Tampilkan postingan dengan label kumpulan cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kumpulan cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Mei 2020

I'm Stalker and I'm Proud

Setiap orang pasti mau orang yang mereka cintai bisa membalas perasaan mereka.

Entah itu sebagai pacar, selingkuhan atau dalam bentuk apapun itu yang penting Si Dia mau membalas

perasaan kita. Oh iya, cerita ini gue tulis berdasarkan pengalaman hidup gue. Alias asli. Cerita kali ini kiriman dari Steven Wijaya. Ceritanya inspirasi dari kisah sendiri katanya. Dan tidak ada satu katapun yang saya edit dalam cerita Steven. Selamat Membaca.

* * * * * * * * * *

Semuanya terjadi pada pertengahan tahun 2013. Waktu itu gue masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Jika dibandingkan dengan murid-murid lain gue ini lebih mirip tipe murid eksentrik. Gue nggak terlalu tertarik pada pergaulan begitu juga dengan yang namanya medsos. Menurut gue itu semua hanya buang-buang uang. Gue memang tinggal di kota besar, tapi telponan sama tetangga sebelah aja udah lebih dari cukup daripada harus eksis di medsos.

Jadi gini, waktu itu jam pelajaran ketiga. Gue lagi sibuk-sibuknya nyari penghapus karena waktu itu kebetulan lagi ulangan harian dadakan. Biasa, guru-guru SMP emang suka bengis sama anak kelas 3.

Udah minjam sana-sini masih aja nggak ketemu. Hampir semua teman kelas yang gue pengen minjem jawabannya. “Sorry, udah gue pinjemin ke Rika.” “Yah, cuman satu.” Tapi ada juga yang cuek bebek. Gue frustasi. Waktu tinggal beberapa menit lagi.

Tiba-tiba ada tangan yang ngulurin sebuah penghapus ke gue.

“Nih, jangan lupa nanti dibalikin.” Katanya sembari tetap fokus ke kertas ulangannya.

“M-Makasih..” gue langsung balik ke tempat duduk dan lanjut ngerjain nomer 4 sama 5.

Aneh, gak biasanya dia baik sama gue. Namanya Alina. Anaknya cantik putih tinggi lagi. Anak kelas banyak yang pada ngejar dia tapi semuanya pada gagal total. Katanya sih Alina itu “Belok” tapi gue gak percaya kalau belum lihat dengan mata kepala sendiri. Kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya.

Pulang sekolah gue sempat ngelirik Alina bentar. Siapa tahu dia ngungkit dikit soal yang tadi. Tapi hasilnya nihil. Dia juga kayaknya nggak tertarik ngobrol sama gue. Yah, wajar sih. Siapa juga yang mau ngobrol sama anak gak keren gak beken gak ada gaul kayak gue? Dia itu primadona kelas, jadi normal-normal aja kalau dianya gak mau ngobrol sama gue.

Sampai rumah, gue masih kepikiran sama dia. Pas makan malam, tetap aja masih kepikiran. Gue coba mandi tengah malam, tapi sama aja gak ngaruh malahan badan gue jadi kedinginan.

Gue mau ketemuan sama dia.

Itu yang ada di pikiran gua dari tadi. Tapi gimana? Sekarang jam 2 lewat, siapa yang mau diajak keluar jam segini? Lagian kalau dia belum tidur belum tentu juga dia mau jalan sama gue. Dari satu sampai sepuluh kemungkinan gue pasti 0,08 %

Satu-satunya alternative adalah ngecek medsos-nya dia. Gue baru sadar kalau gue ini sebenarnya gak punya satu pun akun medsos. Akhirnya gue mutusin ketik aja nama dia di google. Kurang lebih gini tulisannya.

“Alina Ales*****a SMA 1 ******”

Kurang lebih begitu. Dan emang, namanya orang mujur gue langsung ketemu akun Instagramnya. Gue pelototin satu persatu foto-fotonya sampai mata gue serasa perih. Tapi gue senang bisa memuaskan rasa penasaran sekaligus kangen. Tiba-tiba gue sadar.. gue udah jatuh cinta sama Alina.

Keesokan paginya gue ketemu lagi sama dia. Gue sengaja nyari-nyari alasan buat ngobrol. Tapi naas, dianya pura-pura budeg. Gue tahu kalau orang kayak gue nggak mungkin bisa bicara sama dia. Tapi gue pengen bicara! Gue pengen tahu gimana kabarnya! Gue pengen tahu tadi malam dia makan apa! Tapi semua itu sia-sia karena kondisi gue yang sekarang. Gue nyesel karena gak jadi anak gaul.. gue nyesel dulu gak mau pake medsos..

Penyesalan selalu datang dari belakang.

Pulang dirumah gue mengulangi rutinitas tadi malam. Tapi kali ini bukan cuman Instagram. Twitter, Path, FB gue embat semua. Semakin lama gue semakin ngerasa dekat sama dia walaupun bukan dengan cara yang benar. Gue memberanikan diri bukan hanya stalking di medsos, tapi juga di dunia nyata.

Pulang sekolah, biasanya dia main ke mall sama teman-temannya. Sampai di rumah jam 4 lewat. Kalau hari libur pasti cuman dirumah. Jarang keluar. Dia punya anjing besar, namanya Franky. Bokapnya kerja di sebuah perusahaan. Nyokap ibu rumah tangga. Kakaknya udah kuliah.

Gue tahu ini salah, tapi hanya ini satu-satunya cara untuk dekat sama Alina.

Namun semua itu tidak berlangsung lama. Gue ketahuan lagi ngikutin dia pas di mall ******. Gue ketangkap basah sama teman-teman kelas. Keesokan harinya gue digebukin habis-habisan. Untung tangan gue gak patah. Berkat kejadian itu gue jadi terkenal sampai ke penjuru sekolah. STALKER dari KELAS 9-D. Itu sebutan baru gue.

Sejak hari itu Alina menatap gue dengan jijik. Gue juga dipandang semakin rendah sama anak-anak kelas.

Setelah hari terakhir ujian nasional. Gue sengaja memberanikan diri buat nembak Alina. Waktu itu dia lagi duduk di taman. Keadaan begitu hura-hura. Semuanya penuh canda dan tawa.

“Lin.. gue mau bilang sesuatu ke elo..” gue menelan ludah.

“Bilang apaan?”

“Pertama gue mau minta maaf, sebenarnya selama ini gue udah stalking lo terus. Terus,” gue menahan napas. “Gue suka sama elu. Mau gak jadi pacar gue?”

Alina memandang dengan tatapan kosong. Gue udah bisa menebak kemana arus pembicaraan ini. “Maaf. Gue gak tertarik pacaran sama orang kayak, lo.” Alina segera bangkit dan berjalan melewati gue.

Tapi tiba-tiba dia berhenti tidak jauh dan menambahkan. “Kalau aja lo lebih jujur, lebih berani dan lebih awal bilangnya. Gue mau kok pacaran sama lo. Lo nggak perlu ngelakuin itu semua. Lo itu orang baik.”

Alina segera berlalu dan berjalan menjauh. Hari yang menurut teman-teman kelas salah satu hari paling bersejarah jadi hari paling tidak mengenakkan bagi gue.

Setelah masuk SMA gue belajar bergaul gue juga punya banyak akun medsos. Gue berubah 180 derajat berkat kata-kata Alina.

Suatu hari pas lagi nongkrong di kafe gue ketemu Alina. Kami bertukar kabar. Ada yang aneh, dia jadi lebih terbuka sama gue. Oh iya, gue lupa. Gue kan sekarang anak keren. Siapa coba yang gak mau sama gue yang sekarang.

Setelah bertukar nomor telpon gue dan Alina jadi tambah dekat. Tambah dekat setiap harinya. Sampai suatu hari Alina ngajak gue ketemuan.

“Ven, lo udah berubah banget, ya. Gak kayak waktu SMP dulu.”

“Kan semua ini berkat kamu waktu itu.” gue menyeduh kopi hangat berusaha terlihat cool.

“Ngomong-ngomong, Ven…” Alina tiba-tiba memegang tangan gue. “Gue udah nunggu 2 tahun buat hari ini. Gue masih suka sama lo. Gue janji bakalan jadi pacar lo yang paling setia..”

Gue hanya diam sambil memandangi wajah Alina yang malu-malu. Gue tersenyum tipis. Hanya ada satu jawaban untuk situasi ini. “Gue juga masih suka sama lo.” Mendadak roman wajah Alina berubah. “Tapi maaf, gue tahu lo udah ada cowok. Darimana gue tahu? Gue masih sering stalker wall, lo. Gue masih suka ngikutin lo kemana-mana. Lo kira hanya gara-gara kejadian waktu itu gue mau tobat? BODO!”

Gue mungkin sudah membuang kesempatan sekali dalam seumur hidup. Tapi siapa yang peduli? Hidup hidup gue, masalah masalah gue, kenapa lo yang pusing? Heran gue.

Jujur aja, setelah gue bilang begitu pas pulang gue nyesel banget sampai mau nangis. Tapi gue sadar ini jalan hidup gue. Dan gue bangga bisa jadi Stalker.

* S E L E S A I *

SaLam BLogger !!!

Untuk semua yang tertarik mengirimkan cerita ke blog cerpen ini, dimohon agar kedepannya dapat menggunakan tata bahasa yang simple dan mudah dipahami. Saya juga berharap agar cerita-cerita selanjutnya juga jika bisa adalah cerita-cerita yang mungkin bisa menjadi pelajaran atau bermanfaat bagi orang banyak. Artinya cerita-cerita yang dimaksud adalah cerita-cerita yang walaupun fiksi (Bukan kisah nyata) tapi juga bukan cerita yang di luar logika.

Saya berharap semoga blog cerpen ini bisa menjadi blog yang mampu membuat penulis-penulis amatir dan pemula seperti kita belajar lebih banyak lagi.

Silahkan isi kolom komentar untuk perkenalan satu sama lain atau ikuti forum blog cerpen di menu FORUM. Siapa tau masing-masing dari kita dapat belajar dari satu sama lain.

Perlu diperhatikan bahwa semua tulisan yang masuk ke blog cerpen, selalu saya baca terlebih dahulu sebelum saya posting. Namun yang perlu anda ketahui adalah saya tidak akan pernah sama sekali mengubah satu hurufpun dalam tulisan-tulisan yang anda kirimkan. Meskipun sudah melalui proses editing, tetap tidak saya rubah. Karna proses editing yang di maksud di sini hanyalah membaca apakah tulisan yang dikirimkan boleh atau pantas ditayangkan dalam blog cerpen.

Apabila ada satu kalimat saja (Meski hanya satu kalimat) yang tidak sesuai dengan aturan yang saya buat, maka tulisan tidak akan saya posting.

Jadi, semua tulisan/artikel dalam blog cerpen ini yang BUKAN KARYA SAYA bukanlah menjadi tanggung jawab saya apabila ada kesamaan nama, tokoh, atau orang manapun yang tanpa sengaja ada dalam tulisan tersebut. Semua tulisan selalu saya sertakan nara sumbernya (Kecuali jika memang tidak ada).

untuk itu silahkan baca TOS atau ATURAN yang berlaku dalam Blog Cerpen ini sebelum mengirimkan tulisan anda.

Demikian untuk diketahui bersama.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih atas sumbangan cerita yang sudah dikirimkan ke blog cerpen ini.

Wassalam

Upay

Sabtu, 16 Mei 2020

Mantan

Gue tau lu gak kenal gue, bahkan kita sama sekali gak pernah ketemu. Gue tau ini bukan salah lu. Tapi gue pingin banget nyalahin lu. Karna gue kesel. Lu itu bukan apa-apa. Dibanding gue, lu itu nihil. Sementara gue? Apa kurangnya gue coba? Gue lebih cantik, gue lebih cerdas, karir gue lebih cemerlang, gue lebih gaya, dan yang paling penting dari itu semua, gue lebih punya banyak penggemar dari pada lu yang biasa-biasa aja. Biasa banget malah.

2 tahun lamanya gue dan mas Alif menjalin hubungan. Tiba-tiba Ayah gue merasa kami sudah lama dekat. Karna itulah tiba-tiba aja Ayah menanyakan tentang keseriusan Mas Alif denganku putrinya. Tanpa gue duga, Mas Alif merespon pertanyaan Ayah dengan lamarannya ke gue. Karna gue mencintainya dengan sangat, maka sudah pasti gue terima dia jadi calon suami gue. Kamipun menikah.

Gue merasa terbang, merasa di awan karna perlakuan Mas Alif yang luar biasa memprioritaskan gue sebagai istrinya. Ditahun ketiga pernikahan kami, kami belum juga dikaruniai anak. Tapi kami tidak pernah putus asa, berbagai macam program kami ikuti demi mendapatkan keturunan. Padahal secara kesehatan fisik, kami berdua sehat-sehat aja, tidak ada masalah. Tapi mungkin Allah memang belum mempercayakan kepada kami.

Suatu hari Mas Alif ambruk dikantornya, rekan kerjanya menelponku dan mengantarkan Mas Alif ke Rumah Sakit. Mas Alif menjalani perawatan selama beberapa hari. Yang membuat kami terkejut, Mas Alif ada indikasi mengarah ke kanker. gue lebih kaget daripada dia. Kami tidak pernah sama sekali berfikir akan mengalami masalah ini.

Tapi dokter bilang, kanker Mas Alif masih stadium awal, dengan kemoterapi dan dibantu obat-obatan herbal, mungkin Mas Alif masih bisa selamat. Pada akhirnya, gue berjuang demi dia. Apapun akan gue lakuin demi dia sembuh. Program kehamilan terpaksa kami tunda. Kami harus fokus menyembuhkan kanker Mas Alif yang katanya masih diawal-awal.

Entah bagaimana terjadinya, baru aja seminggu lalu di vonis kanker tapi masih bisa diselamatkan, tiba-tiba hari ini Mas Alif ambruk lagi. Kali ini Ia tidak sadarkan diri selama dua hari. Gue? Tentu aja gue nangis sejadi-jadinya. Gue cinta banget sama dia. Gue gak mau hidup tanpa dia di dunia ini. Gue gak mau kehilangan Mas Alif.

Dokter bilang kemungkinan besar Mas Alif bisa down secepat ini padahal masih di awal kanker, adalah karna dia sedang tidak bersemangat menghadapi hidupnya. Kemungkinan besar dia tidak termotifasi untuk kesembuhannya. Bisa jadi dia depresi, sehingga jadi down lebih cepat. Dokter menyarankan gue untuk tetap memberinya semangat. Bahkan gue harus tau, kebiasaan yang bisa bikin Mas Alif senang dan bersemangat.

Sampai tiba-tiba, gue baca isi diary dia. Well, dia gak seperti perempuan-perempuan yang punya buku diary tentunya. Diary itu berupa catatan harian yang tertuang di laptopnya. Kalian tau? Ini mirip cerita film BCL dan Ben Joshua. Yang judul soundtrack lagunya Sani. Yak, bener banget tebakan lo semua. Di dalam diary itu isinya penuh dengan curhatan Mas Alif tentang Sani. Eh salah, tentang mantannya bernama Nada.

Gue tau siapa Nada, gue tau Nada adalah mantannya semasa SMA, gue juga tau Nada seperti apa, meski gue belum pernah secara langsung bertemu dengan perempuan bernama Nada ini. Selayaknya suami istri, pasti pernahlah beberapa kali nyeritain tentang mantan masing-masing. Waktu gue mau buka folder diary Mas Alif yang di password, gue deg-degan karna gak tau passwordnya. Yang gue inget, Mas Alif pernah cerita kalo semua Password dan Pin yang dia punya adalah tanggal lahir orang-orang yang penting dikehidupannya.

Maka gue coba-coba dengan tanggal lahir gue, ternyata gue keGR'an, bukan itu passwordnya, gue coba tanggal lahir mertua gue dua-duanya. Juga bukan. Saat putus asa, tiba-tiba gue merinding, mengingat Mas Alif pernah menyebut tanggal lahir mantannya saat lagi iseng cerita-cerita tentang mantan masing-masing. Bulu kuduk gue berdiri, sumpah ini lebih serem daripada ketemu valak. Dengan ragu-ragu, gue ketik tanggal lahir mantannya itu. TARAAA...... dan yuppp bener banget, folderpun terbuka.

Gak langsung gue buka satu persatu catatan diary itu. Karna gue masih shock. Apa ini, kenapa Mas Alif bikin folder diary dengan password tanggal lahir mantannya? Apakah ini folder lama saat mereka masih berhubungan dulu? Tidak mungkin, karna ini laptop baru, buat apa Mas Alif susah payah mindahin folder masa lalu ke laptop barunya kalo bukan karna memang penting. Apa artinya?

Ya tentu aja artinya folder ini memang penting buat Mas Alif. Tapi tanggal lahir perempuan itu? Wah seribu tanya dikepala gue saat itu. Gue gak berani buka, dan gue sama sekali gak mau tau isi diary itu. Gue takut perasaan gue hancur. Karna gue udah bisa nebak isinya dari password yang Mas Alif gunakan.

Gimana menurut kalian? Mirip gak sama ceritanya Sani? Yah kalo kalian nebak setelah ini gue harus ngejar-ngejar Nada demi kesembuhan Mas Alif, itu udah pasti bener banget. Kenapa? Karna beberapa hari kemudian kondisi Mas Alif makin drop. Dokter terus menyarankan gue untuk tetap kasih dia semangat menjalani hidup. Jadi gue terpikir, mungkin gak kalo Mas Alif benar masih cinta sama si Nada mantannya ini. Mungkin gak ceritanya BCL di film Sani yang judulnya Cinta Pertama bisa kejadian sama pernikahan gue. Bedanya kita tukar posisi. Disini yang sedang sekarat Ben Joshuanya, bukan BCL. Dan bedanya lagi, Sani yang udah nikah yang masih inget mantan pertamanya.

Akhirnya gue memberanikan diri membaca catatan-catatan di folder diary Mas Alif. Tepat seperti dugaan gue. Air mata gue ngalahin panjangnya sungai nil. Sakit bukan main. Bener juga tebakan kalian semua. Kejadian di film Sani Cinta Pertama bakal terjadi dipernikahan gue. Akhirnya demi kesembuhan Mas Alif, gue harus bersusah payah mencari alamat Nada. Dengan hati yang masih terkoyak koyak, akhirnya gue ketemu sama Nada.

Beda dengan cerita Cinta Pertama yang kala itu Ben Joshua sudah beristri sehingga butuh membujuknya lebih kuat agar dia mau menemui BCL yang lagi sekarat. Dicerita gue, Nada mantan Mas Alif ini masih jomblo. Demi menyenangkan diri gue, kita anggap aja si Nada ini perawan tua yang memang belum laku. OK, jahat memang, tapi lebih jahat dia yang udah ngancurin perasaan gue. Walopun gue sadar sebenarnya yang salah disini adalah Mas Alif, tapi sebagai perempuan normal, udah pasti kita nyalahin orang ketiga lebih dulu, sebelum kita ngamuk-ngamuk ke pasangan kita tentunya. Iya dong. Emang kalian gak akan begitu? OK gak usah dibahas.

Singkat cerita, Nada akhirnya gue pertemukan dengan Mas Alif yang dalam kondisi masih tidak sadar di Rumah Sakit. Udah hari ke empat Mas Alif belum juga sadar. Gue gak ngerti, apa yang sebenernya gue harapkan. Kalo dicerita BCL, akhirnya dia meninggal. Selesai sudah dengan perasaan calon suaminya yang kecewa karna ternyata BCL masih cinta sama sani si mantan yang sebenernya jadian juga belom sih. Bagian yang ini lebih miris.

Gue sama sekali gak berharap Mas Alif pergi ninggalin gue karna penyakitnya. Tapi gue jadi mikir, kalo Mas Alif akhirnya membuka mata dan melihat Nada. Apa yang terjadi dengan gue? Apa gue aja yang mati? Ya Allah jeleknya pikiran ini.

Tidak butuh waktu lama bagi Nada menyemangati Mas Alif. Hari berikutnya ketika Nada datang, Mas Alif membuka mata. Ia sadar. Tentu Mas Alif kaget melihat Nada yang sedang menggenggam tangannya dan gue yang berdiri disampingnya. Gue merasa makin sakit liat adegan ini.

Tiba-tiba Mas Alif melihat ke arah gue dan dengan perlahan melepaskan genggaman tangan Nada. Kemudian Ia berbisik ke arah gue. Tanda bahwa gue harus mendekat agar bisa mendengar ucapannya. Gue coba dekatkan wajah gue yang lagi basah dengan air mata. Kalian semua pasti ga nyangka lagi dengan apa yang diucapkan Mas Alif.

"Sayang, kenapa ada Nada di sini? Lagipula, kenapa dia pegang-pegang tangan aku didepan kamu?". Tanyanya dengan suara parau yang dipaksakan.

"Maaf Mas, aku baca isi catatan kamu di folder diary dalam laptop kamu. Udah empat hari kamu gak sadar. Dokter bilang, kamu perlu support agar tetap semangat untuk hidup. Aku bingung harus apa. Gak sengaja aku baca tulisan kamu itu. Kamu terlalu cinta sama dia Mas. Aku paham, aku baik-baik aja Mas. Yang terpenting sekarang kamu sehat". Begitu jawaban gue saat itu. Sementara Nada hanya memandangi kami dengan wajah kebingungan.

Kemudian dia bicara pada Mas Alif. "Lif, istri kamu yang nyari aku dan minta agar aku ke sini nemuin kamu yang lagi koma sejak kemarin. Dia juga cerita, kalo katanya dia baca tulisan kamu tentang aku di laptop kamu. Maaf Lif, aku gak pernah tau perasaan kamu yang begitu dalam sama aku". Itu kalimat Nada.

Tapi lo semua tau yang terjadi kemudian? Mas Alif berusaha bangkit. Ia menyandarkan kepalanya di bantal dengan posisi duduk, Ia membuka masker oksigen yang masih menempel di wajahnya. Kemudian Ia tersenyum dan tertawa melihat kami. Gue dan Nada.

Tentu kami bingung. Tapi kemudian, Mas Alif menjelaskan semuanya.

"Nada maaf, udah ganggu waktu kamu berapa hari ini harus datang ke sini nengokin aku. Tapi yang paling aku ingin kamu maafin adalah perbuatan bodoh istriku yang cantik dan malang ini". Katanya sambil sedikit tertawa.

Nada semakin kebingungan. Tapi kami terus berusaha mendengarkan dengan baik.

"Nada, memang dulu saat kita masih sekolah, aku cinta sama kamu. Bahkan cintaaa sekali denganmu. Itu sebabnya aku menyimpan semua kenangan kita dalam laptopku. Semua cerita-cerita kita, bahkan foto-foto kamu aku simpan dalam laptopku. Tapi sungguh demi Allah Nada, itu dulu. Sekarang perasanku udah gak sama lagi".

Gue dan Nada saling pandang. Kami bingung. Yang lebih terkejut ya gue pastinya. Mas ALif melanjutkan.

"Sejak ketemu dengan Lani istri bodohku ini (Sambil menggenggam tangan gue saat ngomong ini), Perasaan cinta itu udah untuknya. Bukan lagi untuk kamu Nada. Aku benar-benar minta maaf udah buang waktu kamu. Tapi terima kasih banyak kamu udah mau ngeluangin waktu untuk datang ke sini".

Pastinya gue masih bingung. Antara Mas Alif bohong karna takut melukai perasaan gue yang udah terlanjur luka dari kemaren-kemaren, atau karna apa gue gak tau. Yang jelas gue jadi gak enak sama Nada tapi juga merasa menang dan senang tentunya. Tentu aja gue dan Nada penasaran dengan folder diary itu. Maka gue bertanya.

"Tapi Mas, folder itu ada di laptop baru kamu dan masih dengan password tanggal lahir Nada. Apa maksudnya itu?". Tanya gue dengan muka super duper penasaran. Lagi-lagi Mas Alif tertawa kecil.

"Jadi, kamu tau tanggal lahir Nada? Kamu tau gak, udah berapa lama aku gak bisa buka folder itu dan gak bisa hapus. Karna apa? Karna aku lupa passwordnya Sayang. Kamu ingat, waktu aku beli laptop baru, aku bawa laptop baruku dan laptop lama peninggalan masa sekolahku dulu ke Albert teman kantorku yang jago banget dibagian IT kantor. Aku minta Albert pindahkan semua folder penting ke laptop baruku. Tapi karna Albert gak tau mana yang bagiku penting, ya dia pindahkan aja semuanya. Sementara saat aku mengecek satu persatu isi laptopku, aku menemukan folder diary itu. Tapi tidak bisa ku otak atik saat itu. Karna aku lupa passwordnya. Uda kucoba delete tapi tidak bisa juga. Albert bilang bawa laptopnya ke dia supaya bisa dia delete menggunakan aplikasi software entah apa namanya. Tapi karna aku sibuk dan kupikir itu gak penting, hanya masa lalu yang udah bertahun-tahun terkubur, yah aku santai aja gak berbuat apa-apa denga folder itu".

Sumpah gue gak tau mau ketawa seneng atau mau nangis denger penjelasan Mas Alif. Yang jelas, kemudian dia menarik lenganku ke dalam dekapannya sambil berkata "Gak ada satupun perempuan dimanapun yang lebih aku cinta dari kamu dan Ibuku. Jadi jangan mikir macem-macem".

Begitu katanya.

Ya Allaaah, gue mau ketawa rasanya. Nada? Gak tau ya apa yang dia rasa saat itu. Tapi dengan wajah tersenyum Nada berkata bahwa dia lega mendengar penjelasan Mas Alif karna dia tidak perlu menjadi pengganggu rumah tangga orang apalagi perebut suami orang. Kemudian Nada gue antar pulang sampai ke depan gerbang Rumah Sakit. Tak lupa gue ngucapin banyak terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya atas ketololan gue itu.

Ternyata selama ini itu cuma khayalan gue aja. Mungkin karna kebanyakan nonton sinetron atau mungkin karna terlalu suka sama film BCL dan Ben Joshua Cinta Pertama itu. Yang jelas film itu lumayan bagus dan cukup sukses bikin gue nangis di bioskop waktu itu. Haduuuuh kisah gue ini konyol kalo dipikir-pikir.

Sampe tulisan ini terbit di blog, Mas Alif masih menjalani kemoterapi, terakhir kami pergi ke singapore untuk pengobatan lanjutan. Perlahan Mas Alif berangsur sehat. Semoga akan terus sehat kedepannya.

Ya Allaaaah aku makin cintaaa sama Mas Alif. tolong bantu kami menghadapi semua cobaanmu. Aamiin.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay

#CurhatSeorangTeman

Jodoh PilihanMu (Tari)

Aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menghidupiku dan Mama. Sementara Papa dipenjara, aku akan terus berusaha membahagiakan Mama.

Aku benci sekali pada Oma, dia keterlaluan. Setiap hari mencaci Mama. Menyalahkan Mama atas kebangkrutan dan dipenjaranya Papa. Andai Orangtua Mama masih ada, mungkin kami akan tinggal dengan mereka. Sayang saat ini kami hanya bisa mengandalkan Oma yang Ibunya Papa. Alhasil setiap hari Mama jadi bulan-bulanan Oma.

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk membawa Mama pergi dari rumah terkutuk ini. Sungguh menyebalkan. Bukannya aku yang cucunya ini tidak berbakti pada nenekku. Tapi aku tidak tahan melihat perlakuan Oma kepada Mama. Seringkali kami menangis berdua. Tiap kali saudara-saudara Papa datang, mereka hanya mencibir keluargaku tanpa menolong sama sekali. Aku benci sekali. Jika bukan karna Mama, mungkin aku sudah mati saja.

Ke mana Dimas. Dia menghilang bagai ditelan black hole yang entah berujung di galaxy mana. Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, Ia hanya memintaku bersabar atas apa yang terjadi pada keluargaku. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya bahwa dia akan meninggalkanku begitu saja. Suatu kali aku pernah pergi ke rumahnya. Keluarganya seperti menutup-nutupi keberadaan Dimas.

Mereka yang awalnya sangat baik padaku, sangat ramah dan selalu menerima kehadiranku sebagai pacar Dimas. Tapi kali itu terasa sangat jauh berbeda. Aku mengerti, ternyata memang benar, harta bukanlah segalanya tapi segalanya butuh harta, bahkan untuk menjalin hubungan sekalipun. Ironis. Inilah hidupku saat ini.

"Ma, kita pergi aja yuk. Tari udah gak tahan lihat perlakuan Oma ke mama. Pokonya kita keluar dari rumah ini sekarang juga." Pintaku pada Mama.

Meski aku masih tidak tau harus ke mana. Tapi aku harus menyelamatkan Mama dari kelukaan yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah cukup bagiku melihat itu. Akhirnya Mama setuju. Mungkin Iapun lelah diperlakukan kasar seperti itu. Kami keluar dengan hanya membawa tas besar berisi pakaian secukupnya. Uang di dompet hanya cukup untuk hidup satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Mama tidur di hotel malam ini. Setidaknya kami bisa nyenyak untuk satu malam saja.

Tapi kemudian aku teringat Adiba. Apa mungkin aku lagi-lagi meminta pertolongannya? Rasanya kali ini akan lebih sulit. Karna seakarang Adiba sudah menikah. Dia sudah punya keluarga kecil yang harus lebih diperhatikan. Apa yang harus kulakukan. Aku dan Mama terdiam, hanya terduduk di bangku taman tanpa tau harus apa.

"Tari, apa sebaiknya kita kembali saja?" Tanya Mama dengan pandangan mata yang sedih dan bingung. Akupun tidak tau harus bagaimana. Tapi untuk kembali pulang ke rumah Oma rasanya lebih berat daripada harus tidur di kolong jembatan.

"Sabar ya Ma. Tari janji malam ini juga kita akan dapat tempat." Jawabku kemudian.

Aku mencoba mengirim WhatsApp ke Adiba. Siapa tau Ia sedang tidak sibuk dan berkenan membantuku lagi.

"Hai Dib, sibuk ya? Gue lagi sama nyokap nih di bangku taman komplek. Lagi duduk-duduk aja."

"Hai, ngga sibuk koq. Kebetulan abis bikinin Ka Ibra kopi, terus kita lagi duduk-duduk santai aja nih di ruang TV. Ngomong-ngomong ngapain lu sama nyokap di taman?"

"Akhirnya gue sama nyokap keluar dari rumah Oma. Gue gak tahan Dib. Dan sekarang gue gak tau harus ke mana."

"Astagfirullah Tari. Kasian nyokap lu dong. Lu gimana sih. Gak punya rencana apa-apa nekat keluar bawa-bawa nyokap. Udah deh mending lu ke rumah gue sekarang. Segera ya. Cepetan cari taksi."

"MasyaAllah Dib, gue gak nyangka jawaban lu. Bener-bener cuma lu yang tersisa di hidup gue saat gue susah kaya sekarang ini."

"Gak usah banyak ngomong aneh-aneh, kasian nyokap. Cepetan ke sini."

Kami sampai di rumah Adiba yang cukup besar, megah, dan indah. Alhamdulilah, Adiba akhirnya sudah kembali kepada kehidupannya semula yang bergelimangan harta. Allah memang Maha mendengar doa-doa setiap hambaNya. Syukurlah Adiba dipertemukan kembali dengan Ka Ibra yang status sosialnya bahkan ternyata lebih tinggi daripada kami dulu yang hanya anak seorang pejabat negara.

Ka Ibrahim ternyata sudah mendengar semua cerita tentang keluargaku. Alhamdulilah Ia menerima kami dengan sangat terbuka. Mereka ramah sekali. Aku tak habis pikir, mereka yang tidak ada hubungan darah sama sekali masih bisa bersikap baik pada kami. Jauh dengan sikap Oma yang masih saja arogan padahal selama ini hanya Papah yang menopang hidup Oma.

"Dib, makasih banyak ya. Lu masih mau aja gue susahin." aku terisak menangis dalam pelukan sahabatku Adiba. Rasanya nyaman. Aku merasa lebih butuh sahabat seperti Adiba daripada pacar macam Dimas yang begitu saja menghilang entah ke mana.

"Ya udah lu santai aja dulu di sini yah. Kita pikirin caranya sama-sama nanti. Yang penting sekarang lu sama nyokap istirahat aja dulu. Gue anter ke kamar yuk."

Mama tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepada Adiba. Tentu saja, itu pasti karna Mama merasa diperlakukan sangat jauh berbeda dari tinggal di rumah Oma.

Singkat cerita akhirnya aku dan mama tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan Adiba dan Ka Ibrahim karna mereka merasa lebih baik kami tinggal di rumah mereka, tapi pada akhirnya mereka mengalah dan menghormati keputusan kami dengan membiarkan kami tinggal di kontrakan tempat Adiba dan keluarganya dulu tinggal.

Aku sangat bersyukur memiliki Adiba sebagai sahabatku satu-satunya yang masih peduli terhadapku. Aku memulai hidupku yang sederhana di rumah kontrakan ini. Seperti biasa, seminggu sekali kami mengunjungi Papah.

"Assalamualaikum Pah." sapaku pada Papah sambil mencium tangan Papah.

"Waalaikumsalam Nak' Alhamdulilah kalian masih mau datang rutin seperti ini."

Mata Papah berkaca-kaca, aku tahu kepedihan hatinya ditingal banyak orang kepercayaannya bahkan saudara-saudaranya. Rasanya pasti lebih parah dari apa yang kurasakan ketika teman-teman, sahabat, bahkan pacarku pergi menghilang meninggalkanku begitu saja. Aku menceritakan keadaan kami yang sekarang tinggal di rumah kontrakan. Aku berkata bahwa kami tidak ingin menyusahkan Oma, itu sebabnya kami pindah.

Aku tak sampai hati menceritakan kelakuan buruk Ibunya terhadap Istrinya ini. Bagaimanapun, beban Papah sudah cukup berat. Walaupun pada akhirnya aku tahu jika ternyata Oma sudah lebih dulu menghubungi Papah dan menceritakan bahwa kami minggat dari rumahnya. Pastinya dengan cerita yang sangat amat sekali berbeda dan terlalu dilebih-lebihkan.

Tapi sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi dengan kami di rumah Oma. Sehingga Ia memilih diam dan menerima keputusan kami untuk tetap tinggal di rumah kontrakan itu tanpa meminta ataupun memaksa kami kembali ke rumah Oma.

* * * * * *

Siang ini udara sangat terik. Aku yang masih saja ke sana kemari mencari pekerjaan seorang diri sangat sering merasa putus asa. Tapi demi Mama, aku harus terus berjuang. Aku duduk di depan sebuah coffee shop yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah kontrakanku. Sampai di detik ke sekian aku melihat pemandangan yang tidak asing bagiku.

"Bukannya itu Dimas?" gumamku dalam hati. Tapi sepertinya aku memang harus tidak terkejut. Karna aku yakin Dimas memang tidak ke mana-mana. Omongan Mamanya yang berkata Dimas kuliah di luar negri, sudah pasti hanya akal-akalan keluarga mereka untuk menjauhkanku darinya.

Aku sangat kangen padanya. Ingin rasanya berlari dan menghambur ke pelukannya. Tapi aku takut. Sangat takut jika ternyata Dimas memang benar-benar ingin menjauh dariku. Tapi aku masih butuh kepastian darinya. Apa yang harus kulakukan. Mendatanginya atau biarkan saja.

Terakhir kali aku menghubunginya melalui WhatsApp, sepertinya Dimas masih sangat peduli padaku. Jadi, apa yang harus kulakukan. Aku berdiri di ambang pintu coffee shop. Antara mau masuk atau tidak. Sampai tiba-tiba sesosok tubuh tegap dengan wajah manis berdiri tegak dihadapanku.

"Permisi mba," katanya padaku. Tak lama kami berpandangan, Ia terkejut. "Tari." teriaknya sambil meraih tanganku, menarikku keluar ke sudut jalan kemudian Ia memelukku.

"Tari kamu ke mana aja? Aku cari ke rumahmu yang dulu ternyata sudah di sita KPK, aku ke tempat Omamu tapi beliau bilang kau dan Mamamu minggat tanpa pamit. Sepertinya Ia marah sekali. Ada apa sebenarnya. Bukannya di rumah Oma hidupmu lebih baik?"

Pertanyaan Dimas bertubi-tubi hingga tak terasa air mataku menetes.

Akhirnya kami masuk ke Coffe Shop itu. Duduk berdua, berhadapan dengan Dimas membuat hatiku berdegup sangat kencang. Tak bisa kupungkiri aku masih sangat mengharapkannya bersamaku. Tapi hidupku yang sekarang berantakan ini, apakah bisa diterima Dimas. Aku masih diam sampai akhirnya

"Kenapa kamu nangis? Ceritain ke aku ke mana aja kamu selama ini. Bagaimana hidupmu sekarang? Sebelumnya aku minta maaf karna aku gak bisa menghubungi kamu. Handphone lamaku disita Mama dengan nomornya. kemudian aku dibelikan handphone baru dengan nomor baru. Mungkin agar aku tidak bisa menghubungimu. Aku bingung mencarimu ke mana."

"Dimas, kalau apa yang kamu bilang itu benar, kalau kata-katamu barusan itu benar, bahwa kamu mencariku. Aku betul-betul berterima kasih atas itu. Tapi sumpah, aku sangat mengerti jika saja kamu harus dengan terpaksa tidak menemuiku lagi karna mamamu. Aku tidak masalah." Kataku sambil tertunduk tanpa berani menatap Dimas.

"Tar, untuk saat ini maaf, aku masih harus nurutin kata mamaku. Bagaimanapun aku memang laki-laki yang belum bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Kamu tau kan. Selesai kuliahpun aku dipekerjakan mama diperusahaannya. Aku belum diijinkan membuka usaha sendiri. Tapi aku janji, kasih aku waktu dan kita akan hidup sama-sama nanti. Aku akan buktikan ke mama bahwa aku bisa mandiri. Aku akan kumpulkan uang sendiri, kemudian membangun usahaku sendiri dan setelah itu aku akan dengan berani membawamu ke hadapan mama. Tapi semua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Aku minta kamu bersabar untuk itu. Kalau kamu mengijinkan, sementara ini kita hanya bisa bertemu diam-diam. Agar mama tidak bisa pisahkan kita lagi."

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam. Tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya. Dia memintaku menunggunya. Apakah selama ini dia benar-benar mencariku, benar-benar masih berharap bersamaku. Aku yang sekarang sudah tidak punya apa-apa ini. Air mataku menetes lagi. Kali ini Ia menghapusnya dari pipiku. Kemudian aku memegang tangannya.

"Kamu gak salah? Kamu masih mau hubungan kita berlanjut? Denganku yang seperti ini?" Kataku sambil tetap menatapnya tidak percaya.

"Tari, bukankah sudah kodratnya laki-laki menafkahi dan wanita patuh terhadapnya setelah pernikahan? Jika itu benar, maka apalah artinya hartamu bagiku? Aku yang berkewajiban menafkahimu nanti. Jadi, apapun yang kamu punya sekarang, Seberapapun harta yang kamu miliki bahkan tidak, itu semua tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

Lagi-lagi aku tidak menyangka dengan yang diucapkan Dimas. Kenapa Dimas berpikir terlalu jauh. Apa dia yakin nantinya kami akan menikah. Saat ini aku hanya bisa berharap semua yang Dimas katakan akan terwujud meskipun entah kapan.

Akhirnya sore itu aku pulang tanpa hasil. Masih saja tidak ada satupun perusahaan yang menerimaku bekerja. Tapi kali ini meskipun pulang tanpa hasil, hatiku sangat senang. Lain dari biasanya. Aku sempat bertukar email dengan Dimas. Sengaja kami tidak bertukar nomor Handphone, karna khawatir mamanya Dimas akan menemukan kontakku di handphnenya Dimas. Jadi kami hanya chat melalui email saja. Bagiku itu sudah cukup untuk saat ini.

Mama bingung melihat perubahan sikapku hari ini. Tapi aku memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian hari ini bertemu Dimas kepada Mama. Karna aku takut mama malah melarangku berhubungan dengan Dimas karna malu.

"Kelihatannya senang sekali. Apa hari ini berhasil dapat pekerjaan?" Tanya mama penasaran.

"Sayangnya ngga begitu ma, masih sama seperti kemarin-kemarin. Tanpa hasil." jawabku kemudian.

* * * * *

Aku harus lebih giat lagi mencari pekerjaan. Bagaimanapun, aku harus membayar hutang-hutangku pada Adiba. Meski Adiba sudah mengikhlaskan. Tapi aku sudah berjanji padanya akan mengembalikan uang yang Ia pinjamkan untuk membayar sewa rumah yang kami tempati ini.

Singkatnya, aku makin sering bertemu Dimas diam-diam. Sudah dua bulan ini hubungan kami berjalan seperti ini. Seperti tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing. Aku dan Dimas selalu mencari tempat yang berbeda untuk bertemu. Khawatir mama Dimas mengikuti kegiatan Dimas seperti yang dilakukannya beberapa bulan lalu. Aku juga sudah mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko kue. Meskipun gajiku jauh dari kata cukup, setidaknya aku masih punya penghasilan untukku dan mama hidup sehari-hari. Meski kadang kami sampai tidak makan seharian karna uang gaji yang selalu saja habis sebelum waktunya.

Sebetulnya Dimas tau hal itu, Ia seringkali memberiku uang untuk hidupku dan mama. Tapi tak pernah sekalipun kuterima. Karna aku tidak mau bergantung padanya.

"Tari, aku bener-bener gak tahan lihat hidupmu dan mamamu terus kekurangan seperti ini dan kamu sama sekali gak mau menerima bantuanku sedikitpun. Apa kamu sama sekali gak bisa menganggapku berarti?"

"Maaf Dimas, tapi kita sudah pernah membahas masalah ini. Dan saat itu kamu sudah mengertikan kenapa aku seperti ini?"

Alhamdulilah Dimas mau mengerti. Ia tidak memaksakan kehendaknya untuk menghidupiku dan Mama. Waktu terus berjalan. Hingga tak terasa sudah hampir satu tahun aku menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan Dimas. Saat bulan ketiga aku bekerja di toko kue, tiba-tiba aku dapat ide untuk menjual kue-kue yang ada di toko tempatku bekerja di halaman depan rumah kontrakan kami. Alhamdulilah bosku pemilik toko kue mengijinkanku untuk membawa dulu beberapa kue setiap hari untuk dijual Mama di rumah, besoknya barulah kue-kue yang telah laku dibayar dan yang tidak laku dikembalikan ke toko.

Bosku ini memang baiknya luar biasa. Aku sempat terlupa kalo sebetulnya Mama pandai sekali membuat kue. Saat dagangan kami laris, uangnya ternyata dibelikan bahan-bahan kue oleh Mama dan Mama membuatnya sendiri untuk kemudian dijual juga. Dari situ hidup kami mulai berubah.

Keadaan kami sudah tidak sesulit dulu. Perlahan, dengan modal yang kami kumpulkan akhirnya kami bisa membuka coffee shop kecil yang menjual aneka kue, roti dan donat buatan Mama. Tanpa diduga usaha kami lancar. Alhamdulilah kami tidak kekurangan lagi. Bahkan sekarang kami bisa mengirim uang dan semua kebutuhan Oma seperti dulu. Seperti sediakala saat Papa masih sukses dan kaya raya. Ini bukti bahwa Oma selama ini salah menilai kami. Bukti bahwa kamipun sanggup bertahan meski tidak ada Papah.

Saat kami mengirim uang dan keperluan Oma, dia masih saja menghina Mama. Bahkan dia memfitnah Mama menjualku anak gadisnya kepada om-om kaya agar dinafkahi sampai seperti sekarang ini. Ya Allah kenapa sih ada orangtua macam Oma? Kenapa aku harus punya nenek seperti dia. Maafkan aku ya Allah jika aku tidak berbakti padanya. Dia yang membuatku seperti itu. Demi Allah aku benci sekali padanya.

Mama hanya bisa tertunduk malu saat Oma memfitnahnya di hadapan saudara-saudara Papa yang lainnya. Kalimatnya sungguh keterlaluan dan akhirnya akupun hilang kesabaran.

"Wah...wah...sudah bisa menghasilkan segini banyak ya setelah keluar dari rumah ini? Padahal Anakku masih dalam penjara. Tapi kalian sepertinya sudah hidup senang. Om-om mana yang kau sodorkan anak gadismu itu sampai-sampai mau mengeluarkan banyak biaya seperti ini? Rumah, kendaraan, Cafe. Luar biasa pesona anakmu".

"Astagaa.... Oma cukup ya. Kalau saja Oma bukan nenekku. Kalau saja Oma bukan Ibu dari Papah, sudah sejak lama Tari memukul mulut Oma. Keterlaluan sekali ucapan Oma. Apa Oma sadar selama ini yang menghidupi Oma hanya kami. Kalaupun benar Tari jual diri. Apa peduli Oma. Yang Oma mau kan hanya hidup enak bergelimangan harta tanpa peduli harta dari mana.

Bahkan Oma tau sejak dulu jika Papah korupsi. Tapi tak sekalipun Oma melarang. Sebagai Ibu, seharusnya Oma menasihati Papa. Tapi Oma malah membiarkan itu terus berlangsung hingga Papa dipenjara. Jadi, apa bedanya Oma yang membiarkan anaknya korupsi dengan Mama yang menjual Tari? Tidak ada bedanya kan? Bedanya saat ini hanyalah apa yang dilakukan Mama tidak seperti yang dipikirkan Oma". Aku berteriak dengan lantang karna habis kesabaranku.

"Beraninya kamu bicara begitu. Begitu ya Ibumu mendidikmu hingga berani bicara kasar terhadap Oma". Jawab Oma kemudian.

"Dengar ya Oma, yang kasar itu Oma. Sejak dulu seperti orang tidak berpendidikan. Ngakunya sekolah tinggi. Tapi bisa-bisanya mendidik anak sebagai koruptor".

"PLAAAAK.............". Tamparann Oma mendarat dipipiku. Aku tidak kaget. Karna aku sudah bisa menduganya. Oma hanya bisa berbuat seperti itu setelah menyadari bahwa dirinya yang salah mendidik anak. Bukan Mamaku. Aku tersenyum kecut ke arah wajahnya. Mama langsung menarikku dari hadapan Oma.

"Cukup Bu, saya tidak pernah memukul Tari sejak dia lahir. Bagaimanapun dia berbuat kesalahan. Tapi dia tidak pernah berbuat sesuatu yang mengecewakan saya hingga saya harus memukulnya. Kesabaran saya sudah habis Bu. Ini kali terakhir kami datang ke sini. Kami janji kami tidak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini".

Setelah Mama berkata begitu, kamipun pergi dari hadapan Oma. Aku sempat melihat wajah Oma yang terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dia menyadari kesalahannya. Atau malah menjadi-jadi.

Saat kami mengunjungi Papah, rasanya mulut ini tidak tahan untuk menceritakan semuanya. Kalau saja tiap berkunjung tidak selalu bersama Mama, mungkin sudah kuceritakan semua yang terjadi pada hidup kami di rumah Oma. Tapi Mama selalu mencegahnya. Mama seperti malaikat bagiku. Beliau terlalu baik. Ia tidak ingin Papah mendurhakai Ibunya demi membela istri dan anaknya. Mamaku luar biasa. Aku ingin menjadi wanita sepertimu Ma. Semoga aku bisa sekuat dirimu.

Hidupku dan Mama akhirnya kembali bahagia. Aku kembali meneruskan kuliahku yang sempat terhenti karna cuti. Semua seolah berjalan dengan sangat mulus tanpa hambatan. Sampai suatu ketika aku melihat pemandangan yang luar biasa menyakitkan. Membuatku ingin muntah. Pahit rasanya.

* * * * *

Siang itu aku memutuskan untuk ke cafe sebrang kampus setelah jam kuliah usai. Aku lelah dan rasanya ingin minum minuman segar. Maka aku mampir ke cafe itu. Sebetulnya sejak dulu, sejak pertama kali aku masuk kuliah di kampus ini, belum pernah sekalipun aku masuk ke cafe itu. Karna dulu ada seorang laki-laki menakutkan yang bekerja di cafe itu. Sebetulnya bukan menakutkan bagaimana. Hanya saja dia selalu menatapku dalam-dalam tak berkedip jika berpapasan di depan cafe itu. Jadilah aku tidak pernah jadi masuk cafe itu sekalipun.

Tapi satu bulan lalu. Aku pernah mengalami kejadian tak terduga. Saat di jalan, ada anak-anak yang sedang bersepeda tanpa sengaja menabrakku hingga aku terjatuh dan barang-barang yang kubawa berantakan tercecer dijalan. Aku sedikit terluka waktu itu. Untungnya ada cowo baik hati yang lewat dan membantuku membereskan semua barang bawaanku yang tercecer dijalan.

"Adduduuuh". Keluhku saat itu. Lenganku terluka. Darah menetes. Untungnya tidak parah.

"Udah-udah, kamu duduk aja di situ". Kata laki-laki yang sedang membantuku merapikan barang bawaanku itu. Sambil memapahku ke bangku taman, Ia membawakan semua barang-barangku.

"Aduh kamu luka". Katanya dengan wajah khawatir namun tenang. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. Kemudian membukanya dan menyiram lukaku dengan air itu.

"Ini harus dibersihkan dulu biar gak infeksi". Katanya kemudian.

Saat tanpa sengaja kami bertatapan aku sangat terkejut melihatnya, kemudian spontan berteriak........

"Aaaah, eloe..... eloe kan cowo yang kerja di cafe itu kan. Yang selalu natap gue dengan muka serem. Mau ngapain lu? Aduh plis jangan macem-macem". Teriaku saat itu dengan panik.

"Aduh Mbaa, jangan salah sangka dong. Iya iya, gue emang cowo yang kerja di cafe itu. Emang bener gue selalu liatin lu tiap lu jalan di area cafe. Tapi sumpah gue bukan orang jahat. Maaf banget kalo tatapan gue mengganggu. Gue cuma merasa lu mirip sesorang yang udah lama ngilang. Maaf ya". Katanya menjelaskan.

Dari situ kami akhirnya ngobrol. Sambil dia mengantarku pulang kami banyak ngobrol. Ternyata selama  ini dia pernah kehilangan saudara perempuannya yang mirip banget denganku. Itu sebabnya dia selalu memperhatikanku. Wajah seram dengan tubuh tegapnya itu sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ternyata sangatlah ramah dan sopan.

Sejak saat itu kami berteman. Beberapa kali aku ke cafe itu dan dia membiarkan aku minum cappuccino kesukaanku tanpa membayar.

"Ssst.... jangan bilang-bilang ya. Nanti bos marah". Begitu katanya setiap kali dia memberiku gratisan Cappuccino. Lucu sekali dia.

Sampai akhirnya belakangan aku tau, bahwa ternyata justru dialah pemilik cafe itu. Tidak banyak orang yang tau kalau dia pelayan yang ternyata juga pemilik cafe. Rasanya aneh, ada manager yang tunduk sama pelayan. Hihihi..... dia itu emang cowo unik.

Entah sejak kapan aku mulai sering berkunjung ke Dance Cafe. Iya cafe itu diberi nama Dance oleh Bima pemiliknya. Ya, cowo unik itu namanya Bima. Aku mulai sedikit dekat dengannya. Dia orangnya asyik diajak ngobrol, karna lebih sering bercanda dan bikin aku tertawa.

Disuatu siang yang sangat terik, aku memutuskan untuk ke cafenya Bima. Saat aku masuk dan masih berdiri di ambang pintu cafe. Aku melihat pemandangan yang membuatku muak dan ingin muntah. Aku terdiam, melihat sosok Dimas yang sedang bermesraan dengan seorang gadis. Mereka tampak sangat dekat, bermesraan bahkan hampir berciuman. Aku jijik melihat kelakuan mereka di depan umum seperti ini.

Saat itu aku berdiri tegak sambil tetap memandangi pemandangan memuakkan itu sambil meneteskan air mata. Dua makhluk brengsek itu tidak melihatku. Tapi rupanya Bima menyadari kehadiranku diambang pintu cafe. Ia yang melihatku tengah terdiam sambil menangisi pemandangan itu kemudian menghampiriku sambil menyebut namaku keras.

"Tari....." . Kontan saja dua makhluk menjijikan itu juga menengok ke arah Bima yang memanggilku.

Mereka berdua terkejut bukan main. Spontan Dimas bangkit dan ingin segera beranjak dari tempatnya duduk untuk menghampiriku. Namun saat itu gadis yang juga sama menjijikkannya itu mencegahnya. Ia menarik lengan Dimas. tidak membolehkan Dimas menghampiriku.

Segera aku berjalan keluar cafe dengan berderai air mata. Aku tak menyangka. Ternyata selama ini hubungan sembunyi-sembunyi kami bukan hanya untuk menghindari Orangtuanya. Tapi juga untuk menutupi hubungannya dengan Utami dariku. Ya, Utami. Dialah Utami sahabatku dan Adiba. Dulu saat SMA kami berlima adalah sekelompok siswi populer bergelimangan harta orangtua kami.

Aku, Adiba, Nadya, Nadiva, dan dia Utami. Kami berlima bagai satu bagian tubuh yang tak terpisahkan. Namun akhirnya harta dan kedudukan mengalahkan segalanya. Utami menghilang ketika Adiba dan aku jatuh bangkrut. Ketika kami berdua terpuruk. Utami tidak ada. Meski Nadya dan Nadivapun  seperti menghindar, tapi mereka masih menunjukan kehadirannya pada kami. Berbeda dengan Utami yang benar-benar menghilang namun kami tau Ia hanya menghindar.

Tiba-tiba muncul dihadapanku sedang memeluk mesra kekasihku Dimas. Bergandengan bahkan hampir berciuman di muka umum. Aku shock bukan main. Aku terisak di sudut jalan, Dengan posisi jongkok dan menelungkupkan wajahku dalam tunduk, aku menangis sejadi-jadinya.

Belaian lembut mendarat dikepalaku. Aku mengangkat wajahku. Kutatap wajah Bima kemudian kulanjutkan tangisku.

"Tari, udahlah. Gak pantes air matamu buat laki-laki macam dia". Bima berkata demikian seolah Ia sudah tau dan mengerti tentang hubungan kami bertiga. Aku, Dimas, dan Utami. Saat itu aku masih tidak menyadarinya. Aku tidak juga menghentikan tangisku. Aku masih shock.

"Iya Bim, tapi rasanya sakit. Gue tau orang seperti Dimas gak pantes ditangisin. Tapi Bim, lu liat kan tadi. Itu tadi Tami Bim. Utami sahabat gue. Koq bisa sih. Pantes selama ini dia menghilang. Rupanya dia gak mau ketemu gue karna udah berhasil ngerebut Dimas. Gue gak nyangka Bim, ternyata selama ini Dimas cuma ngebohongin gue. Perhatiannya, semuanya ternyata cuma bohong. Bahkan dia sempat mau menghidupi gue sama nyokap waktu itu. Untuk apa Bim. Cuma untuk ngerjain gue doang mungkin. Untungnya gue gak main terima gitu aja bantuan dia. Gue benci mereka berdua Bim. Benciii........".

Terus saja aku menangis. Tak terasa sudah mulai gelap. Aku dan Bima masih terduduk di bangku taman. Untungnya Bima bukan karyawan biasa di Dance Cafe. Jadi saat sekarng dia menemaniku tidak menjadi masalah baginya.

Sampai akhirnya aku merasa tenang, akhirnya aku pamit pulang pada Bima. Dia sedikit memaksa ingin mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolaknya. Akhirnya aku pulang dengan diantar Bima.

Sesampainya di depan pintu rumahku, Bima ikut turun dari mobilnya. Memastikan aku masuk ke dalam rumah. Tapi begitu kami sampai di depan gerbang rumahku. Tiba-tiba sesosok laki-laki muncul dan memegang agak keras lengan kiriku. Ya, ternyata Dimas sudah sejak tadi menungguku pulang.

"Tari, tunggu Tar. Biar aku jelasin semuanya". Kata Dimas sambil menarik keras lenganku demi mencegah aku masuk ke dalam rumah.

"Lepasin Dim. Aku paham koq. Gak papa, aku baik-baik aja. Kamu bebas memilih berhubungan dengan perempuan manapun termasuk Utami. Bahkan mungkin kedua orangtuamu akan lebih senang kalo kamu sama dia. Aku fine aja koq. Udah ya, aku harus masuk".

Dengan sok tegar dan wajah tenang aku berkata demikian. Tapi sungguh, saat ini perasaan sakitku lebih kepada Utami. Aku masih tidak menyangka Utami bisa setega itu. Tapi pada Dimas, rasanya aku lebih tegar setelah tau dia brengsek dan tidak pantas dipertahankan. Benar kata Bima, laki-laki seperti Dimas akan mudah kucampakkan. Karna dia memang pantas diperlakukan seperti itu.

"Gak bisa Tar. Aku ga ada perasaan apa-apa sama Tami. Aku cuma cinta sama kamu". Katanya dengan wajah tegang sambil masih memegang lenganku.

Bima yang sedari tadi masih diam melihat perbincangan kami, tiba-tiba ikut emosi melihat wajahku yang tidak nyaman karna lenganku masih dipegang Dimas dengan sedikit keras. Mungkin Bima takut Dimas menyakitiku.

"Heh, lu gak denger. Tari udah gak mau dengerin penjelasan apa-apa. Gak usah lu paksa-paksa. Punya malu dikit dong". Kata Bima sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Dimas dari lenganku.

"Eh, lu gak usah ikut campur ya. Lu itu cuma masa lalunya. Lu cuma temen kecilnya yang bahkan gak penting lagi buat hidupnya sekarang. Mending lu jauh-jauh dari Tari".

Apa? Teman masa kecil? Disini aku tidak mengerti ucapan Dimas. Apa maksudnya Ia berkata bahwa Bima adalah teman masa kecilku. Akupun spontan menatap Bima dengan wajah bingung. Kemudian kulepaskan cengkraman tangan Dimas.

"Tunggu. Apa maksudnya? Bima teman masa kecil aku? Apa ini Bim? Aku gak ngerti. Kapan kita pernah berteman sebelum ini?". Tanyaku sambil menatap Bima dengan wajah seribu tanya.

"Ooh jadi kamu bener-bener gak inget dia? Hmm, emang pantes cowo kaya lu itu dilupain. Orang gak penting dan bukan siapa-siapa macem lu, gak penting buat diinget-inget. Biar aku yang jelasin ya Tar. Ni cowo udah kenal kita dari jaman kita masih SMA. Dia sering mandangin kamu dari luar gerbang sekolah. Untungnya dia gak sampe berani nyamperin kamu. Kalo sampe berani, mungkin udah aku hajar dulu itu. Setelah aku selidiki, ternyata dia temen masa kecil kamu dulu waktu kalian tinggal di bandung yang cuma sebentar. Kamu pernah kan tinggal di bandung selama 6 bulan saat umurmu 7 tahun? Nah, dia ini yang dulu pernah jadi temen main kamu di sana. Rupanya cowo bego ini udah bener-bener jatuh cinta sama kamu Tari. Sampe-sampe dia ngejar kamu sampe ke jakarta. Waktu tau kamu masuk SMA Harapan, dia sering dateng ke sekolah kita. Tapi mungkin dia terlalu pengecut buat ngadepin kamu dulu karna kamu putri penjabat dan pengusaha terkenal kaya raya. Cowo kampung kaya dia mana mungkin cocok sama kamu".

Aku kaget bukan main. Bayanganku flash back ke beberapa tahun lalu saat aku masih kecil dan sempat tinggal di Bandung waktu itu. Dengan susah payah akhirnya aku mengingat semuanya. Pantas saja aku lupa wajah Bima. Karna dulu waktu kami kecil, sosok Bima sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bima kecil adalah anak cowo super gendut dengan pipi super tembem yang paling perhatian sama aku dibanding teman-teman lainnya. Saat tidak ada yang mau main denganku karna katanya aku lambat kalo diajak main lari-larian, hanya Bima yang mau menemaniku bermain boneka dan masak-masakan.

"Ya ampun Bimaaa, aku ingat sekarang siapa kamu. Anak Tante Lani. Kamu beda banget. Gimana bisa badan kamu jadi atletis kaya sekarang ini. Mana mungkin aku ngenalin kamu. Kenapa kamu ga cerita sih dari dulu. Ayo Bim mampir masuk dulu. Mama pasti inget deh sama kamu anaknya Tante Lani. Dulu kan kalian deket". Aku menarik lengan Bima sambil membuka gerbang rumah.

"Tunggu dulu Tar, gimana urusan kita. Aku bener-bener ga ada hubungan apa-apa sama Tami". Dimas masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku tidak peduli.

"Maaf Dim, kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Semuanya selesai di sini. Kamu silahkan teruskan hubunganmu dengan Tami. Dan jangan sekalipun nyakitin dia. Karna bagaimanapun, Utami masih tetap sahabat baikku".

Setelah itu aku berlalu dari hadapan Dimas dan masuk ke dalam rumah bersama Bima.

Singkat cerita akhirnya Bima menceritakan semuanya. Saat dia pindah ke Jakarta, dia mencariku. Setelah menemukanku, dia segan untuk menghampiriku begitu dia tau latar belakangku yang ternyata putri seorang pejabat dan pengusaha sukses di Jakarta. Memang dulu waktu aku tinggal di Bandung, kehidupan keluargaku belum sebaik di Jakarta.

Namun keinginan kuatnya untuk menemuiku membuat Ia berjuang hidup sendiri di kota besar yang penuh tantangan ini. Berbekal dari keahliannya membuat kopi dan kue, Ia membuka toko kecil. Sampai akhirnya kemudian berhasil mengumpulkan uang untuk modalnya membuka cafe yang jauh lebih baik dari sekedar toko kuenya yang dulu.

Bahkan aku tak menyangka. Tenyata nama cafenya diambil dari namaku. Dance yang artinya Tari sama dengan menari. Aku sangat tersanjung mendengarnya.

Tak berapa lama kemudian, Bima memberanikan diri melamarku. Aku tidak terkejut. Karna sudah tau bahwa dia memang menyayangiku sejak dulu. Senang bukan main ternyata ada laki-laki hebat yang memperjuangkan hidupnya demi aku. Setelah bicara pada Mama mengenai pinangannya, kami bertiga. Aku, Mama, dan Bima pergi menemui Papah di tahanan. Bima melamarku. Papah menitikkan air matanya. Ia tak menyangka anak gadisnya sudah sedewasa ini dan memang sudah waktunya untuk menempuh hidup bersama orang yang tepat.

Kamipun menikah. Bahagianya karna Papah diijinkan keluar sel demi menikahkan kami berdua. Dengan restu Papah dan Mama, kamipun menikah dengan bahagia.

Ditahun berikutnya, Papah mendapatkan remisi. Karna Ia berkelakuan baik selama di sel. Ia mengajarkan banyak ilmu pada sesama tahanan di sel bahkan kepada para sipir tahanan. Papah memang orang yang sangat cerdas, ilmu bisnisnya banyak. Maka dengan ilmunya, Ia berhasil menelurkan para wirausahawan kecil setelah mereka masing-masing keluar dari tahanan. Itu prestasi yang membanggakan, maka papah keluar lebih cepat.

Ia kembali ke rumah kami. Sekarang kami hidup bahagia berempat, dan sedang menanti seorang anggota keluarga baru di kandunganku.

Allah memang Maha Tau yang baik bagi umatnya. Termasuk dalam hal jodoh. Bagaimanapun, kita akan dipertemukan dengan jodoh kita tepat pada waktunya. Tidak akan terlalu cepat, ataupun terlalu terlambat. Semua ditanganNya selalu tepat pada waktu.

 S E L E S A I

By; Upay

Jumat, 15 Mei 2020

Bertepuk sebelah tangan? (ikhtiar)

"Ya ampun Faa.... koq ada sih makhluk kaya ka Nizam. MasyaAllah Fa. Gagahnya dia...." kataku kepada Ifa sahabatku yang sedang duduk manis dikursi sebelahku. Kami semua sedang ada acara pensi di sekolah. Dan cowok yang barusan aku kagumi itu sedang berdiri di atas panggung dihadapan kami semua ratusan murid disekolah ini.

Ia adalah Nizam. Senior kelas tiga yang juga seorang ketua osis plus ketua ekskul rohis. Tidak bisa dipungkiri lagi ketampanan dan kepandaiannya disekolah ini. Aku yakin semua siswi pastilah menaruh hati padanya. Ia memang luar biasa. Bagaimana tidak, diumurnya yang bahkan masih semuda ini, Ia sudah hafal AlQur'an dan fasih berbahasa arab. Katanya sih, umi dan abinya mengkhususkan Nizam kursus bahasa arab dan pendidikan tahfidz dirumahnya.

Bahkan guru agamanyapun privat yang didatangkan langsung ke rumahnya. Bagi kedua orangtua Nizam, amatlah penting mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang lebih dekat dengan agama daripada dunia. Maka, disaat anak-anak lain sibuk kursus bahasa inggris, komputer, design, dan teknik lainnya, keluarga Nizam justru sibuk memberi pendidikan agama yang cukup dalam.

Meski begitu, Nizam adalah Nizam, seorang cowok sempurna yang bukan cuma sholeh tapi juga banyak bakat. Hanya berbekal pelajaran bahasa inggris disekolah tanpa kursus, Nizam cukup lumayan berbahasa Inggris. Sehingga Ia menguasai dua bahasa asing itu. Ditambah lagi suaranya yang merdu setiap kali mengumandangkan Adzan dan semua nilai mata pelajarannya yang hampir sempurna. Jadilah Ia Nizam kebanggaan sekolah kami.

Mungkin ini yang disebut mengejar akhirat pasti juga dapat dunia. Pelajaran yang selalu kupegang teguh semenjak aku mengenal sosok Ka Nizam kakak kelasku itu.

Dia pulalah yang selalu mengisi acara ceramah setiap kali pensi tahunan diadakan disekolah kami. Salah satu ceramahnya ya itu tadi.

"Kalau kita mengejar dunia, niscaya akan sulit kita dapatkan apa yang kita inginkan. Namun jika kita mengejar amalan akhirat, maka inshaAllah apa yang kita butuhkan didunia pastilah akan terpenuhi."

Dan sampai detik ini, dimana usiaku sudah menginjak 34 tahun, aku masih saja mengingat ceramah itu. Aku menjadi pribadi yang lebih baik dalam beriman. Mengejar keshalihan demi hidup tenang. Benar saja kata Ka Nizam, hidupku sempurna. Lulus dengan nilai terbaik, menjadi seorang dokter dengan penghasilan yang semua orang pastilah tau dan memiliki sahabat seperti Ifa yang masih saja setia menemaniku hingga detik ini. Meski sekarang Ifa sudah berkeluarga tentunya.

"Jadi sekarang, apalagi yang kamu pikirkan May?" Tanya Ifa kepadaku yang sedang duduk dibangku pasien disebrang mejaku. Saat ini aku sedang sepi pasien. Sehingga aku meminta Ifa datang ke Rumah Sakit tempatku praktek untuk menemaniku. Ifa sendiri cukup sukses sebagai pebisnis butik muslim. Sehingga Ia tidak terikat waktu dalam pekerjaannya.

"Maksud pertanyaanmu?" Balasku bertanya pada Ifa yang sedari tadi menanti jawaban dariku.

"Ya apa lagi yang kamu tunggu May. Hasan itu laki-laki yang baik lho. Dia sholeh, sukses sebagai entrepreneur dan kelihatannya dia juga betul-betul serius tertarik sama kamu. Kenapa ngga kamu terima saja tawaran ta'aruf darinya?"

Hasan adalah salah seorang teman kampusku semasa kuliah dulu. Ia juga telah berhasil menyelesaikan study kedokterannya. Tapi rupanya Ia lebih senang tenggelam dalam dunia bisnis ketimbang dunia kesehatan yang justru menjadi jurusannya di kuliah dulu. Unik memang. Namun entah kenapa aku merasakan hal  yang berbeda pada Hasan. Memang ada sedikit rasa ketertarikan padanya. Pada sosok laki-laki mandiri nan cerdas seperti dirinya. Tapi perasaan itu tidak seperti yang pernah aku rasakan pada Ka Nizam dulu. Entahlah.

"Fa, tidak semua pernikahan itu segampang kamu dan Mas Edo. Kamu tau kan banyak hal-hal yang mesti aku pikirin." Jawabku kemudian. Aku tau Ifa mengkhawatirkan sahabatnya ini yang sudah 34 tahun menjomblo. Sedih ya. Hehehehe. Tapi tak mengapa. Allah tau apa yang kuinginkan tapi Allah tau apa yang lebih kubutuhkan. Aku masih harus istikharah meminta petunjuknya.

"Mas Edo, minggu depan aku mau mengajak Ifa ke Bogor. Ada kajian di sana. Ustadzah Arumi yang mengisi. Apa diizinkan?" Tanyaku pada Mas Edo suami Ifa dari sebrang telepon. Kebiasaan kami adalah aku selalu memintakan izin kepada Mas Edo suami Ifa meski sebelumnya Ifa sudah lebih dulu meminta izin kepada suaminya itu. Ini hanya sekedar rasa hormat dan tata krama kepada saudara. Bagiku ini penting.

"Tentulah May, silahkan. Aku juga sudah bilang sama Ifa kalau dia boleh pergi sama kamu". Jawab Mas Edo kemudian. Ada sedikit rasa lega setelah mendapatkan izinnya, karna lokasi yang menurutku cukup jauh di Bogor. Meski bisa ditempuh pulang pergi, tetap saja membutuhkan waktu berjam-jam dijalan untuk tiba ditujuan.

*Seminggu kemudian dilokasi kajian*

Kajian dilaksanakan di dalam aula. Karna bukan di masjid, sehingga disediakan kursi-kursi untuk para tamu undangan dan hadirin yang datang. Aku dan Ifa duduk bersebelahan.

"Permisi mba, kursi disebelahnya kosong gak ya?" Seorang wanita berparas cantik dan lembut tiba-tiba muncul dan menanyakan kursi kosong disebelahku dan Ifa.

"Oh kosong mba silahkan diisi aja." Jawabku kemudian. Acara sebentar lagi dimulai. Tapi tiba-tiba mataku terperanjat melihat sosok yang tidak kuduga hadir di acara kajian kali ini. "Apa aku salah lihat?" Batinku bergumam. "Tapi sepertinya benar. Meski sekarang kami sudah jauh lebih dewasa, tapi dia tidak banyak berubah. Aku yakin betul tadi itu Ka Nizam yang ada dibalik tirai belakang panggung."

"Kenapa May? Mukamu aneh dari tadi." Tanya Ifa menatapku heran. Aku masih kurang yakin meski sebetulnya sangat yakin. Aaah entahlah. Kurang yakin tapi sangat yakin. Apalah perasaanku ini. Acarapun dimulai.

Tiba-tiba sesosok laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, tegap dan gagah membuka acara di atas panggung. Sontak aku dan Ifa terkejut.

"MasyaAllah Maaay. Itu........"

"Iya Fa, itu. Itu lho yang dari tadi membuat mukaku aneh. Dia dibalik tirai panggung sesekali tirainya tersingkap aku lihat dia dari tadi. Ya ampuuun Faaa...... itu Ka Nizam. MasyaAllah ya Fa dia masih gagah aja. Bahkan sekarang aura charmingnya lebih kelihatan. Ya ampun Fa, cinta pertamaku didepan sana." Gumamku dengan wajah super aneh dan nyebelin saking kaget dan kagumnya pada sosok laki-laki itu. Aku sampai tidak sadar kalau obrolanku dengan Ifa sepertinya terdengar oleh orang-orang.

"Husss, May berisik kali." Sahut Ifa sambil menyikut lenganku pelan.

"Tapi itu Ka Nizam Fa, beneran dia kan." Bisikku kepada Ifa dengan suara yang cukup jelas.

"Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh, Terima kasih untuk para tamu undangan dan hadirin yang berkesempatan hadir di acara kajian kali ini yang akan diisi oleh Ustadzah Arumi. Saya berdiri di sini sebagai MC mengucapkan terima kasih juga telah diberi kesempatan membuka acara ini. Untuk itu kepada Ustadzah Arumi, dipersilahkan."

Acara kajian selesai. Aku dan Ifa masih berdiri di ambang pintu aula. Aku masih terdiam mengingat sosok Ka Nizam barusan. Suasana masih ramai orang-orang. Tiba-tiba saja Ka Nizam terlihat berdiri tidak jauh dari hadapanku. Aku terkejut bukan main ketika melihat Ia sedang menatap ke arahku sambil tersenyum. Dalam batinku, apa tidak salah?

Ternyata Ka Nizam MC nya. Hatiku masih terasa deg-degan ketika melihatnya. Aku bingung, sudah begitu lama tidak bertemu dengannya. Tapi kenapa rasa yang sama timbul lagi. Sialnya lagi, ternyata Ka Nizam lebih ingat Ifa daripada aku. Ya sudah tentu sih. Dulu semasa sekolah Ifa memang cukup supel dan banyak dikenal murid lain. Dari adik kelas sampai kakak kelas rasanya kenal Ifa. Sementara aku yang sangat biasa ini, siapalah yang masih akan mengenalku. Apalagi diingat.

Kemudian perlahan Ia berjalan menghampiri kami. Aku mematung. Ya Allah dia ke sini. Ngapain? Tersenyum. Sama siapa? Aku atau Ifa? Duh makin terasa hangat rasanya hatiku. Seperti ada yang mengalir membanjiri hatiku yang semula dingin.

"Lho Dek' kenapa masih di sini. Kan aku bilang masuk aja ke balik panggung. Boleh masuk koq."

"Gapapa Mas, Adek nunggu depan pintu aja. Malahan tadinya adek mau ke parkiran aja tunggu dimobil."

Waduh. Apa-apaan ini. Ternyata Ka nizam bukan menghampiriku ataupun Ifa. Tapi dia menghampiri perempuan yang berdiri di sampingku dan Ifa. Ya Allaaah ternyata perempuan yang tadi duduk di sebelahku. Yang sempat menanyakan apakah kursi di sebelahku itu kosong atau tidak.

Sejenak kemudian matanya tertuju pada Ifa.

"Lho, kalo gak salah, kamu Ifa kan? Alumni SMA Harapan?" Tanyanya pada Ifa.

"Iya Ka Nizam. Aku Ifa." Jawab Ifa sambil tersenyum.

"Ya ampun, gak nyangka ya ketemu di sini. Oh iya Fa, kenalin. Ini istriku Sarah."

JEGEEEEERRRR.............. bagai kilat menyambar pohon hatiku yang semula dingin kemudian hangat kemudian hancur berkeping tersengat kalimat ini istriku.

Setelah tidak berapa lama Ifa dan Ka Nizam saling menyapa. Kamipun beranjak. Fix dia tidak mengenaliku. Sedih memang. Tapi ya sudahlah. Yang membuatku tak bisa tenang. Apakah istrinya sepanjang kajian mendengar semua perbincanganku dengan Ifa mengenai suaminya. Ya ampuuun. Apa yang harus aku lakukan.

"Fa, gak enak banget deh. Kayanya istri Ka Nizam mustahil gak denger obrolan kita. Ya ampun aku malu banget Fa. Kepergok terlalu mengagumi suami orang di depan istrinya. Ya Allah aku harus gimana Fa." Kataku sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku dibangku kemudi dalam mobilku.

"Yah, kamu berdoa aja semoga dia gak denger." Kata Ifa kemudian.

"Gak mungkin Fa." Kataku lagi. Tak berapa lama, aku melihat sosok istri Ka Nizam berdiri di depan sebuah mobil yang terparkir di sebrang mobilku. Aku tak pikir panjang lagi. Buru-buru aku turun dan menghampirinya.

"Assalamualaikum Mba Sarah." Sapaku pada istri Ka Nizam yang sepertinya sedang menunggu kedatangan suaminya di parkiran ini.

"Waalaikumsalam." Jawabnya lembut.

"Maaf Mba Sarah, saya mau bicara sebentar. Saya Mayang temannya Ifa yang teman alumni sekolahnya Ka nizam yang barusan ngobrol tadi." Kalimatku berantakan. Sebagai seorang Dokter, rasanya omonganku ini sama sekali tidak mencerminkan. Karna aku terlalu gugup, malu, dan merasa bersalah pada perempuan lembut ini.

"Iya, saya tau koq Mba Mayang. Ada apa mba?" Tanyanya dengan sopan dan suara yang lembut keibuan. Aku meleleh oleh pesonanya dan tutur katanya yang lembut. Kalo perempuan lain mungkin sudah bersikap angkuh dan sombong berhadapan dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi suaminya. Tapi Sarah, sama sekali tidak seperti itu.

"Mba Sarah mungkin tadi mendengar obrolan saya dengan Ifa. Saya betul-betul minta maaf Mba. Saya harap Mba Sarah tidak merasa terganggu. Karna biarpun dari obrolan tadi saya seperti terlalu kagum pada Ka Nizam, tapi sejujurnya itu dulu Mba. Aduh, maksud saya, biarpun kedengarannya seperti saya masih mengagumi beliau, itu hanya karna beliau memang pantas di kagumi karna prestasinya. Seperti fans kepada artis aja Mba. Jadi saya mohon maaf kalo sekiranya obrolan tadi jadi mengganggu pikiran Mba."

Sungguh butuh keberanian teramat besar mengakui semua ini. Tapi sebagai seorang perempuan, aku tidak mau sikapku mengganggu perempuan lain. Terlebih lagi mengganggu pikiran rumah tangga orang. Jadi dengan segenap kekuatan dan rasa tanggung jawab, aku terpaksa harus bicara.

"Ya ampun Mba Mayang. Apa benar Mba segitu mengagumi Mas Nizam? Saya malah baru tau saat Mba ngomong ini. Saya sama sekali gak dengar obrolan Mba Mayang dengan Mba Ifa lho. Gak apa koq Mba. Saya baik-baik aja. Gak perlu terlalu dipikirkan." Jawabnya kemudian.

Rasanya mustahil dia tidak mendengar. Sepertinya dia hanya sedang menyelamatkan harga diriku saja. Dia sungguh-sungguh sosok perempuan yang bisa membuat orang jatuh hati seketika. Bukan hanya laki-laki. Tapi juga perempuan seperti aku. Yang setelah kejadian ini malah justru mengaguminya sebagai seorang perempuan yang baik, terhormat, lembut dan sopan. Rasanya tidaklah salah jika Ka Nizam jatuh cinta pada perempuan seperti Sarah yang cantik luar dan dalam. Aku memakluminya. Jika aku saja yang perempuan begitu kagum dengan pribadainya, bagaimana laki-laki.

Tak lama kemudian, Ka Nizam datang menghampiri istrinya yang masih berdiri bersamaku. Aku bingung dan jadi salah tingkah dihadapan mereka. Rasanya ingin buru-buru menghilang saja ke belahan dunia lain.

"Mas, ingat perempuan yang berdiri di samping Ifa teman Mas tadi?" Tanya Sarah kepada suaminya.

"Ini Mayang Mas kenalin. Mungkin Mas lupa, tapi Mayang ini juga adik kelas mas di SMA yang juga temannya Ifa." Terang Sarah kepada suaminya.

"Oh iya, maaf Mayang. Sebetulnya aku agak-agak ingat tadi. Cuma takut salah. Karna kamu berubah banget dari sejak SMA, dan Ifa tadi juga diam aja. Jadi aku takut-takut mau negornya." Jawab Ka Nizam kemudian.

"Mmmh, ya udah Mba Sarah, Ka Nizam, Saya permisi pulang dulu." Aku buru-buru pamitan. Takut wajah salah tingkahku semakin terlihat.

"Mayang cantik banget ya Mas." Kata Sarah sebelum aku beranjak. Aku tersipu dan makin salah tingkah.

"Iya, sejak dulu di SMA memang begitu. hanya saja dia terlalu pendiam. Hahahah." Jawab Nizam sambil tertawa.

"Ah kalian ini bisa aja." Kataku sambil tersenyum malu. Kamipun saling berpamitan.

Dimobil, dalam perjalanan pulang, aku menceritakan semua yang kubicarakan dengan Sarah dan suaminya. Ifa mendengarkan dengan seksama sambil senyum-senyum dan sesekali mengejek seperti kebiasaannya.

"Hahahah, jadi itu yang kamu omongin sama istrinya. Malu ya kegep. Hihihihi...." Ejek Ifa sambil makan cemilan dikursi penumpang. Sementara aku terus melajukan kendaraan sambil sesekali mendorong lengan Ifa yang mengejekku.

"Ah rese kamu ngejek aja." Kataku.

Seminggu berlalu dari sejak kejadian di kajian itu. Hatiku masih sedih rasanya, mengetahui cinta pertamaku kini telah beristri. Tapi mau bagaimana lagi. Diumur segini justru aku yang aneh, masih saja sendiri. Masa iya aku harus terima pinangan Hasan hanya karna sedang patah hati. Apa tidak gegabah namanya.

Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya selama ini aku memang masih menanti Ka Nizam. Padahal bertemupun sudah tak pernah sejak SMA. Mungkin yang aku nantikan bukan benar-benar Ka Nizam. Bisa jadi aku menanti kehadiran laki-laki yang sesempurna Ka Nizam. Meski aku tau tak ada satupun manusia yang sempurna, setidaknya aku belum melihat kekurangan pada Ka Nizam, meskipun aku yakin pastilah ada.

Beruntungnya Sarah bisa mengetahui kekurangan dan kelemahan Ka Nizam. Apalah yang aku pikirkan. Betul-betul jadi kacau sejak hari itu. Sore ini aku sedang senggang, tidak ada janji temu pasien. Tapi tiba-tiba Suster Ana masuk dan menyerahkan berkas pasien. Aku buka dan nama yang tertera di dalamnya adalah Sarah.

Aaah betapa hidup ini begitu penuh kejutan. Disaat hati gundah, aku malah mendapati pasien yang bernama sama dengan istri Ka Nizam. Rasanya ingin kutolak semua pasien bernama Sarah. Meski mengagumi sosoknya, tapi tak kupungkiri kalau seorang dokterpun bisa iri dengan wanita lain. Sungguh ironi.

"Pasien baru ya An?" Tanyaku pada suster Ana karna berkasnya masih bersih dari medical record.

"Iya Dok pasien baru." Jawab Suster Ana kemudian.

"Ok, persilahkan masuk. Kalau ini yang terakhir, setelah ini aku mau langsung pulang ya An." Kataku pada suster Ana.

"Baik Dok, nanti saya siapkan berkas yang mau Dokter pelajari di rumah."

"Assalamualaikum Dokter Mayang." Sapa pasien baruku itu.

"Waalaikumsalam." Jawabku kemudian dan langsung aku terkejut bukan main. Ternyata pasien baruku ini benar-benar Sarah. Sarah yang.............

ya Sarah, istrinya Ka Nizam. Aku tak menyangka Ia jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk berobat. Padahal di Bogor juga banyak Rumah Sakit besar. Atau jangan-jangan dia mauu.....................

"Hei Mayang, kau ini memang Dokter. Tapi bukan berarti semua laki-laki bisa kau pikat dengan gelarmu. Awas kau berani-berani mendekati suamiku." Aaaah itu khayalanku.

"Maaf Dok, kaget ya?" Tanyanya dengan senyum simpul diwajahnya.

"Aah, iya. Sedikit kaget. Kenapa Mba Sarah sampai cek ke sini? Bukahkah banyak Rumah Sakit besar di Bogor?" Tanyaku penasaran.

"Mmh, iya Dokter Mayang maaf. Jadi sebetulnya aku ke sini karna mau ada yang diobrolin. Tapi melihat begitu padat jadwalmu, jadi sepertinya aku harus jadi salah satu pasienmu untuk bisa bertemu."

"Oh begitu. Kenapa gak kasih kabar aja Mba, aku bisa atur jadwal koq. Kupikir Mba Sarah mau cek kehamilan juga." Kataku padanya dengan wajah masih setengah terkejut.

"Wah senangnya kalau memang aku bisa cek kehamilan. Sayang tidak begitu Dok. Kalo boleh, aku mau ngobrol apa tidak masalah disini?"

Akhirnya kami memutuskan ngobrol di cafe. Karna aku merasa lebih nyaman suasananya untuk ngobrol santai. Dari obrolan kami, jelas terlihat kalau dia benar-benar hanya ingin ngobrol denganku. Walaupun aku agak bingung. Hal apa yang menyebabkan dia mau berteman denganku. Dengan perempuan yang jelas-jelas mengagumi sosok suaminya. Apa tidak takut kalau jin tiba-tiba menyergap diriku dan langsung menggoda suaminya besok-besok. Sungguh wanita ini unik.

Dari obrolan kami aku tau bahwa ternyata keluarga Sarah dan Ka Nizam bukan orang sembarangan. Jika aku hanyalah Dokter yang bekerja pada suatu Rumah Sakit, ternyata mereka adalah pemilik Rumah Sakit Muslim di Bogor. Rumah Sakit Swasta yang cukup besar dan menurutku sedikit mahal. Wah mereka luar biasa. Hatiku makin mengerdil rasanya berteman dengan Sarah.

Entah apa yang ada dipikirannya. Yang jelas, aku seperti hanya melihat ketulusan. Walaupun mungkin ada maksud lain, aku merasa itu pasti bukan maksud jelek. Dia menawarkanku bekerja di Rumah Sakitnya. Dia mau aku jadi Dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit itu. Alasannya sih karna Dokter SPOG baru ada dua di sana, sedangkan mereka lumayan banyak pasien Ibu hamil.

Yang aku tak habis pikir, dari mana Mba Sarah mendapatkan data-dataku. Alamatku, Nomor handphoneku, bahkan tempat aku bekerja. Tapi dipikir-pikir lagi. Orang sepenting dia. Sangatlah mudah mendapatkan apa saja yang dibutuhkan. Buat apa aku ambil pusing bertanya-tanya sendiri.

"Kamu boleh koq Dok pikir-pikir dulu tawaran dari aku. Memang jauh dari rumahmu disini. Tapi kami akan kasih fasilitas apartemen di sana jika kamu menerima tawaran kami. Aku dan Mas Nizam sangat berharap kamu mau bekerja sama dengan Rumah Sakit kami."

Jika saja pribadi Sarah tidak secantik dan tidak terlihat setulus itu, mungkin aku akan suudzon bahwa dia sengaja mau mempekerjakanku di Rumah Sakitnya  untuk menunjukan siapa dirinya dan siapa diriku, bahwa kami berada di kelas yang berbeda, bahwa aku tidak mungkin bisa menjerat suaminya. Aaah pikiran-pikiran picik semacam itu memang sempat terlintas sejenak dikepalaku. Tapi aku yakin Sarah tulus. Dia bukan perempuan seperti itu.

Itu bukan pertemuan terakhir kami. Pada akhirnya aku menolak bekerja sama dengan Rumah Sakitnya. Bukan karna Ka Nizam. Tapi karna aku memang sudah nyaman ditempatku sekarang. Terlebih lagi, rasanya aku akan repot jika tinggal jauh dari rumah. Aku takut lalai pada mamaku. Mama yang setiap hari masih mengurus keperluanku meski sebetulnya tidak perlu. Pengurus rumah tangga kami bisa mengurus semuanya. Tapi jika menyangkut kebutuhanku, mama lebih suka mengurusnya sendiri.

Mama yang setiap hari menyiapkan pakaian apa yang harus kupakai ke Rumah Sakit hari ini, bekal makan apa yang boleh kumakan hari ini dan lain sebagainya. Mamaku itu fashion designer. Itu sebabnya dia agak bawel masalah pakaian kerjaku meski yang kupakai sama saja, hanya gamis dan hijab sebatas dada. Dan aku sepertinya tak bisa jauh dari mama. Apalagi semenjak Papa meninggal. Kami hanya tinggal berdua. Kakak-kakakku semuanya sudah berumah tangga. Hidup masing-masing di rumahnya. Dan kalau aku mengajak mama pindah ke Bogor, sudah pasti beliau menolak. Mana mungkin dia mau meninggalkan usaha butiknya yang sudah sejak kami lahir dia bangun dengan jerih payahnya.

Dengan butik itu juga usaha Papa yang sekarang dipegang Ka Ali bisa berkembang. Jadi aku yakin mama tidak akan mau melepaskan butiknya untuk tinggal bersamaku di Bogor. Jadi tanpa lama berpikir, aku langsung menolak tawaran Mba Sarah.

Setelah pertemuan di cafe itu dengan Mba Sarah, Ia lebih sering menghubungiku. Kadang via email, kadang chat, malah kadang langsung menelepon. Tak terasa sudah dua bulan kami dekat. Ia juga sering mampir ke Rumah Sakit tiap kali ada waktu senggang. Padahal jauh dari Bogor.

Pernah suatu kali tiba-tiba Mba Sarah datang bertamu bersama Ka Nizam ke rumahku. Katanya ingin mengenal Ibuku. Sungguh kaget aku waktu itu. Aku yang sedang mengenakan mukena karna sudah masuk waktu ashar tanpa sadar membukakan pintu tanpa melepasnya. Mereka benar-benar bertamu. Mama sangat senang dengan mereka. Keluarga yang harmonis dan terlihat sangat serasi. Suami istri sholeh sholeha. Sayangnya setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mungkin karna mereka terlampau sibuk dengan bisnisnya.

Akupun sejak pertama kali dekat dengan Mba Sarah jadi lebih concern dengan kesehatan Mba Sarah. Bahkan aku membuatkan jadwal dan aturan makan untuk Mba Sarah dan Ka Nizam agar mereka cepat punya momongan. Sepertinya mereka berdua butuh diprogram kehamilan agar cepat.

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya aku tau apa maksud Mba Sarah mendekatiku dan ingin berteman denganku. Betul saja. Ternyata dia memang ada maksud. Aku sangat-sangat shock saat mendengar maksud dan tujuan Mba Sarah. Berhari-hari aku tidak bisa tidur memikirkan itu.

Siang itu dicuaca yang teramat terik. Chat mba Sarah membuyarkan lamunanku yang sedang duduk santai di ruanganku. Belum waktunya aku praktek. Tapi aku sudah datang sejak pagi. Karna Mba Sarah ingin bicara serius denganku dan mengajak bertemu di cafe dekat Rumah Sakit tempat kami biasa ngobrol. Dalam hati aku bergumam. Hal serius apa yang ingin dibicarakan Mba Sarah. Dia bilang hal ini sudah sejak lama Ia simpan, bahkan sejak kami pertama bertemu di kajian kala itu.

Itu sebabnya Ia mendekatiku. Tapi dia belum mengatakan apa itu. Aku semakin penasaran. Kenapa baru sekarang, setelah sekian bulan kami berteman. Kenapa tidak sejak awal-awal Ia datang menemuiku di Rumah sakit ini. Kalau itu hal serius dan penting kenapa harus ditunda-tunda.

"Maaf ya May, aku ganggu waktu santai kamu siang-siang gini." Katanya dengan wajah agak sedikit canggung.

"Gak papa Mba Sarah. Aku senang koq ada teman ngobrol disela-sela waktu luangku. Memang hal serius apa Mba yang mau dibicarakan. Kata mba waktu di chat, sudah sejak lama. Tapi kenapa ditunda-tunda dan baru sekarang Mba mau omongin?" Tanyaku penasaran.

"Dokter Mayang, aku betul-betul minta maaf sebelumnya. Aku benar-benar tidak ingin sama sekali menyinggung perasaanmu. Sungguh aku gak mau kamu salah sangka dan berpikiran jelek tentang apa yang mau aku omongin ini. Dan mohon janganlah kamu tersinggung dan marah setelahnya."

Aku makin penasaran. Kudengarkan dengan seksama. Aku berusaha untuk tenang.

"Jadi, sebetulnya hal ini sudah lama aku pikirkan. Bahkan jauh sebelum kita saling kenal. Kurang lebih sudah dua tahun lalu rencana ini aku bicarakan dengan Mas Nizam. Awalnya Ia menolak. Bahkan kami sempat bertengkar. Ia bersikeras bahwa rencanaku ini gila dan dia tidak setuju. Tapi pada akhirnya Ia melunak dan menghargai keputusanku. Jadi Mayang, kedatanganku sejak berapa bulan lalu ke tempatmu dan berusaha dekat denganmu adalah karna memang aku sedang PDKT sama kamu. Jadi, aku mau melamarkan kamu untuk mas Nizam."

JEGERRRR.......................

Ini kali kedua aku seperti disengat halilintar. Kali ini wajahku terpaku, terdiam menatap wajah Mba Sarah.

"Mba, apa rumah tangga kalian bermasalah? Kalian baik-baik aja kan? Apa kalimatku waktu di kajian itu membuatmu terganggu? Aku sungguh minta maaf Mba. Tapi aku sama sekali gak ada maksud menggoda Ka Nizam. Lagipula mana mungkin aku mau jadi istri Ka Nizam yang masih beristri." Lidahku kelu. Apa ini. Kenapa jadi begini.

"Mayang. Aku mohon. Kamu jangan langsung menolak. Kamu tolong pikirkan lagi. Jadilah saudariku."

"Aku gak paham Mba. Kenapa Mba mau dipoligami? Boleh aku tau alasannya?" Tanyaku penasaran. Akhirnya Mba Sarah ceritakan semuanya.

"lima tahun yang lalu aku menikah dengan mas Nizam. Bahagia tentu saja. Seperti yang kamu tau, bagaimana sempurnanya Ia dimata para hawa. Dan Ia memilihku. Aku tidak menyalahkan kamu yang jatuh cinta padanya. Aku selalu memaklumi setiap hawa yang memandang iri padaku ketika melihat Mas Nizam. Hari-hari kami sangat baik dan harmonis. Mas Nizam itu romantis lho May orangnya. Kamu juga pasti masih cinta kan sama dia?"

"Ya Allah, pertanyaan macam apa itu mba. Mba mengharapkan jawaban apa dari saya? Iya saya masih cinta sama Ka Nizam? Mba ini ada-ada aja. Jangan permainkan perasaan saya Mba. Sakit hati saya waktu tau Ka Nizam telah beristri. Tapi akhirnya sakit itu berangsur sembuh. Tapi sekarang? Apa ini? Kenapa begini Mba? Fuuuh." Aku menghela nafas dalam. Tak habis pikir akan perbincangan hari ini.

Mba Sarah melanjutkan ceritanya.

"Tiga tahun setelah pernikahan kami, tidak juga kami dikaruniai seorang anak. Entah ada apa dengan kami. Menurut hasil pemerikasaan, kami baik-baik saja. Ditahun keempat, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Kasihan Mas Nizam. Akhirnya aku memberanikan diri mengutarakan maksudku pada Ka Nizam. Aku katakan bahwa sebaiknya Ia mencari istri lagi. Toh dalam agama itu sah-sah saja selama aku ikhlas menjalaninya dan aku yakin Mas Nizam bisa berlaku adil."

"Lalu apa tanggapan Ka Nizam?" Tanyaku penasaran. Tentu saja. Aku ini perempuan. Sudah tentu benci sekali dengan sikap serakah laki-laki. Makanya aku makin penasaran. Apa yang dilakukan Ka Nizam saat mendengar istrinya yang cantik ini rela dipoligami. Senangkah? Tapi ternyata aku cuma suudzon.

"Ia marah bukan main May. Dia bilang aku gegabah, dia bilang aku gak sabaran, dia bilang aku jahat. Bayangkan May, dia yang aku tawarkan menikah lagi. Tapi dia sebut aku yang jahat. Menurutnya, tidak ada satu manusiapun yang bisa adil memperlakukan manusia lainnya. Jangankan istri, kepada anak saja terkadang orangtua tidak bisa adil. Apalagi istri. Itu sangat berat. Dan aku malah mau membebaninya dengan meminta dipoligami. Dia bilang sebaiknya aku bersabar lagi, mungkin ini ujian bagi kami. Allah belum mempercayakan kami dititipi makhluk kecil milikNya itu.Tapi aku bersikeras ini mungkin jalan yang dipilih Allah. Kami bertengkar hebat saat itu. Bahkan Mas Nizam segitu ngambeknya sampai-sampai Ia tidur di luar beberapa hari. Fyuuuh."

Mba Sarah bercerita panjang lebar, sesekali menghela nafas.

"Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya dia membaik. Kemudian aku coba bicara lagi. Tapi dia bersikeras tidak mau. Tapi karna aku terus membujuknya akhirnya dia bilang, OK, dia akan menikah lagi dengan dua syarat."

Aku terdiam, menantikan kelanjutan cerita Mba Sarah. Penasaran syarat apa yang diminta Ka Nizam. Sampai Ia akhirnya memutuskan menyetujui keinginan gila istrinya ini.

"Syaratnya ialah bahwa dia akan menikah lagi jika aku yang mencarikan calonnya dan jika calon yang aku temukan itu sanggup membuatnya jatuh cinta seperti dia cinta kepadaku. Kamu tau May? Dia tersenyum lebar saat itu. Dia bilang, itu syarat yang pasti tidak bisa aku penuhi. Karna katanya tidak mungkin ada perempuan yang bisa membuatnya jatuh hati selain aku. Hahah, masih bisa ngegombal dia saat itu."

Aku sedikit tertawa mendengar ceritanya. Lucu juga Ka Nizam. Sebegitu cintanya pada Mba Sarah. Sampai Ia sangat yakin bahwa tidak akan pernah lagi menemui perempuan yang bisa membuat dia jatuh cinta lagi.

"Lalu kita bertemu dikajian itu. Jujur saat itu aku agak sedikit risih mendengar kamu dan Ifa membicarakan suamiku seperti itu. Ya benar, aku sebenarnya mendengar dengan jelas. Tapi saat itu kupikir, biarlah toh kamu bukan siapa-siapa. Toh, mas Nizam suamiku. Apa yang ku khawatirkan. Tapi tiba-tiba, kamu mendatangiku di parkiran. Kamu bagai seorang ksatria gagah berani yang mengakui kesalahan telah jatuh hati pada suamiku dan menurutmu itu salah. Padahal, jatuh cinta itu fitrahmu mayang, fitrah semua orang. Detik itu juga, aku langsung mengagumimu. Sepulang dari kajian, aku mencoba mencari tau tentangmu, latar belakangmu, kehidupan pribadimu, dan tak ada satupun yang bisa membuatku membatalkan rasa sukaku kepadamu Mayang. Akhirnya kuputuskan bahwa kaulah yang ingin aku jadikan saudariku. Tapi aku tau ini akan sulit. Perempuan sepertimu pastilah banyak laki-laki yang mengidamkan. Jadi, untuk apa memilih jadi istri kedua orang jika bisa menjadi satu-satunya. Namun entah kenapa aku merasa bahwa kamu masih mencintai suamiku. Apa aku salah Mayang? Tolong jawab jujur. Apa kamu masih mencintai Mas Nizam?"

Aku terdiam mendengar omong kosong ini. Yah, bagiku ini omong kosong. Mana ada perempuan yang mau dimadu, terlebih lagi oleh laki-laki seperti Ka Nizam. Perempuan manapun pasti ingin menjadi yang satu-satunya dihati Ka Nizam.

"Mba, apa Ka Nizam sudah tau niatan Mba Sarah ini?" Tanyaku penasaran.

"Oh ya Mayang. Aku lupa cerita satu lagi. Bahwa pada akhirnya aku berhasil melaksanakan dua syarat yang diberi Mas Nizam. Kamu ingat kan ceritaku tadi apa syarat yang diminta Mas Nizam?"

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam benak aku bergumam. Tidak mungkin. Mana mungkin Ka Nizam jatuh cinta padaku. Ini mustahil. Mba Sarah pasti memaksakan kehendaknya pada Ka Nizam. Aku sangat yakin itu. Terlihat jelas dimata Ka Nizam setiap kali kami bertemu, bahwa Ia begitu sangat mencintai istrinya ini. Sejak kapan dia jatuh hati padaku.

"Hahahah, Mba Sarah ini ada-ada aja. Mba berharap aku percaya bahwa pada akhirnya syarat kedua dari Ka Nizam benar-benar berlaku?" Tanyaku penasaran dengan wajah tersenyum penasaran.

"Kamu gak percaya kalo dia tertarik sama kamu?"

"Lah Mba Sarah nih. Orang tanya koq ya malah balik tanya. Ya jelas enggak lah Mba. Mana mungkin Ka Nizam suka sama aku." Jawabku gugup.

"Hari itu setelah pulang kajian. Aku jadi terus-terusan kepikiran kamu May."

Mba Sarahpun memulai lagi ceritanya. Cerita sarah membuat hatiku kembali pink yang semula biru dan sempat menghitam manakala petir menyambar hatiku hari itu.

Cerita Sarah

"Bagaimana Mayang menurutmu Mas?" Tanya Sarah pada suaminya beberapa hari setelah pertemuan kami di kajian hari itu.

"Hah? Mayang? Kenapa tiba-tiba bicarakan dia? Jangan bilang kamu mau aku melamar dia ya Dek' itu mustahil." Jawab Nizam kemudian.

"Lho, memang salah? Apa kamu yakin dia tidak menarik perhatianmu mas?"

"Dek. Mayang itu bukan perempuan biasa. Dia itu Dokter, sukses, dan...... ya pokonya begitulah. Mana mungkin dia mau jadi istri kedua. Meski sekarang kamu bilang dia masih single, sudah pasti banyak yang sudah melamarnya. Mungkin dia tinggal memilih saja mau sama yang mana."

"Dan apa mas? dan cantik? Benar kan? Aku benar kan kalo Mas tertarik sama dia?"

"Yaah, OK Mayang memang cantik. Justru karna itulah. Perempuan seperti Mayang mustahil mau jadi saudarimu dirumah ini. Lagipula kamu saja tidak kenal dia koq. Baru bertemu berapa hari lalu koq bisa-bisanya langsung punya keputusan seperti itu."

Pembicaraan kami terhenti sampai disitu, karna kupikir memang Mas Nizam ada benarnya. Aku sama sekali belum mengenal Mayang. Maka malam itupun aku tidak bisa tidur. Aku terus kepikiran dengan gadis cantik itu. Betapa kesan pertamaku dengannya sangat baik. Aku merasa ini suatu petunjuk dari Allah.

"Apa sebaiknya aku cari tau dulu kehidupan Mayang?" Dalam batinku bergumam. Maka kemudian akupun mencari tau semua yang berhubungan dengan gadis itu. Sungguh musthail, tak ada satupun hal yang membuatku tidak mengagumi sosoknya itu. Terlahir dari keluarga enterpreneur namun memilih menjadi seorang Dokter.

Dia juga tercatat memiliki klinik bersalin gratis di daerah pinggiran kota yang pemukimannya padat penduduk dengan status sosial dibawah standar. Sungguh luar biasa. Pagi hari sebagai Dokter SPOG di Rumah Sakit besar, malam hari mendedikasikan waktunya untuk klinik gratisnya.

Semakin dalam aku menelisik kehidupannya, semakin jatuh cinta rasanya. Aku tidak mungkin salah pilihan. Ditambah lagi, Ia pernah jatuh cinta pada Maz Nizam. Jika mengingat kejadian di kajian saat itu, tidak menutup kemungkinan dia masih menyimpan rasa pada Mas Nizam. Walau ada kemungkinan dia akan berusaha membunuh perasaannya itu setelah bertemu denganku istri dari laki-laki yang pernah dipujanya.

Tapi melupakan itu adalah suatu hal yang sulit. Aku yakin rasa itu masih ada. Aku harus meyakinkan Mas Nizam demi keluarga kami. Jika memang ini jalan yang Allah pilihkan untuk kami memiliki keturunan, maka aku harus menjalaninya dengan ikhlas dan tidak setengah-setengah.

Saat itu Mas Nizam tengah sibuk di ruang kerjanya. Ku ketuk pintu yang sebenarnya sedang terbuka itu. Agar Ia tidak kaget dan merasa terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Ada apa Dek? Pake ngetuk segala. Sini masuk, temenin aku kerja." Katanya sambil tetap menatap ke tumpukan dokumen yang masih Ia pegang di atas meja kerjanya. Begitulah Mas Nizam. Sedikit dingin, sedikit romantis, sedikit gombal. Misterius dan itu yang membuatku semakin hari semakin jatuh cinta padanya hingga tak tega membiarkan keinginannya memiliki jagoan kecil sirna begitu saja seiring berjalannya waktu.

Aku rasa empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menanti kehadiran malaikat kecil itu di rumah kami. Aku ingin kebahagiaan itu hadir segera tanpa menunggu-nunggu lagi.

Aku masuk menghampirinya ke meja kerja. Kemudian kusodorkan map berisi dokumen ke hadapannya sambil memegang kedua bahunya.

"Apa ini?" Tanya Mas Nizam sambil membuka map itu. Begitu Ia buka dan melihat foto Mayang. Segera Ia tutup map itu dan meletakkannya kembali sambil memarahiku.

"Aduuuh apaan sih ini Dek' rupanya kau belum menyerah juga ya. Tidak peka dengan syarat yang kuajukan?"

"Mas, jujurlah dua syaratmu itu sudah kupenuhi. Kau tau Allah Maha benar tidak suka akan kebohongan. Jujurlah Mas, kau juga tertarik kan dengan Dokter Mayang?"

"Kau pikir hanya karna seseorang cantik, lantas dapat membuat semua laki-laki jatuh hati padanya? Aku tidak semudah itu Dek."

Iapun pergi meninggalkanku dengan amarahnya. Apa benar aku salah? dimananya Dokter Mayang yang membuatmu tidak jatuh hati mas?

Malam itu Ia benar-benar marah. Bahkan tidak tidur di kamar. Aku hampiri ke ruang kerjanya sambil membawakan selimut. Aku tau, kebiasaannya tiap kali marah padaku, Ia akan tidur di sofa ruang kerjanya. Bukan artinya dia sering marah padaku tanpa alasan. Hanya terkadang jika merajukpun Ia seperti itu.

Kubiarkan Ia tertidur di sana. Sambil kubisikan kalimat "Mas, demi Allah ini keinginanku, dan demi Allah aku berjanji tidak akan tersakiti, bahkan aku yakin aku akan bahagia mas." Bisikku ditelinganya yang aku yakin Ia masih mendengarnya meski sedang memejamkan mata.

Waktu sangat cepat sekali berlalu. Berminggu minggu aku berjuang meyakinkan suamiku itu untuk menerima tawaranku meminang Dokter Mayang. Siang malam aku berdoa semoga Allah membukakan hatinya untuk Mayang, melunakan sedikit amarahnya dan memahami keinginan istrinya ini.

Tak berapa lama, doaku diijabah Allah. Hati suamiku melunak karna aku tak pernah berhenti berjuang merayunya untuk mendekati Mayang. Malam itu akhirnya pembicaraan kami sampai pada titiknya.

"Baiklah jika itu benar-benar keinginanmu. Kau yang inginkan rumah tangga ini bertambah anggotanya dan aku sudah dengan susah payah menolak keinginanmu itu. Tapi jika dihari depan keinginanmu membuat hubungan kita berantakan, aku pasti akan menyalahkanmu. Ingat itu."

Meski perkataan Mas Nizam terdengar mengancam, tapi aku tau pasti bahwa apa yang dikatakannya itu semata-mata demi diriku sendiri. Mungkin Ia berharap dengan demikian aku akan kembali memikirkan keputusan besar ini. Sayangnya aku sudah bertekad untuk tetap maju.

* * * * *

"Begitulah bagaimana pada akhirnya Mas Nizam bersedia menuruti permintaanku May."

"Tapi jadi terdengar kau agak memaksa ya Mba Sarah. Apa Ka Nizam mengiyakannya bukan karna terpaksa?" Tanyaku penasaran.

"Kau akan tau sendiri nanti. Yang pasti, aku sudah mengutarakan niatku dan memberitahu semua yang harusnya kamu ketahui, agar dikemudian hari. Sikap Mas Nizam tidak membuatmu salah paham. Karna kau sudah tau maksudnya."

Aku tidak paham dengan kalimat Mba Sarah barusan. Sikapnya yang mana? Dikemudian hari? Maksudnya? Aaah semuanya membuat kepalaku berdengung rasanya. Obrolan kami terhenti sampai disitu. Mba Sarah pamit pulang sambil berkata bahwa aku harus memikirkannya masak-masak dan tidak boleh terburu-buru.

Dering ponselku berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tidak ada dalam list kontak ponselku. Biasanya aku tidak pernah menerima telepon dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku. Tapi entah kenapa rasanya saat ini aku ingin mengangkatnya.

"Assalamualaikum." Sapaku mendahului.

"Waalaikumsalam." Kata suara disebrang sana.

* B E R S A M B U N G *

Oleh,

Upay