Senin, 18 Mei 2020

Jodoh PilihanMu (Adiba)

Teman-teman bilang aku pemilih. Jika bermain, aku lebih suka berkelompok dengan anak-anak pengusaha lain di sekolah. Padahal itu semua tidak benar. Justru merekalah yang mendekatiku, dan tanpa sadar kami jadi kelompok. Kami yang ke mana-mana selalu di antar supir, main di mall, shopping, belajar seperlunya banyak membuat iri anak-anak lain.

Namun demikian, kami bukanlah kumpulan gadis manja berotak kosong. Karna bagi kami, cerdas itu keren. Itu motto geng kami. Geng? iya, ditahun-tahun seperti sekarang ini, sudah hal yang sangat biasa jika anak-anak sekolahan memiliki kelompok yang disebut geng. Luar biasanya dari kami, selain cantik, gaul, dan anak pengusaha, kami juga selalu juara kelas di sekolah. Aku, Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari selalu peringkat 5 teratas disekolah. Tentu saja akulah yang selalu peringkat 1. Itu sebabnya teman-teman lain bilang, akulah Mommy Gengnya.

"Hai, lagi ngapain?"  Sapaku pada sosok cowok yang sedang mengikat tali sepatu di depan Musholla sekolah. "Habis sholat ya? Emang ada sholat jam segini?" Tanyaku berlanjut. Tapi sayang, cowok ini rupanya sedikit sombong. Namun justru itu yang membuatku tanpa sadar tertarik dengan sosoknya. Awalnya sih ngga seperti itu.

"Ih ditanya diem aja, boleh minta tolong gak. Keran di toilet cewek gak bisa ditutup. Airnya ngalir terus. Bisa tolong diliat ada masalah apa?". Tanyaku padanya lagi. Kebetulan toilet memang letaknya tidak jauh dari Musholla, dan malah kelihatan jelas dari sebrangnya.

"Kan sayang air bersih terbuang percuma jadinya."  Lanjutku kemudian. Tapi cowok ini super duper sombong. Dia terus saja terdiam. Kemudian dia bangkit setelah selesai mengikat tali sepatunya. Berjalan tanpa mempedulikanku. Tapi tiba-tiba, dia berhenti tepat di depan toilet wanita, kemudian sedikit berteriak ke arahku yang masih terdiam di depan Musholla karna merasa dicuekin.

"Hei ukhti, tolong jaga di depan sini. Supaya kalo ada yang mau masuk, ukhti bisa kasih tau saya agar saya segera keluar dulu."

Aku berlari kecil ke arahnya dengan senang. Karna ternyata dia bukan cuek, hanya...... mmm.... hanya apa ya? Kenapa juga dia begitu? Tadi cuek, tapi tiba-tiba mau bantu. Aneh.

"Ok, gue tunggu di sini. Tolong dicek ya. Mmmh, nama gue Adiba. Adiba Shakila. Lu boleh panggil gue Diba atau Shaki. Kayanya lu salah orang. Gue bukaaan..... siapa tadi lu panggil? Uti? Nama gue bukan Uti." Kataku sambil berdiri di ambang pintu toilet menunggunya mengecek keadaan keran air.

"Jadi ini keran cuma kurang dorongan. Di dorong sedikit, langsung nutup koq airnya. Ya sudah, sudah selesai. Saya permisi dulu."

"Ya ampun, ini laki-laki bener-bener yah. Sama sekali lho gak peduliin omongan gue. Bahkan dia salah panggil nama dan gak minta maaf. Hhhh.... apa-apaan sih. Baru kali ini ada cowok begitu ke gue. Kesel banget."

**********

"Dari mana aja loo?"  Kata Nadya sambil menyuap chiki yang sedang dipegangnya.

"Eh, lu tau gak cowok itu? Yang lagi berdiri di depan kasir?"  Tanyaku pada Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari. Kemudian mereka menengok berbarengan.

"Ooh Ibra. Kenallah. Dia kan terkenal. Ganteng, Pinter, Ketua Rohis, Ketua Ekskul Basket, dan cuek banget sama perempuan. Kata anak-anak yah, dia homo."  Jawab Nadiva sambil terus mengunyah cemilan yang sedari tadi Ia makan tak henti-henti.

"Eeeuuuuhhh....."  Jerit kami berempat mendengar jawaban Nadiva.

"Pantes aja tadi gue dicuekin abis. Gue Nad, gue.... masa sih dia gak nengok sama sekali diajak ngomong Adiba Shakila. Mana dia kagak tau nama gue, malah gue dipanggil uti. Dia pikir gue neneknya apah."

"Bhakakakakka.........". Nadya, Utami dan Tari tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Yang membuat mereka tertawa bukan karna si "Ibra" ini nyuekin aku. Tapi karna aku gagal paham dengan maksud panggilannya si Ibra tadi.

"Aduh Diiib, lu goblok banget sik. Dia itu kan yang muslim taat banget gitu yah. Maksudnya dia itu 'ukhti' bukan 'uti'. Ampun deh Miss Endonesah satu ini." Kata Nadiva menjelaskan kembali.

"Naaah itu tuh bener, tadi dia panggil gue ukhti ada ukh ukh nya gitu."

"Bhakakakakakaka...................."  Mereka berempat malah makin keras ketawanya. Sumpah ngeselin abis. Rasanya mau kutampar wajah mereka satu persatu.

"Ya ampuuun Diib. Elo pinter, cantik, beken, tapi sayang yah. Agama lu minim. Hahahaah." Tambah Tari kemudian.

"Dibaa, sini 'barbie' kasih tau."  Kata Utami sambil merangkulku. "Ukhti itu bahasa arab, artinya panggilan untuk saudariku perempuan. Begituuu."

"Haduuuh ya ampuuun, tu orang lahir di arab? Dia udah gila ya. Ngomong bahasa arab di Indonesia. Yamanalah hamba mengertiii. Lagian, emang kapan gue pernah kawin ama sodaranya. Huh". Kataku dengan kesal.

"Hahahahahhaha....."  Kami tertawa bersama. Dan seperti biasa, geng kami memang selalu jadi pusat perhatian di pojokan manapun kami nongkrong di sekolah. Tapi kami cuek saja. Kepercayaan diri kami sungguh tinggi, karna kemampuan otak kami. Bukan karna kami anak pengusaha atau sering gonta ganti mobil. Itulah kami. Tapi yaa betul seperti yang dikatakan Tari. Agama kami memang minim. Entah dari mana mereka tau istilah Ukhti Ukhti itu.

Baiklah, kita sudahi dulu cerita tentang si Ibra. Karna satu dia gak penting di cerita kali ini, dua dia bukan tokoh utamanya, tiga dia homo. Yaaah meski itu baru kabar burung sih. Tapi bisa jadi bener. Lagiaan mana ada cowok yang gak suka sama Adiba Shakila. Aku cewek yang paling WOW di sekolah ini, dilirikpun tidak sama dia. Apa namanya kalo bukan homo? Iiiiih.....

Singkatnya, kami akhirnya menghadapi ujian akhir sekolah. Sebentar lagi kami akan jadi mahasiswi, itupun kalo lulus sih. Hihihihi. Tapi dengan otak kami yang gak setengah-setengah ini, aku yakin. Aku, Nadiva, Nadya, Tari dan Utami pasti lulus bareng-bareng.

Eh...eh tunggu. Ngomong-ngomong yah. Koq Ibra? kenapa namanya terdengar aneh ya. Agak mengganggu pikiran. Jadi kepo banget deh. Nama sebenernya siapa sih.

Setelah tanya-tanya ke anak-anak rohis, ternyata namanya bagus juga. Gak biasa 'Ibrahim Zain Mutaqqin'. Sepertinya ada artinya.

OK, bener-bener kita sudahi dulu cerita si Ibra ini. Singkat cerita kami semua lulus dengan nilai sempurna. Gengku maksudku, kalo yang laiin.... mmmh, yaaa gitu deh nilainya. Heheheheh somboong. Aku dan geng seperti biasa merayakan kesuksesan kami. Menembus universitas ternama seperti Universitas Indonesia.

Kami bersama masuk ke universitas yang sama namun berbeda jurusan. Aku memutuskan meneruskan cita-citaku menjadi seorang Dokter. Impianku ingin menjadi Ahli bedah nantinya. Dengan kecerdasan yang kami miliki, tentunya tidak sulit mengikuti semua mata kuliah di perguruan tinggi.

Karna kesibukan kami mengejar cita-cita, serta jadwal mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaan yang padat, pada akhirnya meski kami satu kampus, intensitas pertemuan kami menjadi semakin jarang. Bahkan belum tentu sebulan sekali kami dapat bertemu.

Tapi kemudian, beberapa bulan setelah lama kami tidak bertemu, akhirnya kami dipertemukan dengan kabar buruk dari keluarga nadiva. Ibundanya meninggal karna serangan jantung. Hari itu juga saat mendapat kabar duka itu, kami berempat segera bergegas ke rumah Nadiva. Suasana ramai dan terlihat Nadiva yang masih terisak di samping jenazah.

Kami menghampiri Nadiva, mencoba menenangkannya, menguatkannya agar diberi kesabaran dan ketabahan. Alhamdulilah Nadiva orang yang tegar. Ia tetap bersikap tenang meski sedang kehilangan. Sore hari setelah pemakaman selesai, kami pamit satu persatu. Kembali lagi ke kegiatan kami masing-masing yang super duper sibuk.

Dua minggu kemudian, giliran Utami yang mengirim kabar duka. Ibundanya juga telah berpulang. Lagi-lagi kami berkumpul dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Apakah hanya event ini yang dapat mempertemukan kami belakangan ini? Sedih rasanya.

Disuatu pagi yang cerah di bawah pohon rindang aku berteduh sambil membuka diktat mata kuliah yang super tebel. Aku semakin serius dengan usahaku meraih gelar dokterku. Bagaimanapun aku harus berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering "Tari memanggil."

"Haah? Tari?. Tumben, ada apa ya?." Sejenak aku terdiam, ada rasa deg-degan. Takut kalau kabar duka lagi yang kuterima. Tapi bagaimanapun aku tetap harus angkat. "Iya Tar, ada apa? Tumben pagi-pagi gini?." Tanyaku pada Tari sambil menggigit-gigit pulpen ditangan kiriku.

"Sibuk ya Dib? Bisa ketemuan gak?"  Tari terdengar seperti orang yang habis menangis. Ada apa dengannya. Kebetulan hari ini aku sedikit lowong, cuma lagi mengulang mata kuliah yang mungkin akan ada kuis nanti seperti biasa. Dosen mata kuliah satu ini memang hobi kasih kuis dadakan untuk menambah nilai. Kurasa aku sudah cukup khatam dengan diktat ini. Jadilah aku menyanggupi menemui Tari.

Kami bertemu di Caffe yang dulu sering kami datangi berlima. Tari menyeruput minuman dihadapannya. Kiwi Fresh Juice kesukaannya. Aku masih tidak berani bertanya. Ada apa dengannya. Kenapa Tari terlihat sedih. Toh jika memang Tari merasa ingin bercerita, dia pasti sudah bicara sejak tadi. Tapi Tari masih terdim dengan wajah sedihnya.

"Dib, gue sendiri sekarang. Semua orang ninggalin gue. Mereka pergi setelah tau gue bangkrut."  Tari memulai dengan kalimatnya yang bahkan aku sama sekali tidak pahami satupun. Dia menangis sambil bercerita. "Bangkrut? Elo bangrut Tar? Maksud lu apa gue gak paham deh. Coba ceritain dari awal. Kenapa juga lu bangkrut sebelum memulai apapun? Setau gue lu gak punya usaha apa-apa Tar."  Jawabku kemudian.

"Aduh Diiib, please deh jangan becanda disaat begini. Bokap gue Dib. Bokap gue yang bangkrut. Dan gue yakin lu punya TV kan di rumah. Lu juga pasti udah tau dari berita di luar sana apa yang terjadi sama keluarga gue. Awalnya gue juga males telpon lo. Pasti lu menghindar juga. Pasti lo ga angkat juga telpon gue. Tapi gue iseng aja coba-coba. Ternyata lu angkat Dib. Kenapa?"

"Kenapa apanya. Ada telepon ya diangkat lah Tari. Lu kenapa sih. Ceritain deh semuanya. Iya gue tau masalah bokap lu yang ketangkep kemaren. Korupsi apa sih dia? Perasaan lu gak pernah akur sama bokap lo, kenapa tiba-tiba sekarang lu jadi peduli? bukannya lu cuma peduli sama uangnya? ooh justru karna lu takut miskin makanya yang lu peduliin kebangkrutannya, bukan dianya yang di penjara?"

"Diba, betul banget gue gak peduli dia, yang gue peduliin itu uangnya, hartanya dia. Apa jadinya kuliah gue tanpa duit dia, mobil gue, rumah gue semuanya disita Dib. Sekarang gue kepaksa ngungsi di rumah Oma. Saudara-saudara yang lain semuanya mulai jauhin keluarga gue, Oma tiap hari marah-marah tanpa sebab seolah dia pingin gue dan nyokap jadi gak betah di rumahnya dan minggat. O my God Diba. Gue harus gimana."

Aku terus mendengarkan curhatan Tari yang dibarengi dengan tangisannya yang tak henti-henti. Kupikir, alangkah teganya jika di saat-saat seperti ini aku justru menjauh. Aku bukanlah orang-orang seperti orang-orang dilingkungan Tari yang tiba-tiba menjauh ketika keluarga Tari susah.

"Ya udahlah Tar, lu focus aja sama kuliah lo. Kelarin dan jadi sukses. Supaya lu gak bergantung lagi sama harta bokap lu. Dulu kan lu sendiri yang bilang. Harta korupsi gak akan bertahan lama. Dan sekarang omongan lu kebukti. Ya jalanin aja."  Aku mencoba terus berusaha menenangkan Tari yang sedari tadi menangis meratapi nasibnya.

Aku terus mendampingi Tari, hampir setiap malam sejak pertemuan kami itu Tari selalu menelponku. Ia tampak terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Tak jarang aku menganjurkannya untuk menghadiri acara persidangan papahnya untuk mendukungnya. Bagaimanapun Ayah dan anak haruslah saling memahami. Itu kataku padanya.

"Dib, makasih ya. Cuma lo sahabat gue yang gak pernah berubah. Cuma lo yang masih terus ada di samping gue."

"Udahlah Tar, jangan berpikiran negatif. Siapa tau Nadya dan yang lain memang sibuk dengan urusan mereka. Kapan-kapan kita coba main ke rumah mereka ya. Siapa tau mereka punya alasan kuat kenapa ganti kontak dan gak ada kabar. Kalo emang mereka cuma menghindar, ya kenapa sama gue juga. Harusnya mereka ngabarin gue dong. Kan gada masalah sama gue. Jadi jangan negatif thinking dulu ya say."

Tari terdiam disebrang telepon. Akupun ikut terdiam. Tidak berapa lama kemudian Tari mulai bicara lagi. Aku tau sejak awal Tari telepon hari ini, sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan, tapi mungkin dia mau basa basi dulu. Pikirku dalam hati.

"Dib, gue butuh banget bantuan lo. Tapi gue takut setelah ini lo bakalan ngejauhin gue juga."  Seperti dugaanku sejak awal. Cepat atau lambat, Tari pasti butuh bantuan.

"Ngomong Tar, jangan menjudge gue seolah gue ini sama seperti sodara-sodara lo yang lain. Gue bukan mereka. Sebisa mungkin gue pasti bantu lo."  Jawabku kemudian.

"Dib, gue butuh uang untuk bayar kuliah. Lu bisa bantu?" Tanyanya kemudian.

"Butuh berapa Tar? Mudah-mudahan gue bisa bantu lo."

"Sekitar 30juta Dib. Untuk semua biaya kuliah setahun ini. Gue gak mau putus kuliah. Gue harus berhasil Dib. Kalaupun lu ga bisa bantu uang, setidaknya apa lo bisa bantu gue cari kerjaan?"  Tanya Tari lebih jauh.

Aku menghela nafas panjang. Bukan karna harus keluar uang untuk Tari. Tapi lebih kepada keputusan Tari yang ingin mencari pekerjaan. Kupikir waktu kita sudah sangat padat untuk kuliah. Mata kuliah yang setiap hari selalu ada, pengulangan pelajaran, tugas-tugas dan lainnya. Bagaimana mungkin Tari bisa membagi dua waktu kuliah dan bekerja.

Aku menyanggupi permintaan tari meminjamkan uang padanya. Lagipula dengan keadaanku yang seperti ini, uang segitu tidak masalah buatku. Sebetulnya tanpa Tari berjanji mengembalikannyapun aku tidak masalah. Justru yang jadi masalah, bagaimana caraku membantu Tari mencari pekerjaan.

Kalo aku minta di perusahaan Papah, pasti mama yang gak bakalan setuju. Karna kupikir Mama adalah orang yang terlalu memandang kekuasaan dan nama baik. Jika tau aku masih berhubungan dengan Tari, Mama pasti memintaku menjauhinya. Takut dampak nama buruk Papa Tari terbawa-bawa  ke keluarga kami yang tersohor dengan perusahaan besarnya di mana-mana.

"Tar, gue bantu lo soal uang. Tapi gue ga bisa janji apa-apa masalah kerjaan. Lu tau kan nyokap gue gimana."  Aku dan Tari sama-sama terdiam sejenak.

"Gak masalah Dib, lo udah baik banget bantu gue. Sejauh ini, satu-satunya orang yang terus ada disamping gue sampai detik ini cuma elu Dib. Bahkan Dimaspun entah ke mana."

Dimas adalah pacar Tari sejak SMA, mereka seperti sepasang kancing dan baju yang sulit dipisahkan. Karna itulah aku agak sedikit kaget mendengar perkataan Tari yang mengatakan bahwa Dimaspun menghilang menghindarinya seperti yang lain.

Ya Allah, apakah sebegitu berperannya semua harta yang kita miliki di dunia ini bagi orang lain? Aku semakin bingung. Bagaimana cara meringankan beban psikologis Tari yang betul-betul sedang down.

"Sabar ya Tar, mungkin bukan Dimas yang memutuskan untuk menghilang dari lo. Mungkin aja orang-orang di sekelilingnya. Meskipun kita tetep gak boleh negatif thinking ke keluarganya. Tapi kemungkinan tetap aja ada kan. Terlebih lagi, gue gak yakin kalo Dimas type cowok yang memandang harta dan jabatan keluarga lo seperti yang lain."

Singkatnya semua kesedihan Tari berlalu. Tapi entah nasib seperti apa yang berputar di sekeliling kami berlima. Seolah cobaan datang secara bergiliran. Kali ini giliranku. Papah jatuh sakit, Mama semakin lama semakin menderita karna lelah mengurus Papah. Sudah dua tahun ini Papah terbaring lemah, usaha Papah yang dipegang Om Salman mengalami defisit. Itu kata Om Salman. Meski aku yakin sesungguhnya tidak seperti itu. Aku tidak mau berpikiran buruk terhadap Om Salman adiknya Papah. Aku ingin buang jauh-jauh sifat negatifku ini.

Tapi mengingat usaha Papah yang besar dan semua terkendali dengan baik dan tiba-tiba saja jadi berantakan semenjak Papah sakit dan tidak datang-datang ke kantor, rasanya ini sesuatu yang terlalu kebetulan. Setiap bulan Om Salman datang ke rumah membawa setumpuk laporan keuangan perusahaan. Semua laporan itu hanya bisa Papah tandatangan tanpa membaca isinya. Karna Papah terlalu sakit untuk berpikir apalagi mempelajari isi laporan itu.

Tentu saja aku dan Mama sama sekali tidak mengerti tentang bisnis Papah. Inilah satu-satunya kesalahan Papah di masa lalu yang baru kelihatan dampaknya saat ini. Seandainya dulu Papah mengijinkan Mama membuka bisnis butik dan restauran sendiri, mungkin kami gak akan terlalu bergantung pada perusahaan Papah semata. Mungkin kami bisa dengan ikhlas menyerahkan saja seluruhnya kepada Om Salman.

Papah terlalu takut jika Mama menjadi wanita mandiri maka lambat laun Ia tidak akan dibutuhkan lagi. Sepicik itukah pikiran Papah dulu. Aku terkejut mendengar cerita Mama. Pantas saja disaat Ibu-ibu lain sibuk dengan bisnisnya, usaha dagangnya, kesana kemari meeting dengan teman-teman bisnis dan lainnya. Mama hanya sibuk mengurus aku, mengantar jemputku sekolah, memasak, dan hanya berkebun di rumah. Rupanya itu karna Papah melarang.

Satu kesalahan lagi adalah Papah tidak pernah memberikanku ilmu bisnisnya sedikitpun. Ia hanya ingin aku lulus dengan nilai terbaik sebagai seorang dokter. Papah lupa jika sekolah kedokteran membutuhkan banyak dana. Jika sekarang Papah bangkrut, bagaimana aku bisa meneruskan sekolah kedokteranku yang butuh banyak biaya?

Aku bingung, Mama jadi lebih sering melamun. Kami betul-betul jatuh miskin. Sampai-sampai kami harus keluar dari rumah. Semua perusahaan beserta asset yang tersisa sudah habis untuk membayar hutang, gaji karyawan, dan biaya pengobatan Papah. Jadilah kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa fasilitas mewah yang memadai. Aku? Tentu saja sangat tersiksa. Seperti biasa, keluarga besar kami menghilang satu persatu, terlebih belakangan ini biaya pengobatan Papah makin membengkak. Papah jadi harus lebih sering bolak balik ke Rumah Sakit.

Akhirnya aku yang harus memikirkan keluarga ini. Dengan berbekal ijazah SMA aku mencari pekerjaan. Semua pekerjaan kuterima. Bahkan Tari juga turut membantuku. Hanya Tari yang ada. Mungkin Ia teringat dirinya pada masa-masa sulit dulu akupun membantunya.

"Dib, gue bingung nih mau ngomongnya." Kata Tari sambil menatapku dengan wajah kebingungan. "Apa sih, tinggal ngomong aja pake bingung segala. Gak usah takut gue tersinggung. Gimanapun sekarang ini gue udah jadi orang susah, miskin, jadi udah ga boleh baper lagi." Jawabku kemudian.

"Lu bener-bener butuh kerjaan kan?" Tanya Tari kemudian. "Ya iyalah. Kan lo tau udah dua minggu ini gue cari kerjaan dan ga dapet-dapet. Apalah artinya ijazah SMA ini."

"Nah itu dia Dib, jadi gue punya kenalan yang lagi butuh orang untuk kerja. Tapiii... gimana yah. Gue gak yakin lu sanggup."

"Tar, kerjaan apapun akan gue sanggupin asal halal gak macem-macem apalagi jual diri ke om-om." jawabku kemudian.

"Hahah, gila lo. Ya enggaklah, jadiii kenalan gue ini lagi butuh pengasuh untuk anaknya Dib. Gaji sih udah pasti gak gede lah. Jauh banget dibandingin uang jajan lu sehari. Duluuu..."

"Hahahahaha....." Kami tertawa bersama. Akhirnya aku menerima saran Tari untuk melamar menjadi pengasuh di rumah kenalannya Tari. Walau gaji tidak seberapa, setidaknya aku masih bisa bantu Mama Papa untuk biaya sehari-hari seperti makan, air, listrik dan pulsa telpon. Itu sangat menolong.

Singkatnya aku sudah sangat kewalahan mengasuh bayi majikanku. Maklum, aku yang manja harus berhadapan dengan seorang bayi yang sama sekali tidak kumengerti bahasanya. Tiap kali Ia selalu menangis. Tapi Alhamdulilah majikanku sangaaat baik, bukannya memecatku karna tidak becus mengurus anak mereka, bahkan mereka malah memberiku bimbingan dan pelajaran bagaimana cara mengasuh anak dengan benar.

Itu membuatku mempelajari banyak hal. Terlebih lagi jika suatu hari nanti mungkin Tuhan akan memberiku jodoh dan aku menikah. Itu sangat-sangat menolongku menimba ilmu menghadapi calon keluarga kecilku nanti.

Bukan hanya itu kebaikan yang kuterima dari majikanku. Mereka juga sering mengajakku pergi ke acara majelis taklim, pengajian dan dakwah yang kudengar hampir setiap hari itu membuatku makin lama makin menjadi sosok yang jauh lebih baik, hari ini ke pengajian RT sini, besok ke masjid kota sebelah, lusa di rumah majikanku sendiri. Sungguh beliau sangat berjasa bagiku.

Pic From Google
Diawal-awal mengikuti pengajian, seringkali aku menangis mendengar dakwah-dakwah yang memecut hatiku. Aku semakin tersadar, sejak kecil bahkan sejak aku lahir, Mama Papa tidak pernah sekalipun mempedulikan pendidikan agama kami. Keluargaku yang terlalu hedonis, memandang kesuksesan sebatas harta, jabatan, dan nama besar yang dimiliki. Mereka lupa yang menciptakan itu semua.

Mama kaget bukan main saat aku pulang dari bekerja dirumah majikanku dengan mengenakan gamis beserta hijab sebatas dada dikepalaku. Hampir Ia tak mengenaliku.

"Diba? ini Diba kan?" Tanyanya dengan wajah terkejut. Seketika air matanya menetes. Baru kali ini Mama ingat penciptaNya.

"Ya Allah Diba, selama ini kita lalai terhadapNya. Semua yang kita pikirkan selama ini hanyalah tentang dunia. Tapi, bagaimana mungkin kamu bisa seperti sekarang ini nak?". Tanya Mama padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Iya Mah, doakan Diba bisa istiqomah mulai sekarang ya Mah. InshaAllah Diba akan konsisten dengan jalan hidup Diba mulai detik ini. Mah, mari kita sama-memperbaiki jalan hidup kita, dimulai dari diri sendiri Mah, banyak berdoa sama Allah. Diba mohon, Mama mulai sekarang jalankan Sholat lima waktu Mah, banyak zikir dan berdoa, memohon kesembuhan Papah kepada Allah Mah."

Aku dan Mama berpelukan sambil meneteskan air mata mengingat betapa bodohnya kami yang selama ini lupa bahwa ada Sang Pencipta yang pasti akan menunjukkan jalan.

Aku merasa sangat berdosa. Mengapa ketika kesulitan datang barulah menyadari bahwa ilmu agama itu penting? Bagaimana mungkin selama ini kami hidup bahagia bergelimangan harta dan penuh kemewahan tanpa campur tangan Allah yang Maha segala-galanya, Maha memberi apa yang selama ini kita punya.

Mulai dari situ, aku merasa hidup kami lebih tentram, lebih damai. Sampai suatu ketika majikanku memberiku kabar baik sekaligus membuatku bimbang. Saudari majikanku yang tinggal di Cairo membutuhkan seorang pengasuh anak. Aku ditawari gaji yang cukup tinggi karna akan ditempatkan di luar negri. Aku bimbang, haruskah kutinggalkan Mama Papa yang justru sedang membutuhkanku.

Benarkah ini jalan yang Allah pilihkan bagiku? Bagi keluargaku? Aku bingung, majikanku menyarankanku untuk melaksanakan sholat istikharah. Yang katanya jika dilakukan dengan keyakinan dan bersungguh-sungguh, InshaAllah Allah akan menunjukkan jalan yang tepat bagiku. Akupun melaksanakannya.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian Mama tiba-tiba saja bertanya padaku. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tau Mama tau dari mana perihal aku ditawari pekerjaan di luar negri. "Dib, sampai detik ini kamu masih juga diam. Bagaimana keputusanmu mengenai tawaran bekerja di luar negri itu Nak?"  Tanya Mama di tengah suasana makan malam yang sunyi. Alhamdulilah Papa mulai bisa makan sendiri, meski masih harus beraktifitas di kursi roda tapi kondisinya sudah sangat jauh lebih baik. Beliaupun ikut berbicara.

"Nak' jika alasanmu tidak menerima tawaran itu karna Papa dan Mama, maka kami berdua akan sangat menyesal. Maka kami akan hidup menanggung rasa bersalah hingga akhir hayat. Apa kau mau Papa Mamamu menanggung derita itu?" Tanya Papa kemudian. Aku terkejut mendengarnya.

Memang sebenarnya aku berat meninggalkan mereka berdua. Diumur yang tak lagi muda, terlebih Papa dalam kondisi tidak stabil harus kutinggalkan. Rasanya aku sangat berat. Tapi mendengar hal itu, aku malah jadi takut sekali. Benarkah mereka akan terbebani dengan keputusanku?

"Pah, Mah, jikapun Diba menolak tawaran itu. Diba pastikan itu bukan karna kalian. Diba sudah nyaman di rumah Umi Halimah Pah, Mah. Kalian lihat sendiri perubahan apa yang Umi bawa kepada Diba. Majikan yang mungkin hanya seorang yang seperti Beliau di dunia ini. Diba beruntung Pah, Mah bekerja dengan Beliau. Jadi Diba bukan hanya berat meninggalkan Mama Papa tapi juga Diba sudah kerasan di rumah Beliau."

Mama Papa terus membujukku agar mau pergi bekerja di sana. Mereka berharap, aku dapat menemukan kehidupan yang lebih baik dan tentunya lebih layak di sana. Siapa tau masa depanku memang di sana. Kuliahku yang sempat terhenti mungkin saja bisa kulanjutkan nanti jika aku berhasil mengumpulkan uang dari bekerja di luar negri.

Singkat cerita, akhirnya semua persiapan kepergianku untuk bekerja di rumah kerabat majikanku telah siap. Lusa aku berangkat. Aku berdoa semoga Allah melindungi kedua orangtuaku selama aku tidak berada di dekat mereka.

*******

Cairo

Aku tiba di bandara Cairo. Disambut oleh seorang driver yang ternyata juga orang asli indonesia. Pak Samin namanya. Dia membentangkan poster bertuliskan namaku "ADIBA SHAKILA From INDONESIA". Akupun menghampirinya.

"Assalamualikum Pak Samin, saya Adiba". Kataku memperkenalkan diri sambil mengatupkan kedua tanganku ke hadapannya.

"Oh iya Neng, Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat. Sukurlah akhirnya ada yang bisa saya ajak bicara bahasa Indonesia."  Jawabnya kemudian sambil tersenyum lebar.

Akupun bersukur bahwa semua pekerja majikan baruku di Cairo ini adalah orang asli Indonesia semua. Sehingga aku tidak kesulitan ketika harus menyampaikan sesuatu. Kamipun segera bergegas menuju kediaman majikan kami. Dalam perjalanan Pak Samin banyak bercerita tentang keluarga majikan baruku. Ia bernama Umi Laksmi. Beliau pengusaha sukses di Indonesia sebenarnya. Namun rupanya Allah sangat gemar sekali menitipkan harta dunia ke tangannya. Terbukti selain Ia kaya raya di Indonesia, Iapun akhirnya berkesempatan melebarkan sayap usahanya di negeri orang.

Menurut cerita Pak Samin, keluarga Umi Laksmi ini keluarga yang sangat royal. Setiap hari tak pernah absen bersedekah. Umi memiliki yayasan panti asuhan di Indonesia. Kesemuanya Umi yang membiayai tanpa turut campur tangan donatur. Paling-paling jika ada kerabat atau rekan bisnis yang memang ingin mendonasikan sebagian hartanya barulah Umi menerima donasi. Selebihnya Umi sama sekali tidak pernah meminta atau menggalang donasi untuk yayasannya sendiri.

Aku berfikir sejenak. Teringat akan kehidupan makmur nan mewahku dulu. Adakah Papa dan Mama bersedekah ketika itu? Seingatku, perusahaan Papa yang begitu sukses dan maju sama sekali jauh dari yang namanya sedekah. Entah apakah Papa tidak kepikiran ataukah Papa merasa rugi jika harus bersedekah. Yah, entahlah. Masa lalu keluarga kami yang terlampau jauh dari ajaran Allah sangat membuat kami terjebak dalam kehidupan hura-hura yang sama sekali tidak bermanfaat. Tapi aku tidak mau menyesalinya. Aku harus bangkit dan berjuang demi mereka.

Kamipun sampai di kediaman Umi Laksmi. MasyaAllaaah...... tiada berhenti aku terkagum-kagum dengan kemeahan bangunan yang bagai puri istana para raja seperti yang ada di film-film dongeng itu. Aku tak habis pikir. Bagaimana para asisten rumah tangga membersihkan bangunan ini? Menurut Pak Samin, mereka ada lebih dari puluhan orang yang bekerja sebagai ART di rumah ini. Aku jadi merinding mengingat akan merawat seorang anak yang kehidupannya semewah ini.

Kemewahan yang kupunya sungguh sangat jauh dibandingkan apa yang ada di depan mataku sekarang ini. Benar kata Pak Samin. Allah sangat senang menitipkan harta dunia kepada keluarga Umi Laksmi yang sangat kaya raya ini.

Aku dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang berisi meja kerja dan peralatan kantor lainnya di dalam rumah itu. Ya, seperti rumah mewahku dulu yang juga ada ruang kantor di dalamnya. Bedanya ini jauh lebih luas dari milik Papa dulu.

"Jadi kamu Adiba yang calon Dokter itu?" Tanya wanita cantik yang duduk di meja kerja itu. Aku mengangguk dengan wajah sedikit heran. Darimana beliau tau kalau aku calon dokter gagal? Eh, tapi beliau tidak menyebutkan kata gagal di kalimat itu.

"Iya saya Adiba. Maaf sebelumnya Ibu. Panggilan apa yang harus saya ucapkan untuk memanggil Ibu?". Tanyaku sedikit gugup. Aku memang seorang calon dokter yang sama sekali masih jauh dari berhasil. Namun sikap tenang dan rasa kepercayaan diri seorang dokter sudah melekat pada diriku sejak aku masih SMA. Sehingga tidak sulit bagiku untuk berkomunikasi seformal dan se high class mungkin.

"Panggil saja saya Hana. Nama saya Hana Mutaqqin. Saya anak dari Umi Laksmi pemilik rumah ini. Kebetulan yang akan kamu asuh nanti adalah putri saya bernama Syahira. Dia masih berumur 3 bulan. Apa kamu sudah terbiasa mengasuh bayi kecil?" Tanyanya padaku. Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Karna kupikir seharusnya Mba Hana sudah tau jika sebelumnya aku bekerja dengan kerabatnya di Indonesia juga mengasuh seorang anak.

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Mba Hana, Ia melanjutkan. "Maaf ya Dek' Diba. Bukan saya kurang yakin. Saya tau betul waktu di Jakarta kamu bekerja mengasuh keponakan saya Maliha. Hanya saja saya tidak menyangka bahwa ternyata pengasuh yang dikirim ke sini begitu cantik dan lembut, tidak seperti seorang pekerja. Sangat jauh dari yang saya pikirkan. Mohon maaf sekali lho Dek."  Terangnya kemudian.

"Oh gak apa-apa Mba Hana. Saya gak masalah dengan yang dipikirkan orang-orang tentang saya. Karna di Jakarta semua orang tau siapa saya, reputasi saya, bahkan kehidupan saya sebelum saya jadi pengasuh. Jadi rasanya saya tidak kaget lagi jika mendengar Mba Hana mengatakan hal seperti itu."  Jawabku kemudian sambil tersenyum.

"TOK...TOK..."Terdengar pintu diketuk. Mba Hana mempersilahkan masuk. "Iya, masuk saja tidak terkunci."

Seorang laki-laki berkulit putih berbadan tinggi dan tegap masuk. Sesaat aku terpesona pada sosoknya. Laki-laki ini begitu tampan. Kemudian aku tersadar. "Astagfirullahaladziim." Batinku kemudian.

"Dek' maaf lho titipanmu tidak kutemukan di pasar tadi. Coba nanti aku suruh orang untuk mencari ke mini market." Katanya sambil menghampiri Mba Hana dan memberikan beberapa bungkusan yang katanya dari pasar.

"Iya gak papa Kak, nanti biar aku sendiri yang suruh orang. Oh ya, dimana Hira?" Tanyanya pada lelaki itu.

Sebetulnya aku agak sedikit terusik. Ingin melihat wajahnya sekali lagi. Ya Allah apakah dosa ingin melihat wajah lawan jenis dengan perasaan berdebar seperti ini. Tapi jujur saja bukan hanya terpesona dengan tampannya, aku merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi di mana. Aku berfikir keras. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa dimana aku masih SMA, berteman dengan keempat sahabatku Tari, Nadya, Nadiva dan Utami.

"Ya Allaaaah...." Aku tercekat sambil tertunduk menahan perasaan kaget yang tak terhingga. Tapi ternyata gumamanku terdengar mereka. Lelaki itu dan Mba Hana menengok tajam ke arahku.

"Iya, ada apa Adiba?"  Tanya Mba Hana kemudian.

"Mm... ngga ada apa-apa Mba Hana. Saya hanya tiba-tiba teringat sesuatu."  Jawabku sambil tertunduk. Lelaki itu tersenyum. Aku ragu dia tidak mengenaliku. Senyum tipisnya semakin meyakinkanku kalau dia ingat siapa aku. Bagaimana mungkin dia tidak mengingatku. Aku yang sangat terkenal di kalangan para siswa semasa SMA dulu.

Ya ampuuun ternyata suami Mba Hana adalah lelaki itu. Ibra, Ibrahim Zayn Mutaqqin. Kakak kelas tampan yang terkenal alim dan digosipkan gay, ternyata sudah menikah. MasyaAllah, dengan putri saudagar kaya macam Mba Hana. Makin minder saja aku. Tapi sungguh, aku tidak pernah melupakan senyuman Ibra terakhir kali ketika kami tanpa sengaja bertemu di lorong sekolah saat perpisahan SMA dulu. Waktu itu anak-anak angkatan Ibra sedang acara perpisahan kelulusan. Entah apa yang ingin Ia sampaikan saat itu.

Ingatanku flash back ke masa itu. Saat Ia berdiri di lorong sekolah. Menghadapku dan menyebut namaku. "Diba, bisa kita....."

Hanya kalimat itu yang berhasil Ia ucapkan. Karna tiba-tiba saja teman-temannya datang berhamburan lalu menarik dia keluar lapangan untuk sedikit berpidato diacara perpisahan sekolah saat itu. Setelah itu aku tak lagi bertemu dengannya. Bahkan kabarnyapun aku tak tau.

Jujur sebenarnya saat itu kemungkinan besar aku sudah jatuh cinta padanya. Namun gosip-gosip yang beredar yang mengatakan bahwa Ia gay, membuatku mundur dan acuh tak acuh kepadanya. Siapa sangka, ternyata sekarang Ia akan menjadi majikanku. Ayah dari anak yang aku asuh di rumah megah ini. Terlebih lagi istri cantiknya yang bernama Hana benar-benar membuatku minder. Aku yang dulu mungkin akan dengan mudahnya menyingkirkan lawan-lawanku. Dengan kepribadianku yang luar biasa serta status sosialku yang semua orang tau, aku pasti bisa dengan mudah merebut si Ibra ini dari tangannya. Tapi apalah aku sekarang.

"Ehem... Hira sedang main di kebun sama Ibu." Jawab Ibra kepada Mba Hana. Jujur saja aku jadi bingung sebutan apa yang pantas untuk memanggil Ibrahim. Tuan? Duh... pusing kepalaku rasanya.

Hari ini berjalan dengan lancar. Aku sudah berkenalan dengan Syahira. Putri cantik berusia tiga bulan yang masih harus digendong-gendong ke mana-mana. Wajah malaikatnya membuat hatiku nyaman mengurusnya. Putri mungil yang cantik memiliki kedua orangtua yang juga cantik dan tampan. Keluarga yang sempurna. Pikirku saat itu.

"Deek' aku pergi ke perpustakaan dulu ya. Hira bersama Diba." Teriak Ibrahim kepada Mba Hana yang sedang menyajikan makan siang di meja makan besar itu.

"Dadah sayaang". Kata ibrahim kepada Syahira sambil menyerahkannya padaku dan menciumnya kemudian berlalu pergi. Tapi kemudian Ia berbalik sejenak.

"Oh ya Diba, nanti tolong bilangin Dek Hana ya saya pergi cuma sebentar dan akan makan siang di rumah. Sepertinya dia tidak dengar teriakan saya."

"Oh iya Ka, nanti saya sampaikan. Aduh maaf saya jadi bingung mau panggil apa."  Kataku gugup.

"Kaka juga gak apa koq. Cocok. Kak' Ibra. Hihih."  Katanya dengan senyumnya yang menawan sambil berlalu pergi.

"Astagfirullaaah. perasaan apa ini. Kenapa rasa sukaku padanya semakin besar. Ya Allah, dosa besar aku mencintai suami orang seperti ini. Ya Allah hilangkan rasa ini. Bagaimana aku mengatasi perasaan ini." Batinku menjerit. Rasanya aku ingin dipulangkan saja. Dan tak pernah lagi bertemu dengan majikan tampanku ini.

Semua berjalan diluar dugaan. Pada akhirnya aku malah betah tinggal di rumah megah ini merawat Syahira putri Mba Hana dan Kak Ibrahim. Aku merasa mereka sangat dekat denganku, aku diperlakukan khusus. Seperti bagian dari keluarga. Awalnya aku takut akan mendapat tatapan sinis dari para pekerja lain di sini. Tapi ternyata aku salah. Mereka semua baik-baik padaku. Karna semua yang ada dalam rumah ini satu keluarga. Kami para pekerjapun dianggap satu keluarga. Tak jarang kami semua makan bersama dalam satu meja besar panjang setiap satu kali seminggu. Katanya sudah tradisi. Agar kami semua merasakan kekeluargaan yang kental di rumah ini. Sehingga para pekerjapun tidak merasa jauh dari rumah dan keluarga.

Aku senang setiap kali bermain bersama Syahira, Kak Ibra selalu datang menghampiri dan bermain bersama kami. Pernah suatu kali aku merasa seperti satu keluarga dengan Kak Ibra dan Hira. Andai saja kami bertiga keluarga kecil bahagia. Batinku saat itu. Tapi pikiranku itu harus kubuang jauh-jauh. Aku ini hanya pengasuh. Beraninya mengkhayalkan berkeluarga dengan majikanku. Terlebih lagi apalah aku ini jika dibandingkan dengan Mba Hana istri Kak Ibra.

Aku semakin dekat dengan keluarga ini. Tak jarang ketika kumpul keluarga besar, aku turut hadir di dalamnya. Bagaimana tidak, Syahira yang masih harus digendong tentu saja harus mengikutsertakan pengasuhnya ini.

Sore itu cuaca sangat cerah. Aku yang sedang mengajak Hira bermain di halaman sedang asyik bersantai-santai di rerumputan. Tiba-tiba saja Kak Ibra datang menghampiri. Seperti biasa sebenarnya. Sebetulnya lama kelamaan aku jadi bisa mengendalikan perasaanku. Mungkin karna aku memang sudah harus terbiasa.

"Hiraaa..... Ya ampun sayang, kamu cantik banget Nak' siapa yang dandanin? Mba Diba yaa?. Waaah Hira pakai mahkota bunga buatan Mba Diba yaa..." Umi Laksmi yang adalah neneknya Syahira hari ini sedang luang. Karna urusan bisnisnya sudah selesai semua. Ia menghampiri Hira, Aku dan Kak Ibra. Sementara Syahira bercengkrama dengan Neneknya, aku dan Kak Ibra mengobrol.

"Dib, kamu inget gak waktu kita SMA dulu. Waktu acara perpisahan kelulusanku. Di lorong sekolah sebetulnya ada yang mau aku bilang."

Sudah kuduga. Ternyata selama ini Kak Ibra memang mengingatku. Aku yang sekarang dengan pakaian serba panjang serta hijab yang menutup sampai batas dada. Ternyata pakaian ini tidak membuatnya lupa padaku.

"Sudah Diba duga. Ternyata Kak' Ibra memang ingat Diba ya. Pastinya Diba juga gak akan pernah lupa Kak saat di lorong dulu itu. Emang kalo boleh tau, Kak' Ibra waktu itu mau ngomong apa?" Tanyaku penasaran sambil tertunduk dalam-dalam karna takut terpikat pada wajahnya yang tampan padahal Ia suami majikanku.

"Sebetulnya waktu itu aku mau bilang. Seandainya saat itu kamu belum mengisi hati kamu dengan laki-laki manapun. Maukah kamu tunggu aku sampai kita lulus? Walaupun lama. Karna aku sadar yang namanya muslim kan gak mungkin pacaran. Kita dilarang pacaran. Tapi apakah kamu mau nunggu selama itu. Aku jadi mikir, gadis secantik dan sepopuler kamu pasti banyak laki-laki yang tertarik. Gak mungkin rasanya aku minta kamu menungguku"

Aku terkejut bukan main dengan kalimat yang Kak Ibra utarakan. Ya Allah, andai saja saat itu kalimat itu benar-benar terlontar dari mulutnya, dengan sigap aku pasti akan menjawab YA, AKU BERSEDIA MENUNGGU SAMPAI SAAT ITU TIBA.

"Kenapa Kak Ibra gak jadi ngomong? Malah menghilang setelah itu. Apa Kakak langsung pindah ke sini setelah lulus?"Tanyaku penasaran

"Ya, setelah lulus aku langsung meneruskan kuliah di Al-Azhar sini. Dan sampai detik ini, aku belum pernah lagi kembali ke jakarta."

Hatiku terasa ngiluuu mendengar Kak ibra bicara. Ya Allah, kenapa ini bisa terjadi padaku. Kenapa setelah semua cobaan yang Engkau berikan, aku harus patah hati di sini. Ya Allah, jujur aku masih tertarik padanya. Aku masih menyimpan rasa cinta itu. Rasa cinta yang dulu sangat kuragukan karna gosip murahan itu.

"Hmmm.... ibra, kalau sudah senang. Kenapa tak kau lamar saja Adiba."  Perkataan Umi Laksmi mengagetkanku. Astagfirullah, apakah maksudnya umi meminta menantunya ini untuk poligami. Tegakah Ia jika putrinya dipoligami. Ya Allah benarkah kalimat yang kudengar ini.

"Ah Ibu, kalimat kaya gitu koq diutarain ditempat begini." Jawab Kak Ibra kemudian. Aku semakin bingung. Kenapa Ibu dan anak ini bicara seolah-olah tidak akan ada yang tersakiti dengan obrolan macam ini. Apa mereka sadar yang mereka katakan. Terlebih lagi statusku yang hanya seorang pengasuh. Apa mungkin putri cantiknya itu rela dipoligami oleh pengasuh anaknya? Ya Allah, apa ini. Apa mereka sedang mempermainkanku.

Tiba-tiba saja Mba Hana datang. Kalian asyik sekali. Ayo, sudah waktunya makan. Ajak Mba hana kemudian. Perbincanganku dengan Kak Ibrapun lagi-lagi terputus. Didalam kamar aku termenung, Memikirkan perkataan Umi Laksmi. Tapi setauku Muslim taat seperti mereka memang sama sekali tidak pernah berkeberatan dengan yang namanya poligami. Jangan-jangaaan, Umi sendiri juga dipoligami oleh Bapak. Tapi koq aku merasa tidak seperti itu yah. Aaah membingungkan.

Aku ini baru saja berhijrah jadi muslim yang baik. Aku sama sekali tidak paham dengan poligami. Lagipula, kalaupun Mba Hana ikhlas dipoligami oleh Kak Ibra, apa iya hatiku ikhlas. Begini-begini sifat hedonisku ini masih sedikit tersisa. Terlebih lagi perihal cinta. Mana mungkin aku rela membagi cinta. Walaupun dalam hal ini akulah yang akan jadi perusaknya. Aku memang egois.

Singkat cerita, hari libur akan segera tiba. Seperti biasa para karyawan di rumah megah ini dipersilahkan cuti ke kampung halamannya masing-masing di Indonesia. Tentunya akomodasi ditanggung oleh Umi sekeluarga. Jika waktu cuti bersama ini datang, maka rumah akan diisi oleh para pekerja lokal Cairo yang di bayar harian. Sehingga rumah tetap terawat.

Akupun akan segera pulang ke Jakarta. Aku bersyukur bekerja dengan mereka. Aku betah bersama mereka. Jadi aku putuskan akan kembali bekerja setelah liburan. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Umi Laksmi sekeluarga memutuskan untuk juga pulang ke Jakarta. Tentu saja bersama Mba Hana, Kak Ibrahim, Syahira, dan lainnya.

"Mas Akbar akan menyusul kita ke Jakarta setelah selesai urusannya di Jogja Umi." Kata Mba Hana sambil menggendong Syahira dan menyerahkannya padaku. Entah siapa Mas Akbar. Sejak beberapa bulan lalu aku hadir di keluarga ini selalu saja ada orang-orang baru yang keluar masuk rumah ini. Kerabat Umi memang sangat banyak. Semuanya dekat dengan keluarga ini. Aku sendiri sampai tidak hafal satu persatu kerabat di rumah ini.

**********

Jakarta, Bandara Internasional Soekarno Hatta

Pic from google

Kamipun tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Majikanku ini memang terlampau baik. Bukan hanya mengizinkanku berlibur ke kampung halaman di Jakarta, mereka bahkan pergi bersamaku. Tiketku dipesankan tanpa aku tahu. Tiba-tiba saja sehari sebelum hari keberangkatan, Mba Hana mengatakan padaku untuk bersiap karna mereka semua sudah siap ke Jakarta dan akan pergi bersamaku sampai sini.

Aku agak sedikit canggung sebenarnya. Terkadang aku sendiri bingung dengan posisiku. Aku seperti bukan pengasuh atau pekerja di dalam keluarga Umi. Mereka memperlakukanku seolah bagian dari keluarga besar Umi. Aku sungguh tidak enak. Karna sepenglihatanku selama bekerja pada keluarga Umi, meski pekerja yang lain juga diperlakukan sama baiknya denganku, tapi rasanya tetap berbeda. Semua pekerja dianggap keluarga oleh keluarga besar Umi. Namun rasanya diriku bukan hanya dianggap tapi sudah masuk menjadi bagian dari keluarga Umi.

Bahkan dalam pesawatpun mereka sudah mengatur dimana aku duduk. Ya, aku duduk di sebelah Mba Hana. Canggung sekali rasanya. Untung ada si kecil Syahira yang kini sudah lebih besar dari pertama kali aku datang, sehingga sudah bisa diajak bercanda. Jadi rasa canggungku tertutupi dengan tawa Syahira yang sesekali aku ledek.

Hampir setengah isi pesawat berisi keluarga besar Umi Laksmi. Sepertinya mereka ada rencana liburan panjang. Entah dimana mereka tinggal. Aku tak berani bertanya.

"Dib, aku tinggal di hotel Ibis Kemayoran jika saja kamu ada perlu denganku. Sedangkan yang lainnya akan tinggal di rumah Umi Halimah. Soalnya ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Jadi butuh focus untuk sendirian."

Tiba-tiba saja Ka' Ibra menghampiriku dan berkata begitu kepadaku.

"Oh iya Ka, nanti kalau Ka' Ibra butuh bantuan apapun bisa hubungi Diba saja. InshaAllah Diba tetap bisa bekerja di hari liburan seperti ini."  Jawabku kemudian. Sebetulnya aku sangat bingung ingin menanggapi bagaimana. Karna rasanya aneh. Untuk apa Ka' Ibra memberitahuku dimana Ia akan tinggal selama di Jakarta. Dan lagipula kenapa Ia harus tinggal terpisah dengan Mba Hana dan Syahira. Pekerjaan apa yang sebegitu pentingnya sehingga Ia harus sendirian. Aah sudahlah, bukan urusanku mengurusi keluarga orang lain. Mungkin aku cuma ke GR'an saja. Lagipula jikapun benar Ka' Ibra masih tertarik padaku, maaf saja ya Ka, aku ini anti poligami. Entah apakah aku berdosa atau tidak. Yang jelas aku bukan perempuan yang bisa membagi hati.

"Adiba, kira-kira kapan kau dan orangtuamu ada waktu untuk kami berkunjung?"

Sungguh aku terkejut bukan main mendengar pertanyaan Umi Laksmi. Apa tidak salah dengar. Mereka ingin berkunjung ke rumahku. Rumah kontrakan kami yang tidak seberapa luasnya. Yah ampun. Ah tapi toh aku ini hanya seorang pengasuh, sudah sewajarnya dengan statusku yang sekarang ini aku hanya tinggal di rumah kontrakan.

"Kapan saja kami bisa menerima tamu Umi. Terlebih lagi jika tamunya keluarga Umi. InshaAllah Mama Papa saya pasti senang menerimanya."  Jawabku kemudian dengan sedikit gugup.

Kamipun berpisah di bandara. Aku pulang ke rumah, Umi sekeluarga menuju kediaman Umi Halimah, sementara Ka Ibra ke Hotel Ibis. Mama Papa menyambutku haru. Mereka meneteskan air mata. Akupun demikian. Kami berpelukan.

Hidup kami sudah semakin baik, pada akhirnya kami sudah terbiasa hidup sederhana. Om Salman yang kini bergelimangan harta yang sebetulnya milik Papah dikabarkan sedang mengalami depresi berat akibat ditipu sahabatnya sendiri. Kabar terakhir yang kudengar dia sempat di rawat di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan karna sering berteriak dan marah tanpa sebab. Alhamdulilah akhirnya dia dinyatakan membaik dan diizinkan keluar setelah perawatan beberapa bulan.

Perusahaan Papa yang telah ia ambil alih kini berantakan. Karyawan sudah hanya tinggal beberapa orang, itupun hanya karyawan inti yang memang sejak awal perusahaan berdiri telah ikut membangun perusahaan. Mas Arya misalnya. Ia tangan kanan Papa sebetulnya, namun entah bagaimana bisa-bisanya bekerjasama dengan Om Salman menipu Papa hingga berhasil mengambil alih perusahaan Papa disaat Papa sedang colaps dengan penyakitnya.

Aku sama sekali tidak pernah meminta atau berdoa kepada Allah untuk menghukum Om Salman yang kurang ajar itu. Namun sepertinya Allah sedang menunjukkan kuasaNya kepada kami. Bahwa karma selalu ada. Perbuatan baik saja selalu ada balasannya apalagi perbuatan jahat. Entah bagaimana nasib keluarga Om Salman dan Mas Arya sekarang. Yang jelas, Papa sudah tidak tertarik dengan kehidupan mereka. Biarlah mereka ambil semua yang sudah Papa ikhlaskan.

"Ting...Tong...." Bel rumah berbunyi. Entah siapa sore-sore begini bertamu. Kami jarang sekali menerima tamu. Mungkin Umi Laksmi dan keluarganya benar-benar bertamu. Awalnya sih kupikir Umi hanya basa basi saja bilang ingin bertamu ke rumahku. Namun ternyata tidak, bel itu ternyata memang benar keluarga Umi Laksmi. Lengkap dengan Mba Hana, Syahira, Ka Ibra, juga keluarga lainnya di luar keluarga inti seperti Mba Diah dan juga seorang lelaki besar berkulit kecoklatan yang belakangan aku tau bernama Mas Akbar. Kalau tidak salah waktu itu Mba Hana yang menyebut-nyebut nama Mas Akbar.

Mama Papa sebetulnya sudah kuberi tahu bahwa kemungkinan keluarga Umi Laksmi akan berkunjung ke kontrakan kami ini. Namun karna tidak jelas waktunya, sehingga kami tidak mempersiapkan apa-apa. Mama jadi bingung. Mama keluar menyambut keluarga Umi ke ruang tamu sambil mendorong Papa dengan kursi rodanya.

"Mari silahkan duduk. Aduuuh saya betul-betul minta maaf lho ini. Diba sama sekali gak kasih tau kapan keluarga majikannya mau datang. Jadi kami tidak mempersiapkan apa-apa."

"Gak apa-apa Bu, aduuuh jangan panggil kami dengan sebutan majikannya Diba Bu, Diba itu sudah seperti anak saya sendiri di rumah. Sudah seperti bagian dari keluarga kami. Kecantikan dan kecerdasannya tentu membuat banyak orang dengan mudah menerima Adiba sebagai keluarga kan."

Kami semuapun duduk. Aku agak canggung. Tapi kuusahakan bersikap setenang dan sewajar mungkin. Semoga saja tidak terlalu kelihatan dibuat-buat.

"Oh ya Diba, bagaimana kuliah kedokteranmu "Nak?" Tanya Umi Laksmi tiba-tiba.

"Mmmh, Saya masih status mahasiswi Umi. Kebetulan saya hanya mengajukan cuti setahun ini. Berharap semoga masih bisa mengumpulkan rejeki untuk melanjutkan. Tapi jika memang Allah belum mengizinkan, kemungkinan bulan depan saya akan mengajukan surat pengunduran diri dari kampus Umi. Sudah tidak mau memaksakan keadaan."  Jawabku jujur.

"Oh iya, jadi begini. maksud kedatangan kami kemari sebetulnya ada kaitannya dengan pendidikan 'Nak Adiba. Jadi, Umi bermaksud meminta izin untuk mengambil alih tanggung jawab sebagai yang membiayai pendidikan Nak' Diba. Sehingga Diba bisa melanjutkan kuliah kedokterannya tanpa memikirkan biaya. Apakah diizinkan atau tidak Umi tetap berharap 'Nak Diba bisa tetap meneruskan kuliahnya. Bagaimana menurut Bapak Ibu Adiba?"

Aku, Mama, Papa, terkejut bukan main. Umi menganggap aku sebagai bagian dari keluarganya saja sudah merupakan keberuntungan bagiku. Tapi ini lebih dari itu. Umi bahkan  memikirkan pendidikanku. Entah bagaimana Mama Papa akan menjawabnya.

"Aduuh Umi, apakah nantinya tidak merepotkan. Adiba diterima bekerja dan dianggap sebagai bagian dari keluarga Umi saja rasanya kami selaku orangtua sudah sangat beruntung sekali. Tapi ini Umi sampai-sampai memikirkan pendidikannya juga. Saya sebagai Ayahnya sedikit malu."  Jawab Papa kemudian.

"Aduh maaf lho Pak. Umi tidak bermaksud menyinggung sama sekali. Ini murni demi kebaikan pendidikannya Adiba." Jelas Umi kepada Papa.

"Bukan Umi, saya malu bukan karna tersinggung. Tapi saya malu karna sampai saat ini sebagai kepala keluaraga masih belum mampu bangkit kembali dari keterpurukan."  Jawab Papa lagi.

Umi sekeluarga sudah tau betul kisah hidup keluargaku. Mulai dari aku yang satu SMA dengan Ka' Ibra, hingga usaha Papa yang diambil alih oleh saudaranya sendiri. Intinya, Papa sudah setuju tentang Umi yang akan membiayai pendidikanku sampai selesai. Kami sangat berterima kasih sekali kepada keluarga Umi.

"Sebetulnya ada satu hal lagi yang ingin disampaikan selain dari masalah pendidikan Adiba tadi. Jadi, maksud kami selain itu adalah kami ingin melamar Adiba untuk putra kami Ibrahim. Tentunya hal ini di luar masalah pendidikan yang tadi sudah kita bicarakan. Apakah lamaran ini diterima ataupun ditolak, Adiba tetap berhak mendapatkan pendidikannya seperti yang sudah kita bicarakan tadi."

Sumpah demi Allah pencipta alam semesta. Aku tak habis pikir. Pada akhirnya ini kejadian juga. Meski aku tau bahwa selama di Cairo, selama aku tiggal bersama mereka Ka' Ibra masih menaruh hati padaku. Tapi aku tak habis pikir Ia akan benar-benar melamarku. Menjadikanku istri kedua. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Jujur aku tak kuasa menolak Ka' Ibra yang memang masih ada di hatiku. Tapi bagaimana dengan Mba Hana? Ah, sesungguhnya bukan hanya Mba Hana yang kupikirkan. Jelas-jelas aku ini egois. Aku memikirkan diriku sendiri. Apakah bisa aku dipoligami.  Ya Allah keputusan apa yang harus kuambil.

"MasyaAllah Umi, sungguh ini kabar yang menggembirakan bagi kami. Hanya saja keputusan ini tetap kami serahkan kepada Adiba. Apakah Adiba menerima lamaran 'Nak Ibrahim atau tidak. Bagaimana Diba?" Tanya Papa padaku. Sungguh aku tidak tahu mau menjawab apa. Tapi kemudian jawaban ini meluncur begitu saja.

"Maaf Umi, maaf Ka' Ibra. Bukannya mau mengulur waktu. Hanya saja, apakah ini boleh dipikirkan dulu?" Tanyaku kemudian.

"Oh tentu saja kami akan menunggu. Silahkan jika 'Nak Diba mau berfikir dulu. Ini memang keputusan yang tidak boleh terburu-buru diambil. Memang harus dipikir masak-masak. Terlebih lagi kalian masih cukup muda. Mungkin masih takut untuk menikah."  Jawab Umi dengan tegas.

Tapi aku sedikit bingung. Kenapa Umi bilang kalian masih muda dan masih takut untuk menikah? Bukankah 'Ka Ibra sudah beristri. Apalagi yang Ia takutkan. Ooh mungkin maksudnya takut berpoligami. Bukan takut menikah. Hmm... entahlah.

Akhirnya keluarga Umi pamit pulang. Aku menjanjikan akan memberi jawaban perihal lamaran Ka' Ibra secepatnya. Sesuai dugaanku, Mama Papa langsung mengintrogasiku.

"Adiba putri mama yang cantik ternyata sudah cukup dewasa. Mama gak nyangka Pah, akhirnya lamaran terjadi juga di rumah ini. Mama pikir Adiba akan butuh waktu lama untuk bertemu jodohnya. dan kenapa kamu gak langsung iya aja Dib? Mama rasa, mustahil kamu gak jatuh cinta sama laki-laki tampan dan pebisnis sukses seperti Ibrahim."

"Duuh Mama gak tau sih kenyataan yang ada. Asal mama tau yah. Putri cantik kesayangan mama ini mau dijadikan istri kedua sama keluarga mereka Mah."

"APAAA....? Kamu gak salah? Maksudmu si Ibrahim itu sudah punya istri dan masih mau menikah lagi?"

"Iya Mah. Mama ingat yang tadi duduk di sebelah Umi dan sebelah laki-laki berpeci biru gelap yang menggendong Syahira anak asuh Diba? Nah itu dia istrinya. Syahira itu anaknya Mah."  Terangku kemudian. Mama shock mendengarnya. Tapi tidak percaya.

"Diba emang suka sama Ka' Ibra. Udah sejak dulu. Sejak kami masih sekolah. Tapi apa iya Diba mau jadi yang kedua. Ya Allah Mah, Diba bingung."

"Kamu lupa ya? Kan ada Allah yang selalu menuntun kita ke jalan yang sedang kita hadapi. Coba istikharah lagi seperti dulu saat kamu mau pergi ke Cairo untuk bekerja. Ternyata benar kan keputusan yang Allah buatkan untukmu. Jika saja saat itu kamu tidak berangkat, apakah mungkin kamu akan malanjutkan kuliah kedokteranmu. Tadi kan Umi bilang apapun keputusanmu beliau tetap akan menanggung biaya kuliahmu."

Mama benar, sebaiknya aku memohon diberi petunjuk kepada Allah. Apa yang akan terjadi sebaiknya kupasrahkan diri pada Rabb nya. Ya Allah mudahkan aku mengambil keputusan.

Malamnya aku terbangun. Kaget dengan mimpiku sendiri. Ada sesosok orangtua yang aku tidak tahu persis siapa beliau. Karna hanya samar-samar saja. Orangtua itu menyuruhku menemui Ka' Ibra untuk berbincang sebelum memberi jawaban lamaran kepada Umi Laksmi. Maka, akupun menghubungi Ka' Ibra.

"Assalamualaikum...."

"Waalaikumsalam, iya Diba ada apa?"

"Ka, apa Kaka ada waktu? Hari ini atau besok. Kalo boleh, Diba mau bicara sama Kaka sebelum menjawab lamaran Umi untuk Kaka. Bisakah kalo Kaka ke rumah sebentar?"  Tanyaku terbata.

Sore harinya Ka' Ibra datang sendirian ke rumah. Hatiku kacau sekali. Rasanya dag dig dug menanti kehadirannya. Begitu Ia sampai di ambang pintu rumahku, dag dig dug ini semakin menjadi. Ya Allah aku sayang sekali padanya. Aku betul-betul telah jatuh cinta pada makhlukmu ini ya Allah. Bagaimana caraku mengatasi perasaan ini. Apa yang harus kukatakan. Masalahnya adalah sanggupkah aku untuk diduakan. Cuma itu masalahku.

Bagaimana perasaannya terhadap Mba Hana? Apakah mungkin ada orang yang mencintai lebih dari satu orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Aah entahlah, aku tidak mengerti laki-laki. Tidak cukupkah seorang saja bagimu.

Mama Papa senang sekali Ka Ibrahim datang berkunjung. Mereka membiarkan kami berbicara di ruang tamu. Agar kami bisa bicara sedikit lepas, mereka meninggalkan kami. Berharap semua kegundahanku ini dapat segera teratasi. Itu juga jadi harapan Mama dan Papa. Karna sepertinya mereka paham betul perasaanku terhadap Ka Ibrahim.

"Maaf ya Dib, aku gak berani tanya dulu ke kamu tentang perasaanmu padaku. Aku malah meminta Umi untuk langsung saja melamarmu. Maaf kalau aku terlalu pengecut dan malah jadi membuatmu bingung."

"Ka, bukan hanya aku bingung. Tapi juga sedikit tanda tanya. Bagaimana tanggapan Mba Hana tentang ini? Tentang aku? Tentang kita Ka?" Tanyaku pada Ka Ibra.

Entah kenapa Ia sepertinya malah bingung. Terlihat dari caranya mengerutkan dahi. Sambil berkata "Hana katamu? Kenapa kamu malah bertanya tentang Hana? Dia tentu saja mendukung segala keputusanku. Aku sangat menghargainya dan diapun menghormatiku. Kami tidak pernah berselisih paham tentang apapun terlebih lagi mengenai calon pasngan hidup kami masing-masing. Kenapa justru yang kau tanyakan malah Hana? Apa yang sebenarnya kau pikirkan Dib?"

"Ka, apa Mba Hana yakin mau di madu? Walaupun Mba Hana sangat baik padaku. Aku tidak sampai hati menyakitinya Ka. Bagaimanapun kami sama-sama perempuan. Sudah sewajarnya tidak saling menyakiti. Aku seperti ingin merampas kebahagiaannya namun sepertinya Mba Hana tenang sekali menghadapi ini. Aku semakin merasa bersalah Ka."

"HAHAHAHHAAHAH........." Ka Ibrahim malah tertawa mendengarku bicara demikian. Aku semakin salah tingkah. Wajahku terlihat bingung bukan main.

"Ya Allah Dib, aku sama sekali gak nyangka dengan apa yang kamu pikirkan tentangku dan Hana. Jadi selama ini kau berpikir aku dan Hana suami istri? Diba, Hana itu adik kandungku, praktis Syahira itu keponakanku. Kami ini saudara sedarah. Kenapa aku memanggilnya Dik' Hana ya karna memang dia adiku. SubhanAllah Diba. Demi Allah aku belum pernah menikah. Demi Allah akupun tidak pernah punya keinginan istri lebih dari satu jika Allah menghendaki keinginanku itu Adiba. Aku masih single, aku sendiri. Mas Akbar yang kemarin ikut datang ke sini, itulah Ayah Syahira, suami Hana. Kebetulan dia memang bertugas di Indonesia selama setahun belakangan ini. Maka Hana dan Syahira dititipkan pada Umi di rumah kami di Cairo. Bulan ini tugas Mas Akbar inshaAllah selesai maka Hana akan kembali pulang ke rumahnya."

Ka Ibrahim menjelaskan panjang lebar. Aku? Tentu saja dengan wajahku yang sangat amat terlihat bodoh ini karna mengira kakak beradik yang mesra itu sebagai suami istri menjadi salah tingkah bukan main. Wajahku habis merona seperti kepiting rebus yang dibalur saus tomat paling merah yang pernah ada. Ya Allaaaah bodohnya aku. Jadi selama berbulan-bulan aku bekerja di rumah Umi Laksmi, aku telah salah paham tentang keluarga Mba Hana. Demi Allah aku malu rasanya berhadapan dengan Ka Ibrahim, Ingin lari saja dari hadapannya.

Ka Ibra tersenyum-senyum sambil memandang wajah bodohku ini. Untung saja aku belum menolak lamarannya. Bisa-bisa aku menangisi ketololanku selama ini jika itu sampai terjadi. Benar-benar bodoh.

"Ka, maaf ternyata Diba salah paham selama ini. Satu lagi Ka, Diba mohon jangan ceritakan ini ke majikan Diba ya Ka. Aduh Ka Diba malu."

"Hihihi.... kamu lucu sekali. Aku betul-betul gak nyangka sama sekali dengan pikiranmu Dib."

"Iya, Diba salah. Maaf, tolong jangan dibahas lagi ka."

"Jadi? Apa jawabanmu untuk Umiku? Kau mau menerima lamaran putranya atau menolaknya?"

Aku tersipu. Rasanya sulit sekali menghilangkan senyum-senyum kecil ini dari wajahku. Aku bahagia bukan main mendengarnya. Ka Ibra masih single, Ka Ibrahim akan menjadi imamku.

"Biar kujawab langsung ke Umi ya Ka." Kataku kemudian.

"Lho, kenapa gak sekarang aja?" Tanya Ka Ibrahim penasaran.

"Lho Ka, yang kemarin melamarku kan Umi, bukan kau sendiri. Kenapa harus jawab ke Kakak."

Singkat cerita akhirnya segala persiapan pernikahan kami dilanjutkan. Gedung, akad nikah, seragam keluarga, dan lainnya hampir semuanya telah selesai.

Aku menemui sahabat-sahabatku satu persatu. Mereka kaget bukan main mendengar aku akan manikah di umur 21 tahun. Yang bahkan aku baru akan menginjaknya.

Yang lebih mengagetkan lagi adalah aku akan menikah dengan cowok super keren yang digosipkan gay saat SMA dulu.

Aku hanya percaya, Jodoh pilihan Allah maka bagaimanapun jalan kehidupan kami, pasti Allah akan menunjukkan jalannya. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, sebaliknya pula. Maka aku berharap bahwa aku adalah yang terbaik bagi Ka Ibrahim. Begitupula Ka Ibrahim, aku yakin Ia adalah yang terbaik bagiku. Yang mampu mengimamiku. Aamiin.......

S E L E S A I

Oleh "Upay"

Minggu, 17 Mei 2020

Menikah

Hukuman. Ini hukuman buatku. Mungkin aku memang pantas menerima ini semua. Sudah dua tahun Mas Bali suamiku terbaring koma di rumah sakit. Bahkan asuransi kesehatannyapun sudah tidak lagi mengcover semua biaya pengobatannya. Di awal tahun kemarin, dokter menyarankanku untuk melepas semua mesin penopang hidupnya.

Karna mesin-mesin itulah jantung Mas Bali masih berdenyut, Nafas Mas Bali masih tersisa. Padahal sebetulnya, jika tanpa mesin-mesin itu, Mas Bali sudah tiada. Karna asuransi sudah tidak mengcover, harta kamipun sudah habis banyak, dokter beberapa kali menyaranku menandatangani dokumen persetujuan pelepasan mesin penopang hidup Mas Bali. Ya Allah, inikah karma buatku, inikah balasan yang Engkau berikan kepadaku karna dulu aku suudzon kepadaMu? Tak adakah hukuman yang lain?

Setiap saat aku berdoa, setiap saat aku memohon kepada Allah agar segera diberikan kekuatan atas apa yang harus aku lakukan. Apakah harus menyerah saja? Bagaimana dengan Jingga? Apa yang akan Ia katakan jika besar nanti Ia tau bahwa Ibunya sudah sangat tega menyerah membiarkan dokter melepas mesin penopang hidup Ayahnya. Ya Allah, beri aku petunjuk.

Bagaimana karma ini bisa berlaku padaku? Berikut kujabarkan kisahku yang sudah dengan mudahnya bersikap Suudzon kepada Sang Pencipta.

**********

Pernikahan. Adalah satu kata yang paling membingungkan. Berkali-kali aku punya pacar. Tapi kesemuanya gagal akibat kesalahanku sendiri. Kenapa laki-laki mau menikah? Untuk apa? Karna agamakah? Atau apa? Setiap kali mereka melamarku, maka saat itu pula aku menolak dengan halus. Kukatakan aku tidak ingin menikah. Mereka bertanya "mengapa? sampai kapan aku mau sendiri?". Aku hanya terdiam. Dalam hati aku menjawab "Mungkin selamanya aku tidak akan menikah".

Untuk apa menikah jika nanti rasa itu akan hilang. Debar-debar semasa kita pacaran. Tegang saat sabtu sore menanti malam minggu untuk bertemu denganmu. Apa gunanya menikah jika rasa-rasa yang menyenangkan itu akan hilang? Aku tidak mau. Karna rasanya menyenangkan bersamamu dengan penuh debaran, penuh suka cita, rasa rindu yang teramat dalam karna dipisahkan oleh waktu malam dimana kami harus pulang ke rumah masing-masing.

Jika menikah? Pasti rasa itu akan segera hilang, rindu tidak akan ada lagi karna setiap saat bertemu di rumah. Bagaimana tidak, kita akan serumah. Tiap kali mereka meninggalkanku karna aku menolak menikah, maka tiap kali itu pula air mataku deras berjatuhan mengalahkan guyuran air hujan. Karna aku begitu mencintai laki-laki yang menjadi pacarku itu. Aku senang sekali menunggunya di rumah, menanti telponnya, messege nya, rasanya debar-debar itu menyenangkan luar biasa.

Bayangkan jika kita menikah. Setiap hari bertemu. Tidak akan jenuhkah kau padaku nanti? Apa iya kau tidak akan ilfil melihat caraku tidur? caraku makan? caraku berpakaian? tanpa makeup? Bagaimana hari-hari kita selanjutnya? Apa kabar kangen? Apa kabar debar-debar?

Hingga suatu hari, aku terpaksa mengiyakan lamaran pacarku yang terakhir ini. Aku akan menikah, akhirnya aku harus menikah juga. Bukan, bukan karna umurku yang sudah 30 tahun, tapi ini demi Ibu. Ibuku ingin melihat putri bungsunya ini menikah. Padahal Ibu sendiri tidak pernah bahagia dengan pernikahannya, bahkan kakak-kakakkupun seringkali mengeluhkan perihal suami mereka. Yang selalu seenaknya sendiri, tidak pernah membantu pekerjaan rumah, bahkan salah seorang kakakku hidup kekurangan karna suaminya tidak memiliki pekerjaan yang layak. Tak jarang aku dan Ibu mengulurkan bantuan keuangan untuknya. Aku merasa kasihan pada kakakku. Tapi itu pilihannya, menikah dengan laki-laki yang sederhana dengan pekerjaan yang tidak mencukupi.

Melihat keluarga kakak-kakakku, terlebih masa lalu Ibu dengan Ayah, membuatku semakin yakin bahwa manusia tidak harus menikah. Jika hanya ingin memiliki keturunan agar di hari tua ada yang merawat kita, aku bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Toh mereka pasti senang jika ada orang yang mau mengadopsi anak asuhnya dengan kehidupan yang layak. Jadi apa hakikatnya menikah?

Tapi ini terlanjur. Acara lamaran sudah berjalan. Dua bulan lagi aku menikah. Semakin menimbang-nimbang, semakin yakin aku tidak butuh menikah. Apalagi jika hanya demi Ibu. Toh aku yang akan menjalaninya nanti. Ibuku sedang sakit, Ia terus berucap bisa mati dengan tenang jika aku sudah menikah. Ituuu terus yang dia ucapkan. "Ya Allah Buu... bisakah kau hentikan ucapanmu yang ngawur itu? Ibu kan tau aku. Ibu mengenal baik putri bungsu Ibu ini tidak akan pernah menikah".

"Lalu, untuk apa kamu punya pacar? Laki-laki tujuan akhirnya itu pasti menikah. Jika kamu tidak ingin dinikahi, lalu buat apa kamu terima mereka jadi pacar kamu? Pacaran 2 tahun putus karna menolak dilamar, yang sebelumnya 1 tahun, bahkan ada yang sampai 3 tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk kalian saling mengenal. Perasaan mereka pasti sudah sangat dalam padamu Ras. Malah kamu tolak lamaran mereka tanpa alasan. Kamu pikir mereka mengerti kamu? Mengerti kenapa kamu menolak lamaran mereka. Ibu saja sampai detik ini masih tidak mengerti kenapa kamu tidak suka pernikahan".

"Sudahlah Bu, Laras akan menikah. Laras turuti maunya Ibu. Tapi Ibu jangan salahkan Laras jika rumah tangga Laras gagal seperti Ibu. Kita sama Bu. Laras sama seperti Ibu. Laras bukan type perempuan yang akan mempertahankan mati-matian rumah tangganya dengan cara mengorbankan kebahagiaan sendiri. Jika Laras tidak bahagia, maka Laras akan menyerah dan menyudahi pernikahan yang sudah terlanjur terjadi. Sama seperti Ibu yang meninggalkan Ayah karna tidak bahagia".

Ibu terdiam. Sebetulnya aku sadar kalimatku itu keterlaluan. Rumah tangga Ibu memang gagal. Tapi aku dengan sok taunya menjudge bahwa Ibu meninggalkan Ayah karna tidak bahagia. Toh memang seperti itu yang terlihat. Aku dan kakak-kakak tidak pernah tau alasan Ibu sebenarnya meninggalkan Ayah. Lagi pula kupikir, alasan apa lagi Ibu meninggalkan Ayah jika bukan karna Ia tidak bahagia dengan Ayah.

Akhirnya satu bulan lagi aku menikah. Aku makin bermalas-malasan bertemu Mas Bali calon suamiku. Aku makin mantap tidak ingin menikah. Tapi sayang Mas Bali sudah keburu menyebarkan undangan. Dalam benakku berkata "Biarlah kujalani dulu. Toh Allah tidak melarang perceraian dalam hukum Islam". SubhanAllah betapa buruknya sifat suudzonku itu kepada Allah saat itu.

Harinya tiba, pagi ini aku bersiap. Saudara-saudara sudah berkumpul. Singkat cerita, ijab qabul telah terlaksana. Hari ini aku telah menjadi seorang istri. Ya, istri Mas Bali. Laki-laki yang sangat aku cintai ini. Tidak kuduga, aku malah sangat bahagia sekarang. Aku menjadi Istri Mas Bali. Aku akan melihatnya setiap hari. "Lho, perasaan apa ini. Apaa... rasa ini akan terus berlangsung? Sementara aku akan setiap waktu melihatnya. Apakah aku akan bosan nantinya. Bagaimana dengan Mas Bali. Apakah justru dia yang akan segera merasa bosan melihatku setiap waktu di rumahnya?". Pikirku dalam hati.

Tanpa terasa, hari-hari kulalui dengan Mas Bali tanpa masalah berarti. Mas Bali memang mapan. Dia sudah memiliki rumah sendiri yang cukup besar. Sudah ada Mba Minah ART di rumah Mas Bali, juga Mang Diman pekerja kebunnya. Aku tidak perlu bersusah payah melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri. Hari-hariku hanya kuisi dengan kegiatanku sebelum menikah yaitu bisnis Fashion. Aku sudah resign dari tempatku bekerja, karna Mas Bali yang minta. Sebagai gantinya, Mas Bali memberikanku kesempatan untuk memperbesar bisnis fashion yang memang telah aku jalani sejak lama, namun masih usaha kecil-kecilan.

Dengan syarat, aku hanya boleh mengurus bisnisku jika Mas Bali sedang bekerja. Artinya, jika Ia sedang libur atau sudah pulang dari bekerja, aku sudah harus ada di rumah. Entah mengapa, syarat itu dengan mudahnya kupenuhi. Tanpa merasa terbebani, aku menjadi istri yang penurut. Tanpa sadar, aku menurut pada Mas Bali, karna Ia berhak dan pantas mendapatkan itu. Karna Mas Bali sendiri adalah sosok suami yang penuh tanggung jawab, pengertian, sabar, dan sangat memperhatikanku.

Tidak jarang aku merasa kangen padanya ketika Ia sedang tidak di rumah. Rasanya aneh. Sudah serumah, tiap hari bertemu, tapi rasa kangen masih sering muncul. Kadang jika aku merasa kangen, aku menelponnya. Dari sebrang telpon dia selalu mesra padaku. Semakin membuat aku diperhatikan, semakin membuat aku merasa di sayang.

Hari ini hujan turun. Mas Bali biasanya pulang selepas Maghrib. Maka setiap jam 5 sore, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku di butik. Jika tidak selesai, kutinggalkan saja dulu untuk dilanjut esok hari. "Ratih, saya pulang dulu ya. Kita tutup jam 8 aja hari ini. Hujan, sepertinya akan jarang orang yang datang. Kamu hati-hati ya, tutup semua pintu dan jendela, cek listrik. Matikan semua yang tidak dipakai". Begitu pesanku pada kepala tokoku Ratih.

Alhamdulilah, aku sudah memiliki 14 orang pegawai di butik. Termasuk Ratih yang aku percayakan menjadi kepala toko di butik pusatku. Karna aku punya satu butik lagi sebagai cabang di salah satu Mall di Jakarta ini. Berkat support Mas Bali. Usahaku lancar. Mungkin karna Ia Ikhlas mensupportku dan aku tunduk pada aturan suamiku. Sehingga Allah memberikan kelancaran pada bisnisku.

Selain sukses di bisnis, aku juga cukup bahagia dengan kehidupan rumah tanggaku. Terlebih lagi, dua tahun kemudian lahir "Jingga" putri pertama kami. Senangnya bukan main. Terkadang, aku merasa berdosa pada kehidupan masa laluku. Allah begitu baik memberikan kesempurnaan dalam kehidupanku sekarang. Padahal sebelumnya aku selalu suudzon tentang pernikahan.

Apa yang kupikir akan terjadi setelah menikah, semuanya nol besar. Rasa rindu yang aku takutkan akan menghilang, justru semakin sering aku rasakan ketika Mas Bali tidak di rumah. Padahal setiap malam kami bertemu. Tak jarang aku merengek manja padanya minta ditemani di rumah. Merayu Mas Bali agar mau cuti dari kantornya.

Dia sungguh lucu setiap kali aku manja padanya. Aku semakin jatuh hati pada suamiku Mas Bali. "Ya Allah semoga Engkau meridhoi jalan hidup kami berkeluarga, agar terus berkah dan bahagia sepanjang waktu sampai ajal menjemput". Begitu Doaku setiap kali selesai sholat. Aku sungguh menyesal telah berfikir negatif tentang pernikahan. Semuanya di luar dugaanku.

Aku sedang bahagia-bahagianya saat ini. Aku tengah mengandung anak kedua kami. Bahagia bukan main. Hari ini untuk merayakan kebahagiaan kami dengan kehadiran anak kedua kami kelak, aku, mas Bali, dan Jingga akan pergi berlibur ke Okinawa Jepang, kebetulan di sana sedang musim salju. Dan Jingga ingin sekali melihat salju. Aku berkemas dengan riang gembira sambil menunggu Mas Bali mengurus sebentar urusan di kantornya pagi ini. Kami akan berangkat sore nanti.

Jingga juga sudah tidak sabar sampai di sana. Sampai siang itu tiba-tiba. "Buu.... Bu..... Telepon dari Rumah Sakit Buu....". Kata Mba Minah dari luar pintu kamarku.

"Rumah sakit? ada apa mba?". Tanyaku pada Mba Minah. "Bapak Bu, Bapak...". Mbo Minah sambil menitikkan air mata menyerahkan telepon kepadaku di ambang pintu kamar.

Bagai disambar halilintar mendengar pernyataan perawat rumah sakit di sebrang telpon. Mas Bali mengalami kecelakaan saat pulang menuju rumah siang tadi. Mobilnya terhimpit dua kendaraan besar hingga mengakibatkan tubuh Mas Bali ikut tergencet, dan mengakibatkan banyak tulang yang patah. Untungnya Mas Bali masih bernafas.

Aku bergegas menuju rumah sakit, kutitipkan Jingga kepada Mba Minah. Sampai di rumah sakit, aku masih belum boleh menemui Mas Bali karna banyak yang harus dilakukan, termasuk memutuskan tindakan operasi pada Mas Bali. Aku diminta menandatangani dokumen persetujuan tindakan operasi. Aku yang linglung dan bingung tentu saja langsung segera menandatanganinya. Kulakukan apapun demi membuatnya sehat kembali.

Yang membuatku semakin histeris adalah kemungkinan keberhasilan operasi hanya 30% saja. "Ya Allah, sebegitu parahnyakah keadaan Mas Bali". Dokter bilang keberhasilan operasi kemungkinan hanya 30% tapi jika tidak dilakukan, maka dalam hitungan jam, Mas Bali akan pergi selamanya. Tidak ada pilihan bagiku selain 30% itu.

"Aku bersimpuh padaMu ya Rabb, kembalikan Mas Bali padaku, beri aku kesempatan mempertemukan anak kedua kami dengannya ya Allah". Aku terus berdoa tanpa putus, meski sedang tidak dalam keadaan sholat, mulutku terus berdoa sepanjang waktu. Memohon kesembuhannya, memohon keberhasilan 30% itu.

Alhamdulilah operasi dinyatakan berhasil. Mas Bali selamat. Namun masih dalam kondisi yang kurang stabil. Kami masih harus menunggu hasilnya. Entah besok atau lusa atau kapan Ia akan membuka mata.

Sudah di minggu kedua sejak Mas Bali selesai operasi, Ia belum juga membuka mata. Bahkan dokter menyatakan Mas Bali mengalami koma. Kemungkinan akan sangat lama baginya untuk bangun, karna banyak sekali organ tubuhnya yang rusak akibat kecelakaan itu. Aku diminta bersabar.

Di minggu ketiga mas Bali dirawat, kandunganku sudah mencapai sebelas minggu. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan. Darah mengalir deras tanpa henti. Kurasakan aku tak kuat lagi. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku sudah berada di rumah sakit. Mba Minah yang membawaku ke rumah sakit bersama Mang Diman. Ibu dan Kakak-kakakku sudah berada mengelilingiku di ruang rawat. Ibu mendekapku, sambil berbisik "Yang sabar ya Ndo... semua kehendak Allah. Apapun yang terjadi kamu harus kuat".

Aku tidak mengerti ucapan Ibu. Ka Mira menghampiriku, sambil menggenggam tanganku Ia berujar "Ras, kamu yang sabar ya Dek' kamuu... keguguran".

"Apa Mba? Gak mungkin Mba, aku jaga betul kandunganku, aku minum vitamin, aku banyak makan, aku sehat mba" . Air mataku deras mengalir. "Ya Allah bertubi-tubi kau memberiku cobaan. Inikah hukuman? Cobaan atau karmakah ini Ya Allah, ampuni Hamba ya Allah. Aku mohooon sudahi penderitaanku".

**********

"Bu, Laras minta maaf ya Bu. Selama ini sudah berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah". Kataku sambil mendekap Ibu dengan erat dan linangan air mata. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, aku hanya bisa menangis di dekapan Ibu, mengikhlaskan kepergian anak kedua kami, dan bersabar menghadapi keadaan Mas Bali.

"Sudahlah Ras, tak perlu kamu katakanpun Ibu sudah megerti kenapa kamu berpikiran seperti itu, bukan hanya kamu, tapi kalian memang tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah".

"Ibu sama sekali tidak menceritakan apa-apa ke kami tentang Ayah sejak kecil Bu. Mira cuma ingat waktu itu saat Mira dan Tasya masih kecil, Ibu menyeret kami berdua keluar rumah. Kemudian tinggal bersama Ibu di rumah kita yang sekarang masih Ibu tempati. Mira juga ingat, Ibu selalu berwajah sedih ketika Mira atau Tasya bertanya tentang Ayah. Laras yang masih dalam kandungan Ibu waktu itu, tentu saja tidak tau apa-apa Bu, terlebih lagi, Mira menceritakan kejadian itu kepada Laras saat Laras SMP. Wajar jika Laras berfikiran negatif tentang hubungan Ibu dan Ayah".

Ka' Mira berusaha mengingat-ingat kejadian Ibu dan dirinya serta Ka Tasya keluar dari rumah. Tapi hanya sebatas itu yang Ka Mira ingat.

"Kamu ingat Mira? Malam sebelum kita keluar dari rumah, Ibu bertengkar hebat dengan Ayah?". Tanya Ibu kepada Ka Mira mencoba mengingatkannya. Berharap Ka Mira masih mengingat kejadian malam itu.

"Iya Bu, Mira ingat. Itu sebabnya. Yang tertanam dibenak Mira dan Tasya adalah Ibu pergi meninggalkan Ayah karna tidak bahagia karna pertengakaran itu".

"Sebetulnya hari itu Ibu sama sekali tidak berniat meninggalkan Ayah. Sebenarnya Ayah kalian sakit kanker. Ia menderita selama beberapa tahun terakhir sebelum kita pergi meninggalkannya. Ibu berusaha tetap disampingnya, menjadi Istri yang baik baginya, juga Ibu yang selalu ada buat kalian. Tapi Ayah kalian terlalu berpikiran sempit. Ibu yang saat itu masih muda, malah ingin diceraikannya. Ayah ingin menceraikan Ibu agar Ibu bisa menikah lagi dengan laki-laki mapan yang sehat dan tidak menyusahkan Ibu. Waktu itu Ibu sama sekali tidak menduga dengan ucapan Ayah kalian".

Ibu terdiam ditengah-tengah ceritanya, melamun membayangkan kisah yang dulu pernah terjadi dengan Ayah. Kemudian melanjutkan kembali ceritanya yang cukup panjang.

"Ayah marah pada Ibu, Ia membentak Ibu dan memasukkan pakaian-pakaian Ibu juga Mira dan Tasya ke dalam koper besar, kemudian mengusir kami bertiga. Saat itu Ayah belum tau jika Ibu tengah mengandung Laras".

"Jadi Bu, bukan kita yang meninggalkan Ayah, tapi justru Ayah yang mengusir kita?". Tanya Ka' Tasya dengan raut wajah terbelalak karna kagetnya.

"Iya Tas, kita diusir Ayah. Karna Ia tidak ingin kita menderita mengurusnya. Rumah yang kita tempati sekarangpun sebenarnya juga rumah Ayah. Ayah kalian ingin kita pisah rumah agar kita tidak larut dan sibuk mengurusnya hingga melupakan kepentingan kita masing-masing. Ayah bilang, kita harus tetap hidup sehat dan bahagia tanpa perlu mengurusi orang sakit yang tidak berguna". Ibu meneruskan ceritanya, kali ini air matanya sudah tidak terbendung lagi.

"Ayah menyerahkan sertifikat rumah yang sekarang kita tempati bersama kuncinya, Ia bilang pada Ibu.........."

"Sekarang juga kau keluar dari rumah ini, bawa sertifikat rumah ini, dan ini kuncinya. Untuk sementara, tinggalah kalian di rumah itu. Jika nanti kau menemukan laki-laki yang mau bertanggung jawab dan sehat, menikahlah lagi. Aku sudah menceraikanmu. Ingat satu hal. Jangan pernah kembali kemari. Jangan pernah mengurusi hidupku yang sudah tidak lama ini".

Suara tangis Ibu kini semakin terdengar. Ia terus melanjutkan ceritanya.

"Setelah itu, kami hidup terpisah. Kita berempat menempati rumah itu hingga sekarang. Tak satu kalipun Ibu berpikir untuk menikah lagi. Tanpa sengaja ibu melihat sosok ayah mengintip dari balik pohon di halaman depan rumah, rupanya Ia terus mengawasi kehidupan kita. Padahal esoknya setelah kita pindah ke rumah itu, Ibu sempat kembali ke rumah kita yang dulu bersama Ayah. Tapi rupanya Ayah sudah menduga hal itu pasti terjadi, maka Ia pergi dari rumah itu juga setelah kita keluar. Ayah menjual rumah lama kita kemudian hidup entah di mana. Ibu tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.Ibu mencarinya ke rumah nenek, orangtua ayah di Bandung, tapi nihil. Ayah tidak di sana. Nenek dan Kakek dengan kekhawatirannya ikut membantu Ibu mencarinya. Tapi tidak pernah menemukan Ayah. Sampai pada suatu hari. Ada orang datang ke rumah Ibu membawa pesan dari nenek bahwa Ibu harus segera datang. Ketika Ibu datang ke rumah nenek, pemakaman Ayah sedang berlangsung".

Saat itu juga aku, Ka Mira, Ka Tasya juga Ibu menangis bersamaan, kami berpelukan dalam duka. Tidak kusangka, Ayah yang selama ini belum pernah kutemui. Bahkan wajahnya saja tidak pernah aku tau, ternyata sudah tiada sejak lama. Terlebih Ka Mira yang saat kecil sangat dekat dengan Ayah. Ia menangis paling lama, terkadang terdiam dalam lamunan.

"Maaf Bu, maafkan Laras sudah berlaku tidak adil pada Ibu. Laras sudah berpikiran negatif tentang Ibu terhadap Ayah. Maafkan Laras Bu".

Ibu mendekapku makin erat, dengan lembut Ia katakan "Sudahlah Laras, kau sama sekali tidak tau apa-apa. Jangan menyalahkan dirimu karna ini. Berdoa dan jangan menyerah pada kondisi suamimu. Jika Allah ingin Ia pergi, pasti Ia sudah pergi sejak dua tahun lalu saat pertama masuk rumah sakit ini. Dia masih terbaring lemah karna Allah menghendakinya. Ia ingin kau menyadari kesalahanmu yang telah bersikap suudzon kepadaNya saat kau memutuskan untuk tidak butuh menikah. Sekarang kau menyadarinya. InshaAllah, Allah akan memberikan jalan keluar setelah ini. Baik itu menyadarkannya dari koma, atau mengambilnya. Yang jelas, apapun keadaannya nanti, kau sudah harus siap menghadapinya".

Kalimat Ibu makin menyadarkanku bahwa aku harus bersabar sebentar lagi. Aku tidak akan menandatangani dokumen pernyataan persetujuan itu. Aku akan tetap tegar menanti Mas Bali bangun. Benar kata Ibu, ini karna kehendak Allah. Berapapun harta yang harus aku habiskan, aku tidak peduli, akan kukeluarkan semuanya demi suamiku tercinta.

Tidak lama setelah cerita Ibu selesai di ruang tunggu Rumah Sakit, tiba-tiba suster menghampiri kami. "Bu Laras, silahkan ke ruang rawat, ini mukjizat. Pak Hambali sadar, ini hari pertama Ia membuka mata Bu, silahkan segera menemuinya".

Seketika itu juga aku menghapus air mataku, ya Allah. Hanya dalam hitungan menit saat aku menyadari kesalahanku dan memohon kepadaMu diberikan jalan, Engkau langsung mengijabah doaku dan Ibu. Ya Allah sungguh Maha Besar Engkau atas segala kehendakmu.

Akhirnya Mas Bali terbangun dari komanya. Ia bingung kenapa ada di Rumah Sakit. Ia kaget setelah kuceritakan sudah dua tahun Ia terbaring di sini. Setelah itu, Mas Bali berangsur-angsur pulih. Ia sehat seperti sedia kala. Aku menjalani hari-hariku dengan lebih banyak bersyukur dan berjanji kepada Allah bahwa tidak akan pernah lagi suudzon kepadaNya. Terimakasih ya Allah, masih melindungi Mas Bali.

* S E L E S A I *

Oleh: Upay

Cinta Pertama Eps.4 (Ending Story)

Rima terdiam mendengar ucapan Michele. Bagaimanapun Ia memang tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Meski lama tak bertemu, namun Tama tak pernah hilang dalam pikirannya. Namun begitu, Jamie yang setiap hari datang dan selalu ada untuk mereka juga tak bisa Ia singkirkan dari perasaannya begitu saja.

Terlebih lagi selama tahun-tahun belakangan ini, Jamie selalu menunjukkan sosok seorang Ayah yang sangat bertanggung jawab bagi Michele. Sejak Michele kecil, meski mereka tak pernah menikah, namun jika ada acara kunjungan orangtua atau acara kekeluargaan lainnya di sekolah Michele, Jamie pasti menyempatkan diri menemani Rima dan Michele untuk menghadiri acara-acara tersebut.

Bagaimanapun, mereka sudah sangat terlihat seperti satu keluarga yang utuh. Walau di mulut Rima selalu menolak Jamie. Namun di relung hatinya yang paling dalam, perlahan-lahan Ia mulai mengagumi sosok Jamie sebagai laki-laki dewasa yang berhasil, penuh tanggung jawab, dan berwibawa sebagai seorang Ayah.

Rima tak tau apa yang harus Ia jawab atas pertanyaan Michele. Apakah sekarang ini Tama masih ada dalam hatinya? Ataukah tempat Tama perlahan-lahan sudah berhasil digantikan Jamie. Rima sendiri masih bingung.

"Sayang, mommy gak bisa jawab pertanyaanmu yang satu itu sekarang dan disini. Tapi Mommy janji, Mommy pasti akan menjawabnya nanti".

Begitu jawaban Rima atas pertanyaan Michele. Mendengar jawaban itu Jamie seakan mendapat kesempatan. Ia pikir, jikalah Rima masih sangat mencintai Tama. Seharusnya Ia mudah menjawabnya. Tapi dia bingung. Mungkinkah Ia sudah sedikit membuka hatinya untukku?

Begitu pikir Jamie saat itu.

"Michele, Daddy pamit dulu ya. Besok Daddy datang lagi seperti biasa. Kalo kamu mau pergi ke suatu tempat, Daddy temani kamu besok. Hari ini sepertinya Mommy butuh istirahat. Jadi kita gak usah ke mana-mana dulu supaya kamu bisa temani Mommy".

"Ok Dadd, it's okay. Besok Daddy datang aja. Aku belum tau mau ke mana. Om Tama, makasih banyak selama ini masih menanti Mommy. Meskipun begitu, Mommy belum bisa jawab dan kalaupun Mommy masih mencintai Om Tama. Apakah Om Tama bersedia kembali pada Mommy?".

Tiba-tiba Michele bertanya pertanyaan yang Tama sendiri bingung menjawabnya. Belasan tahun Ia menanti. Jujur saja karna cintanya yang sangat besar dan dalamlah yang membuat Ia masih saja sendiri sampai detik ini. Namun begitu, kini Rima telah menjadi seorang Ibu. Tama juga harus memikirkan bagaimana perasaan Michele. Maka Iapun menjawab,

"Michele, terus terang rasa cinta Om ke Mommy gak pernah hilang sampai detik ini. Om masih sangat mencintai Mommy kamu. Tapi satu hal yang harus kita pikirkan adalah bagaimana perasaan Mommy kamu terhadap Om. Bagaimanapun, Ia bebas memilih. Itu haknya. Lagipula Om sudah cukup mendapatkan jawaban kenapa selama ini Mommy kamu menghilang begitu saja dari kehidupan Om. Setidaknya pertanyaan itu telah terjawab".

Akhirnya pembicaraan panjang lebar itu ditutup dengan tandatanya tentang perasaan Rima terhadap Tama dan Jamie. Namun begitu, Jamie masih belum menyerah. Ia tetap bertahan pada pendiriannya meluluhkan hati Rima.

"Tam, apa benar lo akan membebaskan Rima memilih?". Tanya Jamie penasaran.

"Kenapa lu tanya itu? Terus terang Jame, gue masih kesel banget sama lo. Belasan tahun lo renggut dia dari gue dengan paksa. Kalo gue gak punya iman, udah gue bunuh lo di sini sekarang juga. Tapi mengingat kebahagiaan Rima yang hanya dia sendiri yang bisa menentukan, maka gue mencoba berbesar hati untuk melepaskan dia jika dia lebih milih lo. Tapi.... emang lo masih aja cinta sama dia? Lu kan gampang pindah hati".

"Itu dulu Tam. Dulu sekali. Saat kita masih sama-sama sekolah, masih ABG labil yang belum memikirkan masa depan. Kalo gue berniat menyerah untuk dapetin hati Rima, udah gue lakuin sejak dulu. Tapi gue gak pernah sedetikpun ninggalin Rima dan Michele karna mereka udah jadi bagian dari hidup gue. Meski pada akhirnya dia lebih milih lo Tam, gue akan tetap ada buat dia".

Entah apakah perkataan Jamie itu betul-betul dari hatinya atau bukan, yang jelas sepertinya Tama kali ini mengerti betapa besar rasa cinta Jamie kepada Rima. Yang patut disayangkan hanyalah, kenapa dia harus menggunakan cara paksa seperti itu hingga michele hadir di kehidupan Rimayang pada akhirnya merenggut juga kebahagiaan Tama.

*****

"BRUK....." Buku dan dokumen-dokumen yang di bawa gadis itu terjatuh berserakan. Tama membantunya memunguti dari lantai. "Maaf, maaf Mba. Saya betul-betul ngga sengaja" .

"Iya, gapapa Mas, saya juga meleng jalannya". Jawab perempuan itu dengan ramah.

"Lho, Tama?". Tiba-tiba saja perempuan itu menyebut nama Tama.

Tama terdiam membatu sambil memandang wajah perempuan itu. "Siapa ya? Koq kaya familiar banget wajahnya. Tapi agak-agak lupa". Jawab Tama kemudian.

"Ya ampun Tama apa kabar? Pasti lupa ya? ini gue Tita. Temen deketnya Rima dulu".

"Astagaaah Tita. Ya ampuun pantes yah gue gak ngenail lo. Berubah banget lo. Emang yah cewe itu semakin dewasa justru semakin cantik. Sampe pangling lho gue".

"Ah bisa aja lo. Ngomong-ngomong udah berapa lama ya kita gak ketemu. Lo udah nikah? Sama Rima kah? Udah punya anak berapa?".

Pertanyaan-pertanyaan Tita yang terkesan memburu membuat Tama hanya tersenyum kecil. Akhirnya mereka menyempatkan diri mengobrol di cafe. Tita menceritakan semua kegiatannya setelah lepas SMA. Dia kuliah di kedokteran, sekarang sudah berhasil jadi dokter bedah yang hebat. Tapi sayangnya, masih jomblo.

"Eh Tam, gue inget banget lho. Waktu lo sibuk banget nyariin Rima. Pada akhirnya sampe kita lepas SMA, gue tetep aja lost contact sama dia. Apa kabar dia Tam?".

"Fyuuuh ceritanya panjang Ta. Dan asal lo tau, Rima sudah punya satu anak gadis, Gue masih jomblo, dan kita baru aja ketemuan kemarin di rumahnya".

"What? Rima punya satu anak? udah gadis? dan lo masih jomblo? Tungu...tunggu.... gagal paham nih gue. Maksudnya Rima nikah bukan sama lo Tam? Serius lo? Kalian kan pasangan paling hits di SMA. Masa sih kalian gak jadi. Dan anak gadisnya Rima itu emang udah gadis banget?".

"Yaah begitulah Ta. Umurnya hampir 17 tahun. Mungkin sebentar lagi ulangtahunnya yang ke 17". Tama berbicara dengan tatapan mata yang terlihat sangat sedih dan terluka. Tita menyadari hal itu. Namun tetap saja Ia masih penasaran.

"Oo My God Tama. Kalo putrinya itu udah hampir 17tahun, jadi kapan Rima menikah? Umur berapa Rima nikah? Jangan bilang waktu Rima menghilang itu dan gak datang-datang lagi ke sekolah adalah saat dia mengandung putrinya yang mau 17tahun itu? Dan sekarang lo masih jomblo. Aduh.. aduh Tama gue gagal paham. Gimana dong inih. Gue jadi penasaran".

"Mmmhhh... gimana kalo kita main aja sekalian ke rumah Rima. Kan lo udah lama banget gak ketemu dia. Ya kan?".

Saking penasarannya Tita dengan kisah hidup Rima dan Tama, maka Tita menyanggupi ajakan Tama. "OK, kapan kita jalan? Hari ini?".

"Wooow, buru-buru banget. Emang gak ada urusan lagi hari ini? Biasanya kan dokter super sibuk". Tanya Tama sambil sedikit meledek.

"Ah nggak laah, gue kan cuma nanganin operasi-operasi besar yang udah terjadwal aja di Rumah Sakit. Kebetulan hari ini gak ada jadwal".

"Ok, yok kita jalan". Ajak Tama kemudian. Akhirnya mereka menuju rumah Rima. Tita terlihat sekali tidak sabar bertemu dengan sahabatnya itu. Betapa rindu Ia dengan Rima. Sahabat baiknya semasa SMA.

Singkatnya akhirnya mereka bertemu. "Ya ampun Riiim, gila ya kangen banget gue sama lo. Sumpah masih cantik abiss seperti biasa Non Rima yang satu ini". Tita terus saja berbicara sambil memeluk sahabatnya itu di ambang pintu rumah Rima.

"Ya ampun Taa... gue juga gak nyangka ketemu lo lagi". Sahut Rima kemudian.

"kalo bukan karna gak sengaja si Bapak ini nabrak gue di toko buku, gak bakal yah kita ketemuan". Kata Tita lagi.

Taka lama berselang Michele muncul dari balik pintu. "Moom, ada siapa?". Tanya Michele.

"Hai, ini michele?". Tanya Tita kepada Michele yang baru muncul dari balik pintu.

"Hai tante, iya aku Michele. Lho ada Om Tama juga. Ooo pacarnya Om Tama ya?". Celetuk Michele kemudian.

Semuanya hanya tersenyum-senyum sambil menunduk. "Eh masuk yuk, masa sih kita terus-terusan ngobrol di depan pintu begini". Ajak Rima berlanjut.

Akhirnya mereka ngobrol dengan santai cukup lama. Di halaman belakang rumah Rima mereka ngobrol sambil bersantai menikmati udara cerah. Rima menceritakan semua yang terjadi selama hidupnya hingga saat ini. Tita jelas sangat-sangat terkejut. Karna tidak bisa dipungkiri dulu Tita sempat menaruh hati pada si bule tampan Jamie. Namun sosok Jamie yang terkenal sangat playboy membuat Tita mundur teratur dan membuang jauh-jauh pikirannya terhadap Jamie.

Namun tak disangka, Jamie malah betul-betul jatuh hati pada sahabatnya ini. Meskipun dengan cara yang cukup sadis, setidaknya itu sudah menjadi bagian dari masa lalu Rima yang pahit. Entah kenapa Tita sedikit menyadari perasaan Rima. Setiap kali Ia menceritakan tentang Jamie atau bahkan hanya menyebut namanya, binar-binar di matanya tidak dapat disembunyikan.

Kemungkinan besar Jamie sudah berhasil mencuri hati Rima. Tapi Ia tak sampai hati mengatakan itu kepada Tama. Karna seperti yang Rima ceritakan bahwa Tama masih sendiri dan terus mencarinya hingga kejadian seminggu yang lalu di rumahnya.

Tidak berapa lama kemudian Jamie datang. Memang hari ini jadwal Jamie mengunjungi Michele putrinya. "Daddy.....". Teriak Michele dari kejauhan.

"Hai sayang...". Jawab Jamie kemudian. "Woow.... ada apa ini. Sedang kumpul". Lanjut Jamie.

"Hai Jame, masih inget gue?". Tanya Tita sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Ya tentu dong Tita. Masa sih lu gak gue kenal. Lo itu sahabat dari perempuan yang paaaling gue perhatiin. Kalo gue mau curi hati Rima, kan gue harus dekatin temannya juga. Waktu itu gue mau ngobrol sama lu untuk cari tau tentang Rima. Tapi lo terus aja ngeles. Menghindar teruuus". Jawab Jamie kemudian.

Mereka semuapun tertawa. Tak disangka suasana hari ini sangat menyenangkan. Michele kelihatan bahagia sekali melihat Tama dan Jamie mengobrol santai berdua tanpa masalah sambil memandangi dua perempuan yang juga tengah asik mengobrol yang tak lain adalah Rima dan Tita. Michele menyandar pada batang pohon besar sambil sesekali menatap para orangtua yang sedang asik berbincang.

Dalam hati kecil Michele berharap jika Mommy and Daddy dapat bersatu. Namun tetap saja, itu semua hanya Rima yang bisa memutuskan. Akan membuka hati untuk Jamie, ataukah kembali pada Tama.

Tak terasa hari mulai gelap. Tiba-tiba saja Michele yang beberapa jam lalu baru masuk ke dalam rumah keluar lagi dengan membawa beberapa wadah dan bungkusan daging dari dalam kulkas. Dibantu mbok minah yang membawakan alat panggang.

"Mom, Dad, Om Tama, Tante Tita, udah mulai gelap dan sebentar lagi waktu makan malam. Gimana kalo kita sekalian barbekyu'an aja?". Teriak Michele sambil menunjuk semua peralatan panggang dan makanan mentah dihadapannya.

"Ide bagus sayang". Jawab Rima kemudian. Merekapun akhirnya bersama-sama mulai memanggang sambil bercengkrama. Sesekali tertawa karna candaan-candaan yang terlontar. Suasana hari itu sungguh luar biasa menyenangkan.

Jamie dan Tama berdiri di bawah pohon besar. Sambil menatap ke arah para wanita yang asik memanggang daging steak sambil tertawa bercanda mereka berdua mengobrol.

"Tam, apa lo masih bener-bener cinta sama Rima? Apa lo masih mau berusaha untuk kembali pada Rima?". Tanya Jamie tiba-tiba.

"Usaha gue udah selesai Jame, sekarang tinggal menanti keputusan Rima. Apa dia bersedia balik sama gue atau justru dia pilih lo". Jawab Tama kemudian.

Jamie merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia memperlihatkannya pada Tama sambil berkata "Sebetulnya hari ini untuk yang ke sekian kalinya gue akan coba lagi melamar Rima dengan cincin ini. Tapiii.... dengan kehadiran lu sekarang. Sepertinya itu mustahil".

Jamie tersenyum sedikit kecut. Sebetulnya sejak awal dia datang bertemu Rima. Ia sudah menyadari betul bahwa cinta Jamie sudah tumbuh di hati Rima. Tama tau betul tatapan Rima kepada Jamie. Sama seperti tatapannya dulu kepadanya ketika mereka masih bersama. Sekarang tatapan penuh cinta itu sudah tidak terpancar lagi kepadanya. Ia menyadari bahwa tatapan itu kini sudah jatuh kepada Jamie.

"Kenapa jadi putus asa?". Tanya Tama kepada Jamie yang masih memegang kotak cincin ditangannya. "Mending kita coba aja. Lo lamar dia sekarang. Spertinya ini waktu yang tepat".

"Apa? Gue lamar Rima? Emang lo gak masalah Tam? Gimana dengan perasaan lo?".

"Jame, kita sampai detik ini masih gak tau siapa yang Rima cinta. Dengan cara lu ngelamar dia sekarang, mungkin kita bisa dapat jawabannya. Ayolaah beranikan diri. Kalopun nanti dia nolak menikah sama lo. Artinya gue masih punya kesempatan untuk menarik kembali Rima ke hidup gue".

Tidak berapa lama kemudian makan malam steak yang dipanggang para wanita telah selesai dibuat. Meja-meja dan kursi santai di halaman belakang rumah Rima lebih nyaman digunakan daripada harus masuk ke meja makan di dalam rumah. Sehingga mereka memutuskan makan malam di sana.

Jamie dan Tama sudah sepakat, setelah makan selesai, Jamie akan mencoba melamar Rima dihadapan kami. Sebagai tanda ketulusannya dan keseriusannya Ia berani mengutarakannya dihadapan kami.

"Mmhh.... maaf mohon perhatiannya sebentar." Kata Jamie dengan wajah agak ragu sambil menatap ke arah Rima dan sesekali menatap Tama. Mereka semua spontan menengok ke arah Jamie. Penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Jamie.

Tiba-tiba saja Jamie mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah, membuka kotak kecil itu kemudian menyodorkan ke hadapan Rima sambil  berkata "Rima, untuk yang kesekian kalinya dan aku akan terus berusaha mempertanyakan ini. Maukah kamu menikah denganku?."

Mereka semua terkejut, terutama Michele. Michelle menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia betul-betul tak menyangka Daddy melamar Mommy dihadapannya bahkan saat masih ada Om Tama dan Tante Tita.

Rima terkejut bukan main. Ia juga tak menyangka dengan pernyataan Jamie. Terlebih lagi ada Tama dihadapannya. Sesekali Ia menatap Tama. Demi mencari tau apakah Tama akan terluka dengan jawabannya.

"Mmmhhhh..... sebelumnya aku mau minta maaf sama Tama. Aku sama sekali ngga pernah nyangka kalau belasan tahun ini kamu masih terus mencariku. Aku sama sekali ngga nyangka kalau kamu masih tetap sendiri menungguku. Terima kasih atas semua pengorbanan kamu selama ini Tama.

Aku juga mau bilang ke Jamie kalau selama ini kamu sudah menjadi Ayah yang sangat baik bagi Michelle. Kamu sangat bertanggung jawab pada kami meski aku terus menolak kehadiranmu dan sering sekali melukai perasaanmu dengan kalimat-kalimat penolakanku yang mungkin sedikit kasar. Aku hargai usaha dan jerih payahmu untuk bertanggung jawab atas kami berdua. Aku dan Michelle. Sampai kemarin aku masih ngga paham kenapa Jamie terus bertanggung jawab pada kami hingga saat ini. Tapi sekarang aku yakin kalau itu semua karna kamu memang mencintai aku dan Michelle. Untuk itu aku sangat menghargai semuanya."

Keadaan hening sejenak setelah Rima mengeluarkan kalimat panjang tersebut. Ia menarik nafas panjang. Yang lain semakin memperhatikan Rima. Penasaran dengan jawabannya.

"Tama, maafkan aku sekali lagi, karna aku menerima lamaran Jamie hari ini."

Seketika itu juga Jamie dan Michelle tersenyum lebar bahagia. Tama dan Tita ikut tersenyum. Tama mengerti dengan keputusan Rima, Bagaimanapun mereka sudah dewasa dan harus sesegera mungkin mengambil langkah untuk kehidupan lebih baik kedepannya.

Semua bahagia, akhirnya diputuskanlah tanggal pernikahan Rima dan Jamie. Mereka menikah di bulan depan saat putri mereka telah tumbuh besar. Memang aneh. Tapi inilah hidup. Tidak ada yang bisa menebak.

Saat hari pernikahan mereka, Tama dan Tita hadir bersamaan. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja mereka sudah semakin dekat. Jamie dan Rima juga tidak menyangka jika mantan kekasih dan sahabatnya itu pada akhirnya memutuskan untuk menikah juga.

Ending yang sangat bahagia bagi semuanya. Jamie dengan Rima dan Tama dengan Tita. Michelle yang paling bahagia dengan semua yang terjadi. Sungguh, waktu yang berharga tidak dapat diputar kembali. Namun memperbaiki hidup, terlebih lagi memperbaiki hubungan dengan orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita, selalu bisa kita lakukan. Berlapang dada menerima kehendakNya dan berbahagialah, maka hidup akan senantiasa damai.

*Selesai*

Cinta dua lorong

Cerpen kali ini kiriman dari "Fajar Kesuma Mustaqim" berjudul "Cinta dua lorong". Kepada Fajar kami ucapkan terima kasih untuk pastisipasinya mengirimkan tulisan ke blog kami.

Kisah tentang masa sekolah yang menarik untuk dibaca. Berikut ini tulisan Fajar yang kami muat tanpa mengurangi ataupun menambahkan isi dan pesan yang terkandung dalam tulisan Fajar tersebut.

Selamat membaca !

“CINTA DUA LORONG”

Uhhhhh! Ntah apa yg buat aku jadi begini, gak biasa-biasanya aku seperti ini. Gak biasanya aku meneteskan air mata begini, aku selalu tegar, tapi kali ini aku benar benar gak bisa. Iya, aku gak bisa, karena dihari ini, hari terakhirku bertemu dengan teman-temanku dengan sekian lamanya kami berteman, 3 tahun kami menjalin persahabatan, bandel bareng, cengkal bareng. Ahhh! Banyaklah.

Sulit rasanya aku meninggalkan mereka, meninggalkan kenakalan bareng mereka. Buat guru kapok masuk kelas kami, bahkan nangis dan minta untuk tidak mengajarkan kami. Banyak lah pokoknya!

Banyak kenangan-kenanganku yg terukir di 3 tahun ku ini, termasuk kedekatanku dengan si dia. Hahah, iyaa dia ! sosok yang kukagumi selama ini, sosok yang sempurna dimataku, lebihlah pokoknya dibanding dengan wanita lain  yang ku kenal. Yayas, namanya. Setahun lebih muda dariku. Iya, adek kelasku. Aku mengaguminya sejak aku pertama bertemu dengannya, kulit putih, dengan kaca mata membuatnya terlihat lebih anggun dibanding lainnya. Kami saling mengagumi, tapi kami cuman sekedar ngagum mengagumi, tidak lebih. Ntah mengapa, mungkin Dia juga jadi salah satu alasanku, mengapa aku sulit meninggalkan kenanganku ini.

“Bangg!!”, Yayas memanggilku dari kejauhan. “Iya, ada apa?” Jawabku mendekati nya. “Foto berdua yuk?” Iya, mungkin karena kami jarang sekali tidak foto berdua, mungkin untuk pertama kali juga gapapalah “Iya udah, mau foto dimana” Jawabku dengan menatap kesekeliling ruang. “Jangan dikelas bang! Gimana kalau kita foto di farewall aja?” Mungkin karena aku melihat sekeliling ruang, Yayas mengira aku ingin berfoto didalam kelas, padahal dibenakku, aku juga gak kepingin untuk foto dikelas. Tapi itulah mungkin dikatakan sehati, belum mengakatan saja sudah tahu dahulu. “Yaudalah ayuuk!” Farewall itu dinding yang berisi tanda tangan seluruh siswa-siswi setiap kelasnya. Menarik sih untuk foto disana,

“Makasih ya bang, ini untuk abang!” Sebuah kotak persegi dengan pita diatasnya, yang aku pun gak tahu pasti apa isi dari kotak tersebut. “Untuk apa? Gak usahlah” Bukannya gengsi, sungkan rasanya aku nerima hadiah dari seorang wanita, apalagi wanita itu wanita yg ku kagumi. “Udah gapapa, terima aja! Anggap sebagai kenang-kenangan dari adek” Karena Yayas memaksa, aku pun akhirnya tidak bisa berkata-kata. “Makasih ya”,  “Iya sama-sama”.

Sebuah jam tangan bertali kain, berwana hitam dan secarik kertas yg sama sekali tak ku tahu isi dari tulisan tersebut. Oh, ternyata dia ingin meminta agar aku mengenakannya dimanapun aku berada, karena jam serupa yg ku kenakan di tanganku, juga terpasang ditangannya. Couple bahasa kerennya. Tersenyum lebar membacanya,dan ada juga sepatah kata yang membuat hatiku goyang ketika membacanya. “Jangan lupakan adek ya!”

Sederhana, tapi cukup sangat terkesan bagiku. “Iya, pasti dek” Hatiku menjawab dengan sendirinya ungkapan itu. Aku tahu kami saling mengagumi, kami saling menjaga walaupun sekarang kami tidak ketemu lagi, tidak satu sekolah lagi,  Tapi hati kami tetap satu!

Kini tiba saatnya aku untuk melanjutkan jenjang pendidikanku dan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA), Karena dari SMP aku sudah sekolah berjenjang agama, maka begitupun dengan SMA ku. Sekolah yang kupilih bersebrangan dengan sekolah SMP ku, Madrasah Aliyah Negri atau yang disingkat MAN. Bukan untuk jadi ustadz, aku cuman ingin ilmu agama ku terus bertambah hingga aku tua nanti, agar aku tidak tersesat oleh kehidupan duniaku yang penuh glamor. Dan selamat di akhirat kelak. Amiin.

Kebetulan aku masuk SMA melalui jalur Prestasi, Jalur yang masuk hanya melihat dari nilai Raport, tidak untuk testing. Iyaa Alhamdulillah aku diberi kemudahan oleh Allah. Namaku terpampang di urutan 15 dari sekumpulan siswa siswi yang lulus dari jalur Prestasi tersebut. “Dian Ahmad” itulah nama kepanjanganku. Nama keberuntungan yang telah disematkan oleh ibuku sejak aku kecil

Kini waktunya Masa Perkenalan ku, karena MOS (Masa Orientasi Siswa) dilarang oleh pemerintah, maka sekedar perkenalan dengan lingkungan sekolahku yang baru. Bukan sekolah yang asing menurutku, karena hampir setiap pulang aku selalu melihatnya

. “Nifaa..!!” Panggil kakak pembimbingku didepan kelas.

“Saya kak!” Jawab Nifa berdiri dibangkunya”  “Siapa dia? Sepertinya bukan kawan satu sekolah SMP ku dulu, cukup asing wajahnya dimataku”, gumam diriku didalam hati. Oh, ternyata dia tamatan dari SMP 9, sekolahnya satu kota sama tempat aku tinggal, tapi karena kotaku bisa dibilang kota besar, iya wajar juga aku gak mengenal dia.

“Kamu tamatan dari SMP 9 ya?” Tanyaku mendekatinya. “Iya”, jawab Nifa dengan malu-malu. Mungkin karena baru pertama kali kami berbincang, menurutku wajar sih kalau dia masih malu-malu, apalagi dia perempuan. Perempuan itu super gengsi, dan super malu menurutku. “Salam kenal ya dariku” Aku mencoba untuk lebih dekat dengannya, yaa sekedar nambah kawan juga gapapalah. “yaa”. Sedikit sebel sih, tapi yaa namanya juga perempuan, jadi maklumlah.

“Dian..!!” Panggil kakak pembinaku di depan kelas. “Iyaa kak..!” Aku gak tau apa yang akan dilakukan, tapi sebagai murid budiman, aku mendatangi kakak Pembina ku didepan kelas. Oh, karena kami hendak bermain game, aku diperintahkan untuk jadi ketua dalam game kali ini. Aku gak tau apa nama game nya, yang ku tahu satu tim terdiri dari tiga cowo, dan tiga cewe. Kali ini aku satu tim dengan si Nifa. Asyik juga game kami kali ini.

“Ternyata asyik juga ya Nifa orangnya, gak seperti yang ku kira selama ini”  Gumamku di dalam hati. yaa, dia gak seperti yang kukira waktu pertama kali kami berpapasan. Lucu, Humoris, dan asyik untuk diajak bercanda. Ahh, semakin penasaran aku dengannya. Kali ini aku pulang bareng dengannya, cukup lelah sih, karena Hari ini hari terakhir masa perkenalan kami. “Seruu ya masa perkenalannya” Nifa memulai perbincangan diantara kami. “Iyaa, seru banget lah, walaupun hanya tiga hari, tapi aku sudah banyak mengenal teman baru termasuk kamu” yaa, udah biasa bagiku bercanda dengan orang banyak.

Hari ini adalah hari pertama ku masuk sekolah, Hari pertama belajar di jenjang yang lebih tinggi yaitu masa SMA ku. Yang katanya sih Masa SMA ini adalah masa yang paling terindah. Iyaa, mau percaya mau gak, iya aku percaya-percaya aja. “Haaaiii..!!” Salam Nifa kepadaku. Ternyata dia datang lebih awal dari ku, dia sudah berada didepan pintu sekolah. Aku duduk sebangku, semeja dengan temanku dulu. Mungkin untuk ke 9 tahunnya aku sekelas dengan dia. Huhhh sungguh membosankan! Dafi namanya, kulit hitam berkilau, yang katanya manis sih, tapi menurutku tidak. Iya karena aku normal bukan Homo, pecinta sesama jenis.  Aku duduk dilorong ke empat tepatnya di samping jendela. Kebiasaanku dari SD duduk dekat jendela. Terpaut dua lorong dariku, disamping jendela luar, Nifa duduk disana, sebangku degan Nisa, si cewek manja menurutku.

“Huuuffft! Ternyata melelahkan menjadi pelajar SMA” Gumamku didalam hati. Bagaimana tidak? Aku dituntut untuk pulang setiap hari pukul tiga kurang lima belas. Iya, tapi karena aku bercita-cita tinggi, maka aku juga harus ikhlas menjalaninya. Cukup sekian lama aku tidak berbincang dengan Yayas, iya semenjak aku mulai Masa Perkenalan kemarin. “Chat Yayaslah, kangen jugak, apa kabar dia ya?” Aku bergegas mengambil handphone yang kuletakkan diatas meja belajarku.

“Haaaaa!!! Siapa dia!!!” Tampak terlihat foto seorang cowo di DP Bbm Yayas. “Maaf bang, adek sebenarnya mau hubungan kita lebih, tidak sekedar kagum mengagumi, tapi saling memiliki, iya adek tau abang masih gak mau untuk itu. Cowo itu cowo pilihan orang tuaku, Adek gak tau harus bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik bagi kita”  Pesan singkat menjelaskan filosofi foto cowo tersebut. Aku tak tau harus bilang apa, kedekatan kami terjalin cukup lama, dan semua itu rapuh hanya karena sebuah status. Sebenarnya aku sangat menyanyanginya, aku menyayanginya lebih dari sebuah status. Bukan aku menggantungkan perasaannya, tapi aku yang tak mau menjadikan status nantinya menjadikan perpisahan bagi kami. Tapi, ternyata yang kutakutkan selama ini datang menghampiriku. Seakan batu besar datang dan menghampar diriku. Air mataku tak bisa untuk ku hindari, aku menangis, bukan karena aku cengeng, tapi karena aku sangat menyayanginya. Mungkin bukan saatnya untuk aku bermain dengan hal seperti itu. Aku sangat terpukul, mungkin sekarang saatnya aku untuk mengejar CITA-CITAKU! Suatu saat pasti akan datang yang lebih indah, tinggal nunggu waktunya.

Kesedihanku ternyata tak bisa kututupi, tetap saja wajahku dalam raung kesedihan. “Kenapa kamu?” Tanya Nifa kepadaku. “Gak kok gapapa” Jawabku dengan ketus. “Beneran?” Mungkin karena aku yang masih terpuruk dengan keadaan tadi malam, berusaha untuk menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatku untuk mengenangnya lagi. Tapi, tetap saja Nifa tak henti-hentinya menanyakan ada apa denganku. Sebenarnya sulit untuk ku cerita, tapi mungkin menurutku dia salah satu orang yang bisa ku percaya. Semua kuceritakan kejadianku padanya tadi malam.

“Oh, begitu..iyaudah, ambil saja hikmahnya. Mungkin bukan saatnya, suatu saat pasti indah kok pada waktunya” Senyumnya meneduhkan hatiku sejenak. “Makasih ya, udah berusaha menghilangkan sedikit luka dihati ini” “Iya gapapa kok, namanya juga teman harus saling menguatkan” Mungkin sejak saat itulah aku mulai sering bercerita dengannya, mungkin dia juga menjadi salah satu sahabat wanita bagiku. Kedekatan ku kali ini bukan untuk saling kagum mengagumi, tapi kedekatan ku kali ini saling kuat menguatkan. Karena menurutku CINTA sejati hanyalah cinta kepada-Nya. Kedekatan ini terjalin hingga sekarang. Karena bangku tempat duduk ku dengan tempak duduk Nifa terpaut dua lorong, maka tak sering teman-temanku mengejek ku dengan sebutan “CINTA DUA LORONG” Bahkan tak sering juga guru yang masuk mengejek kami dengan sebutan yang sama. Kami hanya bisa tertawa kecil. Iyaa, menarik sih. Tapi bagi kami, Sukses ialah yang terpenting. Cinta hanyalah pelengkap yang akan datang dengan sendirinya. Manfaatkanlah waktu belajarmu, sebelum waktu Sibukmu datang. Bahagiakan kedua orang tuamu selagi kau masih bisa membanggakannya. Gantungkan cita-cita mu setinggi langit, karena apabila kau jatuh, maka kau jatuh dengan BERIBU BINTANG. MASA MUDAMU ADALAH MASA GEMILANG MERAIH CITA-CITAMU, DAN MASA TUA MU ADALAH MASA GEMILANG MERASAKAN HASIL BUAH JERIH PAYAHMU!