Rabu, 13 Mei 2020

artikel cerpen bencana lumpur lapindo

Tulisan kali ini kami muat atas kiriman pembaca. Kepada Muhammad Irfan Fadhilah kami ucapkan banyak terima kasih atas kiriman ceritanya yang sudah berpartisipasi mengisi BLog Cerpen. Cerita kirimannya berupa cerita nonfiksi. Selamat membaca.

*****

Beni dan Bu guru bincang santai membahas bencana alam lumpur lapindo

“kringgggg........ kringggg..........”suara bel tanda pelajaran telah berakhir telah berbunyi,terdengar dari beberapa kelas para siswa mulai mempersiapkan diri untuk berdoa lalu pulang,saat Beni sedang berjalan menuju keluar ruangan dia tampak berjalan sambil melamun lalu duduk di kursi depan kelas entah apa yang ada dipikirannya.

“Beni kamu kenapa kok dari tadi ibu lihat kamu melamun aja ada apa nak apa yang bisa ibu bantu?”tanya bu guru kepada beni.

“begini bu tadi malam saya melihat tayangan di tv yaitu tentang berita bencana lumpur panas lapindo di sidoarjo jawa timur tapi saya cuman menyimak sebentar saja soalnya waktu saya melihat berita itu ditv beritanya sudah sampai bagian akhir jadi saya nggak terlalu paham penjelasan yang disampaikan oleh pembawa beritanya bu”ucap beni.

“Oh,iya ben ibu paham yang kamu tanyakan,begini beni bencana lumpur lapindo itu awalnya mulai ramai dibicarakan dimedia massa di tahun 2007,ibu dulu waktu masih sekolah pendidikan guru pernah membaca buku tentang bencana lumpur lapindo yang kamu lihat  di tv itu beni,isinya tentang awal mula kejadian bencana lumpur itu terjadi sampai berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk bisa menanggulangi bencana lumpur itu supaya tidak menimbulkan adanya korban jiwa sama kerugian materil”balas bu guru kepada beni

“Bu,bukunya masih ada apa tidak bu sekarang,kalau masih ada beni mau pinjam besok beni kembalikan kepada bu guru?”tanya beni kepada bu guru

“maaf ya ben,masalahnya bukunya itu cuman pinjam di perpustakaan sekolah ibu dulu,ibu nggak beli beni itu cuman buku biar ibu nggak bosan kalau ibu sendirian nggak ada teman bicara”,ucap bu guru kepada beni

“Oh,gitu bu baiklah tapi ibu masih ingat topik yang dibahas oleh buku itu apa saja bu?”tanya beni kepada bu guru.

“masih,tapi ibu sedikit lupa awal topiknya tetapi ibu bisa menceritakan awal kejadian bencana lumpur itu”balas bu guru kepada beni

“Bagaimana awal kejadiannya bu tolong ceritakan bu?”rayu beni kepada bu guru

“Baiklah beni begini penjelasannya,jadi bencana lumpur lapindo itu mulai terjadi pada tahun 2006 tapi ditahun itu kemunculannya masih skala kecil, kemudian tepatnya tahun 2007 semburan lumpur panas mulai membesar sampai membuat warga porong sidoharjo masyarakat tempat proyek pengeboran minyak bumi harus mengungsi sementara dari rumahnya yang terkena banjir lumpur panas,selain dari pihak masyarakat sendiri bencana lumpur juga menyebar sampai ke jalan raya dan juga ke jalan tol yang menjadi penghubung surabaya-sidoharjo,karena dampak dari semburan lumpur itu mulai mengkhawatirkan pihak dari pt lapindo berantas yang melakukan pengeboran di kawasan sidoharjo mulai melakukan tindakan yakni membuat tanggul penahan lumpur supaya tidak menyebar”.

“Lalu kalau dari pemerintah sendiri apa ada tindakan terhadap terjadinya bencana ini bu?”tanya beni kepada bu guru.

“Ada beni tindakan pemerintah sendiri waktu itu pada awalnya ikut membantu menyediakan lahan pengungsian buat warga yang terkena dampak semburan lumpur panas yakni dipasar dekat permukiman warga yang letaknya tidak terlalu jauh”balas bu guru.

“lalu menurut ibu apa yang salah dari proyek pengeboran minyak bumi yang dilakukan oleh pihak lapindo berantas?”tanya beni

“kalau dari penjelasan yang ibu baca pihak lapindo berantas sendiri tidak memperhitungkan secara tepat kedalaman yang aman untuk penggalian minyak bumi di daerah porong sidoharjo sendiri karena pengeborannya dan cara pengeborannya sendiri juga sangat berdampak penting karena yang seharusnya posisi penggaliannya itu posisinya miring ke bawah tapi oleh pihak lapindo sendiri dilakuakn dengan cara lurung kebawah itulah yang membuat tanah yang digali mengalami keruntuhan dan tanah yang runtuh itu bercampur dengan air panas dan membuat campuran tanah dan air yang bercampur tanah menjadi lumpur panas yang naik kepermukaan tanah”ucap bu guru.

Oh,karena itu ya bu lumpur panas dari perut bumi itu bisa naik ke permukaan beni baru tahu penyebab dari bencana lumpur panas lapindo itu bu”,tapi dari pihak pemerintah sendiri waktu itu sudah meminta kepada lapindo berantas untuk memberikan ganti rugi kepada warga yang terkena bencana semburan lumpur itu bu?”.tanya beni kembali kepada bu guru

“Tentu saja beni pihak pemerintah sudah meminta kepada pihak lapindo berantas supaya memberikan ganti rugi kepada masyarakat agar segera diberikan dengan cara pemerintah membuat tim yang bekerja sama dengan pihak lapindo dan mencegah masyarakat yang terkena dampak bencana lumpur panas itu nasibnya menjadi jelas”balas bu guru kepada beni

“Bu guru beni mau tanya apa pelajaran yang dapat kita ambil dari kejadian lumpur panas lapindo yang terjadi di sidoharjo”,” soalnya kalau beni pikir kasian juga masyarakat sekitar kejadian semburan lumpur panas yang tidak tahu penyebab sebenarnya dari bencana semburan lumpur panas itu malah menjadi korban dari ketidak adilan pihak lapindo berantas?”tanya beni kepada bu guru

“Begini ben,pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian lumpur panas lapindo ini kita harus lebih teliti dan hati-hati dalam mengambil suatu tindakan apalagi jika tindakan yang akan kita lakukan itu bisa mengakibatkan dampak buruk bagi orang lain”,”dan juga kita juga harus bisa memperdulikan dampak yang kita buat jika kita sudah terlanjur membuat suatu kesalahan dan mengakibatkan kerugian materi dan merebut kebebasan hak hidup orang lain”.pesan bu guru kepada beni

“Iya bu itu juga beni setuju”,”soalnya jika beni pikir bencana lumpur panas lapindo ini sudah membuat banyak dampak buruk dari pada dampak baik karena kecerobohan lapindo berantas yang sembarangan dalam melakukan proyek penggalian di kawasan porong sidoharjo yang juga belum ada solusi yang tepat untuk menghentikan semburan lumpur panas”.balas beni kepada bu guru

“baiklah beni karena hari sudah menjelang siang ayo kita pulang lagi pula kamu juga kan belum makan siang kan jadi ayo sekarang kamu pulang”,”oh iya bu beni lupa udah siang beni juga lapar kalau begitu beni pamit pulang dulu bu”.ucap bu guru pada beni

Setelah perbincangan singkat itu beni dan bu guru pun pergi dari sekolah untuk pulang ke rumah.

* S E L E S A I *

Siapa ???

 Hari itu hujan diluar sangat lebat. Aku dan Sarah bertemu janji disebuah coffee shop pinggir jalan dekat dari rumahnya. Ia datang lebih awal dari yang kuduga. Aku sudah bersiap menunggunya dengan secangkir kopi hangat. Dengan wajah bahagia dan tersenyum, kurogoh saku kemejaku dan mengambil kotak kecil berbentuk hati. Aku sangat mencintai gadis yang ada dihadapanku ini. Sampai aku yakin diapun demikian. Sudah lama kami bersama. Jadi kurasa cukup untuk kami saling mengenal satu sama lain. Dihari hujan, dimalam yang sangat dingin, seharusnya aku menyadari bahwa cuaca hari itu adalah pertanda bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat bagiku melamar Sarah.

Aku membuka kotak itu dihadapannya sambil berkata "Apa kamu bersedia menjadi istriku?" Tanyaku padanya dengan wajah merona merah menahan sedikit canggung dan malu karna hanya bisa melamarnya dengan cara yang sederhana seperti ini.

Wajahnya sama sekali tidak terkejut. Akupun menyadari bahwa beberapa hari ini sepertinya Ia mungkin tau bahwa dalam waktu dekat aku akan melamarnya. Tapi entah kenapa selama beberapa hari itu wajahnya datar seperti tanpa rasa. Aku merasa Ia akan menjauh. Tapi kenapa aku malah nekat melamarnya sekarang. Ini gila, tapi sudah kulakukan.

"Maafkan aku Ben, aku sama sekali tidak menyangka bahwa akan secepat ini. Walaupun kamu tau bahwa aku menyadari niatmu belakangan ini. Tapi rasanya aku sama sekali tak sanggup mengatakannya padamu sebelum ini. tapi karna kau sudah terlanjur bicara. Maka aku tak bisa mundur lagi untuk memberitahumu perasaanku yang belakangan ini telah berubah."

Bagai halilintar menyambar jiwaku yang penuh berisi dirinya dan tiba-tiba kosong.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Apa yang salah? 13 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk kita berjalan bersama selama ini. Kenapa baru sekarang?" Tanyaku padanya dengan wajah terkejut luar biasa. Aku tau mungkin Sarah belum siap menjadi seorang istri. Tapi aku tak sangka bahkan Ia ingin mengakhiri hubungan kami. Kupikir Ia hanya akan menolak menikah denganku. Tapi pada akhirnya hal yang lebih menyakitkan dan yang selalu aku takutkan terjadi juga.

"Maaf Ben, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Aku sudah tidak merasakan hal yang sama padamu belakangan ini. Maafkan aku Ben. Aku sungguh minta maaf dan memohon pengertianmu."

"Apa katamu? Pengertianku? Apa yang bisa kumengerti dari semua ini Sarah? Katakan padaku, apa kau mencintai orang lain?" Tanyaku penuh emosi. Wajahnya sedikit terkejut. Sepertinya Ia kaget dan tak menyangka kalau aku akan menanyakan hal ini.

"Tolonglah Ben. Tolong mengerti. Kita sudah terlalu lama. Aku sudah tidak bisa lagi. Maafkan aku jika harus seperti ini."

Hanya itu yang Ia katakan. Tapi entah kenapa, aku merasa ada laki-laki lain diantara kami. Tapi disisi lain, aku masih merasa dia masih mencintaiku. Apakah keputusanku melamarnya sekarang-sekarang ini adalah  hal yang seharusnya tidak kulakukan.

"Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kamu punya hubungan dengan yang lain?" Aku kembali bertanya. Aku betul-betul tidak dapat menahan emosi. Bahkan aku yakin, seluruh pengunjung cafe mendengar teriakanku pada Sarah.

"Aku mohon Ben. Jangan buat keributan disini. Maaf, sebaiknya kita sudahi saja. Tolong kamu mengerti ya. Aku ingin kamu menerima keputusanku berpisah darimu. Sudah kukatakan aku tidak mencintaimu lagi. Tidak bisakah kau mengerti Ben? Tidak bisakah kau menerimanya dengan rasa hormat?"

"Sarah, aku sudah tidak punya lagi kehormatan dan harga diri dihadapanmu jauh sejak aku memutuskan mencintaimu dan menjalin hubungan ini. Sudah kubuang jauh-jauh harga diriku demi kau. Jadi jangan ajari aku tentang bagaimana menahan harga diri yang bahkan sudah tidak ada lagi Sarah. Kau ingin aku menerima keputusanmu begitu saja? Baik, setelah kau jawab semua pertanyaanku."

Aku sangaaat menahan emosiku ketika itu. Tapi rasanya aku sangat marah. Kenapa baru sekarang. Kenapa baru saat ini ketika aku akan melamarnya. Padahal aku yakin tidak ada pasangan yang saling mencintai seperti aku dengannya. Seyakin itu aku padanya.

"Ben, aku mohon. Jangan begini. Maaf, aku harus pergi. Dia menungguku sekarang. Aku mohon jangan temui aku lagi. Jangan menggangguku dengan masalah apapun. Anggaplah kita tak saling mengenal. Aku pergi. Permisi."

Diapun meninggalkanku begitu saja dengan puncak amarahku. Aku merasa sakit sekali. Aku tidak tau apakah aku masih sangat mencintainya atau rasa ini telah berubah menjadi benci yang teramat sangat. Siapa dia yang sedang menunggunya?

Ingin rasanya aku teriak. Tapi aku laki-laki. Benar katanya. Aku harus punya harga diri. Akhirnya dengan wajah masih penuh emosi. Aku memutuskan untuk pulang. Diluar masih hujan. Aku memandang Sarah yang berpayung merah jambu dari depan cafe. Aku berjalan dalam hujan. Tanpa sadar, aku mengikutinya. Mungkin dalam hati yang paling dalam, aku sangat ingin tau siapa laki-laki brengsek yang merebut kekasih hatiku itu.

Aku berjalan dalam hujan. Aku melihatnya tak berbelok ke arah rumahnya. Rupanya mungkin Ia bertemu janji dengan kekasih lainnya ditempat lain, tidak dirumah. Aku menyebutnya kekasih lain dan bukan kekasih baru karna aku yakin hubungannya dengan laki-laki itu mungkin sudah lama.

Tapi baru saja setengah jalan, hatiku berkata aku harus berhenti. Tidak seharusnya kulakukan ini. Biarlah dia dengan hidupnya jika itu yang Ia inginkan. Lagi pula, aku tidak yakin akan dapat menahan rasa kesal dan amarah jika melihat laki-laki itu. Aku pasti akan menghajarnya dan malah mempermalukan diriku sendiri. Sebaiknya aku pulang.

Aku kesal, marah, dan sangat emosi malam itu. Dalam perjalanan pulang, kusempatkan membeli minuman. Aku yang memang tinggal seorang diri dirumah karna keluargaku tinggal jauh di kota lain, menjadi sangat terpuruk ketika itu. Sampai dirumah, aku tak langsung mengganti pakaianku yang basah terguyur hujan. Aku duduk sambil menenggak minuman yang kubeli. Entah semabuk apa aku semalam.

Tiba-tiba saja hari sudah pagi dan kudengar ketukan dipintu depan. Sambil mengucek mata, kulihat jam dinding 06:45. Masih sangat pagi untuk orang bertamu. Siapa pagi-pagi begini. Kubuka pintu dengan wajah bangun tidur yang sangat berantakan.

"Yaa, siapa?"

Dua orang laki-laki berpakaian rapih berdiri dibalik pintu.

"Apakah anda Beni Adam? Kami dari kepolisian." Tanya salah satunya.

"Ya benar. Saya Ben."

"Apa benar semalam anda bersama Sarah Eden?"

"Betul. Semalam saya bersamanya. Apa yang terjadi dengannya?"

"Apa yang membuatmu berpikiran sesuatu terjadi padanya? Kami hanya bertanya apa anda bersamanya semalam tadi?"

"Yah, kupikir, apapun yang terjadi padanya. Mungkin itu semua salahku. Kami sedikit bertengkar karna hubungan yang terlalu serius. Apa dia tidak kembali ke rumah?"

"Sepertinya kau tau banyak atau mungkin kau terlibat. Sebaiknya anda ikut kami untuk dimintai keterangan." Kata salah seorang dari kedua polisi yang berdiri diambang pintu rumahku.

Aku bingung. Ada apa sebenarnya. Apakah Sarah benar-benar tidak pulang dan orangtuanya mencarinya. Akupun mengikuti kedua polisi itu. Demi mencari tau yang terjadi.

Saat dikantor polisi.

"Apa yang kau lakukan dengan Sarah semalam?" Tanya polisi itu sambil menyeruput kopi dihadapannya sementara aku masih bingung. Kenapa aku harus berada disini.

"Aku berbincang dengannya di Coffee Shop, lalu kami sedikit berbeda pendapat, kemudian Ia pergi ditengah hujan dengan payungnya meninggalkanku yang sedikit marah. Tak lama akupun pulang. Ada apa ini sebenarnya Pak?" Aku balik bertanya dengan rasa penasaran.

"Atau setelah pertengkaran kalian di cafe itu, kau mengikutinya? Jawab saja dengan jujur." Kata polisi yang ada dihadapanku.

"Ya, ya memang aku mengikutinya sebentar. Tapi tak lama aku memutuskan untuk pulang sebelum tau kemana tujuan Sarah."

"Benarkah? Sarah ditemukan tewas disemak pepohonan ditaman kota pagi tadi. Sekitar jam 04:30, tuna wisma yang selalu memulung ditaman setiap pagi yang menemukannya dan langsung menghubungi kami."

"APA. Sarah tewas? Apa anda tidak salah orang? Bisa saja itu bukan Sarah. Mana mungkin....."

"Mana mungkin apa? Mana mungkin Sarah tewas? Apa kau ingin mengatakan bahwa kau tidak bermaksud membunuhnya dan hanya ingin sedikit menyakitinya lalu meninggalkannya kemudian Ia tewas tanpa sepengetahuanmu begitu?"

"Apa maksudnya Pak. Anda menuduh saya membunuh Sarah? Gila. Ini gila. Saya mencintainya Pak. Saya sangat menyayanginya. Tidak mungkin......"

"Tapi semua orang di cafe menyaksikan pertengakaran kalian. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang melihatmu membuntuti Sarah malam itu."

"Iya Pak, seperti yang barusan saya katakan. Saya hanya mengikutinya sebentar. Setelah itu saya berpikir jernih untuk pulang dan tidak ingin lagi peduli padanya."

"Jadi kamu mau mengakui kalau setelah pertengkaran itu kau tidak lagi mencintainya begitu? Apa kau mau bilang bahwa saat itu kau marah dan berpikir ingin menyakitinya karna emosimu yang begitu memuncak?"

"Ya, saya memang sangat marah, kecewa dengan ucapannya. Tapi tidak mungkin sampai ingin membunuh."

"Tapi saat kami bertamu ke rumahmu tadi pagi. Kamu sempat berkata bahwa apapun yang terjadi pada Sarah karna kesalahanmu. Bukankah itu bagian dari pengakuanmu?"

"Saya hanya merasa bersalah karna berteriak padanya, memakinya dihadapan orang banyak di cafe itu. Saya hanya merasa bahwa saya mempermalukannya saat itu. Mungkin Ia marah lalu tidak ingin pulang. Atau mungkin Ia........"

Aku terdiam sejenak. Aku berpikir. Apa yang ingin kukatakan. Apakah mungkin Ia bertemu dengan kekasih lainnya? Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa Ia berbohong. Kenapa tiba-tiba saat ini, sekarang, ditempat ini, aku merasa Sarah sebetulnya masih mencintaiku dan berbohong tentang laki-laki lain. Perasaan apa ini.

Akhirnya pagi itu aku ditahan dan berstatus sebagai tersangka pembunuh Sarah. Kejadian luar biasa yang bahkan aku tak tau perasaan apa ini. Sakit hatiku ditinggal Sarah dengan laki-laki lain, tapi lebih sakit mengetahui Sarah sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sarah sudah meninggal. Ingin sekali aku melihat wajahnya untuk terakhir kali. Tapi aku bahkan dituduh sebagai pembunuhnya. Itu lebih membuatku gila daripada aku kehilangan Sarah.

Sore harinya tiba-tiba aku dikeluarkan. "Anda bebas sementara dengan jaminan Bapak Louis pengacara anda."

"Louis?"

"Ya. Kau bebas sementara ini. Sampai investigasi dilakukan." Jawab Louis kemudian. Louis adalah sahabat baikku dari kecil yang sekarang adalah pengacara hebat. Ia sukses diumur yang masih muda.

"Makasih Lou, kau sudah percaya bahwa aku bukan pembunuh Sarah dan berhasil meyakinkan polisi untuk mengeluarkanku."

"Tidak Ben. Aku belum sepenuhnya yakin kau bersih. Kau adalah orang yang terakhir kali bersama Sarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya bisa membela orang yang benar-benar tidak bersalah Ben. Terlebih lagi ini kasus pembunuhan. Bukan hal yang ringan dan bisa dilupakan begitu saja."

"Lou, bagaimana mungkin aku membunuh Sarah. Kau tau betul bagaimana cintanya aku pada Sarah."

"Bisa saja kau terlalu emosi. Saat dia menangis kau lalu membenturkannya pada batu ditaman itu."

"Bagaimana kau bisa tau kalau aku dan Sarah bertengkar. Aku bahkan tidak tau Ia menangis."

Louis tiba-tiba terlihat canggung dan gugup ketika aku bertanya tentang bagaimana Ia mengetahui semua kejadian semalam itu.

Dengan gugup Ia menjawab "Polisi sudah menceritakan semua padaku. Sudahlah, kita pulang. Kau harus istirahat."

Aku berpikir seharian. Apakah aku harus ke rumah Sarah. Bagaimana orangtuanya jika dihadapkan denganku. Louis bilang mereka sudah tau kalau aku menjadi tersangka pembunuh putri mereka dan mereka juga tau kalau orang yang terakhir bertemu Sarah adalah aku. Mungkinkah aku ke sana. Tidak, mereka pasti akan langsung mencaciku. Tapi apa aku sepengecut ini?

Akhirnya, aku memberanikan diri ke rumah Sarah. Aku tetap harus menunjukkan bahwa aku tidak bersalah.

"Apa yang kamu lakukan disini? Dasar brengsek." Hardik Ayah Sarah saat melihatku diambang pintu rumah mereka.

"Ayah, dia sudah dibebaskan. Artinya dia belum tentu bersalah." Sahut Ibunya Sarah membelaku.

"Benar Tante, Om. Saya tidak membunuh Sarah. Saya memang yang terakhir bertemu dengannya. Tapi saya tidak tau apa-apa lagi setelah Sarah berbelok ke taman itu. Seharusnya saya tetap mengikutinya. Itulah kesalahan saya satu-satunya. Seharusnya saya terus mengikutinya sampai Ia bertemu dengan laki-laki itu." Jawabku kemudian demi meyakinkan kedua orangtua Sarah.

"Laki-laki itu? Siapa yang kamu maksud?" Tanya Ibunya Sarah dengan wajah penuh rasa penasaran. Aku menjelaskannya.

"Malam itu aku melamar Sarah Tante. Tapi tak kusangka, Dia menolakku. Kau tau betapa kami saling mencintai."

"Tidak mungkin. Tante tau betul bagaimana cintanya Ia padamu Ben. Tidak mungkin Ia menolak lamaranmu."

"Tapi itu yang terjadi Tante. Sungguh. Saya tidak berbohong. Sarah hanya bilang bahwa Ia tidak mencintai saya lagi. Waktu itu perasaan saya sangat kacau hingga tidak dapat mencerna apa yang Sarah katakan. Kalau tidak salah, Sarah berkata dia sedang menunggunya. Entah dia siapa yang Sarah maksud. Saya hanya berpikir, dia adalah laki-laki yang membuat Sarah jatuh cinta dan meninggalkan saya."

Saat itu Ayah Sarah tetap pada pendiriannya bahwa aku masihlah tersangka satu-satunya. Namun Ibunya Sarah lebih berpikir jernih. Ibu Sarah memang hanya Ibu tirinya. Namun sepengetahuanku. Sarah sangat bahagia saat Ayahnya menikahi Ibu tirinya ini. Kemudian aku juga tau bagaimana baiknya Ibu Sarah padanya. Dia bukan sosok Ibu Tiri kejam seperti yang sering diceritakan orang-orang atau dalam film-film.

Ia betul-betul Ibu tiri yang sangat menyayangi Sarah. Dan menurutku, memang sangat mudah mencintai sesosok Sarah. Gadis yang teramat cantik, cerdas dan baik. Membuat semua orang menyayanginya. Hingga rasanya aku tak habis pikir ada orang yang sanggup menghabisi nyawa Sarah. Bagaimana mungkin.

Dengan sedikit rayuan Ibu Sarah, akhirnya Ayah Sarah menerimaku masuk ke rumahnya. Aku bahkan diijinkan masuk ke kamar Sarah. Siapa tau ada barang milik Sarah yang bisa kujadikan kenangan dikamarnya. Begitu kata Ibu Sarah.

Didalam kamar Sarah. Air mataku berlinang. Tak percaya bahwa kekasih hatiku yang teramat cantik sudah tak ada lagi di dunia ini. Ia bahkan sudah tidak bisa lagi menyakitiku dengan kalimatnya yang terkadang egois namun lucu. Aku merindukannya.

Aku memegang fotonya diatas meja. Ia bahkan masih memajang foto kami berdua. Tiba-tiba aku terpikir. Bagaimana mungkin dia punya kekasih lain tapi masih memajang foto kami berdua dan bahkan tidak ada satupun tanda-tanda adanya laki-laki lain dihati Sarah yang tertinggal dikamar ini. Baik foto atau benda yang mungkin aku tau.

Aku terus menelusuri tiap sudut kamar Sarah. Tiba-tiba aku menemukan sekotak benda yang ternyata isinya foto-foto dan barang peninggalan Sarah. Didalamnya penuh dengan Aku, Sarah, dan......

Dan Louis? Ada louis. Ada foto kami bertiga dan kalung rantai milik Louis. Kenapa kalung Louis ada pada Sarah?

Kubongkar semua isinya. Ada buku harian. Aku membukanya. Satu demi satu kubaca. Semuanya tentang kami. Saat kami berlibur, saat kami bertengkar, bahkan saat kami merayakan hari jadi kami. Tapi dibagian akhir ada tentang Louis....

20 Desember 2018

Aku tak menyangka, Louis menyatakan perasaannya padaku. Sambil memberiku kalung berbentuk hati. Ia katakan bahwa Ia lebih mencintaiku daripada Ben. Ia bahkan berani menikahiku sekarang juga. Daripada aku harus menanti kepastian dari Ben yang entah kapan dia akan sukses seperti katanya. Pekerjaan saja masih tidak jelas. Louis meyakinkanku bahwa aku akan lebih bahagia dengannya ketimbang dengan Ben, Louis tidak tau...........

Tulisan itu terpotong dibagian itu. Karna halaman berikutnya habis, robek, atau menghilang. Entahlah. Aku terkejut. Marah bukan main. Louis sahabatku. Louis yang selalu menolongku disaat aku sedang sulit. Louis yang bahkan sangat mendukungku melamar Sarah malam itu.

Tanpa berpikir panjang dan jernih. Aku segera bergegas keluar dari kamar Sarah dan pamit pulang. Kubawa kalung rantai milik Louis. Aku terus saja berlari ke arah rumah Louis.

"Jawab pertanyaanku Lou. Ini kalungmu kan? Bagaimana kalungmu bisa ada pada Sarah? Apa kau laki-laki yang Sarah....?" Aku tak sanggup meneruskannya.

"Maaf Ben, aku bersumpah. Aku tak bermaksud menyakitinya malam itu."

"Apa, jadi kau yang......" Spontan aku menghajarnya. Bertubi-tubi tanpa ampun. Rupanya Ialah pembunuh Sarah yang sebenarnya.

Dengan wajah dan tubuh yang babak belur, Louis tetap berusaha bangkit dan bicara.

"Ben, aku hanya merayunya saja malam itu, kupikir Ia yang sedang menangis dapat luluh hatinya dipelukanku. Kupikir dia sudah jatuh cinta padaku karna dia bilang telah memutuskan hubungannya dengamu. Tak kusangka saat aku akan menciumnya, Ia malah menolak dan bilang bukan saatnya. Tapi sungguh Ben aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku bahkan mengingatmu yang sangat mencintai Sarah. Saat itu aku hanya..........."

Belum sempat Ia meneruskan bicaranya. Langsung kuhajar lagi dia habis-habisan. Bahkan tanpa sadar. Aku membenturkan kepalanya berkali-kali pada meja kayu yang kurasa dia takkan selamat. Setelah puas dan melihat Louis tergeletak dilantai, akupun pergi meninggalkannya begitu saja.

"AAAAAARRRRRGGGHHHH............................" Aku berteriak sangat keras.Hancur rasanya. Ya Tuhaaan. Kekasihku mencintai sahabatku yang sanggup membunuhnya. Cobaan macam ini? Bagaimana mungkin mereka bisa saling jatuh cinta? Sejak kapan? Tapi kenapa Louis sampai tega membunuh Sarah hanya karna Sarah belum mau disentuh olehnya.

"Dasar bajingan kau Looouuuu......"

Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku. Pengingat perayaan anniversary yang dibuat Sarah setiap tahunnya. Ya, hari ini adalah hari jadi kami. Tapi aku sedikit terkejut dengan isi pesan pengingat Sarah. "Happy anniversary Ben. Jika kau buka pesan ini. Artinya kau harus menemukan hadiahmu ditempat pertama kali kita bertemu."

"Apa ini? Jika Sarah memang ingin berpisah dariku demi Louis. Mengapa Ia masih membuat pesan pengingat ini? Dan masih menyiapkan hadiah anniversary kami."

Aku bergegas ke taman kota. Tempat dimana pertama kali kami bertemu. Tapi nihil. Aku tak menemukan satupun petunjuk dimana hadiah yang disiapkan Sarah. Aku terus berpikir kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dilakukan Sarah jika Ia masih hidup. Kira-kira, apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba pandanganku terjurus pada satu pohon besar disusut taman. Ya, aku dan Sarah pernah menemukan secelah lubang yang cukup dalam dipohon itu. Mungkinkah?

Benar saja. Ada sekotak benda yang setelah kubuka isinya penuh dengan kenangan kami. Berbeda dengan kotak yang ada dikamarnya. Kotak ini hanya berisi kenangan kami yang bahagia saja. Kemudian ada sepucuk surat yang akhirnya menjadi jawaban terakhir dari rasa penasaranku tentang perasaannya terhadapku maupun Louis.

Dear Ben,

ketika kamu membaca surat ini. artinya aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Maafkan aku yang terlalu mencintaimu sehingga aku harus memilih untuk pergi meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan. Maaf Ben, aku tau kau akan melamarku. Aku bingung bagaimana caranya menyampaikan hal yang sebenarnya padamu.

Aku sakit Ben. Kanker yang merenggut nyawa Ibuku, ternyata hinggap juga pada diriku. Mungkin ini penyakit menurun. Aku yakin, jika kuberitahukan perihal penyakitku ini. Kau mungkin malah akan lebih ingin menikahiku dari sebelumnya dan terjebak bersamaku dimana kau harus merawatku disisa umurku. Itu tidak baik Ben.

Aku sudah melihat bagaimana Ibuku berjuang melawan penyakitnya. Aku merasa tak sehebat beliau. Mungkin umurku tak sepanjang beliau Ben. Aku juga melihat bagaimana perjuangan Ayah mendampingi Ibu dan bagaimana hancurnya ketika Ia kehilangan Ibu. Aku tidak ingin apa yang menimpa Ayah, terjadi juga padamu. Sehingga bagaimanapun sakitnya hati ini. Aku harus membuatmu membenciku dan menjauhiku.

Selamat tinggal Ben, berbahagialah dengan hidupmu dan cintamu yang baru.

Oh ya, katakan pada Louis aku juga menyayanginya sebagai sahabat kita. Sahabatmu dan aku.

Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah Ia lakukan padaku. Semoga persahabatan kalian abadi selamanya.

Yang sangat mencintaimu.

Sarah

Diwaktu yang bersamaan, akhirnya aku mengetahui bahwa setelah dilakukan investigasi mendalam. Ternyata Sarah meninggal karna kecelakaan. Ia terjatuh dari atas jembatan yang ada diatas taman ini, kemudian berguling hingga kepalanya membentur batu yang ada disemak pepohonan itu. Begitulah Sarah meninggal.

Malam itu, Louis melihat Sarah berjalan dalam hujan dengan payungnya sambil menangis. Diatas jembatan itu Louis menghampiri Sarah. Sarah menceritakan semuanya. Bahwa Ia sedang sakit dan terpaksa meninggalkanku demi diriku sendiri. Louis mencoba menenangkannya dengan memeluknya. Louis yang terbawa suasana, tiba-tiba perlahan ingin mencium Sarah. Namun saat itu Sarah marah dan berteriak padanya.

"LEPAS, Tolong Lou jangan cari kesempatan. Aku memang berkata menyayangimu. Tapi tidak lebih. Aku bahkan masih mencintai Ben. Kau hanya sahabatku. Jadi jangan pernah mencoba menyentuhku." Teriak Sarah saat itu.

Louis sedikit kecewa dan membentak Sarah saat itu. Itulah saat Louis merasa Ia menyakiti Sarah. Setelah Ia marah pada Sarah, Ia lalu meninggalkan Sarah yang masih menangis dijembatan itu. Dirumah, Louis merasa sangat bersalah telah menyakiti perasaan Sarah dengan kalimatnya dijembatan itu. Sehingga Ia ingin pergi menemui Sarah pagi itu. Tapi sayangnya, Ia malah mendapat berita bahwa aku dipenjara karna membunuh Sarah.

Saat itu Louis sangat bingung. Bagaimana bisa aku yang sangat mencintai Sarah membunuhnya. Demi mencari tau kebenaran, Ia mengeluarkanku dari penjara dengan jaminannya. Tapi Ia malah mendapati kenyataan bahwa justru satu-satunya orang yang terakhir bertemu dengan Sarah adalah dirinya. Karna jelas-jelas aku tidak jadi mengikuti Sarah malam itu. Sehingga Louis menjadi lebih bingung. Siapa pembunuh Sarah sebenarnya.

Itu semua kenyataan yang Louis katakan pada polisi sesaat sebelum Ia meninggal di Rumah Sakit. Pengurus rumah tangganyalah yang menemukan Louis bersimbah darah hari itu dan melarikannya ke Rumah Sakit. Louis dinyatakan meninggal beberapa jam kemudian karna banyaknya pukulan dan benturan yang Ia terima.

Bahkan polisi menggali lebih dalam lagi tentang kematian Sarah setelah mendengar cerita Louis. Pada akhirnya mereka malah menemukan  kenyataan bahwa tewasnya Sarah murni karna terjatuh dari jembatan yang ternyata pagarnya sudah rapuh.

Akupun berakhir dipenjara karna telah membunuh sahabatku. Dua orang yang kucintai kini telah pergi selama-lamanya. Hidupkupun berantakan karna emosi yang tak dapat dikendalikan. Bodohnya.

* SEKIAN *

Oleh,

Upay

*Note: Kisah ini sedikit terinspirasi dari Film berjudul "HORN". Walau dengan alur dan ending yang sangat berbeda.

Selasa, 12 Mei 2020

Kisah Nyata perjalanan menemukan hidayah Chica Koeswoyo

Kisah nyata Chicha Koeswoyo.

Kisah ini sengaja kami publish di Blog Cerpen karna ceritanya menginspirasi dan semoga bermanfaat untuk para pembaca. Cerita ini diadaptasi dari akun Facebok Zula Zulaikha Afandi. Selamat membaca.

*********

MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #1

Namaku Chicha. Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama. Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama Islam di wilayah Jawa Timur.

Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak Mama yang menjadi pendeta. Walaupun berbeda agama, Papa dan Mama tidak pernah mempunyai masalah. Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.

Sejak kecil aku dididik secara Kristen. Seperti anak-anak Kristen lainnya, aku diikutsertakan di sekolah Minggu. Setiap kali pergi untuk melaksanakan kebaktian, Papaku sering mengantarkan kami ke gereja. Intinya, kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal ataupun Hari Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari besar tersebut.

Usiaku sudah menginjak 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1, SMA Tarakanita. Rumah tempat tinggal kami sangat berdekatan dengan masjid. Terus terang, aku sangat terganggu dengan suara azan, apalagi di saat magrib. Suara azan dari Toa masjid begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Belum lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan magrib berkumandang, aku matikan televisi karena di semua chanel, semua stasiun menayangkan azan yang sama.

Di suatu magrib terjadilah sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka. Ketika itu azan magrib muncul di layar TV. Seperti biasa aku mencari remote control untuk mematikan televisi. Namun hari itu aku tidak bisa menemukannya. Dengan hati kesal kutelusuri sela-sela sofa, kuangkat semua bantal, kuperiksa kolong meja tapi alat pengontrol jarak jauh itu tidak juga terlihat. Karena putus asa, aku terduduk di sofa lalu duduk menatap layar TV yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya. Lalu apa yang terjadi?

Sekonyong-konyong hatiku menjadi teduh. Baris demi baris terjemahan azan tersebut terus kubaca dan entah karena apa, hati ini semakin sejuk. Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini sekan-akan ada suara yang berkata padaku, “Sampai kapan kau mau mendengar panggilanKu, Chicha. Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dariKu?”

Lalu aku menangis. Entah karena sedih, marah, bingung, galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu ada dan berbaur menjadi satu. Aku terus menangis tanpa tau harus melakukan apa.

Esok harinya, aku curhat pada adikku. Kami berdua memang sangat dekat satu sama lain. Adikku ini ternyata sangat berempati atas apa yang menimpaku. Dia tidak mengeluarkan satupun kata yang menyalahkan kakaknya bahkan dia berkata, “Aku akan support apapun kalau itu memang membahagiakan Kakak.”

“Terima kasih, Dik. Sekarang ikut, Kakak, yuk?”

“Ikut ke mana?” tanyanya.

Dengan diam-diam kami berdua pergi ke sebuah toko muslim yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sana kami membeli mukena, Kitab Suci Al’Quran dengan tafsir dan terjemahannya. Tidak lupa sebuah buku yang berjudul ‘Tuntunan Sholat’.

Sesampainya di rumah, kami berdua mempelajari cara berwudhu, melakukan sholat dan menghafal bacaannya. Setelah dirasa mampu, kami  berdua mencoba mendirikan sholat bersama-sama. Perbuatan kami tentu saja di luar pengetahuan kedua orangtua. Pernah suatu kali Mama mengetuk pintu dan sangat marah karena kami mengunci kamar dari dalam. Begitu mendengar teriakan Mama, secepat kilat kami membuka mukena dan menyembunyikannya di laci paling atas.

“Dengar, ya, Nduk! Kalian nggak boleh mengunci pintu kamar. Selama kamu tinggal di rumah Mama, kalian ikut peraturan Mama,” bentak ibuku dengan galak.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara perlahan karena tak ingin ribut dengan Mama apalagi kami sangat perlu menjaga kerahasiaan ini.

Waktu terus berlalu. Bulan Ramadhan pun datang. Tentu saja di bulan suci seperti ini, kami juga ingin melakukan puasa seperti muslim lainnya. Berpuasa dari waktu subuh sampai magrib sebetulnya sama sekali tidak sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali Mama mengajak makan bersama. Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak.

“Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,” kataku dengan suara bergetar.

Mama menatap saya dengan tajam. Sepertinya dia telah mencium ada yang tak beres dengan kami berdua. Ketegangan pun terjadi. Buatku itu adalah saat yang sangat menegangkan sampai akhirnya Mama menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah kalau begitu.”

Bulan penuh rahmat berlalu. Suara takbir yang begitu merdu di telinga berkumandang. Idul Fitri adalah hari kemenangan dan kami tidak mau kehilangan momen untuk sholat bersama Jemaah yang lain. Aku dan Adikku berdiskusi menyusun strategi bagaimana cara pergi ke masjid tanpa sepengetahuan orang rumah.

Esok harinya, sekitar jam 6.30 pagi, kami mengendap-endap membuka membuka pintu depan. Setelah itu membuka pagar sampai terbuka lebar. Kami berdua mendorong mobil dalam keadaan mesin mati supaya tidak terdengar oleh orangtua kami yang masih tenggelam dalam nyenyak. Pada satpam yang menjaga rumah, aku berpesan, “Kalau ada yang tanya, bilang kami mau latihan basket, ya, Pak?”

“Siap, Non!” kata Sang Satpam entah curiga atau tidak.

Setelah mobil dirasa cukup jauh, aku menghidupkan mobil dan meluncur langsung ke masjid terdekat. Sesampainya di sana, banyak tetangga-tetangga menatap kami dengan paras keheranan. Mereka tentu saja bingung karena semua orang tau bahwa aku beragama Kristen. Bahkan barisan ibu-ibu yang duduk tepat di depan kami langsung mendekatkan kepalanya dan berbisik kepada kami.

“Cha, ngapain kamu di sini? Sholat Idul Fitri itu buat kaum muslim. Kamu kan Kristen?”

Aku cuma tersenyum dan tidak berusaha menjawab. Sementara ibu-ibu lain terus berkasak-kusuk sambil menengok bahkan ada yang menunjuk-nunjuk ke arah kami.  Kami bergeming dan tidak mempedulikan sikap orang yang merasa aneh dengan kehadiran kami. Dan akhirnya sholat Idul Fitri dapat kami ikuti dengan sukses. Dengan hati berbunga-bunga kami kembali pulang. Alhamdulillah.

Baru saja sampai di depan pagar, di depan rumah telah berdiri Papa dan Mama. Mereka membantu membuka pagar, membuka pintu mobil lalu Mama langsung menlontarkan pertanyaan tanpa basi-basi.

“Dari mana kalian?” tanya Mama dengan suara keras.

“Abis latihan basket, Ma,” sahutku. Kami berdua memang telah berganti pakaian dan semua mukena dan sajadah sudah dimasukkan ke dalam tas dengan rapih.

“Kalian jangan berbohong, ya? Mama menangkap ada yang aneh dengan kalian berdua,” kata Mama lagi.

Aku menatap Mama yang nampak sangat kesal. Sementara Papa cuma cengar-cengir bahkan mengedipkan sebelah matanya pada kami.

“Kami latihan basket, Ma. Masa Mama gak percaya sama anak sendiri?” kata adikku.

Rupanya omongan Adik membuat hati Mama tersentuh juga. Seperti sebelumnya, dia menatap kami bergantian dengan tajam, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara halus, “Hmm…baiklah kalau begitu.”

“Yuk, kita ke atas, Ma,” kata Papa sambil menggamit tangan Mama untuk mengajaknya pergi dari situ. Sebelum masuk ke dalam rumah. Papa sempat-sempatnya menengok ke arah kami dan mengedipkan sebelah matanya sekali lagi sambil tersenyum dengan paras jail...

Aku masih termangu-mangu di depan rumah. Kecurigaan Mama mulai menghantui perasaanku. ‘Sampai berapa lama aku bisa mempertahankan rahasia ini?’ tanyaku dalam hati. ‘Daripada Mama yang menemukan rahasia ini, bukankah beliau lebih baik mengetahui semuanya langsung dari anaknya sendiri?’

“Mama!” Aku memanggil dan mengejar Mama yag sudah berada di dalam rumah.

Mama dan Papa membalikkan badan dan menunggu apa yang akan disampaikan anaknya. Kembali kediaman berulang. Sesaat aku gentar hendak menyampaikan berita ini.

“Ya, Cha?” Kamu mau ngomong apa?” tanya Papa.

Keheningan kembali mendominasi. Bibirku bergetar. Semua kata dalam tenggorokan telah berkumpul dan berdesak-desakan untuk keluar dari bibir. Aku masih diselimuti kebimbangan. Ngomong, jangan, ngomong, jangan, ngomong, jangan….

“Chicha masuk Islam, Ma. Chica masuk Islam, Papa. Chicha minta maaf tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu.” Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja.

‘Alhamdulillah!” Di luar dugaan Papa berteriak kegirangan mendengar berita tersebut. Tidak cukup melampiaskan kegembiraannya dengan cara itu, beliau langsung berlutut di lantai dan melakukan sujud syukur atas hidayah yang didapat anaknya. Melihat sikap Papa, aku tentu saja menjadi lebih tabah. Dengan penuh harap, aku memandang Mama, berharap mendapat dukungan yang sama.

Mama menatapku dengan pandangan tidak percaya. Matanya melotot, dadanya kembang kempis dan bibirnya bergetar hebat.

“Hueeeeek…!!!!” Tanpa diduga tiba-tiba Mama muntah darah dan tubuhnya sempoyongan, untungnya Papa dengan sigap menangkap tubuh Mama dan mendudukkannya di sofa.

“Mamaaaaaa….!!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak sedih? Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan kecuali mengetahui bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita sendiri.

Bersambung

MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA #2

Papa mengurus Mama dengan telaten. Perlahan-lahan kesehatan Mama berangsur-angsur membaik. Tapi sejak peristiwa itu, Mama tidak mau lagi berbicara denganku. Selama ini, Mama dan aku hubungannya sangat dekat. Melihat Mama bersikap seperti itu, aku sedih sekali. Berkali-kali aku mengajak Mama berbicara tapi beliau tidak menyahut sehingga aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkannya sendiri. Itu adalah salah satu periode hidup yang paling menyiksa buatku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan menunggu perubahan sikap Mama.

Bulan demi bulan berlalu. kami masih belum berkomunikasi satu sama lain. Mama sering meninggalkan rumah. Entah kemana. Aku nggak berani bertanya, takut malahan membuatnya lebih marah. Sudah 3 bulan aku tidak berbicara dengan Mama. Hari-hari yang kuhadapi sering aku isi dengan mengurung diri di kamar sambil membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah yang membuatku semakin mantap menjadi seorang muslim.

BRAK! Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan suara keras. Aku menengok dan terlihat Mama masuk dengan membawa sebuah kotak yang cukup besar. Parasnya dingin dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.

“Nduk, Mama mau tanya. Kamu harus menjawab dengan tegas!” katanya.

“Iya, Ma,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar. Dalam hati aku bersorak karena akhirnya Mama mau berbicara lagi.

“Kamu sudah mantap mau masuk islam?” tanyanya lagi tanpa basa-basi.

“Mantap, Ma. Chicha rasa ini benar-benar panggilan Allah,” jawabku pelan tapi tegas.

“Okay, kalau begitu,” kata Mama lalu dia mengangsurkan kotak yang dibawanya ke tanganku.

Dengan terheran-heran, aku menerima kotak tersebut, “Apa ini, Ma?”

“Nggak usah banyak tanya. Kamu buka aja kotak itu sekarang juga.”

Dengan gerak perlahan, aku membuka kotak tersebut. Masya Allah! Ternyata isinya adalah Kitab Suci Al Quran, mukena, kerudung, buku-buku agama Islam yang lumayan tebalnya. Aku menatap Mama dengan pandangan bertanya.

Mama membalas menatapku dengan tajam, “Kalau kamu ingin menjadi Islam, be a good one!”

Mendengar perkatannya, aku menangis dan menghambur ke pelukan Mama. Mama memeluk aku seerat yang dia bisa. Tangisku makin menjadi-jadi dan membasahi baju Mama di bagian dada.

Setelah tangis mereda, Mama bertanya lagi, “Kamu sudah resmi masuk islam?”

“Chicha udah ngucapin dua kalimat syahadat, Ma.”

“Disaksikan oleh ustad atau Kyai?”

“Nggak sih, Ma. Chicha ngucapin sendiri aja.”

“Berarti kamu belum resmi masuk Islam. Besok Mama akan antar kamu ke Mesjid Al Azhar di Jalan Sisingamangaraja. Mama udah bikin janji dengan Kyai di sana untuk mengislamkan kamu.”

“Huhuhuhuhuhu…” Aku nggak sanggup untuk mengatakan apa-apa kecuali memeluk Mama lagi sambari menangis menggerung-gerung. Setelah perlakuan Mama yang mendiamkan aku selama tiga bulan, siapa sangka Mama akan bersikap begini akhirnya. Mamaku memang luar biasa.

Esok harinya, di Mesjid Al Azhar, aku resmi memeluk agama Islam di usia 16 tahun. Ah, bahagianya sulit dilukiskan. Setelah ritual mengucapkan dua kalimat syahadat berakhir, aku menarik Mama untuk menuju ke mobil dan kembali pulang ke rumah.

“Eh, tunggu dulu, Nduk. Sekarang kamu harus ikut Mama ke belakang.”

“Ke belakang mana, Ma?” tanyaku keheranan.

Ke SMA Al Azhar. Kamu harus pindah sekolah ke sana.”

“Loh? Kenapa harus pindah? Chicha udah betah sekolah di Tarakanita. Semua teman-teman Chicha ada di sana. Chicha nggak mau pindah.”

“Nduk! Denger kata Mama. Kalau kamu serius pindah ke Islam, kamu nggak boleh setengah-setengah.”

“Maksudnya gimana, Ma?”

“Tarakanita itu sekolah Kristen. Kalau kamu pindah Islam maka kamu harus bersekolah di sekolah Islam. Sekali lagi Mama bilang, kamu nggak boleh setengah-setengah. Ini peristiwa besar dan pilihan hidup kamu. Mama mau kamu total dalam menyikapi pilihan kamu sendiri.”

Lagi-lagi sikap Mama membuatku kagum bukan main. Sepertinya dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana.

“Mama kok bisa-bisanya punya pemikiran seperti ini?” tanyaku penasaran.

Mama menghela napas panjang lagi lau berucap, “Sejak kamu mengatakan mau masuk Islam, Mama sering berkonsultasi dengan teman Mama yang muslim. Mama minta pendapat dia dan dia banyak menasihati Mama soal ini.”

“Oh, pantes Mama sering pergi belakangan ini. Biasanya kan Mama selalu di rumah.”

“Iya, Cha. Mama butuh support dan teman Mama itu sangat membantu sehingga membuat Mama jauh lebih tenang.”

“Kalau boleh tau, teman Mama siapa namanya?” tanyaku lagi.

“Namanya Doktor Zakiah Darajat.”

“Itu temen Mama? Wah dia orang hebat di kalangan Islam, Ma.”

“Betul. Nama belakangnya mirip dengan Sunan Drajat, leluhur Papa kamu. Jadi setelah kamu resmi masuk Islam, rasanya kamu juga perlu berziarah ke makam beliau.”

Sekali lagi aku memeluk Mamaku. Jadi selama tiga bulan ini, dia mendiamkan anaknya bukan karena hendak mengacuhkan tapi beliau tidak tau harus bersikap bagaimana. Beliau hendak mencari penerangan pada apa yang terjadi pada anaknya. Sudah pastilah Mama kebingungan tapi akhirnya setelah mendapat pencerahan dari Doktor Zakiah Darajat, Mama sekarang malah mendukung pilihan anaknya. Pilihan anak yang berbeda dengan keyakinannya. Ah Mamaku memang luar biasa.

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku hendak mengajak Mama untuk turut memeluk agama Islam. Tapi aku mengurungkan niat itu. Apa yang terjadi padaku pastilah sudah berat buat Mama. Bagaimana mungkin aku mampu mempengaruhinya sementara saudara-saudaranya banyak yang menjadi pendeta. Beban Mama sudah sangat berat. Semua butuh waktu. Kalau memang Allah SWT mengizinkan, apa yang untuk manusia pikir tidak mungkin pastinya akan terjadi jika Allah berkehendak.

Waktu berjalan tanpa pernah berhenti. Dengan hati tenteram, aku menjalani hidup sebagai perempuan muslim. Tahun 2002, Mama meninggal dunia. Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi mualaf dan memeluk agama Islam. Alhamdulillah! Terima kasih, ya, Allah. Ah Mamaku memang luar biasa.

Sumber asli tulisan:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211363531083871&id=1829107566

Pusara Ibu

Cerita ini kami kutip dari akun facebook page "Silahkan dibagikan". Karna ceritanya bagus dan menginspirasi, maka kami muat dengan menyertakan sumber aslinya. Selamat membaca.

* * * * *

Rumah masih ramai setelah pulang dari pemakaman, kepalaku masih pusing karna tak bisa menahan tangis melihat jasad terakhir istriku dimasukkan ke liang lahat. Aku makin tak bisa menahan airmata saat melihat anak-anak menangis memandangi orang-orang yg menimbun tubuh ibu mereka. Lama aku diam di pemakaman, mengingat kembali saat istriku masih ada. Aku ingat semua dosaku, kesalahanku, mulut kasarku, ketidakpedulianku, bahkan yg paling aku ingat membiarkan dia berpikir sendiri tentang keuangan keluarga.

Aku pikir saat dipemakaman adalah momen tersedih yg aku alami sepanjang hidupku, ternyata itu belum apa-apa. Banyak kepiluan-kepiluan lain yg membuatku serasa hancur. Mulai saat malam setelah rumah ini kosong dari pelayat, anak-anak seperti tidak mau tidur tanpa ibunya. Mereka masih menangis sesenggukan. Aku hanya bisa memeluk mereka tanpa bisa menyembunyikan kesedihan diwajahku.

Putriku yg berusia 5 tahun beberapa kali berlari kekamar sambil memanggil ibunya. Sepertinya dia lupa bahwa ibunya telah tiada. Kemudian ia keluar lagi dengan wajah kecewa.

Malam berlalu tanpa aku bisa melelapkan mata sedetikpun. Aku memandangi anak-anak yg tidur dengan gelisah.

Sebentar-sebentar terbangun dan putra pertama kami yg berusia 9 tahun ternyata menangis sambil melekatkan wajahnya dibantal. Adiknya laki-laki berusia 7 tahun usdah tertidur, namun sesekali ngigau memanggil ibunya. Sungguh aku tak tenang malam itu. Rasanya rumah ini hampa.

Beberapa hari masih dengan suasana yg sama, masih ada kerabat yg membantu masak dan menyapu rumah hingga hari ketiga. Masih banyak tetangga yg memeluk dan menguatkan anak-anak.

Hingga tibalah hari yg membuat aku amat sedih. Yaitu hari ketika mereka mulai masuk sekolah.

Pagi itu mereka semua sudah bangun, aku kebingungan, anak-anakku juga seperti bingung mau berbuat apa. Biasanya pagi kami selalu dibangunkan, disuruh mandi dan sholat, disiapkan pakaian, dibuatkan sarapan dan kami berangkat dalam keadaan rapi dan perut yg sudah kenyang. Hari ini kami semua hanya diam.

Aku menyuruh anak-anak melihat makanan dikulkas tapi yg ada hanya bahan mentah. Rumah yg biasanya rapi nampak berantakan. Aku pergi membeli sarapan untuk kami berempat. Saat membayar aku kaget uang lima puluh ribu tanpa kembalian. Padahal selama ini aku memberi uang lima puluh ribu kepada istriku cukup untuk makan kami sampai malam. Kadang-kadang aku marah-marah kalau dia minta tambahan.

Aku bawa sarapan pulang dan anak-anak sudah menunggu dimeja makan. Sudah jam 7.30 biasanya mereka sudah diantar kesekolah, semuanya diantar istriku berbarengan, sementara aku baru pulang beli sarapan. Dalam hati kalau terlambat semoga dimaklumi karna habis kemalangan. Saat mau makan aku tidak tau dimana piring dan sendok, mengambilkan air dan dimana letak gelas. Saking aku yg selalu dilayani semua oleh istri.

Aku makin merasa kacau saat jam sudah menuju jam 8 dan anak-anak belum terantar semua. Aku benar-benar kehilangan seorang dewa dalam rumah kami. Inikah yg selama ini dilakukan istriku? Mengapa aku selalu menganggap dia tak ada kerjaan. Selalu menganggap sepele pekerjaan seorang ibu. Aku masih linglung ditempat kerja. Masih banyak teman-teman yang menghampiri mengucapkan belasungkawa. Hingga aku ditelpon oleh walikelas anakku yg masih TK katanya anak-anak sudah pulang tapi belum ada yg jemput, aku minta ijin pergi menjemput anak dan jam 12 anakku yg no 2 juga menelpon minta dijemput karna sudah pulang.

Selama ini aku tak tau satupun jadwal mereka. Aku hanya bekerja dan tak peduli dengan itu semua. Anakku yg besar pulang jam 2 artinya aku tak bisa kembali ketempat kerja. Sampai disekolah anakku, aku masih melihat didepan sekolah masih ada bekas darah saat istriku kecelakaan 3 hari lalu, kecelakaan yg serta merta merenggut nyawanya saat menjemput anak sulungku.:'(

Sampai dirumah anak-anak nampak kelaparan, biasanya dibekali makan dan yang TK katanya biasanya dijemput dan langsung makan dirumah. Baru kembali jemput abangnya setelah makan. Ternyata aku tak tau manajemen waktu sehebat almarhumah istriku. Aku harus kewarung makan lagi untuk pergi membeli makan siang. Begitupun nantinya makan malam. Sehingga tidak kurang dari 200rb sampai malam.

Aku berpikir ini baru satu hari, bagaimana kalau satu bulan. Gajiku tidak akan cukup untuk kami berempat. Malam ini anak-anak juga mengingatkanku tadi mereka tidak ada yg ngaji karna tidak ada yg mengantarkan ketempat ngaji mereka.:'(

Ya Allah, Indah sekali caramu menegurku. Begitu kacaunya hidupku tanpa istriku, keuangan makin amburadul, anak-anak tak terurus, makanan favoritku tidak ada lagi. Rumah dan tanaman seperti hilang aura karna tak ada yg merawat dan membersihkan. Aku masih sempat merasa wanita diluaran lebih cantik dari istriku. Andai aku bisa menebus apapun yg telah aku lakukan kepada istriku selama ini aku ingin memperbaikinya. Aku ingin membantunya, menyayanginya sepenuh hati dan tak akan pernah berkata kasar kepadanya.

Dia begitu lelah setiap hari, tapi sepulang kerja aku masih sering membentaknya. Saat dia minta tambahan belanja aku berkata kasar kepadanya. Dia saat aku jadikan istri rela berpisah dengan anggota keluarga besarnya, hidup susah payah dan sederhana denganku.

Maafkan aku istriku, andai aku bisa menebus semua kesalahanku, satu hari saja tanpamu kami seperti anak ayam kehilangan induknya. Berserakan. Saat sholat aku kembali menangis sejadi-jadinya.

Andai bisa kutebus, aku ingin menebus meski dengan nyawaku. Aku mau dia yg hidup menjaga anak-anak dan biarlah aku yg menghadap-Mu. Ini sangat berat bagiku apalagi bagi anak-anakku. Demikian do'a tengah malamku.

Aku tak tega melihat pakaian anak-anak yg kusut tak terurus, makan yang tak ada yang masak dan aku tak tega melihat mereka kekurangan kasih sayang. Jujur selama ini aku tak dekat dengan anak-anak. Mereka selalu sama ibunya. Aku hanyalah kerja, pulang, tidur dan kerja lagi. Aku tak tau apa-apa tentang urusan anak dan rumah.

Istriku, aku berdoa semoga lelah mu jadi ibadah, semoga semua yg kau lakukan untuk kami membawamu ke syurga, semoga engkau bahagia di alammu. Kali ini aku benar-benar menangis tersedu-sedu sambil membayangkan wajahmu. Kau tak pernah mengeluh dengan pekerjaanmu, kau tak pernah meminta sesuatu yg aku tak sanggup membelinya. Kau jalani semua dengan sabar dan aku merasa belakangan jarang memperhatikanmu. Jarang bertanya bagaimana anak-anak kita, jarang bertanya bagaimana hari-harimu.

Engkau ibu yang luar biasa bagi anak-anak kita. Semuanya terlihat saat engkau tlah tiada kemurungan selalu menyelimuti wajah mereka. Mereka sering menangis, mereka sering salah memanggilmu sepulang sekolah. Mereka sering berlari kekamar kita seolah-olah engkau masih ada.

Kekasih hatiku, Mengapa aku jatuh cinta padamu justru setelah engkau tiada. Tidak akan ada yg menggantikan dirimu dihatiku. Mengapa rasa cinta ku padamu menggebu-gebu saat dirimu sudah berada dipusara.

Maafkan aku istriku.

Aku terlambat jatuh cinta padamu ðŸ˜­ðŸ˜­

Link sumber asli:

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1157234357765066&id=744185525736620

30 Orang yang pertama, dalam islam

Tulisan ini diadaptasi dari akun Syekh Ali Jeber

Karna tulisan ini sangat informatif, maka kami share di blog cerpen ini. Semoga bermanfaat.

**********

30 ORANG YANG PERTAMA DALAM ISLAM

1. Orang yang pertama menulis Bismillah : Nabi Sulaiman AS.

2. Orang yang pertama minum air zamzam : Nabi Ismail AS.

3. Orang yang pertama berkhatan : Nabi Ibrahim AS.

4. Orang yang pertama diberikan pakaian pada hari qiamat : Nabi Ibrahim AS.

5. Orang yang pertama dipanggil oleh Allah pada hari qiamat : Nabi Adam AS.

6. Orang yang pertama mengerjakan saie antara Safa dan Marwah : Sayyidatina Hajar (Ibu Nabi Ismail AS).

7. Orang yang pertama dibangkitkan pada hari qiamat : Nabi Muhammad SAW.

8. Orang yang pertama menjadi khalifah Islam : Abu Bakar As Siddiq RA.

9. Orang yang pertama menggunakan tarikh hijrah : Umar bin Al-Khattab RA.

10. Orang yang pertama meletakkah jawatan khalifah dalam Islam : Al-Hasan bin Ali RA.

11. Orang yang pertama menyusukan Nabi SAW : Thuwaibah RA.

12. Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan lelaki : Al-Harith bin Abi Halah RA.

13. Orang yang pertama syahid dalam Islam dari kalangan wanita : Sumayyah binti Khabbat RA.

14. Orang yang pertama menulis hadis di dalam kitab / lembaran : Abdullah bin Amru bin Al-Ash RA.

15. Orang yang pertama memanah dalam perjuangan fisabilillah : Saad bin Abi Waqqas RA.

16. Orang yang pertama menjadi muazzin dan melaungkan adzan: Bilal bin Rabah RA.

17. Orang yang pertama bersembahyang dengan Rasulullah SAW : Ali bin Abi Tholib RA.

18. Orang yang pertama membuat minbar masjid Nabi SAW : Tamim Ad-dary RA.

19. Orang yang pertama menghunuskan pedang dalam perjuangan fisabilillah : Az-Zubair bin Al-Awwam RA.

20. Orang yang pertama menulis sirah Nabi SAW : Ibban bin Othman bin Affan RA.

21. Orang yang pertama beriman dengan Nabi SAW : Khadijah binti Khuwailid RA.

22. Orang yang pertama mengasaskan usul fiqh : Imam Syafei RH.

23. Orang yang pertama membina penjara dalam Islam: Ali bin Abi Tholib RA.

24. Orang yang pertama menjadi raja dalam Islam : Muawiyah bin Abi Sufyan RA.

25. Orang yang pertama membuat perpustakaan awam : Harun Ar-Rasyid RH.

26. Orang yang pertama mengadakan baitul mal : Umar Al-Khattab RA.

27. Orang yang pertama menghafal Al-Qur'an selepas Rasulullah SAW : Ali bn Abi Tholib RA.

28. Orang yang pertama membina menara di Masjidil Haram Mekah : Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur RH.

29. Orang yang pertama digelar Al-Muqry : Mus'ab bin Umair RA.

30. Orang yang pertama masuk ke dalam syurga : Nabi Muhammad SAW.

✔ Rugilah kalau tak SHARE sebab hanya 1 peluang dakwah yang MUDAH. . . share !!! Sebarkan...

Wallahualam

Semoga bermanfaat dan sekaligus pengingat untuk kita semua ...

Aamiin....

Sumber:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=560168017777286&id=444721249321964