sangat jauh dari tempat tinggal ku. Hal yang membuat aku harus buru-buru adalah pembicara seminar kali itu adalah seorang penulis novel yang sangat aku suka. Beliau adalah Bang TERE LIYE. Betapa kesempatan berharga ini jangan sampai disia-siakn. Jadi, jangan sampai ketinggalan sedikitpun.

“Maaf ya dek harus menunggu kakak?” hari itu saya pergi bersama junior saya yang menemani saya ke bengkel.

“Gak apa-apa kak, acara nya masih satu setengah jam lagi”, kata nya dengan penuh perhatian.

Setelah selesai urusan saya di bengkel, kami melanjutkan perjalanan. Membutuhkan waktu satu jam untuk pergi ke tempat acara seminar diadakan. Belum dihitung dengan macet, kecepatan dan lainnya.

Tepat pukul 08.15 kami sampai di tempat acara. Alhamdulillah acara belum di mulai.

Kami melakukan registrasi kehadiran. Dan mencari tempat duduk paling depan. Tapi kami dapat tempat duduk di tengah, karena yang paling depan sudah penuh.

“Tak apalah, yang penting masih bisa melihat bang Tere Liye dengan jelas.” Bathin ku.

Kami menikmati pembukaan oleh MC dengan suara yang bergema. Sambutan dari Presma yang hanya saya ketahui dari medsos betapa semangat beliau dalam orasi, ternyata beliau memang berwibawa dan semangat. Serta sambutan dan pembukaan dari rektorat yang syahdu beliau bawakan.

Acara pembukaan selesai, 15 menit waktu kosong. Ternyata kami menunggu bang Tere Liye menuju tempat seminar.

Suasana dingin, ditambah lagi keadaan kemanusiaan ku yang tidak bisa bersahabat. Takut ketinggalan seminar, aku menahan untuk panggilan alam. Tapi karena sudah tidak tahan, akhirnya aku pun keluar dari tempat duduk. Di temani adik ku untuk pergi ke belakang.

“Aduh kakak ni nanti kita ketinggalan lo” katanya kesal.

“Sebentar saja dek” kata ku memohon. Karena malu mau pergi sendiri. Dan akhirnya dia mau juga menemani. Tak lama di belakang, terdengar suara moderator yang lantang dan bersemangat yang menandakan bahwa bang Tere Liye membuat saya gugup dan semakin takut ketinggalan seminar bang Tere Liye. Adek saya di luar sudah teriak-teriak suruh cepat.

Pertama kali saya mendengar suara moderator, selain saya penarasan dengan wajah bang Tere Liye, saya juga penasaran dengan wajah Sang Moderator. Di depan cermin saya terdiam, berpikir dan menerka.

“Dari suara yang lantang dan penuh semangat sepertinya saya tahu siapa yang jadi moderator. Ah tapi bukanlah aku kan belum pernah dengar suaranya yang asli selain dengar suaranya dari youtube” Berbicara sendiri menerka-nerka di depan cermin. Aku tersadar ketika adikku berteriak pas di dekat telingaku. Kami pun kembali ke tempat duduk.

Dengan heboh aku berteriak kecil di tempat duduk selain bisa melihat wajah bang Tere Liye, tebakan ku benar, siapa orang yang jadi moderator pada saat itu. Dia adalah orang yang aku tahu, tapi bukan aku kenal. Senang sekali. Bisa secara langsung melihat 2 orang yang membuat ku penasaran selama ini.

“Tenang kak” kata adikku yang gantian terkejut karena kehebohanku.

Bagiku, aku tidak bisa tenang karena saat inilah aku melihanya dengan jelas. Dan itu membuatku tersenyum sepanjang acara.

“Kamu tidak tahu cerita tentang nya bagiku dek” gumamku sambil tersenyum.

***

Setahun lalu, aku mulai ingin mencari kenalan sebagai tempat tanya jawab mengenai apa yang harus dilakukan di tingkat 3 nanti, referensi perusahaan mana saja yang baik untuk tempat kerja praktik, apa saja yang harus dibuat untuk menyusun Tugas Akhir di dalam konsen ku yaitu Sistem Informasi, dan masih banyak lagi. Selain kenalan dari kampus, aku juga melanglang buana mencari teman di media sosial dari kampus lain, siapa tahu ada pengalaman yang berbeda. Selain pelajaran, mungkin bisa berbagi ilmu non-akademik, ilmu agama misalnya, atau ilmu politik, atau ilmu sosial dan masih banyak yang lain.

Aku mulai mencari dari grup di mana aku ikut bergabung di dalam nya. Dari banyak grup, aku memilih grup yang selama ini benar-benar memberi manfaat buat ku. Bukan grup yang hanya berisi status main-main.

Dari grup itu ada satu nama yang kupilih secara acak, entah karena kebetulan si pemilik akun kuliah di salah satu Universitas di daerah ku. Dari keterangan singkat profilnya, si pemilik akn juga mengambil konsen yang sama denganku yaitu sistem informasi. Bedanya beliau satu tingkat di atas ku. Beliau adalah Generasi 12. Setelah dipikir-pikir aku seperti stalker, tapi sebenarnya tidak. Aku berniat untuk tidak meminta pertemanan karena aku fikir nanti orang itu mengira aku jadi stalkernya. Terlalu terbawa perasaan. Saya hanya me-screenshot pin bbm beliau. Sampai sekarang pun belum pernah aku invite, yaa karena malu tadi.

Dari semua status dan foto yang diupload beliau, bisa diambil kesimpulan beliau adalah orang yang aktif. Dari foto dan status yang diuplod ada beberapa nama yang dicantumkan. Saya coba membuka satu nama.

Setelah masuk ke halaman dindingnya, aku membaca sedikit profilya, ternyata konsentrasi yang beliau ambil adalah Ilmu Komunikasi.

“Ehmm, beda konsentrasi, tapi gak apa-apalah, mana tahu ada info lain yang menarik”, ungkapku sambil terus menaik turunkan scroll pada laptop ku.

Dilihat dari semua yang diupload beliau, beliau pun adalah orang yang sangat aktif. Aku berfikir orang ini suka membaca, karena kata-kata yang tersusun rapi dan konsisten.

Sampai pada suatu foto, yang mungkin waktu itu foto lama si pemilik, bagi ku foto itu membuatnya terlihat seperti ustadz Felix Siauw. Tapi setelah tahu aslinya beliau jauh dari ustadz Felix Siauw. Terkekeh aku mengingatnya. Entah darimana ku lihat beliau mirip ustadz Felix Siauw.

Selain foto aku juga melihat ada pin bbm beliau, lagi-lagi aku hanya me-screenshot pin bbm beliau. Dan hasil itu hanya tersimpan di memori hp.

Sebulan berlalu, UTS sudah berlalu. Setiap tahunnya pada bulan Desember akan ada libur natal dan tahun baru. Liburan kali ini adalah kesempatan ku pulang ke rumah orang tua. Sudah lama tak pulang, membuat rindu harus terbayar pada liburan kali ini. Karena betapa sibuk adan padatnya jadwal perkuliahan di kampusku. Harus banyak menguras pikiran dan tenaga.

Seperti halnya semua mahasiswa yang pulang ke rumah. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan keluarga. Berlibur dengan keluarga, melepas rindu, membantu orang tua. Di mana menurut ku liburan adalah kesempatan untuk berbakti dan mengbdikan diri lagi pada orang tua. Karena sudah berbulan-bulan kita mengabdi dan berbakti pada tugas dan kegiatan perkuliahan. Sejenak melupakan perkuliahan, namun tidak sepenuhnya karena ada juga tugas liburan yang dibawa pulang ke rumah. Itu juga harus diselesaikan.

Setiap malam, aku dan ibuku biasa bercerita tentang masa-masa perkuliahan ku, beliau yang bercerita apa saja kegiatan beliau selama aku tak ada di rumah. Bercampur perasaan di dalam hati, bahagia dan terharu.

Ketika ibuku ke dapur, aku mengecek hp. Ada pemberitahuan di salah satu media sosialku. Aku buka dan melihat ada apa di dalam pemberitahuan.

“ibuuuuukkkkkk........ Coba sini sebentar!” aku berteriak karena terkejut dengan apa yang kulihat dipembertahuan.

“Ada apa, kok teriak-teriak” kata ibuku yang datang buru-buru dari dapur.

“Coba lihat buk, orang ini nge-add Dinda buk”. Dengan semangat kutunjukkan pemberitahuan itu pada ibuku.

“Emang kenapa sampai teriak begitu, ya sudah terima saja”, jawab ibuku enteng.

Memang selama ini aku bukan lah orang yang mudah menerima permintaan perteman yang diminta kepada ku. Aku akan melihat dulu ke dalam halaman diding mereka. Jika menurutku baik ya aku terima, jika membuat ku merasa terganggu lebih lagi aku tidak kenal ya sudah saya abaikan. Mungkin terdengar kejam, tapi ini suatu usaha perlindungan dan kenyamanan. Belum tentu juga orang yang aku terima esoknya memberi kenyemanan di dalam media sosial ku.

“Tunggu ya buk, aku mau cerita. Orang yang add aku ini dulu udah pernah Dinda lihat halaman dinding fb nya, terus dinda screen shot pin bbm nya. Tapi dinda gak berani meminta pertemanan dan menginvite pin bbm nya Dinda malu, nanti dikira dia Dinda jadi stalker nya. Tapi kali ini Dinda gak nyangka, ternyata Dinda yang diadd sama dia.” Ceritaku penuh semangat paa ibuku.

Pada akhirnya aku konfirmasi permintaan pertemanan beliau. Senang dan gak nyangka aja. Sampai sekarang masih bingung, kok bisa kebetulan yaa, aku yang dulu cuma liat-liat halaman dinding beliau, ehh malah beliau yang meminta pertemanan ke aku. Terbawa perasaan. Dasar wanita.

Setelah tahu, ternyata aku dan dia banyak bergabung di grup yang sama di media sosial tersebut. Beliau adalah orang yang aktif di BEM di kampusnya, memegang peran penting juga. Aktif dalam lembaga dakwah juga dan masih banyak lain. Dari situlah aku tahu betapa beliau sangat suka membaca, koleksi novelnya sudah sampai 200-an. Ehmm, gak sebanding dengan punya ku yang baru 20-an.

Liburan telah usai. Waktunya kembali ke peradaban perkuliahan. Kembali pada tugas sebagai mahasiswa. Kembali melanjutkan perjuangan, membuktikan diri bisa berguna untuk negeri.

Aku dan teman-temanku sudah tiba di kost. Dan siap menempuh Senin pagi sebagai awal masuk dari liburan natal dan tahun baru. Harus dengan pikiran baru yang kembali fresh.

“Ibu suri, dia invite bbm Dindaaaa....”, teriakku histeris ketika melihat beranda bbm ku. Ada satu pemberitahuan kalau ada 1 yang meng-invite. Pas aku buka, ia adalah orang yang sama ketika meng-add fb ku. Ibu suri adalah panggilan teman satu kost dengan ku.

“Emang siapa dia kok heboh banget, sampai teriak-teriak begitu?” katanya penasaran dan melihatku yang aneh. Aku hanya senyum-senyum dan menceritakan hal yang sama kuceritakan pada ibuku.

“Cieeee...” ledek nya. Ibu suri malah meledek ku.

Tapi, untukku pribadi, setelah sebulan lau dia add fb ku, walaupun aku sempat bingung, tapi aku gak terlalu ambil pusing. Tapi dia malah invite pin bbm ku, ini kembali membuat ku bingung membuat banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab.

“Darimana dia tahu pin bbm ku yaa?” Atau “Aku pernah share pin bbm ke fb ya, tapi rasa-rasanya tidak pernah” kembali menerka-nerka.

Daripada bingung, akhirnya ku setujui saja invite nya. Tapi kami tak pernah melakukan chat, karena aku pun gak tahu apa yang mau ditanya, dia pun mungkin gak ada ditanyakan padaku. Hal yang membingungkan.

Tak lama setelah dia meng-invite bbm ku, aku kembali dihebohkan dengan pemberitahuan yang ada di akun instagram ku. Ternyata dia juga nge-follow akun instagram ku.

“Ya Allah, tahu darimana pula dia nama akun instagram ku.” Kebingungan ku sampai detik ini pun belum terpecahkan dan tak ada tanda-tanda yang mampu menjawabnya. Biarlah kebingungan ini bersemayam terserah dia entah mau sampai kapan. Sampai aku berharap bisa bertemu dan melihat wajahnya secara langsung.

***

Seperti biasa pada umumnya dalam seminar, pasti ada sesi tanya jawab. Karena pengalamanku, membuat aku membuat persepsi sendiri tentang tanya jawab di setiap seminar. Menurutku tanya jawab dalam seminar adalah seperti lotere keberuntungan yang jika ditunjuk oleh moderator saat itu ialah yang berhasil untuk bisa bertanya, meluapkan penasaran yang bersarang di hati dan pikiran, setelah menunggu 2 jam lamanya.

Namanya juga diibaratkan seperti lotere keberuntungan, kadang-kadang tidak langsung beruntung untuk kesempatan pertama. Sama halnya seperti yang ku rasakan. Mengangkat tangan lantas tidak ditunjuk itu merupakan suatu keberanian yang luar biasa. Hanya bisa cengengesan dalam kesal.

Baiklah, untuk ronde pertama aku terima ketidakberuntunganku. Mungkin juga karena aku kurang cepat seper second dengan orang lain. Mungkin dari pertanyaan mereka ada yang bisa ku dapat. Di ronde pertama ada 3 penanya, yang masing-masing memiliki pertanyaan yang tidak cukup satu, seakan pertanyaan itu beranak.

Santai, lugas, padat dan jelas bang Tere Liye menjawab semua pertanyaan. Pastinya Bang Tere Liye  tak pernah kehabisan cerita fiksi di setiap menjawab pertanyaan, seakan kami sedang dibacakan dongeng yang bertemakan ketekadan.

Ronde kedua dibuka, aku kembali meyakinkan hati untuk bertarung dengan beberapa ratus peserta seminar untuk mengangkat tangan lebih tinggi, padahal aku ragu-ragu untuk berdiri, karena sejujurnya aku takut gak ditunjuk lagi oleh moderator. Takut kalau aku harus kesal dengan moderator yang yang tak berdosa karena tidak menunjukku.

“Ya yang berkacamata”, kata moderator sambil melihat ke arah ku.

Waaaahh, kali ini aku beruntung sekali. Sang moderator melihat ku dan menunjukku. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam hati aku sangat berterimakasih pada nya.

Nah, untuk ronde kedua ini agak berbeda, orang-orang beruntung tadi disuruh maju ke depan karena microfon yang tidak bisa diakses sampai ke kursi peserta.

“Ini beruntung atau malah mematikan yaa?” bathin ku, krena malu dilihat orang banyak.

“Tapi ini adalah kesempatan yang mungkin jarang untuk datang kedua kalinya, jadi ini adalah keberuntungan berlipat ganda” sorak riang dalam hati ku.

Yaa, dikatakan keberuntungan ganda karena selain bisa dengan jelas melihat bang Tere Liye dan bisa bertanya langsung, ini juga adalah salah satu kesempatan mengabulkan harapan yang dulu pernah ada. Sudah ku dengar suara aslinya yang benar-benar lantang dan penuh semangat. Sehingga memberikan energi positif tersendiri bagi pendengarnya, atau mungkin bagi ku sendiri. Aku juga berdiri di dekat nya, walaupun tak pas di sampingnya.

“Hari ini aku benar-benar bertemu kamu. Mendengar dan melihat dengan jelas. Banyak pertanyaan. Kebingunganku pun tidak juga hilang. Mungkin ini hanya sebatas perasaan yang salah. Dan ini hanya aku yang tahu” tersenyum.

Written by : Sayyidah Umayah

Cinta Pertama

Hari ini umurnya tepat menginjak 32 tahun. Pria baik, Berwajah tampan, Bertubuh gagah, dengan ekonomi yang berkecukupan, dan karir cemerlang yang luar biasa masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menikah. Bukan karena Ia masih ingin bermain-main dengan banyak gadis. Jangankan bermain-main dengan banyak gadis, satu saja dia belum punya.

Tama bukannya terlalu selektif pada setiap perempuan yang datang padanya. Hanya saja Ia tidak ingin melukai perasaan perempuan yang nantinya akan hidup bersamanya. Bayangan Rima yang masih saja berlari-lari dipikirannyalah yang membuat Ia ragu. Sulit sekali melupakan perempuan itu. Perempuan pertama yang dipacarinya saat SMA dulu. Tak terbayangkan bertahun-tahun Tama tidak juga membuka hatinya untuk perempuan lain. Semenjak Ia lulus SMA, Sarjana dan bahkan saat ini sudah bekerja. Padahal Dimas sahabat karibnya selalu mengingatkan bahwa Rima hanyalah cinta monyet yang harusnya mudah Ia lupakan. Tapi sayang, tidak bagi Tama. Baginya tak ada perempuan manapun yang dapat menandingi semua yang ada pada Rima. Wajahnya yang cantik, Tubuhnya yang proporsional bak model, Otaknya yang cerdas, Wawasannya yang luas, dan Tingkah lakunya yang begitu terlihat High Class.

Saat itu Tama memutuskan masuk ke SMA Sakti. Sejak dulu Tama memang dikenal tampan dan berprestasi. Banyak kesempurnaan yang Tama miliki.  Tama masuk di kelas 1B. Disitulah perkenalannya dengan Rima dimulai.

Gadis itu terlihat sangat energic, lincah dan menarik perhatian semua mata yang memandangnya termasuk Tama. Tidak butuh banyak waktu bagi mereka untuk saling tertarik. Bahkan semua teman-temanpun merasa mereka sangat cocok satu sama lain. Bagaimana tidak? Cowo Tampan dengan Cewe cantik yang kedua-duanya nyaris sempurna. Tak lama merekapun jadian. Layaknya ABG lain yang berpacaran begitupun mereka. Nonton, Makan malam, bahkan belajar bareng sering mereka lakukan. Saat itu Tama merasa sangat bahagia. Karena Rima bukan hanya melengkapi hari-harinya tapi juga membuat prestasi Tama semakin meningkat. Rimapun begitu terlihat sangat mencintai Tama, begitupun sebaliknya. Seolah mereka sepasang Raja dan Ratu yang sudah ditakdirkan hidup bersama selamanya. Dramatis memang, tapi itulah mereka. Tama dan Rima.

Ujian kenaikan kelas sudah usai. Seperti biasa merekalah yang selalu jadi langganan juara kelas. Singkat cerita liburanpun telah usai. Mereka kembali masuk sekolah. Sekarang mereka sudah menginjak kelas 3. Tentunya sudah lebih bisa bersikap dewasa. Ditahun ajaran baru ini ternyata ada seorang siswa baru di kelas Rima. Woooow siswa itu sangat menarik perhatian para siswi. Tentu saja, bagaimana tidak. Dia bernama Jamie, keturunan Belanda berdarah Amerika yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia. Jamie dulunya sekolah di Internasional School saat kelas satu dan dua. Kemudian Ia ingin sekali bergaul dengan banyak orang asli Indonesia, sehingga Ia memutuskan untuk pindah sekolah ke SMA biasa. Wajahnya yang blasteran dan tentu saja tampan, membuat semua siswi penasaran dan ingin dekat dengan Jamie si Bule blasteran itu. Tapi tidak dengan Rima. Bagi Rima, cukuplah Tama tambatan hatinya. Tak ada yang menyangka begitu setianya Rima pada Tama. Tapi itulah Rima.

Seperti dugaan banyak orang, Jamie tertarik pada Rima. Jamie yang memang sudah lancar berbahasa Indonesia memberanikan diri menyapa Rima. "Hai.... boleh saya tau nama kamu?" . tanyanya dengan sopan. "Hai, nama gue Rima. Sorry ya gue mau ke toilet" . Jawab Rima kemudian sambil bangkit dari kursinya seperti tidak mempedulikan Jamie. Rupanya sikap Rima yang sedikit angkuh membuat Jamie semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Karna selama ini tidak ada satu wanitapun yang tidak bisa Jamie taklukan. Itulah Jamie. Si bule yang selalu berhasil menaklukan banyak wanita. Entah berawal dari mana akhirnya Jamie memiliki sahabat-sahabat dekat di sekolah itu. Robi, Bagas, dan Doni. Mereka selalu berempat. Sifat mereka yang sangat suka menggoda para siswi tentu saja sangat membuat Rima risih jika mulai di dekati oleh Jamie.

Singkat cerita akhirnya sebentar lagi ujian akhir segera tiba. Dua minggu lagi ujian, tama bermaksud mengajak Rima belajar bersama seperti biasa. Tapi dicari ke manapun bahkan di tiap sudut kelas, perpustakaan, kantin, atau tempat-tempat yang biasa Ia dan Rima kunjungi tidak nampak sosok Rima. "Hei, kalian gak liat Rima di mana?" . Tanya Tama dengan teman-teman dekat Rima. Namun tak seorangpun yang tau. "Ke mana ya Rima, gak biasa-biasanya dia absen tanpa ngasih tau gue". Guman Tama dalam hati. Sudah sejak pagi Tama mencari Rima. Di sekolah tidak ada, di telepon pun tak diangkat, bahkan di SMS juga tidak di balas. Perasaan Tama gelisah. Entah ada apa dengan Rima. Tapi memang tidak seperti biasanya Rima menghilang dan tidak memberi kabar pada Tama. Akhirnya sepulang sekolah Tama memutuskan menemui Rima di rumahnya. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Tama segera pergi ke rumah Rima. Tapi apa yang didapatkannya sangat membuat Tama semakin gelisah.

"Mbok, Rima ada? Kenapa hari ini Rima ngga ke sekolah ya mbok?" . Tanya Tama kepada Mbok Darmi pembantu rumah Rima dari balik gerbang besar rumah Rima.

"Aduh mas, si mbok bingung. Mbok gak bisa ngomong apa-apa. Yang jelas, den Tama sebaiknya berhenti cari non Rima mulai sekarang. Jangan lagi berusaha untuk ketemu non Rima ya Den".

Jawaban Mbok Darmi membuat Tama justru semakin penasaran. Ada apa ini? Kenapa Mbok darmi aneh?.

"Mbok, jangan bikin saya bingung. Tolong jawab aja Rima di mana mbok. Apa alasannya saya gak boleh ketemu Rima lagi?". Tanya Tama penasaran.

Belum sempat Mbok Darmi menjawab, tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Ibunda Rima sambil berteriak. "Mbok Darmi, cepat masuk. Biar saya yang jelaskan ke Tama". Teriak Ibunda Rima sambil menghampiri Tama dan Mbok Darmi yang masih berdiri terpisah pagar besi besar itu.

Tama, sebelumnya tante dan om minta maaf. Begitu juga dengan Rima. Sebaiknya mulai detik ini juga, kamu berhenti cari Rima. Tidak usah lagi kamu berusaha mencari Rima ya Tama. Tante mohon". Kata-kata ibunda Rima begitu membuat Tama terkejut. Kenapa? ada apa ini? Ibunda Rima yang selalu mendukung hubungan kami, yang selalu baik hati pada Tama. Justru seperti ingin memisahkan mereka. Tama semakin bingung dan penasaran. "Tapi tante, tolong jelaskan dulu apa alasan saya gak boleh lagi ketemu Rima? Apa kesalahan yang udah saya buat hingga membuat tante dan om mau memisahkan kami tante? Sebelumnya Tama minta maaf tante. Tapi sepertinya selama ini Tama tidak berbuat sesuatu yang menyulitkan atau bahkan menyakiti Rima. Ada apa tante? Tolong kasih tau Tama".

Ibunda Rima terdiam sejenak. Sambil menghela nafas ringan Ia berucap "Rima yang inginkan ini semua Tama. Rima bilang, Ia ingin berhenti menemuimu. Tolong kamu hargai keputusan Rima. Biarkan Ia sendiri memikirkan apa yang akan ia katakan nanti saat sudah siap bertemu kamu Tama. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Maaf Tama, tante gak bisa lama-lama. Kemudian Ibunda Rima bergegas masuk meninggalkan Tama yang masih berdiri kebingungan di balik pagar besi itu. "Apa yang gue lakuin sih? Apa ada kesalahan yang gue sendiri gak sadar udah ngelakuin nya? tapi apa" . Tama masih bertanya-tanya dalam hati.

Dengan berat hati akhirnya Tama melangkahkan kaki beranjak pulang dengan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan. "Kalopun memang gue bikin salah atau mungkin Rima yang berbuat kesalahan, kenapa juga dia sampe gak masuk-masuk sekolah lagi? Apa sebegitu besarnya kesalahan kami hingga Rima harus pindah sekolah?. Masalahnya, Rima pindah sekolah ke mana" . Pertanyaan-pertanyaan itu makin membuat Tama frustasi. Sesampainya di rumah, Tama langsung bergegas masuk ke kamar, membuka ponsel dan berusaha  keras menghubungi Rima. Masih tersambung, hanya saja ratusan kali di hubungi, Rima tetap tidak mengangkat ponselnya. Karna kesal, akhirnya Tama mengirim pesan.

"Rima sayang, kalo aku ada salah, tolong ngomong. Masih bisakan kita perbaiki. Ada apa dengan hubungan kita? Kenapa kamu menghilang? Berhari-hari tidak ke sekolah. Apa kamu pindah sekolah? Tolong Rima jangan membisu. Setidaknya aku ingin tau apa masalah kita? Apakah aku atau kamu yang bermasalah. Jika masalahnya ada padamu, aku yakin seyakin yakinnya, aku masih sanggup menerima dan bersedia memperbaiki apapun demi masa depan kita. Tapi jika ternyata aku yang berbuat salah, tolong Rima, jelaskan padaku kesalahan apa yang kuperbuat hingga membuat kita jadi seperti ini?".

Tak ada balasan apapun dari Rima. Dengan rasa tidak sabar, Tama kembali berusaha menghubungi Rima. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada dalam jangkauan service area. Cobalah beberapa saat lagi". Akhirnya kalimat itu yang menjawab telpon Tama. Kalimat yang paling ditakuti Tama ketika harus menghubungi Rima. Kalimat ketika ponsel Rima tidak aktif atau sengaja dimatikan karna Rima ngambek. Memang sudah menjadi kebiasaan Rima. Ketika ia marah atau merajuk, ia pasti akan sengaja mematikan ponselnya agar sulit dihubungi. Rima sengaja berbuat begitu agar Tama pujaan hatinya kebingungan dan mau tidak mau datang langsung ke rumahnya untuk bertemu.Dan jika mereka sudah bertemu, maka masalah sebesar apapun yang terjadi dalam hubungan mereka pasti akan selesai begitu saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tapi permasalahan kali ini sungguh berbeda. Sangat tidak dimengerti Tama. Semuanya membingungkan.

Setiap hari Tama berusaha menghubungi Rima dengan cara apapun. Sampai pada akhirnya, ketika Tama mendatangi lagi kediaman Rima.

Tama hanya menemukan bangunan kosong tanpa penghuni. Satpam yang biasanya sigap berjaga di halaman rumahpun tidak nampak.

"Maaf Bu, numpang tanya. Yang punya rumah ini pada ke mana ya Bu? Koq sepertinya sepi sekali. Bahkan satpampun gak ada" . Tanya Tama pada seorang Ibu yang kebetulan melintas di depan rumah Rima. "Oooh keluarga Mba Rima ya? Sudah pindah mas. Semalam pindah-pindah barangnya. Kalo orangnya sudah sejak tiga hari yang lalu kalo saya ndak salah ingat. Soalnya Ibunda Mba Rima sempat pamit sama saya. Memang, ada apa mas?". Tanya Ibu itu dengan wajah penasaran.

"Ada perlu aja sih Bu. Apa Ibunda Rima meninggalkan alamat atau pesan untuk tamu yang mungkin datang Bu?". Tanya Tama lagi.

"Mmmh.... kalo tamu sih ndak ada Mas, hanya saja Ibunda Mba Rima bilang, kalo nanti ada Mas Jamie datang, disuruh segera ke Rumah Sakit. Itu aja pesennya mas" . Jawabnya dengan wajah santai. Pikiran Tama makin berkecamuk. Bingung dengan yang sedang terjadi. "Jamie? Jamie yang mana? Jamie siapa sih? Masa iya Jamie bule anak sekolah kita. Ada hubungan apa keluarga Rima dengan Jamie? Tapi apa iya". Tama berjalan pulang dengan banyak pertanyaan dikepalanya. Sungguh membingungkan.

Besoknya di sekolah Tama memperhatikan Jamie. Ia tidak mau salah langkah. Karna yang ia tau, Jamie dan Rima bahkan tidak pernah saling sapa. Sehingga Tama berpikir bahwa tidak mungkin Jamie yang dimaksud Ibu kemarin adalah Jamie di sekolahnya ini. "Ah gak mungkin. Kayanya dia biasa-biasa aja deh seperti gak ada kejadian apa-apa. Mungkin ada saudara atau kerabat Rima yang memang namanya Jamie. Sudahlah nanti kucoba ke rumah Rima lagi". Rupanya Tama masih belum menyerah. Seminggu Ia selalu mampir ke rumah Rima setiap pulang sekolah. Meski Ia yakin akan mendapatkan jawaban yang sama, yaitu rumah yang selalu kosong.

Hari-hari berlalu, waktu terus berjalan. Hingga tak terasa ujian akhir SMA tiba. Tama kurang semangat semenjak kehilangan Rima. Semangat belajarnya merosot drastis. Meski nilainya tidak termasuk buruk, tapi tetap saja nilai Tama turun. Hari-hari belajar bersama yang sering Ia lewati berdua dengan Rima sudah tidak ada lagi. Tama lebih sering melamun ketika belajar sendiri, membayangkan sosok Rima disampingnya dengan senyum manis yang menghias wajahnya ketika meledek Tama yang terkadang salah menjawab soal-soal mudah. Tama sama sekali tidak tertarik belajar lagi.

"Woii bro, kenapa lu bengong aje. Udaah ikut gue yuk". Teriakan Arman teman sekelas Tama membuatnya terkaget dan terbangun dari lamunan. "Eh elu Man. Apaan sih? ikut ke mana?". Tanya Tama penasaran. "Ya ke perpus laah, besok kan mulai ujian akhir. Anak-anak lagi nyari kumpulan soal-soal di perpus. Ayo dong Tam, jangan jadi patah semangat gara-gara ditinggal Rima. Lu harus berhasil dulu. Nanti kalo kita lulus dengan nilai yang keren, baru deh lu cari keluarga Rima lagi. Siapa tau mereka mau nerima lu balik kalo lu bawa nilai kelulusan yang memuaskan. Dengan begitu kan lu bisa buktiin kalo selama ini lu emang jenius, bukan hanya karna ada Rima anak mereka. Ya kan?". Jawaban Arman panjang lebar demi menyemangati Tama.

Akhirnya Tama menuruti ajakan Arman. Di Perpustakaan sudah ada Dara dan Edo. "Hei Tam, gimana perasaan lo sekarang? udah baikan?" . Tanya Dara begitu melihat Tama berhasil di ajak Arman. "Hmm... lumayan. Setidaknya gue masih punya power buat ujian besok lah".

Singkat cerita akhirnya mereka lulus. Meski Tama masih saja memikirkan Rima. Namun Tama tetap berhasil mempertahankan nilai tertinggi di sekolah. Tama melanjutkan ke jenjang S1. Ia berusaha terus melupakan Rima. Tapi itulah kehidupan. Semakin berusaha kita melupakan masa lalu, justru semakin kuat ingatan itu akan melekat. Hari-hari Tama berlalu biasa saja setiap hari. Meski karirnya sukses, Tama tetap sendiri. Entah apa yang ditunggu. Kebiasaan Tama melewati depan rumah Rima setiap hari selasa sepulang kantor, tidak pernah Ia lewatkan. Ya, semenjak Tama kehilangan jejak Rima dan keluarganya. Tama masih tidak juga berhenti mencarinya. Salah satunya dengan mejadwalkan setiap selasa malam sepulang kantor Ia sengaja melewati rumah Rima. Siapa tau akan terlihat ada kehidupan di rumah itu. Tapi sudah bertahun-tahun berlalu, semua sia-sia. Tidak ada apapun yang Tama temukan. Bahkan rumah itu kini sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang di halaman depannya. Tidak terurus. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Rima.

Bersambung........

Bagaimana kelanjutan kisah Tama dan Rima? Apakah mereka ditakdirkan bertemu kembali?

Ikuti terus kisahnya di posting selanjutnya yaa.....

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Kamis, 21 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.3)

Cerita Sebelumnya. (Klik di Sini).

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Rima tetap tidak membukakan pintu. Tama masih saja berdiri terdiam di depan pintu kamar Rima. Tiba-tiba saja terdengar suara Mischelle dari ruang tamu "Hai Dad? Akhirnya daddy datang juga. Maaf ya Dad mischelle tetap ga berhasil bujuk mommy buka hatinya untuk daddy" .

Tama sedikit terkejut. "Wah Daddy nya mischelle datang. Siapa dia? Apa aku pulang dulu aja? rasanya tidak enak mengganggu Rima yang kedatangan suaminya. Eh tapi kata mischelle daddy dan mommy nya gak pernah nikah sejak mischelle dalam kandungan. Bagaimana bisa. Apa ini maksudnya? siapa laki-laki yang bisa berbuat begitu terhadap Rima tanpa menikahinya?".

Hati Tama berkecamuk, penasaran ingin mengetahui semuanya. Hanya saja Ia berfikir bahwa sebetulnya rumah tangga Rima dan Mischelle tidak seharusnya Ia campuri. Namun mengingat betapa lamanya Tama menunggu hari ini. Hari dimana semua pertanyaan harusnya terjawab, akhirnya Ia memberanikan diri menuju ruang tamu demi melihat siapa sosok laki-laki yang menjadi Ayah Mischelle itu. Laki-laki yang merebut kekasih hatinya belasan tahun lalu. Tama bergegas menuju ruang tamu.

Shock dan terkejut bukan main. Memang mereka sudah lebih dewasa. Wajah dan postur tubuh sudah pasti banyak perubahan. Tapi Tama ingat betul laki-laki yang saat ini berdiri di samping mischelle di hadapannya. Meski berubah, tapi tidak banyak yang berubah dari laki-laki itu.

Tama diam membatu seketika kemudian bergegas menghampiri laki-laki itu dengan amarahnya yang sangat memuncak. Sambil berlari kecil menghampirinya Tama menarik bagian kerah baju laki-laki itu dengan kepalan tinjunya yang akhirnya mendarat di wajah laki-laki itu. "BRAAAK".

Laki-laki itu jatuh terjerembab menghantam meja kaca hingga pecah, Tama menghampirinya lagi, memukulnya berulang-ulang dengan penuh emosi.

"Bangsat lu Jamie, rupanya elu yang udah berani-beraninya mengambil hati Rima hingga dia hamil dan lu tinggalin gitu aja. Sialan lu, kenapa lu gak nikahin dia? Dia bukan perempuan sembarangan seperti perempuan-perempuan yang sering lu kencanin semasa sekolah" .

Tama terus menerus berteriak sambil memukul Jamie.

Ya, Jamie si cowok bule di SMA dulu. Siswa baru yang di gilai banyak perempuan dan terkenal playboy karna sering kencan dengan banyak siswi tanpa komitmen apapun.

"Ya ampun Om, cukup Om cukup. Stooop iit, please Om Tama dont hit daddy, please" . Mischelle berteriak panik dan ketakutan sambil terus berusaha memegang lengan Tama demi melepaskan Daddy nya.

"Denger penjelasan gua dulu Tam" . Teriak Jamie sambil terus kesakitan dan berusaha melindungi bagian wajahnya yang dipukul bertubi-tubi oleh Tama. "Gua gak pernah ninggalin Rima Tam, dia yang gak pingin gue nikahin Tam. Dia bilang dia jijik sama gue, dia cuma mau elu Tam" .

Tama terdiam seketika. Mendengar ucapan Jamie barusan seolah membuat semua terkaan yang selama ini ada dalam pikirannya menjadi kembali runyam. Semuanya malah semakin tidak jelas. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksudnya Rima tidak mau dinikahi oleh laki-laki yang membuatnya meninggalkan dirinya.

"Udah cukup kalian rusak rumah ini, keluar kalian dari rumahku" . Teriakan Rima yang tiba-tiba berdiri di hadapan mereka membuat mereka terkejut. Terlebih lagi Tama. Antara senang dan bingung akhirnya Rima mau keluar. Tama sangat merindukan perempuan yang sedang berdiri di hadapannya itu. Ingin rasanya Tama menarik lengan Rima agar menghambur ke pelukannya. Tapi rasa itu terkalahkan dengan rasa penasaran yang semakin dalam dipikiran Tama.

"Tolong kalian keluar sekarang juga. Dan tolong ini terakhir kalinya kalian datang ke rumah ini, aku mohon jangan kalian ganggu lagi hidup kami. Hidupku dengan Mischelle. Biar kami tenang menjalani rumah tangga ini berdua saja. Kalian sebaiknya pergi sekarang juga" . Rima mengusir Tama dan Jamie yang sudah terlihat berantakan karna berkelahi. Namun mischelle mencegahnya.

"Nggak Mom, ini saatnya. Saatnya aku tau semua yang terjadi. Siapa Om Tama sebenarnya di hidup kalian Mom, Dad? Kenapa Mommy and Daddy gak pernah nikah, kenapa kalian ga pernah bersama. Bagaimana Mischelle bisa lahir mom? Kalian egois. Kalian orang-orang dewasa paling egois yang pernah mischelle kenal. Kalian pikir di sini hanya kalian aja yang menderita? Ada aku mom, aku yang paling merasa tidak diinginkan di sini. Apa sebenarnya hubungan kalian bertiga".

Mischelle berlinangan air mata memohon kepada Rima agar menjelaskan semuanya. Tapi Rima hanya terdiam kemudian membalikkan badan dan menuju kembali ke kamarnya. Tanda bahwa Ia masih belum ingin menceritakan apapun.

"Mischelle, biar daddy yang ceritakan semuanya. Biar Tama juga bisa dengar. Daddy yang bersalah. Mommy kamu yang menanggung semuanya" . Jamie memulai ceritanya.

Belasan tahun silam !

Cuaca terik membuat peluh dikening Rima mengalir deras. Ia menunggu di gerbang sekolah. Pak Aman belum juga muncul. Hari itu Tama sedang ada kegiatan ekstrakurikuler, sehingga Rima pulang dengan dijemput supirnya. "Mana ya Pak Aman?". Gumam Rima dalam hati.

"Hai Rima, nunggu siapa?" . Sapa Jamie dari balik jendela mobilnya. "Yuk aku antar pulang. Daripada kepanasan lama-lama di sini" . Bujuk Jamie kepada Rima yang sedang berdiri sambil mengelap keringat dikeningnya.

"Gak usah Jame, makasih banyak. Sebentar lagi juga datang" . Jawab Rima kemudian.

Rupanya Jamie tidak mau menyerah. Iapun meminggirkan mobilnya dan keluar menghampiri Rima.

"Ya udah kalo mau tetap nunggu supir, aku temanin kamu di sini" . Kata Jamie sambil memasukan kedua tangannya ke saku celananya dan berjalan ke tempat Rima berdiri.

"Kenapa mau repot-repot nemenin aku sementara kamu bisa enak pulang, adem gak panas-panasan kaya sekarang?" . Tanya Rima penasaran.

"Lho emang kenapa kalo aku mau temanin kamu? Aku ini orang baik lho, bukan penjahat. Tenang aja.

"Oya? Baik? Bagaimana aku tau kamu baik kalo setiap hari di sekolah kerjanya cuma ngegoda perempuan". Kata Rima sambil tertawa kecil. "Jangankan siswi perempuan, Bu Nia aja masih kamu godain". Lanjut Rima sambil tetap tersenyum kecil.

"Waah ngga nyangka aku. Ternyata cewe sedingin kamu merhatiin cowo macem aku juga ya". Jamie tertawa kecil.

"Idiiih GR banget kamu. Semua orang juga tau kalo kamu itu playboy tanpa harus merhatiin, semua perempuan pasti kamu pacarin. Jangan-jangaan termasuk Bu Nia. Hihihihi".

"ih iseng banget sih ngomongnya. Masa tante-tante tua kaya gitu aku gebet. Dia itu cuma cocok dijadiin nenek aku".

"Ahahahahahahahh". Keduanya tertawa lebar.

"ih kamu jahat banget sih bilang Bu Nia tante-tante lah, neneklah. Dia kan guru paling cantik yang pernah ada, masih muda juga koq. Masih cocok sama kamu. hihih". Goda Rima sambil cengengesan. Keduanya asyik ngobrol sampai akhirnya Pak Aman muncul menjemput Rima.

Singkat cerita, di suatu malam yang berhawa sejuk. Tiba-tiba ponsel Rima berdering, ditengoknya ponsel itu, "Jamie Memanggil".

"Hhhh... lagi-lagi dia. Ngapain sih ngga nyerah juga ganggu hidup orang aja" . Gerutu Rima dan mendiamkan saja ponselnya berdering tanpa henti. Setiap kali mati, maka berapa detik kemudian berdering lagi, hingga berkali-kali. Akhirnya dengan perasaan BT, Rimapun menerima panggilan tersebut. "Ada apa Jame? Aku lagi ngerjain tugas untuk besok, bisa kan ngga telpon-telpon lagi?".

"Rima, aku mohon Rim, kali iniiii aja. Tolong aku Rim. Aku....aku....". Suara nafas Jamie tersengal-sengal seperti sangat kelelahan, suaranya seperti sulit keluar. Rima kebingungan karna kurang jelas dengan yang dikatakan Jamie.

"Rim... Aakuuu ada dekat mini market depan komplekmu.... akuu... aku... gak kuat Rim. Cuma kamu yang paling dekat dari sini. Rima Pleasee help me...".

"Nuuuut.....". Tiba-tiba telpon terputus.

"Ya ampun, ada apa dengan Jamie, kenapa suaranya seperti orang yang sedang menahan sakit? Apa yang terjadi?". Gumam Rima dalam hati. Rima menengok jam dinding di atas pintu kamarnya.

Waktu menunjukan pukul 00:30 dini hari. "Udah tengah malam. Jamie bilang ada dekat mini market depan komplek. Jam segini kan udah sepi banget. Aduuuh, gimana yah, susulin gak yah. Tapi takut. Gimana dong kalo Jamie lagi kenapa-napa dan gue kelamaan mikir kemudian semuanya terlambat. Ooo My God. No ! Gue harus berbuat sesuatu".

Rima bangkit dari kursi meja belajarnya, berlari menyusuri tangga kemudian keluar. "Lho non, udah tengah malam gini mau ke mana?". Tanya Pak Domon Satpam penjaga rumah Rima.

"Aduuh pak, jelasinnya nanti aja deh. Sekarang Bapak tolong saya dulu ya. Tolong Pak Domon ke mini market depan komplek, liat apa ada laki-laki di situ? Kalo ada, coba tanyakan namanya, kalo namanya Jamie, segera hubungin saya dan kasih tau dia ngapain di sana dan mau apa. Ya Pak ya, tolong cepetan". Pinta Rima kepada Pak Domon satpam rumahnya.

Pak Domon bergegas menggunakan sepeda motor menuju mini market yang Rima maksud secepat kilat. Karna dia tidak ingin nona besarnya terlibat masalah dengan orang yang salah.

sepuluh menit, dua puluh menit, hingga lebih dari setengah jam tidak juga ada kabar dari Pak Domon. Rima makin gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ingin rasanya Rima berlari menyusul pak Domon. Rima takut Pak Domon ikut-ikutan kena masalah.

Akhirnya telpon rumah berdering, Rima mengangkat telepon dengan sedikit gemetar, karna ada rasa takut yang menjalar dalam dirinya.

"Non, ini saya Domon, non sebaiknya segera ke sini. Minta Pak Aman anter ya Non, ini temen non yang namanya Jamie ada di rumah sakit. Kritis non. Cepat kemari, karna saya gak tau mau hubungin siapa. Sementara pihak Rumah Sakit minta saya urus administrasi di bagian informasi. Saya jadi bingung non".

Tanpa banyak bicara lagi, Rima bergegas menuju Rumah Sakit di antar Pak Aman.

Sesampainya di rumah sakit. "Ada apa pak? Gimana bisa dia kritis?" . Tanya Rima penasaran.

"Jadi tadi saya ikutin perintah non untuk ke mini market depan komplek, sesampainya di sana keadaan gelap dan sepi sekali non, keamanan yang tugas jaga sepertinya sedang keliling, jadi tadi di sana itu benar-benar sepi non.

Saya melihat ke sekeliling dan mata saya tertuju langsung ke depan mini market. Saya lihat ada orang tergeletak di situ. Saya mendekat dan lihat orang itu berlumuran darah non. Parah sekali. saya bingung mau apa. Lapor polisi ga kepikiran non, udah keburu panik.

Saya cek dia masih nafas, saya geledah kantong-kantongnya. Kantong celana, kantong baju, dan sweater. Saya cuma nemu dompet aja di kantong celana. Tapi karna takut terlambat bertindak, jadi saya langsung buru-buru minta bantuan orang situ untuk bawa ke rumah sakit, karna saat saya buka dompetnya dan cari KTP nya, nama di KTP nya sama dengan nama teman non yang non kasih tau saya di rumah.

Tadi setelah sampai sini. Saya langsung bergegas cari alamat yang ada di KTP nya, karna alamatnya kebetulan gak jauh juga dari sini. Tapi sayang, ternyata alamatnya cuma rumah kosong. Rumah besar dengan pagar besi yang ga ada siapa-siapa di dalamnya. Gelap juga. Kemungkinan sudah agak lama ga di tempatin. Saya jadi bingung harus hubungin siapa dan ke mana. Ya sudah saya langsung hubungin non aja begitu saya balik lagi ke sini. Karna saya diminta urus administrasi sama susternya".

Penjelasan Pak Domon membuat Rima semakin bingung. Apa yang harus dilakukannya. Setelah mengurus semuanya Rima kembali pulang. Dia masih bingung harus menghubungi keluarga Jamie dari mana. Tiba-tiba dia teringat teman-teman sekelas Jamie yang juga Ia kenal. Maka Rima menghubungi mereka. Namun sayang tidak seorangpun yang dapat dihubungi.

Malam itu Rima terpaksa menunggui Jamie di Rumah Sakit. Maka Ia kembali pergi menuju Rumah Sakit tempat Jamie dirawat. Paginya Jamie siuman. Syukurlaah pikir Rima dalam hati.

"Kenapa aku ada di sini? Ini di mana?". Tanya Jamie kepada Rima yang duduk di kursi samping tempat tidurnya.

"Lo di Rumah Sakit Jam. Lo gak inget kejadian semalem gimana? Gimana bisa lu babak belur kaya gini? Siapa yang berbuat begini Jame?". Tanya Rima penasaran demi mengetahui kejadian sesungguhnya.

"Ooh iya, semalam sebetulnya gue berniat ke rumah lo. Tapi di tengah jalan tiba-tiba ada yang berentiin mobil gue. Tiga orang dengan satu motor berboncengan. Trus gue turun, mereka rampas semua milik gue uang di dalam dompet dan mobil gue. Tapi gue gak mau nyerahin semuanya begitu aja, jadi gue lawan dulu mereka. Tapi ternyata mereka bawa senjata tajam. Malah gue dikeroyok mereka bertiga. Trus gue gak sadar deh".

Cerita Jamie membuat Rima merinding ketakutan, tidak di sangka area komplek perumahannya ternyata ada rampok. Berbekal cerita Jamie, Rima melaporkan kejadian tersebut ke petugas keamanan komplek untuk kemudian kasusnya diurus.

Jamie masih harus istirahat di Rumah Sakit. Maka Rima meminta nomor telepon keluarga Jamie yang dapat dihubungi.

"Percuma Rima, gak akan ada orang yang datang. Keluarga gue sibuk semua. Palingan Mama Papa juga lagi di luar negeri urusan bisnis". Kata Jamie dengan nada sinis sambil meneguk segelas air putih.

"Masa sih Jame sampe begitunya. Gak mungkin nyokap bokap lo bakalan diem aja kalo tau anaknya lagi keadaan begini". Kata Rima kemudian.

"Lu gak kenal orangtua gue Rim. Lu juga gak tau watak mereka. Udahlah, gak usah berusaha". Tanpa merekapun gue bisa bayar biaya Rumah Sakit ini". Sambung Jamie dengan kalimat yang masih juga sinis.

Jamie menghubungi Bagas sahabatnya di sekolah. Singkatnya, semua urusan administrasi akhirnya diurus oleh Bagas. Sampai akhir, tidak satupun keluarga Jamie yang datang ke Rumah Sakit. Entah apa yang terjadi dengan keluarganya. Yang jelas, setiap kali Jamie diajak bicara masalah keluarganya, Ia akan menanggapinya dengan sinis. Itu sebabnya, tidak satupun sahabatnya yang berani mengajak bicara tentang keluarga Jamie.

Rima merenung di kamarnya. Berfikir apakah seharusnya semua yang terjadi minggu belakangan ini Ia ceritakan kepada Tama atau tidak. Rima sebetulnya takut jika ada omongan yang beredar tentang dirinya yang menolong Jamie selama di Rumah Sakit dan membuat Tama cemburu.

Tapi disamping itu, Rima pikir ini bukan hal besar yang harus diceritakan kepada Tama. Maka akhirnya Rima tidak pernah menceritakan tentang Jamie kepada Tama. Toh tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua. Rima berfikir Ia hanya berniat menolong Jamie saja waktu itu.

Waktu terus berjalan. Tidak terasa sudah sebulan sejak kejadian Jamie masuk Rumah Sakit. Sejak itu pula Jamie jadi sering menemui Rima. Sebetulnya Rima merasa tidak enak. Takut Tama mendengar hal-hal yang sebetulnya tidak benar.

Seringkali Rima menolak kedatangan Jamie. Tapi Jamie tidak pernah hilang akal untuk menemui Rima. Pernah suatu kali ketika Jamie main ke rumah Rima, Pak Domon mengusir Jamie dengan sedikit kasar. Itu permintaan Rima sendiri. Tapi rupanya Jamie tidak juga mau menyerah.

Hari itu kebetulan Rima harus ke toko buku. Maka Ia pergi dengan diantar Pak Aman seperti biasa. Tanpa diduga dan entah darimana Jamie tau. Mereka akhirnya bertemu di toko buku. Setelah didesak oleh Rima, akhirnya Jamie mengaku jika selama ini Jamie selalu mengikuti kegiatan Rima sehari-hari. Termasuk ketika pergi berdua dengan Tama.

"Kamu tau gak. Aku kesel banget kalo liat kamu lagi jalan sama Tama". Kata Jamie sambil membuka-buka buku disebelah Rima yang juga sedang melihat-lihat buku-buku di rak toko buku itu.

"Kamu?" Rima berkata sambil sedikit tersenyum dengan wajah tetap menatap ke dalam buku yang sedang Ia buka.

"Apa?". Tanya Jamie tidak mengerti dengan perkataan Rima.

"Iya, Kamu. Sejak kapan seorang Jamie jadi sopan begini. Biasanya juga elu, gue". Jawab Rima kemudian.

"Oooh, heheh. Itukan karna ternyata kamu cewek istimewa yang memang harus diperlakukan dengan sopan".

"Hmmm.... gak usah gitu juga kali. Biasa aja. Lagian, ngapain sih lu ngikutin gue mulu. Gak ada yah yang minta lu ngikutin gue sampe di waktu-waktu gue kencan sama Tama. Jadi perihal lo kesel atau apapun, itu sih urusan lo. Wajar dong gue kencan sama pacar gue sendiri. Kenapa lo yang ribet". Jawab Rima kemudian dengan sedikit sinis.

"Aduh..aduuh tuan putri ini bener-bener susah ya ditaklukin. Lo bener-bener melukai harga diri gue dengan lebih memilih Tama dibanding gue. Apa hebatnya dia? Apa karna dia smart? Nilainya selalu tinggi? anak basket?. Jangan khawatir Rima, gue juga bisa kaya gitu kalo gue mau". Tantang Jamie dengan wajah sedikit menggoda Rima.

"Apaan sih, gak usah kepedean. Mau lo lebih pinter keq, lebih jago, lebih keren, gue tetep gak bakal nengok ke lu. OK. Jadi berenti deketin gue mulai sekarang. Jangan coba-coba ganggu gue sama Tama".

Hari itupun berlalu masih tanpa hasil bagi Jamie. Entah apa yang dia rencanakan. Tapi bagaimanapun sepertinya Jamie sudah benar-benar jatuh cinta kepada Rima. Bukan hanya sekedar mengejarnya seperti Ia mengejar gadis-gadis lain selama ini.

Jamie merasakan jatuh cinta kali ini. Ia benar-benar ingin memiliki Rima seutuhnya. Ia berniat merusak hubungannya dengan Tama. Jamie yakin jika sebetulnya Rima juga sedikit menaruh hati padanya. Maka Ia terus berusaha.

Malam itu tiba-tiba suara handphone Rima berdering. Tepat jam 21:00. Rima mengangkatnya dengan segera.

"Iya Ta, Kenapa malem-malem begini?". Tanya Rima sambil mengunyah cemilan yang sedang Ia pegang. Rima memang terbiasa nonton video hingga larut malam sambil ngemil di tempat tidurnya.

Itu kegiatan yang biasa Ia lakukan jika malam minggu tidak pergi berkencan dengan Tama. Kebetulan malam itu Tama ada pertandingan basket dengan regunya di Bogor. Jadilah Rima bermalam mingguan di rumah saja.

"Ini Doni Rim, sorry-sorry ganggu malem-malem. Gue pake handphone Tita temen lu. Mendingan lu cepet ke sini deh Rim. Temen lu mabok nih". Jelas Doni dari sebrang telepon.

Jelas sekali Rima kaget dengan apa yang barusan Ia dengar. "Tita? Mabuk? Yang bener aja, sejak kapan dia jadi begitu". Tanya Rima dalam hati.

"Jangan becanda deeh. Emang kalian di mana? gimana ceritanya Tita bisa mabuk? Tanya Rima penasaran.

"Serius Rim, Tita parah nih. Cepetan ke sini ya. Di klub Green. Tau kan?" Jelas Doni kemudian.

Rima ragu dengan yang dikatakan Doni. Namun bagaimanapun, Tita adalah sahabatnya. Ia tidak mungkin diam saja. Ia tau jika Tita sahabatnya itu memang sedang dalam masalah dengan keluarganya.

Mungkin ini sebagai bentuk pelarian kecil yang Ia lakukan demi melupakan sedikit beban berat hidupnya di keluarganya yang Ia tanggung sendiri. Begitu pikir Rima. Maka Ia bergegas datang ke klub tempat Tita berada seperti yang dikatakan Doni.

"Heeiii, teman baikku cayaaang, kamu ngapaiiin disiniii? Anak baik kaya kamu jangan kesini dooong". Tita tiba-tiba berbicara melantur dengan wajah luar biasa tampak mabuk berat sambil menunjuk-nunjuk Rima yang baru saja datang.

"Ya ampun Ta, lu kenapa gini sih?". Tanya Rima sambil meraih tangan Tita dan bermaksud membuatnya berdiri agar dapat Ia bawa pulang.

"Ayo Ta, pulang. Pokonya lu harus pulang. Jangan jadi gini Tita. Gue tau lu lagi ada masalah. Tapi gak perlu kaya gini kan Ta. Ayo, kita pulang ke rumah gue". Ajak Rima kemudian. Namun tak di duga, Tita malah terjatuh sehingga membuat Rima yang sedang memapahnya ikutan ambruk.

"Addduuuuh, ampun deh ni anak. Berat banget". Gerutu Rima kemudian.

Tiba-tiba ada suara tak asing yang terdengar dari belakang Rima.

"Hai cantik, gak nyangka juga kamu bisa ke sini". Kata Jamie sambil melipat kedua tangannya menatap Rima dan tersenyum simpul. Ya, ternyata Jamie juga ada di situ.

"Heh, lu apain nih anak orang? Kalian tuh keterlaluan ya. Sengaja banget bikin Tita jadi begini. Kalo bikin acara murahan kaya gini gak usah ajak-ajak orang lain". Bentak Rima kepada Jamie yang masih berdiri tepat dihadapannya kali ini.

"Woo... Woo... tunggu dulu Rim. Harusnya kamu terima kasih sama aku. Udah nolongin teman kamu ini untuk duduk di sini dan menelpon kamu untuk jemput dia. Kamu tau kenapa? Karna tadi, dia sendirian dibangku bar itu. Minum banyak sekali, ngoceh gak karuan dan bikin kacau keadaan. Makanya aku, Doni, sama Dimas bawa dia duduk di sini, di meja kami. Karna kami gak mau sampe terjadi apa-apa sama temanmu ini". Jelas Jamie kemudian.

Rima tidak percaya begitu saja. Tapi keadaan akan makin buruk jika Ia hanya mendengar ocehan Jamie. Jadi Ia memutuskan untuk segera membawa Tita pulang.

"Cepet, bantu gue bopong dia ke mobil". Perintah Rima kepada Jamie. Tapi Jamie hanya tersenyum dan meminta Rima untuk bersabar.

"Sabar dulu Rim, duduk dulu kenapa sih. Ngapain buru-buru, ini kan malam minggu. Lagian, kalo kamu bisa kesini jemput temanmu yang lagi mabuk berat ini, artinya kamu gak ada kegiatan lain kan. Udahlaah santai dulu aja".

Sebetulnya Rima enggan menerima ajakan Jamie untuk duduk sebentar bersama mereka. Tapi Ia bingung dengan Tita. Kondisi Tita sudah benar-benar mabuk berat. Diajak berdiri saja Tita sempoyongan, apalagi disuruh jalan.

"Jame, please deh. Bantu gue bopong Tita ke parkiran. Gue gak suka tempat rame begini". Pinta Rima dengan wajah memohon kepada Jamie.

Jamie yang melihat keseriusan di wajah Rima malah semakin ingin membuat Rima menemaninya di klub pada malam itu.

"Rima, please juga deh. Sekali iniii aja kamu terima tawaran saya. Toh kamu udah ada di sini kan sekarang. Aku janji akan bantu Tita. Tapi please, kamu duduk dulu di sini. Kita ngobrol".

"Jame, gimana mau ngobrol sih. Ini tempat yang bising, dan kita harus teriak-teriak begini supaya kedengeran. Apa enaknya ngobrol ditempat begini". Jawab Rima kemudian.

Demi Tita, akhirnya Rima menerima tawaran Jamie.

"Oke, gak lama. 10 menit. Cuma 10 menit dan lo bantu gue bopong Tita ke mobil".

"Ok, Janji 10 menit". Jawab Jamie kemudian.

"Aku pesenin minum ya".

"Gak usah Jame, sorry gue gak minum alkohol". Kata Rima menolak tawaran minum dari Jamie.

"Ya ampun Rima, aku ini tau kamu itu perempuan seperti apa. Tenang aja lagi. Siapa juga yang mau nyediain alkohol buat kamu. Aku udah pesenin orange juice buatmu. Diminum ya".

Tidak berapa lama kemudian Orange Juice pesanan Jamie datang ke meja mereka. Rima tidak habis pikir kenapa Jamie jadi sebaik ini sekarang.

Rima pikir setelah minum seteguk Ia akan dibantu Jamie membawa Tita ke mobilnya. Tapi ternyata dugaan Rima salah. Entah bagaimana ceritanya. Tiba-tiba saja Rima terbangun pagi itu dalam keadaan sakit kepala dan perasaan aneh yang belum pernah Ia rasa sebelumnya. Rima bingung.

"Dimana gue ya?". Tanyanya dalam hati. Tidak lama kemudian Jamie muncul dari balik pintu. Rima terkejut bukan main.

"Tuan putri sudah bangun?". Tanya Jamie dengan senyumnya yang merekah. Kemudian Ia menghampiri Rima yang masih dengan raut wajah bingung.

"Jame, ini dimana? Gue kenapa? Koq bisa disini? Jame, please jelasin ada apa sama gue".

Jamie baru saja mau menghampiri Rima tapi...........................

"STOOOP....!! Jangan mendekat sebelum lo jelasin ke gue apa yang terjadi semalam setelah......". Rima berhenti bicara sejenak, teringat akan kejadian semalam.

"Jame, lo kasih apa ke minuman gue? Lu campur apa orange juice itu jame? Lo apain gue jaaame.....?".

Rima menangis sejadi-jadinya. Ia sedikit mengerti apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Jamie. Hancur sudah harapan Rima untuk terus bersama Tama. Dengan keadaannya yang sekarang. Rima sudah kehilangan kepercayaan dirinya di hadapan Tama.

"Tenang Rim, tenaaang. Gak ada yang tau dengan apa yang sudah terjadi pada kamu". Jamie mencoba menenangkan Rima. Tapi tidak berhasil.

"Lu brengsek Jame, lu bener-bener keterlaluan. Kenapa sih lo tega berbuat begini ke gue. Kenapa lo sejahat ini sama gue Jame, apa salah guee....". Rima masih terus menangisi nasibnya pagi itu.

Jamie sendiri terus mencoba mendekati Rima. Berusaha maksimal agar rima mau mengerti bahwa apa yang dilakukaknnya hanya agar Rima mau menerimanya. Meski dengan keadaan terpaksa.

"Rim, mulai detik ini, aku akan jadi yang terbaik buat kamu. Aku janji gak akan pernah lagi godain perempuan lain. Aku akan setia sama kamu Rim".

"Lu udah gila? Lu pikir dengan cara kaya gini, terus gue akan mau nerima lo? Jamie, gue makin jijik sama lo. Jangan pernah lagi lu deketin gue. Gue harap lo puas udah ngancurin hidup gue hari ini. Gue harap tujuan lo tercapai".

Rima berteriak kepada Jamie yang masih berdiri di hadapannya yang sedang menangis. Kemudian Rima berlari sambil menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian dengan selimut, berlari ke toilet dan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai hotel pagi itu.

Setelah berpakaian, Rima keluar toilet dan ingin bergegas pulang. Namun Jamie mencegahnya.

"Minggir...". Teriak Rima kepada Jamie yang berdiri di ambang pintu demi menahan Rima keluar.

"Rima please, forgive me. I Dont know you'll hurt so bad".

"Just let me go and dont ever meet me anymore. Gue benci elo dan jangan pernah lagi berusaha minta maaf ke gue".

Kemudian Rima mendorong Jamie dan berlari keluar. Ia berlari sambil menangis. Menyetir mobilnya dengan kacau. pikirannya kacau, dalam perjalanan pulang Ia terus menangis di dalam mobil yang dikendarainya. Nasibnya kini hancur. Ia tidak punya muka lagi bertemu Tama. Begitu pikirnya saat itu.

Rima mengurung diri di kamar. Tak habis pikir dengan kejadian yang telah menimpanya. Handphonenya terus berdering. Banyak pesan yang juga tidak Ia buka.

"Rima sayang, masih belum mau bicara? Apa kamu gak ke sekolah lagi hari ini? Udah dua hari lho mama ijin kamu sakit ke sekolah. Ayolah sayang, setidaknya cerita ke mama ada apa ". Ibunda Rima membujuk Rima. Tapi tidak berhasil.

Rima masih membalas pesan-pesan Tama seperti biasanya. Ia tidak ingin Tama khawatir. Namun ketika Tama berkunjung ke rumahnya, Ibunda Rima berkata bahwa Rima sedang tidur. Sehingga Ia tidak bertemu dengan Rima.

Saat itu Tama belum menaruh curiga. Ia pikir rima hanya sakit biasa. Setelah tiga hari tidak ke sekolah dengan alasan sakit, akhirnya Rima memutuskan untuk kembali pergi ke sekolah. Meski terlihat sedikit murung, tapi Rima berusaha tegar.

"Kamu kenapa? Masih gak enak badan?". Tanya Tama kepada Rima yang masih terlihat murung duduk dibangku kelasnya.

"Gapapa Tam, aku udah mendingan. Cuma memang masih gak enak aja. Mungkin pemulihan". Jawab Rima memberi alasan.

Jamie terhenti di ambang pintu kelas Rima. Ia ingin menghampiri Rima, namun mengurungkan niatnya ketika melihat Tama sedang disamping Rima. Tampak Tama sedang memegang tangan Rima dan menyentuh dahinya. Mengecek apakah Rima masih demam seperti yang dikatakan Ibundanya kemarin.

Akhirnya Jamie mundur dan kembali ke kelasnya. Siang itu sepulang sekolah, Jamie mencuri waktu untuk menemui Rima. Ia tau kebiasaan Rima yang pasti akan menunggu Tama selesai berlatih basket. Rima biasanya menunggu Tama di perpustakaan jika Ia sedang enggan melihat Tama berlatih di lapangan.

Namun sayangnya siang itu Rima sudah pulang, Rima merasa betul-betul tidak enak badan. Bukan lagi hanya alasan karna menutupi kemurungannya. Tapi kali ini Rima benar-benar sakit. Maka siang itu Rima pulang dengan Pak Aman tanpa menunggu Tama.

"Ya udah kamu pulang aja duluan ya, minta Pak Aman jemput". Kata Tama siang itu masih di kelas Rima. Tama sebetulnya merasa sikap Rima akhir-akhir ini agak aneh. Murung dan terlihat sedih. Tapi Tama pikir itu karna Rima sedang tidak enak badan. Jadi Ia membuang pikiran jelek jauh-jauh dari kepalanya.

Hari itu adalah hari terakhir Tama bertemu Rima. Dimana pada akhirnya Tama menyendiri hingga umurnya yang sudah kepala tiga sekarang ini.

Tapi cerita Jamie tentang bagaimana Rima menghilang dari kehidupan Tama belum selesai. Maka ceritapun berlanjut.

Malam hari di kediaman Rima. Saat makan malam, tiba-tiba saja Rima ambruk. Pingsan tak sadarkan diri setelah beberapa hari terlihat murung. Ibunda Rima berfikir jika putrinya memang sedang sakit. Maka malam itu ibu dan ayah Rima menelpon dokter keluarga mereka.

Terkejut bukan main atas analisa dokter. Rima mengandung dua minggu. Ayah Rima murka. Marah sejadi-jadinya.

"Papah akan menemui orangtua Tama. Bisa-bisanya kalian berbuat begini. Papah merestui hubungan kalian karna papa pikir Tama anak yang baik dan mampu menjaga kamu Rima. Tapi apa yang dia perbuat padamu". Saat Ayah Rima memencet tombol telepon, seketika itu juga Rima bangkit dari tempat tidurnya kemudian memegang tangan Ayahnya.

"Nggak Pah, Papah ngga tau apa-apa. Bukan Tama Pah, bukan Tama yang harus bertanggung jawab atas bayi ini".

"Apa katamu Rima?". "PLAAAAK" . Seketika itu juga telapak tangan Ayah Rima mendarat di pipi kiri putrinya. Ibunda Rima hanya bisa menangis. Menangisi nasib putrinya. Ia tidak menyangka semua bisa terjadi.

"Kamu pacaran dengan Tama, tapi kamu mengandung anak laki-laki lain maksudmu? Perempuan macam apa kamu Rima? Papah gak nyangka punya putri bejat seperti kamu. Sejak kapan kamu jadi rusak begini Rimaaa....".

"Pah, Rima kan sudah bilang. Papa dan Mama ngga tau apa-apa. Papa, Mama ngga tau apa yang udah terjadi sama Rima kan Pah. Jangankan kalian. Tama juga ngga tau tentang ini Pah. Tama gak salah, Tama gak ngerti apa-apa, dia tetap laki-laki baik seperti yang Papa Mama yakini. Tama tetap laki-laki baik, terhormat, dan tiak pernah berbuat macam-macam pada putri kalian yang kotor ini. Kalian gak tau apa yang Rima jalani belakangan ini".

Rima menangis sejadi-jadinya, kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi dimalam itu. Di malam Ia bertemu Jamie, dimalam ketika Ia hanya berniat menolong Tita sahabatnya. Tita sudah tau kejadian itu. Tita sudah memohon maaf pada Rima.

Rima juga tidak bisa menyalahkan Tita. Karna Tita sendiri juga tidak menyangka dimalam ketika Ia sedang dirundung banyak masalah pelik dalam keluarganya, kemudian lari ke klub itu, Ia bertemu Jamie dan kawan-kawannya.

Tita hanya ingat pagi itu Ia sudah bangun di dalam kamarnya sendiri. Entah siapa yang mengantarnya pulang. Tita bahkan tidak tau sama sekali bahwa Rima datang untuk membantunya pulang namun kejadian naas menimpa Rima.

"Papa akan lapor polisi. Kejadian ini gak bisa dibiarkan". Kata Ayah Rima hari itu. Namun Ibunda Rima melarang.

"Pah, kalo kita berbuat begini, yang ada anak Rima akan lahir tanpa Ayah. Kemudian Rima dan kita akan menanggung malu Pah. Sebaiknya kita temui dulu Jamie. Siapa tau dia mau bertanggung jawab".

"Apa Mama sudah ngga waras? Mama mau menikahkan putri kita dengan laki-laki bejat macam itu?".

"Pah, Mama pernah dengar cerita dari Pak Aman tentang Jamie. Sepertinya Jamie betul-betul mencintai Rima. Mungkin dia benar-benar mau bertanggung jawab Pah. Bisa jadi, perbuatannya dia lakukan demi mendapatkan Rima. Setidaknya, biarkan Rima melahirkan dengan seorang suami Pah. Meski nanti mereka kita pisahkan, setidaknya anak Rima harus punya Ayah dulu Pah. Jangan sampai dia telahir tanpa Ayah".

Ibunda Rima memohon kepada suaminya. Bagaimanapun ini aib. Rima harus segera meninggalkan Jakarta dan menikah secepatnya. Sebelum kandungannya membesar. Akhirnya malam itu juga Ayah dan Ibunda Rima bergegas meminta Pak Aman mengantar mereka ke kediaman Jamie.

Dari Pak Domon yang pernah menolong Jamie membawanya ke Rumah Sakit tempo hari, Pak Aman tau alamat rumah di KTP Jamie. Namun sayang, seperti yang pernah Pak Domon ceritakan, rumah besar itu gelap dan kosong. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Ayah Rima berpikir kemungkinan Jamie melarikan diri. Tapi mereka salah. Jamie memang tidak pernah tinggal lagi di rumah besar itu semenjak Ia ditinggal kedua orangtuanya pergi bertugas ke luar negeri. Bahkan kedua orangtuanya tidak pernah mengetahui bahwa Jamie anak mereka ternyata tinggal di sebuah kos-kosan yang tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Jamie tidak mau merasa kesepian tinggal di rumah besar itu sendirian. Meski ada ART, tapi bagi Jamie itu sama sekali tidak membantu menyingkirkan rasa kesepiannya. Sehingga Ia memilih tinggal di kosan. Meski begitu, kosan Jamie adalah kosan elit yang terletak di dalam komplek perumahan mewah.

Hal itu mereka ketahui dari tetangga rumah Jamie yang kebetulan lewat ketika mereka berusaha menemui Jamie di rumah besarnya.

"Iya Pak, Bu, Nak' Jamie memang nggak suka tinggal di sini sendirian. Jadi dia tinggal di kosan di blok sebelah Pak". Begitu kata tetangganya.

Ayah dan Ibunda Rima serta Pak Aman segera bergegas mencari kosan yang dimaksud tetangga Jamie.

"Permisi Pak, apa betul di kosan ini ada yang tinggal bernama Jamie?". Tanya Pak Aman kepada satpam penjaga kosan.

"Oh iya betul Pak, ada Nak' Jamie tinggal di sini. Anda ini siapa ya? Keperluannya apa?". Bapak Satpam itupun balik bertanya kepada Pak Aman.

"Saya Aman Pak, majikan saya yang sedang di mobil itu ingin bertemu dengan Nak' Jamie. Urusan super penting Pak. Mohon bantuannya dipanggilkan. Tolong katakan saja kalau orangtua Non Rima yang mau ketemu".

"Ooh begitu. Oke, tunggulah sebentar. Saya coba panggilan Nak' Jamie".

Jamie kaget bukan main mendengar orangtua Rima mencarinya. Sepertinya Ia tau apa yang terjadi. Ia mengira bahwa Rima menceritakan perihal dirinya telah dinodai olehnya. Namun Jamie masih belum mengetahui tentang Rima yang mengandung.

Ia pikir, mungkin orangtua Rima akan membawanya ke kantor polisi. Ia akan pasrah saja. Karna Ia sadar betul atas apa yang telah diperbuatnya kepada Rima. Maka Iapun segera keluar menemui orangtua Rima dengan perasaan sedikit tegang.

"Kamu yang namanya Jamie?". Tanya Ayah Rima dengan wajah masam memperlihatkan mimik wajah marahnya.

"Iya Om, saya Jamie". Jawab Jamie kemudian dengan wajah tertunduk.

"Bangsat kamu ya. Kamu apakan anak saya". Ayah Rima murka, dengan serta merta Ia meremas kerah baju Jamie dan memukul wajahnya. Jamie tersungkur jatuh di jalan.

Satpam kosan dan Pak Aman bergegas menghampiri mereka. Satpam kosan membantu Jamie berdiri, sementara Pak Aman mencoba memegang lengan Ayah Rima sambil menenangkannya dibantu Ibunda Rima.

"Lho..Lho... ini ada apa ya? Koq Nak Jamie dipukuli seperti ini. Jangan main kasar Pak. Tolong dibicarakan dulu". Kata Satpam kosan sambil membantu Jamie berdiri.

Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik dengan wajah aneh. "Ada apa sih? Ada apa?"...... Begitu kata mereka.

"Pah, sabar Pah. Tujuan kita ke sini bukan untuk menghakimi Jamie Pah. Papah jangan bikin kacau keadaan. Ingat Rima Pah". Kata Ibunda Rima mencoba menenangkan suaminya.

"Mari Pak, kita selesaikan saja di dalam. Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin dan tenang". Ujar Satpam kosan kepada Ayah Rima yang massih dipegangi oleh Pak Aman dan Ibunda Rima.

Merekapun masuk ke dalam kosan. Di ruang tamu, mereka membicarakan semua hal yang terjadi sebelumnya. Termasuk kehamilan Rima.

"Mana orangtua kamu? Saya harus bicara dengan mereka". Tanya Ayah Rima dengan nada membentak Jamie.

"Maaf Om, orangtua saya tidak perlu terlibat. Jika Om mau, saya akan menyerahkan diri ke polisi tanpa perlu melibatkan mereka. Bukan apa-apa Om. Hanya saja, mereka tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada saya". Jawab Jamie kemudian.

"Anak macam apa kamu sampai-sampai tidak dipedulikan orangtuanya. Pantas saja kelakuanmu ini bejat, tidak bermoral, tidak punya otak kamu. Kamu apakan putri saya hingga dia hamil hah? Kamu sudah hancurkan masa depan putri saya. Kamu pikir saya bisa terima begitu saja dengan kamu dihukum dalam penjara? Itu malah akan membebaskanmu dari tanggung jawab. Dasar anak brengsek".

Jamie terkejut bukan main. Rima hamil. Ia tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Namun Ia tetap menyadari kesalahannya.

"Apa Om, Rima hamil? Ya ampuuun. Om saya betul-betul minta maaf. Hukuman apapun yang akan Om berikan, saya akan terima Om. Tapi saya mohon Om. Pertemukan saya dengan Rima Om. Saya mohon".

"Dasar anak sialan, apa lagi yang mau kamu lakukan pada putri saya?". Ayah Rima semakin murka dengan permintaan Jamie. Namun Ia teringat kata istrinya. Kemungkinan Jamie ini betul-betul mencintai putri mereka. Karna kehadiran Tama di hati Rimalah yang membuat Jamie nekat berbuat demikian terhadap Rima.

Sekarang giliran Ibunda Rima yang bicara. Ia tidak ingin putrinya mengalami lebih banyak masalah setelah ini. Maka Ia segera saja membicarakan tujuan mereka datang ke tempat Jamie.

"Jamie, tujuan kami datang kemari, bukanlah untuk menghukummu. Paling tidak, bukan sekarang waktu yang tepat untuk kami menghukum kamu. Nanti bila sudah waktunya, maka kamu harus siap dengan segala hukuman yang akan diberikan".

Jamie hanya tertunduk mendengarkan omongan Ibunda Rima. Ia sadar bahwa Ia memang pantas dihukum setelah apa yang diperbuatnya pada putri mereka.

"Kami ke sini meminta kamu bertanggung jawab atas kehamilan Rima. Kamu harus segera menikahinya". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie mengangkat wajahnya. Kaget mendengar omongan itu kemudian dengan wajah sambil tersenyum Ia menjawab.

"Apa tante? Saya menikahi Rima? Betul Tante? Ya ampuuun, saya tidak menyangka akan menjadi suaminya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Rima tante. Saya berjanji. Mulai sekarang, hidup Rima dan anak yang dikandungnya adalah tanggung jawab saya tante". Jawab Jamie kemudian.

Sebetulnya ada perasaan lega di wajah orangtua Rima, Mereka bahkan tidak menyangka laki-laki brengsek yang menghamili paksa putrinya dengan wajah bahagia bersedia bertanggung jawab.

Rupanya kali ini Jamie mendapatkan karmanya. Setelah Ia bermain-main dengan banyak wanita. Bahkan Ia pernah berujar tidak akan pernah mencintai wanita manapun, kini Ia malah betul-betul tersiksa karna mencintai Rima teramat sangat.

Malam itu juga, Jamie dibawa ke rumah Rima. Ia dipertemukan dengan Rima. Namun semuanya tidak menduga dengan apa yang dikatakan Rima.

"Ngapain lu ke sini? Mau apa? Puas lo ngancurin hidup gue?". Rima berteriak ke hadapan Jamie. Ia tak menyangka Orangtuanya membawa Jamie datang.

"Rima please. Kita akan menikah. Aku mohon jangan menolak. Bagaimanapun itu anakku juga Rima".

"Dasar gila. Gimana lu bisa yakin ini anak lo hah? Gue jijik sama lo. Sekarang juga lo pergi dari sini. Gue gak mau lu dateng-dateng lagi ke sini. Pergiiii....". Rima menjerit histeris sambil mengusir Jamie.

"Rima, sayang. Maafin mama dan papah. Mama yang memutuskan menikahkan kamu dengan Jamie. Bagaimanapun kamu gak boleh melahirkan tanpa suami. Rima sayang denger mama nak' kali ini kamu harus nurut apa kata mama. Menikahlah dulu dengan Jamie. Setelah itu terserah dengan apa yang ingin kamu lakukan nak' setidaknya, anakmu harus punya Ayah".

"Nggak mah, nggaaak. Rima gak mau. Rima gak sudi. Siapa yang bilang Rima mau melahirkan? Rima gak mauuu maaah. Rima gak mau anak ini Rima benci dia mah, benciii". Rima semakin histeris, berteriak sambil memukul-mukul perutnya.

"Rima, jangan sayang. Jangan kamu lakukan itu. Dia ngga bersalah nak' jangan berbuat begitu. Dia berhak hidup". Ibunda Rima menghampirinya kemudian mencoba menenangkannya.

"Bagaimanapun Rima tidak boleh menggugurkan bayi dalam kandungannya. Kita harus berbuat sesuatu Pah". Kata Ibunda Rima kemudian.

Jamie terdiam sejenak. Berfikir apa yang mungkin akan Ia lakukan selanjutnya. Rima telah menolak menikah dengannya. Tapi Jamie terus berusaha membujuknya. Hari ini tidak berhasil.

"Besok aku akan datang lagi Rima. Aku akan terus datang sampai kamu mau menerimaku. Bagaimanapun, bayi itu harus hidup. Dia tidak berbuat kesalahan Rima. Aku yang salah, aku yang akan menanggung semuanya".

Jamie pulang tanpa hasil. Ia tidak berhasil membujuk Rima menikah dengannya. Tapi kali ini Jamie yang sudah benar-benar jatuh cinta, pada akhirnya tetap harus mengalah, diam, dan pulang. Hanya saja dia tidak berniat menyerah. Dia akan memperjuangkan cintanya. Terlebih lagi, kini perempuan yang dicintainya tengah mengandung darah dagingnya.

Esoknya, Rima tidak datang-datang lagi ke sekolah. Iapun memutuskan untuk tidak akan pernah l;agi menemui Tama. Hancur sudah harapan hidup bersama Tama di masa depan. Siang itu sepulang sekolah Tama berniat menemui Rima karna tidak ada yang tau kabar Rima di sekolah.

Tita hanya bilang jika Rima sedang sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Kabar itu Ia dapatkan dari Ibunda Rima saat Ia menelpon untuk menanyakan apakah Rima baik-baik saja. Karna Tita merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi.

Sejak hari itulah Tama tidak pernah lagi bertemu Rima. Jamie terus menerus datang ke rumah Rima. Begitu pula Rima yang terus menerus menolak menikah dengan Jamie. Pada akhirnya, Jamie memang bertanggung jawab atas Rima dan Mischele secara materi namun mereka tetap tidak menikah.

Semua barang-barang yang dibawa atau dikirimkan Jamie selalu Rima masukan dalam gudang. Tidak satupun yang Ia gunakan. Bahkan uang bulanan yang selalu Jamie kirimkanpun tidak pernah Rima gunakan. Baik untuk dirinya sendiri ataupun anaknya.

Hari itu hari di mana Tama datang lagi ke rumah Rima yang sudah kosong tanpa penghuni, hari dimana Tama bertemu tetangga Rima dan mengatakan bahwa Jamie harus ke rumah sakit, adalah hari dimana Rima berusaha bunuh diri. Rima tidak ingin melahirkan bayinya. Ia nekat mengakhiri hidupnya.

Namun Tama tidak mengetahui hal itu. Tetangganya juga tidak mengatakan apa-apa selain Ibunda Rima yang titip pesan jika ada laki-laki bernama Jamie datang ke rumah, diminta untuk segera ke Rumah Sakit.

Saat itu Tama pikir, keluarga Rima memiliki saudara atau sanak family bernama Jamie. Tidak disangka ternyata Jamie yang dimaksud adalah Jamie si bule teman sekolahnya yang terkenal playboy. Tama betul-betul tidak menyangka.

Tama dan Mischele terus mendengarkan cerita Jamie. Singkat cerita, akhirnya mischele lahir dan Jamie lulus SMA. Jamie meneruskan kuliahnya di Jakarta. Sementara Rima pergi ke Bandung untuk melanjutkan lagi sekolah SMA nya yang tertunda karna mengandung.

Tentu saja status Rima yang telah memiliki anak dirahasiakan di sekolahnya yang baru. Setahun kemudian Rima lulus SMA, kemudian Ia pindah ke sidney membawa serta Mischele. Ia sengaja melakukan itu untuk menjauhkan Mischele dari Ayahnya.

Ya, saat itu Rima berfikir untuk tidak lagi mempertemukan Jamie dengan Miscehele putrinya. Rima tetap belum dapat menerima Jamie. Namun begitu, Jamie tetaplah Jamie yang selalu berkeinginan keras pantang putus asa. Belasan tahun Ia menanti Rima membuka hati.

Sama seperti Tama yang sudah belasan tahun pula menanti Rima kembali. Rimapun demikian, hidup tanpa laki-laki selama belasan tahun, hingga Mischele tumbuh remaja seperti hari ini. Cantik dan Cerdas.

Saat Rima dan Mischele hidup di Sidney, Jamie menyusulnya. Ia tidak pernah menyerah. Selalu datang setiap hari menjenguk Mischele. Berharap Ibunya luluh dan mau mulai membuka hatinya. Itulah sebabnya, Mischele tetap dekat dengan Ayahnya meski Ayah dan Ibunya tidak pernah menikah.

Begitulah ceritanya. Bagaimana Rima bisa menghilang dari kehidupan Tama, bagaimana Mischele hadir dikehidupan Rima, bagaimana Jamie si playboy berubah drastis setelah ditaklukan Rima.

Mischele terdiam mendengar akhir cerita Ayahnya. Tanpa Ia sadari, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Tak lama air matanya mengalir jatuh ke pipinya yang putih mulus merona pink tanpa makeup.

"Jadi, Mommy gak pernah inginkan Mischele. Mommy menderita karna Mischele. Jadi Mischele ini anak yang gak pernah diinginkan Mommy". Ujar Mischele sambil menangis.

"Nggak sayang, siapa yang bilang begitu? Mommy always love you Mischele. Gak akan pernah berubah". Tiba-tiba Rima berdiri dihadapan mereka bertiga yang tengah duduk mendengarkan cerita Jamie.

Kemudian Mischele menghambur kepelukan Ibunya sambil menangis dan berujar "Mooom, maafin Mischele Mom. Karna kehadiran Mischele Mommy jadi menderita. Harusnya Mommy hidup bahagia dengan Om Tama kan Mom". Mischele terisak dipelukan Rima.

"Sayaaang please jangan bicara begitu. Mommy hanya shock saat tau kamu ada dalam perut Mommy. Tapi begitu kamu lahir, Mommy betul-betul mencintai kamu sayang. Kamu yang paling berharga buat Mommy sekarang. Bukan laki-laki manapun. Ingat itu Mischele. Mommy sudah bahagia hidup berdua denganmu tanpa mereka". Jelas Rima kemudian sambil memeluk Mischele.

Tama dan Jamie bangkit dari duduknya. Kemudian menatap Rima dan Mischele yang sedang berpelukan. Tama tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya dari cerita Jamie. Iapun bingung akan berbuat apa.

Kini giliran Rima yang buka suara. Akhirnya setelah lama menanti selama belasan tahun. Rima mau bicara dengan Tama dan Jamie sekaligus.

"Tama, aku minta maaf karna menghilang tiba-tiba dan tak ada kabar. Tapi sekarang kamu tau apa penyebabnya. Aku sudah terlalu kotor dan hina untuk bertemu kamu waktu itu. Meski hanya sekedar mengucapkan selamat tinggal rasanya aku ngga pantas lagi ketemu kamu".

"Rima please jangan bicara begitu. Gak ada yang lebih berharga dan lebih terhormat dari kamu Rima. Harusnya kamu temui aku, kita bisa selesaikan semua sejak dulu. Tidak seperti ini. Lama menunggu dan akhirnya ini yang terjadi. Kamu gak salah. Jadi jangan pernah minta maaf".

Sebetulnya Tama masih sangat kesal pada Jamie. Ingin sekali Ia menghajarnya kembali habis-habisan. Ia memisahkan hidupnya dari Rima perempuan yang paling dicintainya sejak dulu. Tapi karna kehadiran Mischele, maka Tama mencoba tegar. Mencoba menerima kenyataan yang sudah ada di depan matanya.

"Dan kamu Jamie, please gak usah bujuk-bujuk Mischele lagi untuk membuka hati aku untukmu. Karna itu gak akan pernah terjadi. Aku membiarkanmu bertemu Mischele hanya karna Ia butuh sosok Ayah. Itu aja. Bukan karna aku menerima kamu. Sudah jelaskan? Jadi jangan pernah berusaha lagi. Hentikan usaha-usahamu mengirimiku semua barang-barang dan uang setiap hari dan setiap bulan. Aku bisa mengurus Mischele tanpa bantuanmu".

Mischel terdiam. Kemudian Ia berfikir, apakah Mommy masih sangat mencintai Om Tama dan sebaliknya? Apakah mungkin mereka kembali hidup bersama seperti ketika mereka masih remaja dulu. Apakah kehadirannya mengganggu kembalinya hubungan mereka. Aah hal yang rumit untuk dipikirkan.

"Mom, tolong jawab jujur peryanyaan Mischele ya Mom. Pleeease Mom. Mischele butuh jawaban".

"iya sayang, tanyalah apa yang mau Mischele tau. Mommy pasti jawab. Sudah gak ada lagi yang harus Mommy rahasiakan". Jawab Rima kemudian.

"Mom, jujur. Apa Mommy masih mencintai Om Tama? Atau Mommy sedikit demi sedikit sudah bisa mencintai Daddy? Jawab Mom".

Rima, Tama, dan Jamie terkejut bersamaan mendengar pertanyaan Mischele. Tidak disangka Mischele bertanya demikian dihadapan mereka semua.

"Mischele, bagi Mommy sekarang kamu yang terpenting. Bukan siapapun. Jadi kamu gak perlu menanyakan hal yang kurang penting begitu. Baik Daddy ataupun Om Tama, sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan hidup Mommy. Biarkan mereka menjalani kehidupan mereka ke depannya. Mungkin juga Om Tama sudah menikah, atau mungkin Daddy kamu sudah memiliki kekasih yang mungkin akan dinikahinya nanti. Mommy gak mau lagi ngerusak hidup siapapun termasuk hidup Mommy sendiri. Cukup kamu aja di hati mommy sayang".

"Bukan Mom, bukan itu pertanyaannya. Kenapa Mommy gak jawab aja. Siapa yang Mommy cinta sekarang? Om Tama atau Daddy? Jawabannya gak perlu sepanjang itu Mom".

"Michele, Mommy gak perlu jawab pertanyaan itu Mommy rasa Michele udah tau gimana hati Mommy selama ini kan? Kosong michele. Gak ada siapapun. Tolong jangan bahas ini lagi".

Bersambung ke Eps.4 (Ending)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

Love is Simple

Aku pikir yang namanya cinta itu indah dan begitu rumit. Ternyata sangat simple sekali.

Umurku 21 Tahun saat pertama kali merasakan debar-debar itu. Memang mungkin di tahun yang katanya milenium ini,

Umur 21 cukup telat jika baru pertama merasakan rasa itu. Tapi ya itulah yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta pada laki-laki yang menjadi kekasihku saat itu.

Dia begitu mempesona diriku. Meski dia laki-laki sederhana yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tidak terlalu tampan, tapi cukup menarik bagi perempuan-perempuan di sekelilingnya.

Tak disangka perasaan diapun sama denganku. Kami menjalin hubungan cukup lama. Kurang lebih 4 tahun.

Tapi tidak ada tanda-tanda juga darinya bahwa Ia akan melamarku.

Tepat diumurku yang ke 25, kami membuat janji bertemu di cafe tempat kami biasa makan.

Hatiku sangat berdebar saat itu. Kupikir dihari ulang tahunku itu aku akan mendapatkan kejutan yang mungkin tidak akan kulupakan seumur hidupku.

Tapi aku tak berani berangan-angan. Aku tak berani mengkhayalkan bahwa Ia akan melamarku di saat itu. Disaat orang-orang bilang tepat bagi umur segitu untuk menikah.

Aku menunggu. "Ras, kamu tunggu aku jam 8 malam nanti ya. Mmmm.... dan nanti aku akan ajak temanku yang mau kukenalkan ke kamu" .

Begitu kata dia saat janjian waktu itu. Sebetulnya aku setengah bingung. Sempat berpikir mungkin dia mau mengadakan pesta kecil untuk memperkenalkanku pada teman-temannya.

Tak lama kemudian dia datang. "Lho Ran, sendiri? Katanya sama teman?" . Tanyaku penasaran saat itu.

"Oh iya Ras, sebentar lagi dia datang. Mungkin agak telat" . Begitu jawabannya. Selang 20 menit datang seorang gadis cantik seumuran denganku menghampiri meja kami.

"Hai Laras" . Sapa gadis itu tiba-tiba. Aku mengernyitkan dahi tanda kebingungan. Bingung karna aku tak mengenal gadis itu dan tidak mengingatnya sama sekali kapan pernah berkenalan atau bahkan bertemu.

"Oh iya Ras, kenalin ini Rasti yang tadi aku bilang" . Kata Randi sambil bangkit berdiri menyambut gadis itu.

"Mmmh... jadi gini Laras. Sebetulnya aku ngajak kamu ke sini itu mau bicara jujur dan penting banget" .

Saat itu aku masih tidak berpikir yang macam-macam, kupikir nanti akan datang lagi temannya yang lain dan kami akan berpesta kecil di cafe itu.

Tapi bagaikan gemuruh di langit, seperti tersambar halilintar tanpa rintik hujan sedikitpun. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin hanya Tuhan saja yang tahu.

Karna akupun merasa tak tahu dengan apa yang kurasa saat itu. Ini kalimatnya saat itu.

"Laras aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku minta maaf dan terserah dengan hukuman apa yang akan kamu lakukan nanti. Tapi aku mohon kamu maklumin keadaan aku.

Sebetulnya Rasti ini calon istri aku" .

Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu keluar dari mulut Randi kesayanganku. Kekasih hatiku selama 4 tahun ini. Bukan waktu yang sebentar bagiku yang aku tahu.

Selama ini aku merasa tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Dia terlalu terlihat menyayangiku sebagai kekasihnya. Dia memanjakanku, sering menghiburku, selalu menelponku sekedar untuk menanyakan kesehatanku.

Aku selalu bahagia bersamanya. Jarang sekali kami bertengkar. Dia begitu mengerti aku. Aku yakin dia pelengkap hidupku. Aku yakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi.

Aku terdiam tanpa kata, air mataku menetes. Mereka saling berpandangan kemudian melihat ke arahku. Mungkin mereka takut aku akan histeris dan berteriak pada mereka.

Tapi tidak. Aku bukan type orang yang mudah panik. Meski perasaanku saat itu sakit seperti teriris dan jujur aku ingin sekali menampar wajah mereka berdua.

Tapi itu tidak aku lakukan. Kucoba menenangkan diri, menarik nafas dalam. Mencoba memberanikan diri mengeluarkan sepatah kata saja.

Padahal saat itu banyak sekali yang aku ingin tahu mengenai mereka berdua.

"Oke... Selamat akhirnya kamu menemukan apa yang kamu cari" . Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kemudian aku bangkit berdiri sambil menyodorkan tangan memberikan selamat kepada mereka berdua.

"Tunggu Ras, biar aku ngomong dulu" . Entah apa yang membuat Randi begitu yakin aku ingin mendengar semua penjelasan darinya.

Bukankah sudah percuma. Jika dengan penjelasan maka waktu dapat terulang dititik dimana saat Randi menyatakan cinta padaku bisa terjadi. Maka aku pasti akan mau mendengarnya.

Tapi aku sadar bahwa itu tidak mungkin. Bahkan jika saat itu ada doraemon berdiri tepat dihadapankupun aku tetap yakin dia tidak akan membawaku kembali ke masa itu melalui laci meja belajar nobita.

Karna aku Laras, si gadis super cantik yang bahkan memiliki nilai tertinggi di kelas. Aku bukan nobita si malas dan si cengeng yang selalu merengek pada doraemon meminta agar kehidupan selalu menjadi mudah.

Aku hanya punya keyakinan dalam diriku. Aku punya Allah yang aku yakin bahwa ini memang takdirnya untukku.

"Udahlah Ran, gak perlu jelasin apapun, gak akan ada yang berubah hanya karna sebuah penjelasan" . Kataku sambil tetap membelakangi mereka. Rasti hanya diam memandangiku dengan wajah iba.

Yang aku heran, tidak tampak wajah kemenangan yang dia tunjukan di hadapanku. Justru wajah itulah yang membuat aku semakin sakit dan terhina. Wajahnya yang seolah ikut sedih melihat kepedihanku.

"Apa-apaan perempuan itu. Seenaknya merebut kekasih hatiku lalu kini ia mengasihaniku? Dasar sampah". Dalam benakku berteriak.

"Bukan itu Ras, akuu cuma mau kasih ini" . Randi meyodorkan sebuah kartu padaku yang ternyata adalah undangan pernikahan mereka. Ya Tuhaaaan, apa sih yang selama ini terjadi. Sebetulnya aku semakin ingin tahu.

Mengapa mereka bisa mereka benar-benar akan menikah? Sementara aku menunggu Randi melamarku bertahun-tahun. Apa yang terjadi dibelakangku selama ini? Sejak kapan?

Tapi aku tidak mau tahu. Aku benci mereka. Benci sekali. Hingga rasanya ingin kubunuh mereka dengan cara yang paling sadis.

"Acaranya minggu depan, memang sedikit mendadak tapi sudah keputusan kami. Maafkan aku Ras. Sungguh aku tidak bermaksud membuat semuanya jadi kacau seperti ini" .

Ku ambil undangan itu sambil melenggang pergi tanpa mempedulikan Randi yang masih berdiri berharap aku mengatakan sesuatu.

Sesampainya di rumah. Air mataku menetes tiada henti. Menetes dan terus menetes tanpa suara. Kesedihan yang teramat sangat ini membuatku tak dapat berkata-kata bahkan untuk menangispun tak mampu mengeluarkan suara.

Randiku yang aku tau teramat mencintaiku, Randiku yang memanggilku Kasih. Ya, Randi memang tidak pernah memanggilku dengan nama Laras. Dia selalu memanggilku Kasih. "Kasih sedang apa di sana?, Kasih sudah makan?, Kasih aku kangen niiih, Kasih jangan lupa mimpiin aku yaa...".

Demi Allah, kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang khas sama sekali sulit aku lupakan. Benarkah semua ini terjadi.

Aku paksakan mataku terpejam. Berharap ketika bangun pagi nanti, semua mimpi buruk ini berakhir. Aku berharap ini hanya mimpi dari tidurku yang tak bisa di atur belakangan ini.

Pantas saja saat menelponku pagi tadi. Terasa begitu janggal mendengar suaranya di sebrang telpon sana. Dia menyebut namaku. Iya, namaku Laras dan berkata ingin bertemu denganku di cafe biasa.

Aku merasa ada yang aneh namun tidak menyadarinya. Ternyata sejak pagi tadi nama Kasih sudah tak terdengar lagi dari mulutnya. Aah rupanya ini yang terjadi.

Di ulangtahunku yang ke 25. Yang harusnya menjadi hari paling bahagia untuk di lamar kekasih karna umur yang terlalu tepat untuk menikah.

Apa yang kuharapkan. Sudahlah. Lupakan.

Hari terus berlalu, aku masih saja sedih. Aku yang periang dan percaya diri mendadak menjadi pemurung. Sulit makan, Sulit Tidur, Mata selalu sembab dan bengkak.

Tidak ada gairah hidup. "Laras, buka pintunya nak. Sudah berhari-hari kamu tidak keluar kamar, juga tidak makan. Jangan jadi begini sayang. Yakinlah jika dia memang jodohmu, maka dengan izin Allah, dia akan kembali padamu dengan jalanNya. Jangan putus asa nak" . Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku. Kemudian aku membuka pintu dengan masih mengenakan mukena. "Tenang aja Bu, Laras bukan orang yang gak punya iman. Laras paham yang sudah Allah takdirkan untuk Laras" . Jawabku sambil berdiri di ambang pintu. "Lalu kenapa kamu gak keluar-keluar? Dara berhari-hari ke sini mau menemuimu. Tapi kamu menolak. Kenapa? Bukankah akan lebih baik jika ada teman bicara?" . Dara adalah sahabat dekatku sedari SD. Kami selalu bersama, sekolah bersama, lulus sarjana bersama, hingga kami bekerja di perusahaan yang sama karna saat mencari pekerjaan juga bersama. "Gapapa Bu, Laras udah nelpon Dara tadi, minta maaf dan minta Dara ke sini. Paling juga sebentar lagi dia datang" .

Benar saja, selang beberapa menit sahabatku itu muncul dan langsung masuk tanpa permisi. "Raaas, ya ampuuun lu gapapa? Sehat? Mata aja yang bengkak? Apa hati ama lambung juga" . Pertanyaan Dara panjang tanpa jeda. "Huss... Waalaikumsalaaam" . Sindirku pada Dara yang langsung menyerbu masuk menuju kamar tidurku. "Eeeh iyaa... Assalamualaikum Tante" . Sambung Dara sambil mencium tangan Ibu. "Ya udah Ibu tinggal ya. Kalian ngobrol deh yang tenang. Nanti Ibu buatkan minum" .

Akhirnya hari itu berlalu tanpa pembicaraan tentang Randi sedikitpun. Dara menginap di rumahku. Ia memang sahabat yang paling mengerti aku. Dia sama sekali tak mempertanyakan perihal Randi dan Rasti sejak kedatangannya semalam. Dara tahu harus bersikap bagaimana menghadapiku. Dara begitu mengenalku bahkan mungkin melebihi kedua orangtuaku. Dara paham bahwa jika aku butuh bicara, maka aku akan bicara tanpa ditanya. Jadi Dara tidak perlu mempertanyakan kejadian yang terjadi pada hubunganku dengan Randi. Dari Dara aku tahu bahwa atasanku ternyata begitu peduli padaku. Dara bilang Pak Hendro titip salam dan semoga aku lekas sembuh. Pak Hendro juga bilang tidak usah terlalu dipaksakan masuk jika belum pulih benar. Ternyata Dara mengatakan pada atasanku bahwa selama ini aku sakit, sehingga mau tidak mau harus ambil cuti. Sudah seminggu semenjak kejadian aku bertemu pasangan brengsek yang membuatku murka sekaligus patah hati. Hari ini harusnya aku menghadiri undangan pernikahan mereka. Tapi bagaimana. Apakah aku sanggup.

"Aduh Ras. Kalo gue jadi elu yah gue pasti dateng hari ini. Gue harus tunjukin ke mereka bahwa gue fine-fine aja. Kalo perlu gue bawa cowo" . Dara semangat sekali memberiku ide untuk ke acara pernikahan Randi dan Rasti. "Lu sarap ya? Cowo mana jugaa yang mau gue bawa?" . Jawabku kemudian.

"Hai Daraaa......." . Terdengar teriakan memanggil dari sebelah rumah ku. Adalah Dimas seorang laki-laki yang umurnya 5 tahun lebih tua dari kami yang tinggal di sebelah rumah. Dimas adalah tetanggaku yang sudah sejak lama tinggal di kediamannya itu. Bahkan kata Ibu, jauh sebelum kami tinggal di komplek perumahan ini, keluarga Dimas sudah tinggal di sana. Sudah 5 keturunan yang mendiami rumah itu. Rumah tua megah dengan gaya barat klasik yang selalu menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang dikomplek perumahan kami. Dimas memang berdarah Amerika. Nenek buyutnyalah yang dulunya membangun rumah itu. Karna nenek buyut Dimas memang asli orang London, maka tidak heran jika rumahnya dia bangun sengaja bergaya barat. Katanya sih, supaya nenek buyut betah tinggal di negara orang. Sekarang nenek buyut Dimas memang sudah tiada. Tapi rumah bergaya barat itu tetap dipertahankan bentuknya. Karna memang bagus.

Tampan? Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia mengartikan bahwa orang blasteran berdarah campuran itu pastilah tampan dan cantik. Tapi tidak dengan Dimas. Bukannya jelek sih. Jujur saja Dimas tidak jelek. Hanya saja, dia terlalu kutu buku dan terlalu serius. Model rambutnya yang kuno dan kacamatanya yang tebal membuat wajah blasterannya sama sekali tidak berarti apa-apa. Namun begitu, Dimas berbeda dengan kutu buku- kutu buku lainnya yang lebih sering terlihat minder dan tidak bergaul. Dimas pandai bergaul, dia aktif baik di komplek, di kampus, bahkan di tempat kerjanya. Sebetulnya Dimas cukup percaya diri. Cuma entah kenapa dia sama sekali tidak pernah merubah fashionnya yang sangat terlihat kutu buku dan sedikit culun itu.

Pernah aku bertanya sambil bercanda. "iiih lu tuh jangan begini keq Dim. Kan bisa pake pakean normal. Celan jeans atau celana pendek dengan kaos biasa, Rambut jangan disisir rapih begitu. Bisa gak sih dandan dikit" . Eeeh Dimas malah tertawa sambil menjawab dengan candaan pula. "Hahahaha, ya ampun Laras, aku ini kan cowo blasteran. Apa jadinya kalo penampilanku normal. Apa menurutmu gak bakalan banyak cewe-cewe yang datang ke rumah sambil merengek-rengek minta aku nikahi" .

Hhhh, dasar Dimas. Sama sekali nggak lucu. Mana mungkin tampang bloon kaya gitu bakalan ada yang mau nikahin dia. Kepedean banget. Tapiii kalimatnya itu kadang bikin aku berpikir. Jangan-jangan sebetulnya Dimas memang tampan. Andai aja dia mau berubah. Aaah sudahlah gak mungkin kan itu terjadi. Kalo iya, kemungkinan besar dia sudah menikah sejak bertahun-tahun lalu. Umurnya kan udah 30. Tapi masih aja jomblo tuh. Hihihihi ada-ada aja pikiranku ini.

Akhirnya aku putuskan untuk datang menghadiri pernikahan Randi dan Rasti. Lihat saja yang terjadi nanti. Setidaknya benar kata Dara. Aku harus terlihat tegar seolah tak pernah ada kata patah hati dalam kamus kehidupanku. Karna memang ga ada pasangan yang bisa aku ajak, mau gak mau aku datang bersama Dara. Apa? Dimas? Noo Weeey.... Gak akan. Apa jadinya kalo aku putus dari Randi kemudian dia pikir aku jatuh ke pelukan si culun itu? Lagi pula, Randi tau betul siapa Dimas. Gak mungkin lah.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana. Terkesan bukan pesta. Tapi ya sudahlah. Acara sakral seperti ini tidak butuh yang terlalu mewah. Toh yang menikah tidak pantas mendapatkan kemewahan yang seharusnya. Pikirku sinis. Aku menghampiri pelaminan memberikan selamat pada mereka......................................................

Baca Lanjutannya klik disini !

Seandainya

Karna cafe ini memang sering ramai, maka tak heran jika pemilik cafe membuat jarak antar meja satu dengan yang lain tidak begitu jauh. Seperti meja yang kursinya tengah saya duduki ini berdekatan dengan meja sebuah keluarga kecil yang sedang asik berbincang sambil menunggu makanan mereka dihidangkan pelayan cafe. Awalnya sih saya sama sekali tidak bermaksud menguping. Hanya saja karna saat itu saya sedang sendirian dan tidak ada teman bicara, sehingga saya seperti melamun, maka tidak heran jika pembicaraan mereka terdengar. Bukan pembicaraan yang terlalu penting bagi saya untuk saya dengarkan. Karna itu pembicaraan sepasang suami istri yang sepertinya sedang galau memikirkan kehidupan masa depan keluarga mereka. Namun yang membuat saya tertarik mendengarkan lebih jauh adalah ketika sang suami berkata "Mah, papah dapat tawaran mutasi kerja di luar provinsi. Kalo papah tertarik dan bersedia ikut, maka nanti akan di fasilitasi rumah, kendaraan, dan segala fasilitas lainnya. Bahkan gaji juga jauh lebih besar ketimbang sekarang. Menurutmu gimana mah?".

Awalnya sih saya cuek juga mendengar pertanyaan sang suami. Karna saya pikir ya kalo memang tawarannya begitu menarik, sudah pasti tidak ada masalah jika mereka sekeluarga pindah mengikuti tawaran kerja sang suami. Tapi yang membuat saya semakin ingin mendengar sampai tuntas adalah ternyata si istri posisinya juga wanita karir yang tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya di kota ini. Dengan kata lain, mereka sedang dalam kebimbangan. Apakah sang suami ikut tawarannya demi karirnya yang akan melonjak dengan diikuti ekonomi yang berlebihan, atau bertahan dengan sang istri di kota ini karna si istri tidak mungkin resign karna suatu hal yang saya tidak mengerti karna hanya mencuri dengar.

Saya pikir, si istri akan galau dan bimbang kemudian meminta waktu sebentar untuk berfikir seperti kebanyakan istri-istri pada umumnya yang menginginkan hidup berlebihan demi keluarganya. Tapi saya salah. Si istri menjawab langsung tanpa ada tanda-tanda keraguan sedikitpun pada nada bicaranya. Saya kagum dengan kalimat yang terlontar dari si Istri.

"Paah, kalo papah bermaksud menerima tawaran itu dengan rencana kita pisah rumah. Mama disini dengan pekerjaan mama dan anak-anak, sementara papah di luar provinsi mengejar karir dan akan pulang sebulan sekali. Sepertinya mama kurang setuju pah. Maaf pah, bukan mau menghambat karir papah. Tapi jujur, karir itu pasti ujung-ujungnya tetap gaji yang dikejar. Mama tau pah, keluarga kita tidak berlebihan. Tapi mama rasa cukup. Kita ngga kekurangan meski juga ngga berlebihan. Meski kita masih numpang sama mama papah di rumahnya, tapi InshaAllah pah, siapa tau nanti Allah kasih kita rejeki lebih untuk punya rumah sendiri".

Dari situ terlihat jelas bahwa ternyata keluarga kecil ini yang mempunya tiga orang anak, masih hidup menumpang dengan kakek neneknya. Mereka belum punya rumah sendiri. Entah apa pekerjaan masing-masing suami istri ini. Gumamku dalam hati. Mereka bekerja berdua tapi belum bisa membeli rumah atau minimal mengontrak. Semakin penasaran dengan perbincangan mereka.

"Tenang aja pah, papah tau kan gimana mama. Mama bukan type perempuan tamak dan serakah koq sama harta. Meski kita hidup seperti sekarang ini. Tapi ini sudah jauh lebih dari cukup. Kenapa? Karna kita utuh. Sama-sama sampai nanti. Mama ga bisa bayangin pah kalo nanti kita hidup terpisah hanya karna demi harta. Harta berlimpah, rumah mewah, kendaraan mewah, brankas penuh lembaran, tapi kita nikmatinnya gak bisa sama-sama. Aku harus nikmatin disini bersama anak-anak sementara kamu di sana. Maaf ya Pah, bukannya mama ngga percaya sama papah. Bukannya mama gak yakin papah hidup sendiri di kota orang. InshaAllah kepercayaan mama buat papah lebih dari cukup. Hanya saja ya itu tadi. Buat apa harta berlimpah tapi gak bisa nikmatin sama-sama. Ga ada gunanya pah. Mama seneng koq hidup begini. Meski ngepas tapi sama-sama".

Saya melihat wajah suaminya yang tampak lega mendengar jawaban si istri. Dari situ ketahuan bahwa ternyata sebetulnya si suamipun berat meninggalkan keluarga kecilnya. Tidak lama makanan mereka datang. Mereka makan sambil bercengkrama. Terlihat harmonis dan bahagia. Terpikir dalam benak saya. Semoga nanti ketika saya berkeluarga, sayapun ingin dicukupkan atas apa yang saya miliki. Aamiin. Belum selesai sampai di situ.

Ketika telah selesai makan dan mereka menuju pintu luar, saya melihat keluarga ini ternyata datang ke cafe ini hanya menggunakan motor matic sederhana keluaran lama. Lima orang dalam satu motor. Terlihat sekali mereka harus berdesakan dan mengatur posisi duduk masing-masing agar semuanya terangkut dengan aman.

SubhanAllaaah, gumam saya. Mereka benar-benar merasa cukup. Padahal jika itu terjadi pada saya, kemungkinan besar saya ingin sekali memiliki kendaraan roda empat yang pastinya nyaman untuk berlima. Tapi tidak dengan si istri itu. Dia begitu sumringah dengan senyum lebarnya. Naik ke atas motor sambil tertawa lebar karna susah memposisikan duduk yang harus berhimpitan. Tidak ada wajah sedih di air muka mereka. Tampak bahagia meski harus bersusah-susah. Demi jalan-jalan keluarga. Harus datang dengan kendaraan seminim itu.

Seketika saya terpikir. Seandainya para pemimpin kita di negri ini memiliki istri yang pikirannya sesederhana itu. Apakah para suami masih berpotensi untuk melakukan tindak korupsi?

Bukan ingin menyalahkan seolah-olah banyak korupsi terjadi karna kemauan berlebihan istri. Toh banyak juga pemimpin-pemimpin yang korupsi untuk membahagiakan dirinya sendiri, bermain perempuan, gonta ganti pasangan berselingkuh di belakang istri. Tapi setidaknya saya pikir, seandainya istri-istri mereka seperti si istri tadi, ada kemungkinan mereka akan diingatkan oleh para istri bahwa harta bukan segalanya. Melainkan kebersamaan dan keharmonisan keluarga lah yang paling utama.

Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rejeki dan rahmatMu untuk keluarga itu. Sehingga mereka bahagianya sempurna. Meski tidak ada yang lebih sempurna dibanding Engkau ya Allah.

Aamiin.