Tampilkan postingan dengan label koleksi cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label koleksi cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Mei 2020

Menikah

Hukuman. Ini hukuman buatku. Mungkin aku memang pantas menerima ini semua. Sudah dua tahun Mas Bali suamiku terbaring koma di rumah sakit. Bahkan asuransi kesehatannyapun sudah tidak lagi mengcover semua biaya pengobatannya. Di awal tahun kemarin, dokter menyarankanku untuk melepas semua mesin penopang hidupnya.

Karna mesin-mesin itulah jantung Mas Bali masih berdenyut, Nafas Mas Bali masih tersisa. Padahal sebetulnya, jika tanpa mesin-mesin itu, Mas Bali sudah tiada. Karna asuransi sudah tidak mengcover, harta kamipun sudah habis banyak, dokter beberapa kali menyaranku menandatangani dokumen persetujuan pelepasan mesin penopang hidup Mas Bali. Ya Allah, inikah karma buatku, inikah balasan yang Engkau berikan kepadaku karna dulu aku suudzon kepadaMu? Tak adakah hukuman yang lain?

Setiap saat aku berdoa, setiap saat aku memohon kepada Allah agar segera diberikan kekuatan atas apa yang harus aku lakukan. Apakah harus menyerah saja? Bagaimana dengan Jingga? Apa yang akan Ia katakan jika besar nanti Ia tau bahwa Ibunya sudah sangat tega menyerah membiarkan dokter melepas mesin penopang hidup Ayahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk.

Bagaimana karma ini bisa berlaku padaku? Berikut kujabarkan kisahku yang sudah dengan mudahnya bersikap Suudzon kepada Sang Pencipta.

**********

Pernikahan. Adalah satu kata yang paling membingungkan. Berkali-kali aku punya pacar. Tapi kesemuanya gagal akibat kesalahanku sendiri. Kenapa laki-laki mau menikah? Untuk apa? Karna agamakah? Atau apa? Setiap kali mereka melamarku, maka saat itu pula aku menolak dengan halus. Kukatakan aku tidak ingin menikah. Mereka bertanya "mengapa? sampai kapan aku mau sendiri?". Aku hanya terdiam. Dalam hati aku menjawab "Mungkin selamanya aku tidak akan menikah".

Untuk apa menikah jika nanti rasa itu akan hilang. Debar-debar semasa kita pacaran. Tegang saat sabtu sore menanti malam minggu untuk bertemu denganmu. Apa gunanya menikah jika rasa-rasa yang menyenangkan itu akan hilang? Aku tidak mau. Karna rasanya menyenangkan bersamamu dengan penuh debaran, penuh suka cita, rasa rindu yang teramat dalam karna dipisahkan oleh waktu malam dimana kami harus pulang ke rumah masing-masing.

Jika menikah? Pasti rasa itu akan segera hilang, rindu tidak akan ada lagi karna setiap saat bertemu di rumah. Bagaimana tidak, kita akan serumah. Tiap kali mereka meninggalkanku karna aku menolak menikah, maka tiap kali itu pula air mataku deras berjatuhan mengalahkan guyuran air hujan. Karna aku begitu mencintai laki-laki yang menjadi pacarku itu. Aku senang sekali menunggunya di rumah, menanti telponnya, messege nya, rasanya debar-debar itu menyenangkan luar biasa.

Bayangkan jika kita menikah. Setiap hari bertemu. Tidak akan jenuhkah kau padaku nanti? Apa iya kau tidak akan ilfil melihat caraku tidur? caraku makan? caraku berpakaian? tanpa makeup? Bagaimana hari-hari kita selanjutnya? Apa kabar kangen? Apa kabar debar-debar?

Hingga suatu hari, aku terpaksa mengiyakan lamaran pacarku yang terakhir ini. Aku akan menikah, akhirnya aku harus menikah juga. Bukan, bukan karna umurku yang sudah 30 tahun, tapi ini demi Ibu. Ibuku ingin melihat putri bungsunya ini menikah. Padahal Ibu sendiri tidak pernah bahagia dengan pernikahannya, bahkan kakak-kakakkupun seringkali mengeluhkan perihal suami mereka. Yang selalu seenaknya sendiri, tidak pernah membantu pekerjaan rumah, bahkan salah seorang kakakku hidup kekurangan karna suaminya tidak memiliki pekerjaan yang layak. Tak jarang aku dan Ibu mengulurkan bantuan keuangan untuknya. Aku merasa kasihan pada kakakku. Tapi itu pilihannya, menikah dengan laki-laki yang sederhana dengan pekerjaan yang tidak mencukupi.

Melihat keluarga kakak-kakakku, terlebih masa lalu Ibu dengan Ayah, membuatku semakin yakin bahwa manusia tidak harus menikah. Jika hanya ingin memiliki keturunan agar di hari tua ada yang merawat kita, aku bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Toh mereka pasti senang jika ada orang yang mau mengadopsi anak asuhnya dengan kehidupan yang layak. Jadi apa hakikatnya menikah?

Tapi ini terlanjur. Acara lamaran sudah berjalan. Dua bulan lagi aku menikah. Semakin menimbang-nimbang, semakin yakin aku tidak butuh menikah. Apalagi jika hanya demi Ibu. Toh aku yang akan menjalaninya nanti. Ibuku sedang sakit, Ia terus berucap bisa mati dengan tenang jika aku sudah menikah. Ituuu terus yang dia ucapkan. "Ya Allah Buu... bisakah kau hentikan ucapanmu yang ngawur itu? Ibu kan tau aku. Ibu mengenal baik putri bungsu Ibu ini tidak akan pernah menikah".

"Lalu, untuk apa kamu punya pacar? Laki-laki tujuan akhirnya itu pasti menikah. Jika kamu tidak ingin dinikahi, lalu buat apa kamu terima mereka jadi pacar kamu? Pacaran 2 tahun putus karna menolak dilamar, yang sebelumnya 1 tahun, bahkan ada yang sampai 3 tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kalian saling mengenal. Perasaan mereka pasti sudah sangat dalam padamu Ras. Malah kamu tolak lamaran mereka tanpa alasan. Kamu pikir mereka mengerti kamu? Mengerti kenapa kamu menolak lamaran mereka. Ibu saja sampai detik ini masih tidak mengerti kenapa kamu tidak suka pernikahan".

"Sudahlah Bu, Laras akan menikah. Laras turuti maunya Ibu. Tapi Ibu jangan salahkan Laras jika rumah tangga Laras gagal seperti Ibu. Kita sama Bu. Laras sama seperti Ibu. Laras bukan type perempuan yang akan mempertahankan mati-matian rumah tangganya dengan cara mengorbankan kebahagiaan sendiri. Jika Laras tidak bahagia, maka Laras akan menyerah dan menyudahi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi. Sama seperti Ibu yang meninggalkan Ayah karna tidak bahagia".

Ibu terdiam. Sebetulnya aku sadar kalimatku itu keterlaluan. Rumah tangga Ibu memang gagal. Tapi aku dengan sok taunya menjudge bahwa Ibu meninggalkan Ayah karna tidak bahagia. Toh memang seperti itu yang terlihat. Aku dan kakak-kakak tidak pernah tau alasan Ibu sebenarnya meninggalkan Ayah. Lagi pula kupikir, alasan apa lagi Ibu meninggalkan Ayah jika bukan karna Ia tidak bahagia dengan Ayah.

Akhirnya satu bulan lagi aku menikah. Aku makin bermalas-malasan bertemu Mas Bali calon suamiku. Aku makin mantap tidak ingin menikah. Tapi sayang Mas Bali sudah keburu menyebarkan undangan. Dalam benakku berkata "Biarlah kujalani dulu. Toh Allah tidak melarang perceraian dalam hukum Islam". SubhanAllah betapa buruknya sifat suudzonku itu kepada Allah saat itu.

Harinya tiba, pagi ini aku bersiap. Saudara-saudara sudah berkumpul. Singkat cerita, ijab qabul telah terlaksana. Hari ini aku telah menjadi seorang istri. Ya, istri Mas Bali. Laki-laki yang sangat aku cintai ini. Tidak kuduga, aku malah sangat bahagia sekarang. Aku menjadi Istri Mas Bali. Aku akan melihatnya setiap hari. "Lho, perasaan apa ini. Apaa... rasa ini akan terus berlangsung? Sementara aku akan setiap waktu melihatnya. Apakah aku akan bosan nantinya. Bagaimana dengan Mas Bali. Apakah justru dia yang akan segera merasa bosan melihatku setiap waktu di rumahnya?". Pikirku dalam hati.

Tanpa terasa, hari-hari kulalui dengan Mas Bali tanpa masalah berarti. Mas Bali memang mapan. Dia sudah memiliki rumah sendiri yang cukup besar. Sudah ada Mba Minah ART di rumah Mas Bali, juga Mang Diman pekerja kebunnya. Aku tidak perlu bersusah payah melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri. Hari-hariku hanya kuisi dengan kegiatanku sebelum menikah yaitu bisnis Fashion. Aku sudah resign dari tempatku bekerja, karna Mas Bali yang minta. Sebagai gantinya, Mas Bali memberikanku kesempatan untuk memperbesar bisnis fashion yang memang telah aku jalani sejak lama, namun masih usaha kecil-kecilan.

Dengan syarat, aku hanya boleh mengurus bisnisku jika Mas Bali sedang bekerja. Artinya, jika Ia sedang libur atau sudah pulang dari bekerja, aku sudah harus ada di rumah. Entah mengapa, syarat itu dengan mudahnya kupenuhi. Tanpa merasa terbebani, aku menjadi istri yang penurut. Tanpa sadar, aku menurut pada Mas Bali, karna Ia berhak dan pantas mendapatkan itu. Karna Mas Bali sendiri adalah sosok suami yang penuh tanggung jawab, pengertian, sabar, dan sangat memperhatikanku.

Tidak jarang aku merasa kangen padanya ketika Ia sedang tidak di rumah. Rasanya aneh. Sudah serumah, tiap hari bertemu, tapi rasa kangen masih sering muncul. Kadang jika aku merasa kangen, aku menelponnya. Dari sebrang telpon dia selalu mesra padaku. Semakin membuat aku diperhatikan, semakin membuat aku merasa di sayang.

Hari ini hujan turun. Mas Bali biasanya pulang selepas Maghrib. Maka setiap jam 5 sore, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku di butik. Jika tidak selesai, kutinggalkan saja dulu untuk dilanjut esok hari. "Ratih, saya pulang dulu ya. Kita tutup jam 8 aja hari ini. Hujan, sepertinya akan jarang orang yang datang. Kamu hati-hati ya, tutup semua pintu dan jendela, cek listrik. Matikan semua yang tidak dipakai". Begitu pesanku pada kepala tokoku Ratih.

Alhamdulilah, aku sudah memiliki 14 orang pegawai di butik. Termasuk Ratih yang aku percayakan menjadi kepala toko di butik pusatku. Karna aku punya satu butik lagi sebagai cabang di salah satu Mall di Jakarta ini. Berkat support Mas Bali. Usahaku lancar. Mungkin karna Ia Ikhlas mensupportku dan aku tunduk pada aturan suamiku. Sehingga Allah memberikan kelancaran pada bisnisku.

Selain sukses di bisnis, aku juga cukup bahagia dengan kehidupan rumah tanggaku. Terlebih lagi, dua tahun kemudian lahir "Jingga" putri pertama kami. Senangnya bukan main. Terkadang, aku merasa berdosa pada kehidupan masa laluku. Allah begitu baik memberikan kesempurnaan dalam kehidupanku sekarang. Padahal sebelumnya aku selalu suudzon tentang pernikahan.

Apa yang kupikir akan terjadi setelah menikah, semuanya nol besar. Rasa rindu yang aku takutkan akan menghilang, justru semakin sering aku rasakan ketika Mas Bali tidak di rumah. Padahal setiap malam kami bertemu. Tak jarang aku merengek manja padanya minta ditemani di rumah. Merayu Mas Bali agar mau cuti dari kantornya.

Dia sungguh lucu setiap kali aku manja padanya. Aku semakin jatuh hati pada suamiku Mas Bali. "Ya Allah semoga Engkau meridhoi jalan hidup kami berkeluarga, agar terus berkah dan bahagia sepanjang waktu sampai ajal menjemput". Begitu Doaku setiap kali selesai sholat. Aku sungguh menyesal telah berfikir negatif tentang pernikahan. Semuanya di luar dugaanku.

Aku sedang bahagia-bahagianya saat ini. Aku tengah mengandung anak kedua kami. Bahagia bukan main. Hari ini untuk merayakan kebahagiaan kami dengan kehadiran anak kedua kami kelak, aku, mas Bali, dan Jingga akan pergi berlibur ke Okinawa Jepang, kebetulan di sana sedang musim salju. Dan Jingga ingin sekali melihat salju. Aku berkemas dengan riang gembira sambil menunggu Mas Bali mengurus sebentar urusan di kantornya pagi ini. Kami akan berangkat sore nanti.

Jingga juga sudah tidak sabar sampai di sana. Sampai siang itu tiba-tiba. "Buu.... Bu..... Telepon dari Rumah Sakit Buu....". Kata Mba Minah dari luar pintu kamarku.

"Rumah sakit? ada apa mba?". Tanyaku pada Mba Minah. "Bapak Bu, Bapak...". Mbo Minah sambil menitikkan air mata menyerahkan telepon kepadaku di ambang pintu kamar.

Bagai disambar halilintar mendengar pernyataan perawat rumah sakit di sebrang telpon. Mas Bali mengalami kecelakaan saat pulang menuju rumah siang tadi. Mobilnya terhimpit dua kendaraan besar hingga mengakibatkan tubuh Mas Bali ikut tergencet, dan mengakibatkan banyak tulang yang patah. Untungnya Mas Bali masih bernafas.

Aku bergegas menuju rumah sakit, kutitipkan Jingga kepada Mba Minah. Sampai di rumah sakit, aku masih belum boleh menemui Mas Bali karna banyak yang harus dilakukan, termasuk memutuskan tindakan operasi pada Mas Bali. Aku diminta menandatangani dokumen persetujuan tindakan operasi. Aku yang linglung dan bingung tentu saja langsung segera menandatanganinya. Kulakukan apapun demi membuatnya sehat kembali.

Yang membuatku semakin histeris adalah kemungkinan keberhasilan operasi hanya 30% saja. "Ya Allah, sebegitu parahnyakah keadaan Mas Bali". Dokter bilang keberhasilan operasi kemungkinan hanya 30% tapi jika tidak dilakukan, maka dalam hitungan jam, Mas Bali akan pergi selamanya. Tidak ada pilihan bagiku selain 30% itu.

"Aku bersimpuh padaMu ya Rabb, kembalikan Mas Bali padaku, beri aku kesempatan mempertemukan anak kedua kami dengannya ya Allah". Aku terus berdoa tanpa putus, meski sedang tidak dalam keadaan sholat, mulutku terus berdoa sepanjang waktu. Memohon kesembuhannya, memohon keberhasilan 30% itu.

Alhamdulilah operasi dinyatakan berhasil. Mas Bali selamat. Namun masih dalam kondisi yang kurang stabil. Kami masih harus menunggu hasilnya. Entah besok atau lusa atau kapan Ia akan membuka mata.

Sudah di minggu kedua sejak Mas Bali selesai operasi, Ia belum juga membuka mata. Bahkan dokter menyatakan Mas Bali mengalami koma. Kemungkinan akan sangat lama baginya untuk bangun, karna banyak sekali organ tubuhnya yang rusak akibat kecelakaan itu. Aku diminta bersabar.

Di minggu ketiga mas Bali dirawat, kandunganku sudah mencapai sebelas minggu. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Darah mengalir deras tanpa henti. Kurasakan aku tak kuat lagi. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit. Mba Minah yang membawaku ke rumah sakit bersama Mang Diman. Ibu dan Kakak-kakakku sudah berada mengelilingiku di ruang rawat. Ibu mendekapku, sambil berbisik "Yang sabar ya Ndo... semua kehendak Allah. Apapun yang terjadi kamu harus kuat".

Aku tidak mengerti ucapan Ibu. Ka Mira menghampiriku, sambil menggenggam tanganku Ia berujar "Ras, kamu yang sabar ya Dek' kamuu... keguguran".

"Apa Mba? Gak mungkin Mba, aku jaga betul kandunganku, aku minum vitamin, aku banyak makan, aku sehat mba" . Air mataku deras mengalir. "Ya Allah bertubi-tubi kau memberiku cobaan. Inikah hukuman? Cobaan atau karmakah ini Ya Allah, ampuni Hamba ya Allah. Aku mohooon sudahi penderitaanku".

**********

"Bu, Laras minta maaf ya Bu. Selama ini sudah berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah". Kataku sambil mendekap Ibu dengan erat dan linangan air mata. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, aku hanya bisa menangis di dekapan Ibu, mengikhlaskan kepergian anak kedua kami, dan bersabar menghadapi keadaan Mas Bali.

"Sudahlah Ras, tak perlu kamu katakanpun Ibu sudah megerti kenapa kamu berpikiran seperti itu, bukan hanya kamu, tapi kalian memang tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah".

"Ibu sama sekali tidak menceritakan apa-apa ke kami tentang Ayah sejak kecil Bu. Mira cuma ingat waktu itu saat Mira dan Tasya masih kecil, Ibu menyeret kami berdua keluar rumah. Kemudian tinggal bersama Ibu di rumah kita yang sekarang masih Ibu tempati. Mira juga ingat, Ibu selalu berwajah sedih ketika Mira atau Tasya bertanya tentang Ayah. Laras yang masih dalam kandungan Ibu waktu itu, tentu saja tidak tau apa-apa Bu, terlebih lagi, Mira menceritakan kejadian itu kepada Laras saat Laras SMP. Wajar jika Laras berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah".

Ka' Mira berusaha mengingat-ingat kejadian Ibu dan dirinya serta Ka Tasya keluar dari rumah. Tapi hanya sebatas itu yang Ka Mira ingat.

"Kamu ingat Mira? Malam sebelum kita keluar dari rumah, Ibu bertengkar hebat dengan Ayah?". Tanya Ibu kepada Ka Mira mencoba mengingatkannya. Berharap Ka Mira masih mengingat kejadian malam itu.

"Iya Bu, Mira ingat. Itu sebabnya. Yang tertanam dibenak Mira dan Tasya adalah Ibu pergi meninggalkan Ayah karna tidak bahagia karna pertengakaran itu".

"Sebetulnya hari itu Ibu sama sekali tidak berniat meninggalkan Ayah. Sebenarnya Ayah kalian sakit kanker. Ia menderita selama beberapa tahun terakhir sebelum kita pergi meninggalkannya. Ibu berusaha tetap disampingnya, menjadi Istri yang baik baginya, juga Ibu yang selalu ada buat kalian. Tapi Ayah kalian terlalu berpikiran sempit. Ibu yang saat itu masih muda, malah ingin diceraikannya. Ayah ingin menceraikan Ibu agar Ibu bisa menikah lagi dengan laki-laki mapan yang sehat dan tidak menyusahkan Ibu. Waktu itu Ibu sama sekali tidak menduga dengan ucapan Ayah kalian".

Ibu terdiam ditengah-tengah ceritanya, melamun membayangkan kisah yang dulu pernah terjadi dengan Ayah. Kemudian melanjutkan kembali ceritanya yang cukup panjang.

"Ayah marah pada Ibu, Ia membentak Ibu dan memasukkan pakaian-pakaian Ibu juga Mira dan Tasya ke dalam koper besar, kemudian mengusir kami bertiga. Saat itu Ayah belum tau jika Ibu tengah mengandung Laras".

"Jadi Bu, bukan kita yang meninggalkan Ayah, tapi justru Ayah yang mengusir kita?". Tanya Ka' Tasya dengan raut wajah terbelalak karna kagetnya.

"Iya Tas, kita diusir Ayah. Karna Ia tidak ingin kita menderita mengurusnya. Rumah yang kita tempati sekarangpun sebenarnya juga rumah Ayah. Ayah kalian ingin kita pisah rumah agar kita tidak larut dan sibuk mengurusnya hingga melupakan kepentingan kita masing-masing. Ayah bilang, kita harus tetap hidup sehat dan bahagia tanpa perlu mengurusi orang sakit yang tidak berguna". Ibu meneruskan ceritanya, kali ini air matanya sudah tidak terbendung lagi.

"Ayah menyerahkan sertifikat rumah yang sekarang kita tempati bersama kuncinya, Ia bilang pada Ibu.........."

"Sekarang juga kau keluar dari rumah ini, bawa sertifikat rumah ini, dan ini kuncinya. Untuk sementara, tinggalah kalian di rumah itu. Jika nanti kau menemukan laki-laki yang mau bertanggung jawab dan sehat, menikahlah lagi. Aku sudah menceraikanmu. Ingat satu hal. Jangan pernah kembali kemari. Jangan pernah mengurusi hidupku yang sudah tidak lama ini".

Suara tangis Ibu kini semakin terdengar. Ia terus melanjutkan ceritanya.

"Setelah itu, kami hidup terpisah. Kita berempat menempati rumah itu hingga sekarang. Tak satu kalipun Ibu berpikir untuk menikah lagi. Tanpa sengaja ibu melihat sosok ayah mengintip dari balik pohon di halaman depan rumah, rupanya Ia terus mengawasi kehidupan kita. Padahal esoknya setelah kita pindah ke rumah itu, Ibu sempat kembali ke rumah kita yang dulu bersama Ayah. Tapi rupanya Ayah sudah menduga hal itu pasti terjadi, maka Ia pergi dari rumah itu juga setelah kita keluar. Ayah menjual rumah lama kita kemudian hidup entah di mana. Ibu tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.Ibu mencarinya ke rumah nenek, orangtua ayah di Bandung, tapi nihil. Ayah tidak di sana. Nenek dan Kakek dengan kekhawatirannya ikut membantu Ibu mencarinya. Tapi tidak pernah menemukan Ayah. Sampai pada suatu hari. Ada orang datang ke rumah Ibu membawa pesan dari nenek bahwa Ibu harus segera datang. Ketika Ibu datang ke rumah nenek, pemakaman Ayah sedang berlangsung".

Saat itu juga aku, Ka Mira, Ka Tasya juga Ibu menangis bersamaan, kami berpelukan dalam duka. Tidak kusangka, Ayah yang selama ini belum pernah kutemui. Bahkan wajahnya saja tidak pernah aku tau, ternyata sudah tiada sejak lama. Terlebih Ka Mira yang saat kecil sangat dekat dengan Ayah. Ia menangis paling lama, terkadang terdiam dalam lamunan.

"Maaf Bu, maafkan Laras sudah berlaku tidak adil pada Ibu. Laras sudah berpikiran negatif tentang Ibu terhadap Ayah. Maafkan Laras Bu".

Ibu mendekapku makin erat, dengan lembut Ia katakan "Sudahlah Laras, kau sama sekali tidak tau apa-apa. Jangan menyalahkan dirimu karna ini. Berdoa dan jangan menyerah pada kondisi suamimu. Jika Allah ingin Ia pergi, pasti Ia sudah pergi sejak dua tahun lalu saat pertama masuk rumah sakit ini. Dia masih terbaring lemah karna Allah menghendakinya. Ia ingin kau menyadari kesalahanmu yang telah bersikap suudzon kepadaNya saat kau memutuskan untuk tidak butuh menikah. Sekarang kau menyadarinya. InshaAllah, Allah akan memberikan jalan keluar setelah ini. Baik itu menyadarkannya dari koma, atau mengambilnya. Yang jelas, apapun keadaannya nanti, kau sudah harus siap menghadapinya".

Kalimat Ibu makin menyadarkanku bahwa aku harus bersabar sebentar lagi. Aku tidak akan menandatangani dokumen pernyataan persetujuan itu. Aku akan tetap tegar menanti Mas Bali bangun. Benar kata Ibu, ini karna kehendak Allah. Berapapun harta yang harus aku habiskan, aku tidak peduli, akan kukeluarkan semuanya demi suamiku tercinta.

Tidak lama setelah cerita Ibu selesai di ruang tunggu Rumah Sakit, tiba-tiba suster menghampiri kami. "Bu Laras, silahkan ke ruang rawat, ini mukjizat. Pak Hambali sadar, ini hari pertama Ia membuka mata Bu, silahkan segera menemuinya".

Seketika itu juga aku menghapus air mataku, ya Allah. Hanya dalam hitungan menit saat aku menyadari kesalahanku dan memohon kepadaMu diberikan jalan, Engkau langsung mengijabah doaku dan Ibu. Ya Allah sungguh Maha Besar Engkau atas segala kehendakmu.

Akhirnya Mas Bali terbangun dari komanya. Ia bingung kenapa ada di Rumah Sakit. Ia kaget setelah kuceritakan sudah dua tahun Ia terbaring di sini. Setelah itu, Mas Bali berangsur-angsur pulih. Ia sehat seperti sedia kala. Aku menjalani hari-hariku dengan lebih banyak bersyukur dan berjanji kepada Allah bahwa tidak akan pernah lagi suudzon kepadaNya. Terimakasih ya Allah, masih melindungi Mas Bali.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay

Sabtu, 16 Mei 2020

Mantan

Gue tau lu gak kenal gue, bahkan kita sama sekali gak pernah ketemu. Gue tau ini bukan salah lu. Tapi gue pingin banget nyalahin lu. Karna gue kesel. Lu itu bukan apa-apa. Dibanding gue, lu itu nihil. Sementara gue? Apa kurangnya gue coba? Gue lebih cantik, gue lebih cerdas, karir gue lebih cemerlang, gue lebih gaya, dan yang paling penting dari itu semua, gue lebih punya banyak penggemar dari pada lu yang biasa-biasa aja. Biasa banget malah.

2 tahun lamanya gue dan mas Alif menjalin hubungan. Tiba-tiba Ayah gue merasa kami sudah lama dekat. Karna itulah tiba-tiba aja Ayah menanyakan tentang keseriusan Mas Alif denganku putrinya. Tanpa gue duga, Mas Alif merespon pertanyaan Ayah dengan lamarannya ke gue. Karna gue mencintainya dengan sangat, maka sudah pasti gue terima dia jadi calon suami gue. Kamipun menikah.

Gue merasa terbang, merasa di awan karna perlakuan Mas Alif yang luar biasa memprioritaskan gue sebagai istrinya. Ditahun ketiga pernikahan kami, kami belum juga dikaruniai anak. Tapi kami tidak pernah putus asa, berbagai macam program kami ikuti demi mendapatkan keturunan. Padahal secara kesehatan fisik, kami berdua sehat-sehat aja, tidak ada masalah. Tapi mungkin Allah memang belum mempercayakan kepada kami.

Suatu hari Mas Alif ambruk dikantornya, rekan kerjanya menelponku dan mengantarkan Mas Alif ke Rumah Sakit. Mas Alif menjalani perawatan selama beberapa hari. Yang membuat kami terkejut, Mas Alif ada indikasi mengarah ke kanker. gue lebih kaget daripada dia. Kami tidak pernah sama sekali berfikir akan mengalami masalah ini.

Tapi dokter bilang, kanker Mas Alif masih stadium awal, dengan kemoterapi dan dibantu obat-obatan herbal, mungkin Mas Alif masih bisa selamat. Pada akhirnya, gue berjuang demi dia. Apapun akan gue lakuin demi dia sembuh. Program kehamilan terpaksa kami tunda. Kami harus fokus menyembuhkan kanker Mas Alif yang katanya masih diawal-awal.

Entah bagaimana terjadinya, baru aja seminggu lalu di vonis kanker tapi masih bisa diselamatkan, tiba-tiba hari ini Mas Alif ambruk lagi. Kali ini Ia tidak sadarkan diri selama dua hari. Gue? Tentu aja gue nangis sejadi-jadinya. Gue cinta banget sama dia. Gue gak mau hidup tanpa dia di dunia ini. Gue gak mau kehilangan Mas Alif.

Dokter bilang kemungkinan besar Mas Alif bisa down secepat ini padahal masih di awal kanker, adalah karna dia sedang tidak bersemangat menghadapi hidupnya. Kemungkinan besar dia tidak termotifasi untuk kesembuhannya. Bisa jadi dia depresi, sehingga jadi down lebih cepat. Dokter menyarankan gue untuk tetap memberinya semangat. Bahkan gue harus tau, kebiasaan yang bisa bikin Mas Alif senang dan bersemangat.

Sampai tiba-tiba, gue baca isi diary dia. Well, dia gak seperti perempuan-perempuan yang punya buku diary tentunya. Diary itu berupa catatan harian yang tertuang di laptopnya. Kalian tau? Ini mirip cerita film BCL dan Ben Joshua. Yang judul soundtrack lagunya Sani. Yak, bener banget tebakan lo semua. Di dalam diary itu isinya penuh dengan curhatan Mas Alif tentang Sani. Eh salah, tentang mantannya bernama Nada.

Gue tau siapa Nada, gue tau Nada adalah mantannya semasa SMA, gue juga tau Nada seperti apa, meski gue belum pernah secara langsung bertemu dengan perempuan bernama Nada ini. Selayaknya suami istri, pasti pernahlah beberapa kali nyeritain tentang mantan masing-masing. Waktu gue mau buka folder diary Mas Alif yang di password, gue deg-degan karna gak tau passwordnya. Yang gue inget, Mas Alif pernah cerita kalo semua Password dan Pin yang dia punya adalah tanggal lahir orang-orang yang penting dikehidupannya.

Maka gue coba-coba dengan tanggal lahir gue, ternyata gue keGR'an, bukan itu passwordnya, gue coba tanggal lahir mertua gue dua-duanya. Juga bukan. Saat putus asa, tiba-tiba gue merinding, mengingat Mas Alif pernah menyebut tanggal lahir mantannya saat lagi iseng cerita-cerita tentang mantan masing-masing. Bulu kuduk gue berdiri, sumpah ini lebih serem daripada ketemu valak. Dengan ragu-ragu, gue ketik tanggal lahir mantannya itu. TARAAA...... dan yuppp bener banget, folderpun terbuka.

Gak langsung gue buka satu persatu catatan diary itu. Karna gue masih shock. Apa ini, kenapa Mas Alif bikin folder diary dengan password tanggal lahir mantannya? Apakah ini folder lama saat mereka masih berhubungan dulu? Tidak mungkin, karna ini laptop baru, buat apa Mas Alif susah payah mindahin folder masa lalu ke laptop barunya kalo bukan karna memang penting. Apa artinya?

Ya tentu aja artinya folder ini memang penting buat Mas Alif. Tapi tanggal lahir perempuan itu? Wah seribu tanya dikepala gue saat itu. Gue gak berani buka, dan gue sama sekali gak mau tau isi diary itu. Gue takut perasaan gue hancur. Karna gue udah bisa nebak isinya dari password yang Mas Alif gunakan.

Gimana menurut kalian? Mirip gak sama ceritanya Sani? Yah kalo kalian nebak setelah ini gue harus ngejar-ngejar Nada demi kesembuhan Mas Alif, itu udah pasti bener banget. Kenapa? Karna beberapa hari kemudian kondisi Mas Alif makin drop. Dokter terus menyarankan gue untuk tetap kasih dia semangat menjalani hidup. Jadi gue terpikir, mungkin gak kalo Mas Alif benar masih cinta sama si Nada mantannya ini. Mungkin gak ceritanya BCL di film Sani yang judulnya Cinta Pertama bisa kejadian sama pernikahan gue. Bedanya kita tukar posisi. Disini yang sedang sekarat Ben Joshuanya, bukan BCL. Dan bedanya lagi, Sani yang udah nikah yang masih inget mantan pertamanya.

Akhirnya gue memberanikan diri membaca catatan-catatan di folder diary Mas Alif. Tepat seperti dugaan gue. Air mata gue ngalahin panjangnya sungai nil. Sakit bukan main. Bener juga tebakan kalian semua. Kejadian di film Sani Cinta Pertama bakal terjadi dipernikahan gue. Akhirnya demi kesembuhan Mas Alif, gue harus bersusah payah mencari alamat Nada. Dengan hati yang masih terkoyak koyak, akhirnya gue ketemu sama Nada.

Beda dengan cerita Cinta Pertama yang kala itu Ben Joshua sudah beristri sehingga butuh membujuknya lebih kuat agar dia mau menemui BCL yang lagi sekarat. Dicerita gue, Nada mantan Mas Alif ini masih jomblo. Demi menyenangkan diri gue, kita anggap aja si Nada ini perawan tua yang memang belum laku. OK, jahat memang, tapi lebih jahat dia yang udah ngancurin perasaan gue. Walopun gue sadar sebenarnya yang salah disini adalah Mas Alif, tapi sebagai perempuan normal, udah pasti kita nyalahin orang ketiga lebih dulu, sebelum kita ngamuk-ngamuk ke pasangan kita tentunya. Iya dong. Emang kalian gak akan begitu? OK gak usah dibahas.

Singkat cerita, Nada akhirnya gue pertemukan dengan Mas Alif yang dalam kondisi masih tidak sadar di Rumah Sakit. Udah hari ke empat Mas Alif belum juga sadar. Gue gak ngerti, apa yang sebenernya gue harapkan. Kalo dicerita BCL, akhirnya dia meninggal. Selesai sudah dengan perasaan calon suaminya yang kecewa karna ternyata BCL masih cinta sama sani si mantan yang sebenernya jadian juga belom sih. Bagian yang ini lebih miris.

Gue sama sekali gak berharap Mas Alif pergi ninggalin gue karna penyakitnya. Tapi gue jadi mikir, kalo Mas Alif akhirnya membuka mata dan melihat Nada. Apa yang terjadi dengan gue? Apa gue aja yang mati? Ya Allah jeleknya pikiran ini.

Tidak butuh waktu lama bagi Nada menyemangati Mas Alif. Hari berikutnya ketika Nada datang, Mas Alif membuka mata. Ia sadar. Tentu Mas Alif kaget melihat Nada yang sedang menggenggam tangannya dan gue yang berdiri disampingnya. Gue merasa makin sakit liat adegan ini.

Tiba-tiba Mas Alif melihat ke arah gue dan dengan perlahan melepaskan genggaman tangan Nada. Kemudian Ia berbisik ke arah gue. Tanda bahwa gue harus mendekat agar bisa mendengar ucapannya. Gue coba dekatkan wajah gue yang lagi basah dengan air mata. Kalian semua pasti ga nyangka lagi dengan apa yang diucapkan Mas Alif.

"Sayang, kenapa ada Nada di sini? Lagipula, kenapa dia pegang-pegang tangan aku didepan kamu?". Tanyanya dengan suara parau yang dipaksakan.

"Maaf Mas, aku baca isi catatan kamu di folder diary dalam laptop kamu. Udah empat hari kamu gak sadar. Dokter bilang, kamu perlu support agar tetap semangat untuk hidup. Aku bingung harus apa. Gak sengaja aku baca tulisan kamu itu. Kamu terlalu cinta sama dia Mas. Aku paham, aku baik-baik aja Mas. Yang terpenting sekarang kamu sehat". Begitu jawaban gue saat itu. Sementara Nada hanya memandangi kami dengan wajah kebingungan.

Kemudian dia bicara pada Mas Alif. "Lif, istri kamu yang nyari aku dan minta agar aku ke sini nemuin kamu yang lagi koma sejak kemarin. Dia juga cerita, kalo katanya dia baca tulisan kamu tentang aku di laptop kamu. Maaf Lif, aku gak pernah tau perasaan kamu yang begitu dalam sama aku". Itu kalimat Nada.

Tapi lo semua tau yang terjadi kemudian? Mas Alif berusaha bangkit. Ia menyandarkan kepalanya di bantal dengan posisi duduk, Ia membuka masker oksigen yang masih menempel di wajahnya. Kemudian Ia tersenyum dan tertawa melihat kami. Gue dan Nada.

Tentu kami bingung. Tapi kemudian, Mas Alif menjelaskan semuanya.

"Nada maaf, udah ganggu waktu kamu berapa hari ini harus datang ke sini nengokin aku. Tapi yang paling aku ingin kamu maafin adalah perbuatan bodoh istriku yang cantik dan malang ini". Katanya sambil sedikit tertawa.

Nada semakin kebingungan. Tapi kami terus berusaha mendengarkan dengan baik.

"Nada, memang dulu saat kita masih sekolah, aku cinta sama kamu. Bahkan cintaaa sekali denganmu. Itu sebabnya aku menyimpan semua kenangan kita dalam laptopku. Semua cerita-cerita kita, bahkan foto-foto kamu aku simpan dalam laptopku. Tapi sungguh demi Allah Nada, itu dulu. Sekarang perasanku udah gak sama lagi".

Gue dan Nada saling pandang. Kami bingung. Yang lebih terkejut ya gue pastinya. Mas ALif melanjutkan.

"Sejak ketemu dengan Lani istri bodohku ini (Sambil menggenggam tangan gue saat ngomong ini), Perasaan cinta itu udah untuknya. Bukan lagi untuk kamu Nada. Aku benar-benar minta maaf udah buang waktu kamu. Tapi terima kasih banyak kamu udah mau ngeluangin waktu untuk datang ke sini".

Pastinya gue masih bingung. Antara Mas Alif bohong karna takut melukai perasaan gue yang udah terlanjur luka dari kemaren-kemaren, atau karna apa gue gak tau. Yang jelas gue jadi gak enak sama Nada tapi juga merasa menang dan senang tentunya. Tentu aja gue dan Nada penasaran dengan folder diary itu. Maka gue bertanya.

"Tapi Mas, folder itu ada di laptop baru kamu dan masih dengan password tanggal lahir Nada. Apa maksudnya itu?". Tanya gue dengan muka super duper penasaran. Lagi-lagi Mas Alif tertawa kecil.

"Jadi, kamu tau tanggal lahir Nada? Kamu tau gak, udah berapa lama aku gak bisa buka folder itu dan gak bisa hapus. Karna apa? Karna aku lupa passwordnya Sayang. Kamu ingat, waktu aku beli laptop baru, aku bawa laptop baruku dan laptop lama peninggalan masa sekolahku dulu ke Albert teman kantorku yang jago banget dibagian IT kantor. Aku minta Albert pindahkan semua folder penting ke laptop baruku. Tapi karna Albert gak tau mana yang bagiku penting, ya dia pindahkan aja semuanya. Sementara saat aku mengecek satu persatu isi laptopku, aku menemukan folder diary itu. Tapi tidak bisa ku otak atik saat itu. Karna aku lupa passwordnya. Uda kucoba delete tapi tidak bisa juga. Albert bilang bawa laptopnya ke dia supaya bisa dia delete menggunakan aplikasi software entah apa namanya. Tapi karna aku sibuk dan kupikir itu gak penting, hanya masa lalu yang udah bertahun-tahun terkubur, yah aku santai aja gak berbuat apa-apa denga folder itu".

Sumpah gue gak tau mau ketawa seneng atau mau nangis denger penjelasan Mas Alif. Yang jelas, kemudian dia menarik lenganku ke dalam dekapannya sambil berkata "Gak ada satupun perempuan dimanapun yang lebih aku cinta dari kamu dan Ibuku. Jadi jangan mikir macem-macem".

Begitu katanya.

Ya Allaaah, gue mau ketawa rasanya. Nada? Gak tau ya apa yang dia rasa saat itu. Tapi dengan wajah tersenyum Nada berkata bahwa dia lega mendengar penjelasan Mas Alif karna dia tidak perlu menjadi pengganggu rumah tangga orang apalagi perebut suami orang. Kemudian Nada gue antar pulang sampai ke depan gerbang Rumah Sakit. Tak lupa gue ngucapin banyak terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya atas ketololan gue itu.

Ternyata selama ini itu cuma khayalan gue aja. Mungkin karna kebanyakan nonton sinetron atau mungkin karna terlalu suka sama film BCL dan Ben Joshua Cinta Pertama itu. Yang jelas film itu lumayan bagus dan cukup sukses bikin gue nangis di bioskop waktu itu. Haduuuuh kisah gue ini konyol kalo dipikir-pikir.

Sampe tulisan ini terbit di blog, Mas Alif masih menjalani kemoterapi, terakhir kami pergi ke singapore untuk pengobatan lanjutan. Perlahan Mas Alif berangsur sehat. Semoga akan terus sehat kedepannya.

Ya Allaaaah aku makin cintaaa sama Mas Alif. tolong bantu kami menghadapi semua cobaanmu. Aamiin.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay

#CurhatSeorangTeman

Jodoh PilihanMu (Tari)

Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menghidupiku dan Mama. Sementara Papa dipenjara, aku akan terus berusaha membahagiakan Mama.

Aku benci sekali pada Oma, dia keterlaluan. Setiap hari mencaci Mama. Menyalahkan Mama atas kebangkrutan dan dipenjaranya Papa. Andai Orangtua Mama masih ada, mungkin kami akan tinggal dengan mereka. Sayang saat ini kami hanya bisa mengandalkan Oma yang Ibunya Papa. Alhasil setiap hari Mama jadi bulan-bulanan Oma.

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk membawa Mama pergi dari rumah terkutuk ini. Sungguh menyebalkan. Bukannya aku yang cucunya ini tidak berbakti pada nenekku. Tapi aku tidak tahan melihat perlakuan Oma kepada Mama. Seringkali kami menangis berdua. Tiap kali saudara-saudara Papa datang, mereka hanya mencibir keluargaku tanpa menolong sama sekali. Aku benci sekali. Jika bukan karna Mama, mungkin aku sudah mati saja.

Ke mana Dimas. Dia menghilang bagai ditelan black hole yang entah berujung di galaxy mana. Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, Ia hanya memintaku bersabar atas apa yang terjadi pada keluargaku. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya bahwa dia akan meninggalkanku begitu saja. Suatu kali aku pernah pergi ke rumahnya. Keluarganya seperti menutup-nutupi keberadaan Dimas.

Mereka yang awalnya sangat baik padaku, sangat ramah dan selalu menerima kehadiranku sebagai pacar Dimas. Tapi kali itu terasa sangat jauh berbeda. Aku mengerti, ternyata memang benar, harta bukanlah segalanya tapi segalanya butuh harta, bahkan untuk menjalin hubungan sekalipun. Ironis. Inilah hidupku saat ini.

"Ma, kita pergi aja yuk. Tari udah gak tahan lihat perlakuan Oma ke mama. Pokonya kita keluar dari rumah ini sekarang juga." Pintaku pada Mama.

Meski aku masih tidak tau harus ke mana. Tapi aku harus menyelamatkan Mama dari kelukaan yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah cukup bagiku melihat itu. Akhirnya Mama setuju. Mungkin Iapun lelah diperlakukan kasar seperti itu. Kami keluar dengan hanya membawa tas besar berisi pakaian secukupnya. Uang di dompet hanya cukup untuk hidup satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Mama tidur di hotel malam ini. Setidaknya kami bisa nyenyak untuk satu malam saja.

Tapi kemudian aku teringat Adiba. Apa mungkin aku lagi-lagi meminta pertolongannya? Rasanya kali ini akan lebih sulit. Karna seakarang Adiba sudah menikah. Dia sudah punya keluarga kecil yang harus lebih diperhatikan. Apa yang harus kulakukan. Aku dan Mama terdiam, hanya terduduk di bangku taman tanpa tau harus apa.

"Tari, apa sebaiknya kita kembali saja?" Tanya Mama dengan pandangan mata yang sedih dan bingung. Akupun tidak tau harus bagaimana. Tapi untuk kembali pulang ke rumah Oma rasanya lebih berat daripada harus tidur di kolong jembatan.

"Sabar ya Ma. Tari janji malam ini juga kita akan dapat tempat." Jawabku kemudian.

Aku mencoba mengirim WhatsApp ke Adiba. Siapa tau Ia sedang tidak sibuk dan berkenan membantuku lagi.

"Hai Dib, sibuk ya? Gue lagi sama nyokap nih di bangku taman komplek. Lagi duduk-duduk aja."

"Hai, ngga sibuk koq. Kebetulan abis bikinin Ka Ibra kopi, terus kita lagi duduk-duduk santai aja nih di ruang TV. Ngomong-ngomong ngapain lu sama nyokap di taman?"

"Akhirnya gue sama nyokap keluar dari rumah Oma. Gue gak tahan Dib. Dan sekarang gue gak tau harus ke mana."

"Astagfirullah Tari. Kasian nyokap lu dong. Lu gimana sih. Gak punya rencana apa-apa nekat keluar bawa-bawa nyokap. Udah deh mending lu ke rumah gue sekarang. Segera ya. Cepetan cari taksi."

"MasyaAllah Dib, gue gak nyangka jawaban lu. Bener-bener cuma lu yang tersisa di hidup gue saat gue susah kaya sekarang ini."

"Gak usah banyak ngomong aneh-aneh, kasian nyokap. Cepetan ke sini."

Kami sampai di rumah Adiba yang cukup besar, megah, dan indah. Alhamdulilah, Adiba akhirnya sudah kembali kepada kehidupannya semula yang bergelimangan harta. Allah memang Maha mendengar doa-doa setiap hambaNya. Syukurlah Adiba dipertemukan kembali dengan Ka Ibra yang status sosialnya bahkan ternyata lebih tinggi daripada kami dulu yang hanya anak seorang pejabat negara.

Ka Ibrahim ternyata sudah mendengar semua cerita tentang keluargaku. Alhamdulilah Ia menerima kami dengan sangat terbuka. Mereka ramah sekali. Aku tak habis pikir, mereka yang tidak ada hubungan darah sama sekali masih bisa bersikap baik pada kami. Jauh dengan sikap Oma yang masih saja arogan padahal selama ini hanya Papah yang menopang hidup Oma.

"Dib, makasih banyak ya. Lu masih mau aja gue susahin." aku terisak menangis dalam pelukan sahabatku Adiba. Rasanya nyaman. Aku merasa lebih butuh sahabat seperti Adiba daripada pacar macam Dimas yang begitu saja menghilang entah ke mana.

"Ya udah lu santai aja dulu di sini yah. Kita pikirin caranya sama-sama nanti. Yang penting sekarang lu sama nyokap istirahat aja dulu. Gue anter ke kamar yuk."

Mama tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepada Adiba. Tentu saja, itu pasti karna Mama merasa diperlakukan sangat jauh berbeda dari tinggal di rumah Oma.

Singkat cerita akhirnya aku dan mama tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan Adiba dan Ka Ibrahim karna mereka merasa lebih baik kami tinggal di rumah mereka, tapi pada akhirnya mereka mengalah dan menghormati keputusan kami dengan membiarkan kami tinggal di kontrakan tempat Adiba dan keluarganya dulu tinggal.

Aku sangat bersyukur memiliki Adiba sebagai sahabatku satu-satunya yang masih peduli terhadapku. Aku memulai hidupku yang sederhana di rumah kontrakan ini. Seperti biasa, seminggu sekali kami mengunjungi Papah.

"Assalamualaikum Pah." sapaku pada Papah sambil mencium tangan Papah.

"Waalaikumsalam Nak' Alhamdulilah kalian masih mau datang rutin seperti ini."

Mata Papah berkaca-kaca, aku tahu kepedihan hatinya ditingal banyak orang kepercayaannya bahkan saudara-saudaranya. Rasanya pasti lebih parah dari apa yang kurasakan ketika teman-teman, sahabat, bahkan pacarku pergi menghilang meninggalkanku begitu saja. Aku menceritakan keadaan kami yang sekarang tinggal di rumah kontrakan. Aku berkata bahwa kami tidak ingin menyusahkan Oma, itu sebabnya kami pindah.

Aku tak sampai hati menceritakan kelakuan buruk Ibunya terhadap Istrinya ini. Bagaimanapun, beban Papah sudah cukup berat. Walaupun pada akhirnya aku tahu jika ternyata Oma sudah lebih dulu menghubungi Papah dan menceritakan bahwa kami minggat dari rumahnya. Pastinya dengan cerita yang sangat amat sekali berbeda dan terlalu dilebih-lebihkan.

Tapi sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi dengan kami di rumah Oma. Sehingga Ia memilih diam dan menerima keputusan kami untuk tetap tinggal di rumah kontrakan itu tanpa meminta ataupun memaksa kami kembali ke rumah Oma.

* * * * * *

Siang ini udara sangat terik. Aku yang masih saja ke sana kemari mencari pekerjaan seorang diri sangat sering merasa putus asa. Tapi demi Mama, aku harus terus berjuang. Aku duduk di depan sebuah coffee shop yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku. Sampai di detik ke sekian aku melihat pemandangan yang tidak asing bagiku.

"Bukannya itu Dimas?" gumamku dalam hati. Tapi sepertinya aku memang harus tidak terkejut. Karna aku yakin Dimas memang tidak ke mana-mana. Omongan Mamanya yang berkata Dimas kuliah di luar negri, sudah pasti hanya akal-akalan keluarga mereka untuk menjauhkanku darinya.

Aku sangat kangen padanya. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke pelukannya. Tapi aku takut. Sangat takut jika ternyata Dimas memang benar-benar ingin menjauh dariku. Tapi aku masih butuh kepastian darinya. Apa yang harus kulakukan. Mendatanginya atau biarkan saja.

Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, sepertinya Dimas masih sangat peduli padaku. Jadi, apa yang harus kulakukan. Aku berdiri di ambang pintu coffee shop. Antara mau masuk atau tidak. Sampai tiba-tiba sesosok tubuh tegap dengan wajah manis berdiri tegak dihadapanku.

"Permisi mba," katanya padaku. Tak lama kami berpandangan, Ia terkejut. "Tari." teriaknya sambil meraih tanganku, menarikku keluar ke sudut jalan kemudian Ia memelukku.

"Tari kamu ke mana aja? Aku cari ke rumahmu yang dulu ternyata sudah di sita KPK, aku ke tempat Omamu tapi beliau bilang kau dan Mamamu minggat tanpa pamit. Sepertinya Ia marah sekali. Ada apa sebenarnya. Bukannya di rumah Oma hidupmu lebih baik?"

Pertanyaan Dimas bertubi-tubi hingga tak terasa air mataku menetes.

Akhirnya kami masuk ke Coffe Shop itu. Duduk berdua, berhadapan dengan Dimas membuat hatiku berdegup sangat kencang. Tak bisa kupungkiri aku masih sangat mengharapkannya bersamaku. Tapi hidupku yang sekarang berantakan ini, apakah bisa diterima Dimas. Aku masih diam sampai akhirnya

"Kenapa kamu nangis? Ceritain ke aku ke mana aja kamu selama ini. Bagaimana hidupmu sekarang? Sebelumnya aku minta maaf karna aku gak bisa menghubungi kamu. Handphone lamaku disita Mama dengan nomornya. kemudian aku dibelikan handphone baru dengan nomor baru. Mungkin agar aku tidak bisa menghubungimu. Aku bingung mencarimu ke mana."

"Dimas, kalau apa yang kamu bilang itu benar, kalau kata-katamu barusan itu benar, bahwa kamu mencariku. Aku betul-betul berterima kasih atas itu. Tapi sumpah, aku sangat mengerti jika saja kamu harus dengan terpaksa tidak menemuiku lagi karna mamamu. Aku tidak masalah." Kataku sambil tertunduk tanpa berani menatap Dimas.

"Tar, untuk saat ini maaf, aku masih harus nurutin kata mamaku. Bagaimanapun aku memang laki-laki yang belum bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Kamu tau kan. Selesai kuliahpun aku dipekerjakan mama diperusahaannya. Aku belum diijinkan membuka usaha sendiri. Tapi aku janji, kasih aku waktu dan kita akan hidup sama-sama nanti. Aku akan buktikan ke mama bahwa aku bisa mandiri. Aku akan kumpulkan uang sendiri, kemudian membangun usahaku sendiri dan setelah itu aku akan dengan berani membawamu ke hadapan mama. Tapi semua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku minta kamu bersabar untuk itu. Kalau kamu mengijinkan, sementara ini kita hanya bisa bertemu diam-diam. Agar mama tidak bisa pisahkan kita lagi."

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Dia memintaku menunggunya. Apakah selama ini dia benar-benar mencariku, benar-benar masih berharap bersamaku. Aku yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini. Air mataku menetes lagi. Kali ini Ia menghapusnya dari pipiku. Kemudian aku memegang tangannya.

"Kamu gak salah? Kamu masih mau hubungan kita berlanjut? Denganku yang seperti ini?" Kataku sambil tetap menatapnya tidak percaya.

"Tari, bukankah sudah kodratnya laki-laki menafkahi dan wanita patuh terhadapnya setelah pernikahan? Jika itu benar, maka apalah artinya hartamu bagiku? Aku yang berkewajiban menafkahimu nanti. Jadi, apapun yang kamu punya sekarang, Seberapapun harta yang kamu miliki bahkan tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

Lagi-lagi aku tidak menyangka dengan yang diucapkan Dimas. Kenapa Dimas berpikir terlalu jauh. Apa dia yakin nantinya kami akan menikah. Saat ini aku hanya bisa berharap semua yang Dimas katakan akan terwujud meskipun entah kapan.

Akhirnya sore itu aku pulang tanpa hasil. Masih saja tidak ada satupun perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi kali ini meskipun pulang tanpa hasil, hatiku sangat senang. Lain dari biasanya. Aku sempat bertukar email dengan Dimas. Sengaja kami tidak bertukar nomor Handphone, karna khawatir mamanya Dimas akan menemukan kontakku di handphnenya Dimas. Jadi kami hanya chat melalui email saja. Bagiku itu sudah cukup untuk saat ini.

Mama bingung melihat perubahan sikapku hari ini. Tapi aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian hari ini bertemu Dimas kepada Mama. Karna aku takut mama malah melarangku berhubungan dengan Dimas karna malu.

"Kelihatannya senang sekali. Apa hari ini berhasil dapat pekerjaan?" Tanya mama penasaran.

"Sayangnya ngga begitu ma, masih sama seperti kemarin-kemarin. Tanpa hasil." jawabku kemudian.

* * * * *

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan. Bagaimanapun, aku harus membayar hutang-hutangku pada Adiba. Meski Adiba sudah mengikhlaskan. Tapi aku sudah berjanji padanya akan mengembalikan uang yang Ia pinjamkan untuk membayar sewa rumah yang kami tempati ini.

Singkatnya, aku makin sering bertemu Dimas diam-diam. Sudah dua bulan ini hubungan kami berjalan seperti ini. Seperti tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing. Aku dan Dimas selalu mencari tempat yang berbeda untuk bertemu. Khawatir mama Dimas mengikuti kegiatan Dimas seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kue. Meskipun gajiku jauh dari kata cukup, setidaknya aku masih punya penghasilan untukku dan mama hidup sehari-hari. Meski kadang kami sampai tidak makan seharian karna uang gaji yang selalu saja habis sebelum waktunya.

Sebetulnya Dimas tau hal itu, Ia seringkali memberiku uang untuk hidupku dan mama. Tapi tak pernah sekalipun kuterima. Karna aku tidak mau bergantung padanya.

"Tari, aku bener-bener gak tahan lihat hidupmu dan mamamu terus kekurangan seperti ini dan kamu sama sekali gak mau menerima bantuanku sedikitpun. Apa kamu sama sekali gak bisa menganggapku berarti?"

"Maaf Dimas, tapi kita sudah pernah membahas masalah ini. Dan saat itu kamu sudah mengertikan kenapa aku seperti ini?"

Alhamdulilah Dimas mau mengerti. Ia tidak memaksakan kehendaknya untuk menghidupiku dan Mama. Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan Dimas. Saat bulan ketiga aku bekerja di toko kue, tiba-tiba aku dapat ide untuk menjual kue-kue yang ada di toko tempatku bekerja di halaman depan rumah kontrakan kami. Alhamdulilah bosku pemilik toko kue mengijinkanku untuk membawa dulu beberapa kue setiap hari untuk dijual Mama di rumah, besoknya barulah kue-kue yang telah laku dibayar dan yang tidak laku dikembalikan ke toko.

Bosku ini memang baiknya luar biasa. Aku sempat terlupa kalo sebetulnya Mama pandai sekali membuat kue. Saat dagangan kami laris, uangnya ternyata dibelikan bahan-bahan kue oleh Mama dan Mama membuatnya sendiri untuk kemudian dijual juga. Dari situ hidup kami mulai berubah.

Keadaan kami sudah tidak sesulit dulu. Perlahan, dengan modal yang kami kumpulkan akhirnya kami bisa membuka coffee shop kecil yang menjual aneka kue, roti dan donat buatan Mama. Tanpa diduga usaha kami lancar. Alhamdulilah kami tidak kekurangan lagi. Bahkan sekarang kami bisa mengirim uang dan semua kebutuhan Oma seperti dulu. Seperti sediakala saat Papa masih sukses dan kaya raya. Ini bukti bahwa Oma selama ini salah menilai kami. Bukti bahwa kamipun sanggup bertahan meski tidak ada Papah.

Saat kami mengirim uang dan keperluan Oma, dia masih saja menghina Mama. Bahkan dia memfitnah Mama menjualku anak gadisnya kepada om-om kaya agar dinafkahi sampai seperti sekarang ini. Ya Allah kenapa sih ada orangtua macam Oma? Kenapa aku harus punya nenek seperti dia. Maafkan aku ya Allah jika aku tidak berbakti padanya. Dia yang membuatku seperti itu. Demi Allah aku benci sekali padanya.

Mama hanya bisa tertunduk malu saat Oma memfitnahnya di hadapan saudara-saudara Papa yang lainnya. Kalimatnya sungguh keterlaluan dan akhirnya akupun hilang kesabaran.

"Wah...wah...sudah bisa menghasilkan segini banyak ya setelah keluar dari rumah ini? Padahal Anakku masih dalam penjara. Tapi kalian sepertinya sudah hidup senang. Om-om mana yang kau sodorkan anak gadismu itu sampai-sampai mau mengeluarkan banyak biaya seperti ini? Rumah, kendaraan, Cafe. Luar biasa pesona anakmu".

"Astagaa.... Oma cukup ya. Kalau saja Oma bukan nenekku. Kalau saja Oma bukan Ibu dari Papah, sudah sejak lama Tari memukul mulut Oma. Keterlaluan sekali ucapan Oma. Apa Oma sadar selama ini yang menghidupi Oma hanya kami. Kalaupun benar Tari jual diri. Apa peduli Oma. Yang Oma mau kan hanya hidup enak bergelimangan harta tanpa peduli harta dari mana.

Bahkan Oma tau sejak dulu jika Papah korupsi. Tapi tak sekalipun Oma melarang. Sebagai Ibu, seharusnya Oma menasihati Papa. Tapi Oma malah membiarkan itu terus berlangsung hingga Papa dipenjara. Jadi, apa bedanya Oma yang membiarkan anaknya korupsi dengan Mama yang menjual Tari? Tidak ada bedanya kan? Bedanya saat ini hanyalah apa yang dilakukan Mama tidak seperti yang dipikirkan Oma". Aku berteriak dengan lantang karna habis kesabaranku.

"Beraninya kamu bicara begitu. Begitu ya Ibumu mendidikmu hingga berani bicara kasar terhadap Oma". Jawab Oma kemudian.

"Dengar ya Oma, yang kasar itu Oma. Sejak dulu seperti orang tidak berpendidikan. Ngakunya sekolah tinggi. Tapi bisa-bisanya mendidik anak sebagai koruptor".

"PLAAAAK.............". Tamparann Oma mendarat dipipiku. Aku tidak kaget. Karna aku sudah bisa menduganya. Oma hanya bisa berbuat seperti itu setelah menyadari bahwa dirinya yang salah mendidik anak. Bukan Mamaku. Aku tersenyum kecut ke arah wajahnya. Mama langsung menarikku dari hadapan Oma.

"Cukup Bu, saya tidak pernah memukul Tari sejak dia lahir. Bagaimanapun dia berbuat kesalahan. Tapi dia tidak pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan saya hingga saya harus memukulnya. Kesabaran saya sudah habis Bu. Ini kali terakhir kami datang ke sini. Kami janji kami tidak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini".

Setelah Mama berkata begitu, kamipun pergi dari hadapan Oma. Aku sempat melihat wajah Oma yang terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dia menyadari kesalahannya. Atau malah menjadi-jadi.

Saat kami mengunjungi Papah, rasanya mulut ini tidak tahan untuk menceritakan semuanya. Kalau saja tiap berkunjung tidak selalu bersama Mama, mungkin sudah kuceritakan semua yang terjadi pada hidup kami di rumah Oma. Tapi Mama selalu mencegahnya. Mama seperti malaikat bagiku. Beliau terlalu baik. Ia tidak ingin Papah mendurhakai Ibunya demi membela istri dan anaknya. Mamaku luar biasa. Aku ingin menjadi wanita sepertimu Ma. Semoga aku bisa sekuat dirimu.

Hidupku dan Mama akhirnya kembali bahagia. Aku kembali meneruskan kuliahku yang sempat terhenti karna cuti. Semua seolah berjalan dengan sangat mulus tanpa hambatan. Sampai suatu ketika aku melihat pemandangan yang luar biasa menyakitkan. Membuatku ingin muntah. Pahit rasanya.

* * * * *

Siang itu aku memutuskan untuk ke cafe sebrang kampus setelah jam kuliah usai. Aku lelah dan rasanya ingin minum minuman segar. Maka aku mampir ke cafe itu. Sebetulnya sejak dulu, sejak pertama kali aku masuk kuliah di kampus ini, belum pernah sekalipun aku masuk ke cafe itu. Karna dulu ada seorang laki-laki menakutkan yang bekerja di cafe itu. Sebetulnya bukan menakutkan bagaimana. Hanya saja dia selalu menatapku dalam-dalam tak berkedip jika berpapasan di depan cafe itu. Jadilah aku tidak pernah jadi masuk cafe itu sekalipun.

Tapi satu bulan lalu. Aku pernah mengalami kejadian tak terduga. Saat di jalan, ada anak-anak yang sedang bersepeda tanpa sengaja menabrakku hingga aku terjatuh dan barang-barang yang kubawa berantakan tercecer dijalan. Aku sedikit terluka waktu itu. Untungnya ada cowo baik hati yang lewat dan membantuku membereskan semua barang bawaanku yang tercecer dijalan.

"Adduduuuh". Keluhku saat itu. Lenganku terluka. Darah menetes. Untungnya tidak parah.

"Udah-udah, kamu duduk aja di situ". Kata laki-laki yang sedang membantuku merapikan barang bawaanku itu. Sambil memapahku ke bangku taman, Ia membawakan semua barang-barangku.

"Aduh kamu luka". Katanya dengan wajah khawatir namun tenang. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kemudian membukanya dan menyiram lukaku dengan air itu.

"Ini harus dibersihkan dulu biar gak infeksi". Katanya kemudian.

Saat tanpa sengaja kami bertatapan aku sangat terkejut melihatnya, kemudian spontan berteriak........

"Aaaah, eloe..... eloe kan cowo yang kerja di cafe itu kan. Yang selalu natap gue dengan muka serem. Mau ngapain lu? Aduh plis jangan macem-macem". Teriaku saat itu dengan panik.

"Aduh Mbaa, jangan salah sangka dong. Iya iya, gue emang cowo yang kerja di cafe itu. Emang bener gue selalu liatin lu tiap lu jalan di area cafe. Tapi sumpah gue bukan orang jahat. Maaf banget kalo tatapan gue mengganggu. Gue cuma merasa lu mirip sesorang yang udah lama ngilang. Maaf ya". Katanya menjelaskan.

Dari situ kami akhirnya ngobrol. Sambil dia mengantarku pulang kami banyak ngobrol. Ternyata selama  ini dia pernah kehilangan saudara perempuannya yang mirip banget denganku. Itu sebabnya dia selalu memperhatikanku. Wajah seram dengan tubuh tegapnya itu sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ternyata sangatlah ramah dan sopan.

Sejak saat itu kami berteman. Beberapa kali aku ke cafe itu dan dia membiarkan aku minum cappuccino kesukaanku tanpa membayar.

"Ssst.... jangan bilang-bilang ya. Nanti bos marah". Begitu katanya setiap kali dia memberiku gratisan Cappuccino. Lucu sekali dia.

Sampai akhirnya belakangan aku tau, bahwa ternyata justru dialah pemilik cafe itu. Tidak banyak orang yang tau kalau dia pelayan yang ternyata juga pemilik cafe. Rasanya aneh, ada manager yang tunduk sama pelayan. Hihihi..... dia itu emang cowo unik.

Entah sejak kapan aku mulai sering berkunjung ke Dance Cafe. Iya cafe itu diberi nama Dance oleh Bima pemiliknya. Ya, cowo unik itu namanya Bima. Aku mulai sedikit dekat dengannya. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, karna lebih sering bercanda dan bikin aku tertawa.

Disuatu siang yang sangat terik, aku memutuskan untuk ke cafenya Bima. Saat aku masuk dan masih berdiri di ambang pintu cafe. Aku melihat pemandangan yang membuatku muak dan ingin muntah. Aku terdiam, melihat sosok Dimas yang sedang bermesraan dengan seorang gadis. Mereka tampak sangat dekat, bermesraan bahkan hampir berciuman. Aku jijik melihat kelakuan mereka di depan umum seperti ini.

Saat itu aku berdiri tegak sambil tetap memandangi pemandangan memuakkan itu sambil meneteskan air mata. Dua makhluk brengsek itu tidak melihatku. Tapi rupanya Bima menyadari kehadiranku diambang pintu cafe. Ia yang melihatku tengah terdiam sambil menangisi pemandangan itu kemudian menghampiriku sambil menyebut namaku keras.

"Tari....." . Kontan saja dua makhluk menjijikan itu juga menengok ke arah Bima yang memanggilku.

Mereka berdua terkejut bukan main. Spontan Dimas bangkit dan ingin segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiriku. Namun saat itu gadis yang juga sama menjijikkannya itu mencegahnya. Ia menarik lengan Dimas. tidak membolehkan Dimas menghampiriku.

Segera aku berjalan keluar cafe dengan berderai air mata. Aku tak menyangka. Ternyata selama ini hubungan sembunyi-sembunyi kami bukan hanya untuk menghindari Orangtuanya. Tapi juga untuk menutupi hubungannya dengan Utami dariku. Ya, Utami. Dialah Utami sahabatku dan Adiba. Dulu saat SMA kami berlima adalah sekelompok siswi populer bergelimangan harta orangtua kami.

Aku, Adiba, Nadya, Nadiva, dan dia Utami. Kami berlima bagai satu bagian tubuh yang tak terpisahkan. Namun akhirnya harta dan kedudukan mengalahkan segalanya. Utami menghilang ketika Adiba dan aku jatuh bangkrut. Ketika kami berdua terpuruk. Utami tidak ada. Meski Nadya dan Nadivapun  seperti menghindar, tapi mereka masih menunjukan kehadirannya pada kami. Berbeda dengan Utami yang benar-benar menghilang namun kami tau Ia hanya menghindar.

Tiba-tiba muncul dihadapanku sedang memeluk mesra kekasihku Dimas. Bergandengan bahkan hampir berciuman di muka umum. Aku shock bukan main. Aku terisak di sudut jalan, Dengan posisi jongkok dan menelungkupkan wajahku dalam tunduk, aku menangis sejadi-jadinya.

Belaian lembut mendarat dikepalaku. Aku mengangkat wajahku. Kutatap wajah Bima kemudian kulanjutkan tangisku.

"Tari, udahlah. Gak pantes air matamu buat laki-laki macam dia". Bima berkata demikian seolah Ia sudah tau dan mengerti tentang hubungan kami bertiga. Aku, Dimas, dan Utami. Saat itu aku masih tidak menyadarinya. Aku tidak juga menghentikan tangisku. Aku masih shock.

"Iya Bim, tapi rasanya sakit. Gue tau orang seperti Dimas gak pantes ditangisin. Tapi Bim, lu liat kan tadi. Itu tadi Tami Bim. Utami sahabat gue. Koq bisa sih. Pantes selama ini dia menghilang. Rupanya dia gak mau ketemu gue karna udah berhasil ngerebut Dimas. Gue gak nyangka Bim, ternyata selama ini Dimas cuma ngebohongin gue. Perhatiannya, semuanya ternyata cuma bohong. Bahkan dia sempat mau menghidupi gue sama nyokap waktu itu. Untuk apa Bim. Cuma untuk ngerjain gue doang mungkin. Untungnya gue gak main terima gitu aja bantuan dia. Gue benci mereka berdua Bim. Benciii........".

Terus saja aku menangis. Tak terasa sudah mulai gelap. Aku dan Bima masih terduduk di bangku taman. Untungnya Bima bukan karyawan biasa di Dance Cafe. Jadi saat sekarng dia menemaniku tidak menjadi masalah baginya.

Sampai akhirnya aku merasa tenang, akhirnya aku pamit pulang pada Bima. Dia sedikit memaksa ingin mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolaknya. Akhirnya aku pulang dengan diantar Bima.

Sesampainya di depan pintu rumahku, Bima ikut turun dari mobilnya. Memastikan aku masuk ke dalam rumah. Tapi begitu kami sampai di depan gerbang rumahku. Tiba-tiba sesosok laki-laki muncul dan memegang agak keras lengan kiriku. Ya, ternyata Dimas sudah sejak tadi menungguku pulang.

"Tari, tunggu Tar. Biar aku jelasin semuanya". Kata Dimas sambil menarik keras lenganku demi mencegah aku masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Dim. Aku paham koq. Gak papa, aku baik-baik aja. Kamu bebas memilih berhubungan dengan perempuan manapun termasuk Utami. Bahkan mungkin kedua orangtuamu akan lebih senang kalo kamu sama dia. Aku fine aja koq. Udah ya, aku harus masuk".

Dengan sok tegar dan wajah tenang aku berkata demikian. Tapi sungguh, saat ini perasaan sakitku lebih kepada Utami. Aku masih tidak menyangka Utami bisa setega itu. Tapi pada Dimas, rasanya aku lebih tegar setelah tau dia brengsek dan tidak pantas dipertahankan. Benar kata Bima, laki-laki seperti Dimas akan mudah kucampakkan. Karna dia memang pantas diperlakukan seperti itu.

"Gak bisa Tar. Aku ga ada perasaan apa-apa sama Tami. Aku cuma cinta sama kamu". Katanya dengan wajah tegang sambil masih memegang lenganku.

Bima yang sedari tadi masih diam melihat perbincangan kami, tiba-tiba ikut emosi melihat wajahku yang tidak nyaman karna lenganku masih dipegang Dimas dengan sedikit keras. Mungkin Bima takut Dimas menyakitiku.

"Heh, lu gak denger. Tari udah gak mau dengerin penjelasan apa-apa. Gak usah lu paksa-paksa. Punya malu dikit dong". Kata Bima sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas dari lenganku.

"Eh, lu gak usah ikut campur ya. Lu itu cuma masa lalunya. Lu cuma temen kecilnya yang bahkan gak penting lagi buat hidupnya sekarang. Mending lu jauh-jauh dari Tari".

Apa? Teman masa kecil? Disini aku tidak mengerti ucapan Dimas. Apa maksudnya Ia berkata bahwa Bima adalah teman masa kecilku. Akupun spontan menatap Bima dengan wajah bingung. Kemudian kulepaskan cengkraman tangan Dimas.

"Tunggu. Apa maksudnya? Bima teman masa kecil aku? Apa ini Bim? Aku gak ngerti. Kapan kita pernah berteman sebelum ini?". Tanyaku sambil menatap Bima dengan wajah seribu tanya.

"Ooh jadi kamu bener-bener gak inget dia? Hmm, emang pantes cowo kaya lu itu dilupain. Orang gak penting dan bukan siapa-siapa macem lu, gak penting buat diinget-inget. Biar aku yang jelasin ya Tar. Ni cowo udah kenal kita dari jaman kita masih SMA. Dia sering mandangin kamu dari luar gerbang sekolah. Untungnya dia gak sampe berani nyamperin kamu. Kalo sampe berani, mungkin udah aku hajar dulu itu. Setelah aku selidiki, ternyata dia temen masa kecil kamu dulu waktu kalian tinggal di bandung yang cuma sebentar. Kamu pernah kan tinggal di bandung selama 6 bulan saat umurmu 7 tahun? Nah, dia ini yang dulu pernah jadi temen main kamu di sana. Rupanya cowo bego ini udah bener-bener jatuh cinta sama kamu Tari. Sampe-sampe dia ngejar kamu sampe ke jakarta. Waktu tau kamu masuk SMA Harapan, dia sering dateng ke sekolah kita. Tapi mungkin dia terlalu pengecut buat ngadepin kamu dulu karna kamu putri penjabat dan pengusaha terkenal kaya raya. Cowo kampung kaya dia mana mungkin cocok sama kamu".

Aku kaget bukan main. Bayanganku flash back ke beberapa tahun lalu saat aku masih kecil dan sempat tinggal di Bandung waktu itu. Dengan susah payah akhirnya aku mengingat semuanya. Pantas saja aku lupa wajah Bima. Karna dulu waktu kami kecil, sosok Bima sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bima kecil adalah anak cowo super gendut dengan pipi super tembem yang paling perhatian sama aku dibanding teman-teman lainnya. Saat tidak ada yang mau main denganku karna katanya aku lambat kalo diajak main lari-larian, hanya Bima yang mau menemaniku bermain boneka dan masak-masakan.

"Ya ampun Bimaaa, aku ingat sekarang siapa kamu. Anak Tante Lani. Kamu beda banget. Gimana bisa badan kamu jadi atletis kaya sekarang ini. Mana mungkin aku ngenalin kamu. Kenapa kamu ga cerita sih dari dulu. Ayo Bim mampir masuk dulu. Mama pasti inget deh sama kamu anaknya Tante Lani. Dulu kan kalian deket". Aku menarik lengan Bima sambil membuka gerbang rumah.

"Tunggu dulu Tar, gimana urusan kita. Aku bener-bener ga ada hubungan apa-apa sama Tami". Dimas masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku tidak peduli.

"Maaf Dim, kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Semuanya selesai di sini. Kamu silahkan teruskan hubunganmu dengan Tami. Dan jangan sekalipun nyakitin dia. Karna bagaimanapun, Utami masih tetap sahabat baikku".

Setelah itu aku berlalu dari hadapan Dimas dan masuk ke dalam rumah bersama Bima.

Singkat cerita akhirnya Bima menceritakan semuanya. Saat dia pindah ke Jakarta, dia mencariku. Setelah menemukanku, dia segan untuk menghampiriku begitu dia tau latar belakangku yang ternyata putri seorang pejabat dan pengusaha sukses di Jakarta. Memang dulu waktu aku tinggal di Bandung, kehidupan keluargaku belum sebaik di Jakarta.

Namun keinginan kuatnya untuk menemuiku membuat Ia berjuang hidup sendiri di kota besar yang penuh tantangan ini. Berbekal dari keahliannya membuat kopi dan kue, Ia membuka toko kecil. Sampai akhirnya kemudian berhasil mengumpulkan uang untuk modalnya membuka cafe yang jauh lebih baik dari sekedar toko kuenya yang dulu.

Bahkan aku tak menyangka. Tenyata nama cafenya diambil dari namaku. Dance yang artinya Tari sama dengan menari. Aku sangat tersanjung mendengarnya.

Tak berapa lama kemudian, Bima memberanikan diri melamarku. Aku tidak terkejut. Karna sudah tau bahwa dia memang menyayangiku sejak dulu. Senang bukan main ternyata ada laki-laki hebat yang memperjuangkan hidupnya demi aku. Setelah bicara pada Mama mengenai pinangannya, kami bertiga. Aku, Mama, dan Bima pergi menemui Papah di tahanan. Bima melamarku. Papah menitikkan air matanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah sedewasa ini dan memang sudah waktunya untuk menempuh hidup bersama orang yang tepat.

Kamipun menikah. Bahagianya karna Papah diijinkan keluar sel demi menikahkan kami berdua. Dengan restu Papah dan Mama, kamipun menikah dengan bahagia.

Ditahun berikutnya, Papah mendapatkan remisi. Karna Ia berkelakuan baik selama di sel. Ia mengajarkan banyak ilmu pada sesama tahanan di sel bahkan kepada para sipir tahanan. Papah memang orang yang sangat cerdas, ilmu bisnisnya banyak. Maka dengan ilmunya, Ia berhasil menelurkan para wirausahawan kecil setelah mereka masing-masing keluar dari tahanan. Itu prestasi yang membanggakan, maka papah keluar lebih cepat.

Ia kembali ke rumah kami. Sekarang kami hidup bahagia berempat, dan sedang menanti seorang anggota keluarga baru di kandunganku.

Allah memang Maha Tau yang baik bagi umatnya. Termasuk dalam hal jodoh. Bagaimanapun, kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tepat pada waktunya. Tidak akan terlalu cepat, ataupun terlalu terlambat. Semua ditanganNya selalu tepat pada waktu.

 S E L E S A I

By; Upay