Tampilkan postingan dengan label Blog Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Blog Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Mei 2020

Cinta Pertama (Eps.2)

Cerita sebelumnya (Klik disini)

Link Terkait :

Episode 1

Episode 2

Episode 3

Episode 4 (End)

16 tahun sudah Ia lewati dengan kesendirian. Waktu yang sangat lama untuk melupakan. Berkali-kali Ibunda Tama mengenalkannya dengan banyak gadis. Tapi tak ada satupun yang menarik hati Tama. "Nak, sampai kapan kamu sendiri terus? umurmu itu lho. Teman-temanmu banyak yang anak-anaknya sudah pada gadis. Sementara kamu? Jangankan anak, jangankan istri, pacar saja tidak pernah kamu bawa ke rumah. Kamu sebenarnya menunggu apa nak'?" . Kalimat Ibunya sudah terlalu sering Ia dengar. Tapi apa boleh buat. Memang itu yang sedang terjadi padanya. Sendiri di umur yang sudah kepala tiga. Jangankan Ibunya, teman dekatnyapun tidak pernah berhasil membuat Tama jatuh hati kepada gadis manapun. Tapi Dimas tidak pernah putus asa menghadapi sahabatnya ini.

Dihari yang terik ketika itu hari selasa. Jadwal dimana Tama harus melewati jalan rumah Rima sepulang kantor. Dimas sudah sangat tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tapi hari ini Dimas berencana menggagalkan jadwal rutin Tama sahabatnya itu.

"Tam, hari ini kita ada meeting client penting lho sore nanti" . Tama hanya terdiam seperti berfikir sesaat, kemudian Ia menjawab "Iya gue tau koq harus hadir. Tenang aja gue pasti hadir" .

Sepulang kantor, Tama dan Dimas bergegas menuju salah satu Mall besar di Jakarta. Karna pertemuan dengan client penting tersebut memang di cafe. Pikiran Tama tetap tertuju ke rumah Rima. Hari ini jadwal Tama melewati rumah Rima. Tapi apa boleh buat, rupanya hari ini Tama harus lewat lebih malam dari biasanya. Karna bagaimanapun Ia tidak mungkin mengabaikan client penting yang harus ditemuinya hari ini. Meeting berjalan dengan lancar. Tama, Dimas, dan Client nya berbincang mengenai kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf, saya permisi sebentar ke toilet" . Tama ijin meninggalkan mereka, saat Tama bangkit dari duduknya, tiba-tiba matanya terpaku pada satu tujuan, pada seorang wanita dengan gadis remaja yang keluar cafe sesaat setelah Tama berdiri. Ia tidak begitu yakin siapa sosok wanita yang dilihatnya itu, tapi semakin Ia menatap jauh ke arah wanita tersebut berjalan, Tama menjadi sangat yakin bahwa yang dilihatnya adalah sosok Rima. "Rima? Dengan siapa dia? Tapi apa iya itu Rima?" . Masih sambil berfikir keras, Tama terkaget dari lamunannya dan bergegas berlari-lari kecil menuju pintu keluar cafe, berusaha keras untuk tidak melepaskan pandangannya dari wanita yang Ia pikir Rima. Ia terus berjalan dengan cepat demi mengejar wanita itu. Tapi sayang, sosok itu menghilang di persimpangan jalan. Tama tidak gentar Ia mencari ke sekeliling, terus berputar dalam Mall yang sangat luas itu. Membuat Dimas dan Client nya menunggu hingga dua jam lebih. Dimas mencoba menelpon ponselnya, tapi ternyata ponselnya berdering di meja cafe tempat mereka meeting. Tama meninggalkannya karna terburu-buru.

"Aduuh mana lagi nih si Tama. Koq ke toilet lama banget". Gumam Dimas dalam hati. "Oke deh pak jika begitu saya pamit sekarang saja, mohon sampaikan salam saya kepada pak Tama dan minta maaf tidak bisa menunggu beliau lebih lama lagi" . Client mereka pamit sambil berdiri dan menyalami Dimas. "Oh iya Pak. Saya terima kasih sekali pertemuan kita kali ini memperjelas status kerjasama perusahaan. Nanti akan saya sampaikan salam Bapak kepada Pak Tama. Mungkin terjadi sesuatu, saya akan menyusulnya saja Pak" . Jawab Dimas sambil mempersilahkan clientnya berpamitan.

Setelah membayar bill cafe dan membereskan berkas-berkas kantor, Dimas bergegas menuju toilet. Tapi Ia tidak menemukan Tama.

Akhirnya Dimas memutuskan kembali ke cafe, takut-takut Tama juga akan kembali ke sana. Dimas memesan es kopi kesukaannya. Sambil menunggu Tama Ia mencoba menghubungi rumah Tama. Siapa tau Tama bergegas pulang karna ada sesuatu. Tapi ternyata Tama juga belum pulang. Ibunya yang menjawab telepon Dimas. "Apa iya yah dia gak sabaran nunggu meeting selesai, terus pake alesan mau ke toilet padahal buru-buru pergi ke rumah Rima. Tapi gak mungkin, kalo iya, pasti handphonenya dibawa kan". Dimas bertanya-tanya sendiri. Sudah berjam-jam Tama menghilang, akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang. Tapi ketika Ia bangkit dari kursi cafe, tiba-tiba Tama mengagetkannya dari arah belakang. "Dim, sorry...sorry banget. Tadi gue nyari Rima" . Suara Tama masih tersengal-sengal seperti keletihan. "Ya ampun Tam, lu tuh yang bener aja sih. Ninggalin client cuma buat ke rumah Rima trus lu balik lagi ke sini? Emang jadwalnya ga bisa diundur sebentar aja? Kan balik dari meeting lu bisa lewat sambil pulang Tam. Wah, bener-bener keterlaluan lu, gue jadi gak enak sama client. Untungnya semua berjalan lancar. Meeting kita udah kelar, tinggal tunggu berkas yang harus lu tandatangin besok. Besok siang sekretarisnya Pak Hamdan yang datang ke kantor kita untuk serahin berkasnya" . Dimas menjelaskan dengan nada sedikit marah.

"Aduh maaf banget Dim, tadi itu gue bukan ke rumah Rima. Tapi pas mau ke toilet tadi, tiba-tiba gue seperti ngeliat dia Dim. Sumpah itu kaya dia banget. Lu tau kan selama ini penasarannya gue gimana buat ketemu sama dia. Jadi gue pikir kalo memang itu Rima. Bagaimanapun gue harus nemuin dia. Jadi tadi gue coba kejar dia. Tapi sayang ga ketemu. Dia ngilang gitu aja dipersimpangan" . Tama menjelaskan yang terjadi selama Ia menghilang saat meeting dengan client tadi. Dimas terdiam sejenak. Kemudian berkata "Mungkin lu salah Tam, kalo memang itu Rima kenapa baru sekarang lu ketemu dia. Apa iya setelah 16 tahun dia kembali ke Jakarta. Menurut tetangganya kan Rima sekeluarga pindah keluar negeri Tam. Mungkin lu cuma lagi kepikiran aja karna hari ini jadwal lu lewat rumah dia harus tertunda" . Tamapun terdiam seperti berfikir. Tapi dalam benaknya Ia terus meyakini bahwa yang dilihatnya tadi adalah memang benar Rima.

Dalam perjalanan pulang, Tama seperti biasa membelokkan mobilnya ke arah jalan rumah Rima. Ia semakin penasaran. Jika memang benar yang Ia lihat tadi adalah Rima, ada kemungkinan Rumah itu ada penghuninya saat ini.

Sayang, pemandangan masih tampak seperti hari-hari sebelumnya. Selalu sepi dan makin tampak menyeramkan karna tidak terurus belasan tahun.

Sesampainya di rumah, Tama merebahkan diri ke kasurnya yang empuk. Terus saja berfikir apa yang harus Ia lakukan selanjutnya. Mungkinkah Ia harus mengunjungi Mall itu setiap hari? Siapa tau Ia akan bertemu lagi dengan sosok wanita tadi dan menghilangkan penasarannya. Tapi kegiatan Tama sudah semakin banyak. Karna tanggung jawab jabatan di perusahaan tempatnya bekerja yang semakin hari semakin menyita waktu. Lagipula, tidak mungkin orang setiap hari pergi ke mall. Tidak terasa Tama tertidur lelap sebelum sempat melepaskan pakaian kerjanya.

Pukul 10:00 pagi. Matahari menyeruak dari balik jendela kamar. Tama terbangun karna silaunya yang luat biasa di jam-jam itu. "Hmmm.... ketiduran sampe jam segini. Terlalu banget gue ini. Kenapa ya. Sampe kapan mikirin Rima. Setidaknya gue harus buka hati gue untuk perempuan lain. Gimana kalo ternyata Rima sendiri udah berumah tangga? Apa gunanya gue nunggu dia?". Hati Tama bergejolak seolah ada perasaan tidak puas dalam dirinya. Ia merasa sudah waktunya Ia mengakhiri pencariannya. Hari minggu yang cerah ini Tama memutuskan pergi ke Mall tempat kemarin Ia bertemu sosok wanita yang mirip Rima. Dia pikir siapa tau wanita itu jalan-jalan lagi. Mungkin saja, karna di hari minggu kebanyakan orang senang jalan-jalan meski hanya ke mall. Tama mandi, berpakaian, dan bergegas ke halaman menstarter mobilnya. "Tamaa... gak sarapan dulu? Kamu pulang terlalu larut dan sekarang baru bangun sudah mau pergi lagi tanpa makan apa-apa dulu". Ibunya berteriak dari teras rumah sambil berdiri memperhatikan Tama yang sudah siap di bangku kemudi. Tama berfikir sejenak. "Iya juga ya, semalam di cafe cuma pesan cemilan ringan dan es kopi. Sampe sekarang belum makan. Ah gampanglah". Batin Tama dalam hati. "Gak usah Bu, Tama sarapan di jalan aja nanti". Teriak Tama menjawab pertanyaan Ibunya dari dalam mobil sambil kemudian memundurkan mobilnya keluar pintu gerbang rumah. Tamapun berlalu.

Sesampainya di mall, Tama menuju toko buku besar di lantai dasar. Ia memang hobi membaca. Meski dijaman yang serba canggih ini pengetahuan bisa di dapat dari googling dan segala sesuatunya selalu menggunakan internet, tapi bagi Tama membaca buku lebih mengasyikan. Larut dalam buku yang sedang dibacanya. Tiba-tiba buku yang dipegang Tama terjatuh karna tersenggol oleh orang lain. "BRUUK...". Tama dan orang yang menyenggolnya sama-sama tertunduk mengambil buku yang terjatuh itu. "Aduh maaf mas saya ngga sengaja" . Kata perempuan yang yang tanpa sengaja menjatuhkan buku yang sedang Tama baca. "Oh gapapa Mba santai aja. Saya juga salah terlalu lama berdiri di sini" . Ketika mereka saling berpandangan. Keduanya kaget bukan kepalang. Karna mereka saling kenal dekat satu sama lain. Ya, perempuan yang menabraknya hingga menjatuhkan buku ini tidak lain adalah Rima. Rima yang selama ini Tama cari, Rima yang selalu mengganggu pikiran Tama, Rima yang menghilang tanpa jejak dan membuat Tama tetap setia menunggu.

Di cafe mereka duduk dan terdiam. Rima mengeluarkan handphonenya dan mengetik pesan entah ditujukan kepada siapa. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Sebetulnya banyak sekali pertanyaan dalam otak Tama yang ingin sekali Tama lontarkan. Bahkan jika perlu Tama ingin sekali memaki perempuan yang ada dihadapannya ini. Tapi terus terang, rasa rindu Tama kepadanya jauh lebih besar daripada rasa benci dan kecewa karna ditinggal tanpa pesan. Tama terdiam dengan wajah masam yang paling tidak enak di lihat. Akhirnya Rima membuka pembicaraan.

"Mmm.... kamu apa kabar Tam? Keliatannya sehat dan sukses ya?" . Tanya Rima dengan suara gugup. Tama ingin sekali marah padanya. Tapi apakah pantas. Siapakah dirinya. Dia merasa saat ini Ia bukan siapa-siapa perempuan ini. Ia merasa tidak ada hak menuntut apapun darinya. Toh selama ini Ia sendiri yang memutuskan menunggu perempuan di hadapannya ini. Tapi nyatanya Ia tidak tahan dengan semua keadaan akhirnya Iapun melontarkan pertanyaan yang selama ini membuatnya penasaran.

"Kamu ke mana aja Rim, kenapa bikin aku jadi begini? Kamu tega bikin aku nunggu tanpa kepastian. Kamu tau berapa umur aku sekarang dan aku masih aja nunggu kamu Rim?" . Rima terkejut dengan pertanyaan Tama dan apa yang dinyatakannya. Selama ini Rima berfikir jika Tama sudah move on. Sudah belasan tahun masa lalu mereka terjadi. Tidaklah mungkin bagi seorang pria tampan dan mapan seperti Tama belum memiliki istri atau mungkin kekasih. Tapi pernyataan Tama barusan membuat Rima tidak habis pikir.

"Apa kamu bilang? Nunggu aku? Tama please jangan ungkit-ungkit yang udah lalu. Kita sudah sangat dewasa dan sudah punya kehidupan masing-masing. Bukannya kita bisa menjadi teman baik dan melupakan semua yang pernah terjadi? Tam, enambelas tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Gak mungkin kan kamu masih aja nungguin aku? Lagipula saat kepergian keluargaku bukannya sudah mama papa bilang kalo aku yang udah memutuskan untuk tidak lagi menemui kamu? Bahkan si Mbok juga sudah bilang itukan Tama?".

Ya Tuhaan, ternyata selama ini Rima dengan entengnya berpikiran jika mereka memang sudah tidak ada apa-apa lagi dan sudah menemui jalannya masing-masing. Tama rasanya terbakar emosi, ingin rasanya Ia berteriak pada perempuan yang sedang dihadapannya itu. Tapi Ia berusaha menahan amarahnya.

"Rima, jadi selama ini kamu tidak merasa kalo sikap kamu itu keterlaluan? Kamu titip pesan ke orang rumah kamu supaya aku jangan lagi menemui kamu dan semuanya kamu anggap selesai begitu aja? Rima, belasan tahun aku cari kamu, belasan tahun juga aku selalu lewat depan rumah kamu. Gak ada satu perempuanpun yang bisa mengisi kekosongan hati aku. Dan sekarang kamu tetap gak mau menjelaskan apa-apa Rima?".  Rima terdiam, bingung apa yang harus Ia katakan. tapi Ia benar-benar tak habis pikir. Laki-laki dewasa yang ada di hadapannya ini ternyata masih menunggunya dengan setia. Tiba-tiba obrolan mereka dikagetkan oleh sesosok gadis remaja yang tiba-tiba saja muncul ke hadapan mereka.

"Moom, what are you doing here? Why took you so long? I'm waiting you there. Who's this men?" (mah, apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa lama sekali? Aku menunggumu di sana. Siapa laki-laki ini?) .

Gadis cantik berparas blasteran itu beribcara pada Rima dengan bahasa inggris yang sangat fasih. Tama makin terkejut dan makin hancurlah perasaannya. Ya Tuhan, ternyata Rima sudah punya putri cantik yang sudah remaja. Sejak kapan Rima menikah. Begitu cepatnyakah Rima berpindah hati sementara Tama cinta lamanya masih saja menantikan kehadirannya yang bahkan diumurnya yang sudah tidak muda lagi.

"Mmmh... Tam, kenalin ini michelle anak aku. Michelle, ini Om Tama, teman mama di SMA dulu" . Rima kelihatan canggung. Tapi Ia berusaha terlihat tenang dihadapan putrinya. "Ooh teman mama. Hai Om, aku michelle. Senang ketemu Om. Koq, gak pernah main ke rumah Om?" . Michelle memperkenalkan diri dengan logat inggrisnya yang masih kental meski menggunakan bahasa indonesia sambil menjabat tangan Tama.

"Oh iya michelle, rencananya Om memang ingin main ke rumah michelle hari ini. Kalo mama michelle ngijinin sih" . Jawaban Tama mengejutkan Rima. Ia tidak menyangka Tama akan berkata seperti itu. Memang Tama jadi ingin sekali berkunjung ke rumah Rima demi melihat siapa sosok laki-laki yang berhasil merebut pujaan hatinya belasan tahun lalu. Sampai Rima tega meninggalkannya bahkan hanya menitipkan pesan pada orangtua dan pembantunya. Tama sangat geram dan penasaran dengan laki-laki itu.

"Gak mungkin michelle, hari ini kan kita ada janji sama oma mau jenguk aunty di rumahnya ". Rima seperti menghindar agar Tama tidak berkunjung ke rumahnya. "Oh iya ya, ok deh om, makasih atas minatnya berkunjung ke rumah kita. Tapi mungkin lain kali ya om. Aku sama mama harus pergi dulu".

"Oh begitu. Ok michelle gapapa, lain kali om pasti mampir. Kalo boleh minta alamat lengkap ya michelle biar Om bisa main kapan-kapan" . Tama tidak lagi ingin hilang kesempatan sehingga Ia dengan sigap berfikir harus bertemu Rima lagi lain waktu. Sehingga Ia dengan cepat meminta alamat rumah mereka. "Iya Om, di jalan..." . Baru saja Michelle ingin memberi alamat lengkap tiba-tiba saja Rima memotong. "Michelle....." . Kata Rima sambil menatap dalam wajah putrinya.

"Lho kenapa mom, om kan teman lama mama. Memang kalian tidak ingin berbincang banyak?" . Tanya michelle penasaran. Tapi Tama tidak kehilangan akal. "Gapapa michelle, mungkin mama sibuk. Michelle sekolah di mana sekarang?" . Tanya Tama lagi. "Di Cambrige International School om" . Jawab michelle kemudian.

Tidak lama merekapun berpamitan pada Tama yang masih terlihat penasaran dengan semua cerita di balik rumah tangga Rima selama belasan tahun itu. "Ok Om, aku sama mama pergi dulu ya. Semoga lain waktu ketemu lagi".

Tama sangat amat sekali kecewa dengan apa yang didapatnya saat ini. Rasa penasarannya masih juga tidak hilang meski Rima sudah Ia temukan. Hancur hatinya berkeping-keping. Tapi Ia tetap berusaha tegar. Ia berpikir apa yang akan Ia lakukan selanjutnya. Apakah Ia harus melupakan Rima begitu saja? Rima yang belasan tahun yang membuatnya menunggu, Rima yang tidak pernah hilang dari pikirannya. "Aah, sekarang Rima sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi menantinya. Tapi apa pantas aku diperlakukan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku yang memutuskan sendiri untuk menunggunya. Tidak ada seorangpun yang memaksaku menanti dia kembali. Tidak ada yang dapat dipersalahkan selain diriku sendiri". Gumam Tama dalam hati.

Memang cinta tak ada logika. Itulah yang sedang Tama alami saat ini. Meski Ia sudah menemukan kenyataan bahwa kekasih hatinya telah berkeluarga. Ia tidak juga dapat melepaskannya begitu saja. Terlebih lagi, Rima masih sangat terlihat muda meski sudah memiliki putri yang sudah tumbuh remaja. Wajah muda Rima tidak banyak berubah begitupun perasaan Tama.

Esoknya Tama mencari alamat sekolah michelle. Hanya dengan bertemu michelle lah kemungkinan besar rasa penasaran Tama akan terjawab. Begitu yang Ia pikirkan.

Pukul 13:00 di depan sekolah michelle. Tama menunggu dalam mobilnya sambil terus menatap ke arah gerbang sekolah. Menanti kemunculan michelle. Bel pulang sekolah tidak juga berbunyi meski Tama sudah menunggu hampir lebih dari satu jam. Tapi Tama tidak menyerah. Tepat pukul 15:00 akhirnya jam pulang sekolah tiba. Bel berbunyi siswa siswi berhamburan keluar. Tama keluar dari mobilnya mencari-cari keberadaan michelle. Tama pikir akan mudah menemukan gadis remaja berwajah blasteran seperti michelle. Namun rupanya sekolah internasional ini dibuat memang khusus anak-anak blasteran atau WNA yang tinggal di indonesia. Meski banyak juga pribuminya, tapi tetap saja Tama tak dapat menemukan michelle. Tama tidak ingin menyerah. Ia hentikan anak-anak yang keluar gerbang. Satu persatu Ia tanyakan. "Hei, apa kamu kenal michelle, kira-kira dimana dia sekarang?" . Tanya Tama kemudian. Tapi tak satupun yang tau keberadaan michelle. Sampai akhirnya sekolah sepi, michelle tak juga muncul dari dalam sekolah.

Ketika Tama tampak menyerah dan akan masuk menuju mobilnya. Tiba-tiba Tama terkejut dengan kemunculan michelle yang menepuk bahunya.

"Bener Om Tama ya? Lho, lagi apa di sini?" . Tanya michelle sambil menepuk bahu Tama dari belakang. "Akhirnya Om ketemu kamu juga. Memang Om sengaja ke sini mau ketemu michelle ". Jawab Tama kemudian. "Ketemu aku? Ada apa Om" .

Tama dan Michelle duduk di sebuah cafe tidak jauh dari sekolah Michelle. Kira-kira, beginilah perbincangan mereka !

  • Tama : "Mungkin michelle bingung ya Om sengaja cari michelle sampai ke sekolah segala" .
  • Michelle : "ya pasti lah Om. Emang ada apa Om? ada yang penting sama Mommy? Kenapa gak disampaikan aja sendiri Om?" .
  • Tama : "Michelle kan tau mommy michelle ngga mau kasih alamat kalian ke Om. Gimana Om mau ketemu Mommy kamu? Mungkin mommy takut jadi gak enak kalo pas Om dateng saat ada daddy kamu di rumah".
  • Michelle : "ih Om ada-ada aja, aku mana punya daddy" .
  • Tama : "Hah? Kamu gak punya Daddy gimana maksudnya?" . (Dengan wajah sangat terkejut)
  • Michelle : "Iya Om, mommy and daddy aku emang ga pernah nikah. Gak ada satupun dari mereka yang mau jelasin ke aku yang sebenarnya gimana. Cuma yang aku tau, mommy really hate Daddy. Saat Daddy datang, mommy selalu menghindar dan hanya biarkan aku dan daddy ngobrol tanpa ada mommy. Kita jarang sekali kumpul bertiga Om. Aku gak pernah punya keluarga yang utuh. Jadi daddy datang hanya sekali sebulan untuk lihat perkembangan aku. Kata oma, mommy sebenarnya gak cinta sama daddy. Tapi aku disuruh tanya sendiri ke mommy nanti saat aku udah 17 tahun. Padahal I feel not a child anymore. But no one want reason to me why my family's broken. Maaf Om, aku jadi nangis.
  • Tama : "Maaf ya Michelle, jadi buka luka hati kamu. Apa boleh Om main ke rumah kamu? Kalo boleh yuk sekalian om antar kamu pulang".
  • Michelle : "I'm so happy now, because gak pernah lihat wajah mommy yang kelihatan happy banget ketemu teman lamanya seperti Om. Makanya aku senang waktu mommy ketemu Om di cafe kemarin. Pulang dari cafe mommy bengong-bengong sendiri kemudian smiling. Ayo Om kita pulang. Mudah-mudahan mommy mau terima kedatangan Om ya, karna kemarin mommy gak kasih ijin aku untuk kasih alamat kita ke Om".

Sesampainya di rumah Michelle, Tama sedikit terkejut. Karna ternyata rumah michelle atau Rima tidak jauh dari rumahnya. Bahkan hanya berbeda beberapa blok. Tapi menurut michelle, mereka sudah tinggal di rumah itu sejak umur michelle 8 tahun. Artinya selama 8 tahun ini sebenarnya mereka tinggal berdekatan. Ya Tuhaaan, kenapa tidak pernah sengaja ketemu sekalipun padahal jaraknya amat dekat. Memang jika Allah sudah berkehendak meski wajah di sebrang matapun tidak akan nampak. Michelle menekan klakson mobil Tama keras-keras, kemudian menjulurkan kepalanya keluar jendela agar satpam penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Segera satpam bergegas mendorong pintu besar besi itu terburu-buru karna takut nona besar tidak sabaran seperti biasa.

"Lho Non gak pulang sama Mang Parmin?" . Tanya satpam rumah kepada michelle. "Ngga pak, tolong yah telponin mang Parmin. Bilangin saya udah pulang. Tadi lupa banget kabarin mang Parmin. Jangan-jangan masih nunggu di sekolah" . Jawab michelle kemudian. Dia sungguh lupa telah membiarkan supirnya menunggu di sekolah begitu lama. Tamapun jadi merasa tidak enak. Harusnya Ia sadar bahwa anak seperti michelle pastilah selalu di antar jemput supir pribadi. "Pak, mommy at home?" . Tanya michelle kepada satpam. Pak satpam yang sudah terbiasa berbincang dengan anak majikannya yang masih berbahasa campuran ini menjadi terbiasa dan paham maksud ucapan michelle meski tidak terlalu tau artinya. "Ada Non di dalam" . Jawab Pak Satpam kemudian.

"Ayo Om kita masuk" . Ajak michelle kepada Tama sambil menggandeng tangan Tama yang sedang kelihatan ragu-ragu takut kehadirannya di tolak Rima. Akhirnya mereka sampai di ruang tamu. "Sebentar ya Om, aku panggil Mommy" .

"What have you done Michelle? You dont know masalah apa yang sedang kamu hadapi saat ini. Kenapa tidak minta persetujuan mommy dulu mau ajak Om Tama ke rumah? Mommy sudah larang michelle untuk kasih alamat kita ke Om Tama. Kenapa malah kamu ajak dia sekalian datang ke sini?" . Terdengar suara Rima sedikit keras memarahi anaknya karna kedatangan Tama. Tama yang mendengar merasa tidak enak. Tapi Ia tetap ingin bertemu Rima. Apapun yang terjadi. Tama ingin semuanya jelas. Tama tidak ingin Ia salah paham belasan tahun ini. Ia ingin Rima menjelaskan kepergiannya selama ini sampai-sampai dia melahirkan michelle tanpa suami. Terlebih lagi dipikir-pikir, umur michelle persis selama Tama kehilangan Rima selama ini. Michelle lahir saat itu. Menurut perhitungan Tama, Rima mengandung michelle saat Ia masih di bangku SMA. Saat Ia memutuskan untuk tidak ingin bertemu Tama lagi. Apa yang sebenernya terjadi. Siapa yang menghamili Rima dan kenapa Rima tidak mau dinikahi.

"Mommy never explain to me that what happened with daddy padahal aku sudah sebesar ini mom. Aku sudah bisa paham apa yang harus aku dengarkan dan terima. But mommy always menghindar setiap kali aku tanyakan itu sama mommy. Sekarang Om Tama hadir dan aku merasa ini ada sangkut pautnya dengan Om Tama yang mommy bilang hanya teman lama mommy. Mom, aku hidup sama mommy bukan setahun dua tahun mom, tapi since I was born. I never seen you smiling as yesterday after we met him mom. Aku mereasa mommy ada sesuatu dengan Om Tama. Mommy harus jelaskan ke aku dan biarkan Om Tama bertemu mommy karna aku juga want to know why Om Tama really want to meet you mom" .

Michelle memohon kepada Ibunya untuk segera menemui Tama di ruang tamu dan biarkan semuanya menjadi jelas. "Please mommy. I'm not a child anymore. I can accept anything about your past mom" . Rima menghela nafas dan berkata pada putrinya bahwa Ia belum siap untuk bertemu Tama. "I want explain everything you wanna know, but I dont want to meet him now. Please honey, jangan paksa mommy. Pokonya michelle suruh Om Tama pulang dan mommy janji akan ceritakan semuanya. Kisah kamu di lahirkan dan kenapa mommy ngga pernah getting married with your daddy and everything what you need to know. Please, minta Om Tama pergi sekarang juga" . Akhirnya michelle mengalah, kemudian bergegas ke ruang tamu untuk menemui Tama dan menjelaskan bahwa mommy nya belum ingin bertemu.

Tama tidak mau menyerah. Ia memaksa masuk sambil berteriak seolah di rumah itu hanya ada Ia dan Rima. "Rima please. Udah belasan tahun berlalu dan kamu masih mau menghindari aku. Apa salahku? Kenapa kamu begitu jahat berbuat begini. Aku ini laki-laki dewasa. Sudah bukan cowok SMA yang mengejar-ngejar kamu demi mendapatkanmu sesaat. Aku mohon Rima. Satu-satunya cara supaya aku terlepas dari bayang-bayang kamu selama hidupku cuma penjelasan dari kamu. Seberapapun menyakitkannya, seberapapun mengecewakannya aku janji setelah ini aku akan menghilang dari kehidupanmu dan menjalani hidupku selamanya tanpa kamu. Tapi tolong Rima. Temui aku sebentaaar saja aku mohon" . Tama memohon dari balik pintu kamar Rima. Tapi Rima tidak juga keluar bahkan bicara. Ia terdiam dan tak tau lagi bagaimana cara meyakinkan Rima bahwa Ia hanya ingin penjelasan kemudian pergi menghilang dari kehidupan rumah tangganya.

- BERSAMBUNG -

Bagaimana kelanjutan kisahnya, apakah Rima akan membuka pintu kamarnya dan menemui Tama untuk memberinya penjelasan. Atau Rima tetap bungkam dan tidak ingin Tama mengetahui masa lalunya yang pahit.

Nantikan kelanjutan kisahnya di "Cinta Pertama" episode 3.

Oleh ;

Upay

Selasa, 19 Mei 2020

I'm Stalker and I'm Proud

Setiap orang pasti mau orang yang mereka cintai bisa membalas perasaan mereka.

Entah itu sebagai pacar, selingkuhan atau dalam bentuk apapun itu yang penting Si Dia mau membalas

perasaan kita. Oh iya, cerita ini gue tulis berdasarkan pengalaman hidup gue. Alias asli. Cerita kali ini kiriman dari Steven Wijaya. Ceritanya inspirasi dari kisah sendiri katanya. Dan tidak ada satu katapun yang saya edit dalam cerita Steven. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Semuanya terjadi pada pertengahan tahun 2013. Waktu itu gue masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Jika dibandingkan dengan murid-murid lain gue ini lebih mirip tipe murid eksentrik. Gue nggak terlalu tertarik pada pergaulan begitu juga dengan yang namanya medsos. Menurut gue itu semua hanya buang-buang uang. Gue memang tinggal di kota besar, tapi telponan sama tetangga sebelah aja udah lebih dari cukup daripada harus eksis di medsos.

Jadi gini, waktu itu jam pelajaran ketiga. Gue lagi sibuk-sibuknya nyari penghapus karena waktu itu kebetulan lagi ulangan harian dadakan. Biasa, guru-guru SMP emang suka bengis sama anak kelas 3.

Udah minjam sana-sini masih aja nggak ketemu. Hampir semua teman kelas yang gue pengen minjem jawabannya. “Sorry, udah gue pinjemin ke Rika.” “Yah, cuman satu.” Tapi ada juga yang cuek bebek. Gue frustasi. Waktu tinggal beberapa menit lagi.

Tiba-tiba ada tangan yang ngulurin sebuah penghapus ke gue.

“Nih, jangan lupa nanti dibalikin.” Katanya sembari tetap fokus ke kertas ulangannya.

“M-Makasih..” gue langsung balik ke tempat duduk dan lanjut ngerjain nomer 4 sama 5.

Aneh, gak biasanya dia baik sama gue. Namanya Alina. Anaknya cantik putih tinggi lagi. Anak kelas banyak yang pada ngejar dia tapi semuanya pada gagal total. Katanya sih Alina itu “Belok” tapi gue gak percaya kalau belum lihat dengan mata kepala sendiri. Kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya.

Pulang sekolah gue sempat ngelirik Alina bentar. Siapa tahu dia ngungkit dikit soal yang tadi. Tapi hasilnya nihil. Dia juga kayaknya nggak tertarik ngobrol sama gue. Yah, wajar sih. Siapa juga yang mau ngobrol sama anak gak keren gak beken gak ada gaul kayak gue? Dia itu primadona kelas, jadi normal-normal aja kalau dianya gak mau ngobrol sama gue.

Sampai rumah, gue masih kepikiran sama dia. Pas makan malam, tetap aja masih kepikiran. Gue coba mandi tengah malam, tapi sama aja gak ngaruh malahan badan gue jadi kedinginan.

Gue mau ketemuan sama dia.

Itu yang ada di pikiran gua dari tadi. Tapi gimana? Sekarang jam 2 lewat, siapa yang mau diajak keluar jam segini? Lagian kalau dia belum tidur belum tentu juga dia mau jalan sama gue. Dari satu sampai sepuluh kemungkinan gue pasti 0,08 %

Satu-satunya alternative adalah ngecek medsos-nya dia. Gue baru sadar kalau gue ini sebenarnya gak punya satu pun akun medsos. Akhirnya gue mutusin ketik aja nama dia di google. Kurang lebih gini tulisannya.

“Alina Ales*****a SMA 1 ******”

Kurang lebih begitu. Dan emang, namanya orang mujur gue langsung ketemu akun Instagramnya. Gue pelototin satu persatu foto-fotonya sampai mata gue serasa perih. Tapi gue senang bisa memuaskan rasa penasaran sekaligus kangen. Tiba-tiba gue sadar.. gue udah jatuh cinta sama Alina.

Keesokan paginya gue ketemu lagi sama dia. Gue sengaja nyari-nyari alasan buat ngobrol. Tapi naas, dianya pura-pura budeg. Gue tahu kalau orang kayak gue nggak mungkin bisa bicara sama dia. Tapi gue pengen bicara! Gue pengen tahu gimana kabarnya! Gue pengen tahu tadi malam dia makan apa! Tapi semua itu sia-sia karena kondisi gue yang sekarang. Gue nyesel karena gak jadi anak gaul.. gue nyesel dulu gak mau pake medsos..

Penyesalan selalu datang dari belakang.

Pulang dirumah gue mengulangi rutinitas tadi malam. Tapi kali ini bukan cuman Instagram. Twitter, Path, FB gue embat semua. Semakin lama gue semakin ngerasa dekat sama dia walaupun bukan dengan cara yang benar. Gue memberanikan diri bukan hanya stalking di medsos, tapi juga di dunia nyata.

Pulang sekolah, biasanya dia main ke mall sama teman-temannya. Sampai di rumah jam 4 lewat. Kalau hari libur pasti cuman dirumah. Jarang keluar. Dia punya anjing besar, namanya Franky. Bokapnya kerja di sebuah perusahaan. Nyokap ibu rumah tangga. Kakaknya udah kuliah.

Gue tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk dekat sama Alina.

Namun semua itu tidak berlangsung lama. Gue ketahuan lagi ngikutin dia pas di mall ******. Gue ketangkap basah sama teman-teman kelas. Keesokan harinya gue digebukin habis-habisan. Untung tangan gue gak patah. Berkat kejadian itu gue jadi terkenal sampai ke penjuru sekolah. STALKER dari KELAS 9-D. Itu sebutan baru gue.

Sejak hari itu Alina menatap gue dengan jijik. Gue juga dipandang semakin rendah sama anak-anak kelas.

Setelah hari terakhir ujian nasional. Gue sengaja memberanikan diri buat nembak Alina. Waktu itu dia lagi duduk di taman. Keadaan begitu hura-hura. Semuanya penuh canda dan tawa.

“Lin.. gue mau bilang sesuatu ke elo..” gue menelan ludah.

“Bilang apaan?”

“Pertama gue mau minta maaf, sebenarnya selama ini gue udah stalking lo terus. Terus,” gue menahan napas. “Gue suka sama elu. Mau gak jadi pacar gue?”

Alina memandang dengan tatapan kosong. Gue udah bisa menebak kemana arus pembicaraan ini. “Maaf. Gue gak tertarik pacaran sama orang kayak, lo.” Alina segera bangkit dan berjalan melewati gue.

Tapi tiba-tiba dia berhenti tidak jauh dan menambahkan. “Kalau aja lo lebih jujur, lebih berani dan lebih awal bilangnya. Gue mau kok pacaran sama lo. Lo nggak perlu ngelakuin itu semua. Lo itu orang baik.”

Alina segera berlalu dan berjalan menjauh. Hari yang menurut teman-teman kelas salah satu hari paling bersejarah jadi hari paling tidak mengenakkan bagi gue.

Setelah masuk SMA gue belajar bergaul gue juga punya banyak akun medsos. Gue berubah 180 derajat berkat kata-kata Alina.

Suatu hari pas lagi nongkrong di kafe gue ketemu Alina. Kami bertukar kabar. Ada yang aneh, dia jadi lebih terbuka sama gue. Oh iya, gue lupa. Gue kan sekarang anak keren. Siapa coba yang gak mau sama gue yang sekarang.

Setelah bertukar nomor telpon gue dan Alina jadi tambah dekat. Tambah dekat setiap harinya. Sampai suatu hari Alina ngajak gue ketemuan.

“Ven, lo udah berubah banget, ya. Gak kayak waktu SMP dulu.”

“Kan semua ini berkat kamu waktu itu.” gue menyeduh kopi hangat berusaha terlihat cool.

“Ngomong-ngomong, Ven…” Alina tiba-tiba memegang tangan gue. “Gue udah nunggu 2 tahun buat hari ini. Gue masih suka sama lo. Gue janji bakalan jadi pacar lo yang paling setia..”

Gue hanya diam sambil memandangi wajah Alina yang malu-malu. Gue tersenyum tipis. Hanya ada satu jawaban untuk situasi ini. “Gue juga masih suka sama lo.” Mendadak roman wajah Alina berubah. “Tapi maaf, gue tahu lo udah ada cowok. Darimana gue tahu? Gue masih sering stalker wall, lo. Gue masih suka ngikutin lo kemana-mana. Lo kira hanya gara-gara kejadian waktu itu gue mau tobat? BODO!”

Gue mungkin sudah membuang kesempatan sekali dalam seumur hidup. Tapi siapa yang peduli? Hidup hidup gue, masalah masalah gue, kenapa lo yang pusing? Heran gue.

Jujur aja, setelah gue bilang begitu pas pulang gue nyesel banget sampai mau nangis. Tapi gue sadar ini jalan hidup gue. Dan gue bangga bisa jadi Stalker.

* S E L E S A I *

Dunia Tanpa Iblis dan Setan

Namun apa yang terjadi ketika Allah mengabulkan apa yang dimohonkan nabi Sulaiman?

Mari simak kisahnya !

Iblis merupakan makhluk laknatullah yang akan menggoda manusia agar memilih jalan menuju neraka. Sejak baru lahir hingga manusia menuju ajal, tidak akan pernah lepas dari godaannya. Golongan ini tidak akan membiarkan Bani Adam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Banyak manusia berpikir, jika demikian jahat iblis tersebut, mengapa Allah tidak membinasakannya saja. Tapi Allah tentu tidak menciptakan makhluk ini tanpa fungsi. Pernah suatu ketika, Nabi Sulaiman AS memohon kepada Allah untuk menangkap iblis dan memenjarakannya.

Nabi berharap ketiadaan iblis akan membuat manusia hidup lebih tentram dan damai tanpa dosa. Namun, apa yang terjadi  setelahnya membuat Nabi Sulaiman kembali melepaskan makhluk tersebut. Sebenarnya kondisi apa yang dialami dunia tanpa iblis dan setan? Berikut ulasannya.

Kisah ini dipetik dari buku Kisah-kisah Allah karya Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh. Dalam sebuah riwayat diceritakan bagaimana Nabi Sulaiman AS memiliki kekuatan penuh menundukan kalangan manusia, jin dan hewan.

Bahkan setan-setan kala itu menjadi pekerjanya untuk membawa dan mengimpor batu batuan, pasir serta bahan bangunan lain untuk membangun bangunan bangunan megah. Namun meski dengan kekayaan dan kekuasaan tersebut, ternyata Nabi Sulaiman mencari makan dari rezeki yang diperolehnya dengan berjualan tas di pasar. Padahal, didapur sang raja setiap hari selalu dimasak 4.000 unta, 5.000 sapi, dan 6.000 kambing.

Di dalam buku tersebut dituliskan sebuah riwayat saat Nabi Sulaiman AS memohon kepada Allah agar diperbolehkan memenjarakan Iblis.

“Ya Allah, Engkau telah menundukkan padaku manusia, jin, binatang buas, burung-burung, dan para malaikat. Ya Allah aku ingin menangkap dan memenjarakan iblis, merantai serta mengikatnya, sehingga manusia tidak berbuat dosa dan maksiat lagi.”

Namun, permintaan ini tidak serta merta dikabulkan oleh Sang Pencipta. Allah Ta'alaa kemudian mewahyukan kepada Nabi Sulaiman, bahwa tidak ada baiknya jika iblis ditangkap atau dibinasakan "Wahai Sulaiman, tidak ada baiknya jika iblis ditangkap".

Tapi Nabi Sulaiman tetap memohon, "Ya Allah, keberadaan mahluk terkutuk ini tidak ada kebaikan didalamnya".

Allah berfirman, "Jika iblis ditangkap maka banyak pekerjaan manusia yang akan ditinggalkan. Nabi Sualiman berkata, "Yaa Allah. aku ingin menangkap mahluk terkutuk ini selama beberapa hari saja. Kemudian Allah mengizinkan Nabi Sulaiman untuk menangkap iblis dan memenjarakannya.

Keesokan harinya, Nabi Sulaiman mengutus pekerjanya untuk berjualan tas ke pasar. Namun sesampainya di pasar, ada hal yang tidak biasanya terjadi. Pasar tersebut kosong tanpa penghuni. Semua pedagang menutup dagangan mereka. Pekerjanya lalu memberitahukan hal itu kepada Nabi Sulaiman alaihissalam.

Nabi Sulaiman as,  bertanya :" Apa yang telah terjadi ?"

Pekerjanya menjawab, " Kami  tidak tahu ".

Pada malam itu, Nabi Sulaiman tidak makan dan hanya minum air saja.  Pada hari berikutnya, anak buah Nabi kembali ke pasar untuk berjualan tas. Namun hal yang sama kembali terjadi. Pasar kosong dan tidak berpenghuni.

Ternyata setelah dicari tahu, manusia lebih banyak memilih menutup pasar. Mereka pergi ke masjid, dan menuju kuburan untuk mengingat  kematian, menangis dan meratap. Mereka sibuk mempersiapkan bekal menuju ke akherat tanpa memperdulikan lagi keindahan duniawi.

Hal ini tentu membuat sang Nabi keheranan. “Apa yang sedang terjadi” pikirnya. Nabi Sulaiman lalu bertanya kepada Allah perihal ini. Kenapa orang orang tidak bekerja mencari nafkah ?

Lalu, Allah mewahyukan kepada Nabi Sulaiman, "Wahai Sulaiman, engkau telah menangkap iblis itu, sehingga akibatnya manusia tidak bergairah bekerja mencari nafkah. Bukankan sebelumnya telah Ku-katakan kepadamu bahwa menangkap iblis tidak mendatangkan kebaikan.

Mendengar jawaban Allah, Nabi Sulaiman kemudian melepaskan Iblis dan bala tentaranya. Dan benar saja, keesokan harinya pasar kembali ramai. Manusia kembali bersemangat bekerja mencari harta dunia untuk makan dan memenuhi kebutuhannya. Jadi jangan berprasangka buruk terhadap ciptaan Allah meksi dia kita anggap tidak berguna sekalipun. Karena Allah lah yang maha tahu apa yang Dia ciptakan.

Sumber asli artikel klik di sini !

Senin, 18 Mei 2020

Ridho Ilahi (Aku yang tahu rasaku)

Kusiapkan perlengkapan sholatku, kugelar sajadah, kuletakkan mukena di atas sajadah itu, kemudian bergegas mengambil wudhu di tempat khusus berwudhu tepat di samping mushola. Mas Rasya memang sangat menjaga ibadahnya dimanapun Ia berada. Itulah sebabnya mengapa rumah ini sengaja dibuat mushola di dalamnya, dengan tempat wudhu khusus disampingnya.

Alhamdulilah, aku mendapatkan suami sholeh yang luar biasa ibadahnya. Biasanya Mas Rasya yang membangunkanku di jam-jam sholat malam seperti ini. Namun semalam, Mas Rasya tiba-tiba ambruk. Badannya panas, juga mengeluh sakit kepala. Ku kompres dengan air hangat, kusuapi Ia makan, untuk kemudian meminum obat.

Sebetulnya Ia pernah berpesan padaku. Apapun yang terjadi padanya, entah Ia sakit atau sibuk, aku tetap harus mengingatkannya untuk sholat. Bukan sholat fardhu, karna menurutnya sholat fardu itu tidaklah pantas diingatkan. Sudah semestinya semua umat manusia mengingat jamnya menghadap Allah di dunia. Yang Mas Rasya maksud adalah mengingatkannya sholat-sholat sunnah. Seperti sholat malam yang biasa kami lakukan setiap hari. Tapi rasanya hari ini aku tak tega membangunkannya dengan keadaan seperti ini. Kupegang keningnya masih sedikit panas. Biasanya dia akan sangat menyesal jika aku sholat sendiri meninggalkannya. Tapi kali ini sungguh aku tak sanggup membangunkannya. Jadi kubiarkan Ia terlelap.

Seperti biasa Ia terbangun sebelum tepat adzan subuh. "Lho Um, koq gak bangunkan Abi? Sudah mau subuh, jadi Abi ketinggalan sholat malam dong?'. Tanyanya padaku dengan wajah kecewa. Aku sebetulnya seringkali merasa tidak enak jika Mas Rasya kecewa dengan perlakuanku. Meski semenjak menikah empat tahun yang lalu aku sering membuatnya kecewa atau terluka entah dengan perkataan atau perbuatan, tapi Mas Rasya tidak pernah sekalipun marah padaku. Sungguh Imamku yang luar biasa. Allah mengkaruniakan suami yang begitu luar biasa untukku. Terima kasih ya Allah.

"Maaf Abi, Umi gak tega. Abi kan lagi kurang sehat. Tadi tepat jam dua Umi mau bangunin Abi. Tapi setelah Umi cek kening Abi, masih agak panas. Jadi Umi sholat sendiri. Maafin Umi ya Abi. Umi cuma mau Abi istirahat lebih banyak dari biasanya biar cepet sehat lagi. Lagipula, bukankah Allah juga tidak suka sesuatu yang berlebihan atau dipaksakan?".

Mas Rasya terdiam sejenak mendengar penjelasanku. Namun tetap tidak mengurangi rasa kecewanya. Terlihat jelas di wajahnya Ia menyesal meninggalkan sholat malam karna sakit. Meski Ia menyadari perkataanku benar adanya.

"Ya udah Umi, ayo kita bersiap sholat subuh". Ajaknya kemudian. Kamipun menuju Mushola. Setelah berwudhu, sambil menanti adzan subuh, kami menyempatkan membaca Al-qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang. Kami menghentikan kegiatan sejenak untuk mendengarkan dan menjawab seruanNya.

Siang hari, setelah selesai berbenah rumah, mencuci, dan sebagainya, aku merenung di teras depan rumah. Aku terbayang, bagaimana jadinya jika nanti aku dipanggil lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa? Abi hidup sendiri di rumah ini, kemudian sakit seperti semalam. Ya Allah, siapa yang akan mengurus Abi? Air mataku menetes. Tak terasa semakin mengalir ari mataku mengingat kami sampai detik ini hanya hidup berdua saja.

"Ya Allah, sampai kapan hamba terus mendampingi suami hamba seorang diri. Sudah empat tahun Ya Allah. Hamba bukannya mengeluh atas apa yang menjadi keputusanMu. Namun, hamba memohon kepadamu ya Allah berilah kami keturunan agar kami dapat melahirkan generasi-generasi yang bertaqwa kepadaMu ya Rabb".

Tak putus-putus aku berdoa siang dan malam agar diberi keturunan. Namun sepertinya Allah berkehendak lain. Pasti ada yang Indah dibalik itu semua. Begitu pikirku dalam hati. InshaAllah, apapun yang terjadi dikehidupan kami, Abi selalu berpesan agar mengikhlaskannya dan khuznudzon kepada Allah. Dia yang Maha tahu apa yang baik bagi kami.

"Lho Ka, ngapain bengong aja sendirian disini". Sapa seorang gadis yang kebetulan lewat depan rumahku sambil mampir dan menaruh dagunya di atas pintu pagar. Buru-buru kuhapus air mataku yang sempat mengalir tadi.

"Eeeh Nissa. Mau ke mana? Siang-siang panas begini keluyuran. Ntar gosong lho". Kataku kemudian sambil meledek Annisa yang masih berdiri menyandarkan dagunya di atas pintu pagar. Annisa adalah gadis yang sangat cantik. Meski berhijab, namun Annisa tetap aktif di lingkungan kami. Dia juga mengajar di madrasah RW kami tanpa dibayar. Ia memang gadis cantik sholeha yang luar biasa.

Kadang aku berfikir, bagaimana jadinya jika Annisa aku lamar untuk Mas Rasya. Tapi tetap saja aku ini perempuan biasa. Tentunya itu hanya angan-anganku saja. Mana ada perempuan yang mau di madu. Sesholeha-sholehanya seorang perempuan, mustahil Ia tidak akan sakit hati dengan poligami. Begitu pikirku sejak dulu.

"Iya nih ka, mau ke warung. Gula, kopi, teh, semuaaanya habis. Jadilah abah merengut dirumah gak bisa ngopi. Hihihi". Jawab Annisa kemudian.

"Ooh ke warung. Pakai payung atuh neng, kesian kulit putihmu nanti jadi gelap. Hihihih".

"Ah kakak bisaan aja. Putih apanya. Ini udah empat kali lipat gelapnya dari kulit asli Ka, gara-gara acara outbond tempo hari sama anak-anak madrasah kemarin. Ya udah Ka, Nissa lanjut jalan dulu. Kesian Abah mau ngopi".

"Iya gih sana, jangan sampe Abah mencari-cari anak gadisnya yang cantik hilang entah ke mana. Hihihihi". Annisapun berlalu meninggalkan wajah cantiknya yang masih membayangiku setiap kali habis melihatnya.

"Kenapa gadis secantik Annisa belum juga menikah ya. Padahal umurnya juga udah lebih dari cukup". Batinku kemudian.

Annisa memang lebih muda lima tahun dariku. Jika tahun ini usiaku menginjak 33 tahun, maka Annisa sudah 28 tahun. Tentunya bukan umur yang masih muda untuk hidup sendiri. Aku mengerti jika perempuan seperti Annisa memang tidak mungkin menjalani kehidupan pacaran seperti gadis-gadis lain. Annisa adalah perempuan Sholeha. Diapun pernah mengutarakan InshaAllah jika menikah akan melalu proses taaruf sepertiku dan Mas Rasya.

Yang mengganjal dipikiranku, mengapa gadis secantik Annisa, belum ada juga yang mengajukan Taaruf kepadanya. Ataaau hanya aku tidak tahu saja. Mungkin sebenarnya pernah ada, tapi Ia menolaknya karna banyak hal. Bisa saja.

Satu yang aku tau pasti bahwa Allah berfirman "Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan yang baik pula, begitu juga sebaliknya". sehingga kupikir, mungkin Allah belum mendatangkan laki-laki Sholeh untuk Annisa. Semoga Annisa cepat menemukan jodohnya.

"Assalamualaikum....".

"Waalaikumsalam Abi". Jawabku sambil cium tangan suamiku yang baru saja pulang bekerja. Aku sambut dengan segelas teh hangat seperti kebiasaannya, kuraih tas yang masih menggantung ditangannya, kemudian memintanya duduk sejenak beristirahat.

"Abi gimana keadaannya, apa tadi jadi ke dokter?". Tanyaku penasaran melihat wajah lelahnya yang sepertinya belum pulih benar dari sakitnya.

"Abi tadi jadi ke dokter. Ada obat di tas. Kata dokter Abi cuma kelelahan koq Umi. Gak perlu khawatir". Jawabnya kemudian.

"Eh Abi, ngomong-ngomong gimana omongan Umi yang kemarin?".

"Omongan apa? Yang mana?".

"Ih Abi mah becanda, Umi serius Bi, itu looh tentang Annisa. Sepertinya dia akan cocok sekali jadi guru di sekolah Abi. Orangnya sabar ngadepin anak-anak, telaten, lagipula, kasihan Annisa di madrasah RW kita kan cuma sukarelawan. Kalo dia cuma mengandalkan jahitan yang dia terima untuk menghidupi keluarganya, rasanya Umi kasihan".

"Yaah kalo Umi kasihan kan mendingan Umi kasih aja apa yang Annisa butuhkan".

"Iiih Abi, gadis cerdas seperti Annisa mana mau dikasih cuma-cuma Bi. Umi pernah tanya sama Annisa. Kenapa pendidikan sarjananya gak dipakai melamar pekerjaan yang lebih layak? Abi tau gak Annisa jawab apa?".

Mas Rasya hanya tersenyum-senyum kecil mendengarkan rengekan permintaanku untuk menerima Annisa di sekolahnya yang Ia kelola sendiri. Alhamdulilah meski tidak besar, tapi Mas Rasya sanggup mendirikan sekolah Islam di kota Jakarta yang kehidupannya keras ini. Sehingga, kami tidak perlu terlunta-lunta bekerja di perusahaan yang tidak sejalan dengan visi misi kami sebagai umat muslim yang mencari Ridho Allah.

"Iya Umi, Abi inget koq. Abi inget betul obrolan kita itu. Abi juga merasa Annisa sepertinya memang satu visi misi dengan kita. Cocok kalo jadi ustadzah di sekolah Abi. Tapi tetap aja Umi, Abi kan  harus membicarakan dulu dengan dewan guru di sekolah. Bagaimanapun, mereka harus menyetujui keputusan kita. Meski sekolah punya kita sendiri, tetap saja jangan sampai mereka berpikir kalau kita menjurus ke praktek kolusi. Coba Umi bicarakan dengan Annisa. Apa Annisa bersedia di test dulu di sekolah Abi, agar kami dewan guru juga tahu, pendidikan apa yang cocok diajarkan Annisa di sana".

"Baik Abi, nanti InshaAllah Umi akan bicarakan dengan Annisa. Tapi Abi janji ya, usahakan dewan guru setuju menerima Annisa".

"Aduuuh istri Abi nih luar biasa banget kalo mau ngebantu orang. Gak nanggung-nanggung". Ujar Mas Rasya sambil mengelus-elus kepalaku. Rasanya adeeem sekali tiap kali Mas Rasya mengelus kepalaku. Seolah, aku adalah makhluk yang paling disayangnya setelah Allah SWT. tentunya.

Esok harinya tanpa buang waktu lama, aku menghubungi Annisa agar mampir ke rumah untuk membicarakan hal itu. Tanpa di duga, ternyata Annisa senang sekali dengan tawaranku dan Mas Rasya.

"MasyaAllah Kak, Nissa seneng banget kalo bisa kerja di tempat yang dekat dengan Allah. InshaAllah, Nissa mau terus mengabdi dengan pekerjaan yang mendekatkan Nissa kepada Allah".

Begitu jawaban Annisa. Sungguh gadis luar biasa yang sholeha. Dijaman yang serba canggih dan modern ini Annisa bahkan tak tertarik dengan dunia gaul yang serba glamour. Padahal Ia cantik, percaya diri, dan pasti Ia menyadari bahwa dirinya memang menarik. Tapi hal itu tidak lantas membuat seorang Annisa menjadi gadis yang norak, alay, sok gaul, dan lain sebagainya seperti kebanyakan anak-anak muda jaman sekarang.

Singkat cerita, karna kecerdasan dan pesona yang dimiliki Annisa, tidak butuh banyak waktu untuk membuat para guru di madrasah Mas Rasya menerima Annisa sebagai guru di sana. Tanpa terasa sudah beberapa bulan Annisa mengajar di sana. Ia tetap mengajar di madrasah RW setiap sorenya. Karna panggilan jiwa. Ia tidak mungkin meninggalkan madrasah yang sudah lama menjadi bagian hidupnya demi mengejar pekerjaan yang menjanjikan gaji besar. Itulah Annisa. Gadis luar biasa.

"Abi, kenapa sih gak pulang bareng Nissa aja. Kalian kan searah?". Tanyaku pada Mas Rasya malam itu. Aku pikir Mas Rasya bisa membantu Annisa untuk lebih cepat sampai ke madrasah RW jika memberinya tumpangan.

"Demi Allah Umi, bukannya Abi tidak mau menolong. Tapi kan Umi paham agama bukan? Abi itu bukan Mahromnya Annisa. Apa kata orang kalo setiap hari pulang bareng. Abi gak mau menimbulkan fitnah Umi. Lagipula, sesekali mah pernahlah Abi menolong Annisa cepat sampai ke madrasah RW. Itu waktu ada kejadian siswi yang katanya kesurupan. Naah kalo keadaan mendesak yang genting seperti itu, Abi masih bisa menolong. Tapi jika tidak ada kebutuhan mendesak, rasanya kurang pantas Umi".

Aku tersenyum puas mendengar penjelasan Mas Rasya. Bukannya senang karna Mas Rasya jauh-jauh dari sicantik Annisa. Masa iya aku menyesal setelah membantu Annisa menjadi pengajar di sekolah Mas Rasya dan jadi cemburu karna sekarang mereka bisa bertemu setiap hari. Toh itu keinginanku.

Aku tersenyum senang karna Mas Rasya rupanya tidak tergoda dengan rupa Annisa. Meski Annisa secantik bidadari namun Mas Rasya sudah punya bidadarinya sendiri di rumah. Begitu katanya. Kalimat itu yang membuat aku tersenyum-senyum.

Suatu ketika, aku sempat berfikir. Mungkinkah Annisa dapat menolong kami memiliki keturunan. Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas dalam benakku. Jika saja bisa seperti itu, mungkin aku harus ikhlas dipoligami oleh Mas Rasya. Jika benar kami bisa memiliki keturunan dengan melamar Annisa untuk Mas Rasya, kami akan sangat tertolong. Tapi, apakah iya hatiku siap untuk ini?

Rasanya tidak mungkin. Namun begitu, aku mencoba mengutarakan perasaanku pada Mas Rasya. Aku sama sekali tidak membayangkan apa tanggapan Mas Rasya. Mungkin dia akan senang, atau mungkin sebaliknya malah akan marah.

Mengingat mas Rasya tidak pernah marah sekalipun padaku, aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku benar-benar membicarakan hal ini padanya. Maka malam itu, aku coba bicarakan dengan Mas Rasya. Hati kecilku berharap Mas Rasya menolak. Tapi hatiku yang lain tetap mengharapkan hadirnya seorang buah hati ditengah-tengah keluarga kami.

"Abi, Mmmh.... Umi mau ngomong. Tapi janji Abi jangan marah ya". Pintaku padanya sambil sibuk memainkan jari karna gugup. Sepertinya Mas Rasya paham betul kalau istrinya ini sedang gugup. Kemudian Ia mengambil tanganku, memegang dengan erat, mengelusnya,  kemudian mencium tanganku yang Ia raih sambil berkata.....

"Apakah selama pernikahan kita, Abi pernah marah? Jika iya, maka saat ini juga, Abi memohon supaya Umi mau maafin Abi. Mungkin Abi khilaf saat itu. Tapi jika menurut Umi, Abi tidak pernah marah. Maka untuk apa ragu membicarakan apa yang ada dihati Umi? Coba ngomong, Umi mau apa dari Abi?".

"Mmmh... begini Bi, Umi merasa sepi tanpa seorang anak. Umi pingin ada anak ditengah-tengah keluarga kita. Apa mungkin Abi setuju kalo kita punya anak segera, meski bukan dari rahim Umi?". Tanyaku perlahan-lahan.

Mas Rasya menghela nafas panjang. "Sebetulnya ya Umi, Abipun merasa demikian".

Waduh, aku deg-degan, semakin tegang dengan jawaban Mas Rasya. Gawat, air mataku pasti meleleh jika mendengar Abi setuju untuk menikah lagi agar punya anak. Aku yang sok tegar, aku yang sok kuat, tapi kini jadi menciut, melemah baru mendengar kalimat pertama Abi.

"Ya Allah, tolong kuatkan hamba mendengar jawaban suami hamba. Jangan biarkan air mata ini menetes".

Selama ini aku adalah perempuan yang paling yakin bahwa suami yang dicintainya ini adalah suami yang nyaris sempurna dalam memperlakukan istrinya. Sangat tidak mungkin Ia menyakiti hati istrinya. Tapi kali ini, sepertinya aku harus menanggung sikap sok ku sendiri. Sok kuat, sok tegar, sok mau dipoligami. Padahal sebetulnya aku sama sekali tidak ingin mendengar jawaban Suamiku mengiyakan.

"Aduh, kenapa aku jadi suudzon, kan Abi belum selesai bicara". Pikirku dalam hati. Akhirnya Abi melanjutkan pembicaraannya.

"Umi betul sekali. Empat tahun kita menikah. Belum juga dikaruniai anak. Mungkin Allah mentakdirkan kita memiliki anak dengan cara lain".

Mendengar itu, hatiku makin kacau. Makin merasa teriris. Tapi sekali lagi. Aku harus kuat. Toh aku yang memulainya.

"Lalu, menurut Abi gimana?". Tanyaku kemudian sambil menatap wajahnya yang masih tersenyum.

"Abi sih setuju aja kalo kita mengadopsi anak, tapi Umi harus yakin pilih tempatnya. Apakah di yayasan yatim piatu atau Umi sudah punya keluarga yang anaknya mau kita adopsi. Bagaimanapun kita tetap harus mengadopsi anak dengan cara yang syariat dan harus tau juga cara-caranya secara Islami. Umi harus belajar juga bagaimana status anak nantinya ketika sudah besar. Jika laki-laki apakah lantas menjadi mahrom Umi atau tidak, begitu juga sebaliknya. Jika mengadopsi anak perempuan, apakah statusnya jadi mahrom Abi".

Lho...Lho...koq Mas Rasya malah mikir begini. Apa aku gak salah denger. Rupanya Mas Rasya salah tanggap dengan niatanku. Meski begitu, aku tersenyum lega. Jadi tadi itu aku cuma benar-benar suudzon tanpa sengaja. Apa yang aku pikirkan dengan apa yang dipikirkan Mas Rasya jauh berbeda.

Aku betul-betul tersenyum lebar saat ini. Tapi Mas Rasya jadi bingung dengan tingkahku.

"Umi kenapa malah senyum-senyum?". Tanya Mas Rasya kemudian dengan wajah sangat penasaran.

"Ngga papa Abi, Umi cuma gak habis pikir dengan jawaban Abi. Ternyata Umi cuma salah tanggap. Kenapa Abi berpikir kalo Umi mau adopsi anak?". Tanyaku pada Mas Rasya yang masih kelihatan bingung.

"Lho, kan tadi Umi sendiri yang bilang mau segera punya anak meski bukan dari rahim Umi sendiri? Jadi apa dong maksudnya?".

"Emang Abi gak kepikiran kalo bukan dari rahim Umi, ya dari rahim istri Abi yang lain?".   Jawabku sambil tersenyum tipis.

"MasyaAllah Umi, jadi pikiran Umi begitu? Demi Allah yang Maha mengetahui segala-galanya Umi. Sama sekali Abi gak ada kepikiran ke situ. Abi betul-betul berpikir kalo Umi berniat mengadopsi anak dari panti asuhan atau dari keluarga lain. Lagi pula, Umi sadar dengan permintaan Umi? Abi gak pernah berpikir sampai ke sana karna Abi tau betul. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan yang rela dipoligami. Poligami itu bukan perkara main-main Umi. Jika nantinya malah menyakiti salah satu istri diantaranya, Abi yang berdosa. Sementara Abi gak akan pernah tau perasaan istri-istri Abi nantinya".

"Iya Abi, sebetulnya Umi juga gak mau berbagi dengan perempuan lain. Umi terlalu sayang sama Abi. Rasanya juga Umi bakalan sakit hati banget kalo Abi betul-betul menikah lagi. Ini sih baru omongan aja. Maksud Umi, apakah Abi ada pikiran ke arah sana".

"Ya ampun Umi, istri Abi sayang, bidadariku, InshaAllah Abi gak ada pikiran nyakitin hati Umi. Jadi Umi gak perlu khawatir masalah anak. Toh jika Allah berkehendak, suatu hari nanti pasti kita dikaruniai anak. Mungkin memang belum waktunya. Siapa tau cuma umur kita aja yang tua, tapi pikiran kita masih labil, sehingga Allah belum menurunkan makhluknya yang imut itu ke perut Umi. Sabar ya Umi. Jangan lagi membahas masalah yang nantinya malah Umi sendiri yang menyesal".

"Maafin Umi ya Abi". Kataku menyudahi obrolan agak ngawur malam itu. Jujur, malam ini hatiku merasa lega. Lantaran mengetahui suami terkasihku ternyata memang betul-betul tidak tertarik dengan makhluk cantik luar biasa bernama Annisa.

Namun entah kenapa, besoknya aku merasa ada yang aneh. Tiba-tiba saja keinginanku untuk melamarkan Annisa bagi Mas Rasya justru semakin kuat. Entah kenapa tiba-tiba saja aku sangat ingin Annisa menjadi saudariku di rumah ini. Namun lagi-lagi pikiranku terbelah dua. Annisa masih gadis, tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan luar biasa sholeha. Laki-laki mana yang tidak tertarik padanya. Jangankan laki-laki. Rasa-rasanya akupun sebagai seorang perempuan, sudah tertarik padanya juga. Tertarik dalam artian mengagumi sosoknya.

Aku memikirkan hal itu hingga membuatku merasa tidak enak badan, kepalaku pusing. Pikiranku kacau. Apa yang terjadi padaku. Tidak. Aku tidak mau Annisa menjadi istri Mas Rasya. Bagaimana mungkin Mas Rasya akan adil pada kami berdua. Mustahil. Cintanya pasti akan lebih besar kepada Annisa daripadaku nantinya. Tidak mau, aku tidak mau itu terjadi.

Rasanya aku jadi benar-benar sakit. Aku menghubungi Mas Rasya. Memberitaunya jika aku kurang enak badan. "Abi, rasanya Umi kurang enak badan. Kepala Umi sakit, mual juga. Kalo nanti Abi pulang, Umi lagi tidur-tiduran aja apa gapapa Bi atau mau tehnya dibuatkan sekarang? Jam berapa Abi pulang?".

"Umi sakit? Ya udah Abi segera pulang sekarang. Umi istirahat dulu sambil nunggu Abi dalam perjalanan ya. Tiduran aja jangan banyak gerak. Mungkin Umi juga kecapean".

"Eeeh Abi jangan. Kalo Abi masih ngajar ya lanjutkan aja. Umi kan cuma gak enak badan, paling juga minum obat masuk angin sembuh. Udah ya Bi, gak usah khawatirin Umi".

"Ya udah, Umi istirahat ya".

Kupikir, aku berhasil meyakinkan Mas Rasya kalau aku baik-baik saja, kupikir dia melanjutkan mengajarnya. Ternyata 30 menit kemudian, Mas Rasya sudah sampai saja di rumah.

"Assalamualaikum.....".

"Waalaikumsalam". jawabku sedikit kencang karna menjawab dari dalam kamar yang jaraknya lumayan jauh dari pintu depan.

Mas Rasya bergegas masuk kamar, meletakkan tasnya begitu saja dikursi depan. Ia seperti panik. Padahal aku hanya sakit biasa. Mungkin benar kecapean.

"Makanya, Umi jangan kebanyakan mikir yang bukan-bukan. Bukan hanya kelelahan, sepertinya Umi juga banyak pikiran. Jangan lagi mikirin masalah poligami. Umi tenang yah, Annisa akan tetap cantik sampai kapanpun dan Abi akan tetap Abi suaminya Umi yang cuma punya istri satu-satunya seperti Umi. Bidadari Abi yang gak ada tandingannya. Jangan banding-bandingkan dirimu dengan Annisa. Dan masalah keturunan biar Allah yang mengatur. Ingat itu".

Mas Rasya memapahku ke dalam mobil. Dengan sangat hati-hati, kulangkahkan kaki memasuki mobil. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit seperti ini. Betul-betul merasa tidak enak badan. Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit, Mas Rasya mendaftar ke IGD agar penanganannya lebih cepat dengan dokter umum terlebih dahulu.

kesimpulan dokter. "Ibu gak apa-apa koq Pak. Gak usah khawatir. Memang hal-hal seperti ini sudah biasa terjadi kepada Ibu-ibu yang hamil muda".

"Haaah? Hamil? Istri saya hamil dok?". Aku dan Mas Rasya saling pandang. Tidak lama kemudian kami saling berpelukan. Bahagia bukan main. Akhirnya Ya Allah, ya Rabbiku. Engkau Maha pengasih, penyayang, dan Maha segala-galanya. Doa kami terkabulkan.

"Alhamdulilah, dokter terima kasih banyak atas berita yang Alhamdulilah sangat baik ini".

"Iya Pak, selamat yah atas kehamilannya. Dijaga baik-baik istrinya. Jangan sampai kelelahan. Jangan lupa juga minum vitamin yang saya resepkan, dan datang kontrol sesuai jadwal ya Pak".

Iya Dok, InshaAllah, InshaAllah kami pasti akan menjaga dengan baik makhluk kecil ini".

Tanpa disadari, air mata kami berdua menetes saking bahagianya. Dokter terlihat bingung. Mungkin Ia penasaran.

"Apa ini anak pertama Pak?". Tanyanya pada Mas Rasya.

"Iya Dok, ini anak pertama kami, setelah menunggu hampir lima tahun lamanya, akhirnya kami dikarunai juga seorang anak. SubhanAllah Dok. Luar biasa rasanya".

Setelah itu kami pulang. Dalam perjalanan pulang, Mas Rasya terus menggenggam erat tanganku. Kami bahagia sekali. Akhirnya yang dinanti datang juga.

"Umi, gimana kalo kita cari ART untuk bantu-bantu Umi di rumah?".

"Lho, emang kenapa Abi? Umi sudah terbiasa koq merapihkan urusan rumah sendiri".

"Umi, ingatkan apa kata dokter. Rahim Umi harus dijaga betul-betul. Karna Umi sedang mengandung. Umi tidak boleh kerja terlalu berat. Lagipula, Abi pikir kalo ada orang di rumah kan bisa ngawasin Umi. Kalo nanti terjadi apa-apa sama Umi dan gak ada yang lihat gimana? Abi gak mau Umi kenapa-napa".

"Makasih Abi, tapi inshaAllah Umi bisa menjaga kandungan Umi. Jadi Abi gak perlu khawatir ya. Bukannya dulu Abi sendiri yang merasa risih karna ada si Mba di rumah yang bukan mahromnya Abi? Waktu si Mba pamit pulang karna mau menikah. Bukannya Abi yang merasa lega? Meski Abi berkali-kali meminta maaf ke Umi karna bikin Umi jadi ngerjain semuanya sendirian, tapi Umi paham koq kenapa Abi begitu. Nah kalo nanti ada ART lagi, kan repot kalo perasaan Abi masih sama seperti ada si Mba dulu. Abi tenang aja, kalo nanti ada apa-apa sama Umi, atau perasaan Umi gak enak, Umi akan telepon Ibu untuk minta tinggal bersama kita sementara. Toh Ibu sekarang tinggal sama Bang Saman dirumahnya".

"Ya sudah terserah Umi aja. Tapi janji ya, Umi gak boleh kerja berat-berat. Cucian, setrikaan gak usah dipegang. Biar Abi yang kerjakan pekerjaan itu. Yah Umi, tolong nurut sama Abi".

Aku tersenyum senang mendengar betapa suamiku sangat memperhatikan kami. Aku dan Buah hati yang ada dalam kandunganku sekarang. Kebahagiaan ini sudah didengar oleh guru-guru di sekolah, mereka tidak hentinya mengucapkan selamat. Termasuk Annisa.

Rasanya seru sekali saat Annisa datang ke rumah menjengukku. Ia heboh bukan main menyambut anak kami. Sepertinya seolah-olah, Ia yang sedang hamil. Empati Annisa membuatku makin kagum padanya. Dia mendekati telinganya ke perutku yang bahkan masih rata. Mengelus-elusnya kemudian bicara kepada si jabang bayi.

"Ya ampuuun dedeek, akhirnya kamu datang juga nak. Abi, Umi udah lama nunggu. Cepet besar yah, Sholeh sholeha, dan sehat terus. Aduuuh Bibi gak sabar nih liat kamu. Hihihih". Gumam Annisa sambil terus mengelus perutku.

Betapa menyenangkannya ada orang yang sama bahagianya dengan kita. Saat itu lagi-lagi aku berpikir, bagaimana jika benar kami satu rumah. Apakah kami masih bisa tetap seperti ini setiap hari, atau malah sebaliknya, akan lebih sering bersitegang dan berbeda pendapat.

Dulu pikiranku melamarkan Annisa untuk Mas Rasya, karna ingin sekali memiliki anak yang mungkin bisa dikandung Annisa. Tapi kini aku sedang mengandung, apa yang aku inginkan sudah tercapai. Namun mengapa pikiran poligami dalam otakku ini tidak juga mau pergi? Sebegini kagumnyakah aku pada sosok Annisa.

Waktu terus berjalan, tanpa terasa perutku sudah mulai membuncit. "Senang dan tidak sabar menanti kehadiranmu sayang". Gumamku sambil mengelus-elus perutku. Aku merasa ada dipuncak kebahagiaan kali ini. Namun ada yang mengganjal dipikiranku.

Kata orang, istilah morning sick pada Ibu hamil itu hanya terjadi di tiga bulan pertama. Tapi kenapa ya sampai detik ini, sudah empat bulan lebih, aku masih saja merasa sering mual dan tidak enak badan. Aku pikir mungkin karna memang aku sedang tak sehat, hari itu aku benar-benar membiarkan rumah sedikit berantakan, aku istirahat total di dalam kamar, tidak beranjak kecuali makan dan ke toilet. Karna aku betul-betul tak enak badan.

Mas Rasya pulang dengan kondisi rumah masih berantakan. Tapi Ia sangat memahami kondisiku yang sedang mengandung. Terlebih lagi, ini adalah moment-moment kebahagiaannya juga.

"Maaf Abi. Rasanya Umi masih aja gak enak badan sejak kemarin. Jadi tadi coba istirahatin badan". Kataku padanya yang sedang merapihkan ruang tamu, menyapu dan mengepelnya. Padahal sepulang kerja Ia belum duduk sedetikpun. Tapi Ia langsung mengerjakan pekerjaan rumah yang harusnya menjadi tanggung jawabku. Meski aku tau sebetulnya itu juga menjadi bagian dari tanggung jawab suami, tapi karna aku sudah terbiasa. Jadilah aku merasa itu bagian dari tanggung jawabku sendiri.

"Gak apa Umi, gak usah bantu. Umi tiduran aja ya. Nanti Abi buatkan bubur hangat ya biar perutnya enak. Kalo sampai besok Umi masih tidak enak badan, sebaiknya coba kontrol ke dokter ya Umi. Takutnya berkepanjangan".

"Iya Abi, inshaAllah Umi baik-baik aja". Jawabku kemudian. Hari ini Mas Rasya yang sibuk berbenah rumah dan menyiapkan makan malam. Mas Rasya memang sejak muda sudah pintar masak. Bahkan sepertinya masakannya lebih enak dari masakanku.

Sore hari Mas Rasya pulang. Aku baru saja dari Dokter. Seperti pesan Mas Rasya, jika masih saja tidak enak badan, aku sebaiknya kontrol ke dokter. Maka tadi siang aku pergi sendiri ke dokter. Karna tidak ingin Mas Rasya panik seperti yang sudah-sudah, jadi aku berpamitan pergi ke dokter ketika sudah sampai di Rumah Sakit.

"Maaf ya Abi, sekarang Umi ada di Rumah Sakit. Maaf Umi baru bilang dan gak pamit dulu sebelumnya. Soalnya Umi pikir, kalo Umi bilang masih gak enak badan dan mau kontrol ke dokter, Abi pasti pulang. Sedangkan pekerjaan di sekolah juga kan penting. Abi jangan tinggal-tinggal pekerjaan terus demi mengantar Umi kontrol. Cuma kontrol aja kan Umi bisa sendiri".

Itu kataku saat meminta izin ke Rumah Sakit pada Mas Rasya. Untungnya dia paham maksudku. Aku berbuat begitu hanya supaya dia tidak perlu memaksakan diri izin pulang dari sekolah untuk mengantarku ke Rumah Sakit.

"Jadi, apa kata dokter?". Tanya Mas Rasya begitu dia pulang dari mengajar sore itu. Aku terdiam sejenak. Tidak ingin membuatnya panik. Tapi sepertinya dia bisa membaca wajahku yang tidak biasanya ini.

"Umi, kenapa dengan kalian? Apa ada yang gawat? Umi sakit apa?". Tanyanya kembali karna melihat wajahku yang kelihatan gugup.

"Mmmh.... jadi gini Abi, sebetulnya Umi sih baik-baik aja. Cuma, kata dokternya, Umi harus benar-benar banyak istirahat dan tidak terlalu banyak gerak dulu. Karna kata dokter, kandungan Umi lemah".

Mas Rasya panik bukan main. Dia pikir ini hal gawat yang serius. Dengan wajahnya yang sangat panik, Ia meraih tanganku kemudian mendekapku sambil mengelus perutku.

"Umi sayang, mulai hari ini hentikan pekerjaan rumah sekecil apapun ya. Jangan paksakan. Abi mohon Umi nurut apa kata Abi ya. Biarin rumah berantakan, biarin cucian, setrikaan, menumpuk. InshaAllah Abi bisa nyambi ngerjain itu semua. Ya Umi ya? Pleeease".

"Iya Abi, InshaAllah Umi akan nurut sama Abi. Eh Abi, gimana kalo kita minta bantuan Annisa?". Tanyaku padanya. Berharap Ia mau mengerti.

"Maksud Umi? Masa Annisa disuruh kerja juga di rumah kita. Gak enak dong Umi". Jawabnya kemudian.

"Bukan Abi, bukan ngerjain pekerjaan rumah. Tapi, minta Annisa tinggal sama-sama kita untuk ngawasin Umi aja. Lagipula rumah Annisa kan tidak jauh dari sini. Menurut Abi gimana?".

"Umi ini ada-ada aja. Dulu bilangnya mau minta Ibu yang datang. Kenapa sekarang jadi minta Annisa? Umi ngidam ya? Jangan aneh-aneh dong sayang ngidamnya. Masa minta Annisa".

"Ah Abi, Umi kan cuma tanya. Kalo Abi gak setuju ya gak apa". Jawabku sambil merengek. Mas Rasya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku merengek.

Besoknya aku menghubungi Annisa. Bertanya sampai jam berapa Ia mengajar. Kebetulan hari ini dia tidak ada jadwal mengajar, hanya saja sebagai pegawai, tetap saja dia harus berada di sekolah meski tidak ada jadwal. Setidaknya kehadiran bagian dari pekerjaan juga.

Kemudian aku memintanya datang  ke rumah siang ini jika Ia bisa meminta izin. Entah kenapa aku ingin sekali ditemani olehnya. Tidak butuh waktu lama untuknya meminta izin. Begitu Ia bilang ingin menemani istri Bpk. Rasya yang tengah mengandung, siapa lagi yang bisa menolak izin tersebut.

Annisa datang ke rumah. Kami ngobrol banyak, tertawa, bercanda, makan banyak, juga sempat tidur siang. Annisa memasakan makanan kesukaanku. Capcay seafood. Luar biasa rasanya. Gak kalah dengan masakan Mas Rasya.

"Nis, menurutmu. Mas Rasya orangnya gimana?". Tanyaku pada Annisa yang sedang menyuap makanan ke dalam mulut dengan sendoknya.

"Mmmh, Mas Rasya itu baik banget, perhatian sama anak-anak murid, gak pernah marah, kalo ada murid yang salah atau nakal, dia akan dengan tegas memberi sanksi tapi tidak dengan arogan seolah beliau itu posisinya guru. Makanya Ka, Mas Rasya itu diseganin sama murid-murid. Mereka juga sayang sama Mas Rasya. Karna Mas Rasya bisa berperan sebagai guru, orangtua, dan teman sekaligus buat mereka. Itu sih yang aku dengar dari murid-murid".

"Ooo gitu ya Niss. Kalo sebagai suami. Menurutmu dia gimana orangnya?".

"Idiiih Ka Isah koq malah nanya Nisaa. Itu kan Ka Isah yang tau. Aneh deh. Udah deeeh Ka Isah jangan mancing-mancing. Bilang aja mau nanya kapan Nissa kawin? Iya kan? Ih Ka Isah sama aja nih sama ibu di rumah. Nanyanya ituuu mulu. Padahal nanti, kalo ketemu jodohnya juga Nissa pasti kawin Ka. Itu juga yang Nissa bilang sama Ibu. Tapi tetep aja. Ibu, Bapak, Bahkan Ka Isah nanyain mulu".

"Loooh Koq kamu mikirnya gitu. Coba, mana kalimatku yang mempertanyakan itu? Memangnya dari tadi aku nanyain itu ke kamu? Yeeeh GR aja deh. Itukan urusanmu. Mau kapan nikahpun itu kamu yang jalani, jadi ya buat apa aku tanya-tanya terus. Yang aku tanyakan tadi kan bagaimana menurutmu seorang Mas Rasya jika jadi suami? Bukannya itu pertanyaanku?".

"Naaah ini nih. Pertanyaan Ka Isah itu jauh lebih aneh dari pertanyaan Ibu Bapak Nissa kapan Nissa kawin? Suami sendiri koq gak bisa menilai. Gimana toh Ka Isah ini. Apa gak aneh namanya, nanyain karakter suami sama perempuan lain?".

"Yeeeh kamu ditanya malah balik bertanya. Kalo menurut aku sih ya. Mas Rasya itu orangnya SUPER DUPER KEREN. Gak pernah marah, mau mengerjakan pekerjaan rumah, sabar, rajin ibadahnya, sholeh, cocok jadi Imam. Pokoknya beruntung banget perempuan yang jadi makmumnya".

"Ka Isah demam yah? Masih sakit?".

"Ih, apa sih kamu. Aku kan cuma ngomong apa adanya".

"Yah ngapain juga ngomongin kebaikan suami sendiri ke perempuan lain coba. Ka Isah aneh-aneh aja. Trus kalo nantinya Nissa jadi tertarik sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah cerita-cerita yang baik-baik mulu tentang Mas Rasya, siapa yang salah coba? Kalo nanti Nissa jatuh cinta sama Mas Rasya gara-gara Ka Isah banga-banggain terus gimana coba? Mending kalo Mas Rasyanya nolak. Nah kalo Mas Rasyanya mau juga dideketin sama Nissa. Gimana hayoo?? Jangan sembarangan cerita tentang suami sendiri ke perempuan lain Ka. Untung Kaka ceritanya cuma ke Nissa. Nissa kan anak baik. Gak bakalan tertarik sama suami orang".

"Yaaah sayang sekali kalo kamu sampe gak tertarik sama Mas Rasya".

Anissa tersedak, batuk mendengar omonganku yang barusan. Mungkin Ia pikir aku bercanda saat ngomong itu. Tapi sejujurnya, aku serius. Aku ingin Annisa tertarik dengan Mas Rasya. Aku ingin Mas Rasya menikahi Annisa. Toh Annisa bukan istri orang.

"Ka Isah sehat gak sih. Ka Isah ngomong begitu itu kenapa? Apa maksudnya? Kaa... Nissa betul-betul minta maaf kalo selama kita bersahabat, ada kelakuan Nissa yang bikin Ka Aisyah salah paham. Tapi sungguh Ka. Nissa gak pernah punya perasaan apa-apa sama Mas Rasya. Demi Allah Ka. Demi Allah yang Maha tau segala-galanya, Yang Maha Tau dalamnya hati manusia. Nissa gak pernah sekalipun mikirin Mas Rasya".

"Nis, maafin Kaka kalo kesannya Kaka nuduh. Tapi gak gitu koq Nis. Ka Isah betul-betul berharap kamu jadi saudari kakak di rumah ini".

Annisa makin terperanjat dengan omonganku. Ia tidak habis pikir. Apakah yang aku maksud, diriku mau dimadu olehnya. Ia menghentikan suapannya. Berhenti makan meski makanan masih tersisa dipiringnya.

"Ka, tolong dong, jangan bercanda sejauh ini. Nissa takut jadi canggung atau salah sikap".

"Demi Allah yang mengetahui hati manusia, Ka Isah sungguh-sungguh ingin Mas Rasya menikahi kamu Nis".

"Dan Demi Allah Ka, Nissa masih gak paham kenapa tiba-tiba Ka Aisyah ngomong begini. Kalo karna Kaka terlalu sayang sama Nissa dan kasihan sama Nissa karna sudah umur segini Nissa masih sendiri, ya setidaknya gak mungkin kan Kaka ngorbanin perasaan Kaka sendiri? Mana ada Ka, perempuan yang mau dimadu terang-terangan. Bahkan Ka Aisyah minta Nissa tinggal disini juga. Gak masuk akal kalo gak ada alasannya Ka".

"Niss, kamu bener. Semua orang pasti punya alasan atas tindakan yang dilakukannya. Begitu juga aku. Aku juga punya alasan. Tapi sungguh, alasanku hanya ingin kamu jadi pendamping Mas Rasya, jadi saudariku, menemaniku menjaga anak-anak kita dengan Mas Rasya nanti".

Annisa jadi terlihat pucat pasi. Ia seperti tersangka pencuri yang sudah ketauan berhasil mencuri hati kami. Ia terdiam.

"Ka, sebaiknya Nissa pulang dulu ya. Nissa jadi gak enak badan denger omongan Ka Aisyah begini".

"Iya Nis. Silahkan Nissa pulang sekarang. Tapi tolong. Pikirkan lamaran Ka Aisyah untuk Mas Rasya ya. Kaka serius Nis".

Annisapun pulang dengan seribu pertanyaan dibenaknya. Ada apa denganku? Mengapa aku malah melamarkan calon istri untuk suaminya? Mengapa dia? Mengapa sekarang?

Aku sudah berhasil bicara dengan Annisa. Tugasku tinggal bicara dengan Mas Rasya. Semoga Ia mau mengabulkan permintaanku untuk menikahi Annisa.

Malamnya ketika di kamar, aku mencoba mengawali pembicaraan. Aku sengaja basa-basi dulu. Mulai dari membicarakan kehamilanku, ngidam banyak makanan, saran dokter, dan sebagainya. Dan akhirnya tibalah aku harus bicara tentang Annisa.

"Bi, menurut Abi. Annisa betah gak ya kalo tinggal di rumah ini?".

"Hmm, itu lagi yang diomongin. Kenapa sih Mi? Umi pingin banget Annisa tinggal disini. Kalo memang Umi mau dan Annisa bersedia, silahkan Umi. Ajak Annisa sahabatmu itu tinggal disini. Tapi Umi jangan lupa. Annisa bukan mahromnya Abi. Jadi dia harus bisa menjaga perilakunya jika ada Abi di rumah ini. Menjaga tingkahnya, pakaiannya, dan banyak lagi. Yang pada akhirnya nanti malah akan menyusahkan dia Umi. Kasihan kan dia kalo kesehariannya di rumah dibatasi hanya karna ada laki-laki yang bukan mahromnya tinggal serumah dengannya".

"Naah itu dia Bi, biar gak risih dan kalian gak canggung lagi. Kenapa Abi gak halalin Nissa aja sekalian".

"Apa Mi? Umi sehat? Ada apa nih tiba-tiba ngomong begini. Umi denger omongan gak bener di sekolah? Ada fitnah tentang Abi dan Annisa di sekolah yang Umi dengar? Abi gak pernah dekat-dekat dengan Annisa Umi. Demi Allah. Kalo ada omongan miring tentang kami, itu fitnah".

"Ya Allah Abi, kenapa Abi malah jadi suudzon? Demi Allah juga Abi. Umi sungguh-sungguh dengan omongan Umi yang barusan. Umi pingin Abi nikahi Annisa. Jadikan Annisa saudari Umi di rumah ini. Apa Abi gak berpikir, jika nanti putra kita lahir, Umi akan membutuhkan bantuan?".

"Ya ampun Umi. Apa sih yang ada dipikiranmu? Otakmu apa lagi kacau? Mungkin hanya kamu satu-satunya yang mau berbagi suami dengan sahabat. Umi tau gimana susahnya berbuat adil? Pengalaman orang-orangtua bilang, adil terhadap anak saja sulit, apalagi terhadap dua istri. Abi belum tentu sanggup".

"Tapi kan Abi belum jalanin Bi. Mana tau Abi sanggup atau tidak jika punya dua istri".

"Umi, istigfar kamu. Kalo kamu minta aku menikahi Annisa hanya karna kamu butuh bantuan, kamu bisa minta dicarikan ART, pengasuh, atau pembantu harian bila perlu. Kenapa harus Abi menikah lagi? Apa Umi benar-benar ngidam ingin Annisa jadi saudari Umi di rumah ini? Kalo benar seperti itu, apa jadinya ketika anak itu lahir. Mau kamu ke manakan Annisa? Artinya Umi egois dong. Cuma karna ngidam, atau karna ingin dibantu mengurus rumah tangga".

"Ya Allah Abi, Umi gak seperti itu. Kenapa sih Abi mikirnya begitu. umi hanya betul-betul ingin ada Annisa dirumah ini tapi halal bagi Abi. Agar kalian tidak canggung satu sama lain".

"Mi, udah cukup ya pembicaraan ini. Umi lagi hamil. Kita omongin lagi kapan-kapan. Abi capek, mau istirahat".

Tidak kusangka, omongan ini membuat Mas Rasya marah. Aku bingung. Sepanjang pernikahan kami, Mas Rasya tidak pernah marah sekalipun. Tapi malam ini, akhirnya emosinya meluap karna keinginanku yang tidak biasa.

Besoknya aku bangun kesiangan. Jam 10:00 aku baru bangun, Mas Rasya sudah pergi mengajar. Sepertinya Ia masih marah padaku. Kupikir akan lebih susah membujuk Mas Rasya ketimbang Annisa. Tapi, bagaimanapun, aku tetap ingin mereka menikah segera. Harus cepat. Aku tidak mau berlama-lama.

Akhirnya, usahaku sudah sampai pada puncaknya. Setelah aku bernegosiasi dengan Annisa, memberinya alasan yang betul-betul diperlukan, dan memberinya pengertian. Alhamdulilah Annisa menerima lamaranku untuk Mas Rasya. Ia sempat menangis ketika kujelaskan mengapa aku butuh dia di rumah ini.

Tapi Mas Rasya masih saja sulit dimintai pengertian. Ia tetap berfikir kalau keinginanku ini hanya karna ngidam.

"Bi, apa Abi gak kasihan. Annisa sudah setuju menikah dengan Abi. Sekarang dia menanti-nanti lamaran Abi. Kasihan kan Bi. Jangan beri Nissa harapan kosong".

"Lho, kan Umi yang memberikan Annisa harapan. Bukan Abi. Dari awal Abi sudah tegas menolak permintaan Umi yang satu itu. Umi tau apa dampaknya? Umi sendiri nantinya yang akan menyesal. Bagiamana mungkin serumah dengan dua istri yang harus saling pengertian tapi nyatanya gak seperti itu. Rasanya sulit Umi. Gak bisa Abi bayangkan untuk saat ini.

"Abi, Umi mohon dengan sangat. Kasih Umi kesempatan untuk punya saudari di rumah ini. Kasih Umi kesempatan untuk menunjukkan bahwa Abi bisa adil pada kami berdua, bahwa Umi dan Annisa bisa hidup bersama. Umi mohon Abi". Aku memohon padanya sambil menangis, air mataku betul-betul mengalir disaat itu.

Mas Rasya tidak pernah melihatku memohon padanya dengan berlinangan air mata. Ia bingung dengan keinginanku. Dia bilang, alasanku kurang kuat meminta Ia menikahi Annisa. Akupun bingung harus bicara apa lagi.

Tapi Allah sungguh Maha tau hati manusia. Akhirnya Mas Rasya setuju menikah dengan Annisa. Meski agak berat melamarnya karna kedua orangtua Annisa pasti akan sedih jika putri cantik kesayangannya menjadi istri kedua, namun mereka sadar betul akan kehidupan Annisa yang sudah dewasa. Annisa bebas memilih, Ia bukan anak kecil juga tidak remaja lagi. Ia sudah pasti tau apa yang Ia jalani.

Meski dengan berat hati, akhirnya kedua orangtua Annisa memberikan restunya pada kami. Akhirnya mereka menikah, diusia kandunganku yang ke enam, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di rumah kami.

Tidak semulus yang aku bayangkan. Ibu, Bang Saman, dan Ka Dita sempat marah pada keputusan kami. Bahkan parahnya lagi mereka menuduh Mas Rasya memojokkanku agar aku setuju dimadu. Meski dari awal aku sudah menjelaskan bahwa aku yang menginginkan ini, bahwa bahkan Mas Rasya sempat menolak dengan tegas, tapi mereka tetap tidak percaya.

Begitu pula dengan keluarga besar Mas Rasya. Mereka bingung dengan keputusan kami. Ada apa sebenarnya. Tiba-tiba saja Mas Rasya yang dikenal alim dan tidak pernah bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahromnya, ingin menikah lagi.

Siang, malam aku berdoa. "Ya Allah, bukakanlah mata hati mereka. Berilah mereka pengertian akan keputusan kami. Aku yang menjalani hidupku, aku yang tahu seperti apa perasaan ini. Aku mohon Ya Allah, lapangkan hati mereka, juga lapangkanlah hati Annisa agar tidak mereasa didinya direndahkan apalagi dipojokan".

Pernikahan sudah berlangsung. Kini kami tinggal bertiga. Mas Rasya, Aku, dan Annisa. Aku berharap hubunganku dengan Annisa justru makin dekat dan baik. Tapi di awal-awal, sepertinya Ia justru canggung. Entah apa yang dia rasa sekarang.

Malam itu, malam dimana mereka menjadi sepasang pengantin, sepasang suami istri, air mataku mengalir. Rasanya sakit, sedih sekali. Aku harus terpaksa berbagi dengan sahabat karibku. Tapi aku harus ikhlas, aku harus merelakan mereka berdua.

Usia kandunganku sudah masuk bulan ke tujuh. Aku bertanya pada Annisa. Bagaimana perasaannya sekarang. Ia hanya tersenyum sambil berkata "Semua baik-baik aja Ka Isah. Nissa baik, Mas Rasya juga sepertinya tidak ada masalah, kami baik-baik saja".

Begitu katanya. Tapi aku tau. Dari kalimatnya itu sepertinya itu semua bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya. Bagaimana tidak. Kini semua orang tau jika Annisa istri kedua Mas Rasya yang adalah atasannya di tempatnya bekerja.

Dari omongan orang-orang aku bisa tau kalau banyak yang menjelekkan Annisa. Mencapnya sebagai perebut suami orang, perusak rumah tangga orang. Seringkali aku memergoki Annisa seperti habis menangis. Tapi Ia selalu terlihat tegar.

"Nis, kamu gapapa? Ada yang mau kamu ceritakankah?". Tanyaku padanya suatu ketika.

"Gakpapa Ka, Nissa cuma agak capek aja sedikit" . Jawabnya simple.

"Nissa, jangan kamu tutupi lagi perasaanmu. Aku tau kamu sering terluka. Banyak yang memojokanmu, yang menjelekanmu karna keputusanku menikahkan kau dengan Mas Rasya. Tapi aku mohon Nissa, bertahanlah sampai harinya tiba. Bertahanlah sesanggup kau bisa. Hanya kamu harapanku Nis".

"Ka, kakak jangan bicara gitu lagi. Allah itu Maha Besar, Maha mudah bagi dia membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ka Aisyah akan baik-baik aja. Jangan kau pikirkan hal itu lagi ka. Aku juga baik-baik aja. Biarkan mereka membicarakanku dibelakang. Toh itu dosa mereka. Akupun tidak memikirkan hal itu Ka. Aku janji, kita bertiga akan menjalani kehidupan panjang dengan baik".

Kami menangis, berpelukan. Aku sangat bersyukur bertemu dengan Annisa, mengenalnya, dan sekarang lebih dekat. Meski terkadang ada rasa cemburu, tapi aku harus ikhlas. Lagipula, tanpa sengaja aku mengetahui bahwa ternyata sampai detik ini, Mas Rasya belum pernah sekalipun menyentuh Annisa.

Awalnya aku tidak tau kenapa mereka begitu. Apakah Annisa tak tega padaku, atau Mas Rasya yang masih merasa akan menyakitiku. Tapi kemudian belakangan aku tau bahwa ternyata itu permintaan Annisa.

Annisa mengatakan pada Mas Rasya bahwa Ia minta waktu sampai hatinya siap. Mas Rasya menerima karna Ia sendiri juga menikah karna permintaanku. Annisa juga yang minta agar Mas Rasya selalu tidur di kamarku.

Usia kehamilanku sudah akan jalan 9 bulan. Sebentar lagi waktunya tiba. Aku harus mempersiapkan segalanya. Aku harus siap. Ketika anak ini lahir, Annisa, Mas Rasya, Ibuku, Bang Samin, Mba Dita, Orangtua Annisa, dan keluarga besar Mas Rasya harus hadir. Aku meminta mereka menungguiku di Rumah Sakit. Mereka harus siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang aku ceritakan kepada Mas Rasya.

"Umi koq permintaannya semenjak hamil aneh-aneh sih Mi. Udah diturutin minta Abi nikah lagi, sekarang minta semua keluarga kumpul begitu Umi lahiran. Ada apa Mi. koq Umi kaya takut gak panjang umur setelah lahiran. Umi tenang aja. Umi pasti bisa. Buktinya ada berapa juta oang Ibu-ibu yang berhasil melahirkan banyak anak dengan selamat. Jadi Umi jangan mikir yang macam-macam".

"Iya Abi, Umi ngerti koq. Makasih ya Abi sayang. Udah nurutin keinginan Umi untuk Annisa tinggal bersama-sama kita".

Hari sabtu, seharusnya Mas Rasya dan Annisa libur mengajar. Tapi karna urusan mendadak di sekolah, jadilah Mas Rasya harus pergi. Kami hanya tinggal berdua. Aku mencoba mencairkan suasana. Agar Annisa tak cangguung lagi di rumah ini.

"Nis, seperti yang sudah aku bilang, nanti saat melahirkan, tolong panggil Ibu Bapak kamu ya ke Rumah Sakit. Supaya mereka tau. Bagaimana kita ke depannya nanti".

"Ka Isah, InshaAllah Nissa akan minta Ibu Bapak hadir. Tapi tolong Ka Isah gak usah berpikiran macam-macam yah, meski sudah pasti bagaimana keadaan Ka Aisyah, tapi tetap Allah yang memutuskan nanti. Bukan Kaka, jadi udah ya Ka, jangan bicara seolah-olah semuanya sudah akan pasti terjadi".

Saat sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba aku merasakan kontraksi diperutku. Rasa sakit yang bukan main. Sakitnya seperti ingin mati saja.

"Aduh Ya Allah, Niss sakit sekali perutku. Ya ampun Niss. Gimana ini. Aduh....aduh...". Aku merintih sangat kesakitan. Annisa membantuku. Ia memegang kedua lenganku. Mencoba mengangkatku naik ke kursi, karna tadi kita memang sedang duduk-duduk santai beralaskan karpet di ruang tamu.

"Ya ampun Ka, kayanya Ka Isah mau lahiran deh. Aduh Ka. Bukannya kata dokter masih tiga minggu lagi. Aduh Kaka tahan ya, kita ke Rumah sakit sekarang, nanti Nissa hubungin Mas Rasya dijalan aja. Kita harus segera Ka. Gawat ketuban Kaka, udah pecah".

Annisa panik bukan main, dia memapahku ke luar pintu. Kami berjalan perlahan menuju mobil, tetangga-tetangga yang kebetulan sedang berada di sekitaran rumah, menghampiri kami.

"Kenapa neng kenapa? Ayo ayo sini dibantu". Kata salah seorang tetangga.

"Bu, tolong Bu, bukakan pintu mobilnya aja. Tolong ya Bu".

"Iya neng iya, mari sini neng". Ibu tetangga kami membantu menahan pintu mobil agar aku dapat masuk dengan mudah. Sementara yang lain berbisik-bisik seperti biasa.

"Ada apa sih? ada apa?".

"Ituu, istri tua mau lahiran".

"Ciyeee, enaknya yang punya temen serumah ada yang bantu".

"Apa gak merasa tuh si Nissa cuma dijadiin pembantu di rumahnya. Biasa deh temen deket takut suaminya dikuasain, mending suruh kawinin aja langsung biar bisa dia jadiin pesuruh".

Begitu bisik-bisik yang kami dengar. Memang sifat alami manusia. Hal yang baik saja masih bisa mereka putar balikan menjadi buruk, apalagi hal yang tabu seperti keluarga kami ini.

"Istigfar ya Niss, gak usah dengarkan mereka. Mereka hanya tidak tau apa yang terjadi dengan kita".

"Ka, yang harusnya istigfar itu Kaka. Kenapa jadi mikirin Nissa". Kata Annisa sambil menyetir dengan terburu-buru.

Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Aku segera dimasukkan ke ruangan bersalin, Annisa menghubungi Mas Rasya dan keluarga-keluarga yang lain seperti permintaanku sebelumnya. Aku berharap, tidak ada yang tidak hadir saat ini. Karna ini hari penting bagi kelangsungan hidup keluarga kami. Aku, Annisa, Mas Rasya, dan Buah hati kami bertiga.

Dokter kandunganku yang sudah tau keadaanku datang menghampiriku, lalu menggenggam erat tanganku. "Gimana Bu Aisyah, sudah siap dengan segala resikonya? Semoga Allah meridhoi jalan yang Ibu putuskan ya Bu. Ini pilihan yang paling mulia yang pernah saya lakukan".

"Iya Dok, InshaAllah saya sudah siap. Saya sudah menyiapkan segalanya". Jawabku dengan suara terbata-bata menahan sakit yang teramat sangat di perutku.

Proses persalinan sedang berlangsung, Keluarga besar kami menunggu semua di luar pintu. Menanti kehadiran sang buah hati. Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. Mas Rasya dan Annisa dipersilahkan masuk oleh dokter kandunganku yang sudah mengenal kami dengan baik.

Aku menangis sambil menggendong bayiku, tak lama kemudian Mas Rasya mengumandangkan adzan ditelinganya. Annisa menghampiriku, kemudian sanak keluarga yang lainpun dipersilahkan masuk oleh dokterku yang tau akan kondisiku.

Annisa menangis memelukku sambil berkata "Ka Aisyah selamat ya. Selamat atas kelahiran anak kita". Ia menangis tak henti. Ia memelukku, kemudian aku memintanya mengambilkan tas besar yang kami bawa saat pergi ke Rumah Sakit sebagai persiapan melahirkan.

Akupun tak kuasa menahan tangis. Sambil terisak, kutanyakan pada dokter. "Dok, berapa lama lagi? Berapa lama lagi waktu saya Dok?".

Spontan seluruh keluarga termasuk Mas Rasya terperanjat kaget dengan pertanyaanku. Terkecuali Annisa. Annisa yang memang sudah tau kondisiku sebenarnya. Mengapa Annisa mau menikahi Mas Rasya, karna aku menceritakan kondisiku padanya saat itu. Aku mengatakan padanya usiaku hanya sampai aku melahirkan anakku. Itu sebabnya Ia menyetujui permintaan terakhirku itu.

"Ibu, sampai kapan usia manusia itu bukan saya yang tentukan. Sudahlah, sebaiknya Bu Aisyah habiskan waktu bersama putra Ibu sekarang. Jangan terlalu banyak pikiran. Lakukan saja apa yang sudah Ibu persiapkan sebelumnya. Agar kita siap kapanpun waktunya".

Mendengar dokter bicara seperti itu. Mas Rasya makin bingung. Ia melihat ke arahku, sesekali menoleh ke arah Dokter. "Kalian ini bicara apa? Saya gak mengerti. Apa maksud Umi ngomong begitu".

Kemudian kuminta Annisa membuka tas besar itu, kukeluarkan banyak sekali amplop surat yang sudah kupersiapkan. Salah satunya amplop beberapa bulan lalu saat usia kandunganku memasuki usia 4 bulan, dimana aku merasa mual dan sakit berkepanjangan. Amplop itu berisi hasil test laboratorium yang menginformasikan bahwa ada kanker di rahimku. Kanker stadium 4 yang sudah tidak mungkin disembuhkan kecuali dengan Mu'jizatNya.

"Maafkan Umi ya Bi, maafkan atas keputusan Umi yang tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Abi". Aku dan Annisa menangis sejadi-jadinya. Air mata kami tak bisa berhenti. Annisapun memohon maaf kepada Mas Rasya.

"Maafkan Nissa juga Mas, ini pesan terakhir Ka Aisyah. Kaka yang tidak mau Nissa menceritakan perihal sakitnya kepada semua. Maafin Nissa yang tidak berdaya menolong Ka Aisyah Mas".

Annisa terus menangis sambil memelukku yang sedang menggendong putra kami. Mas Rasya membaca hasil lab itu dengan serius. Ia shock, hingga tanpa sengaja menjatuhkan surat itu. Kemudian menghampiriku, menciumiku sambil juga menangis. Pada akhirnya, Mas Rasya yang tegarpun menangis juga.

"Ya Allah Umi, kenapa Umi sembunyikan dari Abi Mi. Ya Allah, tolong jangan ambil istri saya secepat ini Ya Rabbi. Kenapa cuma Umi sendiri yang mengalami ini. Kenapa tidak berbagi dengan Abi Mi? MasyaAllaaah bagaimana hidup Abi tanpamu Umi".

Dokter turut bicara. Agar permasalahan menjadi lebih clear.

"Hari itu, hari dimana saya membaca hasil test laboratorium itu, saya sudah tanyakan kepada Ibu Aisyah. Apa keputusannya. Apakah Ia mau menggugurkan kandungannya agar Ia bisa bertahan hidup, atau meneruskannya dengan resiko kematian yang tinggi setelah melahirkan. Ibu Aisyah memutuskan memilih meneruskan kandungannya. Tapi itu setelah saya menjelaskan panjang lebar resiko yang akan terjadi apabila bayi dalam rahim yang sudah berusia empat bulan itu diangkat.

Dengan jujur saya katakan bahwa, meskipun Ibu Aisyah memilih menggugurkan kandungannya, maka bukan berarti Ia sembuh total. Hal itu hanya akan memperpanjang sedikit usia hidupnya saja. Karna terus terang, kanker itu sudah sangat parah menggerogotinya. Itu juga yang menyebabkan kalian sulit dapat keturunan. Sungguh mu'jizat Ibu Aisyah pada akhirnya bisa mengandung, meski harus bertaruh nyawa. Akhirnya Ibu Aisyah memutuskan untuk meneruskan kandungannya. Saya hanya dokter, keputusan tetap ditangan pasien".

Begitulah penjelasan dokter didepan semua keluarga besar kami. Itulah mengapa aku ingin keluarga besar kami hadir. Agar mereka bisa mendengarkan pesan-pesan terakhirku.

"Itulah sebabnya Bu, Bang Saman, Ka Dita, Bapak, Ibu, semuanya. Mengapa saya bersikeras melamarkan Annisa untuk Mas Rasya. Saya ingin Annisa yang menjadi pengganti saya. Saya ingin Annisa yang menjadi Ibu dari anak saya. Saya tahu betul Annisa akan sangat menyayangi putra kami. Jadi tolong, saya mohon, kalian jangan lagi memojokkan Annisa dan Bapak Ibunya seolah mereka merusak keluarga kecil saya. Tidak Bu, Bang, justru mereka penyelamat hidup saya".

"Ya Allah Umi, kenapa kamu menderita sendiri seperti ini selama ini Mi. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka dalam hal apapun?".

Mas Rasya tak hentinya menangis sambil memeluk kepalaku yang sedang menggendong sambil menyusui putra kami. Mereka semua menangis.

"Annisa, ini ada surat-surat yang harus kamu berikan kepada anak kita setiap kali dia berulang tahun. Semuanya ada 17 surat. Aku berharap, di ulangtahunnya yang ke 18, Ia sudah tidak memerlukan surat-suratku lagi untuk mengingatku".

Aku menyodorkan ke17 amplop putih berisi surat-surat untuk putraku. Annisa menerimanya dengan air mata yang masih mengalir tak henti-hentinya. Ya, aku sudah mempersiapkan segalanya. Aku menulis surat-surat itu agar kelak anakku tahu bagaimana kehidupan kami saat Ibu yang melahirkannya masih hidup.

Bukan, surat-surat itu bukan surat-surat permintaan seperti yang ditulis Tina untuk anaknya dalam film india itu. Bukan berisi surat permohonan mencarikan jodoh bagi Ayahnya. Karna tugas itu, sudah dilaksanakan oleh Ibunya sendiri. Anakku tidak perlu lahir tanpa Ibu. Karna Ia sudah memiliki Annisa Ibunya. Itulah betapa Islam agama yang sangat benar, agama yang mengatur segala kehidupan umat manusia pada jalan yang lurus. Indahnya Islam yang memperbolehkan seorang suami menikah lagi dengan alasan yang sangat kuat tentunya.

Ini adalah salah satu alasan paling kuat mengapa seorang suami diijinkan menikah lagi oleh istrinya sendiri. Maha benar Allah atas segala firmanNya.

Surat-surat yang kutulis untuk anakku berisikan perjalan hidup kami bertiga. Agar nanti jika masih ada orang-orang yang bergunjing tentang pernikahan Ayah dan Ibunya Annisa, putraku tidak bingung ataupun sedih mendengarnya. Karna Ia sudah tahu yang terjadi melalui surat-surat yang kuberikan.

Malam itu, beberapa jam setelah melahirkan. Akhirnya aku berpulang. Aku bersyukur menjadi manusia yang diberitahu kapan umurku akan berakhir di dunia. Tidak semua manusia memiliki kesempatan yang sebaik aku miliki.

Alhamdulilah impian kami memiliki anak, akhirnya terwujud juga. Aku menghembuskan nafas terakhirku disamping Mas Rasya dan Annisa. Kupersatukan tangan mereka. Aku memohon kepada mereka untuk segera tidur satu kamar selepas kepergianku.

Aku tau, jika aku tidak berpesan demikian, entah sampai kapan mereka akan tidur terpisah karna merasa sama-sama canggung dan tidak enak. Aku berpesan, mereka harus jadi keluarga yang utuh.

Itulah kisah hidupku. Allah berfirman  Laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, begitu juga sebaliknya laki-laki yang buruk hanya untuk wanita-wanita yang buruk (perilakunya) juga.

Maka aku yakin, Mas Rasya adalah sosok yang paling tepat bagi Annisa dikehidupannya.

S E L E S A I